28 July 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:29-31 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:29-31

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:29-31



Bagian ini lebih terfokus pada ide tentang akhir zaman, sehingga beberapa orang menganggap bagian ini sebagai sisipan tambahan yang tidak berhubungan dengan pembahasan di seluruh pasal 7. Anggapan ini tidak dapat dibenarkan. Rujukan eksplisit tentang perkawinan masih bisa ditemukan di ayat 29b. Selain itu, pembahasan dalam bagian ini masih terkait dengan pembahasan sebelumnya, karena sama-sama mengaitkan perkawinan dengan akhir zaman (7:26 “waktu darurat”; 7:29 “waktu telah singkat”). Dengan kata lain, ayat 29-31 merupakan penjelasan tentang apa yang harus dilakukan selama waktu darurat di ayat 26.

Dalam bagian ini Paulus mula-mula menyatakan dasar pemikirannya, yaitu waktu yang telah singkat (ay. 29a). Selanjutnya ia menjelaskan konsekuensi dari pemikiran itu (ay. 29b-31a). Pemikiran itu ternyata memiliki kaitan dengan begitu banyak hal dalam hidup kita, mulai dari perkawinan, perasaan (kesedihan dan kegembiraan), kepemilikan sampai penggunaan barang-barang duniawi. Di akhir pembahasan Paulus memaparkan alasan mengapa waktu telah singkat (ay. 31b).


Dasar Pemikiran: Waktu Telah Singkat (ay. 29a)
Sapaan “saudara-saudara” di ayat ini berfungsi untuk menyiratkan adanya perubahan topik dan memperluas kelompok jemaat yang dimaksud Paulus. Kalau di ayat 25-28 target nasehat Paulus adalah mereka yang belum kawin (sedang bertunangan), di ayat 29-31 Paulus memaksudkan nasehatnya untuk semua jemaat (bdk. “saudara-saudara” di ayat 24). Apa yang ia sampaikan dalam bagian ini memang mencakup juga mereka yang sudah kawin (ay. 29b).

Di ayat 29a kata Yunani yang dipakai untuk “waktu” adalah kairos. Kata ini sering kali dibedakan dengan kata kronos yang hanya menyiratkan urutan waktu (bdk. kata “kronologi”). Kairos merujuk pada waktu yang spesifik di dalam rangkaian kronos. Terjemahan RSV “appointed time” menunjukkan usaha penerjemah RSV untuk memperjelas makna kairos, walaupun dalam teks Yunani tidak ada kata “appointed”. Jadi, kairos selalu menjadi bagian dari kronos, tetapi tidak semua kronos adalah kairos.

Waktu spesifik seperti apa yang dipikirkan Paulus melalui penggunaan kata kairos di ayat ini? Walaupun sebagian penafsir berbeda pendapat dalam hal-hal detil, namun secara umum mereka setuju bahwa kairos di sini merujuk pada masa antara kedatangan Kristus ke-1 dan ke-2. Paulus memang sering membandingkan rentang waktu ini dengan kekekalan kelak (Rm. 8:18; 13:11; 1Kor. 4:5; 2Kor. 6:2; 1Tes. 5:1) untuk mengingatkan bahwa orang-orang percaya berada dalam dua ketegangan waktu ini: kita masih hidup dalam kesementaraan, namun sekaligus mempersiapkan diri untuk kekekalan). Rentang waktu ini bersifat soteriologis (terkait dengan karya keselamatan dalam Kristus) dan eskatologis (antisipasi terhadap kedatangan Kristus di akhir zaman). Waktu ini tidak akan terus-menerus ada, karena itu ini merupakan waktu yang spesifik yang harus dimanfaatkan sepenuhnya oleh orang-orang percaya.

Paulus mengajarkan bahwa kairos telah singkat. Frase sunestalmenos estin (LAI:TB “telah singkat”) dapat dipahami dalam dua cara: sebagai kata kerja pasif partisipel (NASB “the time has been shortened”) atau kata sifat (KJV/NIV “the time is short”). Jika alternatif pertama benar, maka Paulus kemungkinan besar sedang memikirkan ajaran Yesus telah pemercepatan kedatangan-Nya karena situasi khusus dari orang-orang percaya (Mrk. 13:20).

