07 July 2008

Roma 9:6-8: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-2: Penyingkapan Realita Pembeda

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-2


“Israel” Sejati atau Palsu-2: Penyingkapan Realita Pembeda

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 9:6-8

Setelah mempelajari tentang pendahuluan dan pemaparan Paulus tentang bangsa Israel dan apa yang mereka peroleh di ayat 1 s/d 5, selanjutnya kita akan mempelajari lebih dalam lagi tentang perbedaan Israel sejati dengan yang palsu di mana Allah melalui Paulus menyingkapkan realita pembeda ini. Di dalam bagian ini, kita hanya merenungkan ayat 6 s/d 8 saja. Realita pembeda akan semakin jelas dinyatakan pada ayat-ayat sesudahnya dengan adanya pemilihan Yakub/Israel dan penolakan Esau, dan seterusnya.

Setelah memaparkan semua realita tentang Israel yaitu Israel mendapat wahyu Allah secara khusus dengan lima hal yang diperoleh Israel (ayat 4), maka Allah melalui Paulus menyingkapkan suatu realita yang belum pernah dibukakan secara jelas sebelumnya, yaitu, “Akan tetapi firman Allah tidak mungkin gagal. Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel,” (ayat 6) English Standard Version (ESV) menerjemahkan, “But it is not as though the word of God has failed. For not all who are descended from Israel belong to Israel,” (=tetapi hal ini tidak berarti seolah-olah firman Allah telah gagal. Karena tidak semua yang lahir dari {keturunan} Israel menjadi milik/bagian dari Israel,) Terjemahan LAI dalam hal ini kurang jelas, sedangkan terjemahan ESV dapat memperjelas ayat ini. Mungkin jemaat Roma pada waktu itu bertanya-tanya tentang status Israel. Bukankah mereka (secara bangsa) mengklaim diri sebagai umat pilihan Allah, tetapi kelakuan mereka sangat munafik, tidak sesuai dengan hukum Allah? Lalu, akibatnya, mereka mengajukan pertanyaan bahwa jika Israel kelakuannya munafik, bagaimana dengan Allah mereka? Apakah Allah mereka juga munafik dan plin-plan seperti mereka? TIDAK. Paulus menjelaskan semua kemungkinan tuduhan tersebut dengan penjelasan bahwa meskipun seolah-olah itu semua kelihatan bahwa tindakan Allah memilih umat-Nya, Israel adalah tindakan yang gila, tetapi sebenarnya firman Allah tidak mungkin gagal. Mengapa? Karena yang disebut Israel yang sejati bukan Israel secara kebangsaan. Struktur bahasa Yunani pada kata Israel dalam kalimat kedua pada ayat ini sangat unik. Pada kata pertama, “Israel” menggunakan bentuk genitive (milik), sedangkan kata kedua, “Israel” menggunakan bentuk nominative (=nominatif/sebagai pokok kalimat bagi suatu kata ganti nominatif, misalnya: I, she, he, dll). Dengan kata lain, arti dari kalimat kedua ini adalah bahwa tidak semua orang yang milik (=dilahirkan dari) Israel merupakan bagian dari Israel. Israel pertama menunjuk Israel secara bangsa, sedangkan Israel kedua menunjuk pada Israel sejati, tidak tergantung pada bangsa. Dulu, orang Israel selalu membanggakan diri sebagai umat pilihan Allah. Mereka tidak segan-segan berdoa di pasar, di jalan raya, dll untuk menunjukkan kesalehan mereka sebagai umat pilihan Allah. Tidak tanggung-tanggung, mereka bahkan “memuji” diri mereka karena tidak seperti para pemungut cukai, atau orang kusta atau yang “najis” lainnya, lalu disusul dengan pengakuan sendiri bahwa diri mereka aktif berpuasa, berdoa, dll. Semua tindakan munafik ini pernah dikecam oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 23, dan dilanjutkan oleh Paulus di dalam bagian ini dengan menjelaskan lebih dalam yaitu tidak semua orang yang mengaku dilahirkan dari Israel adalah benar-benar Israel. Albert Barnes dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menafsirkan, “Not all the descendants of Jacob have the true spirit of Israelites, or are Jews in the scriptural sense of the term;...” (=tidak semua keturunan Yakub memiliki spirit Israel yang sama, atau Yahudi di dalam pengertian Alkitabiah ;...) Lebih lanjut, Barnes merujuk kepada Roma 2:28-29 tentang perbedaan antara Israel palsu (terlihat dari luar/secara fisik) dengan Israel yang sejati (tidak terlihat dari luar). Contoh Israel palsu ini juga dijiplak dengan jelas oleh para pemeluk agama mayoritas di Indonesia, di mana ketika mereka “beribadah”, suara yang dibunyikan di tempat ibadah mereka sangat keras mengganggu orang-orang di sekitarnya. Tujuannya? Jelas, untuk membuktikan bahwa mereka sedang “beribadah”. Bukan hanya bagi orang Israel dan orang dunia, hal ini juga berlaku bagi kita sebagai orang Kristen. Kita sebagai orang Kristen seringkali menyombongkan diri. Tidak jarang orang “Kristen” yang menyombongkan diri, menganggap diri sudah bertahun-tahun melayani di gereja, tidak lupa berpuasa, aktif memberikan persepuluhan, dll, akhirnya mereka merasa diri pasti masuk Surga. Tuhan Yesus pernah membukakan realita ini di dalam Matius 7:22, “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga?” Bukan hanya aktif berdoa, berpuasa, memberikan persepuluhan, mereka bahkan dikatakan juga menyembuhkan dalam nama “Yesus”, bahkan bernubuat demi nama “Yesus”, mengusir setan dalam nama “Yesus”, dll. Itu semua dilakukan oleh orang “Kristen” palsu yang menyamar seperti orang Kristen sejati (=anak-anak Tuhan). Rasul Paulus di dalam suratnya yang lain menegaskan, “Sebab orang-orang itu adalah rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus. Hal itu tidak usah mengherankan, sebab Iblispun menyamar sebagai malaikat Terang. Jadi bukanlah suatu hal yang ganjil, jika pelayan-pelayannya menyamar sebagai pelayan-pelayan kebenaran. Kesudahan mereka akan setimpal dengan perbuatan mereka.” (2 Korintus 11:13-15) Konteks pada waktu itu adalah jemaat Korintus masih jemaat yang kekanak-kanakan (childish), mudah goyah, mudah diombang-ambingkan oleh berbagai pengajaran yang tidak bertanggungjawab. Sehingga Paulus kembali mengingatkan jemaat Korintus bahwa mereka yang mengajar ajaran yang tidak sesuai dengan Injil yang diberitakannya adalah para rasul palsu yang menaati bapanya, yaitu iblis yang menyamar sebagai malaikat Terang. Bahkan kepada jemaat di Galatia, Paulus dengan keras mengutuk mereka yang memberitakan “injil” yang berbeda dari Injil Kristus yang diberitakan Paulus (Galatia 1:6-8), karena jemaat Galatia pada waktu itu juga diajar oleh Yudaisme “Kristen” bahwa keselamatan diperoleh juga dengan melakukan hukum Taurat selain percaya kepada Kristus. Pada zaman postmodern ini, Allah ingin menegur kita juga dan menyingkapkan realita pembeda yang jelas pada bagian pertama, yaitu jangan terkecoh dengan fenomena. Tidak semua fenomena mencerminkan hal yang esensial. Tidak semua orang yang menganggap diri “Kristen”, “melayani Tuhan”, dll sungguh-sungguh orang Kristen sejati (=anak-anak Allah). Kita jangan pernah terkecoh. Belajarlah selektif.

Lalu, Paulus menjelaskan kriteria pembeda yang kedua, yaitu menjelaskan esensi. Pada ayat 7, Paulus mengungkapkan, “dan juga tidak semua yang terhitung keturunan Abraham adalah anak Abraham, tetapi: "Yang berasal dari Ishak yang akan disebut keturunanmu."” Pada ayat ini, Paulus jelas mengungkapkan bahwa bukan semua keturunan/ benih (Yunani: sperma) Abraham yang termasuk anaknya, tetapi hanya keturunan dari Ishak lah yang disebut keturunan Abraham. Hal ini dikutip Paulus dari Kejadian 21:12, “Tetapi Allah berfirman kepada Abraham: "Janganlah sebal hatimu karena hal anak dan budakmu itu; dalam segala yang dikatakan Sara kepadamu, haruslah engkau mendengarkannya, sebab yang akan disebut keturunanmu ialah yang berasal dari Ishak.” Di sini, realita pembeda semakin diperjelas Paulus. Paulus bukan hanya menunjukkan bahwa tidak semua Israel adalah benar-benar Israel, tetapi ia juga menunjukkan bahwa Israel sejati adalah Israel yang berasal dari keturunan Ishak. Semua orang Israel mengklaim sebagai keturunan Abraham (baca: Yohanes 8:39a), tetapi Tuhan Yesus menjawab mereka bahwa jika mereka adalah keturunan Abraham, maka mereka akan mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan Abraham (ayat 39b). Apakah pekerjaan yang dikerjakan Abraham? Mengharapkan janji kedatangan Mesias/Kristus. Tetapi anehnya, kata Kristus, mereka hendak membunuh-Nya (ayat 40). Lebih tajam lagi, setelah orang Israel pada waktu itu menjawab bahwa bapa mereka adalah Allah, Kristus langsung membukakan realita yang jelas tanpa kompromi bahwa bapa mereka sebenarnya adalah Iblis (ayat 44), sehingga tidak heran bapa pembinasa manusia mengakibatkan para pengikutnya pun sama bengisnya ingin membunuh siapapun yang tidak sesuai dengannya, karena Iblis (dan para pengikutnya) tidak memiliki kebenaran. Sehingga tidak heran, ketika Kristus mengatakan Kebenaran, mereka tidak mau menerimanya. Lalu, Tuhan Yesus dengan tegas mengatakan bahwa barangsiapa yang berasal dari Allah, ia mendengarkan firman Allah, sebaliknya yang tidak mau mendengarkan firman-Nya, jelaslah bahwa ia tidak berasal dari Allah (ayat 47). Orang yang mendengarkan firman Allah inilah yang disebut Israel sejati yang berasal dari keturunan Ishak yang melahirkan Mesias. Silsilah Kristus di dalam Injil Matius 1:1-16 membuka penjelasan silsilah Yesus dari Abraham (baca: ayat 2). Di sini, sangat kelihatan jelas bahwa yang disebut keturunan Abraham adalah keturunan Ishak, bukan keturunan Ismael. Dengan kata lain, hanya keturunan Ishak saja, orang-orang dapat disebut keturunan Abraham. Maka, Kristus yang juga dilahirkan dari keturunan Abraham mengakibatkan barangsiapa yang percaya di dalam Kristus, mereka juga memperoleh berkat Abraham (Galatia 3:9,14). Bukan hanya secara keturunan saja, Kristus terlebih penting telah mati disalib untuk membebaskan umat pilihan-Nya dari kutuk Taurat, sehingga berkat Abraham (dibenarkan melalui iman) dapat diterima dan dinikmati oleh umat-Nya (Galatia 3:14).

Pembedaan ini semakin diperjelas di ayat 8, “Artinya: bukan anak-anak menurut daging adalah anak-anak Allah, tetapi anak-anak perjanjian yang disebut keturunan yang benar.” Israel sejati dengan Israel palsu dapat dibedakan secara esensi yaitu Israel palsu selalu mengklaim keturunan Abraham (=anak-anak Allah) secara daging, lahir dari Abraham (keturunan Abraham), tetapi Israel sejati tidak pernah mengklaim hal demikian, karena mereka tahu sebenarnya mereka adalah anak-anak perjanjian dari anugerah Allah. Pernyataan “anak-anak perjanjian” dalam teks Yunani dapat diterjemahkan: anak-anak yang dilahirkan karena janji. (Sutanto, 2003, p. 848) Struktur bahasa Yunani dalam pernyataan ini menggunakan bentuk genitive (=milik). Dengan kata lain, anak-anak perjanjian berarti anak-anak yang dilahirkan (sebagai milik) dari janji Allah. Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan ayat ini, “Itu berarti bahwa keturunan Abraham yang menjadi anak-anak Allah, adalah hanya keturunannya yang lahir karena janji Allah; dan bukan semua keturunannya.” Di sini, semakin jelas kriteria pembeda antara Israel sejati dengan Israel palsu di bagian kedua, yaitu Israel sejati adalah anak-anak yang lahir karena/melalui janji Allah di dalam Kristus. Bagaimana dengan kita? Di dunia postmodern, banyak orang mengaku diri “Kristen”, mereka HAMPIR tidak ada bedanya dengan orang Kristen sejati. Orang “Kristen” palsu juga kelihatan aktif berdoa, berpuasa, dll, bahkan berapi-api dalam melayani Tuhan. Tetapi apakah fenomena-fenomena tersebut mengindikasikan adanya kebenaran esensi bahwa orang-orang seperti itu sungguh-sungguh Kristen? TIDAK. Di bagian pertama, kita sudah belajar kriteria pembeda yaitu tidak semua yang mengaku diri “Kristen” pasti Kristen. Lalu, di bagian kedua, kita semakin tajam mempelajari kriteria pembeda ini, yaitu orang Kristen sejati (seperti Israel sejati) bukan lah Kristen secara KTP (tanpa pertobatan, hanya muncul di KTP saja), tetapi Kristen yang dilahirkan dari janji Allah di dalam Kristus. Rasul Yohanes menjelaskan artinya, “Orang yang melakukan kehendak Allah adalah anak Allah sebagaimana Kristus adalah Anak Allah.” (1 Yohanes 3:7 ; BIS) Pada ayat 9 s/d 10, Yohanes juga menjelaskan, “Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah. Inilah tandanya anak-anak Allah dan anak-anak Iblis: setiap orang yang tidak berbuat kebenaran, tidak berasal dari Allah, demikian juga barangsiapa yang tidak mengasihi saudaranya.” Dengan kata lain, anak-anak Allah sejati dicirikan oleh beberapa hal: pertama, melakukan kehendak Allah ; kedua, mengasihi sesama ; dan ketiga, membenci dosa.
Pertama, anak Allah sejati melakukan kehendak Allah. Perbedaan esensial antara Kristen sejati dengan “Kristen” palsu adalah apakah mereka melakukan kehendak Allah atau tidak. Ketika mereka melakukan kehendak mereka sendiri lalu memakai nama “Allah” supaya usahanya lancar, jelas itu BUKAN Kristen sejati, tetapi “Kristen” palsu, karena mereka ingin memperalat Allah untuk kepentingannya sendiri. Kristen sejati adalah God-centered Christian (Kristen yang berpusat pada Allah). Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa anak Allah sejati menyenangi apa yang Allah senangi, membenci apa yang Tuhan benci, dll, sebaliknya anak-anak iblis sebaliknya. Itulah yang disebut Pdt. Stephen Tong sebagai menyangkal diri. Menyangkal diri berarti mengatakan “TIDAK” kepada kehendak pribadi yang berdosa dan self-centered, tetapi mengatakan “YA” kepada kehendak Allah dan menjalankannya (bandingkan: Matius 7:21). Ketika anak-anak Allah melakukan kehendak Allah, mereka berusaha untuk menyenangkan-Nya, baik ketika mereka bekerja di dunia sekuler, melayani Tuhan, dll. Dengan kata lain, melakukan kehendak Allah adalah membawa kemuliaan Allah hadir di tengah-tengah kehidupan anak-anak-Nya sehingga mereka mampu menjadi berkat di sekeliling mereka dan akhirnya nama Tuhan yang dipermuliakan.
Kedua, anak Allah sejati mengasihi sesama. Bukan hanya mengasihi Allah, anak Allah juga mengasihi sesama. Apa artinya? Apakah berarti ketika kita melihat teman atau saudara kita berdosa, kita membiarkannya demi alasan “mengasihi”? TIDAK! Di dalam Alkitab, kasih tidak bisa dilepaskan dari kebenaran, kekudusan, keagungan, dll. Allah Trinitas yang kita percayai di dalam Alkitab adalah Allah yang Mahakasih, sekaligus: Mahaadil, Mahakudus, Mahabijaksana, dll. Memisahkan kasih dari kekudusan dan keadilan Allah identik dengan menggeser tahta/otoritas Allah dan meletakkan ‘tahta’ diri sebagai kriteria “kebenaran”. Inilah yang dilakukan oleh banyak orang “Kristen” yang dipengaruhi oleh postmodernisme yang berintikan relativisme dan pluralisme. Mereka meneriakkan kasih, tanpa mau mengemukakan keadilan, kebenaran, dll, tetapi herannya ketika rumah mereka dimasuki pencuri, lalu si pencuri mengancam akan memerkosa anak perempuan mereka, percayalah, mereka tidak akan mengatakan bahwa kita perlu mengasihi pencuri dan membiarkan pencuri itu memerkosa anak perempuan mereka! Inilah ketidakkonsistenan postmodernisme (mengutip pernyataan Prof. Ronald H. Nash, Ph.D. di dalam bukunya Konflik Wawasan Dunia). Kembali, mengasihi sesama tetap harus bersumber dari mengasihi Allah. Di dalam Matius 22:37-39, Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kita harus mengasihi Allah dan sesama. Mengasihi sesama dilakukan SETELAH mengasihi Allah. Konsep dan prinsip ini harus jelas dan TIDAK boleh dibalik. Postmodern mengajar kita untuk LEBIH mengasihi sesama dan tidak mempedulikan Allah, mengapa? Karena postmodern yang ditunggangi oleh Gerakan Zaman Baru mengajarkan bahwa semua manusia adalah “allah”, maka kita harus saling mengasihi. Tetapi Alkitab dengan tegas sangat bertolak belakang dengan postmodernisme dan mengajarkan bahwa kita harus mengasihi Allah dahulu, baru mengasihi sesama. Mengasihi sesama bisa diartikan berani berkorban bagi sesama yang membutuhkan. Berani berkorban TIDAK boleh diartikan bahwa kita wajib membantu semua orang miskin! Kita memang perlu membantu orang miskin, tetapi orang miskin seperti apa itu yang perlu diperhatikan. Kalau kita terus-menerus membantu orang miskin yang sebenarnya malas bekerja, itu berarti kita sedang TIDAK membantu mereka, tetapi sedang menjerumuskan mereka untuk semakin malas bekerja. Tetapi jika memang kita membantu orang miskin akibat bencana alam, tsunami, dll, itu memang pantas, dan selanjutnya, kita perlu memberikan lapangan pekerjaan bagi mereka supaya mereka bekerja dan mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri (tanpa terus meminta bantuan dari orang lain). Kedua, mengasihi sesama adalah mengasihi jiwa sesama kita yang mungkin belum percaya kepada Kristus. Dengan kata lain, mengasihi sesama identik dengan memberitakan Injil Kristus kepada sesama kita. Dengan memberitakan Injil, kita sedang mengasihi sesama kita yang hidupnya tidak berpengharapan, stress, dll. Itu sebenarnya yang lebih penting daripada poin pertama. Membantu korban bencana alam itu perlu, tetapi memberitakan Injil jauh lebih penting, karena pemberitaan Injil berkenaan dengan aspek spiritual yang bernilai kekal, sedangkan membantu korban bencana alam itu hanya bersifat fana, yang bisa hilang.
Ketiga, anak Allah sejati membenci dosa. Anak Allah yang telah melakukan kehendak Allah dengan sendirinya otomatis membenci dan muak dengan dosa. Artinya, dia sendiri akan jijik melihat dosa dan segera mengingatkan orang lain yang sama-sama berdosa akan bahaya dosa dan memberitakan Injil Kristus supaya mereka juga bisa bertobat. Saya menyebutnya membenci dosa dalam dua tahap, artinya kita sendiri membenci dosa yang mengganggu kita, dan kita mengingatkan orang lain yang sama-sama berdosa supaya ia bertobat dari dosa-dosanya (sama seperti kita yang telah bertobat). Adakah hati kita sungguh-sungguh muak dengan dosa ataukah mungkin kita semakin lama semakin tergiur dengan dosa? Itu yang menandakan apakah kita benar-benar anak Allah atau bukan.
Biarlah perenungan tiga ayat ini membukakan sedikit pengertian kita tentang perbedaan esensial antara Israel sejati (anak-anak Allah di dalam Kristus) dengan Israel palsu (orang “Kristen” palsu), sehingga di dalam dunia postmodern yang mengilahkan relativisme ini, kita tidak mudah terkecoh. Baiklah kita memperhatikan nasehat Paulus untuk menguji segala sesuatu dan kemudian memegang yang baik (1 Tesalonika 5:21). Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: