Ayat 23, “Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: ‘Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.’ Karena itu Abraham disebut: ‘Sahabat Allah.’” (Yunani : kai eplhrwqh h grafh h legousa episteusen de abraam tw yew kai elogisqh autw eiv dikaiosunhn kai filoς qeou eklhqh = “sehingga dipenuhi nas Alkitab (yang) berkata, telah percaya lalu Abraham kepada Allah, dan (itu) diperhitungkan kepadanya sebagai status yang dibenarkan sehingga sahabat Allah ia dipanggil.”). Terjemahan bebas, “Jadi, genaplah nas Alkitab yang mengatakan bahwa ketika Abraham percaya kepada Allah, ia dibenarkan secara status di hadapan-Nya dan ia disebut sahabat Allah.” Melalui ayat 23, Yakobus tetap mengatakan bahwa Allah memperhitungkan iman (kepercayaan) Abraham (bukan perbuatannya) kepada Allah sebagai status yang dibenarkan. Bagian ini mengutip kitab Kejadian 15:6 yang mengatakan, “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Di ayat ini, tidak disebut sama sekali mengenai sebutan Abraham yaitu sebagai “Sahabat Allah”, tetapi jika ditarik kesimpulan, memang benar bahwa Abraham yang dibenarkan oleh Allah dapat dikatakan dan disebut sebagai sahabat Allah. Iman Abraham kepada Allah merupakan suatu iman yang luar biasa, mengapa ? Karena perlu diketahui, Abram dulu tinggal di suatu lingkungan penyembah berhala dan ketika Allah memanggil Abram untuk keluar dari Ur-Kasdim (Kejadian 12), Abram tidak banyak bertanya atau meragukan Allah, tetapi ia menjalankannya. Di sini titik iman Abram yang luar biasa, oleh karena itu ia disebut bapa orang beriman. Tidak hanya itu saja, di pasal 15 kitab Kejadian, ketika Abram meminta keturunan dan Allah mengabulkannya dengan membawa Abram ke luar serta berfirman, “’Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya.’ Maka firman-Nya kepadanya, ‘Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.’” (Kejadian 15:5). Menanggapi firman Allah ini, Abram bukannya meragukan Allah atau menganggap Allah itu hanya menipu dia, tetapi ia mempercayai setiap firman Allah, sehingga Alkitab berkata, “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Kepercayaan (iman) Abraham adalah respon pertama setelah Allah berfirman dan imannya dilakukan (sebagai bukti/hasil dari imannya yang sejati) sehingga Abraham disebut sahabat Allah. Perhatikan, apa yang terjadi pada kasus Abram, jangan ditafsirkan bahwa kalau manusia tidak beriman dan tidak meminta, maka Allah itu diam saja dan merasa “kasihan”, sehingga perlu ada jasa manusia di dalam rencana Allah. Tidak. Kalau ada anggapan seperti itu, bagaimana Abram bisa meminta kepada Allah, jika Allah tak pernah mencipta Abram, dan bagaimana Abram bisa mempercayai firman Allah, jika Allah tak pernah berfirman kepadanya. Di sini, paradigma kita harus melihat segala sesuatu dari sudut pandang Allah, bukan dari sudut pandang manusia. Kita harus melihat Kedaulatan Allah (The Sovereignty of God) di atas segala-galanya, bukan “kehendak bebas” manusia. Sungguh unik, Yakobus dengan jeli menghubungkan antara kepercayaan Abraham kepada Allah dengan status yang dibenarkan. Hal ini pula yang diyakini oleh setiap anak-anak Tuhan di mana ketika dianugerahkan oleh Allah sebuah iman yang menyelamatkan dan hidup (living and saving faith), di saat itu pula kita mendapat pembenaran (status pembenaran) di mana kita dibenarkan di hadapan Allah Bapa. Jadi, di sini Yakobus mengajar bahwa karena iman saja manusia diselamatkan (sola fide). Hanya melalui iman yang benar kepada Allah yang benar yang merupakan anugerah Allah 100% kepada orang-orang yang telah dipilih-Nya sebelum dunia dijadikan lah, manusia (pilihan-Nya) beroleh status yang dibenarkan oleh Allah. Tanpa ada campur tangan anugerah Allah, manusia yang dalam keadaan/natur berdosa tak mungkin meresponi panggilan Allah melalui iman, karena manusia pada hakekatnya lebih suka melakukan sesuatu yang jahat ketimbang yang baik. Hanya oleh melalui iman sajalah, manusia yang dalam keadaan berdosa boleh dibenarkan di hadapan Allah secara cuma-cuma dan proses pembenaran ini berlangsung sampai selama-lamanya serta proses ini tidak pernah akan hilang (Perseverance of The Saints) karena Allah yang menganugerahkan keselamatan, Ia pulalah yang memelihara keselamatan itu hingga akhirnya, sehingga tak satu kuasa manapun yang bisa merebut keselamatan anak-anak-Nya yang telah Ia pilih sebelum dunia dijadikan. Pada saat kita telah percaya kepada Tuhan Yesus, kita bukan hanya mendapat status dibenarkan oleh Allah, tetapi Kristus menyebut kita sebagai sahabat (Yohanes 15:14-15). Kata “sahabat” yang dijelaskan pada Yohanes 15:13 mempunyai persamaan kata dengan anak-anak-Nya (umat pilihan-Nya), karena di situ Tuhan Yesus sedang berbicara mengenai kasih-Nya yang memberikan nyawa-Nya sendiri kepada mereka. Lalu, ayat ini disambung dengan pernyataan bahwa kamu (di sini menunjukkan para murid-Nya) adalah sahabat-Nya jikalau kamu (mereka) melakukan atau berbuat apa yang Kuperintahkan kepada mereka (Yohanes 15:14). Status dibenarkan lalu disambung dengan status disebut sebagai sahabat, tetapi bukan hanya itu saja, seorang anak Tuhan disebut sahabat jika ia melakukan perintah-Nya. Apakah ini berarti jasa baik manusia diperhitungkan Tuhan baru setelah Tuhan menyebut mereka sebagai sahabat ? Tidak. Jika diperhatikan, pada ayat 9-10, Tuhan Yesus membuka pengajarannya dengan mengatakan, “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu ; tinggallah di dalam kasih-Ku itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.” Kedua ayat ini merupakan dasar utama ketika Tuhan Yesus mengatakan bahwa kita harus menuruti perintah-Nya, itu menunjukkan bahwa kita mengasihi Allah, sebagaimana Allah telah terlebih dahulu mengasihi kita, anak-anak-Nya. Jadi, ketika kita dapat menuruti perintah-perintah-Nya, itu bukan kemampuan kita, itu hanya karena anugerah-Nya yang memampukan kita untuk menaati perintah-Nya. Kalau Allah tidak terlebih dahulu mengasihi manusia yang berdosa, bagaimana bisa manusia mengasihi Allah dengan menaati perintah-Nya ? Pada ayat 15, Tuhan Yesus menegaskan ulang pengajaran-Nya pada ayat 14 dengan membandingkan kata “sahabat” dengan kata “hamba”, di mana ketika seseorang telah percaya kepada Tuhan Yesus, statusnya bukan lagi sebagai hamba, karena hamba tidak mengerti apa yang dilakukan oleh tuannya, tetapi kita disebut sahabat, karena Kristus telah memberitahukan kepada kamu (anak-anak-Nya) segala sesuatu yang telah Ia dengar dari Bapa-Nya. Apakah berarti kita pun mengetahui seluruh rencana Allah dengan sempurna ? Tidak. Kata “telah” di sini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus hanya memberitahukan segala sesuatu yang Ia telah dengar dari Bapa, bukan yang akan Ia dengar atau yang sedang Ia dengar. Mengapa ? Karena hanya Allah Bapa saja yang memiliki kedaulatan penuh atas rencana-Nya dan hanya Ia sajalah yang berdaulat memberitahukan manusia hal-hal yang perlu diberitahu dan menyimpan sesuatu yang hanya boleh diketahui oleh Allah Bapa sendiri (Ulangan 29:29), misalnya kedatangan Kristus yang kedua kalinya (dalam hal ini, Tuhan Yesus pun tidak tahu). Tidak hanya itu saja, ayat 16, Tuhan Yesus menegaskan kembali bahwa bukan manusia yang memilih Allah, tetapi Allah yang memilih manusia. Ini sangat berkaitan erat dengan status sahabat di mana sahabat ini tentu dipilih oleh Allah, untuk apa ? Ayat ini melanjutkan bahwa ketika Allah memilih manusia, Ia menetapkan mereka untuk pergi dan menghasilkan buah dan buah itu tetap, supaya apa yang mereka minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu. Ayat ini seringkali ditafsirkan secara sembrono oleh mayoritas-mayoritas gereja Karismatik/Pentakosta di mana kebanyakan mereka mengajarkan bahwa setiap permintaan yang dialaskan dalam nama Tuhan Yesus pasti dikabulkan karena Ia sendiri menjanjikan demikian. Sekali lagi, ayat ini jangan dicomot lepas dari konteksnya. Ayat ini memang berupa janji Kristus yang akan memberikan segala sesuatu yang diminta oleh manusia, tetapi kalau manusia itu sudah melakukan apa yang diperintahkan-Nya yaitu menghasilkan buah. Jadi, istilahnya, perintah dijalankan, baru dapat hasilnya. Sudahkah kita hari ini menyadari ketika kita dipanggil oleh Allah untuk percaya kepada Tuhan Yesus, itu merupakan anugerah yang sangat indah dan agung, karena Ia telah memilih kita dari sekalian banyak orang yang hidup di dunia dan kita dibawa masuk ke dalam Keluarga-Nya, menikmati status pembenaran dan disebut sahabat Allah ? Dengan sangat tepat, Katekismus Singkat Westminster (Westminster Shorter Cathecism) pada pasal 1 menjelaskan bahwa tujuan hidup manusia yaitu untuk memuliakan Allah dan berbahagia di dalam Dia selama-lamanya. Kita bukan hanya memuliakan Allah saja, tetapi juga menikmati-Nya karena kita telah menjadi anak-anak-Nya dan hidup bersama-sama di bawah pimpinan Allah.
Ayat 24, “Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman” (Yunani : órate oti έx ergwn dikaioutai άnθrwpoς kaί ouk ek pίstewς mónon = “Kamu lihat bahwa karena perbuatan-perbuatan dibenarkan manusia dan tidak karena iman hanya.”). Terjemahan bebas, “Lihatlah bahwa manusia dibenarkan bukan hanya melalui iman saja, tetapi juga melalui perbuatan-perbuatan.” Setelah membahas mengenai Abraham yang secara status dibenarkan karena melakukan apa yang Ia perintahkan, Yakobus menjelaskan dan menyimpulkan bahwa manusia dibenarkan bukan hanya karena iman, tetapi juga karena perbuatan-perbuatannya. Perhatikan kata “bukan hanya karena iman” yang berarti manusia tetap dibenarkan melalui iman kepada Tuhan Yesus Kristus, tetapi kalau iman yang menyelamatkan itu saja yang menjadi pegangan, bagaimana orang lain dapat melihat bahwa diri kita beriman, kalau perbuatan-perbuatan kita sama jahatnya dengan orang-orang dunia ? Di sini, Yakobus ingin menyeimbangkan dan mengintegrasikan iman yang menyelamatkan dan hidup dengan perbuatan-perbuatan sehari-hari yang memuliakan Allah. Kalau ada orang-orang “Kristen” yang dengan sembrono menafsirkan ayat ini lepas dari konteksnya dan membuang kata “bukan hanya” lalu mengatakan, “Jangan teori saja, mana prakteknya ?”, mereka harus menyelidiki terlebih dahulu, apakah benar melalui perbuatan baik manusia dibenarkan ? Ketika ada orang Kristen lainnya mengkritik tindakan kita yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan, kita harus tetap menguji teguran/kritikan itu apakah sesuai dengan Alkitab atau tidak, jika sesuai, kita harus dengan rendah hati dan rela menerima teguran itu lalu bertobat dan tidak mengulanginya, tetapi jika tidak sesuai, kita tetap harus sadar diri, jangan malahan membalas kritikannya. Tetapi yang sangat disesalkan, ketika ada orang Kristen menegur saudara seimannya, selalu dikaitkan dengan gerejanya atau doktrinnya, dengan mengatakan, “Orang Reformed kok berkata kotor ?” atau “Orang Kristen kok buang sampah sembarangan ?”, dll, padahal hal itu (status) tidak perlu dikatakan. Orang yang mengatakan hal ini pun kadang-kadang perbuatannya tidak lebih baik dari yang dikritik, tetapi mereka dengan sok tahu dan sombong menegur orang lain. Kalau ada orang Kristen yang berani mengatakan, “Jangan hanya teori saja, mana prakteknya ?” dengan kata lain, dia tidak senang teori, hanya mau prakteknya, padahal yang sedang dia katakan adalah sebuah teori, aneh bukan ?! Perhatikan, kata “bukan hanya karena iman” ini harus ditafsirkan jika seseorang yang beriman kepada Kristus itu masih memiliki kesempatan yang panjang untuk mengaplikasikan atau menghasilkan iman itu dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak ada kesempatan, seperti penjahat di sebelah Tuhan Yesus yang bertobat, apakah dia bisa menghasilkan perbuatan-perbuatan yang lahir dari imannya kepada Kristus ? Tidak, bukan ? Lalu, apakah berarti dia tidak bisa masuk Surga, karena tidak menghasilkan perbuatan-perbuatan baik ? Juga, tidak ! Kemudian, jika ada orang yang hampir menuju ke kematian, kemudian ia setelah diberitakan Injil oleh anak-anaknya atau saudara atau temannya, tiba-tiba Roh Kudus menggerakkannya untuk percaya kepada Kristus, dan beberapa menit/jam kemudian, ia meninggal dunia, apakah berarti ia tidak masuk Surga, karena tidak berbuat baik ? Tidak, itu pikiran sesat ! Dan perlu diperhatikan, kata “perbuatan” jangan ditafsirkan secara sembrono yaitu amal baik, misalnya banyak memberikan sumbangan kepada orang-orang yang membutuhkan, dll. Kata “perbuatan” harus dikaitkan dengan sikap kepatuhan kepada perintah-Nya, dan itu tidak hanya dalam bentuk memberikan amal, tetapi juga berserah total kepada-Nya, memperbaharui seluruh paradigma kita, membenci dosa, memberitakan Injil, dll. Kalau menaati perintah-Nya hanya dibatasi dengan memberikan sumbangan/amal, lalu pemberitaan Injil, tindakan membenci dosa, memperbaharui seluruh paradigma, dll, itu termasuk apa ? Bukankah itu semua terdapat di dalam Alkitab ? Apakah hal-hal itu tidak disukai karena takut mengganggu privasi orang atau memiliki paradigma bahwa “semua agama itu ‘sama’”, jadi tidak perlu memberitakan Injil ?! Kalau hal ini yang terjadi, percuma saja, orang “Kristen” ini memberikan sumbangan bahkan nyawa dan seluruh hartanya kepada orang miskin, jika dia tidak benar-benar mengerti perintah-Nya yang esensi yaitu mengerti kasih dengan pengertian yang benar. Hari-hari ini, terlalu banyak orang “Kristen” yang tidak bertanggungjawab dengan sembrono menafsirkan kasih dan mengatakan bahwa sebagai seorang hamba Tuhan harus bersikap kasih, bahkan tidak boleh marah-marah, karena itu tanda kurang kasih. Kalau boleh saya katakan, zaman ini, orang “Kristen” memperlakukan hamba-hamba Tuhan seperti banci, yang kompromi dengan semua arus dunia, lemah lembut, panjang sabar, lemah gemulai, lalu hamba Tuhan siapa yang terlalu keras apalagi seperti Pdt. Dr. Stephen Tong, dianggap tidak ada ‘roh kudus’ atau kurang kasih. Ini akibat pembodohan massa yang dilakukan oleh banyak “hamba Tuhan” yang tidak bertanggungjawab, lalu mengatakan bahwa kalau orang Kristen berdosa, yang berdosa itu adalah roh dosa (misalnya, kalau ada orang Kristen yang tidur di kebaktian, itu berarti ada roh ngantuk, jadi yang diusir adalah roh ngantuk). Ajaran-ajaran seperti ini telah merajalela di gereja-gereja Kristen dan anehnya banyak orang Kristen dengan mudahnya ditipu oleh mereka tetapi sampai sekarang tetap saja bodoh dan tidak sadar. Berapa bahaya orang Kristen sekarang, tetapi masih juga tidak sadar ? Pdt. Dr. Stephen Tong menyebut ini sebagai : Krisis Zaman, di mana zaman ini adalah zaman yang tidak mau theologia, menggeser hal-hal yang bermutu dan menggantikannya dengan hal-hal yang remeh. Benarkah kasih itu wujudnya seperti “kasih” yang diajarkan oleh banyak gereja “Kristen” sekarang ? Lalu, apakah perkataan di dalam Wahyu 3:19 yang berkata, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar ; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah !” juga bukan wujud kasih yang Allah inginkan ?! Kalau begitu, ketika Allah “membunuh” orang-orang Israel pada zaman Perjanjian Lama, itu juga berarti bahwa Allah tidak mengasihi mereka ? Demikian juga, ketika Tuhan Yesus menegur orang-orang Farisi di dalam Matius 23 juga termasuk tindakan kurang kasih ? Beranikah kita menghina Tuhan kita sebagai Tuhan yang tidak Mahakasih ? Lalu, bagaimana orang ini menafsirkan Ibrani 12:7-13 ? Inikah ciri hidup orang Kristen yang mengaku diri Kristen dan bahkan “melayani Tuhan” di gereja, tetapi berani menafsirkan sembarangan ayat-ayat Alkitab secara tidak bertanggungjawab ?! Mari kita kembali kepada Alkitab yang mengajarkan bahwa kasih Allah tidak membiarkan anak-anak-Nya hidup di dalam dosa, Ia akan memukul mereka sebagai tanda peringatan, dan kita pun harus taat kepada-Nya. Sikap taat inilah yang oleh Yakobus sebut sebagai “perbuatan” yang lahir dari iman. Kalau orang Kristen yang mengaku diri beriman, tetapi tidak mau ditegur dosanya, lalu berani mengklaim bahwa dia sudah berbuat baik, sangat amat perlu diragukan bahwa dia itu orang Kristen ?! Jangan kira semua orang Kristen itu anak-anak Tuhan ! Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa masih banyak anak-anak Tuhan yang berkeliaran/indekos di dunia, dan juga terlalu banyak anak-anak setan yang masih indekos di dalam gereja. Kalau kita mengaku diri pengikut Kristus, sudahkah hidup dan hati kita diserahkan hanya bagi Tuhan kita dan sudahkah kita menempatkan-Nya di posisi pertama di dalam hidup kita ?
Ayat 25, “Dan bukankah demikian juga Rahab, pelacur itu, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia menyembunyikan orang-orang yang disuruh itu di dalam rumahnya, lalu menolong mereka lolos melalui jalan yang lain ?” (Yunani : omoiwς de kai 'Raab h pórnh ouk ex ergwn edikaiwqh upodexamenh touς aggέlouv kai etera odw ekbalousa = “sama halnya Dan juga Rahab (itu) pelacur bukankah karena perbuatan-perbuatan dibenarkan ketika menyambut (itu) utusan-utusan lalu lain melalui jalan menyuruh (mereka) pergi ?”). Terjemahan bebas, “Dan sama halnya juga dengan Rahab, si pelacur, yang dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya yang telah menyambut para utusan di dalam rumahnya dan menyuruh mereka pergi melalui jalan lain.” Pada ayat 25, contoh Rahab ini tidak boleh dijadikan contoh (kedua) keselamatan karena perbuatan baik ! Perhatikan konteks Rahab di dalam Yoshua 2:1-21 dengan jelas ! Konteks ini berbicara di mana Rahab dipakai Allah sebagai sarana untuk menyelamatkan dua orang pengintai Israel. Hal ini didahului dengan sikap dan rasa takut yang dialami Rahab ketika mendengar kedahsyatan kuasa Allah Israel (Yosua 2:9-11). Jadi, tetap konteksnya iman yang dipraktekkan/menghasilkan perbuatan adalah ukuran keselamatan (bukan perbuatan baik tanpa melalui iman). Ayat 25 ini harus dibandingkan Yosua 2:1-24 ; 6:15-25 ; Matius 1:5 ; Ibrani 11:31. Yakobus memberikan contoh kedua dengan menggunakan kalimat retoris di mana Rahab yang pertama kali percaya kepada Allah Israel (Yosua 2:9) {hal ini tidak disebutkan oleh Yakobus dalam Surat Yakobus}, baru ia menyembunyikan kedua orang pengintai Israel dan menurunkan mereka dengan tali melalui jendela, sebab rumahnya itu letaknya pada tembok kota (Yosua 2:15). Setelah apa yang dilakukan oleh Rahab, ia diselamatkan (kata “dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya”) dari pemusnahan kota Yerikho (Yosua 6:17).
Menurut Handbook to the Bible halaman 237, Ibrani 11:31 menyebutkan (bahwa karena iman, Rahab dibenarkan) bukan perbuatannya yang tidak bermoral. Rumah Rahab dibangun di atas atau pada tembok kota, dengan atap yang datar untuk dipakai mengeringkan hasil panen. Ketika kita (Yosua 2:1-24), ia sedang mengeringkan batang rami yang nantinya akan dipintal menjadi benang lenan. Memang rumah Rahab lah yang dapat dikunjungi oleh para pengintai itu tanpa menimbulkan kecurigaan sedikitpun ; dan tentu juga merupakan tempat yang baik untuk mendapatkan informasi. Setelah para pengintai Israel memenuhi janji mereka kepadanya (Yosua 6:22 dst), Rahab diterima di tengah-tengah bangsa Israel, kemudian menikah dengan Salmon. Dan melalui Boaz, putranya, (lihat Rut 2-4) ia menjadi nenek moyang Daud, bahkan nenek moyang Yesus sendiri (Matius 1:5).
Di sini, Allah tidak memandang orang tertentu untuk menggenapi karya-Nya, bahkan di dalam Ibrani 11:31, iman Rahablah yang dibenarkan oleh Allah, bukan perbuatannya yang tidak bermoral (pelacur). Ketika Yakobus berkata bahwa Rahab dibenarkan karena perbuatannya, kata “perbuatannya” itu harus diartikan perbuatan yang dihasilkan dari iman kepada Allah Israel yaitu dengan meloloskan kedua orang pengintai Israel. Siapapun bisa dipakai oleh Allah untuk menggenapi rencana-Nya, sekalipun itu adalah seorang pelacur dan bukan anak-anak Tuhan, tetapi perlu diingat, kalau ada orang-orang yang bukan anak-anak-Nya dipakai oleh-Nya tentu itu bukan untuk kebaikan orang itu, melainkan untuk kebaikan anak-anak-Nya (misalnya untuk menegur anak-anak-Nya atau menggenapi rencana Allah di dalam karya penebusan Kristus melalui seorang perempuan sundal yang bernama Rahab di dalam Matius 1:5). Contoh lain, di dalam Perjanjian Lama, Allah mengizinkan dan memakai Firaun untuk menjajah Israel sebagai sarana untuk mendisiplin umat pilihan-Nya untuk nantinya bisa berdiam dan tinggal di Tanah Kanaan. Ketika kita “seolah-olah” lebih miskin, susah, melarat ketimbang orang-orang di luar anak-anak Tuhan, ingatlah, apapun yang terjadi di dalam hidup kita, itu pasti dalam rencana Tuhan. Meskipun keadaan susah sekalipun, seperti kejadian di dalam Kitab Habakuk, ada rencana Tuhan yang sangat indah yang tak mungkin dipahami oleh manusia pada saat itu. Allah di dalam kedaulatan-Nya memakai banyak cara untuk menggenapi rencana-Nya bahkan memakai orang-orang berdosa untuk kemuliaan-Nya juga. Tetapi bukan berarti Rahab tidak dipakai oleh Allah atau dijadikan sarana hanya untuk melepaskan kedua pengintai Israel, karena kitab Ibrani 11:31 mencatat iman Rahab. Kalau ada orang “Kristen” yang selalu menuntut perbuatan baik dengan mengutip sembarangan ayat ini atau mengatakan, “Iman tanpa perbuatan adalah kosong” tanpa melihat konteks, coba tanyakan kepada dia, apakah Rahab juga berarti tidak dibenarkan dan diselamatkan, bukankah perbuatannya tidak bermoral (pelacur/perempuan sundal) ? Bukankah padahal Ibrani 11:31, mencatat iman Rahab dibenarkan oleh Allah. Kalau contoh Abraham dipakai oleh Yakobus untuk mengajarkan bahwa kita dibenarkan melalui iman yang menghasilkan perbuatan yaitu menaati perintah-Nya, pada contoh kedua, yaitu contoh Rahab, Yakobus ingin mengajarkan hubungan antara iman kepada Allah dengan perbuatan yang menggenapi rencana dan kehendak Allah. Ketika kita beriman, iman tidak hanya berhenti pada iman yang statis bahkan mati, tetapi iman itu adalah iman yang hidup (living faith) dan iman itu selalu menghasilkan perbuatan-perbuatan yang menaati perintah-Nya di dalam Alkitab dan juga berhubungan dengan penggenapan karya Allah di dalam dunia ini. Ini pun terjadi karena Allah memimpin kita dan pimpinan Allah ini seharusnya kita pertanggungjawabkan, bukan disia-siakan. Marilah kita belajar melihat segala sesuatu yang terjadi di dunia ini bukan dari sudut pandang manusia tetapi dari sudut pandang kedaulatan Allah yang tidak mungkin berubah dulu, sekarang dan selama-lamanya.
Ayat 26, “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.” (Yunani : ώsper gάr to sώma cwriς pneumatoς nekrón έstin = “seperti Sebab tubuh tanpa roh (Yunani : ® pneumatos) mati adalah, demikian juga iman tanpa perbuatan-perbuatan mati adalah.”). Terjemahan bebas, “Sebab seperti tubuh itu mati jika tanpa roh, demikian juga halnya dengan iman menjadi iman yang mati jika tidak menghasilkan perbuatan-perbuatan.” Di sini Yakobus menggunakan bentuk kiasan metafora (“Sebab seperti tubuh tanpa ...”), karena kata “tubuh” tak ada hubungannya dengan “iman” dan kata “roh” (=roh/nafas yang menghidupkan®Kejadian 2:7) tak ada hubungannya dengan “perbuatan”, tetapi kedua hal ini menjadi jelas karena adanya sifat yang sama di mana perbuatan menghidupkan iman seperti roh/nafas menghidupkan tubuh. Kata Yunani : Pneuma, “spirit” (=“roh”) membawa ide Perjanjian Lama akan “life-giving breath” (=“kehidupan-memberikan/pemberian nafas”) {רה , rûah}. Sebuah tubuh tanpa nafas adalah mati (cf. Kejadian 6:17 ; 7:15 ; Mazmur 104:29 ; Yohanes 19:30 ; Lukas 23:46). Prinsipnya adalah jelas : sebuah iman (tubuh) yang tidak didukung oleh pekerjaan-pekerjaan (roh) adalah tak bernyawa. Seperti nafas memungkinkan sebuah tubuh untuk hidup, demikian juga pekerjaan-pekerjaan menghasilkan sebuah iman yang hidup. Kesimpulan cocok dengan Matius 5:16 dalam konteks sebuah evaluasi positif akan “perbuatan-perbuatan baik” (“good deeds”) sebagai/seperti penyimpulan/kesimpulan/ringkasan Peraturan Emas/Golden Rule (Matius 7:12) dan “melakukan kehendak Allah” (“doing the will of God”) dalam Matius 7:21-23 ; 12:50) yang ditunjukkan dalam kasih terhadap tetangga seseorang (one’s neighbor), terutama dalam kebutuhannya (Matius 25:31-46). Pada ayat terakhir ini, Yakobus ingin menjelaskan dan menentang prinsip pemikiran dualisme Yunani dari Plato yang mendualismekan antara dunia maya/ide (nomena) yang sempurna dan baik dengan dunia nyata/realita (fenomena) yang tidak sempurna dan jahat. Yakobus ingin mengajarkan bahwa iman dan perbuatan bukan sesuatu yang terpisah seperti pemikiran dualisme Yunani ini, tetapi jauh melampaui pemikiran ini yaitu adanya integrasi yang kokoh antara iman yang hidup dan menyelamatkan dengan buah dari iman itu yaitu perbuatan-perbuatan yang menaati perintah-Nya di dalam Alkitab. Kalau tidak ada iman yang sejati yang berakar kuat di dalam Firman Tuhan (Alkitab), maka mana bisa menghasilkan perbuatan-perbuatan yang beres dan bertumbuh lebat ? Coba bayangkan jika buah dari suatu pohon tidak ada akar yang kuat, maka apakah bisa buah ini terus bertumbuh lebat ? Tidak mungkin, bukan ? Begitu juga, orang “Kristen” yang selalu menuntut perbuatan baik, lihatlah iman dia terlebih dahulu, pasti sama hancurnya dengan kita atau bahkan lebih parah dari kita, karena yang dituntutnya selalu berbuat baik. Kalau mereka ditanya apa profesinya, selalu dengan sok rohani menjawab, “Melayani Tuhan”, tetapi dia sendiri tidak mengerti dengan benar esensi melayani Tuhan. Saya melihat berapa banyak orang “Kristen” dengan sok rohani mengatakan bahwa dia sedang melayani Tuhan, tetapi jika disuruh belajar theologia dan doktrin-doktrin yang sulit, dia menolak, inikah namanya melayani Tuhan ? Tidak, tetapi justru menghina Tuhan, mengapa ? Karena yang dia mau hanya dia yang bekerja melayani Tuhan, sedangkan dia tidak mau mendengarkan Firman-Nya, sama seperti kebanyakan gereja-gereja Karismatik/Pentakosta yang kalau berdoa ngotot, tetapi kalau mendengarkan khotbah atau Firman Tuhan selalu waktunya kurang atau mayoritas jemaat-jemaatnya tidur. Inilah jiwa egois orang “Kristen” yang mengaku diri sedang melayani Tuhan. Ketika Allah mencipta manusia dengan tubuh nyata tetapi tanpa ada hembusan nafas dari-Nya, bisakah manusia itu hidup seperti sekarang ? Manusia itu menjadi makhluk yang hidup jika Allah memberikan nafas ke dalam hidungnya, tetapi tidak berarti yang penting nafas itu lalu tubuh dibuang. Aneh juga, bila ada nafas saja, tetapi tidak ada tubuh, lalu nafas itu mau dihembuskan ke bagian mana dari manusia ? Tubuh tanpa roh adalah tubuh yang mati, karena roh itu yang menghidupkan manusia, demikian juga iman itu merupakan esensi, tetapi jika iman itu tidak menghasilkan perbuatan, maka iman itu sia-sia/percuma saja. Demikian juga, roh tanpa tubuh pun juga sia-sia. Sama halnya jika perbuatan saja yang ditekankan, kita malahan membanggakan perbuatan dan jasa baik manusia serta tidak kembali kepada anugerah Allah yang memberikan iman. Kedua hal ini harus seimbang dan tidak boleh berat sebelah. Iman kita menjadi hidup (sama seperti tubuh kita bisa hidup) ketika menghasilkan perbuatan-perbuatan yang menaati perintah-Nya (sama seperti roh yang Allah berikan ke dalam hidung manusia). Sudahkah hari ini kita menyadari bahwa tanpa iman, tak ada seorang pun yang berkenan di hadapan Allah dan tanpa menghasilkan perbuatan-perbuatan yang berkenan di hadapan-Nya (Roma 12:1-2), maka iman kita sia-sia adanya ? Sudahkah kita berubah oleh pembaharuan akal budi kita dan menyenangi apa yang Allah sukai dan membenci apa yang Allah benci ? Itulah perbuatan baik kita yang sejati yang berakar dari pengenalan kita pribadi terhadap-Nya dan dari Firman-Nya, Alkitab. ─Amin─