Di antara dua alternatif ini sulit ditentukan mana yang ada dalam pikiran Paulus. Walaupun alternatif pertama dari sisi tata bahasa lebih memungkinkan, namun tidak ada indikasi apa pun dalam 1 Korintus 7 yang mengarah pada kedatangan Kristus yang dipercepat. Memang ada kemungkinan konsep pemercepatan kedatangan ini sudah begitu populer waktu itu (bdk. 2Ptr. 3:21), sehingga Paulus merasa tidak perlu menyinggung hal itu secara eksplisit. Rujukan tentang kesusahan eskatologis di ayat 26 dan 28 mungkin dianggap cukup untuk mengasumsikan hal itu. Bagaimanapun, kita tidak dapat mencapai kepastian dalam hal ini.

Jika dilihat dari perspektif kekekalan (sesuai konteks ayat 25-31), maka waktu kita di dunia ini hanyalah waktu yang sangat singkat. Semakin hidup kita bergerak menuju kekekalan, maka waktu ini menjadi semakin dipersingkat, entah jarak kita dengan kematian semakin dekat maupun dengan kedatangan Kristus kedua kali. Yang jelas, waktu yang kita miliki sekarang hanyalah sisa-sisa kesempatan (ay. 29 “waktu yang masih sisa ini”). Kita tidak punya banyak waktu! Kekekalan menjadi semakin dekat dan jelas bagi kita. Kita berada dalam penantian itu (1:7).


Konsekuensi (ay. 29b-31a)
Kata sambung “karena itu” (LAI:TB; NIV “so that”) menyiratkan bahwa Paulus sedang berpindah pada aplikasi. Ia sedang mengajarkan bahwa suatu konsep theologis seharusnya membawa konsekuensi praktis. Cara hidup kita sekarang harus dibentuk sesuai dengan konsep kita tentang kekekalan. Satu kaki kita ada dalam kesementaraan, tetapi kaki yang lain berada dalam kekekalan. Dengan kata lain, kita harus melihat kesementaraan waktu kita dari perspektif kekekalan. Dengan perspektif yang eskatologis ini kita akan mampu menilai semua hal di sekitar kita: mana yang bernilai kekal dan mana yang tidak.

Paulus lalu memberikan 5 contoh aplikasi dari konsep di atas (ay. 29b-31a). Apa yang dia tuliskan tidak boleh dipahami secara hurufiah. Ini hanyalah sebuah gaya retorik. Jika dipahami secara hurufiah, maka ayat 29b akan berkontradiksi dengan ayat 2-5. Di samping itu, ayat 30 akan tampak aneh karena menyiratkan bahwa orang Kristen adalah orang yang tidak boleh mengekspresikan perasaan mereka.

Kita harus lebih memperhatikan inti dalam keseluruhan gaya retorik ini. Inti yang ingin ditampilkan adalah perubahan perspektif [dari kekekalan]. Paulus ingin menegaskan bahwa sekalipun kita masih hidup dalam dunia yang sementara dan bergelut dengan semua elemen di dalamnya yang juga sementara, namun kita harus tetap memiliki fokus hidup pada kekekalan. Berbeda dengan golongan apokaliptis Yahudi dan sebagian jemaat Korintus yang memiliki pandangan terlalu negatif terhadap kehidupan normal di dunia ini, Paulus memandang kehidupan ini sebagai sesuatu yang netral; tergantung pada cara kita menyikapinya. Uang bukanlah dosa, tetapi cinta uanglah yang menjadi sumber dosa (1Tim. 6:10). Seks bukanlah dosa, tetapi perzinahanlah yang merupakan dosa. Berbeda dengan para filsuf Stoa yang mengajarkan penyangkalan realita, Paulus tetap mengakui dan menerima semua realita yang ada, namun semua itu harus dilihat dari perspektif eskatologis.

Contoh praktis ke-1 yang disinggung adalah perkawinan (ay. 29b). Topik ini menduduki urutan pertama dalam daftar karena inti pembahasan memang terletak di sini. Ayat 29a tidak boleh ditafsirkan sebagai dukungan bagi praktik hidup selibat. Paulus tidak anti perkawinan (ay. 2-5). Dia pun mengajarkan bahwa selibat merupakan anugerah khusus untuk orang-orang tertentu (ay. 7). Ia bahkan menyadari bahwa tugas orang yang sudah menikah adalah menyenangkan pasangannya (ay. 33).

Apa yang ingin Paulus ajarkan adalah sederhana: perkawinan merupakan hal yang sementara, karena itu jangan sampai hal itu menganggu fokus kita pada hal-hal yang kekal. Perkawinan hanya mengikat selama seseorang hidup (ay. 39; Rm. 7:2). Setelah orang itu mati, ikatan perkawinan maupun seks akan menjadi tidak relevan lagi (Mrk. 12:25). Paulus tetap setuju bahwa perkawinan dan seks adalah hal yang bisa dinikmati oleh sebagian orang yang mendapat karunia untuk menikah, tetapi jangan sampai merusak fokus hidup yang sebenarnya. Hal ini berbeda dengan konsep jemaat Korintus yang menganggap seks sebagai dosa dan pasti merusak kerohanian.

Contoh praktis yang ke-2 dan ke-3 dapat digabungkan karena sama-sama membahas tentang perasaan (ay. 30a). Nasehat Paulus di ayat ini tidak berarti bahwa orang Kristen harus bersikap munafik dengan cara menutupi apa yang ada dalam perasaannya. Nasehat ini juga bukan mendorong orang Kristen menjadi orang yang tanpa perasaan atau ekspresi. Di tempat lain Paulus justru memberi nasehat untuk bersukacita dengan orang yang bersukacita dan menangis dengan orang yang menangis (Rm. 12:15). Ia pun mengungkapkan kesedihan melalui tangisan (Rm. 9:2; 2Kor. 2:4; Flp. 2:25–30; 3:18) maupun meluapkan kegembiraan (1Kor. 16:17; 2Kor. 7:4–10; Flp. 1:12–19; 4:10).

Poin yang ingin disampaikan Paulus adalah jangan sampai orang Kristen terlalu terikat dengan kesedihan maupun kegembiraan dalam dunia ini. Apa yang membuat kita bergembira atau bersedih selama ini biasanya adalah hal-hal yang bersifat sementara. Kita bersukacita ketika memiliki kekayaan, kesehatan dan kesuksesan. Kita bersedih ketika semua itu hilang. Paulus ingin mengajarkan bahwa perspektif eskatologis seharusnya mengubah cara pandang kita terhadap kesedihan dan kegembiraan. Yang bersedih sekarang akan mendapat sukacita, begitu pula sebaliknya (Luk. 6:21, 25; Yoh. 16:20). Selama kita menanti pembalikan keadaan ini, kita pun perlu memandang hidup kita sebagai sebuah paradoks yang indah, sebagaimana dinyatakan dengan luar biasa di 2 Korintus 6:9-10 “sebagai orang yang tidak dikenal, namun terkenal; sebagai orang yang nyaris mati, dan sungguh kami hidup; sebagai orang yang dihajar, namun tidak mati; sebagai orang berdukacita, namun senantiasa bersukacita; sebagai orang miskin, namun memperkaya banyak orang; sebagai orang tak bermilik, sekalipun kami memiliki segala sesuatu”.

Contoh praktis ke-3 berhubungan dengan kepemilikan (ay. 30b). Orang membeli biasanya karena ia ingin memiliki barang itu atau ingin agar barang itu dimiliki orang lain. Jadi, pembelian dan kepemilikan memiliki kaitan yang sangat erat. Dalam bagian ini Paulus justru menasehatkan agar orang yang membeli seolah-olah tidak memiliki apa yang mereka beli. Apa maksud perkataan ini?

Paulus jelas tidak anti terhadap segala bentuk transaksi ekonomi. Orang Kristen tidak diminta untuk meninggalkan dunia ini (bdk. 1Kor. 5:10). Paulus pun memperingatkan jemaat Tesalonika untuk bekerja sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka (2Tes. 3:10, 12). Yang disorot Paulus adalah kata “memiliki” (katecein). Kata ini biasanya mengandung makna “memegang sesuatu dengan kuat”, baik itu firman Tuhan (Luk. 8:15; 1Kor. 15:2; 1Tes. 5:21) maupun barang (Mat. 21:38). Ide yang ada bukan hanya “memiliki”, tetapi “memiliki dengan kuat”.

Melalui nasehat ini Paulus ingin menekankan konsep Kristiani yang benar tentang kepemilikan. Hak yang dimiliki oleh orang Kristen adalah hak untuk menggunakan, bukan untuk memiliki. Semua yang bisa kita beli bersifat sementara dan kita harus menggunakan itu untuk menghasilkan hal-hal yang kekal. Kita tidak boleh memegangi apa yang kita beli seolah-olah hal itu tidak boleh lepas dari tangan kita. Ketika kita mati atau Kristus datang kedua kali, kita akan kehilangan semuanya itu (Ayb. 1:21). Sebaliknya, orang Kristen harus memiiki konsep bahwa ia sebenarnya memiliki segala sesuatu (1Kor. 3:22; 2Kor. 6:10).

Alkitab memberi banyak peringatan tentang bahaya materialisme. Orang yang terlalu memikirkan materi sebenarnya sudah menjadi hamba dari materi. Di mana harta kita berada, di situ hati kita berada (Mat. 6:21). Kita tidak boleh menjadi seperti orang kaya yang bodoh dalam perumpamaan Yesus yang akhirnya mati tanpa bisa membawa hartanya dalam kematiannya (Luk. 12:16-21). Jangan pula seperti orang-orang dalam perumpamaan Yesus yang tidak menghiraukan ajakan ke pesta karena sibuk dengan urusan lain yang tidak penting (Luk. 14:15-24). Jika ini yang terjadi, maka ketika Kristus datang situasinya seperti orang-orang pada zaman Nuh yang sibuk dengan hal-hal duniawi (Luk. 17:26-27).

Contoh praktis terakhir (ke-5) berhubungan dengan isu tentang penggunaan (ay. 30a). Penerjemah LAI:TB memahami bagian ini sebagai kesimpulan dari 4 poin sebelumnya, sehingga bagian ini diberi tambahan “pendeknya”. Dari sisi tata bahasa bagian ini tidak seharusnya dijadikan konklusi. Dalam teks Yunani tidak ada kata “pendeknya”. Jadi, bagian ini merupakan kelanjutan dari poin-poin sebelumnya. Poin yang disampaikan Paulus dalam bagian ini akan menjadi jelas apabila kita mengetahui bahwa kata “mempergunakan” yang muncul dua kali dalam bagian ini memakai kata Yunani yang berbeda. Yang pertama adalah craomai (“menggunakan”), yang kedua adalah katacraomai (“menggunakan sepenuhnya”). Dengan pembedaan ini Paulus ingin mengajarkan bahwa semua yang diciptakan Allah di dunia ini memang baik dan boleh digunakan (bdk. 1Tim. 4:4), tetapi tidak boleh digunakan sepenuhnya. Artinya, orang Kristen tidak boleh terpaku pada barang-barang tersebut, sehingga kalau barang itu tidak ada maka kita merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidup kita.

Paulus sendiri memberi teladan yang baik dalam hal ini. Sebagai seorang rasul ia memiliki hak untuk diberi upah dan menggunakan tunjangan hidup itu (1Kor. 9:1-14). Walaupun ia berhak menggunakan hak itu, namun ia memilih untuk tidak menggunakannya (9:15-18). Ini merupakan contoh bagaimana seseorang mampu tidak menggunakan apa yang sebenarnya bisa ia gunakan. Ia bisa melakkan ini karena ia menyadari bahwa fokus hidup orang Kristen bukanlah menikmati keindahan dunia semau kita. Semua yang kita miliki adalah dari, oleh dan untuk Allah (Rm. 11:36).


Alasan (ay. 31b)
Kata sambung “sebab” di ayat ini menyiratkan alasan. Lebih spesifik, alasan bagi pemikiran Paulus di ayat 29a. Mengapa waktunya singkat (ay. 29a)? Karena dunia akan berlalu. Ajaran ini merupakan doktrin yang umum di kalangan orang Kristen abad pertama (1Yoh. 2:17; 2Ptr. 3:10). Bentuk present tense “berlalu” (paragei, kontra LAI:TB “akan berlalu”) menunjukkan bahwa proses yang dimaksud Paulus sudah berlangsung pada jamannya.

Frase “dunia yang kita kenal sekarang” (LAI:TB/NIV) dalam teks Yunani adalah to schēma tou kosmou. Versi Inggris menerjemahkan kata schma di sini dengan “form” (NIV/NASB/RSV) atau “fashion” (KJV/YLT). Kata Yunani schēma memang sering mengandung makna sesuatu yang tampak dari luar. Dalam literatur di luar Alkitab kata ini juga sering kali dipakai dalam konteks teater ketika pemain memakai pakaian, topeng dan kostum tertentu untuk memerankan suatu tokoh yang berbeda dengan dirinya yang sebenarnya. Melalui pemilihan kata ini Paulus mengingatkan bahwa apa pun yang kita lihat dari dunia ini – betapa pun indahnya hal itu – tidak akan memiliki karakter atau sifat yang permanen. Sama seperti para pemain teater yang harus segera menanggalkan kostum dan topeng mereka serta masuk dalam kehidupan sehari-hari, demikian pula dunia ini akan berlalu. Yang tetap bertahan adalah nilai-nilai kekal yang muncul dari penggunaan hal-hal yang sementara. Soli Deo Gloria. #





Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 26 Juli 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2029-31.pdf

No comments: