07 July 2008

Roma 9:6-8: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-2: Penyingkapan Realita Pembeda

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-2


“Israel” Sejati atau Palsu-2: Penyingkapan Realita Pembeda

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 9:6-8

Setelah mempelajari tentang pendahuluan dan pemaparan Paulus tentang bangsa Israel dan apa yang mereka peroleh di ayat 1 s/d 5, selanjutnya kita akan mempelajari lebih dalam lagi tentang perbedaan Israel sejati dengan yang palsu di mana Allah melalui Paulus menyingkapkan realita pembeda ini. Di dalam bagian ini, kita hanya merenungkan ayat 6 s/d 8 saja. Realita pembeda akan semakin jelas dinyatakan pada ayat-ayat sesudahnya dengan adanya pemilihan Yakub/Israel dan penolakan Esau, dan seterusnya.

Setelah memaparkan semua realita tentang Israel yaitu Israel mendapat wahyu Allah secara khusus dengan lima hal yang diperoleh Israel (ayat 4), maka Allah melalui Paulus menyingkapkan suatu realita yang belum pernah dibukakan secara jelas sebelumnya, yaitu, “Akan tetapi firman Allah tidak mungkin gagal. Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel,” (ayat 6) English Standard Version (ESV) menerjemahkan, “But it is not as though the word of God has failed. For not all who are descended from Israel belong to Israel,” (=tetapi hal ini tidak berarti seolah-olah firman Allah telah gagal. Karena tidak semua yang lahir dari {keturunan} Israel menjadi milik/bagian dari Israel,) Terjemahan LAI dalam hal ini kurang jelas, sedangkan terjemahan ESV dapat memperjelas ayat ini. Mungkin jemaat Roma pada waktu itu bertanya-tanya tentang status Israel. Bukankah mereka (secara bangsa) mengklaim diri sebagai umat pilihan Allah, tetapi kelakuan mereka sangat munafik, tidak sesuai dengan hukum Allah? Lalu, akibatnya, mereka mengajukan pertanyaan bahwa jika Israel kelakuannya munafik, bagaimana dengan Allah mereka? Apakah Allah mereka juga munafik dan plin-plan seperti mereka? TIDAK. Paulus menjelaskan semua kemungkinan tuduhan tersebut dengan penjelasan bahwa meskipun seolah-olah itu semua kelihatan bahwa tindakan Allah memilih umat-Nya, Israel adalah tindakan yang gila, tetapi sebenarnya firman Allah tidak mungkin gagal. Mengapa? Karena yang disebut Israel yang sejati bukan Israel secara kebangsaan. Struktur bahasa Yunani pada kata Israel dalam kalimat kedua pada ayat ini sangat unik. Pada kata pertama, “Israel” menggunakan bentuk genitive (milik), sedangkan kata kedua, “Israel” menggunakan bentuk nominative (=nominatif/sebagai pokok kalimat bagi suatu kata ganti nominatif, misalnya: I, she, he, dll). Dengan kata lain, arti dari kalimat kedua ini adalah bahwa tidak semua orang yang milik (=dilahirkan dari) Israel merupakan bagian dari Israel. Israel pertama menunjuk Israel secara bangsa, sedangkan Israel kedua menunjuk pada Israel sejati, tidak tergantung pada bangsa. Dulu, orang Israel selalu membanggakan diri sebagai umat pilihan Allah. Mereka tidak segan-segan berdoa di pasar, di jalan raya, dll untuk menunjukkan kesalehan mereka sebagai umat pilihan Allah. Tidak tanggung-tanggung, mereka bahkan “memuji” diri mereka karena tidak seperti para pemungut cukai, atau orang kusta atau yang “najis” lainnya, lalu disusul dengan pengakuan sendiri bahwa diri mereka aktif berpuasa, berdoa, dll. Semua tindakan munafik ini pernah dikecam oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 23, dan dilanjutkan oleh Paulus di dalam bagian ini dengan menjelaskan lebih dalam yaitu tidak semua orang yang mengaku dilahirkan dari Israel adalah benar-benar Israel. Albert Barnes dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menafsirkan, “Not all the descendants of Jacob have the true spirit of Israelites, or are Jews in the scriptural sense of the term;...” (=tidak semua keturunan Yakub memiliki spirit Israel yang sama, atau Yahudi di dalam pengertian Alkitabiah ;...) Lebih lanjut, Barnes merujuk kepada Roma 2:28-29 tentang perbedaan antara Israel palsu (terlihat dari luar/secara fisik) dengan Israel yang sejati (tidak terlihat dari luar). Contoh Israel palsu ini juga dijiplak dengan jelas oleh para pemeluk agama mayoritas di Indonesia, di mana ketika mereka “beribadah”, suara yang dibunyikan di tempat ibadah mereka sangat keras mengganggu orang-orang di sekitarnya. Tujuannya? Jelas, untuk membuktikan bahwa mereka sedang “beribadah”. Bukan hanya bagi orang Israel dan orang dunia, hal ini juga berlaku bagi kita sebagai orang Kristen. Kita sebagai orang Kristen seringkali menyombongkan diri. Tidak jarang orang “Kristen” yang menyombongkan diri, menganggap diri sudah bertahun-tahun melayani di gereja, tidak lupa berpuasa, aktif memberikan persepuluhan, dll, akhirnya mereka merasa diri pasti masuk Surga. Tuhan Yesus pernah membukakan realita ini di dalam Matius 7:22, “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga?” Bukan hanya aktif berdoa, berpuasa, memberikan persepuluhan, mereka bahkan dikatakan juga menyembuhkan dalam nama “Yesus”, bahkan bernubuat demi nama “Yesus”, mengusir setan dalam nama “Yesus”, dll. Itu semua dilakukan oleh orang “Kristen” palsu yang menyamar seperti orang Kristen sejati (=anak-anak Tuhan). Rasul Paulus di dalam suratnya yang lain menegaskan, “Sebab orang-orang itu adalah rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus. Hal itu tidak usah mengherankan, sebab Iblispun menyamar sebagai malaikat Terang. Jadi bukanlah suatu hal yang ganjil, jika pelayan-pelayannya menyamar sebagai pelayan-pelayan kebenaran. Kesudahan mereka akan setimpal dengan perbuatan mereka.” (2 Korintus 11:13-15) Konteks pada waktu itu adalah jemaat Korintus masih jemaat yang kekanak-kanakan (childish), mudah goyah, mudah diombang-ambingkan oleh berbagai pengajaran yang tidak bertanggungjawab. Sehingga Paulus kembali mengingatkan jemaat Korintus bahwa mereka yang mengajar ajaran yang tidak sesuai dengan Injil yang diberitakannya adalah para rasul palsu yang menaati bapanya, yaitu iblis yang menyamar sebagai malaikat Terang. Bahkan kepada jemaat di Galatia, Paulus dengan keras mengutuk mereka yang memberitakan “injil” yang berbeda dari Injil Kristus yang diberitakan Paulus (Galatia 1:6-8), karena jemaat Galatia pada waktu itu juga diajar oleh Yudaisme “Kristen” bahwa keselamatan diperoleh juga dengan melakukan hukum Taurat selain percaya kepada Kristus. Pada zaman postmodern ini, Allah ingin menegur kita juga dan menyingkapkan realita pembeda yang jelas pada bagian pertama, yaitu jangan terkecoh dengan fenomena. Tidak semua fenomena mencerminkan hal yang esensial. Tidak semua orang yang menganggap diri “Kristen”, “melayani Tuhan”, dll sungguh-sungguh orang Kristen sejati (=anak-anak Allah). Kita jangan pernah terkecoh. Belajarlah selektif.

Lalu, Paulus menjelaskan kriteria pembeda yang kedua, yaitu menjelaskan esensi. Pada ayat 7, Paulus mengungkapkan, “dan juga tidak semua yang terhitung keturunan Abraham adalah anak Abraham, tetapi: "Yang berasal dari Ishak yang akan disebut keturunanmu."” Pada ayat ini, Paulus jelas mengungkapkan bahwa bukan semua keturunan/ benih (Yunani: sperma) Abraham yang termasuk anaknya, tetapi hanya keturunan dari Ishak lah yang disebut keturunan Abraham. Hal ini dikutip Paulus dari Kejadian 21:12, “Tetapi Allah berfirman kepada Abraham: "Janganlah sebal hatimu karena hal anak dan budakmu itu; dalam segala yang dikatakan Sara kepadamu, haruslah engkau mendengarkannya, sebab yang akan disebut keturunanmu ialah yang berasal dari Ishak.” Di sini, realita pembeda semakin diperjelas Paulus. Paulus bukan hanya menunjukkan bahwa tidak semua Israel adalah benar-benar Israel, tetapi ia juga menunjukkan bahwa Israel sejati adalah Israel yang berasal dari keturunan Ishak. Semua orang Israel mengklaim sebagai keturunan Abraham (baca: Yohanes 8:39a), tetapi Tuhan Yesus menjawab mereka bahwa jika mereka adalah keturunan Abraham, maka mereka akan mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan Abraham (ayat 39b). Apakah pekerjaan yang dikerjakan Abraham? Mengharapkan janji kedatangan Mesias/Kristus. Tetapi anehnya, kata Kristus, mereka hendak membunuh-Nya (ayat 40). Lebih tajam lagi, setelah orang Israel pada waktu itu menjawab bahwa bapa mereka adalah Allah, Kristus langsung membukakan realita yang jelas tanpa kompromi bahwa bapa mereka sebenarnya adalah Iblis (ayat 44), sehingga tidak heran bapa pembinasa manusia mengakibatkan para pengikutnya pun sama bengisnya ingin membunuh siapapun yang tidak sesuai dengannya, karena Iblis (dan para pengikutnya) tidak memiliki kebenaran. Sehingga tidak heran, ketika Kristus mengatakan Kebenaran, mereka tidak mau menerimanya. Lalu, Tuhan Yesus dengan tegas mengatakan bahwa barangsiapa yang berasal dari Allah, ia mendengarkan firman Allah, sebaliknya yang tidak mau mendengarkan firman-Nya, jelaslah bahwa ia tidak berasal dari Allah (ayat 47). Orang yang mendengarkan firman Allah inilah yang disebut Israel sejati yang berasal dari keturunan Ishak yang melahirkan Mesias. Silsilah Kristus di dalam Injil Matius 1:1-16 membuka penjelasan silsilah Yesus dari Abraham (baca: ayat 2). Di sini, sangat kelihatan jelas bahwa yang disebut keturunan Abraham adalah keturunan Ishak, bukan keturunan Ismael. Dengan kata lain, hanya keturunan Ishak saja, orang-orang dapat disebut keturunan Abraham. Maka, Kristus yang juga dilahirkan dari keturunan Abraham mengakibatkan barangsiapa yang percaya di dalam Kristus, mereka juga memperoleh berkat Abraham (Galatia 3:9,14). Bukan hanya secara keturunan saja, Kristus terlebih penting telah mati disalib untuk membebaskan umat pilihan-Nya dari kutuk Taurat, sehingga berkat Abraham (dibenarkan melalui iman) dapat diterima dan dinikmati oleh umat-Nya (Galatia 3:14).

