04 March 2008

Matius 9:9-13: WHO THE SINNER IS?

Ringkasan Khotbah : 24 April 2005
Who the Sinner is?
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 9:9-13


Pendahuluan
Hari ini kita kembali menajamkan tentang separasi yang berasal dari kata kudus atau kadosh (bahasa Ibrani) yaitu pemisahan antara orang yang berada di dalam Kristus dengan orang yang berada di luar Kristus. Hati-hati jangan tertipu dengan segala sesuatu yang kelihatan secara fenomena yang kelihatan saleh dan beragama tetapi sesungguhnya dia bukanlah seorang pengikut Tuhan sejati. Bagaimanakah seharusnya sikap seorang pengikut Tuhan sejati? Matius memberikan kesaksian tentang perubahan drastis yang terjadi dalam hidupnya, yakni dari seorang pemungut cukai menjadi pengikut Kristus. Matius tidak menulis dengan panjang lebar (Mat. 9:9). Matius adalah seorang Yahudi tetapi ia lebih memilih menjadi pemungut cukai, dicap sebagai seorang pengkhianat dan dikucilkan oleh bangsanya, semua itu ia lakukan karena satu alasan, yaitu uang. Orang rela melakukan apapun demi untuk uang bahkan ada orang yang mau berlaku seperti binatang. Orang lupa kalau dirinya dicipta menurut gambar dan rupa Allah yang begitu mulia dan harus mempertahankan harkat.
Matius merasakan hidupnya kosong dan ternyata uangnya yang banyak itu tidak dapat menolongnya. Di tengah kondisi yang desperate itu Tuhan Yesus datang dan berkata, “Ikutlah Aku“. Tanpa berpikir panjang lagi Matius langsung meninggalkan pekerjaannya dan mengikut Tuhan Yesus. Pertanyaannya sekarang adalah apakah Matius rugi dan menyesal setelah mengikut Kristus? Jawabnya: tidak, Matius sangat bersyukur atas anugerah Tuhan. Bandingkanlah dengan sikap yang ditunjukkan oleh orang Farisi dan ahli Taurat, mereka menganggap dirinya yang paling benar karena telah mentaati lebih dari 600 peraturan. Tuhan Yesus tidak suka dan menegur sikap mereka yang munafik. Matius menyadari bahwa di luar sana masih banyak orang yang hidup bergelimang dalam dosa karena itu ia mengundang semua pemungut cukai dalam pestanya dimana Tuhan Yesus yang menjadi tuan rumahnya. Matius ingin supaya orang-orang berdosa ini bertemu dengan Tuhan Yesus dan mendapat keselamatan seperti yang ia alami.
I. Perbedaan Posisi
Orang Farisi berkata kepada murid-murid Yesus, “Mengapa gurumu makan bersama dengan pemungut cukai dan orang-orang berdosa?“ Dengan kata lain mereka hendak mengatakan bahwa Yesus, seorang Rabbi Yahudi maka tidak seharusnya Ia bersama pemungut cukai dan orang berdosa tetapi Dia seharusnya ada bersama dengan orang Farisi dan ahli Taurat. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang mendasari atau yang menjadi pola pikir mereka sehingga berpikir kalau Yesus salah posisi? Sesungguhnya yang salah posisi bukan Tuhan Yesus tetapi orang Farisi dan ahli Taurat. Tuduhan mereka terhadap Tuhan Yesus membuktikan mereka tidak mengenal dirinya sendiri sebab dimana kita berada itu menunjukkan seberapa jauh kita “tahu diri“. Ciri-ciri orang yang tahu diri, yaitu: 1) kenal diri, 2) tahu dimana posisi, 3) tahu apa ia kerjakan sebagai eksistensi manusia. Ketika pertama kali manusia jatuh ke dalam dosa, Allah juga menanyakan keberadaan posisi: “Dimanakah engkau?“ (Kej. 3:9).
Secara fenomena orang Farisi kelihatan baik tapi sesungguhnya mereka sangat licik, mereka ingin menguasai Yesus. Hati-hati, di dunia modern ini banyak orang yang kelihatan baik tetapi di balik kebaikan itu sebenarnya ada motivasi buruk. Inilah sifat manusia berdosa. Memang siapakah manusia sehingga berani mempersalahkan Tuhan? Tuhan Yesus tahu dimana seharusnya Ia berada, yakni berada di tengah-tengah orang berdosa yang tahu diri kalau dirinya adalah orang berdosa dan memerlukan penyelesaian; bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Orang Farisi tidak beda dengan pemungut cukai yakni sama-sama orang berdosa maka seharusnya mereka juga berada di posisi yang sama seperti pemungut cukai. Seandainya orang Farisi menyadari dirinya orang berdosa dan mau bertobat maka ia pasti ada di posisi yang sama seperti pemungut cukai. Orang Farisi telah membuat garis pemisah, mereka ingin Tuhan Yesus ada di posisi mereka tetapi mereka tidak mau Tuhan Yesus memimpin hidup mereka. Garis pemisah ini tidak pernah mempertemukan keduanya; kemungkinan yang terjadi adalah salah satu harus pindah, Tuhan Yesus bergabung dengan orang Farisi atau orang Farisi yang harus bergabung dengan Tuhan Yesus. Dimanakah positioning kita? Kalau kita merasa diri hebat, saleh, dan tidak berdosa maka sadar dan bertobatlah justru pada saat itu kita adalah orang yang paling berdosa dan seharusnya kita berada di posisi para pemungut cukai. Di tengah dunia ini banyak orang yang berdosa yang berpikir kalau Tuhan Yesus yang harus ada bersama mereka, Tuhan Yesus yang harus tunduk dan taat padanya. Salah! Tuhan Yesus menegur dengan keras karena Dia ingin menyadarkan manusia supaya kembali pada posisi yang tepat karena selama ini manusia tidak sadar kalau telah salah posisi, kita telah mengalami keterkiliran posisi. Kalau kita masih mengeraskan hati dan tidak mau pindah ke posisi pemungut cukai, berarti kita adalah orang yang tidak tahu diri, kita tidak mengenal siapa diri kita yang sesungguhnya.
Celakanya, manusia mencoba menyelesaikan semua persoalan manusia melalui pendekatan psikologi yang baru muncul di abad ke-20 yang merupakan hasil humanisme modern. Padahal dari keempat mazhab besar, yaitu: 1) psikoanalisa, 2) behaviorism, 3) humanism, 4) mystical, tidak ada satu pun mazhab yang memahami: pertama, manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah, manusia tidak kenal siapa dirinya tapi berteori tentang diri sendiri dan memakai istilah psikologi; kedua, manusia adalah manusia berdosa, orang tidak mau mengakui dirinya berdosa tetapi orang lebih suka mengatakan dosa itu sebagai akibat kegagalan dari masa lalu maka tidaklah heran kalau manusia sukar kembali pada Tuhan. Dan celakanya, hari ini seluruh kurikulum sekolah dibasiskan pada psikologi. Inilah yang disebut sebagai keterkiliran posisi, kita tidak tahu posisi diri kita dimana karena itu hendaklah kita sadar bahwa kita adalah orang berdosa dan seharusnya dimurka Tuhan namun Tuhan masih berbelas kasihan pada kita, Dia mau mengembalikan kita pada posisi yang benar, yaitu di posisi Kristus. Akan tetapi keputusan ada ditangan kita, dimanakah kita memposisikan diri? Sebab Tuhan tidak dapat mengerjakan semua ini pada orang yang memang mau memisahkan diri dari Kristus.
II. Perbedaan Konsep Dosa
Orang Farisi membenci Tuhan Yesus karena Tuhan Yesus makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa. Perhatikan kata “berdosa“, sinners disini berarti orang Farisi ini menuduh pemungut cukai dan orang lain yang duduk bersama Kristus sebagai orang berdosa. Kristus tahu apa yang ada dalam pikiran orang Farisi maka Tuhan Yesus berkata: “Jadi, pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar melainkan orang berdosa (sinners).“ Orang Farisi dan Tuhan Yesus memakai kata yang dipakai sama, yakni sinners tetapi definisinya berbeda. Orang Farisi memakai kata “berdosa“ sifatnya eksklusif, yaitu hanya untuk orang-orang yang duduk bersama Kristus saja dan dirinya bukanlah termasuk dalam golongan orang berdosa. Tuhan Yesus justru menggunakan kata “berdosa“ yang sifatnya insklusif, yakni semua manusia berdosa tidak terkecuali orang Farisi.
Konsep orang Farisi tentang dosa adalah hubungan di dalam relasi horisontal maka mereka pikir kalau mereka tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain berarti mereka tidak berdosa begitu juga kalau mereka tidak melanggar peraturan yang ada tertulis berarti mereka tidak berdosa. Bukankah konsep dosa orang Farisi ini sampai sekarang juga sama? Dunia mengajarkan kalau kita tidak melanggar peraturan maka secara pasif orang tidak berdosa, berarti kalau saya tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak bersaksi dusta, tidak mengingini milik orang lain dan menghormati orang tua berarti saya adalah orang baik. Orang yang merasa diri baik justru membuktikan kalau dia bukanlah orang baik sebab ia membandingkan diri dengan orang lain yang lebih jelek darinya. Tidak ada orang baik yang mengaku dirinya baik, orang baik selalu mengasumsikan diri kurang baik. Orang Farisi merasa dirinya baik, hal ini dapat kita lihat pada sikap dan isi doa mereka; mereka berdoa di tempat dimana banyak orang bisa melihat dan cara mereka berdoa adalah membandingkan diri dengan orang lain yang lebih jelek, seperti pemungut cukai misalnya. Alkitab mencatat ada seorang anak muda yang kaya mendatangi Yesus, ia merasa diri baik karena telah melakukan semua hukum Taurat. Benarkah demikian? Ketika Tuhan Yesus menyuruh dia untuk menjual seluruh hartanya dan mengikut Dia, anak muda ini langsung pergi. Hal ini membuktikan kalau sesungguhnya ia tidak mengasihi Tuhan, ia tidak melakukan semua hukum Taurat, ia hanya melakukan hukum Taurat yang sifatnya horisontal, yakni hukeum ke enam sampai hukum ke sepuluh saja. Kalau seandainya hari itu Tuhan Yesus hanya meminta 10% dari seluruh hartanya pastilah anak muda ini bersedia melakukannya. Bahkan kalau Tuhan meminta 50% dari hartanya maka demi untuk mendapatkan Sorga, ia pasti akan rela menjual hartanya namun Tuhan tahu sifat manusia yang humanis materialis ini karena itu Tuhan menyuruhnya untuk menjual seluruh hartanya, Tuhan ingin mereka taat. Ukuran dosa bukanlah urusan berbuat baik menurut standar manusia. Tidak!
Tuhan Yesus menghubungkan konsep dosa secara vertikal; dosa terkait dengan melakukan kehendak Tuhan, dosa terkait dengan ketaatan kepada Tuhan. Dosa kalau kita melawan Tuhan, kita tahu kita seharusnya taat pada apa yang menjadi kehendak-Nya tetapi kita tidak melakukan dan mengabaikan-Nya maka kita sudah berdosa. Tuhan ingin supaya kita memberitakan Injil, melayani dan hidup menjadi kesaksian indah bagi dunia tapi kita mengabaikannya maka kita sudah berdosa. Tuhan Yesus menegaskan bukan orang yang berseru: Tuhan, Tuhan yang akan masuk dalam Kerajaan Sorga tetapi mereka yang melakukan kehendak Bapaku yang di Sorga, dialah yang akan masuk dalam Kerajaan Sorga. Di hadapan Tuhan manusia sama, yaitu sama-sama berdosa, we are sinners maka jangan seorangpun menyombongkan diri dan merasa diri baik. Kalau kita memahami konsep dosa seperti yang Kristus mengerti maka kita berada di pihak Kristus tapi kalau kita mengerti dosa sama seperti orang Farisi maka kita terpisah dari Kristus. Dosa di dalam konsep Kekristenan jauh lebih dalam dari yang dunia mengerti. Biarlah kita peka akan kehendak Tuhan dengan demikian kita tidak berbuat dosa dan segala sesuatu yang kita kerjakan sesuai dengan kehendak Tuhan.
III. Perbedaan Arah Pandang
Pada umumnya, orang ketika memperhatikan segala sesuatu, arah pandangnya selalu dari dirinya dan dikenakan kepada Allah. Manusia bukanlah pusat yang menjadi titik sudut proyeksi dari gambar diri kita sendiri karena itu pemilihan perspektif tidak boleh dari sudut manusia kepada Allah dan sekelilingnya. Kita harusnya melihat dari arah pandang Tuhan, bagaimana segala sesuatunya kita mengerti dari arah yang tepat, sehingga cara kita mengimplikasi tepat sesuai dengan kehendak-Nya. Orang Farisi memandang dari sudut pandangnya sendiri, yakni ia merasa dirinya sudah saleh karena telah melakukan semua peraturan dan ritual agama tetapi perhatikan apa yang dikatakan Tuhan Yesus: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan bukan persembahan. Sebagai contoh, seorang anak kecil melihat pekerjaan kakaknya yang begitu banyak maka ia ingin membantu meringankan pekerjaan kakaknya tersebut. Tanpa sepengetahuan kakaknya ia mengerjakan pekerjaan tersebut dan sungguh di luar dugaan sang kakak, apa yang dilakukan adiknya justru tidak membantunya malah mengacaukannya. Terkadang, kita pun sama seperti anak kecil ini, kita merasa berjasa pada Tuhan karena telah melayani dan memberikan persembahan. Tidak! Memang siapakah kita merasa sudah menolong Tuhan? Kita justru seringkali melawan Tuhan, apa yang Tuhan ingin kita kerjakan justru tidak kita lakukan dan sebaliknya kita justru melakukan pekerjaan yang dibenci Tuhan. Biarlah kita peka akan kehendak Tuhan dengan demikian kita melihat pekerjaan Tuhan bukan dari sudut pandang kita.
Kita seharusnya bertanya pada Tuhan terlebih dahulu, kita bergumul apakah segala sesuatu yang kita kerjakan sudah sesuai dengan kehendak-Nya? Biarlah kita mengevaluasi diri kita masing-masing, jangan-jangan di dalam pelayanan kita justru telah berdosa maka segeralah minta ampunan pada-Nya. Mungkin Tuhan justru ingin kita melakukan pekerjaan yang memang tidak kita suka. Hendaklah kita peka akan pimpinan dan kehendak Tuhan dengan demikian kita tidak berdosa. Ini merupakan dua arah yang berbeda, total separated. Dan kalau sudah jelas dengan pimpinan Tuhan dan kehendak Tuhan maka kita harus mengerjakannya dan jangan takut sebab Tuhan pasti tidak akan membiarkan kita berjalan sendiri. Ingat, bukan berarti orang yang melayani maka ia tidak berdosa. Tidak! Orang Farisi telah membuktikan justru di dalam kesalehannya, ia telah berbuat dosa. Paulus di dalam semangatnya melayani “tuhan“, dia telah menganiaya Kristus. Biarlah kita bertobat dan kembali kepada Tuhan dengan demikian hidup kita diarahkan oleh Firman, kita peka akan kehendak Tuhan dan seluruh paradigma, prinsip dan direction kita diubahkan dengan demikian kita semakin serupa Kristus. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 6:5-11: IMPLIKASI PERBEDAAN ESENSIAL-3: Kehidupan yang Mati Vs Kematian yang Hidup-2

Seri Eksposisi Surat Roma :
Manusia Lama Vs Manusia Baru-5


Implikasi Perbedaan Esensial-3 :
Kehidupan yang Mati Vs Kematian yang Hidup-2


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 6:5-11.

Setelah mempelajari tentang implikasi perbedaan manusia pertama dan kedua poin kedua yaitu kehidupan yang mati vs kematian yang hidup di pasal 6 ayat 1 s/d 4, kita akan meneruskan prinsip ini mulai ayat 5 sampai dengan ayat 11.

Apa arti dibaptiskan di dalam kematian-Nya dan memperoleh hidup baru di dalam kebangkitan-Nya ? Di ayat 5, Paulus menjelaskannya, “Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya.” Ayat ini diterjemahkan dalam King James Version, “For if we have been planted together in the likeness of his death, we shall be also in the likeness of his resurrection:” Kata planted together dalam ayat ini berarti ditanamkan bersama atau united to (dipersatukan kepada). Dengan kata lain, dibaptiskan di dalam kematian-Nya berarti dipersatukan dalam kematian-Nya. Matthew Henry di dalam tafsirannya Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible memaparkan, “Planting is in order to life and fruitfulness: we are planted in the vineyard in a likeness to Christ, which likeness we should evidence in sanctification.” (=penanaman adalah agar supaya hidup dan berbuah : kita ditanam di dalam kebun anggur di dalam keserupaan dengan Kristus, yang keserupannya itu kita harus buktikan di dalam pengudusan.) Di sini, Matthew Henry mengaitkan konsep ditanam dengan tujuan ditanam yaitu agar hidup dan berbuah. Ditanam di dalam apa ? Paulus menjelaskan bahwa kita yang termasuk umat pilihan-Nya ditanam di dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Ditanam di dalam kematian-Nya berarti kita ikut mati bersama Kristus. Dengan kata lain, karena Kristus sudah mati bagi kita, hendaklah kita pun harus mematikan seluruh dosa kita. Dosa-dosa itu termasuk di dalam perbuatan daging yang tercantum di dalam Galatia 5:19-21, yang meliputi, “percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya.” Kelimabelas tindakan kedagingan ini (di dalam King James Version ada 17 tindakan) adalah tindakan-tindakan yang tidak diperkenan Allah. Selanjutnya, kita juga ditanam di dalam kebangkitan-Nya, artinya kita bukan hanya tidak berlaku hal-hal kedagingan saja, tetapi juga kita harus berinisiatif melakukan hal-hal yang memuliakan Allah.

Apa arti ditanam/menjadi satu di dalam kematian-Nya ? Pada ayat 6-7, Paulus menjelaskan lebih dalam, “Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa. Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa.” Pernyataan “Karena kita tahu,” menunjukkan bahwa jemaat Roma sebenarnya sudah mendengar pengajaran ini, sehingga Paulus perlu mengulanginya lagi untuk mengingatkan jemaat Roma (dan tentu juga kita) dengan mengaitkannya dengan kematian kita terhadap dosa. Sebagai manusia baru, kita harus mematikan manusia lama kita. Kata “lama” pada manusia lama dalam bahasa Inggris adalah old diterjemahkan dari bahasa Yunani palaios berarti antik/kuno. Kata antik mengingatkan kita akan barang-barang antik yang sudah usang, demikian pula manusia lama seharusnya berarti manusia yang sudah usang yang harus diperbaharui total. Definisi inti dari ditanam/menjadi satu di dalam kematian-Nya (atau mematikan manusia lama kita), adalah ikut disalibkan. Disalibkan dalam bahasa Yunani sustauroō berarti ditusuk dengan sesuatu yang tajam. Demikian pula, kita ikut disalibkan berarti kita ikut ditusuk oleh salib Kristus. Ditusuk adalah sesuatu yang menyakitkan. Itulah gambaran kita menyalibkan dosa-dosa kita, yaitu menyakitkan. Ketika kita berani menyalibkan dosa kita, itu mungkin terasa sakit sekali, karena kita berani menekan bahkan mematikan keinginan daging kita yang berdosa, tetapi ada akibat/efek positif (yang terjadi bersamaan) yang Tuhan singkapkan bagi kita, yaitu :
Pertama, tubuh dosa kita kehilangan kuasanya. King James Version (KJV) menerjemahkannya destroyed artinya dihancurkan. Ketika kita berani menyalibkan dosa kita dengan “menusuk”nya (bukan arti harafiah), itu berarti kita sedang menhancurkan tubuh dosa kita. Ini tidak berarti kita menyayat tubuh jasmani kita seperti yang dilakukan oleh para bidat dan pemuja berhala yang mengajarkan askese (bertarak diri). Kata body di dalam KJV diterjemahkan dari bahasa Yunani bisa berarti budak (slave). Hal ini berarti kita berani menekan keinginan daging kita yang melawan Allah. Atau dengan kata lain kita berani tidak lagi menjadi budak dosa. Hal ini lah yang ditegaskan Allah melalui Paulus dengan memperingatkan kita bahwa kita tidak boleh lagi menghambakan diri terhadap dosa (atau “melayani dosa” di dalam terjemahan KJV).
Kedua, kita bebas dari dosa. Kata “bebas dari dosa” dalam KJV diterjemahkan dibebaskan dari dosa. Dalam bahasa Yunani dikaioō, pernyataan ini berarti kita dijadikan benar/adil (just) atau tidak bersalah (innocent). Ketika kita telah mematikan dosa kita, pada saat yang sama, kita telah dijadikan benar/dibebaskan dari dosa. Hati-hati menafsirkan bagian ini. Hal ini tidak berarti setelah kita berbuat baik melawan dosa, baru kita dibenarkan. Itu ajaran Arminian yang melawan prinsip penting Alkitab, yakni kedaulatan Allah. Hal ini berarti kita dapat mematikan dosa karena Kristus telah melakukannya bagi kita, sehingga tidak ada satu inci jasa baik yang manusia lakukan yang menjadi syarat dirinya dibenarkan oleh Allah (karena semua manusia berdosa dan mengurangi kemuliaan Allah—bandingkan Roma 3:23).

Setelah kita mematikan dosa, apa yang harus kita lakukan selanjutnya ? Paulus menjelaskannya di ayat 8, “Jadi jika kita telah mati dengan Kristus, kita percaya, bahwa kita akan hidup juga dengan Dia.” Jika kita telah mati dengan Kristus atau telah mematikan dosa, maka kita beriman juga bahwa kita akan hidup/bertahan bersama dengan Dia. Kata “hidup dengan” (KJV : live with) dalam ayat ini dalam bahasa Yunani bisa berarti co-survive yaitu terus hidup/bertahan. Dengan kata lain, kematian-Nya dan kematian kita terhadap dosa mengakibatkan kita bisa percaya dan memiliki daya tahan hidup di dalam dan bersama Kristus. Berarti kita memiliki hidup yang berkelimpahan di dalam Kristus (Yohanes 10:10b) meskipun kita harus menanggung aniaya dan derita demi nama-Nya. Inilah pengharapan orang Kristen yang termasuk anak-anak Allah, yaitu beriman di dalam kehidupan bersama Kristus selama-lamanya (meskipun tetap harus melewati kematian fisik). Tidak ada pengharapan di dalam agama atau filsafat apapun di sepanjang sejarah dunia yang lebih indah daripada pengharapan yang dijumpai di dalam Kristus, yaitu hidup bersama-sama di dalam Kristus selama-lamanya di Surga. Adalah sangat idiot bagi mereka termasuk banyak “hamba Tuhan”/“pendeta” yang tidak beriman di dalam pengharapan ini (tetapi ber“iman” di dalam pluralisme/social “gospel”). Dari mana kita mendapatkan kepastian hidup ini ?

Kita mendapatkan kepastian ini karena kebangkitan Kristus, seperti dijelaskan Paulus di ayat 9-10, “Karena kita tahu, bahwa Kristus, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia. Sebab kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya, dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Allah.” Kristus yang telah disalibkan, pada hari ketiga, Ia bangkit. Setelah Ia bangkit, Paulus mengungkapkan bahwa Ia tidak mati lagi, mengapa ? Karena maut tidak berkuasa lagi (memerintah) atas Dia. Dengan kata lain, kebangkitan-Nya telah mematikan dan mengalahkan maut. Hal ini juga dijelaskan oleh Rasul Paulus di dalam 1 Korintus 15:56-57, “Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat. Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” Kemenangan di dalam kebangkitan-Nya menjamin kita juga menang mengalahkan kuasa dosa, iblis dan maut. Lalu, di ayat 10, Paulus mulai mengaitkan konsep kematian dan kebangkitan-Nya dengan periode waktu dan tujuannya, yaitu kematian dan kebangkitan-Nya terjadi hanya satu kali (tidak terulang) dan untuk selama-lamanya, serta bagi Allah. Ini berarti :
Pertama, kematian dan kebangkitan Kristus adalah satu-satunya peristiwa terpenting di sepanjang sejarah yang mutlak tidak boleh diulang oleh pribadi siapapun bahkan di dalam event kapanpun, karena kematian dan kebangkitan Kristus itu unik dan memiliki finalitas yang tak dijumpai di dalam agama apapun (bandingkan Ibrani 9:28). Mengutip pernyataan dari Pdt. Dr. Stephen Tong, semua pendiri agama mati, tetapi Kristus mati dan bangkit, itulah finalitas Kristus yang mutlak. Melawan ini, berarti melawan Allah dan tidak layak disebut Kristen sejati (apalagi disebut anak-anak Tuhan).
Kedua, kematian dan kebangkitan Kristus berlaku untuk selama-lamanya (melampaui ruang dan waktu). Dengan kata lain, sifat kematian dan kebangkitan-Nya adalah kekal, mengapa ? Karena Kristus adalah Allah sekaligus manusia yang melampaui kesementaraan. Ini berarti kematian dan kebangkitan-Nya bukan hanya berlaku bagi orang-orang zaman modern tetapi juga zaman postmodern bahkan sampai selama-lamanya. Tidak ada jangka waktu berlaku di dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Puji Tuhan, ketika para pendiri agama dunia meninggal, kematian mereka tak berdampak apapun, tetapi kematian ditambah kebangkitan Kristus sangat berdampak penting bagi hidup umat pilihan Allah, mengapa ? Karena kematian dan kebangkitan-Nya menggenapkan rencana keselamatan Allah bagi kita, sedangkan kematian para pendiri agama hanya kematian manusia berdosa yang tak berdampak apapun (khusus bagi keselamatan manusia).
Ketiga, kematian dan kebangkitan Kristus diperuntukkan bagi Allah. Kristus mati menebus dosa manusia BUKAN bagi setan, karena BUKAN setan yang menjadi obyek hutang dosa manusia, tetapi Allah. Sehingga ketika Kristus menebus dosa kita, Kristus membayarkan hutang dosa kita kepada Allah, karena ketika manusia berdosa, manusia berhutang kepada Allah (=tidak berjalan menurut kehendak dan kedaulatan-Nya). Demikian juga, kebangkitan Kristus adalah kebangkitan/kehidupan bagi Allah, karena Ia telah menang dan selesai menggenapkan rencana keselamatan Allah untuk seterusnya disempurnakan melalui karya Roh Kudus di dalam hati umat pilihan-Nya.
Adalah sangat konyol jika ada “pendeta”/“pemimpin gereja” yang melawan bahkan menghina pengorbanan Kristus dengan menyamakan Kristus dengan para pendiri agama lain. Terhadap bidat ini, kita harus mati-matian menolak mereka dan kembali kepada Kristus serta jangan lupa untuk mendoakan mereka agar mereka bertobat dari kesesatan mereka kepada Alkitab dan Kristus.

Setelah menguraikan dua ayat tentang kematian dan kebangkitan Kristus, Paulus langsung mengimplikasikannya di ayat 11, “Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus.” Karena Kristus telah mati dan bangkit bagi Allah, maka kita pun harus mematikan dosa kita dan harus hidup bagi Allah. Apa bedanya kematian Kristus terhadap dosa dan kematian kita terhadap dosa ? Di ayat 10 tadi sudah dijelaskan bahwa kematian Kristus terhadap dosa hanya terjadi sekali (satu kali) untuk selama-lamanya, sedangkan kematian kita berlangsung berkali-kali (artinya di dalam proses) menuju kepada kesempurnaan. Dengan kata lain, kematian Kristus memungkinkan kita berani dengan kuasa-Nya mematikan dosa-dosa kita. Selanjutnya, setelah mematikan dosa, kita harus hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. Terjemahan KJV menambahkan kata our Lord setelah Kristus Yesus (sedangkan LAI tidak mencantumkannya). Mengapa kata our Lord begitu signifikan? Karena hidup bagi Kristus bukan hanya beriman di dalam Kristus sebagai Juruselamat dan Penebus dosa saja, tetapi juga beriman di dalam Kristus sebagai Tuhan/Raja yang memerintah hidup kita. Dengan kata lain, hidup bagi Kristus adalah hidup yang men-Tuhan-kan Kristus di dalam kehidupan sehari-hari demi kemuliaan Allah. Bagaimana dengan kita ? Sudahkah kita menyerahkan hidup kita untuk dikuasai sepenuhnya oleh Kristus sebagai Raja, Tuhan dan Pemilik hidup kita ? Itulah tandanya kita manusia baru. Amin. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-45: DOKTRIN YANG SULIT MENGENAI KASIH ALLAH (Rev. Prof. Donald A. Carson, Ph.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
THE DIFFICULT DOCTRINE OF THE LOVE OF GOD
(DOKTRIN YANG SULIT MENGENAI KASIH ALLAH)

oleh: Rev. Prof. Donald A. Carson, Ph.D.

Penerbit : Momentum Christian Literature, 2007

Penerjemah : Daniel Setiawan.





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio :
Sepintas lalu, mungkin doktrin mengenai kasih Allah tidaklah sulit, bahkan perdebatan theologia yang muncul di sepanjang sejarah gereja berkenaan dengan Trinitas, Predestinasi, dll. Tetapi benarkah doktrin yang tidak sulit ini benar-benar dipahami oleh orang Kristen ? Bukankah banyak orang Kristen akibat terpaan postmodernisme menawarkan suatu “iman” bahwa seolah-olah Allah itu hanya Mahakasih, selalu mengampuni siapapun yang bersalah ? Lalu, di mana suara keadilan, kemarahan, kesucian Allah di dalam zaman postmodern ini ? Inilah krisis zaman yang dibukakan oleh Dr. Donald A. Carson di dalam Bab 1 buku ini : Mengenai Pendistorsian Terhadap Kasih Allah. Selanjutnya, Dr. Carson mulai memaparkan tesis utamanya di Bab 2 : Allah adalah Kasih, lalu dilanjutkan dengan mengaitkan Kasih Allah dengan Kedaulatan dan Murka Allah di Bab 3 dan 4. Biarlah sebagai orang Kristen, kita mampu mengerti bahwa Allah yang Mahakasih juga adalah Allah yang Berdaulat, Mahakudus, Mahaadil dan Kekal. Memisahkan atribut-atribut Allah ini dan hanya mengerti Allah sebagai Allah yang Mahakasih saja berarti menghina Allah di tempat kudus-Nya.







Profil Rev. DR. DONALD A. CARSON :
Rev. Prof. Donald A. Carson, Ph.D. adalah Profesor Riset bidang Perjanjian Baru di Trinity Evangelical Divinity School. Beliau meraih gelar Bachelor of Science (B.Sc.) in chemistry dari McGill University; Master of Divinity (M.Div.) dari Central Baptist Seminary di Toronto, dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam bidang Perjanjian Baru dari Cambridge University.