09 September 2009

Resensi Buku-79: PERNAK-PERNIK PERJODOHAN (Pdt. Paul R. Gunadi, Ph.D. dan Lortha Gb. Mahanani)

…Dapatkan segera…




Buku
PERNAK-PERNIK PERJODOHAN

oleh:
Pdt. Paul R. Gunadi, Ph.D. dan Lortha Gb. Mahanani

Penerbit: Metanoia, 2006





Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio:
Siapa sich pasangan hidup kita? Bagaimana memilih pasangan hidup kita? Bolehkah memilih pasangan hidup yang tidak seiman? Semua ini merupakan pertanyaan para lajang Kristiani. Namun sayangnya tidak semua lajang Kristiani berkomitmen ingin mengerti tips-tips memilih pasangan hidup yang berkenan di hadapan-Nya. Ada banyak lajang Kristiani yang TIDAK mementingkan hal-hal esensi, seperti iman, sehingga dengan mudahnya bisa menjalin hubungan dan “suka” dengan lawan jenis yang berbeda iman dengan alasan konyol: “COCOK”. Lalu, untuk menutupi/merasionalisasi kesalahannya, dia berargumen, “Kan nanti bisa diinjili...” Ada juga yang terlalu mengandalkan emosi sesaat.

Jika demikian, bagaimana sikap kita sebagai orang Kristen di dalam memandang pasangan hidup? Dengan dasar Alkitab yang beres dan panduan konseling yang hangat, Pdt. Paul R. Gunadi, Ph.D. dan Lortha Gb. Mahanani menjelaskan prinsip-prinsip memilih pasangan hidup yang dimulai dari konsep jodoh dan kehendak Tuhan. Lalu, dilanjutkan dengan tahap mulai berpacaran yang diawali dengan tahap persahabatan. Setelah itu, kita menguji pasangan hidup kita apakah ia cocok dengan kita untuk menikah kelak. Tidak lupa, peran orangtua dan sikap anak di dalam memilih pasangan hidup: tetap memperhatikan nasihat orangtua namun keputusan ada di tangan anak sendiri. Dan kemudian diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan seputar perjodohan.

Inti dari buku kecil ini adalah mengajar kita tentang pentingnya kehendak Tuhan di dalam memilih pasangan hidup. Kemudian, disusul dengan pertanggungjawaban dan penggunaan nalar di dalam bercinta (tidak hanya menggunakan emosi sesaat). Dan setelah itu kematangan di dalam menjalin hubungan menuju pernikahan. Terakhir, bersikap realistis di dalam memilih pasangan hidup (mempertimbangkan kecocokan dengan pasangan hidup itu tidaklah salah, tetapi TIDAK perlu sampai terlalu kritis dan menuntut kesempurnaan).






Profil Penulis:
Pdt. Paul R. Gunadi, Ph.D. adalah dosen purnawaktu di bidang Konseling di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang dan dosen Konseling di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) di bidang Psikologi di Azusa Pacific College); Master of Arts (M.A.) di bidang Konseling di Denver Seminary; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) di bidang Psikologi Konseling di University of Southern California, U.S.A. Beliau ditahbiskan sebagai pendeta di Gereja Injili Indonesia, Azusa, California dan pernah melayani di sana sebagai pendeta pembantu. Pengalaman lainnya adalah Children’s Social Worker di Los Angeles County Department of Children’s Services dan Behavioural Specialist, College Hospital, Cerritos, California. Beliau bermukim di Malang bersama istri dan ketiga anak mereka.

06 September 2009

Roma 16:11-12: SALAM KEPADA SAUDARA SEIMAN-5

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-11


Salam Kepada Saudara Seiman-5

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 16:11-12



Setelah menyampaikan salam kepada 4 budak, maka ia menyampaikan salam terakhirnya kepada beberapa orang. Orang-orang tersebut adalah:
Pertama, Herodion (ay. 11a). Siapa Herodion? Paulus mengatakan bahwa ia adalah teman sebangsanya (KJV: kinsman; NIV: relative; International Standard Version—ISV: fellow Jew). Karena Paulus mengatakan bahwa Herodion adalah teman sebangsanya, maka Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible menafsirkan bahwa Herodion juga adalah orang Yahudi dari suku Benyamin dan sedarah dengan Paulus. Adam Clarke di dalam tafsirannya Adam Clarke’s Commentary on the Bible menafsirkan bahwa mungkin sekali Herodion adalah orang Yahudi yang bertobat. Dr. John Gill juga menunjukkan hal serupa dengan mengaitkan Herodion ini dengan nama salah seorang ke-70 murid Kristus dan kemudian menjadi uskup di Tarsus. Dengan kata lain, Herodion ini sama seperti nama orang-orang yang Paulus sebut di ayat 7.


Kedua, mereka yang ada di rumah Narkisus yang ada di dalam Tuhan. Siapa Narkisus? Dr. John Gill menafsirkan bahwa Narkisus adalah sekretaris Claudius Caesar dan ia sangat kaya. NIV Spirit of the Reformation Study Bible memberikan tambahan keterangan bahwa Narkisus dipaksa bunuh diri oleh Agrippina setelah Nero naik takhta. Mengapa Paulus memberi salam kepada orang-orang yang ada di rumah Narkisus? Matthew Henry di dalam tafsirannya Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible menafsirkan bahwa mungkin sekali Narkisus (seperti Aristobulus di ayat 10) pada waktu itu telah meninggal atau tidak ada pada saat Paulus menyapa atau mungkin bukan seorang Kristen. Yang lebih unik adalah tafsiran Matthew Henry tentang alasan mengapa Paulus memberi salam bukan kepada Narkisus, tetapi kepada orang-orang yang ada di dalam rumah Narkisus. Matthew Henry menafsirkan bahwa Paulus mengerti bahwa Tuhan memanggil dan memilih orang-orang yang miskin di mata dunia dan membiarkan orang kaya mati dalam ketidakpercayaan mereka. Meskipun hal ini ada benarnya, namun tidak bisa dijadikan standar mutlak, lalu diekstrimkan bahwa orang kaya pasti masuk neraka. Memang benar, bahwa Allah memanggil dan memilih orang-orang yang miskin, bodoh, tidak terpandang di mata dunia untuk mempermalukan orang-orang yang merasa diri kaya, pandai, bijaksana, dan terpandang, supaya tidak ada seorang manusia yang boleh memegahkan diri karena kehebatan mereka (bdk. 1Kor. 1:26-29). Tetapi tidak berarti tidak ada orang kaya yang tidak Tuhan panggil dan pilih menjadi umat-Nya. Di dalam PL, Allah memanggil Abraham, seorang kaya. Kesemuanya ini mengingatkan kita pada satu prinsip, “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1Sam. 16:7b) Tuhan tidak melihat seberapa kaya, hebat, pintar, terpandang seseorang, karena itu tidak ada apa-apanya di mata-Nya, namun IA lebih melihat kedalaman hati kita, karena di situlah, IA menguji kita. Bagaimana dengan kita? Maukah kita meneladani Dr. John Calvin yang mengatakan bahwa kita menyerahkan hati kita kepada Tuhan dengan tulus dan murni? Ketika kita menyerahkan hati kita kepada Sang Pemilik Hati kita, maka percayalah, kita akan terus-menerus dimurnikan oleh Roh-Nya melalui firman-Nya, sehingga kita makin lama makin menikmati dan memuliakan Dia selama-lamanya.


Ketiga, para pelayan Tuhan yang membanting tulang demi pekerjaan Tuhan. Orang ketiga yang Paulus beri salam adalah orang-orang yang membanting tulang demi pekerjaan Tuhan. Ayat 12 menjelaskan tiga nama orang tersebut: Trifena, Trifosa, dan Persis. Matthew Henry menafsirkan bahwa ketiga nama ini adalah nama perempuan. Nelson Compact Series (Compact Bible Commentary) menafsirkan bahwa Trifena dan Trifosa secara umum dianggap saudara. Kedua saudara ini, menurut tafsiran Dr. John Gill, adalah perempuan bangsawan Yahudi yang tinggal di Ikonium lalu pindah ke Roma. Setelah mereka bertobat, mereka membanting tulang/giat melayani Tuhan. The People’s New Testament menafsirkan bahwa mungkin sekali kedua saudara ini adalah diakones. Apa saja yang mereka kerjakan? Dr. Gill menjelaskan bahwa mereka melayani orang miskin dan para pelayan Injil dengan pengajaran, teguran, nasihat, dll. Tugas ini bukanlah tugas yang mudah. Meskipun demikian, mereka melayani Tuhan melalui pekerjaan-pekerjaan tersebut dengan sukacita. Mereka melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh tanpa mau kelihatan menonjol. Inilah jiwa pelayanan. Melayani Tuhan TIDAK boleh diidentikkan dengan naik mimbar/berkhotbah. Melayani Tuhan adalah memiliki jiwa hamba yang terus-menerus mengabdi kepada Tuhan di dalam setiap aspek kehidupan. Jika seorang hamba Tuhan pintar berkhotbah, namun ia tidak memiliki jiwa mengabdi kepada Tuhan sebagai budak-Nya, maka hamba Tuhan itu belum layak disebut melayani Tuhan, karena esensi melayani Tuhan adalah esensi budak, bukan esensi mau menonjolkan diri. Yohanes Pembaptis adalah sosok hamba Tuhan yang memiliki jiwa melayani, karena ia tidak mau menonjolkan diri. Tentang Kristus, ia mengatakan, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.” (Yoh. 3:30) Kepada jemaat di Korintus, Rasul Paulus juga mengatakan hal yang serupa, “Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu. Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan. Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar. Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah.” (1Kor. 2:1-5) Yohanes Pembaptis dan Rasul Paulus adalah sosok dua hamba Tuhan yang benar-benar menghambakan diri mereka taat kepada panggilan Tuhan. Mereka rela merendahkan diri mereka supaya nama Allah ditinggikan. Bagaimana dengan kita? Masihkah kita ingin menonjolkan diri meskipun secara perkataan kita menyangkalinya? Ketika kita melakukan sesuatu yang berguna bagi orang, masihkah kita ingin nama dan perbuatan kita diingat oleh orang lain? Mengapa kita masih berani merebut kemuliaan Allah? Biarlah orang Kristen memiliki hati seorang hamba yang benar-benar mengabdi kepada Allah sebagai Tuhan, Raja, dan Pemerintah di dalam segala aspek kehidupan mereka, bukan hanya secara perkataan saja.

Meskipun di dalam terjemahan LAI, ketiga orang ini dikatakan bekerja keras demi pekerjaan Tuhan, namun beberapa terjemahan menerjemahkan bahwa Persis lebih banyak bekerja keras daripada dua orang lain. King James Version (KJV) menerjemahkan, “Salute Tryphena and Tryphosa, who labour in the Lord. Salute the beloved Persis, which laboured much in the Lord.” Kata much di dalam KJV ini di dalam teks Yunaninya polus berarti banyak. Siapa Persis? Dr. John Gill menafsirkan bahwa Persis adalah istri dari Rufus yang disebutkan di ayat 13. Kalau Trifena dan Trifosa disebutkan membanting tulang demi pekerjaan Tuhan, maka Persis dikatakan lebih banyak bekerja keras demi pekerjaan Tuhan. Ayat 12 ini memberikan pelajaran bagi kita tentang sosok perempuan. Di dalam tradisi Yahudi, perempuan dianggap kelas kedua yang lebih rendah daripada laki-laki. Namun di dalam Kristus, meskipun tetap ada perbedaan natur dan urutan antara pria dan wanita, tidak ada lagi perbedaan antara pria dan wanita di dalam melayani-Nya. Di dalam melayani-Nya, tidak ada perbedaan jenis kelamin. Bahkan uniknya, para wanita lah yang disebutkan di ayat 12 bekerja keras melayani Tuhan. Ini juga menjadi pelajaran bagi para pria dan wanita. Kaum pria biasanya diidentikkan dengan kaum pekerja keras, namun Tuhan menegur para pria melalui Paulus bahwa mereka tidak bisa lebih banyak bekerja keras untuk pekerjaan Tuhan ketimbang wanita. Bagi kaum wanita, bersyukurlah karena Tuhan memakai tiga orang wanita untuk menjadi para pelayan Tuhan yang berapi-api dan bekerja keras demi kerajaan-Nya.