Pembedaan ini semakin diperjelas di ayat 8, “Artinya: bukan anak-anak menurut daging adalah anak-anak Allah, tetapi anak-anak perjanjian yang disebut keturunan yang benar.” Israel sejati dengan Israel palsu dapat dibedakan secara esensi yaitu Israel palsu selalu mengklaim keturunan Abraham (=anak-anak Allah) secara daging, lahir dari Abraham (keturunan Abraham), tetapi Israel sejati tidak pernah mengklaim hal demikian, karena mereka tahu sebenarnya mereka adalah anak-anak perjanjian dari anugerah Allah. Pernyataan “anak-anak perjanjian” dalam teks Yunani dapat diterjemahkan: anak-anak yang dilahirkan karena janji. (Sutanto, 2003, p. 848) Struktur bahasa Yunani dalam pernyataan ini menggunakan bentuk genitive (=milik). Dengan kata lain, anak-anak perjanjian berarti anak-anak yang dilahirkan (sebagai milik) dari janji Allah. Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan ayat ini, “Itu berarti bahwa keturunan Abraham yang menjadi anak-anak Allah, adalah hanya keturunannya yang lahir karena janji Allah; dan bukan semua keturunannya.” Di sini, semakin jelas kriteria pembeda antara Israel sejati dengan Israel palsu di bagian kedua, yaitu Israel sejati adalah anak-anak yang lahir karena/melalui janji Allah di dalam Kristus. Bagaimana dengan kita? Di dunia postmodern, banyak orang mengaku diri “Kristen”, mereka HAMPIR tidak ada bedanya dengan orang Kristen sejati. Orang “Kristen” palsu juga kelihatan aktif berdoa, berpuasa, dll, bahkan berapi-api dalam melayani Tuhan. Tetapi apakah fenomena-fenomena tersebut mengindikasikan adanya kebenaran esensi bahwa orang-orang seperti itu sungguh-sungguh Kristen? TIDAK. Di bagian pertama, kita sudah belajar kriteria pembeda yaitu tidak semua yang mengaku diri “Kristen” pasti Kristen. Lalu, di bagian kedua, kita semakin tajam mempelajari kriteria pembeda ini, yaitu orang Kristen sejati (seperti Israel sejati) bukan lah Kristen secara KTP (tanpa pertobatan, hanya muncul di KTP saja), tetapi Kristen yang dilahirkan dari janji Allah di dalam Kristus. Rasul Yohanes menjelaskan artinya, “Orang yang melakukan kehendak Allah adalah anak Allah sebagaimana Kristus adalah Anak Allah.” (1 Yohanes 3:7 ; BIS) Pada ayat 9 s/d 10, Yohanes juga menjelaskan, “Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah. Inilah tandanya anak-anak Allah dan anak-anak Iblis: setiap orang yang tidak berbuat kebenaran, tidak berasal dari Allah, demikian juga barangsiapa yang tidak mengasihi saudaranya.” Dengan kata lain, anak-anak Allah sejati dicirikan oleh beberapa hal: pertama, melakukan kehendak Allah ; kedua, mengasihi sesama ; dan ketiga, membenci dosa.
Pertama, anak Allah sejati melakukan kehendak Allah. Perbedaan esensial antara Kristen sejati dengan “Kristen” palsu adalah apakah mereka melakukan kehendak Allah atau tidak. Ketika mereka melakukan kehendak mereka sendiri lalu memakai nama “Allah” supaya usahanya lancar, jelas itu BUKAN Kristen sejati, tetapi “Kristen” palsu, karena mereka ingin memperalat Allah untuk kepentingannya sendiri. Kristen sejati adalah God-centered Christian (Kristen yang berpusat pada Allah). Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa anak Allah sejati menyenangi apa yang Allah senangi, membenci apa yang Tuhan benci, dll, sebaliknya anak-anak iblis sebaliknya. Itulah yang disebut Pdt. Stephen Tong sebagai menyangkal diri. Menyangkal diri berarti mengatakan “TIDAK” kepada kehendak pribadi yang berdosa dan self-centered, tetapi mengatakan “YA” kepada kehendak Allah dan menjalankannya (bandingkan: Matius 7:21). Ketika anak-anak Allah melakukan kehendak Allah, mereka berusaha untuk menyenangkan-Nya, baik ketika mereka bekerja di dunia sekuler, melayani Tuhan, dll. Dengan kata lain, melakukan kehendak Allah adalah membawa kemuliaan Allah hadir di tengah-tengah kehidupan anak-anak-Nya sehingga mereka mampu menjadi berkat di sekeliling mereka dan akhirnya nama Tuhan yang dipermuliakan.
Kedua, anak Allah sejati mengasihi sesama. Bukan hanya mengasihi Allah, anak Allah juga mengasihi sesama. Apa artinya? Apakah berarti ketika kita melihat teman atau saudara kita berdosa, kita membiarkannya demi alasan “mengasihi”? TIDAK! Di dalam Alkitab, kasih tidak bisa dilepaskan dari kebenaran, kekudusan, keagungan, dll. Allah Trinitas yang kita percayai di dalam Alkitab adalah Allah yang Mahakasih, sekaligus: Mahaadil, Mahakudus, Mahabijaksana, dll. Memisahkan kasih dari kekudusan dan keadilan Allah identik dengan menggeser tahta/otoritas Allah dan meletakkan ‘tahta’ diri sebagai kriteria “kebenaran”. Inilah yang dilakukan oleh banyak orang “Kristen” yang dipengaruhi oleh postmodernisme yang berintikan relativisme dan pluralisme. Mereka meneriakkan kasih, tanpa mau mengemukakan keadilan, kebenaran, dll, tetapi herannya ketika rumah mereka dimasuki pencuri, lalu si pencuri mengancam akan memerkosa anak perempuan mereka, percayalah, mereka tidak akan mengatakan bahwa kita perlu mengasihi pencuri dan membiarkan pencuri itu memerkosa anak perempuan mereka! Inilah ketidakkonsistenan postmodernisme (mengutip pernyataan Prof. Ronald H. Nash, Ph.D. di dalam bukunya Konflik Wawasan Dunia). Kembali, mengasihi sesama tetap harus bersumber dari mengasihi Allah. Di dalam Matius 22:37-39, Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kita harus mengasihi Allah dan sesama. Mengasihi sesama dilakukan SETELAH mengasihi Allah. Konsep dan prinsip ini harus jelas dan TIDAK boleh dibalik. Postmodern mengajar kita untuk LEBIH mengasihi sesama dan tidak mempedulikan Allah, mengapa? Karena postmodern yang ditunggangi oleh Gerakan Zaman Baru mengajarkan bahwa semua manusia adalah “allah”, maka kita harus saling mengasihi. Tetapi Alkitab dengan tegas sangat bertolak belakang dengan postmodernisme dan mengajarkan bahwa kita harus mengasihi Allah dahulu, baru mengasihi sesama. Mengasihi sesama bisa diartikan berani berkorban bagi sesama yang membutuhkan. Berani berkorban TIDAK boleh diartikan bahwa kita wajib membantu semua orang miskin! Kita memang perlu membantu orang miskin, tetapi orang miskin seperti apa itu yang perlu diperhatikan. Kalau kita terus-menerus membantu orang miskin yang sebenarnya malas bekerja, itu berarti kita sedang TIDAK membantu mereka, tetapi sedang menjerumuskan mereka untuk semakin malas bekerja. Tetapi jika memang kita membantu orang miskin akibat bencana alam, tsunami, dll, itu memang pantas, dan selanjutnya, kita perlu memberikan lapangan pekerjaan bagi mereka supaya mereka bekerja dan mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri (tanpa terus meminta bantuan dari orang lain). Kedua, mengasihi sesama adalah mengasihi jiwa sesama kita yang mungkin belum percaya kepada Kristus. Dengan kata lain, mengasihi sesama identik dengan memberitakan Injil Kristus kepada sesama kita. Dengan memberitakan Injil, kita sedang mengasihi sesama kita yang hidupnya tidak berpengharapan, stress, dll. Itu sebenarnya yang lebih penting daripada poin pertama. Membantu korban bencana alam itu perlu, tetapi memberitakan Injil jauh lebih penting, karena pemberitaan Injil berkenaan dengan aspek spiritual yang bernilai kekal, sedangkan membantu korban bencana alam itu hanya bersifat fana, yang bisa hilang.
Ketiga, anak Allah sejati membenci dosa. Anak Allah yang telah melakukan kehendak Allah dengan sendirinya otomatis membenci dan muak dengan dosa. Artinya, dia sendiri akan jijik melihat dosa dan segera mengingatkan orang lain yang sama-sama berdosa akan bahaya dosa dan memberitakan Injil Kristus supaya mereka juga bisa bertobat. Saya menyebutnya membenci dosa dalam dua tahap, artinya kita sendiri membenci dosa yang mengganggu kita, dan kita mengingatkan orang lain yang sama-sama berdosa supaya ia bertobat dari dosa-dosanya (sama seperti kita yang telah bertobat). Adakah hati kita sungguh-sungguh muak dengan dosa ataukah mungkin kita semakin lama semakin tergiur dengan dosa? Itu yang menandakan apakah kita benar-benar anak Allah atau bukan.
Biarlah perenungan tiga ayat ini membukakan sedikit pengertian kita tentang perbedaan esensial antara Israel sejati (anak-anak Allah di dalam Kristus) dengan Israel palsu (orang “Kristen” palsu), sehingga di dalam dunia postmodern yang mengilahkan relativisme ini, kita tidak mudah terkecoh. Baiklah kita memperhatikan nasehat Paulus untuk menguji segala sesuatu dan kemudian memegang yang baik (1 Tesalonika 5:21). Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 10:23: CHRISTIAN & PERSECUTION: Unfriendly World

