30 August 2009

Roma 16:8-10: SALAM KEPADA SAUDARA SEIMAN-4: Budak

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-10


Salam Kepada Saudara Seiman-4: Budak

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 16:8-10



Setelah menyampaikan salam kepada 3 profesi/jabatan saudara seiman Paulus di ayat 5b s/d 7, kita akan menyelidiki salam Paulus pada 3 ayat berikutnya, ayat 8 s/d 10. Di dalam 3 ayat ini, Paulus menyebut 4 nama, yaitu: Ampliatus, Urbanus, Stakhis, dan Apeles. Nelson Compact Series Compact Bible Commentary menafsirkan 4 nama di dalam 3 ayat ini sebagai nama-nama budak yang umum. Mari kita menyelidiki satu per satu.

Pertama, salam kepada Ampliatus. Paulus hanya menyebut Ampliatus sebagai orang yang ia kasihi di dalam Tuhan. Siapa Ampliatus? Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible memaparkan bahwa Ampliatus adalah nama Romawi. New International Version (NIV) Spirit of the Reformation Study Bible menafsirkan bahwa nama ini adalah nama budak Romawi yang kemungkinan nama Ampliatus muncul di makam di Catacomb of Domitilla, keponakan perempuan dari Kaisar Domitian. Dari keterangan singkat ini, maka mungkin sekali Ampliatus adalah perempuan. Namun dari struktur bahasa Yunaninya, nama Ampliatus menggunakan bentuk maskulin, bukan feminin (bdk. nama Priskila/Priska di ayat 3 yang menggunakan bentuk feminin). Meskipun ada perbedaan tafsiran jenis kelamin Ampliatus, itu bukanlah yang terpenting. Berita yang terpenting adalah Paulus menganggap seorang budak yang bernama Ampliatus ini sebagai orang yang ia kasihi di dalam Kristus. Ini menunjukkan bahwa budak atau pun status seseorang bukanlah menjadi halangan mereka dikasihi, apalagi di dalam Kristus, tidak ada perbedaan status budak dan tuan, meskipun kedua status ini masih ada/tidak dihapus (Kol. 3:11, 22-23). Artinya, umat Tuhan TIDAK perlu melihat perbedaan status di dalam Kristus, namun secara urutan (ordo), hal ini TIDAK berarti budak bisa setara dengan tuan, lalu budak menginjak-injak si tuan. Inilah paradoksikal iman Kristen: SETARA namun BERTINGKAT. Hal ini diderivasikan dari konsep Allah Tritunggal yang SETARA dalam hakikat, namun BERTINGKAT dalam ordo (misalnya, Allah Bapa mengutus Allah Anak, bukan sebaliknya).

Kedua, salam kepada Urbanus. NIV Spirit of the Reformation Study Bible juga menafsirkan bahwa nama Urbanus juga adalah nama budak Romawi. Tidak ada keterangan lengkap di Alkitab mengenai Urbanus, kecuali pemaparan sangat singkat dari Paulus, yaitu Urbanus adalah seorang teman sekerja Paulus di dalam Kristus. Alkitab tidak mencatat profil lengkap Urbanus juga bukanlah hal terpenting. Berita terpenting adalah sosok budak bagi Paulus bukan profesi yang rendah, bahkan Paulus menganggap budak Romawi yang bernama Urbanus ini sebagai teman sekerjanya di dalam Kristus atau dengan kata lain, Urbanus dianggap Paulus sebagai teman sepelayanan Paulus. Berarti, Paulus mengubah status Urbanus dari hamba manusia menjadi hamba Tuhan. Meskipun sama-sama berpredikat “hamba”, namun peralihan status ini berdampak besar bagi hidupnya. Seorang hamba manusia adalah orang yang menghambakan diri kepada manusia yang sama-sama berdosa, terbatas, dan dicipta oleh Allah, namun seorang hamba Allah adalah seorang yang menghambakan diri kepada Allah yang Mahakuasa, Berdaulat, Mahakasih, Mahaadil, dan Mahakudus. Hal serupa juga terjadi pada kita. Kita mungkin adalah hamba manusia dan bahkan hamba dosa ketika kita masih belum diselamatkan, namun di dalam Kristus, kita telah dipulihkan menjadi hamba Allah. Kita tidak lagi menjadi hamba manusia, uang, dll, karena itu terbatas sifatnya. Lalu, bagaimana jika kita bekerja di bawah orang lain? Apakah kita bisa disebut hamba manusia? YA dan TIDAK! YA secara fenomena, tetapi TIDAK secara esensi. YA secara fenomena berarti secara status di dalam masyarakat, jika kita sebagai karyawan/pegawai/staf di bank atau perusahaan apa pun, kita memang berada di bawah otoritas bos/manajer/direktur/dll, namun TIDAK secara esensi berarti meskipun berada di bawah otoritas bos, kita sebagai orang Kristen TIDAK harus mengikuti apa pun kata bos (termasuk hal-hal yang tidak menyenangkan hati Allah). Inilah bedanya kita menjadi hamba Allah di dalam segala aspek kehidupan kita dengan menjadi hamba manusia!

Ketiga, salam kepada Stakhis. Siapa Stakhis? Tidak ada keterangan apa pun di Alkitab. Dr. John Gill memaparkan bahwa nama ini adalah nama Yunani. Robertson’s Word Pictures mengartikan nama ini sebagai bongkol butir padi (bdk. Mat. 12:1). Selanjutnya, Dr. Gill menjelaskan bahwa Stakhis adalah salah seorang dari 70 murid (bdk. Luk. 10:1) yang kemudian menjadi Bishop/Uskup gereja di Byzantium. Hal yang sama terjadi pada Ampliatus, budak Romawi yang Paulus kasihi juga.

Keempat, salam kepada Apeles. Apeles bagi Paulus adalah seorang yang sudah tahan uji di dalam Kristus. “Tahan uji dalam Kristus” diterjemahkan oleh King James Version (KJV) sebagai approved in Christ. Kata approved di dalam bahasa Yunaninya adalah dokimos yang artinya acceptable (dapat diterima). NIV Spirit of the Reformation Study Bible menafsirkan bahwa nama Apeles adalah nama yang unik, karena Paulus menggunakan satu kata Yunani untuk menggabungkan dua konsep tentang tested and approved (diuji dan disetujui). Dengan kata lain, Apeles berarti seorang yang sudah melewati ujian dan dinyatakan lulus dari ujian tersebut. Dari hal ini, kita belajar poin ketiga tentang konsep salam Paulus kepada budak, yaitu konsep budak yang menderita di dalam Kristus. Jika di poin pertama, kita belajar bahwa status budak tidak masalah bagi Paulus, bahkan dikasihi Paulus, maka di poin kedua, kita belajar adanya peralihan status budak manusia menjadi budak Allah. Dan di poin terakhir, kita belajar tentang status budak yang menderita dan diterima di dalam Kristus. Berarti, ada perkembangan pelajaran yang ingin Paulus ajarkan. Pertama, status budak itu tetap berharga di mata Allah. Kedua, budak tersebut diubah dari budak manusia menjadi budak Allah. Dan terakhir, budak yang menjadi budak Allah ini bukanlah budak yang hidup nyaman, tetapi harus melewati berbagai macam penderitaan demi imannya dan ia dipastikan menang karena kesetiaannya kepada Allah yang ia layani.

Ketiga pelajaran ini juga menjadi pelajaran bagi kita. Pertama, dulu kita adalah hamba dosa. Kita sebagai manusia yang dicipta, terbatas, dan berdosa (mengutip istilah Pdt. Dr. Stephen Tong) lebih cenderung menghambakan diri kepada dosa daripada kepada Allah. Lalu, Allah memilih kita sebelum dunia dijadikan dan Ia menentukan dan membawa kita kepada penebusan Kristus melalui karya Roh Kudus. Di dalam penebusan Kristus, kita beralih dari status hamba manusia yang diperbudak oleh dosa menjadi hamba Allah yang dipimpin oleh Allah. Kita tidak lagi menyenangi apa yang kita senangi, tetapi apa yang Tuhan senangi. Kesukaan-Nya menjadi kesukaan kita. Tetapi ketika kita menjadi hamba-Nya, itu BUKAN hal mudah. Ada beragam ujian yang Tuhan sediakan untuk menguji dan mendewasakan iman dan seluruh hidup kita. Penderitaan, penyakit, kegagalan, dll adalah sarana yang Tuhan pakai untuk menempa kita untuk terus-menerus makin setia kepada-Nya. Meskipun harus menderita, umat Tuhan bukan kalah di dalam penderitaan tersebut, tetapi pasti menang, karena Allah yang telah mengalahkan dunia tersebut bagi mereka adalah Allah yang memberi kekuatan di kala penderitaan itu mencengkeram hidup mereka. Itulah citra budak Allah. Mengutip Ev. Agus Marjanto Santoso, M.Div. di dalam khotbah di National Reformed Evangelical Convention (NREC) 2008, kita dulu adalah orang berdosa (sin), dipanggil menjadi orang kudus Allah di dalam Kristus (saint), dan setelah ditebus-Nya, kita dipanggil untuk melayani-Nya (servant). Sin -> saint -> servant.

Kelima, salam kepada orang-orang di rumah Aristobulus. Tidak ada keterangan apa pun di dalam Alkitab tentang siapa Aristobulus dan orang-orang di dalam rumah Aristobulus. NIV Spirit of the Reformation Study Bible mengontraskan gaya salam Paulus di ayat 10c ini dan 11 dengan ayat 5, 14-15, di mana ayat 10c dan 11, Paulus tidak memberi salam kepada orangnya langsung, tetapi kepada orang-orang yang ada di dalam rumah orang-orang yang disebut (Aristobulus dan Narkisus). Mengapa Paulus tidak menyampaikan salam kepada Aristobulus, melainkan kepada orang-orang di dalam rumah Aristobulus? Beberapa tafsiran Alkitab yang saya baca meragukan bahwa Aristobulus adalah seorang Kristen. NIV Spirit of the Reformation Study Bible menafsirkan bahwa kemungkinan Aristobulus adalah cucu dari Herodes Agung dan teman dari Kaisar Klaudius. Dengan kata lain, salam Paulus BUKAN ditujukan kepada Aristobulus, tetapi kepada orang-orang yang ada di dalam rumah Aristobulus, yang kemungkinan para budak Kristen. Dari bagian ini, kita mendapatkan pelajaran bahwa Paulus yang memperhatikan empat budak di atas, juga memperhatikan budak-budak lain di bawah pengawasan majikan/tuan mereka. Selain memperhatikan, ia tentu juga mengajar para budak Kristen untuk taat kepada tuan mereka seperti kepada Kristus (Kol. 3:22-23).


Dari 3 ayat ini, kita belajar tentang konsep budak. Tidak ada salahnya dengan konsep budak, yang salah adalah perlakuan terhadap budak (mengutip perkataan Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. dan Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.). Jika konsep budak itu salah, maka kita disebut budak Allah pun juga salah, padahal Alkitab juga mengajar bahwa kita adalah hamba-hamba Allah (Rm. 6:22; Ef. 6:6; 1Ptr. 2:16). Di sini letak kegagalan “theologi” pembebasan ala dunia berdosa yang melawan Alkitab! Sebagai hamba/budak Allah, sudahkah kita benar-benar menjalankan panggilan sebagai budak-Nya yang hanya men-Tuhan-kan Kristus dan menggenapkan kehendak dengan memperluas kerajaan-Nya di bumi ini? Biarlah ini menjadi pelajaran penting bagi kita. Amin. Soli Deo Gloria.

28 August 2009

Resensi Buku-77: WHEN GOD WRITES YOUR LOVE STORY (Eric dan Leslie Ludy)

…Dapatkan segera…




Buku
WHEN GOD WRITES YOUR LOVE STORY:
Prinsip Menghadapi Patah Hati Berulang-ulang dan Mengalami Cinta Sejati


oleh: Eric dan Leslie Ludy

Penerbit: Gloria Graffa, 2009 (cetakan kedua)

Penerjemah: Deesis Edith Mesiani





Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio:
Adakah cinta sejati itu? Bagaimana mendapatkan cinta sejati tersebut? Seorang yang patah hati sering kali bertanya demikian karena frustasi dengan kisah cintanya yang terdahulu. Bukan hanya orang yang patah hati, orang yang masih lajang/single pun tidak jarang berpikir demikian, karena dia tidak segera menemukan pasangan hidup yang tepat. Bagaimana mengatasi semuanya ini? Eric dan Leslie Ludy di dalam bukunya When God Writes Your Love Story memaparkan tesis bukunya yaitu dengan menyerahkan pena kita kepada Allah agar Ia menulis kisah cinta bagi kita, maka kita akan menemukan cinta sejati yang disebut “nyanyian yang lebih merdu.” Di dalam bukunya, Leslie mengajar kita, “Hanya dengan bergantung kepada Bapa kita yang setia dan kerinduan untuk menyenangkan-Nya dengan setiap hal yang kita lakukan, yang akan menyiapkan panggung bagi kisah cinta yang indah!” (hlm. 84) Berarti Allah pun ikut terlibat bahkan dalam urusan kisah cinta umat-Nya. Namun sebelum kita tergesa-gesa melihat cara kerja Allah di dalam hal percintaan, Eric dan Leslie Ludy mengajar kita untuk terlebih dahulu menyerahkan hati dan hidup kita bagi Kristus. Ketika kita sudah menyerahkan hati dan hidup kita bagi Kristus, kita akan melihat proses yang Allah bentuk bagi kita di dalam hal percintaan. Salah satu bentuk menyerahkan hati dan hidup kita bagi Kristus adalah dengan bentuk menyangkal diri. Ketika kita sudah terlatih menyangkal diri demi kehendak Allah, maka kita pun bisa menyangkal diri dan berkorban bagi pasangan kita.

Yang lebih menarik lagi, Eric dan Leslie Ludy bukan hanya sekadar memaparkan konsep tersebut secara muluk-muluk, namun juga secara praktis. Mereka memaparkan realitas pengalaman mereka sendiri di dalam menemukan kehendak Allah di dalam urusan cinta tersebut. Mereka sempat frustasi karena tidak menemukan pasangan hidup yang sesuai dengan kehendak Allah, namun karena mereka masing-masing membiarkan Allah menuliskan kisah cinta bagi mereka masing-masing, maka mereka akhirnya bisa bertemu dan menikah sesuai dengan kehendak-Nya. Bagi saya, ini adalah suatu pengalaman hidup cinta dari seorang muda/i Kristen yang didasari oleh konsep Alkitab yang beres dan jelas namun menyentuh. Biarlah buku ini menjadi berkat bagi kaum muda/i Kristen yang akan, sedang, bahkan telah berpacaran agar mereka makin mencintai Tuhan melalui hubungan berpacaran dan menikah nantinya. Amin.



Pujian-pujian:
“Jika kamu mencari cara praktis membangun hubungan yang memuliakan Allah, jangan lewatkan buku ini.”
(Les Parrot, Ph.D. dan Leslie Parrot; Penulis Saving Your Marriage Before It Starts)

“Begitu blak-blakan dan tak ada yang ditutup-tutupi. Buku ini menyelidiki kehidupan cinta para lajang Kristiani secara mendalam.”
(Beverly LaHaye; Pendiri dan Pemimpin Concerned Women for America)

“Jika kau ingin menyelamatkan dunia dari satu lagi patah hati atau memenuhi sebuah hati yang sedang menguncup oleh cinta, belilah buku ini dan berikan pada sahabat istimewa.”
(Dr. Joe White; Presiden Kanakuk Kamps)





Profil Eric dan Leslie Ludy:
Eric dan Leslie Ludy (www.ericandleslie.com) adalah penulis best-seller, pembicara internasional, dan artis rekaman yang menantang anak muda seluruh dunia untuk mengejar kehidupan yang diabdikan secara penuh kepada Yesus Kristus. Buku-buku mereka di antaranya: When God Writes Your Love Story, When Dreams Come True, Authentic Beauty, dan God’s Gift to Women. Mereka tinggal di dekat Rocky Mountains di kota Colorado yang indah.

23 August 2009

Roma 16:5b-7: SALAM KEPADA SAUDARA SEIMAN-3

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-9


Salam Kepada Saudara Seiman-3

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 16:5b-7



Setelah menyampaikan salam kepada Priskila dan Akwila, maka Paulus menyampaikan salamnya kepada saudara seiman lainnya. Di dalam bagian ini, ayat 5b s/d 7, kita akan menyelidiki 3 jabatan/profesi saudara seiman Paulus. Mari kita menyelidiki satu per satu.


Salam pertama ditujukan kepada Epenetus. Siapa Epenetus? Di ayat 5b, Paulus memberi tahu kita, “saudara yang kukasihi, yang adalah buah pertama dari daerah Asia untuk Kristus.” Kata “Asia” di dalam ayat ini diterjemahkan dalam beberapa terjemahan bahasa Inggris: Achaia (Akhaya). New International Version (NIV) tetap menerjemahkannya: the province of Asia (provinsi Asia). Terjemahan Yunaninya adalah (Provinsi) Asia (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 879) Dengan kata lain, Epenetus (NIV Spirit for the Reformation Study Bible mengartikan namanya: worthy of praise yang artinya patut dipuji) adalah seorang yang bertobat melalui pelayanan Paulus pertama di Akhaya. Jika kita menelusuri kembali Akhaya, maka di tempat itu, Paulus menyebut bahwa Stefanus lah yang merupakan buah pertama pelayanannya di Akhaya. Mari kita membaca 1 Korintus 16:15, “Kamu tahu, bahwa Stefanus dan keluarganya adalah orang-orang yang pertama-tama bertobat di Akhaya, dan bahwa mereka telah mengabdikan diri kepada pelayanan orang-orang kudus.” Jadi, mana yang benar? Matthew Henry di dalam tafsirannya Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible, John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible, The People’s New Testament, dan Robertson’s Word Pictures manafsirkan bahwa mungkin sekali Epenetus adalah salah seorang keluarga Stefanus yang bertobat melalui pelayanan Paulus pertama tersebut. Dari keterangan singkat siapa Epenetus, kita belajar satu hal menarik, yaitu Paulus tidak melupakan buah pelayanannya yang pertama dan daerah asal mereka (meskipun mereka telah pindah ke Roma). Berarti, ia tetap mengingat para petobat pertama. Luar biasa. Sering kali para hamba Tuhan dan orang Kristen lainnya yang memberitakan Injil kepada orang banyak menjadi lupa kepada orang yang pertama kali mereka injili yang telah bertobat. Paulus tidak demikian dan hal ini menjadi pelajaran bagi kita agar kita mengingat siapa orang yang pertama kali kita injili dan bertobat, lalu setelah mengingat orang tersebut, kunjungi dia dan ajarlah dia untuk bersama-sama bertumbuh di dalam pengenalan akan Allah dan firman-Nya.


Selain Epenetus, Paulus menyebut nama Maria. Di ayat 6, Paulus hanya memberikan keterangan sangat singkat tentang Maria, “yang telah bekerja keras untuk kamu.” Beberapa tafsiran Alkitab yang saya baca sepakat tidak mengetahui profil lengkap Maria. Albert Barnes di dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menafsirkan bahwa Maria mungkin adalah mantan warga Yunani yang mengikuti pelayanan Paulus di Roma. Di Roma inilah, Maria dikenal sebagai orang yang melayani Tuhan sama seperti Trifena dan Trifosa (ay. 12). Adam Clarke di dalam tafsirannya Adam Clarke’s Commentary on the Bible mengatakan bahwa meskipun sosok Maria tidak diketahui dan tersembunyi dari manusia, pelayanannya tidak mungkin tersembunyi di mata Allah dan apa yang ia lakukan bagi jemaat-Nya akan tercatat di dalam Kitab Kehidupan. Perkataan Clarke ini memberikan kekuatan bagi kita yang membaca ayat ini. Tuhan mengizinkan sosok Maria ini tidak diketahui agar jemaat Tuhan baik pada zaman itu maupun pada zaman sekarang bukan melihat kehebatan sosok Maria, tetapi melihat kemuliaan Allah melalui karya dan pelayanan yang ia lakukan. Itulah arti pelayanan. Pelayanan kepada Tuhan adalah pelayanan yang dilakukan sebagai respons terhadap anugerah Allah, melalui kuasa Allah, dan bagi kemuliaan-Nya. Berarti, di dalam melayani Tuhan, tidak ada satu inci jasa baik manusia yang diperhitungkan. Dengan kata lain, di dalam melayani Tuhan, bukan diri kita yang ditonjolkan, tetapi nama Tuhan. Bagaimana dengan kita? Kita yang suka menonjolkan diri di dalam melayani Tuhan sudah seharusnya bertobat dari kebiasaan ini dan kembali kepada hakekat pelayanan Kristen yang sehat sesuai dengan Alkitab.


Orang ketiga yang Paulus berikan salam yaitu Andronikus dan Yunias (ay. 7). Siapa mereka? Paulus menjelaskan, “saudara-saudaraku sebangsa, yang pernah dipenjarakan bersama-sama dengan aku, yaitu orang-orang yang terpandang di antara para rasul dan yang telah menjadi Kristen sebelum aku.” NIV Spirit of the Reformation Study Bible menafsirkan bahwa kedua nama ini diterjemahkan sebagai nama laki-laki, tetapi para penafsir awal mempercayai bahwa mereka adalah suami istri (Andronikus dan Yunia). Menurut Dr. John Gill di dalam tafsirannya, Andronikus adalah nama Yunani, sedangkan istrinya, Yunia adalah nama Latin. Kedua pasutri ini disebut Paulus sebagai saudara sebangsa. Berarti kedua pasutri ini adalah orang Yahudi yang bertobat dan percaya kepada Kristus, bahkan sebelum Paulus bertobat. Dr. John Gill bahkan menafsirkan mungkin sekali kedua pasutri ini berasal dari keturunan Benyamin seperti Paulus dan memiliki hubungan darah yang dekat dengan Paulus. Bukan hanya memiliki hubungan darah dengan Paulus, mereka juga dikatakan pernah dipenjarakan bersama-sama dengan Paulus. Berarti, mereka juga ikut menderita demi Kristus bersama-sama dengan Paulus. Dan terakhir, mereka disebut orang yang terpandang di antara para rasul. NIV Spirit of the Reformation Study Bible menafsirkan bahwa mereka mungkin adalah para pembawa berita khusus bagi gereja-gereja, tetapi mereka tidak menduduki jabatan otoritatif rasul. Dengan kata lain, “orang-orang yang terpandang di antara para rasul” ini berarti orang yang dikenal oleh para rasul. Bahkan, Dr. John Gill menafsirkan bahwa Andronikus inilah Uskup di Pannonia atau di Spanyol. Dari keterangan singkat ini, kita mendapatkan gambaran jelas bahwa Paulus mengingat saudara sebangsanya bukan karena mereka satu bangsa, tetapi satu iman dan bersama-sama di dalam satu penderitaan bagi Kristus. Inilah jiwa pelayanan. Pelayanan bukan menomersatukan kesamaan ras atau suku, tetapi kesamaan misi, visi, dan beban di dalam memperluas Kerajaan-Nya. Jika di dalam melayani Tuhan, anak-anak Tuhan memiliki kesamaan dan kemurnian yang sama di dalam motivasi, misi, visi, dan beban, maka mereka akan melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh dan setia. Sudahkah kita memiliki hal demikian?


Biarlah melalui perenungan 3 ayat ini membawa kita lebih mengerti konsep pelayanan yang diperkenan Allah bagi perluasan kerajaan-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.

20 August 2009

PARADOXICAL CHRISTIAN LIFE STYLE (Denny Teguh Sutandio)

PARADOXICAL CHRISTIAN LIFE STYLE:
Analisis Gaya Hidup Kristen dan Panggilan Gaya Hidup Kristen yang Paradoks Di Era Postmodern


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
(Rm. 12:2)





PENDAHULUAN
Alkisah ada dua orang Kristen yang beribadah di gereja yang sama. Sebut saja A dan B. A adalah sosok jemaat gereja ideal. Dia seorang yang aktif pelayanan dan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan gereja. Bahkan ia aktif dan gemar membaca buku-buku theologi dan rohani berkualitas. Tidak jarang dia juga aktif berdiskusi theologi bahkan berdebat dengan orang lain tentang doktrin Kristen yang sehat. Meskipun A gemar dengan hal-hal theologi, namun sayangnya ia tidak pandai bergaul dan kaku. Semua dinilai dari perspektif Alkitab, bahkan untuk hal-hal kecil/sekunder sekalipun. Sedangkan B adalah sosok jemaat gereja yang biasa-biasa saja, bahkan boleh dibilang kurang aktif ke gereja. Dia sosok jemaat yang malas pergi ke gereja. Dia lebih sering keluar hang out bersama teman-temannya ketimbang harus belajar doktrin. Bahkan ada yang sampai ekstrim, lebih memilih hang out ketimbang harus beribadah.




VARIASI GAYA HIDUP ORANG KRISTEN
Ilustrasi di atas adalah gambaran dua gaya hidup orang Kristen di zaman ini.
Di satu sisi, ada orang Kristen yang gemar belajar doktrin, namun sayangnya gaya hidupnya sangat kaku (istilah kerennya: jadul—jaman dulu). Mengapa bisa demikian? Karena ia mengamini khotbah pendetanya yang mengutip Roma 12:2 bahwa kita tidak boleh serupa dengan dunia, tetapi harus berubah oleh pembaharuan budi kita. Gara-gara konsep tersebut, maka di dalam pola pikirnya, segala sesuatu di dunia ini pasti rusak dan harus dihakimi menurut perspektif Alkitab. Alhasil, jangan heran, mereka buta terhadap hal-hal duniawi. Jangan tanyakan kepada orang ini tentang Facebook, Friendster, dll. Yang dia tahu bukan Facebook, tetapi book (=buku), hehehe J Bagaimana bisa tahu gaya hidup orang ini? Memang agak susah, tetapi bisa ditebak kok. Adapun ciri-ciri orang ini seperti:
Pertama, tidak mampu membedakan mana yang primer dengan sekunder. Semua hal dianggapnya primer, apalagi menyangkut doktrin. Orang ini akan mendengungkan bahwa esensi lebih penting dari fenomena. Semua doktrin dianggap primer/esensi, sehingga tidak heran jika ada orang yang berbeda doktrin dengannya dalam hal-hal sekunder pun dianggap oleh orang Kristen kaku ini sebagai hal primer. Ambil contoh, baptisan bayi/anak (infant baptism). Alkitab TIDAK melarang praktek baptisan bayi dan TIDAK mengharuskan baptisan bayi. Namun ada seorang pendeta dengan nada emosinya mengatakan di atas mimbar bahwa gereja yang tidak menjalankan baptisan anak itu sesat. Ini contoh orang Kristen yang tidak bisa membedakan mana yang primer dan mana yang sekunder.

Kedua, tidak mampu membedakan mana yang merupakan humor dengan yang serius. Bagi orang ini, semua hal dianggap serius, tidak ada humor. Saya menjumpai ada seorang Kristen yang menguasai banyak bidang doktrin dan hal-hal lain ternyata adalah seorang yang tidak bisa membedakan antara humor dengan yang tidak humor. Sesuatu yang humor dianggap serius dan lebih parahnya dia mendukung argumentasinya berdasarkan Alkitab.

Ketiga, tidak bisa bergaul. Orang model ini jarang bisa bergaul. Saya sudah mendapati orang-orang model seperti ini. Orang model ini biasanya seorang pendiam dan sangat kaku.

Keempat, cara berpakaian. Entah mengapa cara berpakaian orang Kristen seperti ini sangat old fashioned. Kalau orang Kristen ini orang yang sudah tua atau orangtua, itu wajar, namun jika orang Kristen model ini masih muda, maka sangat ketinggalan zaman orang seperti ini. Bayangkan seorang muda Kristen masih menggunakan celana panjang hitam, baju dimasukkan, dll. Bukan berarti kita tidak boleh rapi, tetapi kerapian itu harus disesuaikan dengan konteksnya.


Di sisi lain, ada orang (Kristen) yang malas beribadah (ke gereja), namun gaya hidupnya gaul luar biasa. Ciri-ciri orang (Kristen) seperti ini bertolak belakang dari ciri orang Kristen model A di atas:
Pertama, tidak memerhatikan esensi. Jika orang Kristen model A terlalu mementingkan esensi dan cenderung membuang fenomena, maka orang (Kristen) model B sangat mementingkan fenomena dan cenderung membuang esensi. Baginya, hidup hanya sekali, maka hidup harus dinikmati sebebas-bebasnya. Masa bodoh dengan iman, karakter, komitmen, dll. Prinsip hidupnya: “muda foya-foya, tua kaya-raya, dan mati masuk ‘sorga’” Gaya hidupnya: enjoy aja. Tidak ada ikatan di dalam hidupnya. Mereka bebas melakukan apa yang mereka ingin lakukan. Tidak heran, di zaman postmodern ini, free-sex begitu laku di pasaran bahkan mereka bisa bersuka karena telah melakukan free-sex. Konsep ini jelas tidak beres. Jika semua orang bebas seperti ini, ada beberapa hal yang tidak disadarinya: Pertama, kriteria bebas seperti apa yang ia tetapkan? Kedua, kebebasan seseorang pasti melawan kebebasan orang lain dan pasti terjadi perkelahian di antara mereka.

Kedua, semua hal dianggap humor/tidak serius. Jika di dalam “kamus” hidup orang model A tidak ada humor, maka di dalam “kamus” hidup orang model B semua dianggap humor. Tidak ada jiwa serius apalagi bertanggungjawab atas apa yang dikatakannya. Ya, inilah era di mana tanggung jawab sudah mulai hilang bahkan di kalangan banyak orang “Kristen.” Semua bisa berkata sesuka hatinya tanpa mau mempertanggungjawabkan apa yang dikatakannya.

Ketiga, sangat pandai bergaul. Orang model B ini sangat mudah dan pandai bergaul. Dia memiliki banyak teman/sahabat bahkan dari luar negeri. Dia mungkin seorang yang mudah akrab dengan orang yang baru pertama kali ditemui. Tetapi sayangnya, kita tidak pernah mengetahui apa motivasi sebenarnya dari orang yang sangat mudah/pandai bergaul tersebut.

Keempat, cara berpakaian sangat up-to-dated. Orang model B tidak usah diragukan lagi cara berpakaiannya: sangat gaul, up-to-dated, dan funky. Namun sayangnya, yang ekstrim, mereka berpakaian melampaui batas-batas etika. Hal ini bisa dilihat biasanya pada seorang artis wanita terkenal atau penyanyi pop/dangdut yang berpakaian tidak senonoh. Sebuah berita mengabarkan seorang istri pemimpin gereja besar di Singapore yang adalah seorang penyanyi sekuler mengenakan pakaian yang tidak senonoh yang mempertontonkan payudaranya.


Manakah yang harus dipilih orang Kristen? Orang Kristen jika dituntut untuk memilih, selalu berpikir either … or… Kalau tidak menjadi orang Kristen model A (kepalanya penuh dengan doktrin, namun jadul), maka ia akan menjadi orang Kristen model B. Jika orang Kristen memilih menjadi orang Kristen model A di atas, jangan harap orang dunia bisa bertobat, karena mungkin sekali orang dunia akan melihat keanehan orang Kristen yang benar-benar kaku dan jadul. Sebaliknya, jika orang Kristen memilih model B di atas, mungkin sekali ia cocok dengan orang dunia, namun sayangnya orang dunia yang benar-benar kritis tidak akan menghargai orang semacam demikian, karena orang model B tidak memiliki prinsip hidup bahkan komitmen. Jadi, manakah yang harus kita pilih dengan bertanggungjawab?




PANDANGAN ALKITABIAH TENTANG GAYA HIDUP KRISTEN YANG SEHAT
Jika kita telah melihat ketidakseimbangan gaya hidup “Kristen” di atas, maka sudah saatnya kita melihat apa kata Alkitab tentang gaya hidup Kristen yang sehat. Sebelumnya kita akan menelusuri makna gaya hidup dan dikaitkannya dengan pengajaran Alkitab mengenai gaya hidup Kristen.

Apakah gaya hidup itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) mendefinisikan gaya hidup sebagai, “pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia di dalam masyarakat.” (hlm. 258) Dari definisi ini, kita mendapatkan kesimpulan bahwa gaya hidup berkaitan dengan golongan/kelompok masyarakat. Bukankah ini hal menarik jika kita menggunakannya sebagai saksi Kristus yang menggarami dan menerangi dunia ini? Melalui sekelompok masyarakat Kristen yang memiliki gaya hidup Kristen yang NORMAL/SEHAT, maka kita bisa memenangkan orang banyak demi Kristus. Lalu, bagaimana memiliki gaya hidup Kristen yang NORMAL/SEHAT tersebut? Apakah kita memilih jalan kaku seperti orang Kristen model A atau kita berkompromi seperti orang Kristen model B? Jawabannya: TIDAK. Saya mengembangkan satu istilah: Paradoxical Christian Life Style (Gaya Hidup Kristen yang Paradoks). Artinya, di dalam mengembangkan gaya hidup Kristen, kita TIDAK mengikuti gaya hidup A yang jadul, kaku, dan old-fashioned tersebut, namun kita juga TIDAK mengikuti gaya hidup B yang tidak bertanggungjawab dan kompromi tersebut. Kita mengembangkan satu gaya hidup yang tetap berpusat kepada Allah namun tetap “mendarat” di dunia kita, sehingga kita bisa menjadi garam dan terang bagi dunia berdosa ini.

Roma 12:2 memang mengajar kita bahwa agar kita jangan serupa dengan dunia ini. Frase ini di dalam teks Yunaninya menggunakan bentuk pasif. Artinya, kita TIDAK boleh dipengaruhi dunia ini. Lalu, Paulus mengajar kita untuk memperbaharui akal budi kita agar kita bisa membedakan mana yang kehendak Allah: yang baik, berkenan kepada Allah (=menyenangkan Allah), dan sempurna. Dengan kata lain, di dalam Roma 12:2, Tuhan melalui Paulus menuntut kita memiliki gaya hidup yang berpusat kepada Allah, di mana hati, pikiran, perkataan, dan sikap kita memuliakan Allah. Itu esensi yang harus kita pegang dan tidak boleh dikompromikan. Kita harus mati-matian mempertahankan pola pikir ini bahkan mungkin harus berperang melawan postmodern yang anti-konsep dan semau gue. Tetapi meskipun demikian, kita jangan salah. Kita adalah anak-anak Tuhan yang diutus oleh Tuhan ke dalam dunia, seperti yang dikatakan Kristus sendiri kepada Bapa-Nya tentang para murid-Nya (dan umat pilihan-Nya), “Aku telah memberikan firman-Mu kepada mereka dan dunia membenci mereka, karena mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia. Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat. Mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia. Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran.” (Yoh. 17:14-17) Perhatikan doa Tuhan Yesus ini. Kristus mengajar hal paradoks seperti yang telah saya paparkan di atas:

Pertama, umat pilihan-Nya BUKAN berasal dari dunia ini sama seperti Kristus bukan berasal dari dunia ini. Berarti, Kristus sedang mengajar kita tentang status kita. Bagi kita yang termasuk umat pilihan-Nya, kita adalah orang-orang yang BUKAN berasal dari dunia ini, karena kita adalah warga Kerajaan Sorga yang dilahirkan dari Roh (bdk. Yoh. 3:3, 5-6). Seorang yang dilahirkan dari Roh secara status telah dilahirbarukan oleh Roh Kudus untuk percaya kepada Kristus, namun secara kondisi, orang ini perlu terus-menerus hidup dipimpin Roh Kudus (Rm. 8:14). Kita bisa melakukan hal ini semata-mata karena anugerah Allah melalui kuasa pencerahan dan pimpinan Roh Kudus tersebut (bdk. Flp. 2:12-13). Orang yang dipenuhi Roh Kudus adalah mereka yang menyenangi apa yang Allah senangi dan membenci apa yang Allah benci. Itulah definisi paling jitu tentang menyangkal diri dari hamba-Nya, Pdt. Dr. Stephen Tong.

Kedua, meskipun bukan berasal dari dunia, Tuhan Yesus tidak meminta kepada Bapa agar umat pilihan-Nya diambil dari dunia ini. Mengapa? Karena Kristus mengutus mereka untuk menjadi saksi-Nya yang harus mewartakan kasih Kristus kepada banyak orang (Mat. 5:13-16; Kis. 1:8). Dari sini, kita belajar bahwa kita sebagai anak-anak-Nya DIUTUS menggarami dan menerangi dunia. Lalu, bagaimana cara menggarami dan menerangi dunia? Apakah caranya seperti orang Kristen model A tersebut? TIDAK! Jika kita mencontoh orang Kristen model A, orang dunia dijamin tidak akan bertobat, malah mungkin merasa risih dengan keanehan kita. Cara kita menggarami dan menerangi dunia adalah dengan melihat dunia sekeliling kita dengan perspektif kedaulatan Allah. Berarti, prinsip pertama di dalam cara menjadi garam dan terang dunia, yaitu kedaulatan Allah. Prinsip kedua adalah mengamati kondisi dunia kita (secara obyektif). Kita harus mengerti apa yang sedang terjadi di dunia kita. Caranya adalah dengan kita membaca surat kabar, mengakses internet, menonton film/DVD, dll. Misalnya, ditangkapnya teroris yang ternyata bukan Noordin M. Top oleh Densus 88, dll. Jika kita tidak tahu-menahu tentang kondisi dunia sekitar, bagaimana kita bisa menggarami dunia?

Ketiga, meskipun kita diutus oleh Kristus, Ia meminta kepada Bapa agar Bapa melindungi mereka dari yang jahat dengan menguduskan mereka dengan firman-Nya. Berarti, ketika kita diutus menjadi saksi-Nya, kita tidak ditinggalkan begitu saja, Roh Kudus diutus dan Firman Allah diwahyukan untuk memimpin hidup kita terus-menerus agar kita makin taat kepada Kristus dan siap menggarami dan menerangi dunia kita. Dengan kata lain, Alkitab dan Roh Kudus adalah dua sarana/pagar agar kita bisa menjadi garam dan terang dunia dengan teliti, waspada, dan bertanggungjawab. Berarti kita harus memakai semua sarana dunia yang baik untuk memuliakan Allah. Di dalam theologi Reformed, kita mengenal konsep mandat budaya. Seperti ajaran Dr. John Calvin tentang spiritualitas Kristen, kita tidak anti terhadap dunia, namun kita memanfaatkan segala hal di dunia ini untuk memuliakan Allah. Itulah inti pengajaran Alkitab, kita menaklukkan semua pikiran di bawah kaki Kristus, seperti yang Rasul Paulus ajarkan kepada jemaat di Korintus, “Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus,” (2Kor. 10:5) Saya akan memberikan contoh praktisnya. Di dalam zaman sekarang, Facebook sedang ngetren. Apa yang menjadi sikap Kristen? Beberapa orang Kristen yang sangat anti dengan Facebook. Sedangkan banyak orang Kristen yang tergila-gila dengan Facebook. Lalu, bagaimana sikap kita? Ingat, gaya hidup orang Kristen adalah gaya hidup paradoks! Berarti sebagai orang Kristen, kita memiliki misi dan visi tersendiri di dalam mendayagunakan Facebook tersebut. Meskipun tidak harus melulu diisi dengan hal-hal rohani, kita harus menebus Facebook bagi Kristus. Caranya dengan memberitakan Injil dan kebenaran Firman melalui Catatan/Notes di Facebook atau yang lainnya. Hal serupa dengan forum dan milis (Kristen) di internet. Masuklah ke forum dan milis tersebut, beritakan suara kebenaran dari iman Kristen yang beres, supaya nama Tuhan dipermuliakan.




KESIMPULAN
Melalui gaya hidup Kristen yang paradoks:
Pertama, kita TETAP memiliki prinsip hidup yang kokoh dan kuat untuk hal-hal primer sesuai dengan prinsip Alkitab yang konsisten dan menyeluruh, namun kita TIDAK kaku terhadap hal-hal sekunder. Hal-hal seperti baptisan anak, model baptisan (percik, selam, dll), penggunaan Facebook (dan sejenisnya), dll adalah hal-hal sekunder yang TIDAK perlu diributkan bahkan dipertengkarkan. Kita memegang teguh prinsip dasar dan pentingnya, namun kita tetap menghargai unsur-unsur sekunder yang tidak terlalu penting. Saya takut khususnya mereka yang bertheologi Reformed, gemar berdebat untuk urusan-urusan sekunder bahkan memblame sesat/bidat bagi mereka yang menolak doktrin Reformed yang sekunder (misalnya: baptisan anak, dll). Hal itu TIDAK menjadi berkat bahkan mungkin bisa menjadi batu sandungan! Bertobatlah dan jangan menjadi orang Kristen (Reformed) EKSTRIM!

Kedua, kita tetap mempertahankan pentingnya esensi ketimbang fenomena, tetapi TIDAK mengabaikan fenomena sama sekali. Artinya, kita memang melihat esensi lebih penting dan signifikan ketimbang fenomena, namun fenomena tidak boleh dibuang sama sekali. Mengapa? Karena kita adalah manusia yang hidup di DUNIA. Mau tidak mau, suka tidak suka, fenomena tetap perlu. Adalah suatu kegilaan jika ada orang Kristen yang terlalu mementingkan esensi bahkan untuk hal-hal tidak terlalu penting. Misalnya, untuk urusan makan lemper, bakso, dll, ada pendeta yang mengajar bahwa kita harus mementingkan unsur nilai, bukan hanya murah atau mahalnya. Nilai memang harus diperhatikan, tetapi TIDAK berarti setiap detail hidup kita sangat mementingkan nilai, itu GILA namanya! Pdt. Dr. Stephen Tong sendiri yang mengerti nilai TIDAK sampai seekstrim si pendeta itu. Pdt. Stephen Tong kalau makan dan bepergian dengan menggunakan transportasi selalu mencari yang paling murah. Berarti NILAI/ESENSI ada batasnya! Belajar hidup NORMAL sebagai anak Tuhan!



Setelah merenungkan tentang gaya hidup Kristen yang paradoks, bagaimana reaksi kita? Masihkah kita bersikukuh pada pandangan kita yang kaku, kolot, dan jadul tersebut? Ataukah kita rendah hati menerima apa yang Alkitab ajarkan tentang gaya hidup Kristen yang NORMAL/PARADOKS tersebut? Amin. Soli DEO Gloria.

16 August 2009

MUSIK ROCK KRISTEN DALAM KONTEKS IBADAH DAN KEKETATAN THEOLOGIS (Ev. Anton Ampu Lembang, S.Th.)

MUSIK ROCK KRISTEN
DALAM KONTEKS IBADAH DAN KEKETATAN THEOLOGIS


oleh: Ev. Anton Ampu Lembang, S.Th.




PENDAHULUAN
Nietzsche pernah berkomentar bahwa jika manusia hidup tanpa musik maka hidup akan menuju pada suatu kesalahan.1 Isu-isu kekinian yang sedang menjamur di beberapa gereja sehubungan dengan munculnya suatu aliran musik yang cukup panas, cepat dan liar mulai menimbulkan perasaan cemas. Keresahan tersebut semakin mengental ketika tujuan akhir penggunaan musik dalam ibadah-ibadah Kristen tidak lagi diperketat oleh nilai-nilai theologis. Jerry W. McCant berpendapat bahwa musik merupakan wadah yang efektif dalam mengajarkan ide-ide Alkitab dan theologi.2 Hal yang sama juga dikatakan oleh Kenneth W. Osbeck. Ia mengemukakan bahwa tokoh-tokoh gereja telah mempergunakan hymn untuk mengekspresikan theologi yang dianut dalam aliran masing-masing.3 Dengan kata lain, musik merupakan salah satu media yang paling efektif untuk meneruskan iman Kristen.

David Bowie, seorang rocker, mengatakan bahwa musik rock merupakan musik Iblis sehingga musik rock akan mengajar jutaan kawula muda untuk memuja dan menyembah Iblis.4 Musik ini mengandung pesan penghujatan terhadap Allah Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus, yang dimanifestasikan melalui lirik, irama dan gambar.5 Tujuannya supaya dosa itu menjadi biasa dan tidak perlu ditakutkan karena semua orang melakukannya.

Dalam sebuah majalah medis terdapat suatu observasi tentang berbagai dampak negatif musik rock, misalnya hilangnya kontrol, agresif, suka memberontak, mempunyai dorongan seksual yang tidak terkendali, dan berubahnya kepribadian secara negatif. Keadaan histeris ini menunjukkan ekspresi kawula muda yang penuh konflik serta pemberontakannya terhadap generasi yang sudah tua.6 Para utusan gereja yang melayani di daerah-daerah yang masyarakatnya belum mengenal Tuhan, telah menegaskan bahwa musik rock adalah musik para setan. Jenis musik inilah yang sering kali digunakan ketika setan-setan dipanggil dan disembah. Misalnya, sepasang utusan gereja di Kalimantan melaporkan reaksi penduduk setempat terhadap musik rock Kristen demikian: “Mengapa Anda memanggil roh-roh halus dengan musik Anda?”7 Pertanyaan mereka muncul karena mereka mengenali stimulan psikis tersebut sama dengan yang mereka gunakan untuk mengontak kekuatan-kekuatan Iblis. Jeff Godwin mengatakan bahwa di dalam musik rock ada kuasa spiritual, suatu kuasa yang bukan dari Tuhan.8 Oleh karena itu, tidaklah heran jika musik rock “dikristenisasikan,” maka tidak menutup kemungkinan akan memperluas pekerjaan Iblis.

Oleh sebab itu tujuan penulisan ini adalah agar gereja-gereja Tuhan dapat melakukan pembedahan terhadap musik rock Kristen, baik syair, ritme, melodi dan harmoninya dengan pendekatan theologis dan musikal. Hal ini penting untuk membawa kita kepada pemahaman yang benar mengenai jenis musik ini. Khususnya apakah syair, ritme, melodi dan harmoninya dapat dikategorikan dan atau dipertanggungjawabkan di dalam perbendaharaan musik gerejawi.


LATAR BELAKANG MUNCULNYA MUSIK ROCK
Musik rock9 berawal sekitar tahun 1805, dari suatu daerah perbudakan di Afrika. Pada saat itu bangsa Negro diburu dan ditangkap untuk menjadi budak orang Amerika.10 Waktu itu penduduk asli Afrika masih memiliki agama yang terkenal dengan nama Voodoo, yang upacara ritualnya menggunakan mantra-mantra. Karena mereka telah menjadi budak orang Amerika, maka tidak heran kalau mereka sangat membenci orang Kristen yang berkulit putih. Ketika ditangkap, mereka merasa kehilangan harga kemanusiaannya, sehingga mereka mengekspresikannya dengan nyanyiannyanyian lagu mantra tanpa alat musik. Pada masa kesusahan dan penderitaan sebagai budak tersebut, mereka mengingat nenek moyang dan dewa-dewa mereka. Singkatnya, setelah mereka bisa bermain musik, jenis musiknya menjadi Rhythm dan Blues. Kemudian jenis musik ini terpecah menjadi dua, yaitu yang mengandalkan melodi dikenal sebagai musik jazz, sedangkan yang mengandalkan rhtythm sebagai rock.

Pada abad ke-20, kemajuan teknologi telah melahirkan berbagai jenis alat musik yang menggunakan pengeras suara dan kemudian disusul dengan alat-alat musik elektronik. Salah satu jenis musik yang memakai alat-alat elektronik ini adalah musik rock, sebuah jenis musik yang memiliki beat lebih cepat, keras dan liar. Pada abad inilah musik rock kembali muncul ke permukaan, tepatnya pada tahun 1947 oleh seorang penyanyi amatir yang bernama Will Bill Moore, di mana ia memunculkan istilah “Rock and Roll.”11 Dalam sebuah lagunya terdapat salah satu syairnya berbunyi demikian “We’re gonna rock and we ‘re gonna roll.”12

Namun lagu tersebut gagal di pasaran musik Amerika dan dilupakan begitu saja. Akan tetapi, pada tahun 1954, Alan Freed13 mencari nama terbaik untuk menggambarkan musik barunya yang dipopulerkan oleh Gene Vincent, Chuch Berry dan Elvis Presley.14 Ia meramu jenis musik Rhythm dan Blues dengan Country dan Western sehingga menghasilkan musik “Rock and Roll.” Oleh karena itu, pada tahun-tahun itulah istilah “rock and roll” lahir untuk menggantikan istilah dancing blues music. Apabila “rock and roll” dicampur dengan jenis musik lain akan menghasilkan Progressive Rock, Rock Latin, Heavy Metal, dll.

Sebenarnya Alan Freed meminjam istilah “rock and roll” yang sebelumnya sudah merupakan istilah umum perkampungan kumuh, yang berarti hubungan seks pranikah. Karena itu, tidaklah heran jika musik ini banyak mengandung unsur-unsur kenikmatan khususnya yang berhubungan dengan dorongan seksual. Memang tidak banyak yang mengenal Alan Freed bahkan namanya pun tidak, seperti halnya Wild Bill Moore, mereka sudah dilupakan. Namun “rock n’ roll” terus hidup, bahkan nama itu jauh melebihi ketenarannya. Sejak itu “generasi rock” terus berkembang dan merambat ke mana-mana, terutama generasi muda yang hasilnya menciptakan dekadensi moral dari generasi ke generasi.

Satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa sasaran musik rock adalah generasi muda. Dengan alasan, pada masa tersebutlah masa-masa produktif untuk melayani Tuhan. Jiwa generasi muda yang cenderung memberontak biasanya langsung bersimpati dengan jenis musik ini. Sebenarnya ini merupakan suatu pilihan yang salah, sehingga tidaklah heran mereka menjadi generasi yang anti kemapanan dan pro-pemberontakan. Musik rock sangat berperan dalam membentuk wawasan hidup, pola nilai dan pola tingkah laku, karena budaya musik ini lebih memanfaatkan indera-indera dan mengirimkan konsep atau nilai di dalam kemasan nada, irama, simbol, cerita dan khayalan. Cepat atau lambat musik rock telah mengindoktrinisasi generasi muda ke arah yang sesat, karena musik rock itu sendiri mempunyai keinginan yang kotor di dalam pekerjaannya.15


SIFAT DAN PENGARUHNYA
Berbicara mengenai penelitian terhadap musik, banyak orang menyangkal kekuatan atau pengaruhnya bagi kehidupan setiap orang.16 Statistik pun memperlihatkan bahwa banyak generasi muda yang telah dirangsang oleh rock and roll, akhirnya hamil karena aktif melakukan hubungan seksual.17 Steve Clapp ketika melakukan penelitian terhadap pengaruh musik rock, menemukan 59% anak laki-laki yang aktif dalam gereja dan 42% anak wanita yang juga aktif dalam gereja telah memiliki pengalaman dalam pergaulan seksual pada usia 18 tahun.18 Slash, salah seorang gitaris handal kelompok Gun n’ Roses, mengatakan bahwa musik rock banyak memiliki kekuatan.19

Di Galatia, Paulus mengkontraskan dua tipe buah, yaitu buah-buah kedagingan dan buah-buah Roh Kudus (Gal. 5:19-21). Berikut ini beberapa buah-buah kedagingan yang menunjukkan gaya hidup atau filosofi para pemusik rock:
1. Seks Bebas dan Hedonisme
Salah satu area primer di mana para pemusik rock gagal mengukur diri kepada standar Alkitab adalah di area seks bebas, percabulan, biseksual, dan homoseksualitas. Elton John, yang dipuji dan dihargai sepanjang masa pernah berkomentar bahwa tidak ada yang salah jika tidur dengan sesame jenis. Traci Guns dari L.A. Guns mengatakan, “Sex, drugs, and rock… sure work wonders for me. I admit that I drink…. I ….[bercinta] as many women as I can…. and I do recommend (it). Hey, it’s all part of rock and roll.”20 Hal senada juga diungkapkan oleh grup band Skid Row: “I am not a role model for anyone… Hey, I’m young and I’m horny. I’m not gonna tie myself down to one women.”21

2. Obat-obatan dan Alkohol22
Promosi bintang-bintang rock mengenai diri mereka sendiri sebagai pencinta seksual hanyal sekadar permulaan. Hal tersebut tidaklah cukup, melainkan membawa mereka kepada arena obat-obatan dan alkohol. Anggota dari Dangerous Toys, dengan bangga mengklaim dan mengatakan keterlibatan mereka dengan alkohol: “There’s nothing else to do on the road, really. It’s out of habit and boredom that we get drunk. The first thing you do after a show a drink to help replenish your energy… Partying gets to be a crucial thing; you start drinking every night.”23

3. Hilangnya Kedamaian, Kegembiraan, dan Sukacita
Satu hal penting yang menandai kekosongan dalam gaya hidup rock adalah fakta banyak pemusik-pemusik rock tidak bahagia dalam hidup mereka. Mereka tidak pernah merasa cukup dan selalu ingin lebih. John Mellencap yang mencintai penampilan dari “bad-boy image” di dalam kebudayaan rock pernah mengungkapkan ketidakpuasannya dengan hidup: “When you get older… it’s to be happy. I have never had a full good day since I was 21.”24

Art Alexakis dari grup Everclear mengungkapkan kehidupannya yang haus akan kebahagiaan dan sukacita, “I feel depressed every day. I suffer from chemical depression…I grew up without a Dad on a housing project doing drugs, and drugs changed my chemical make up. I’ll ger really bad anxiety attacks, or I’ll get drug flashbacks.”25


FUNGSI MUSIK DALAM IBADAH
Secara umum makna kata “ibadah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai definisi sebagai berikut: “perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari oleh ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.”26 The International Standard Encyclopedia mendefinisikan kata “ibadah” sebagai: “kemuliaan dan penghormatan dalam pikiran, perasaan, atau tindakan yang dilakukan oleh manusia, malaikatmalaikat yang ditujukan semata-mata kepada Allah.”27 Dalam Webster Dictionary edisi kedua “ibadah” didefinisikan sebagai: “penghargaan kepada ilahi serta pengakuan keberadaan yang tertinggi melalui penyembahan, pengakuan dosa, pengucapan syukur.”28 Evelyn Underhill mendefinisikan ibadah sebagai: “penyembahan total manusia sebagai respons kepada Allah yang kekal, yang menyatakan diri-Nya.”29 Kata ibadah itu sendiri dalam bahasa Inggris (worship) berawal dari kata Anglo Saxon, yang secara literal adalah weorth (eorthy) dan scipe (ship). Pengertiannya merujuk kepada kelayakan seseorang yang menerima penghargaan dan penghormatan yang khusus. Kemudian kata ini berkembang menjadi “worthship” dan akhirnya menjadi “worship” yang artinya beribadah kepada Allah karena Ia layak dipuja dan disembah.30

Alkitab menyaksikan bahwa musik cukup mendapat tempat dan perhatian yang tersendiri dan ini mengandung implikasi bahwa kehadiran musik mempunyai tujuan dan sasaran tertentu yang perlu dicapai. Allah memberikan perintah dan tuntutan tertentu terhadap pemanfaatan dan peran musik di dalam kehidupan gereja-Nya. Semua ini bertolak dari pemahaman bahwa musik (dalam ibadah) pada dasarnya merupakan ide Allah yang dikaruniakan kepada manusia pada umumnya dan umat Allah pada khususnya untuk memperkaya kehidupan mereka. Dalam hal ini, Dr. Brace H. Leafblad memberikan kesimpulan yang tepat: “Music was God’s idea… a luxurious gift to Human Beings which has enriched our life since earliest times. In Old Testament, God melded music and worship, a glorious union still stable today….God takes music in the church seriously….”31

Walaupun inisiatif pengadaan musik itu diperintahkan oleh Allah, namun jika tidak sesuai dengan maksud Allah maka Allah tak berkenan atasnya. Bila Allah sendiri menyatakan perhatian yang cukup serius terhadap pemanfaatan musik di dalam kehidupan umat-Nya, maka sudah seharusnyalah kita yang diwarisi peninggalan karya-karya musik yang kaya dan indah harus memikirkan musik gereja dengan serius pula. Berikut ini beberapa konsep yang benar mengenai fungsi musik dalam ibadah, yaitu:
1. Sebagai Sarana untuk Memuji Tuhan
Harold Best, dekan dari The Wheaton Conservatory of Music, dengan tegas mengatakan bahwa: “Music is also an act of worship.”32 Sedangkan seorang profesor emeritus dalam bidang musik gerejawi dari Universitas Rochester, M. Alfred Bicheh pernah mengatakan dalam khotbahnya di Concordia Theological Seminary Indiana, 16 Maret 1978: “Music has both sacramental and sacrificial overtunes.”33 Musik merupakan pemberian karunia yang dianugerahkan Allah kepada manusia, karena itu manusia harus memakainya untuk memuji Tuhan. Hal ini merupakan prinsip dasar manusia, seperti yang dikatakan Rasul Paulus dalam Roma 11:36: “sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”

Pengertian seseorang terhadap konsep peranan musik dalam ibadah akan menentukan sikap orang yang bersangkutan dalam melakukan tindakan ibadahnya. Lovelace dan Rice mengatakan dengan keras bahwa penyalahgunaan musik dalam ibadah pada dasarnya merupakan tindakan yang sudah menjadikan musik sebagai “pelacur” (prostitute) dan bukan sebagai “pelayan” (handmaid of religion).34 Mengapa demikian? Karena dengan penyalahgunaan musik dalam gereja, musik telah “dipaksa” untuk menjalankan peranan yang tidak sesuai dengan makna dan maksud ibadah yang sesungguhnya. Maka sebagai bagian dari ibadah, musik harus diperankan sesuai dengan makna ibadah, dalam hubungan antara umat Allah dan Allah sendiri. Alasan dan tujuan pemanfaatan musik dalam relasi tersebut harus bertolak dari Allah dan berporos kepada Allah. Dr. Leafblad menyimpulkan: “In our ministry to the Lord, our ultimate goal is to glorify Him. The goal of worship is not the delight of man, but the pleasure of God. Thus the ministry of music in worship must be primarily concerned with pleasing and glorifying God. In worship, God is the audience.”35

Tujuan akhir ibadah bukanlah kepuasan manusia melainkan kepuasan Allah. Maka, pelayanan musik gerejawi dalam ibadah pertama-tama harus berusaha memuaskan dan memuliakan Allah. Di dalam Mazmur 100:2b berkata: “Datanglah di hadapan-Nya dengan sorak-sorai!” Ayat ini menunjukkan bahwa musik Allah memiliki sesuatu yang disukai-Nya ketika Dia dihampiri.36 Musik bukan sekadar pencair suasana, bukan pula sebagai pembangkit semangat jemaat. Karena itu tuntutan kualitas musik tidak hanya ditekankan pada aspek “science and art” saja, melainkan juga pada aspek isi atau berita dari syair-syair nyanyian yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah ada keselarasan antara isi atau berita dengan realitas sifat dan eksistensi Allah beserta musiknya.

2. Sebagai Sarana untuk Persekutuan (fellowship)
Relasi pertama, yaitu antara umat dengan Allah, yang diwujudkan dalam ibadah akan dengan sendirinya membawa mereka masuk dalam relasi kedua, yaitu antara umat dengan sesamanya. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi logis, di mana setiap orang sama-sama datang ke hadirat Allah sebagai umat yang telah ditebus, disucikan, diperbarui. Musik memiliki daya untuk mempersatukan, sehingga dapat berperan sebagai sarana pemersatu jemaat yang berkumpul bersama-sama untuk menyembah Tuhan. Jemaat yang sudah dipersatukan dalam Kristus dipanggil dan tergerak untuk mengikrarkan pengakuan, penyembahan, pengucapan syukur bahkan puji-pujian kepada Allah. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik musik. Pengertian tentang peranan musik yang demikian akan mempunyai akar theologis sebagaimana yang digariskan Alkitab, dan bukan sekadar alasan fungsional belaka. Musik sakral senantiasa mempersatukan karena pada saat ibadah dilangsungkan gereja telah menjadi satu.37

3. Sebagai Sarana untuk Pembinaan (nurture)
Peranan musik erat hubungannya dengan menasehati jemaat. Musik sebagai sarana untuk menyampaikan nasehat, dorongan, peringatan dan penghiburan (encouragement, comfort) kepada saudara seiman agar mereka dapat dikuatkan untuk bertumbuh dan berani menghadapi segala realitas dan tantangan hidup sebagai orang Kristen yang benar. Ini jelas berbeda dengan fungsi musik yang hanya sekadar bersifat entertainment atau hiburan, di mana umumnya membawa orang kepada dunia mimpi yang seolah-olah tidak ada persoalan dan kesulitan hidup yang menyebabkan timbulnya rasa pesimis dan frustasi. Walaupun musik itu sendiri memiliki aspek nilai Entertainment, namun di tengah-tengah jemaat hal tersebut tidaklah menjadi tujuan yang paling utama. Dengan berdasarkan pengertian di atas, maka peranan musik gerejawi dapat dimanfaatkan sebagaimana seharusnya sehingga hal-hal yang bersifat negatif, misalnya memanipulasi emosi yang ditimbulkan sebagai efek sampingan dari jenis musik atau nyayian tertentu dapat dihindari. Sebaliknya, kehangatan ekspresi persekutuan dengan Allah yang saling membangun akan tampak dan dapat dirasakan oleh jemaat.

4. Sebagai Sarana untuk Pengajaran (education)
Pada umumnya peranan musik di sini dimengerti sebagai sarana untuk menanamkan pengajaran-pengajaran yang terdapat dalam Alkitab ke dalam hati, pikiran dan kehidupan umat-Nya. Kebenaran-kebenaran spiritual tersebut menjadi lebih jelas, ekspresif dan komunikatif ketika dinyatakan melalui melodi, harmoni dan ritme yang bersangkutan. Dalam hal ini musik merupakan sarana yang amat efektif daripada pendekatan verbal. Musik sebagai sarana pendidikan sudah lama dikenal dan diterapkan. Di India para guru memakai musik untuk membina kerohanian atau mental para murid atau pengikutnya.38 Begitu pula Plato dan Aristoteles amat menganjurkan penggunaan musik sebagai mata pelajaran wajib bagi para murid mereka untuk membentuk karakter.39 Secara pedagogis, musik juga merupakan metode pengajaran itu sendiri (a sound teaching method).

Penjelasan di atas sebenarnya sudah dikenal sebelumnya oleh para filsuf di abad ke-3 sM, dan khususnya berkenaan dengan integrasi keunikan peranan musik dengan pendidikan agama Kristen, Marthin Luther mengatakan bahwa musik adalah metode dan sekaligus kurikulum.40 Oleh karena itu, gereja-gereja liturgikal mempunyai kepekaan akan pentingnya pengajaran doktrinal di dalam musik gerejawi. Theologi yang tidak membawa manusia menyembah kepada Allah adalah theologi yang tidak benar dan berbahaya. Agar makna ibadah tidak diselewengkan, maka hubungan liturgy dan ibadah harus jelas. Liturgi dipakai untuk menjaga keutuhan pengajaran yang benar agar gereja tidak terlena dengan keindahan yang tidak menumbuhkan iman.


MUSIK ROCK KRISTEN DALAM KONTEKS IBADAH
Harus diakui bahwa musik rock tidak memberikan suatu kesejajaran tuntutan nilai theologis, bahkan khususnya dalam hal fungsi atau peran musik rock dalam ibadah-ibadah Kristen. Musik rock dalam ibadah-ibadah Kristen hanya diwarnai nilai-nilai sekuler daripada prinsip-prinsip theologis. Musik rock yang dilangsungkan dalam persekutuan sering kali lebih ditujukan pada pemuasan selera (musik) jemaat daripada menemukan dan memenuhi kebutuhan spiritual mereka. Berikut ini akan dipaparkan tujuan pemanfaatan musik rock dalam ibadah:
Pertama, tujuan akhir dari pemanfaatan musik rock dalam ibadah adalah semata-mata hanya kepuasan dari sekelompok orang yang menggemari gaya musik tertentu. Musik ini digunakan untuk menghangatkan, memberikan kenyamanan dan keduniawian kemudian mengisinya dengan Injil.41 Kualitas komposisi dan keketatan theologis dari pada lagu sering kali dikorbankan karena selera sebagian jemaat terhadap musik yang bersangkutan. Walaupun ada “tujuan baik” tertentu untuk menarik anak-anak muda yang kemudian diharapkan dapat “dimenangkan” bagi Yesus, tetapi realitasnya selera musik dari sekelompok orang dapat menjadi sarana memanipulasi ibadah. Mereka tertarik bukan pada Yesus, tetapi karena musik rock dan besar kemungkinan gereja bukan lagi melayani Allah dalam ibadah melainkan sekelompok orang dengan penyajian musik yang mereka gemari. Para pecinta musik rock Kristen merasa aman karena mereka mengetahui bahwa tidak ada ayat Alkitab yang berkata “janganlah kamu mendengarkan musik rock Kristen.”42 Stephen Streiker mengatakan bahwa “musik kami bersumberkan kekerasan.”43 Jelas kalimat tersebut tidak dapat dikompromikan dengan kebenaran Alkitab. Misalnya 1 Korintus 14:33 mengatakan “Sebab Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera.” Musik rock yang penuh dengan kekerasan akan mengacaukan ibadah. Mengapa? Karena tujuan akhir dari ibadah adalah memuliakan Allah dan bukan mempermalukan Allah.

Kedua, musik rock diperlukan sebagai salah satu bentuk hiburan yang sakral (albeit sacred). Dengan musik rock yang disukai oleh banyak orang, maka gereja bermaksud “menolong” jemaat yang hidupnya penuh dengan tekanan hidup. Hal ini dilakukan dengan latar belakang konsep “sikap hidup yang melarikan diri dari realitas hidup” sebagai jalan keluar. Konsep ini sama sekali tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan ajaran Alkitab. Alkitab mengajarkan orang Kristen untuk hidup dengan gagah dan perkasa dalam menantang atau menghadapi persoalan hidup bersama Tuhan (1Kor. 10:13; Flp. 4:13).

Untuk menolong jemaat tidak perlu membuai mereka agar melupakan fakta-fakta kehidupan, melainkan dengan membekali mereka dengan kebenaran firman Tuhan. Musik rock memang memiliki sifat dan ciri entertainment dalam dirinya. Tetapi peran utamanya dalam ibadah bukan sebagai sarana menghibur jemaat, melainkan sarana untuk menolong jemaat melihat dan mengerti realitas hidupnya sebagai orang percaya serta dikuatkan untuk menghadapinya. Menurut Harold Best, ibadah harus merupakan aksi persembahan yang bersifat kreatif, sekaligus menyebut musik sebagai “korban persembahan kreativitas.”44

Ketiga, musik rock sebagai bagian dari pada seni harus diperjuangkan sebagai suatu bidang / bagian dari seni. Nilai eksistansinya sebagai musik dijadikan pusat dan tujuan akhir dari segala program yang dibuat dan dilaksanakan. Namun yang perlu dipertanyakan adalah apakah musik rock merupakan suatu seni yang patut diperjuangkan, mengingat adanya efek-efek negatif secara psikologis yang dimunculkan dalam ibadah. Misalnya, menjerit-jerit, tertawa, menyobek-nyobek pakaian, dianggap sebagai pengalaman yang menyenangkan dan menggembirakan. Hal ini bukan saja terjadi pada penggemar musik rock sekuler, tetapi hal serupa pun terjadi di lingkungan penggemar musik rock Kristen.45 Cara-cara ini tidak dapat dipertanggungjawabkan karena semua ibadah akan berakhir dengan keributan yang juga dapat menimbulkan kebingungan jika seseorang tertarik memperoleh hidup baru melalui cara-cara yang merupakan bagian dari hidup lama. Konsep seperti ini kurang mendapat dukungan theologis yang kuat.


MUSIK ROCK KRISTEN DENGAN KEKETATAN THEOLOGIS
Penulis free-lance dari Canada, E. Margaret Clarkson, dalam suatu essaynya The Christian Imagination: Essay on Literature and the Arts, mengatakan: “Hymns are expressions of worship, they are man’s glad and grateful acknowledgment of the worth-ship of Almighty God…Hymns are a celebration of that God is and what He has done….”46

Bertolak dari pengertian di atas, maka syair suatu puji-pujian memegang peranan penting dalam memberitakan kebesaran-Nya. Syair itulah yang menentukan nilai dan mutu puji-pujian yang bersangkutan. Karena itu, keketatan teologinya bertugas mengekspresikan syair tersebut dengan jelas dan Alkitabiah. Saat ini banyak model-model syair yang bermunculan yang dikenal dengan nama “nyanyian rohani” dengan memiliki kedangkalan nilai-nilai theologis. Dapat dikatakan syair tersebut lebih bersifat spontan yang diangkat dari “pengalaman” hidup orang Kristen dan dipopulerkan oleh artis Kristen “papan atas.” Bentuk ini lebih dikenal dengan sebutan gospel songs dan umumnya dipakai dalam kelompok-kelompok band/vocal grup yang akhir-akhir ini menjamur di gereja-gereja, bahkan persekutuan-persekutuan besar.

Dua lagu di bawah ini adalah lagu yang dibawakan oleh sebuah kelompok band yang bernama Petra, salah satu kelompok musik rock Kristen yang sangat populer mulai tahun 1984, di mana dua lagunya Witch Hunt dan God Gave Rock And Roll To You menimbulkan banyak pertanyaan yang serius untuk diperhatikan.
Witch Hunt
Another witch hunt looking for evil
where we can find it
Off on a target, Hope the Lord won’t
Mind it
Another witch hunt, Takin’ a break from
All our gospel labor
On a crusade but we forgot our saber…
So send out the dogs and tally ho….
And we won’t stop until somebody
Gets burned.…

Lirik lagu Bob Hartman’s menyarankan bahwa orang-orang Kristen harus membutakan mata mereka terhadap kejahatan di sekeliling mereka dan mewaspadainya. Ini adalah metode yang dipakai oleh para pengikut sesat setan untuk menutupi perbuatan jahat mereka. Bagi suatu kelompok yang memulai setiap lagu dengan memakai satu ayat dalam Alkitab dari lagu mereka, ini adalah satu sikap yang sangat aneh dan asing. “Tuhan akan memberikan rock and roll kepadamu, letakkan itu dalam jiwamu,” merupakan syair yang tidak memiliki kebenaran kristiani. Yesus tidak pernah memberikan seseorang yang datang kepada-Nya rock and roll, melainkan Yesus memberi keselamatan, pengampunan, menguduskan, membenarkan dan menguatkan mereka yang percaya di dalam nama-Nya. Dengan kata lain, syair di atas bukan merupakan berita Injil, berita yang mereka sampaikan telah dimanipulasi sedemikian rupa demi kesenangan anak-anak muda tanpa peduli dengan pengajaran theologi yang benar.

Yang menjadi penekanan dari lagu tersebut adalah rock and roll dan bukan Kristus. Padahal di dalam Alkitab Kristuslah yang menjadi pusat pemberitaan. Yohanes 1:1, dalam kalimatnya “Pada mulanya adalah Firman,” mengindikasikan bahwa sejauh ke belakang mana pun Firman itu terus menerus ada.47 Keil dan Delitzsch mengatakan bahwa Mesias adalah “pembawa damai.”48 Kristus harus terus menerus menjadi jantung dalam syair-syair lagu yang dinyanyikan, Kristus pembawa damai bukannya pembawa rock and roll.

Lagu lain dari Beat The System adalah lebih cacat bagi para fans musik rock Kristen yang tidak dapat dibedakan dengan jelas. Berikut ini kutipan liriknya:
God Gave Rock And Roll To You
You can learn to sing
You can play guitar
You can learn to rock
You can be a star
But where wick you be then the music’s gone
God gave Rock and Roll to you
Gave Rock and Roll to you
Put in the soul of everyone…

Ada beberapa hal yang berbahaya dan cacat dari lagu ini. Pertama, lagu ini tidak ditulis oleh Petra. Lagu ini direkam pada tahun 1973 oleh suatu kelompok musik yang disebut Argent, yaitu satu kelompok musik sekuler. Petra menggunakan suatu musik yang bukan Kristen untuk mendorong suatu pandangan yang dianggapnya rohani bahwa Tuhan telah memberikan rock and roll kepada semua jiwa kita. Kedua, Petra mengganti kata-katanya untuk membuat lagu ini mengatakan bahwa apa yang mereka percayai adalah benar, bahwa Tuhan telah meletakkan lumpur milik setan di dalam jiwa kita. Jelas lagu tersebut tidak Alkitabiah. Kristus tidak memberikan setan di dalam jiwa kita, melainkan Kristus memberikan jaminan keselamatan kepada kita. Kristus sebagai pengantara memulihkan persekutuan kita pada persekutuan itu terputus karena dosa. Kristus disebut sebagai “Pembela” orang percaya (parakletos) artinya “pengacara pembela” (1Yoh. 2:1). Dalam literatur rabinik kata itu dapat mengindikasikan seseorang yang menawarkan pertolongan hukum.49

Kristus memberikan Roh Kudus di dalam hidup kita bukan rock and roll bahkan tidak memberikan setan di dalam jiwa kita. Melalui Roh Kudus kita akan diajar, dibimbing dan dilahirbarukan supaya kita bisa bersaksi. Rock and roll tidak dapat memberikan kuasa kepada kita supaya bersaksi, setan pun tidak memiliki kuasa apa-apa untuk melahirbarukan hidup kita. Roh Kudus menyakinkan seseorang akan sesuatu atau menunjukkan sesuatu pada seseorang.50 Keyakinan tentang apa? Jelas keyakinan tentang dosa, kebenaran, dan penghakiman. Lagu-lagu yang dibawakan oleh band Kristen tersebut sangat dangkal dan tidak memiliki keketatan secara theologis. Bisa dikatakan sesat dan menyesatkan.

Salah satu band musik rock Kristen lainnya, DeGarmo & Key, memproduksi pertama kali lagunya yang ditayangkan di MTV yang berjudul Six, Six, Six dan semuanya itu mengenai anti-Kristus. Berikut ini contoh syairnya:
Six, Six, Six
…I said Jesus won’t you save me
From this evil man of sin
I have read about his future
I don’t want to go with him
And when I looked up he had gone
But he had left a note that said
‘My number is, my number is….
Six, six, six….
Flight 666.…departing-WELCOME

Pesan dalam lagu ini sungguh membingungkan. Band-band Kristen menyarankan bahwa Yesus pun tidak dapat menolong orang-orang dari anti-Kristus. Syair ini seolah-olah mau menunjukkan bahwa sungguh kasihan orang ini mengemis kepada Yesus untuk menyelamatkannya tetapi mengahirinya dengan penerbangan 666 yang langsung menuju neraka. Syair lagu ini jelas tidak memberitahukan kepada anak-anak bahwa Yesus memiliki kuasa untuk memberi hidup atau bagaimana untuk menerima kuasa itu. Hal penting lainnya, yaitu mengenai pertobatan sebenarnya bukanlah merupakan sesuatu yang terpenting dalam pelayanan mereka, sebab terlihat di dalam syair lagunya sama sekali tidak mengajak generasi-generasi muda untuk mengambil satu keputusan untuk meninggalkan dosa dan mengikuti Yesus seumur hidup mereka. Yohanes 5:24 berbunyi: “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup.” Syair yang tidak membangun kerohanian bukanlah kehendak Allah, bahkan bukan misi Kristen.

Berdasarkan konsep ibadah yang benar dan berdasarkan doktrin yang benar, serta berdasarkan kekayaan isi beritanya maka musik rock Kristen tidak akurat di dalam pemberitaan Injil. Dari hasil survei terhadap lagu-lagunya, maka konsep mengenai ibadah tidak ada sama sekali. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ibadah bukanlah merupakan suatu pertemuan antara Allah dengan umat-Nya. Pertemuan tersebut tidak ditekankan pada umat untuk menyembah-Nya. Oleh sebab itu pertemuan tersebut tidaklah kudus, tidak mulia dan tidak mendatangkan sukacita surgawi, serta tidak signifikan untuk pembentukan karakter generasi muda. Musik rock Kristen tidak menempatkan sikap penyembahan yang benar dalam musik mereka, padahal konsep ibadah yang Alkitabiah adalah merupakan tanda ketaatan secara mutlak kepada Tuhan dalam kehidupan. Ibadah dalam musik rock Kristen memberi kesan bahwa praktek penyembahan tidaklah penting, serta terabaikannya kehidupan yang kudus. Sebaliknya ibadah dalam Alkitab menunjukkan praktik penyembahan dan praktik kehidupan tidak dapat diabaikan satu dengan yang lain. Syair musik rock Kristen juga tidak menekankan akan kehadiran Tuhan di dalam penyembahan, sedangkan Alkitab sangat menekankan bahwa kehadiran Tuhan itu terjadi pada saat dalam kehidupan, misalnya dalam 1 Korintus 3:16.

Berdasarkan acuan doktrinal, apakah syair musik rock Kristen mengajarkan doktrin yang benar? Jelas Tuhan yang dilukiskan dalam lagu-lagunya adalah Tuhan yang tidak perkasa dan Tuhan yang tidak penuh kasih. Tuhan tidak diperkenalkan sebagai Allah yang memimpin, membimbing, menuntun, memelihara dan mencukupi kebutuhan umat-Nya, serta memiliki rencana yang harus ditaati dalam kehidupan umat-Nya. Boleh dikatakan bahwa hampir seluruh karya dalam penelitian ini tidak menekankan akan Kristus adalah Tuhan dan Allah yang perkasa, Raja di atas segala raja. Selain itu tidak ditanamkan suatu paham theologi mengenai Kristus adalah Anak Domba Allah yang telah mati dan bangkit untuk menyelamatkan jiwa umat-Nya. Dari perbandingan tersebut tampak bahwa musik rock Kristen tidak memiliki syair yang ajarannya meninggikan Allah. Kristus seolah-olah diragukan sebagai Tuhan yang telah menjadi manusia, mati disalibkan untuk menyelamatkan umat manusia yang percaya pada-Nya. Istilah-istilah yang menunjukkan keperkasaan Kristus tidak dapat ditemukan dalam lagu-lagu tersebut.

Kemudian berdasarkan kekayaan isi berita dari syair musik rock Kristen terlihat lebih terkonsentrasi pada sisi kepuasan pendengar sehingga tidak membicarakan mengenai pelayanan, penginjilan dan pergumulan iman dalam menghadapi masalah kekinian. Apabila ada pergumulan, itu pun dipaparkan secara dangkal. Pada umumnya, jalan keluar dalam menghadapi semua masalah terletak pada Allah maka solusi dalam menghadapi masalah tersebut adalah datang kepada-Nya. Oleh sebab itu, berita atau ajaran musik rock Kristen dapat dikatakan sangat miskin untuk memberi masukan yang berarti bagi pembentukan wawasan Kristiani dalam menghadapi tantangan dunia ini.


PENUTUP
Dari penjelasan di atas, maka tidak dapat dijadikan sebagai patokan atau pegangan yang tepat bagi penggarisan peranan musik rock dalam ibadah. Mengapa demikian? Karena di dalam ketiga konsep tersebut terlihat suatu sikap yang menjadikan manusia sebagai obyek utama dan tujuan akhir dalam pelayanan ibadah. Hal ini berarti Allah ditempatkan di luar lingkungan ibadah. Pada dasarnya Allahlah yang harus menjadi satu-satunya Tuhan, Raja yang dilayani, dipuji dan disembah, menerima persembahan umat-Nya, baik secara konkrit (materi) maupun abstrak (puji-pujian, nyanyian syukur, dsb.). Musik yang memiliki latar belakang komersial dan emosional dapat menimbulkan efek-efek negatif atau kesalahan-kesalahan theologis.51

Menurut Larry Sibley, musik yang memiliki latar belakang komersial dan emosional (button song) yang hanya digunakan membangkitkan emosional, yang kurang komposisinya (cheap-music) tidak atau belum tentu tepat untuk digunakan dalam persekutuan umat Allah.52 Perkembangan musik gerejawi sangat memprihatinkan karena pemanfaatannya dalam gereja yang lebih menitikberatkan komersial sehingga mengorbankan isi berita Kristiani.53 Pelayanan musik rock dalam ibadah lebih mendekati pola-pola dunia sehingga terkadang sulit dibedakan antara musik religius masa kini dengan musik populer sekuler lainnya. Garis pemisah antara “melayani/pelayanan” dan “menghibur/hiburan” (ministry and entertainment) tidak jelas dan kabur. Di sisi lainnya ada efek-efek negatif lainnya yang diakibatkan dari musik rock terhadap fisik, yaitu dapat menimbulkan perubahanperubahan dalam denyut jantung, pernapasan, tekanan darah dan respons syaraf.54 Kemudian musik itu pun dapat menggugah nafsu, merangsang gerakan aktif, melepaskan ketegangan, menutup rasa sakit dan stress.55

Erik Routley mengatakan bahwa melodi-melodi dalam suatu puji-pujian memiliki daya untuk menimbulkan imaginasi dan ide dalam pikiran, maka perlu diyakinkan bahwa melodi yang bersangkutan tidak menimbulkan imaginasi/ide yang pada dasarnya melemahkan / mencemarkan gambaran tentang Anak Allah yang berinkarnasi sebagaimana yang diwahyukan dalam Alkitab.56 Musik rock Kristen tidak memiliki melodi sama sekali. Melodi merupakan “batu penjuru” dan “titik penuntun” bagi kualitas keindahan suatu musik.57 Dalam hal ini kreativitas dan imaginasi komponis amat menentukan nilai dan keindahan. Rumusan atau motif melodi yang benar akan berkombinasi untuk menciptakan frase-frase dan tema-tema, setiap melodi secara individu mempunyai garis masing-masing dari turun atau naiknya nada. Gerakan yang statis dan kekurangan kesimbangan akan menciptakan sebuah efek hipnotis atau keputusasaan di dalam diri pendengarnya. Berdasarkan panduan ini maka melodi-melodi musik rock Kristen pada dasarnya menimbulkan ide yang melemahkan atau mencemarkan gambaran tentang Yesus Kristus yang telah datang ke dalam dunia.

Karena itu kehadiran musik dalam gereja harus terwujud dengan baik dan bermanfaat, sehingga musik dapat terefleksikan dengan tepat, indah, dan kaya dalam gereja. Musik gerejawi perlu mengandung konsep ibadah yang berpolakan theocentris bukan pengalaman egocentris demi subjective spirituality. Gereja tidak boleh acuh terhadap sisi doktrinal/theologi yang disajikan dalam syair. Motivasi dan tujuan pemakaian musik seharusnya bermula pada Allah dan berakhir pula pada diri Allah. Musik gereja harus memberitakan Injil keselamatan pada dunia. Oleh sebab itu musik yang dipergunakan di dalam gereja harus mengandung atau menyampaikan berita, pengajaran, theologi yang benar dan utuh sesuai dengan wahyu Alkitab.

Gagasan di sekitar status dan fungsi musik gereja akan tetap tinggal sebagai suatu gagasan yang ideal, sulit terwujud jika tanpa kesadaran dan partisipasi setiap pihak di dalam tubuh Kristus; baik itu pemimpin gereja, para pemusik Kristen maupun lembaga atau pendidikan Kristen lainnya. Dengan demikian ibadah-ibadah gerejawi bersifat konstruktif dan tidak sekadar menghiasi suasana dalam beribadah.


Catatan Kaki:
1. Rhoda Thomas Tripp, The International Thesaurus of Quotations (New York: Thomas Y. Crowell, 1970), 419.
2. Jerry W. McCant, “Music and Christian Education,” dalam Journal of Christian Education, Vol. 1, No. 2 (1981), 65.
3. Kenneth W. Osbeck, The Ministry of Music (Grand Rapids, Michigan: Kregel Publications, 1985), 24-25.
4. Tony Hington, A Christian Approach to Rock Music (Hawkwell, Hockley, England: Hawkwell Paris Church, ltd), 4.
5. M. Basilea Schlink, Musik Rock Dari Mana & Mau Kemana? (Malang: Gandum Mas, 1995), 5.
6. Arnold Shaw, Dictionary of American Pop/Rock (New York: Macmillan, 1982), 287.
7. Schlink, Musik Rock Dari Mana & Mau Kemana?, 25.
8. Jeff Godwin, Dancing With Demons the Music’s Real Master (Chino: Chick Publications, 1988), 8.
9. Kata “rock” itu sendiri berarti batu karang, atau gerak ayun, yang di dalam penampilannya mereka lebih mengutamakan “rhythm” (tempo dalam irama) dan “noise” (gaduh, riuh) dari pada sound. Dennie Olden Frans, Musik Rock (Batu: YPPII, 1993), 1. Kemudian definisi yang lebih jelas datang dari seorang mantan rocker yaitu Mike Johnson, yang mendefinisikan rock sebagai “karang” yang juga bisa berarti menggoyahkan, menggocangkan atau membuai orang yang mendengarnya, khususnya generasi muda. Erick, Musik Dari Surga Atau Dari Neraka: Bahana 03/III/11. David Bowie, seorang bintang rock pun mengatakan bahwa musik rock dapat menguasai dan menghancurkan kehidupan. Tony Hington,
10. Donald P. Ellsworth, Christian Music in Contemporary Witness (Grand Rapids: Baker Book House, 1979), 91.
11. Steve Peters & Mark Littleton, Truth About Rock (Minneapolis: Bethany House Publisher, 1998), 13.
12. Ibid., 13.
13. Alan Freed adalah seorang Disk Jockey di Cleveland dan seorang penyiar radio. Pekerjaannya memainkan lagu-lagu yang mengandung seks, yang kemudian setelah berhasil meramu musik dengan ritme yang lebih cepat, panas dan liar, ia juga mempromosikan penyanyi-penyanyi baru. Music From Hell: Getfresh! 10/I/vol.1 (Juni 2001), 13.
14. Jacob Aranza, Backward Masking Unmasked (Shreveport: Huntington House, 1983), 21.
15. J. Brent Brill, Rock and Roll (New Jersey: Fleming H. Reveel Company, 1984), 18.
16. John Ankerberg & John Weldon, The Facts on Rock Music (Oregen: Harvest House Publishers, 1992), 4.
17. Brill, Rock and Roll, 18.
18. Steve Clapp, Teenage Sexuallity: A Crisis and an Opportunity for the Chruch (Sidell: C-4 Publications, 1981), 4.
19. Ankerberg, The Facts on Rock Music, 6.
20. Peters, Truth About Rock, 39.
21. Ibid., 40.
22. Schlink. Musik Rock Dari Mana Dan Mau Kemana? 13-14. Tidak sedikit dari pemusik rock yang meninggal akibat pemakaian obat-obatan dan alkohol yang berlebihan. Schlink mendaftarkan beberapa diantaranya. Seperti: penyanyi andalan dari Sublime, Brad Nowell, mati karena overdosis heroin di San Fransisco Hotel pada usia dua puluh delapan tahun. Brian Jones dari kelompok The Rolling Stones tenggelam dalam kolam renangnya karena terlalu banyak minum alkohol. Jimi Hendrix tersumbat jalan napasnya sampai mati oleh muntahannya sendiri karena terlalu banyak menggunakan heroin. Ron McKernan dari kelompok The Grateful Dead mati perlahan-lahan sebagai akibat alkoholisme. Marc Bolan, gitaris dan penulis lagu kelompok T-Rex, yang mengaitkan keberhasilan dengan ilmu hitam, mati dalam suatu kecelakaan mobil yang misterius. Keit Moon dari kelompok The Who melakukan bunuh diri. Elvis Presley mati sebagai akibat penyalahgunaan obat. Sid Vicioud dari kelompok The Sex Pistols terlalu banyak menggunakan heroin setelah menikam teman gadisnya sampai mati. John Bonham dari kelompok Led Zeppelin tersumbat jalan napasnya sampai mati oleh muntahannya sendiri setelah minum 40 gelas vodka. Pete Farndon dari kelompok The Pretenders di temukan mati di bak mandi dengan jarum suntik heroin masih tertusuk pada lengannya. Yogi Horton, seorang penabuh drum yang terkenal, melompat dari lantai tujuh belas sebuah hotel di New York. Roy Buchanan, salah seorang gitaris musik rock dan blues terbaik, menggantungkan diri dalam keadaan tidak sadar karena mabuk sewaktu ia ditahan dalam sel.
23. Peters, Truth About Rock, 41.
24. Ibid., 42.
25. Ibid.
26. Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed.1988), “ibadah,” 318.
27. The International Standard Encyclopedia Vol. 5, “worship” 3112.
28. Jean L. McKechnie, Webster’s Dictionary (USA: The World Publishing Co, 1975), 2109.
29. Warren W. Wiersbe, Real Worship (New Jersey, Nashville: Oliver Nelson, 1986), 21.
30. Walter Elwell, Evangelical Dictionary of Theology (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1985) 1192.
31. Brace H. Leafblad, “What Sound Church Music?,” dalam Christianity Today, 19 May 1978, 19-20.
32. Harold Best, “Music: Offerings of Creativity,” dalam Christianity Today, 6 May 1977, 15.
33. Ibid., 15.
34. Austin C. Lovelace & William C. Rice, Worship and Music in the Church (Nashville: Abingdon, 1976), 20-21.
35. Leafblad, What Sound Church Music?, 19.
36. Lamar Boschman, Musik Bangkit Kembali (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 2001), 19.
37. Best, Music: Offering of Creativity, 15.
38. Charles R. Hoffer, The Understanding of Music (California: Wadsworth Publishing Co.,1971), 2.
39. William Lyod Hooper, Church Music in Transition (Tennessee: Broadman Press, 1963), vi.
40. John F. Wilson, An Introduction to Church Music (Chicago: Moody Press, 1974), 39.
41. Ellsworth, Christian Music in Contemporary Witness, 161.
42. Jeff Godwin, What’s Wrong With Christian Rock (Chino: Chick Publications, 1990), 249.
43. Godwin, Dancing With Demons the Music’s Real Matter, 260.
44. Best, “Music: Offerings of Creativity,” 12-13.
45. Schlink, Musik Rock Dari Mana & Mau Kemana? 28.
46. E. Margaret Clarkson, “What Makes a Hymn ‘good’?,” dalam Christianity Today, 27 Juni 1980, 22.
47. Leon Morris, The Gospel According to John (Grand Rapids: Zondervan, 1962), 73.
48. C. F. Keil & Delitzsch, Biblical Commentary on the Old Testament, 25 vol (Grand Rapids: Eerdmans, 1968), 1:393.
49. Fritz Rienecker, Linguistic Key to the Greek New Testament (Grand Rapids: Zondervan, 1980), 664.
50. William F. Arndt & F. Wikbur Gingrich, A Greek-Engkish Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature, direvisi oleh F. Wilbur Gingrich & Frederick W. Danker (Chicago: University of Chicago, 1979), 146.
51. Richard D. Mountford, “Does Music Make Them Do It?,” dalam Christianity Today, 4 May 1979, 21-22.
52. Larry Sibley, “Singging Upward,” dalam Moody Monthly, April 1976, 114.
53. Richard D. Dinwiddie, “Monney Changers in the Church: Making the Sounds of Music,” Christianity Today, 26 June 1981, 16-18.
54. Richard D. Dinwiddie, “Did I Really Sing That?” dalam Christianity Today, 27 June 1980, 24.
55. Don Campbell, Efek Mozart (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001) 97.
56. Erik Routley, Church Music and Christian Faith (London: Collins Liturgical Publications, 1978), 80.
57. The Harvard Dictionary of Music, 2nd. ed.,Willi Apel, (Massachusset, 1970), 518.




Sumber:
Jurnal Amanat Agung (STT Amanat Agung)
(http://www.sttaa.org/)

Roma 16:3-5a: SALAM KEPADA SAUDARA SEIMAN-2: Akwila dan Priskila

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-8


Salam Kepada Saudara Seiman-2: Akwila dan Priskila

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 16:3-5a.



Tokoh saudara seiman dan sepelayanan Paulus kedua yang akan kita soroti adalah Priskila dan Akwila (ay. 3-5a). Di ayat 3 dan 4, Paulus mengatakan, “Sampaikan salam kepada Priskila dan Akwila, teman-teman sekerjaku dalam Kristus Yesus. Mereka telah mempertaruhkan nyawanya untuk hidupku. Kepada mereka bukan aku saja yang berterima kasih, tetapi juga semua jemaat bukan Yahudi.” Siapa Priskila dan Akwila? Dokter Lukas memberikan keterangan mengenai siapa mereka di dalam Kisah Para Rasul 18:2-3, “Di Korintus ia berjumpa dengan seorang Yahudi bernama Akwila, yang berasal dari Pontus. Ia baru datang dari Italia dengan Priskila, isterinya, karena kaisar Klaudius telah memerintahkan, supaya semua orang Yahudi meninggalkan Roma. Paulus singgah ke rumah mereka. Dan karena mereka melakukan pekerjaan yang sama, ia tinggal bersama-sama dengan mereka. Mereka bekerja bersama-sama, karena mereka sama-sama tukang kemah.” Dari keterangan dua ayat ini, kita mendapatkan gambaran bahwa Akwila dan Priskila adalah orang Yahudi yang pertama-tama tinggal di Roma, namun karena kaisar Klaudius mengusir semua orang Yahudi dari Roma, maka mereka tinggal di Korintus. Lukas mencatat pekerjaan mereka sama dengan pekerjaan Paulus, yaitu tukang kemah. Dr. John Gill di dalam tafsiran John Gill’s Exposition of the Entire Bible menelusuri arti kata Akwila. Akwila, menurut Dr. Gill, adalah nama dari Roma yang diberikan kepadanya atau nama Roma yang ia pilih sendiri. Bahasa Latinnya Aquila yang artinya elang (an eagle). Nama ini dalam bahasa Ibrani, Nesher. Dalam bahasa Yunani, dipakai kata Akilas dari kata Akylios dan kata ini berasal dari kata Akylos yang menunjuk pada buah/biji pohon ek (an acorn). Akwila dikatakan berasal dari Pontus. King James Version (KJV) menerjemahkannya, “born in Pontus” (lahir di Pontus). Berarti Akwila lahir di Pontus, tinggal sementara di Roma, kemudian baru pindah ke Korintus. Pontus sebagai tempat kelahiran Akwila, menurut Dr. John Gill, adalah sebuah negara di wilayah Asia. The People’s New Testament menjelaskan bahwa Pontus adalah sebuah provinsi yang besar di sebelah tenggara Euxine Sea. Lalu, kita beralih ke sosok Priskila. New International Version (NIV) Spirit of the Reformation Study Bible menafsirkan bahwa Paulus sungguh-sungguh menggunakan nama Prisca ketimbang nama panggilannya Priskila seperti yang digunakan oleh Lukas. (Kis. 18:2, 18, 26) Robertson’s Word Pictures menjelaskan mengenai nama ini, “Prisca is a name in the Acilian family and the Prisci was the name of another noble clan.” (=Prisca adalah sebuah nama dalam keluarga Acilian dan Prisci adalah nama dari kaum bangsawan lainnya.) Di sini, kita mendapat gambaran bahwa kemungkinan sekali Priskila adalah keturunan bangsawan. Lalu, kita mungkin bertanya, bagaimana mereka bisa bertobat dan percaya kepada Kristus? Beberapa penafsir yang tafsirannya saya baca tidak memberikan keterangan tambahan mengenai hal ini, hanya mereka menafsirkan mungkin sekali mereka bertobat pada waktu Pentakosta di mana waktu itu, orang-orang Yahudi dari Pontus berkumpul (Kis. 2:9).


Sosok dua pasangan suami istri ini adalah sosok yang dikenal Paulus selama pelayanannya di Korintus. Bagi Paulus, kedua pasutri ini bukan pasutri biasa, namun pasutri yang bagi Paulus mencintai Tuhan dan jemaat-Nya. Oleh karena itu, Paulus menyebut mereka sebagai kawan sekerjanya di dalam Kristus dan ia menyebutkan pengorbanan mereka bagi hidup Paulus. Mempertaruhkan nyawa atau KJV, “Who have for my life laid down their own necks”, menurut Dr. John Gill, tidak boleh diterjemahkan literal/harfiah. Pernyataan ini hanyalah sebuah ekspresi yang menunjukkan bahwa Akwila dan Priskila adalah orang yang mau meresikokan hidupnya demi pelayanan Paulus. Apa yang dilakukan mereka berdua sehingga Paulus memuji pengorbanan mereka? Dr. John Gill menafsirkan bahwa mungkin sekali ini dikarenakan mereka berdua telah membantu Paulus dalam menangani perlawanan orang Yahudi yang hendak membawa Paulus ke tempat pengadilan Galio sebagai gubernur Akhaya (bdk. Kis. 18:12-18). Pengorbanan mereka berdua ini mendapat pujian terima kasih dari Paulus dan juga semua jemaat non-Yahudi. Apakah berarti jemaat non-Yahudi juga ditolong Akwila dan Priskila? TIDAK. Beberapa tafsiran yang saya baca menjelaskan bahwa para jemaat non-Yahudi juga berterima kasih kepada Akwila dan Priskila karena para jemaat ini ikut merasa bersukacita dan berterima kasih karena pengorbanan Akwila dan Priskila bagi rasul mereka, Paulus. Berarti ada unsur persaudaraan di dalam tubuh Kristus waktu itu.


Dari sosok Akwila dan Priskila, kita bisa belajar tentang arti pelayanan. Pelayanan sering kali dimengerti sebagai sebuah aktivitas yang rutin dilakukan oleh orang Kristen. Ternyata, bagi Akwila dan Priskila, pelayanan bukan sekadar aktivitas, tetapi panggilan. Meskipun profesi mereka adalah tukang kemah, tetapi mereka tetap melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh. Hal ini terbukti dengan kesetiaan mereka mengikuti Paulus sampai mereka tiba di Efesus (bdk. Kis. 18:19). Bagaimana dengan kita? Kita sering kali mengomel dan bersungut-sungut ketika melayani Tuhan. Kita sering tidak puas dengan rekan sepelayanan kita. Kita terlalu memusingkan hal-hal luar ketika kita melayani Tuhan. Belajarlah dari Akwila dan Priskila. Mereka tidak memusingkan hal-hal luar ketika melayani Tuhan. Mereka lebih memperhatikan kesetiaan dan kesungguhan hati melayani-Nya.


Cinta Tuhan yang Akwila dan Priskila tunjukkan juga ditandai dengan kesungguhan mereka membina dan menampung jemaat Tuhan. Paulus mengatakannya di Roma 16:5a, “Salam juga kepada jemaat di rumah mereka.” Hal ini juga ditegaskan Paulus di dalam 1 Korintus 16:19. Kata “jemaat” di sini tentu tidak berarti jemaat/gereja secara organisasi/tempat, tetapi secara individu, karena pada waktu itu, gereja/jemaat bukan dimengerti secara tempat seperti sekarang. Dengan kata lain, “jemaat” di sini bisa berarti kumpulan orang yang percaya kepada Kristus. Salah satu contohnya adalah Apolos yang berasal dari Aleksandria adalah orang Yahudi pertama yang mereka bina/ajar tentang Jalan Allah (Kis. 18:24-26). Dari sini, kita belajar jiwa dan semangat pemberitaan Injil dan pengajaran ada di dalam diri mereka berdua. Mereka bukan hanya setia mengikuti Paulus, mereka juga bersemangat memberitakan Firman Tuhan, meskipun mereka berprofesi sebagai tukang kemah. Ini menjadi pelajaran buat kita. Kita yang berprofesi apa pun memang tidak dipanggil oleh Tuhan untuk melayani di mimbar gereja atau lainnya, tetapi Ia memanggil kita melayani-Nya dengan sungguh-sungguh. Teladan Akwila dan Priskila mengajar kita bahwa melayani Tuhan bukan sekadar aktivitas, namun panggilan dan panggilan itu direalisasikan dengan semangat memberitakan Firman. Berarti, kronologisnya: panggilan Tuhan à melayani Tuhan sambil memberitakan Firman-Nya.


Sudahkah kita melayani-Nya sambil memberitakan Firman-Nya? Kiranya Tuhan menolong kita mengerjakan panggilan-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.


15 August 2009

KASIH Vs KEMUNAFIKAN (Denny Teguh Sutandio)

KASIH Vs KEMUNAFIKAN

oleh: Denny Teguh Sutandio




“Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.”
(Rm. 12:9)




Surat Roma adalah salah satu kitab di dalam Alkitab yang paling berpengaruh di dalam sejarah gereja. Bapa Gereja Augustinus bertobat setelah membaca surat ini. Begitu juga reformator, Dr. Martin Luther kembali menemukan kebenaran bahwa manusia dibenarkan melalui iman pun ketika dia menyelidiki Surat Roma. Surat ini ditulis oleh Rasul Paulus kira-kira pada tahun 55 atau 56 Masehi. (The Wycliffe Bible Commentary Vol. 3, 2008, hlm. 509) Surat ini ditujukan kepada orang Yahudi dan Yunani yang tinggal di Roma dan berisikan dasar-dasar iman Kristen tentang Allah, kesucian-Nya, dosa manusia, keselamatan di dalam Kristus, pengudusan, dan kehidupan Kristen sebagai aplikasi doktrin yang telah mereka pelajari. Biasanya surat ini dibagi menjadi 2 bagian pembahasan, yaitu: pembahasan doktrin (Rm. 1 s/d 11) dan pembahasan aplikasi dari doktrin (Rm. 12 s/d 16). Pada bagian pertama yaitu di Roma 1 s/d 11, Rasul Paulus membahas doktrin dosa dan keselamatan dengan menelusuri Perjanjian Lama dan diakhiri dengan suatu kesimpulan final bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah, bagi Dia kemuliaan selama-lamanya (Rm. 11:36). Kesimpulan tersebut merupakan kesimpulan tentang sangat agungnya keselamatan yang telah Allah berikan bagi umat-Nya dan tentu saja kesimpulan ini juga berlaku bagi seluruh kehidupan Kristen yang seharusnya memusatkan hidup mereka pada anugerah dan kemuliaan-Nya. Oleh karena itulah, konsep bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, oleh Allah diimplikasikan oleh Paulus di dalam seluruh aspek kehidupan Kristen sehari-hari. Implikasi ini dimulai dari konsep ibadah sejati yang menyeluruh yang berpusat pada Allah di Roma 12:1-2. Di dalam ibadah tersebut, kita sebenarnya sedang melayani Allah. Oleh karena itu, kemudian, ia mengimplikasikan konsep kemuliaan Allah di dalam pelayanan yang saling melengkapi di dalam Kerajaan Allah di Roma 12:3-8. Di dalam pelayanan pun, salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah kasih. Tanpa kasih, tidak mungkin ada orang yang mau melayani. Tanpa kasih pula, pelayanan kita tidak akan benar-benar memuliakan-Nya, karena pelayanan kita akan dikuasai oleh semangat kompetisi dan keegoisan. Karena alasan itulah, Paulus menjelaskan ulang konsep kasih yang berpusat kepada Allah mulai ayat 9 s/d 20. Pada kali ini, kita tidak akan membahas keduabelas ayat tersebut, namun hanya mengkhususkannya di ayat 9 sebagai bahan renungan kita tentang kemunafikan, lalu bagaimana kita bisa keluar dari kemunafikan kita dengan kembali kepada kasih yang berpusat pada Allah.




Bukan suatu kebetulan, Rasul Paulus mendefinisikan tentang kasih dengan mengaitkannya pertama-tama dengan kepura-puraan atau kemunafikan. Di ayat 9, ia mengajar, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.” Di dalam terjemahan Yunani, kata “hendaklah” tidak ditemukan, namun di dalam beberapa terjemahan Inggris, kata ini diterjemahkan let (=biarlah) dan ada juga terjemahan Inggris lain yang tidak menerjemahkannya. Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible menafsirkan bahwa ayat ini adalah berupa nasihat/dorongan (exhortation). Tentunya karena ini merupakan nasihat/dorongan, maka ini bukan paksaan. Lalu, setelah “hendaklah”, Paulus menyambung dengan kata “kasih.” Kasih apakah yang Paulus maksudkan? Bahasa Indonesia tidak jelas mendefinisikannya, begitu juga bahasa Inggris. Ketika kita menyelidiki bahasa Yunaninya, kata yang dipergunakan adalah agapē yang berarti unconditional love (kasih yang tidak bersyarat) dan jenis kasih ini adalah kasih yang tertinggi yang hanya pantas diperuntukkan untuk kasih Allah bagi umat-Nya.




Dari penjelasan di atas, kita belajar bahwa kasih agapē ini BUKAN suatu keharusan yang memaksa, tetapi suatu nasihat yang membebaskan. Mengapa demikian? Karena kasih dan mengasihi (konteks: agapē) merupakan suatu hal yang keluar dari hati yang terdalam. Allah mengasihi manusia dengan kasih agapē dan kasih ini telah ditunjukkan-Nya dengan sempurna melalui karya penebusan Kristus di kayu salib. Kasih agapē tersebut keluar dari hati Allah yang terdalam dan termurni. Seorang Kristen yang telah dikasihi dan ditebus-Nya seharusnya merespons kasih-Nya tersebut dengan mengasihi Allah dan sesama dengan kasih yang tak bersyarat atau kasih yang murni. Jangan pernah memaksa seseorang untuk mengasihi orang lain apalagi memaksa seseorang mengasihi Allah, karena itu tidak akan berguna apa-apa, bahkan mungkin sekali orang yang kita paksa untuk mengasihi itu memiliki kasih yang pura-pura. Oleh karena itu, maka Paulus melanjutkan, “kasih itu jangan pura-pura!” Pernyataan “jangan pura-pura” memiliki beragam arti di dalam terjemahan Inggris maupun bahasa Yunaninya. English Standard Version (ESV) menerjemahkannya, “Let love be genuine.” (=biarlah kasih itu sungguh-sungguh) International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “Your love must be without hypocrisy.” (=Kasihmu harus tanpa kemunafikan.) King James Version (KJV) menerjemahkannya, “Let love be without dissimulation.” (=Biarlah kasih itu tanpa topeng/berpura-pura.) New International Version (NIV) menerjemahkannya, “Love must be sincere.” (=Kasih harus tulus.) Terjemahan Indonesia dari teks Yunaninya adalah “Kasih itu bukan yang berpura-pura.” (Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia, 2006, hlm. 864) Dari beragam terjemahan ini, kita mendapatkan penjelasan bahwa kasih itu tidak boleh berpura-pura atau kasih itu tidak boleh munafik. Apa itu munafik? Mengapa dikontraskan dengan kasih? Mari kita menyelidikinya.




Menurut NIV Spirit of the Reformation Study Bible, kata “munafik” yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai hyprocrisy berasal dari kata hypocrites (aktor) di dalam drama Yunani kuno yang menggunakan topeng. Dengan kata lain, si hipokrites/aktor yang bermain dalam drama ini menggunakan topeng. Nah, melalui ayat ini, Paulus hendak mengajar jemaat Roma dan kita bahwa kasih agapē bukanlah kasih yang bertopeng seperti demikian. Ketika kita berbicara mengenai topeng, kita sebenarnya berbicara mengenai kepalsuan. Di dalam dunia yang kita hidupi ini, sudah terlalu banyak kepalsuan yang kita tonton dan perhatikan. Mulai dari film, drama, dll, kita menjumpai beraneka ragam kepalsuan. Tidak jarang di dalam dunia realitas, kita menjumpai kepalsuan ini bahkan di dalam diri banyak orang Kristen. Mereka aktif ke gereja, suka menghadiri seminar dan acara-acara rohani, namun mereka hidup di dalam kepalsuan. Atau dengan kata lain, mereka bermuka dua. Di hadapan semua orang, orang seperti ini bisa kelihatan baik, alim, dll, tetapi ketika tidak ada orang yang memperhatikan, ia bisa berlaku sebaliknya. Di hadapan orang tertentu, ia bisa menyanjung orang tersebut, namun sayangnya, ketika orang tertentu itu telah pergi, ia bisa mengata-ngatai orang tertentu kepada orang lain. Ya, hidup di dalam topeng berarti hidup di dalam kepalsuan dan hidup di dalam kepalsuan ditandai dengan bermuka dua. Tetapi, pertanyaan selanjutnya adalah mengapa bisa demikian?




Ada beberapa alasan mengapa orang (bahkan banyak orang “Kristen”) munafik:
1. Tidak Rendah Hati
Seorang Kristen yang munafik pertama-tama harus diragukan status Kekristenannya. Dengan kata lain, apakah benar seorang Kristen yang munafik benar-benar seorang pengikut Kristus sejati ataukah sebenarnya orang “Kristen” palsu (meminjam istilah Pdt. Dr. Stephen Tong, anak setan yang masih indekos di dalam gereja)? Dengan mengatakan hal ini, saya TIDAK bermaksud langsung menghakimi bahwa orang “Kristen” munafik pasti bukan anak Tuhan sejati. Mungkin sekali ada orang Kristen sungguh-sungguh yang munafik, tetapi jikalau itu pun ada, kemunafikan itu tidak akan berlangsung lama, karena Roh Kudus akan terus-menerus memurnikan hidupnya. Kembali, mengapa saya bisa berkata bahwa orang “Kristen” munafik adalah orang “Kristen” palsu? Mari kita lihat perbedaannya. Orang Kristen yang sungguh-sungguh adalah orang Kristen yang rendah hati. Orang disebut Kristen BUKAN dilihat dari seberapa dia aktif ke gereja atau mengikuti acara rohani, tetapi dilihat dari sampai seberapa rendah hatinya ia di hadapan Allah dan kebenaran firman-Nya. Kerendahan hati itu ditunjukkan dengan keterbukaan hatinya untuk mau dikoreksi oleh firman dan otomatis berkomitmen menjalankan firman Tuhan tersebut di dalam setiap aspek kehidupannya. Saya menyebutnya sebagai: TAAT DI DALAM PROSES PENGUDUSAN ROH KUDUS. Artinya, kerendahan hati membuahkan sikap taat dan itu bisa dimungkinkan melalui pencerahan dan pengudusan yang Roh Kudus kerjakan di dalam hati umat pilihan-Nya. Sedangkan orang “Kristen” palsu adalah orang yang tidak rendah hati, namun sombong. Kesombongannya itu mengakibatkan ia dengan mudahnya mengkritik bahkan menghakimi beberapa khotbah dan pengajaran firman yang bertanggungjawab hanya karena itu tidak cocok dengan dirinya (bukan karena tidak sesuai dengan Alkitab). Atau mungkin sekali ia meng“amin”i semua khotbah dan pengajaran yang didengarnya, namun sayang ia TIDAK mau rendah hati mengoreksi kesalahan dan mengaplikasi khotbah tersebut. Jangan heran, khususnya, seorang muda Kristen (bahkan mungkin anak majelis/tua-tua/hamba Tuhan) bisa dengan mudahnya meng“amin”i khotbah yang mengajar bahwa carilah pasangan hidup yang seiman, namun secara praktik hidup, ia dengan mudahnya menjalin hubungan dekat dengan lawan jenis yang berbeda iman (dengan alasan: “cocok” dengan lawan jenis tersebut). Bagaimana dengan kita? Jangan menuduh orang lain munafik, tetapi introspeksi diri kita masing-masing terlebih dahulu, masihkah kita munafik? Jika ya, berhati-hati dan bertobatlah.


2. Tidak Suka Kebenaran
Orang “Kristen” bisa munafik mungkin sekali karena ia tidak suka Kebenaran. Kalau di poin pertama, orang “Kristen” munafik saya sebut sebagai “Kristen” palsu yang tidak rendah hati, maka di poin kedua, sikap tidak rendah hati ini menghasilkan suatu sikap yang tidak suka Kebenaran. Mengapa ia tidak suka Kebenaran? Karena baginya, pertama, Kebenaran itu idealisme yang terlalu tinggi dan di awang-awang serta tidak mungkin diwujudnyatakan dalam kehidupan dunia ini. Tidak heran, karena pikiran ini, maka orang “Kristen” munafik bisa hidup mendua hati. Jika di gereja, ia akan meng“amin”i khotbah yang mengajarkan tentang pentingnya hidup kudus, jujur, taat, setia, dll, tetapi setelah keluar gereja, ia kembali ke hidup aslinya yang tidak karuan, gemar berdusta, dll. Benarkah kebenaran itu hanya idealisme kosong dan tidak bisa diwujudnyatakan? TIDAK! Yang kita perlukan bukan bagaimana menghidupi Kebenaran itu dalam waktu singkat, namun yang kita perlukan adalah bersediakah kita dengan rendah hati taat menghidupi Kebenaran itu? Dan ketaatan itu BUKAN suatu proyek singkat, namun proyek yang membutuhkan waktu yang sangat lama, karena ketaatan itu adalah sebuah PROSES.

Kedua, Kebenaran itu tidak enak dan perlu bayar harga untuk itu. Tuhan Yesus sudah mengajar hal demikian, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mat. 16:24; bdk. 10:38) Rasul Paulus juga mengajar hal serupa kepada anak rohaninya, Timotius di dalam 2 Timotius 3:12, “Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya,” Tidak ada bagian Alkitab yang mengajarkan bahwa ikut Kristus pasti kaya, sukses, berkelimpahan, makmur, selalu sehat, bahkan tidak pernah digigit nyamuk. Itu jelas bukan ajaran Alkitab! Namun, sayangnya, begitu banyak orang “Kristen” dengan mudahnya ditipu oleh ajaran-ajaran yang tidak bertanggungjawab demikian. Sehingga jangan heran orang “Kristen” demikian hidup mendua hati. Jika di gereja, ia bisa dengan bangganya mengaku diri “Kristen”, namun ketika bahaya mengancam nyawanya, mungkin sekali ia menyangkal imannya dan mengatakan bahwa dirinya bukan Kristen. Itu yang sering saya dengar pada beberapa atau bahkan banyak orang Kristen ketika berhadapan dengan bahaya nyawa pada kerusuhan Mei 1998. Sungguh mengerikan kemunafikan demikian. Terhadap orang “Kristen” demikian, Tuhan Yesus berfirman, “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga."” (Mat. 10:32-33)


3. Melihat Kemunafikan Orang “Kristen” Lainnya
Alasan ketiga orang “Kristen” bisa munafik adalah karena ia sendiri melihat orang “Kristen” lainnya munafik. Jika ada orang “Kristen” lain atau bahkan beberapa pemimpin gereja munafik, orang “Kristen” ini akan langsung mengambil sikap serupa. Lalu, kalau orang ini ditanya oleh orang lain mengapa dia munafik, dia akan berargumentasi bahwa dia bersikap munafik karena orang lain bahkan pemimpin gereja munafik. Berarti, kemunafikan dirinya lebih disebabkan oleh pihak luar/eksternal, ketimbang internal. Jika hal demikian yang terjadi, maka orang yang munafik ini sudah berdosa dobel. Pertama, dia munafik. Kedua, dia munafik dan menyalahkan orang lain munafik yang mempengaruhi sikapnya yang munafik. Jadi, istilahnya, dia tidak mau disalahkan (karena sikapnya yang munafik) dan dengan mudahnya menyalahkan orang lain, padahal orang Kristen bertugas menjadi saksi Kristus yang mempengaruhi dunia luar, bukan dipengaruhi oleh dunia luar.

Di sisi lain, ini juga menjadi teguran bagi orang Kristen yang sungguh-sungguh namun masih hidup di dalam kemunafikan. Kalau kita sungguh-sungguh mengaku telah beriman kepada Kristus, seharusnya kita tidak lagi hidup munafik dan kita terus-menerus berkomitmen untuk menjadi garam dan terang bagi dunia sekitar, sehingga melalui sikap kita, orang lain bahkan orang Kristen lain diberkati dan memuliakan Tuhan. Ini juga menjadi teguran bagi saya pribadi.




Jika kita telah mengerti alasan kemunafikan, lalu bagaimana orang Kristen bisa keluar dari sikap hidup munafik? Kembali ke ayat 9a, Paulus mengatakan bahwa KASIH itu TIDAK MUNAFIK. Berarti jalan keluar dari sikap hidup kemunafikan adalah kembali kepada KASIH AGAPE! Di dalam kasih, tidak ada kemunafikan. Artinya, di dalam kasih, selain harus ada Kebenaran, juga ada kemurnian, ketulusan, kejujuran, dan kesetiaan. Rasul Paulus juga mengajar hal serupa kepada Timotius di dalam 1 Timotius 1:5 tentang pentingnya nasihat di ayat 3-4, “Tujuan nasihat itu ialah kasih yang timbul dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas.” Kata “kasih” di ayat 5 ini di dalam KJV diterjemahkan charity (=amal/kebajikan) dan bahasa Yunaninya JUGA menggunakan kata agapē. “Hati yang suci” di ayat 5 ini diterjemahkan oleh KJV sebagai, “pure heart” (=hati yang bersih/murni) dan kata Yunani untuk pure ini adalah katharos yang berarti bersih, jernih/jelas (clean, clear). Lalu, bagaimana kita memiliki kasih agapē yang murni tersebut?




Di ayat 9b, Paulus menjelaskan bahwa di dalam kasih agapē yang murni tersebut terkandung dua sikap:
1. Membenci yang Jahat
Di ayat 9b, bagian pertama, Paulus mengajar, “Jauhilah yang jahat” Kalau kita memperhatikan terjemahan Indonesia ini, seolah-olah kita mendapatkan gambaran bahwa kasih yang murni itu hanya MENJAUHI yang jahat. Terjemahan Indonesia ini kurang tepat artinya dan cenderung masih terlalu lembut bahasanya. Jika kita membandingkan terjemahan Indonesia ini dengan terjemahan Inggris dan teks asli Yunaninya, kita mendapatkan pengertian yang lebih tegas dan jelas. Analytical-Literal Translation (ALT), 1889 Darby Bible, English Majority Text Version (EMTV), ESV, ISV, KJV, Revised Version (RV), 1833 Webster Bible, 1898 Young’s Literal Translation (YLT) menerjemahkan “jauhilah” ini dengan kata abhor (=sangat membenci). Terjemahan lain untuk kata “jauhilah” ini adalah hate (=membenci) dan terjemahan ini dipakai oleh James Murdock New Testament, 1965 Bible in Basic English (BBE), Bishops’ Bible 1568, God’s Word, Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), dan NIV. Kata Yunani yang dipakai di sini adalah apostugeō dan oleh Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia diterjemahkan, “Bencilah.” Dan di dalam struktur bahasa Yunani, kata ini menggunakan bentuk aktif dan present. Dari studi kata ini, kita mendapatkan penjelasan bahwa kasih yang murni adalah kasih yang MEMBENCI kejahatan secara aktif dan sekarang. Artinya:
Pertama, kasih bukan hanya MENJAUHI kejahatan (bukan hanya mengenai jauh atau dekat), tetapi kasih yang murni adalah kasih yang benar-benar MEMBENCI kejahatan. Kasih yang membenci kejahatan artinya kasih yang TIDAK mau melihat kejahatan sedikitpun. Hal ini sangat berbeda total dari konsep dunia tentang kasih. Dunia kita (tidak jarang termasuk banyak orang Kristen di dalamnya) mendefinisikan kasih sebagai tindakan yang mengasihi kejahatan bahkan bersuka di dalam kejahatan tersebut. Tidak heran, free-sex, dianggap sah, normal, bahkan para pelakunya bersuka di dalam tindakan-tindakan tersebut. Namun, Alkitab memiliki definisi yang teragung mengenai kasih yang murni, yaitu kasih yang membenci kejahatan. Atau saya berani menafsirkan: KASIH yang MURNI adalah KASIH yang JIJIK terhadap kenajisan. Mengapa kita bisa membenci alias jijik terhadap kejahatan/kenajisan? Karena kita adalah anak-anak Allah yang mengasihi kesucian hidup sebagaimana yang Allah sendiri perintahkan melalui Rasul Petrus, “Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” (1Ptr. 1:14-16)

Kedua, kasih yang MEMBENCI kejahatan dilakukan secara AKTIF. Kasih yang membenci kejahatan bukan dilakukan secara pasif, yaitu menunggu sampai kejahatan itu benar-benar mencobai kita. TIDAK! Justru, kita secara AKTIF membenci kejahatan baik kejahatan itu PASIF maupun AKTIF mencobai kita. Berarti, ada suatu langkah MAJU dan BERANI di dalam sikap kita dalam MEMBENCI kejahatan. Hal ini sama seperti yang dipaparkan oleh Rasul Petrus ketika berbicara mengenai si setan, “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan iman yang teguh, sebab kamu tahu, bahwa semua saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan yang sama.” (1Ptr. 5:8-9) Kata “sadarlah”, “berjaga-jagalah”, dan “lawanlah” di dalam kedua ayat ini (8-9) di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk AKTIF. Berarti, kita bukan diperintahkan PASIF terhadap kejahatan/setan, tetapi AKTIF. Dengan kata lain, mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong, kita sebagai orang Kristen yang beres TIDAK dipanggil hanya untuk menjawab tantangan/serangan zaman/setan, tetapi untuk MENANTANG zaman agar kembali kepada Kebenaran!
Lalu, bagaimana kita mewujudnyatakan kasih yang membenci kejahatan secara aktif ini? Caranya adalah dengan TIDAK terikat pada kejahatan atau apa pun yang jahat yang memisahkan kita dari Allah dan juga kita menegur sesama saudara seiman atau orang lain agar tidak terikat juga. Berarti: Pertama, kita memberlakukan “membenci kejahatan” itu pada diri kita sendiri terlebih dahulu. Kita membenci kejahatan dengan TIDAK terikat pada kejahatan apa pun yang memisahkan kita dari Allah. Caranya adalah, seperti yang dipaparkan Paulus di ayat-ayat sebelumnya (Rm. 12:1-2), kita mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah yang ditandai dengan pembaharuan akal budi kita. Ketika kita mempersembahkan tubuh kita untuk dipakai bagi kemuliaan-Nya (melalui pembaharuan akal budi kita), maka pada saat yang sama, melalui proses pengudusan yang Roh Kudus kerjakan, kita tidak akan lagi terikat pada kejahatan yang mendukakan hati-Nya. Berarti fokus kepada Allah mengakibatkan kita tidak lagi berfokus kepada hal-hal yang jahat. Kedua, kita pun dipanggil untuk menyadarkan sesama saudara seiman/orang lain agar mereka juga tidak terikat. Berarti kita bukan hidup egois yang hanya memperhatikan kepentingan kita, tetapi kita juga mengingat orang lain akan bahaya kejahatan itu. Bagaimana kita dapat menyadarkan mereka? Caranya adalah dengan menegur mereka agar mereka juga tidak terikat pada kejahatan. Di dalam Alkitab, Paulus menegur Petrus yang munafik (Gal. 2:11-14). Jelas tujuan teguran itu BUKAN untuk mempermalukan Petrus atau membuktikan Paulus lebih hebat dan rohani ketimbang Petrus, tetapi motivasi dan tujuannya agar Petrus bertobat dari kemunafikan itu dan kembali kepada jalan yang benar. Berarti di dalam suatu teguran, yang diperhatikan adalah isi teguran beserta motivasi, cara, dan tujuan yang beres. Kepada Timotius yang ditugasi Paulus untuk melayani jemaat bersama, Paulus menasihatkan Timotius, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.” (2Tim. 4:2) Selain memberitakan firman, di dalam pelayanan, Paulus juga mengingatkan Timotius untuk tidak lupa menegur jemaat. Berarti, teguran tetap diperlukan bagi orang Kristen/jemaat agar mereka juga bertobat. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menegur diri kita sendiri dan orang lain demi pertumbuhan masing-masing anggota tubuh Kristus ke arah Kristus? Ingatlah, jangan sungkan-sungkan menegur dan biarkan Roh Kudus sendiri yang bekerja di dalam teguran itu untuk menyadarkan kita maupun orang lain.


2. Melekat Pada yang Baik
Bukan hanya membenci kejahatan, kasih yang murni juga melekat pada yang baik. Terjemahan Indonesia, “lakukanlah yang baik.” Kata “lakukanlah” di dalam KJV diterjemahkan cleave (=berpegang erat/setia pada). Di dalam NIV dan ISV diterjemahkan cling (=mendekat/menempel) dan terjemahan Indonesia dari teks Yunaninya adalah bergabunglah dengan (yang baik). Kedua bagian ini, yaitu membenci yang jahat dan melekat pada yang baik saling berkaitan. Kasih yang murni adalah kasih yang MEMBENCI yang jahat dan sekaligus setelah itu langsung MELEKAT pada yang baik. Apa arti “baik” di dalam bagian ini? Kata “baik” dalam ayat 9b ini dalam bahasa Yunaninya agathos berarti good, well (baik, bagus). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Konkordansi Perjanjian Barunya menerjemahkan agathos sebagai baik, baik hati, jujur, berguna. Jika kita membaca kembali ayat-ayat sebelumnya, yaitu di ayat 2, maka kita mendapatkan penjelasan utuh tentang konsep baik di dalam ayat 9b ini. Di Roma 12:2, Paulus mengajarkan, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Kata “baik” di ayat 2 ini dalam bahasa Yunani sama dengan kata “baik” di ayat 9b. Berarti, BAIK bukan hanya BAIK secara standar moral saja, tetapi BAIK dikaitkan dengan: kehendak Allah, berkenan kepada Allah (menyenangkan Allah), dan sempurna. Dengan kata lain, melekat pada/bergabung dengan yang baik berarti bergabung dengan yang baik, berguna, berkenan kepada Allah, menyenangkan-Nya, dan sempurna. Setelah bergabung, tentu orang Kristen dituntut untuk menjalankannya. Berarti, makna bergabung, bukan hanya sekadar bergabung seperti bergabung di dalam sebuah anggota kelompok, tetapi juga berpartisipasi di dalamnya.

Bergabung dengan/melekat pada yang baik ini di dalam struktur bahasa Yunaninya menggunakan bentuk PASIF. Mengapa PASIF? Karena posisi kita yang bergabung dengan kebaikan itu BUKAN posisi aktif yang berasal dari diri kita, tetapi PASIF, karena Allah yang menarik kita kepada kebaikan itu. Inilah bedanya theologi yang menekankan kedaulatan dan anugerah Allah vs theologi yang terlalu menekankan tanggung jawab manusia. Theologi yang berpusat pada Allah adalah theologi yang melihat segala sesuatu dari perspektif anugerah dan kedaulatan Allah yang membawa manusia mengenal kebenaran dan kebaikan, sedangkan theologi yang berpusat pada manusia selalu melihat kehebatan manusia yang secara aktif mencari Allah dan melekat pada kebenaran dan kebaikan secara sendiri. Kembali, ketika kita bisa melekat pada yang baik itu terjadi karena anugerah Allah yang begitu agung, karena tanpa anugerah-Nya, kita tidak mungkin menyukai apa yang benar dan baik.




Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda memiliki kasih yang murni yang: MEMBENCI kejahatan dan MELEKAT pada yang baik demi hormat dan kemuliaan nama-Nya? Jika belum, sudah saatnya Anda bertobat dan kembali kepada-Nya. Jika sudah, teruslah perbaharuilah komitmen Anda di hadapan-Nya dan jangan lupa untuk mengingatkan orang lain/saudara seiman lain supaya mereka juga memiliki kasih yang murni. Kiranya Tuhan memberkati komitmen hati kita dan pelayanan kita di hadapan-Nya. Amin. Soli DEO Gloria.