Dari dua ayat ini saja, kita banyak belajar tentang konsep pelayanan. Pelayanan kepada Tuhan adalah pelayanan yang diawali dari hati yang taat kepada Tuhan, rela menghambakan diri terus-menerus kepada Allah sebagai Tuhan dan Raja, dan diakhiri dengan semangat kerja keras yang berapi-api. Kalau orang dunia bisa berapi-api dan bekerja keras demi mengejar hal-hal sementara, mengapa untuk hal-hal yang bersifat kekekalan kita tidak bisa lebih banyak bekerja keras? Biarlah renungan 2 ayat ini menyadarkan kita tentang konsep pelayanan yang beres kepada Allah. Amin. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-78: CAN MAN LIVE WITHOUT GOD? (DR. RAVI ZACHARIAS, D.D.)

...Dapatkan segera...

Buku
CAN MAN LIVE WITHOUT GOD?
(Dapatkah Manusia Hidup Tanpa Allah?)


oleh: DR. RAVI ZACHARIAS, D.D.

Penerbit: Interaksara, 2009

Penerjemah: Wim Salampessy





Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio:
Dunia kita makin lama makin ingin meninggalkan Allah. Jika di zaman rasionalisme, manusia mengilahkan rasio. Maka di zaman postmodernisme ini, manusia mulai mengilahkan perasaannya. Apa yang cocok menurut perasaan subyektifnya, itulah yang dianggap “kebenaran.” Allah sudah diletakkan di tempat sampah/pembuangan, begitulah kata Prof. David F. Wells, Ph.D. Sebagai buktinya, dunia kita makin lama makin menawarkan beragam kepercayaan yang kurang bahkan tidak bertanggungjawab. Intinya mereka tidak mau Allah sejati, tetapi ingin memiliki “allah” versi mereka. Dan anehnya, dengan konsep “allah” tersebut, mereka sudah berbangga bahkan merasa sudah hebat. Konsep Ubermensch ala F. Nietzsche sudah meracuni pikiran mereka. Tetapi benarkah manusia dan dunia ini bisa hidup dan memiliki makna tanpa Allah? Seorang apologet terkenal, Dr. Ravi Zacharias di dalam bukunya ini memaparkan dengan begitu tegas, jelas, dan tajam tentang pembelaan Theisme dan Kekristenan. Inti bukunya adalah, “Di luar Allah, kekacauan menjadi norma: bersama Allah, keinginan pikiran dan batin menemukan pemenuhan.” Dari inti buku ini, beliau menguraikan semua problematika sulit yang dilontarkan kepada Theisme, khususnya Kekristenan, misalnya mengenai masalah penderitaan dan makna hidup. Dan bagian terakhir dari buku ini ditutup dengan tanya jawab Theisme Vs Atheisme di dalam ceramah Veritas yang dipimpin Dr. Ravi di Harvard University. Biarlah buku apologetika yang kritis ini menguatkan iman Kristen kita di tengah arus zaman yang rusak ini.



Pujian-pujian:
“Ravi Zacharias menyelidiki kebangkrutan kehidupan tanpa Allah dan mengemukakan pembelaan yang kuat mengenai bagaimana Yesus Kristus membawa arti dan pengharapan kepada kehidupan perorangan.”
(Rev. Dr. William Franklin Graham, Jr., KBE—Billy Graham; Bachelor of Theology—B.Th. dari Florida Bible Institute {sekarang: Trinity College); Bachelor of Arts—B.A. dalam bidang antropologi dari Wheaton College, U.S.A.)

“Saya tidak mengenal intelek yang lebih piawai atau pembela iman yang lebih relevan dan setia daripada Ravi Zacharias.”
(Rev. Charles R. Swindoll, D.D., L.H.D., LL.D., Litt.D. {HC}; Pendiri dan Senior Pastor di Stonebriar Community Church, Frisco, Texas, U.S.A. dan Pendiri dari siaran Insight for Living; lulus magna cum laude dari Dallas Theological Seminary, U.S.A. pada tahun 1963 dan menerima gelar kehormatan: Doctor of Divinity—D.D. dari Talbot Theological Seminary pada tahun 1977; Doctor of Humane Letters—L.H.D. dari Taylor University pada tahun 1986; Doctor of Laws—LL.D. dari Pepperdine University pada tahun 1990; dan Doctor of Literature—Litt.D. dari Dallas Baptist University pada tahun 1997)

“Ravi Zacharias mempersembahkan pembelaan yang hebat dan luar biasa atas iman Kristiani untuk zaman kita.”
(Rev. R. C. Sproul, L.H.D., D.Litt.; Pendiri dan Presiden Ligonier Ministries dan Vising Professor of Systematic Theology di Westminster Seminary di California, U.S.A.; Bachelor of Arts—B.A. dari Westminster College; Bachelor of Divinity—B.D. dari Pittsburgh Theological Seminary; Drs. dari Free University of Amsterdam; Doctor of Letters —Litt.D. dari Geneva College; dan Doctor of Humane Letters—L.H.D. dari Grove City College.)

“Bagi setiap generasi Allah mengirim seorang nabi. Ravi Zacharias adalah nabi untuk generasi ini. Anda harus mendengar dia.”
(Josh McDowell, M.Div., LL.D.—HC; penulis buku terkenal “Evidence That Demands A Verdict”; Master of Divinity—M.Div. dari Talbot Theological Seminary, California, U.S.A. dan dianugerahi gelar Doctor of Laws—LL.D. dari
Simon Greenleaf School of Law)

“Penyajian Ravi Zacharias mengenai kebenaran merupakan ceramah yang paling menarik, tajam, dan menantang yang pernah saya dengar.”
(Prof. Norman L. Geisler, Ph.D.; Presiden
Southern Evangelical Seminary; B.A. dan Master of Arts—M.A. dari Wheaton College; Bachelor of Theology—Th.B. dari William Tyndale College; dan Ph.D. dalam bidang Filsafat dari Loyola University)





Profil Dr. Ravi Zacharias:
Dr. Ravi Zacharias, D.D. lahir di Madras, India tahun 1946. Beliau dikenal sebagai seorang apologetika Kristen dari Kanada, Amerika. Beliau dan keluarganya pindah ke Toronto, Kanada, ketika beliau masih sebagai seorang remaja, tetapi sekarang beliau berada di Atlanta, Georgia. Beliau terlahir dari keluarga pandita Hindu (kasta Nambudiri Brahmin), kemudian beliau bertobat kepada Tuhan Yesus dan menyerahkan diri menjadi hamba-Nya yang setia. Beliau pindah ke Kanada pada tahun 1966. Beliau mendapatkan gelar Master of Divinity (M.Div.) dari Trinity International University di Deerfield, Illinois. Beliau menguasai banyak disiplin ilmu, di antaranya perbandingan agama, aliran agama, dan filsafat, dan oleh karena itu beliau memimpin departemen Penginjilan dan Pemikiran Kontemporer di Alliance Theological Seminary selama 3,5 tahun. Beliau mendapatkan anugerah gelar Doctor of Divinity (D.D.) baik dari Houghton College, NY maupun dari Tyndale College and Seminary, Toronto. Beliau juga dianugerahi gelar Doctor of Laws (LL.D.) dari Asbury College di Kentucky. Beliau juga melakukan studi khusus mengenai para pujangga Inggris aliran Romantisme di Cambridge University, U.K. Beliau sekarang menjadi dosen tamu di Wycliffe Hall, Oxford University di Oxford, England.

Beliau juga menjadi pembicara utama pada the National Day of Prayer di Washington, D.C. dan the Annual Prayer Breakfast for the United Nations di New York City. Beliau telah menulis beberapa buku tentang Kekristenan, di antaranya, Can Man Live Without God? (1994), The Lotus and the Cross: Jesus Talks with Buddha (2001), and Sense and Sensuality: Jesus Talks with Oscar Wilde (2002), Cries of the Heart, Recapture The Wonder, dan Deliver Us From Evil. Selain itu, beliau juga adalah Presiden Direktur dari Ravi Zacharias International Ministries yang berpusat di Norcross, Georgia. Pada tahun 2009 ini, pelayanan beliau telah mencapai lebih dari 36 tahun. Beliau telah berceramah lebih dari 50 negara, termasuk di universitas-universitas terkemuka, seperti: Harvard dan Princeton. Program mingguannya di radio Let My People Think disiarkan di lebih dari 550 stasiun radio di seluruh dunia.

Pada undangan dari Billy Graham, beliau menjadi pembicara pleno di dalam International Conference for Itinerant Evangelists di Amsterdam pada tahun 1983, 1986, dan 2000. Beliau bersama istri, Margie, memiliki tiga orang anak, yaitu; Sarah, yang menikah dengan Jeremy, Naomi, dan Nathan.