Ringkasan Khotbah : 12 Februari 2006
Christianity & Persecution: Unfriendly World
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 10:23


Pendahuluan
Bukan kebetulan kalau eksposisi Injil Matius sampai pada tema tentang penganiayaan dan tema ini sangatlah tepat mengingat tahun ini merupakan tahun yang penuh dengan gejolak dan tantangan; ekonomi, sosial dan politik yang semrawut ini membawa kita masuk dalam berbagai kesulitan dan beban hidup yang semakin berat sehingga orang menjadi teraniaya. Namun topik tentang penganiayaan ini sangatlah tidak disuka oleh orang Kristen. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa manusia tidak suka dengan topik penganiayaan atau penderitaan? Manusia mulai mencari kambing hitam untuk menjadi tempat pelampiasan, membuang kemarahan dan kejengkelan hati dan yang menjadi korban biasanya adalah orang-orang yang dianggap lemah dan terlalu baik. Karena itu, tema ini perlu untuk direnungkan dan menjadi pembelajaran bagi kita supaya kita menjadi lebih bijaksana menyikapi kehidupan yang penuh dengan gejolak. Ada empat aspek yang saling terkait yang perlu kita perhatikan: 1) pembentukan point of view atau sudut pandang, akan membuat kita melihat suatu 2) realita dengan tepat, menghasilkan 3) interpretasi yang akurat dengan demikian kita tidak salah dalam 4) meresponi suatu realita. Demikian halnya dengan penganiayaan, jikalau kita mengerti keempat aspek ini, yakni kita melihat penganiayaan dari sudut pandang yang tepat, kita tidak salah menilai suatu realita dan mengintepretasikannya dengan demikian kita tidak salah meresponi suatu penderitaan.
I. Domba di Tengah Serigala
Ketika Tuhan Yesus memilih murid, Tuhan membukakan pada murid-Nya bahwa menjadi murid Kristus seperti seekor domba yang diutus ke tengah-tengah serigala. Kalau kita mempunyai sudut pandang yang salah maka kita akan berespon salah sehingga muncul pandangan salah, yakni seekor domba yang berada di tengah serigala pasti tidak akan selamat atau dengan kata lain menjadi Kristen itu tidak enak karena banyak tantangan dan penderitaan yang harus dihadapi. Pemikiran ini sangatlah jahat karena sepertinya kita menuduh Kristus telah bersekongkol dengan serigala dan Kristus sengaja memilih kita untuk dijadikan umpan. Pemikiran yang salah! Memang, domba adalah binatang yang lemah tapi orang lupa bahwa domba ini mempunyai gembala, yaitu Tuhan Yesus. Gembala yang agung itu tidak akan membiarkan domba-Nya menjadi santapan empuk bagi serigala. Tuhan tidak mengajarkan orang Kristen menjadi seorang yang kuat yang dapat menghadapi segala tantangan dunia. Tidak! Justru ketika kita merasa diri kuat maka itu menjadi titik kehancuran kita, karena kita memerankan posisi yang seharusnya bukan menjadi posisi kita akibatnya kita gagal melihat realita yang sejati.
Bukanlah hal yang aneh kalau kita yang adalah domba dimusuhi oleh dunia. Pertanyaannya sekarang adalah kenapa orang Kristen selalu menjadi korban aniaya? Orang yang berpikiran sempit pasti langsung mengambil suatu keputusan, yakni: tidak akan pernah mau menjadi Kristen. Keputusan yang salah. Penganiayaan itu menjadi sangat istimewa karena dialami oleh orang Kristen sebab di luar Kekristenan, aniaya merupakan hal yang biasa. Gambaran domba di tengah serigala adalah gambaran yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi orang Kristen di tengah dunia. Sebab domba dengan sesama domba hidup dimanapun sangat akur lain halnya dengan serigala meski hidup dengan sesama serigala, ia tidak akan segan-segan berkelahi dan saling membunuh demi untuk mendapatkan makanan. Maka gambaran serigala yang licik dan kejam ini tepat untuk menggambarkan kondisi manusia saat ini – homo homini lupus, manusia menjadi serigala atas sesamanya. Ketika manusia mulai tamak maka ia akan menjadi kejam dan licik seperti serigala, perhatikan, sekejam-kejamnya singa, ia tidak akan pernah memakan anaknya. Di dunia modern ini pun kita akan berhadapan dengan situasi yang mengerikan – satu dengan yang lain akan saling menghancurkan dan saling menganiaya. Dunia kita adalah dunia yang berdosa sehingga aniaya itu menjadi hal yang biasa akan tetapi aniaya menjadi berbeda ketika terjadi di dalam Kekristenan. Orang Kristen sejati pasti akan dimusuhi oleh dunia karena ia berbeda dengan dunia.

II. Penyangkalan Realita
Dunia semakin berdosa, dunia tidak suka jika dibukakan akan realita yang ada, dunia lebih suka menipu diri maka jalan keluarnya adalah orang meng-indoktrinasi diri bahwa dunia ini semakin maju. Tidak! Realita itu tidak sepenuhnya benar, memang teknologi semakin maju namun kehidupan sosial – moral manusia semakin rusak, sistim ekologi semakin merosot. Sebagian orang menyadari hal ini, mereka menyerukan ke tengah-tengah dunia, declaim of the world dengan demikian diharapkan orang mulai sadar dan mengevaluasi diri. Dunia menawarkan berbagai jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan, yakni bagaimana membuat dunia ini menjadi lebih baik, bagaimana menyejahterakan hidup manusia namun semua itu nihil belaka. Beban hidup manusia justru semakin susah dan berat. Akhirnya sampailah manusia pada suatu titik kejenuhan maka pada awal abad 20, manusia mulai memberontak dan mendobrak konsep rasionalisme yang ada dan pecahlah perang dunia pertama dan kedua. Selesai dengan perang, manusia mulai masuk dalam era postmodern dimana segala hal yang mutlak direlatifkan dan membuang semua konsep tak terkecuali membuang pandangan tentang realita dengan menyerukan slogan: my business is my business, your business is your business and my business is not your business and your business is not my business so let do our own business. Celaka, setiap orang merasa diri hebat dan menganggap interpretasi atau pandangan subyektifnya itu adalah kebenaran. Perhatikan, di hadapan Tuhan kita bukanlah siapa-siapa, kita hanya manusia berdosa yang seharusnya dibinasakan, the dead man karena kita telah melawan Tuhan semesta alam. Ironis, orang menjadi marah ketika ada orang yang membukakan suatu realita kebenaran bahwa dirinya tidak lebih hanyalah manusia bodoh.
Hari ini, orang ramai protes karena salah seorang nabi dilecehkan dengan dibuat kartun. Dan reaksinya sungguh di luar dugaan ternyata apa yang digambarkan dalam karikatur tersebut dilakukan oleh para pengikutnya. Inilah gambaran dunia berdosa, dunia marah ketika dibukakan suatu realita dan hal ini justru semakin membuktikan kebenaran realita tersebut. Sebagai seorang anak Tuhan yang sejati janganlah mudah terpancing dengan akal licik iblis, kita harus melihat suatu peristiwa secara bijaksana dengan demikian kita tidak masuk dalam jebakan iblis. Kalau suatu hari nanti orang berbuat hal yang sama pada kita maka janganlah kita menjadi marah dan berbuat anarkis sebab realitanya kita hanyalah domba di tengah-tengah serigala. Kita seharusnya berbelas kasihan dan menyadarkan supaya mereka meminta ampunan pada Tuhan dan bertobat. Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang Perkasa, Dialah pemilik alam semesta maka siapakah manusia sehingga mau membela Tuhan? Adalah perbuatan konyol, seorang anak kecil membela ayahnya ketika ayahnya itu mendapat ancaman dari seorang anak kecil lain. Kalau si ayah ini mau bukankah si ayah ini dapat membela dirinya sendiri karena ia lebih kuat? Disini jelaslah bahwa point of view ini sangat mempengaruhi penilaian kita melihat suatu realita dan menentukan respon kita.
Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab manusia tidak suka realita sesungguhnya, yaitu: 1) Manusia tidak mau kekurangan dirinya terbuka di depan umum – orang yang membukakan akan realita ini, ia akan dianggap sebagai musuh. Sebagai anak Tuhan sejati, Tuhan ingin supaya kita menjadi pembawa berita – membongkar semua kebohongan yang ada dan untuk hal ini kita harus siap dimusuhi oleh dunia, 2) Esensi dosa membuat manusia tidak suka dengan kebenaran. Sejak kejatuhan, kebenaran itu selalu diputarbalikkan maka kalau ada orang yang hidup benar, orang justru melihat hal itu sebagai ketidakwajaran. Ironis, bukan? Jangan pikir hidup kita akan menjadi lebih nikmat kalau kita hidup dalam dosa. Tidak! Iblis tidak akan pernah menolong manusia ketika manusia berada dalam kesusahan apalagi kalau tidak ada suatu keuntungan dalam diri manusia yang dapat ditarik oleh iblis maka iblis tidak akan pernah menyelamatkan kita. Inilah cara kerja setan. Betapa bodohnya manusia yang berpikir bahwa hidup lebih nikmat kalau tidak menjadi Kristen. Salah! Lepas dari perlindungan Tuhan justru akan membuat hidup kita sengsara di dunia dan di kekekalan nanti.

III. Menghadapi Penganiayaan
Setiap manusia di dunia entah miskin atau kaya, buruk atau cantik pasti tidak akan lepas dari kesulitan. Orang Kristen akan dianiaya namun jangan pikir kalau kita bukan Kristen kita tidak dianiaya. Salah! Sebagai orang Kristen kita memang akan menghadapi aniaya namun kita mempunyai Gembala Agung yang tidak akan membiarkan kita menjadi sasaran empuk serigala. Tuhan meneladankan hal indah ketika menghadapi bahaya dan tantangan, yakni:
Pertama, lari. Tuhan tidak mengajar kita untuk menantang semua tantangan sehingga kita mati konyol. Jadi, menghindar dari bahaya itu bukanlah suatu kesalahan dan bukan suatu kewajiban bagi orang Kristen untuk mengorbankan diri. Dalam beberapa peristiwa, Tuhan Yesus pun ketika berada dalam posisi sulit dan terjepit, Tuhan Yesus menghilang. Menghilang disini tidak mesti harus dilakukan secara supranatural. Para Rasul seperti Rasul Petrus, Rasul Paulus juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Kristus, yaitu menghidar dari penganiayaan. Dalam doa “Bapa Kami“ diajarkan: ...jauhkanlah kami dari pencobaan; Tuhan tidak mengajar kita menjadi seorang yang sok dengan menantang segala kesulitan. Menghindari kesulitan bukan berarti kalah dan lemah. Tidak! Perhatikan, mengalah bukan berarti kalah dan menghindar bukan berarti takut. Kita boleh lari dari satu kota ke kota lain tapi satu hal yang perlu kita camkan, yakni:

Kedua, berpaut pada Tuhan. Celakalah hidup kita kalau kita lari dari dunia dan lari dari Tuhan – kita akan binasa – binasa di dunia sekaligus di kekekalan. Yang menjadi pertanyaan ketika lari, kita lari demi siapa. Betulkah hal ini merupakan pimpinan Tuhan ataukah hanya demi egoisme manusia? Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan ketika kita lari, menghindar dari bahaya, yakni: 1) integritas tidak boleh berubah, dalam pelariannya Tuhan Yesus tetap menjalankan tugas dan panggilan-Nya; 2) Tuhan Yesus lari itu bukan karena Tuhan egois – dengan lari, Dia merasa diuntungkan. Tidak! Tuhan Yesus pergi bukan karena Ia takut celaka. Tidak! Terbukti, ketika Dia pergi, Tuhan Yesus tidak tetap Tuhan yang berkuasa. Demikian juga halnya dengan Paulus, ketika dia pergi meninggalkan satu kota dan pergi ke kota lain maka tidak ada satu pun orang yang mengatakan bahwa dia pergi karena dia tidak bermoral. Tidak! Kita boleh pergi kemanapun tapi satu hal yang kita ingat dan perhatikan, jangan lepas dari Tuhan;

Ketiga, ada waktunya untuk tidak lari. Setiap manusia mempunyai kadar kemampuan menanggung suatu penderitaan yang berbeda. Jadi, tidak mungkin setiap manusia akan mengalami penganiayaan yang sama dan seberat seperti yang dialami oleh para rasul dan para martir lain. Dan satu hal yang perlu kita perhatikan, yaitu bila tiba waktu-Nya maka kita tidak boleh lari. Tuhan Yesus sendiri datang ke Yerusalem menyerahkan diri-Nya untuk disalibkan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Paulus, dia mengikuti teladan Kristus, sebelum tiba waktu bagi Paulus maka ia akan pergi menghindar dari penganiayaan akan tetapi kalau waktu itu sudah tiba meski Agapus telah memperingatkannya, Paulus tetap pergi ke Yerusalem. Inilah jiwa seorang gentleman yang harus ada dalam diri seorang Kristen sejati.

Dikisahkan ada seorang kaisar kejam bernama Kaisar Nero, dia sangat membenci orang Kristen. Kaisar Nero sangat suka melihat api maka ia menjadikan orang-orang Kristen itu sebagai obor hidup. Petrus pun pergi menghindar dari aniaya ini namun di tengah perjalanan ia berpas-pasan dengan seseorang dan bertanya, “Qua Vadis dominee?“ yang artinya: “Mau kemana, Pak Pendeta?“ Pertanyaan ini mengingatkannya akan pertanyaan Tuhan Yesus yang pernah dilontarkan padanya dahulu maka hari itu ia disadarkan bahwa saat ini bukanlah waktu baginya untuk lari maka hari itu Petrus dihukum mati – disalib dengan posisi terbalik.

Bila tiba waktunya bagi anak Tuhan untuk menghadapi aniaya maka kita harus hadapi, jangan menghindar dan jangan takut, kita harus hadapi penderitaan aniaya itu karena kita tahu, kematian itu tidak dapat dihindarkan – cepat atau lambat kita pasti akan mati. Sungguh merupakan suatu anugerah kalau Tuhan berkenan memakai kita untuk berkorban demi nama-Nya. Kita akan mendapatkan sukacita sorga karena kita bertemu dengan Dia. Orang yang lari dari penderitaan karena alasan Alkitab yang mengajarkan maka itu menjadi suatu tanda tanya besar, benarkah ia anak Tuhan yang sejati? Sadarlah, hari itu mungkin kita dapat menghindari kematian tapi itu sifatnya sementara karena kita toh pasti akan mati. Biarlah perenungan ini menjadikan kita semakin mengerti bagaimana melihat suatu penganiayaan dan menghadapi penganiayaan itu. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: