30 June 2008

Matius 10:19-20: PROVIDENSIA ALLAH

Ringkasan Khotbah : 27 Nopember 2005

Providensia Allah
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 10:19-20


Pendahuluan
Kita telah memahami bahwa anak Tuhan itu layaknya seperti seekor domba yang berada di tengah-tengah serigala. Secara logika, posisi ini sangatlah sulit sebab domba adalah binatang lemah, ia tidak mempunyai pertahanan untuk dapat menyelamatkan dirinya dari cengkeraman musuh akan tetapi di dalam kondisi demikian Tuhan tidak ingin kita serupa dengan menjadi seekor serigala. Tidak! Bagaimanapun juga kita tetap harus menjadi domba. Tuhan sudah membukakan dari awal tentang semua hal yang positif dan negatif kalau kita menjadi pengikut Kristus, yakni kita akan ditangkap, disesah dan diserahkan ke majelis agama. Hati-hati, hari ini banyak konsep Kekristenan yang menipu akibatnya orang tertipu dan terkejut karena realita ternyata tidaklah sesuai dengan yang diajarkan. Bukanlah hal yang mudah sebagai orang Kristen untuk hidup benar dan suci di tengah-tengah dunia yang tidak benar namun ketika kesulitan itu datang, janganlah kuatir sebab Tuhan telah berjanji Dia akan selalu beserta dan memelihara umat-Nya. Doktrin ini disebut sebagai providensia Allah.

Signifikansi Providensia Allah
1. Providensia diberikan hanya kepada anak Tuhan yang taat dan setia pada-Nya.
Hari ini muncul konsep yang salah tentang providensia Allah; orang beranggapan kalau Allah memelihara maka orang Kristen boleh berbuat seenaknya sebab Allah akan menjagai, kita tidak akan menderita dan apapun yang dilakukan pasti berhasil maka tidaklah heran kalau ternyata yang diajarkan tidak sama dengan realita yang dihadapi orang menjadi terkaget-kaget dan ironisnya, orang menyalahkan Tuhan, kenapa Tuhan tidak menjaga? Sesungguhnya bukan Tuhan yang salah tetapi manusialah yang tidak mau taat dan menyeleweng dari jalan Tuhan, kitalah yang hilang dari posisi kita. Pertanyaannya sekarang adalah dimanakah posisi kita? Apakah kita seorang anak Tuhan yang sejati? Providensia Allah digambarkan seperti seekor domba yang dekat dengan gembalanya; si domba akan aman berada dalam pemeliharaan sang gembala ketika ia dekat dengan sang gembala akan tetapi ketika si domba itu menyeleweng jauh dari sang gembala maka si domba akan berada dalam kesulitan. Untuk memahami providensia Allah maka kita harus kembali pada posisi yang asli, yaitu domba yang dekat dengan gembala disana kita dapat merasakan Allah menjadi benteng yang melindungi (Mzm. 48:1-15).

2. Providensia Allah membuktikan kelemahan dan keterbatasan diri manusia.
Di satu pihak orang butuh providensia Allah khususnya ketika kita berada dalam kesulitan tetapi di sisi lain, orang menolak providensia Allah karena providensia ini dirasakan telah membatasi eksistensi dirinya. Dalam hal ini providensia tidak lebih hanya sebagai alat pendukung dimana Tuhan seperti seorang bodyguard. Ingat, Tuhan bukan budak kita yang dapat kita perintah seenaknya. Tidak! Sadarlah, kitalah yang budak dan harus taat mutlak pada Tuhan. Manusia adalah makhuk lemah dan terbatas dalam banyak hal manusia tidak dapat mengatasi segala kondisi dan situasi yang sulit, kita tidak tahu apakah esok cerah ataukah gelap, manusia tidak berkuasa atas alam apalagi atas Tuhan sang pemilik alam. Ironisnya, dunia tidak mau mengakui kalau dirinya lemah dan terbatas. Hendaklah kita selalu mawas diri, janganlah kita terus menengok ke bawah tetapi tengoklah ke atas, masih banyak orang yang segalanya lebih dari kita. Kita bukanlah siapa-siapa, kita hanyalah remah-remah yang seharusnya dibuang. Konsep pemeliharaan Allah menyadarkan kita bahwa kita adalah manusia lemah dan terbatas dan seharusnya kembali pada posisi yang tepat. Orang yang tidak mengerti hal ini maka ia tidak akan pernah memahami betapa kita butuh pemeliharaan-Nya. Selama orang masih sukses, orang tidak akan pernah sadar akan kelemahannya ketika realita berbicara lain barulah orang mulai teriak: Tuhan dimana? Keterbatasan otak kitalah yang membuat kita sulit melihat penyertaan dan pemeliharaan Tuhan yang indah dalam hidup kita. Providensia menuntut ketaatan dan kesadaran akan posisi kita dengan demikian kita tahu bagaimana seharusnya memperlakukan dan bersikap pada Allah.

3. Providensia memperluas kapasitas manusia.
Orang lebih suka berjalan sendiri, orang tidak suka kalau Tuhan memelihara, orang tidak suka diatur oleh Tuhan sebaliknya orang lebih suka mengatur Tuhan. Pertanyaannya sekarang memang siapakah manusia mau mengatur Tuhan dan menjadi penasehat bagi Tuhan semesta alam? Sampai seberapakah kepandaian, kekayaan dan kekuatan manusia? Sadarlah justru pada saat kita bersandar dan hidup dalam pemeliharaan Tuhan itulah batasan kita diperluas. Ketika manusia tidak sanggup lagi mengatasi segala kesulitan maka saat itu kita akan melihat Allah sanggup mengatasi semua perkara yang menjadi kesulitan kita, kita akan melihat cara Tuhan yang ajaib yang sulit dimengerti oleh logika manusia. Tuhan kita adalah Tuhan yang hidup, Dia akan memberikan kepada kita kekuatan yang melampaui teori manusia. Terkadang kita sulit untuk mengerti namun percayalah, Tuhan pasti akan menolong kita disaat yang paling sulit dan Tuhan bisa memakai apapun juga seperti halnya Tuhan memeliharakan Elia dengan memakai burung gagak. Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktu-Nya.

Prinsip Providensia Allah
1. Hidup Beriman
Hidup dalam pemeliharaan Tuhan diperlukan iman. Orang yang selalu kuatir membuktikan satu hal, yakni ia tidak beriman pada Tuhan. Sejauh diri dapat mengontrol maka kekuatiran itu tidak akan muncul akan tetapi ketika segala sesuatu mulai berada di luar kontrol diri muncullah rasa kuatir. Orang yang kuatir adalah orang yang berjuang sendiri dengan mengandalkan kekuatannya sendiri untuk menyelesaikan segala sesuatunya seorang diri saja tetapi di luar kemampuan diri. Banyak hal di dunia ini kita tidak tahu, kita tidak tahu apa yang terjadi esok, kita tidak tahu masa depan kita maka wajarlah kalau timbul rasa kuatir dan takut. Kekuatiran dan ketakutan itu muncul karena kita tidak kenal diri sendiri, kita tidak tahu posisi siapa yang lebih tinggi siapa yang lebih rendah. Ironis, orang justru lebih takut pada iblis padahal secara ordo, iblis itu ada di bawah kita. Anak Tuhan sejati harusnya lebih takut pada Tuhan yang menjadi Bapa kita. Jadi, rasa takut dan kuatir itu karena masalah teologis bukan psikologis.
Seorang anak Tuhan sejati tidak perlu takut dan kuatir karena kita mempunyai Tuhan yang hidup yang akan memberikan kekuatan dan memimpin langkah hidup kita. Sebagai anak Tuhan, kita harus waspada. Seorang yang waspada tetap aktif mengerjakan segala sesuatu dan pada saat ia aktif, alert system yang ada pada dirinya itu tetap berjalan, ia peka ketika ada hal-hal yang menyeleweng dari jalan Tuhan dengan demikian kita tidak terjebak dan saat itulah seorang anak Tuhan yang sejati harus menjadi saksi. Orang yang beriman pada Tuhan tidak akan pernah merasa kuatir; hanya satu hal yang dia tahu yaitu taat mutlak pada pimpinan Tuhan. Sejauh kita taat dan berjalan bersama dengan Tuhan maka tidak ada hal lain yang perlu kita kuatirkan sebab kita tidak sedang mengerjakan rencana manusia tetapi rencana-Nya; kalau memang itu kehendak Tuhan maka segala rintangan dan halangan yang ada di depan pasti akan hancur karena Tuhan yang memimpin.
Selama kita hidup taat pada Tuhan maka tiap langkah Tuhan akan pimpin. Namun ingat, ketika Tuhan pimpin bukan berarti kita akan hidup nyaman. Tidak! Tuhan menegaskan sejak awal orang Kristen seperti domba di tengah serigala itu berarti setiap saat banyak tantangan dan penderitaan yang harus kita hadapi. Seorang yang taat akan pimpinan Tuhan maka ia harus berani dan siap dengan segala tantangan dan penderitaan maka orang yang demikian ini akan dipakai Tuhan dengan luar biasa. Tuhan panggil kita untuk melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sebelumnya dan Ia mau supaya kita hidup di dalamnya (Ef. 2:10). Saat kita melakukan kehendak Tuhan maka justru saat itulah kita merasakan hidup yang paling aman dan tenang karena kita tahu Tuhan yang memimpin kita adalah Tuhan yang hidup.

2. Hidup dalam Anugerah Tuhan
Firman Tuhan menegaskan apabila mereka menyerahkan kamu, janganlah kamu kuatir...karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga (Mat. 10:19). Semua yang ada pada kita itu merupakan anugerah dari Tuhan. Konsep ini sangat penting dalam kita memahami providensia Allah. Pemeliharaan Allah itu bukan menjadi hak kita untuk mendapatkannya tetapi semua itu Tuhan anugerahkan kepada setiap anak-anak-Nya. Inilah yang menjadi kekuatan kita. Kita tahu sekarang bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang baik, Tuhan yang tidak akan meninggalkan anak-anak-Nya sendiri. Kita sepatutnya bersyukur atas anugerah yang ada pada kita baik yang sifatnya materi maupun non materi seperti kepandaian, ketrampilan, dan lain-lain karena Tuhan anugerahkan semua itu pada kita supaya kita dapat berjalan menjadi anak-Nya; Tuhan memberikan semua itu supaya kita sebagai anak-Nya tidak mempermalukan Dia dan Tuhan memberikan semua itu untuk menyadarkan kita bahwa Dia menolong kita dan tanpa Dia kita bukanlah siapa-siapa. Hidup yang paling indah adalah ketika kita berada di posisi kita, yaitu sebagai domba yang berada dekat dengan Sang Gembala. Kita akan merasa aman dan nyaman karena Sang Gembala itu akan menuntun kita di padang yang berumput hijau, Dia membimbing kita ke air yang tenang dan ketika kita berada dalam bahaya maka gada dan tongkat-Nya yang akan menghiburkan dan menolong kita (Mzm. 23). Sangatlah disayangkan kalau kita melewatkan anugerah Tuhan yang begitu besar ini.
Katekismus Westminster menyatakan bahwa tujuan hidup Kristen adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia seumur hidup kita. Hubungan Allah dengan anak-Nya bukanlah hubungan yang menyakitkan tetapi justru ketika kita dekat dengan Allah kita dapat merasakan indahnya. Hubungan Allah dengan anak-Nya ini digambarkan seperti hubungan suami istri. Janganlah kita iri hati kepada mereka orang yang tidak percaya Tuhan namun hidup dengan nyaman dan tidak ada penderitaan sebaliknya kita melihat orang yang beriman justru hidup menderita. Jangan tertipu dengan fenomena sebab sesungguhnya Tuhan menaruh mereka di tepi jurang yang licin yang sekarang ada dan besok lenyap, bagaikan rumput yang hari ini tumbuh dan besok dibuang (Mzm. 73). Seorang anak Tuhan bukan berarti tidak akan pernah mengalami kesulitan atau penderitaan. Tidak! Anak Tuhan juga akan melewati lembah-lembah kekelaman akan tetapi dalam semua aspek itu ingatlah Sang Gembala berada dekat dengan domba-domba-Nya, Ia siap menolong kita.
3. Hidup dalam Waktu dan Cara Tuhan
Tuhan tahu sampai dimana batas kekuatan kita, kapan waktu yang tepat dan dengan cara yang seperti apa untuk menolong kita disaat kita berada dalam kesulitan. Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik untuk anak-anak-Nya maka pemberian itu tidak akan kurang atau berlebih dan pemberian ini tidak menjadi beban bagi anak-Nya. Dalam hal ini Tuhan Yesus telah mengajarkan dalam doa Bapa Kami, yaitu berilah pada hari ini makanan kami yang secukupnya (Mat. 6:9-13). Jadi, saat kita hidup pas, tidak kurang dan tidak berlebih itulah hidup yang terbaik. Celakanya, manusia tidak tahu ukuran yang pas dalam diri mereka. Manusia berdosa telah dikuasai oleh jiwa humanis dan materialis sehingga manusia yang serakah selalu ingin mendapatkan lebih dan lebih. Hal ini dapat kita lihat pada jaman Perjanjian Lama dimana Tuhan telah sediakan manna tiap-tiap harinya dan Tuhan perintahkan untuk mengambil manna itu secukupnya, yaitu hanya untuk satu hari kecuali pada hari Sabat barulah boleh mengambil lebih, yakni persediaan untuk tiga hari tapi Alkitab mencatat manusia yang serakah itu mengambil lebih, mereka tidak percaya pada janji Tuhan, mereka takut kalau Tuhan tidak menurunkan manna keesokan harinya, akibatnya manna yang diambil berlebih itupun busuk. Tuhan sudah mengatur sedemikian rupa itu untuk kebaikan manusia tapi memang sifat manusia berdosa yang serakah dan tidak mau taat pada Tuhan. Bayangkan, kalau Tuhan memerintahkan orang Israel mengambil manna untuk persediaan selama satu bulan maka dapatlah dibayangkan beratnya beban yang harus dipikul selama berada di padang gurun dan lagipula mereka juga tidak tahu seberapa banyakkah manna yang harus disimpan untuk persediaan selama satu bulan, bukan?
Tuhan tahu batas ukuran kita maka apa yang ada pada kita sekarang itu adalah yang terbaik dan ukurannya pun tepat. Ukuran yang tepat itu justru memudahkan kita untuk bergerak dan bekerja bagi Tuhan. Percayalah, kalau sudah kehendak Tuhan pada waktunya Tuhan pasti akan sediakan dan ingat, semua anugerah pemberian harus kita pertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Memang mustahil bagi kita untuk meniadakan gelombang dunia yang semakin hari semakin besar tetapi sebagai anak Tuhan kita mempunyai Tuhan yang memberikan kita kekuatan untuk berdiri di atas gelombang dan tidak terhanyut di dalamnya. Biarlah kita mengubah seluruh konsep pemikiran, langkah hidup kita kembali pada posisi yang tepat maka kita akan merasakan hidup yang indah bersama Tuhan. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 9:1-5: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-1: Status Israel

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-1


“Israel” Sejati atau Palsu-1: Status Israel

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 9:1-5

Setelah mempelajari tentang pengajaran Paulus tentang bentuk pertama dan kedua dari segala sesuatu yang dikaruniakan Allah bagi kita bersama-sama dengan Kristus, yaitu pembenaran (ayat 33) dan kita menjadi warga Kerajaan Surga bersama-sama dengan Kristus di ayat 35 s/d 39, maka selanjutnya, kita akan merenungkan pengajaran Paulus berkenaan dengan predestinasi mulai pasal 9 s/d 11. Pada bagian ini, kita hanya akan membahas pasal 9 ayat 1 s/d 5 yang merupakan pendahuluan dan pemaparan Paulus tentang bangsa Israel dan apa yang mereka peroleh.

Pembahasan Paulus tentang pemilihan orang percaya yang diakhiri di pasal 8 ayat 39 berhubungan erat dengan pemilihan Israel mulai pasal 9, di mana pemilihan orang percaya adalah seperti pemilihan Israel. Mulai pasal 9 s/d 11, ketika kata Israel muncul, Paulus sudah mengunci artinya yaitu bukan Israel secara bangsa/fisik, tetapi Israel rohani (9:6-8). Mengapa demikian ? Karena Paulus menyadari bahwa tidak semua orang Israel adalah pilihan Allah. Sisa-sisa dari orang Israel inilah yang sungguh-sungguh disebut umat pilihan Allah. Demikian juga halnya dengan orang-orang Kristen, bukan identitas “Kristen”nya yang menentukan/menyelamatkan, tetapi isi dari imannya yang menentukan apakah dia termasuk umat pilihan Allah atau bukan.

Di awal pembahasannya di pasal 9, Paulus mengatakan, “Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta. Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus, bahwa aku sangat berdukacita dan selalu bersedih hati.” (ayat 1 dan 2) Kedua ayat pembukaan ini menandakan bahwa betapa seriusnya pemilihan Israel (rohani) bagi Paulus. Keseriusan ini ditandai dengan dua kesaksian yaitu: kesaksian dari kebenaran dalam Kristus dan kesaksian hati nurani bersama Roh Kudus.
Pertama, kesaksian dari kebenaran dalam Kristus. Kata “kebenaran” dalam ayat 1 ini dalam bahasa Yunani alētheia berarti kebenaran (truth). Berarti, Paulus hendak mengatakan bahwa pemilihan Israel didasarkan pada kebenaran Allah di dalam Kristus, di mana Israel sejati bukanlah Israel secara lahiriah/fisik, tetapi rohaniah. Kebenaran ini sangat penting, karena di ayat berikutnya, Paulus mengemukakan bahwa banyak orang Israel menyombongkan diri karena mereka menyangka bahwa mereka keturunan Abraham, maka mereka pasti selamat. Padahal kriteria keselamatan bukan ditentukan apakah dia keturunan Abraham, tetapi mutlak pada pemilihan Allah yang berdaulat.
Kedua, kesaksian hati nurani bersama Roh Kudus. Kata “suara hatiku” di dalam ayat 1 dalam bahasa Yunani suneidēsis berarti hati nurani (conscience). Bukan hanya kebenaran Allah di dalam Kristus, hati nurani Paulus yang dibimbing Roh Kudus juga ikut bersaksi bahwa Israel sejati bukanlah karena keturunan, tetapi karena pilihan Allah. Ini adalah kekonsistenan antara masing-masing Pribadi Allah Trinitas, yaitu masing-masing Pribadi Allah menyatakan kebenaran: Allah Bapa menyatakan kebenaran-Nya di dalam Kristus, dan Roh Kudus mengefektifkan kebenaran itu di dalam hati nurani dan pikiran umat pilihan-Nya agar mereka mengerti kebenaran-Nya.
Kesaksian kebenaran di dalam Kristus dan kesaksian hati nurani bersama Roh Kudus mengakibatkan Paulus sangat berdukacita dan bersedih hati. Kata “berdukacita” dalam terjemahan Inggris dan Yunani sama-sama mengartikan dukacita yang besar. Lalu, kata “bersedih hati” dalam terjemahan Yunani berarti kesedihan yang terus-menerus/tidak berhenti (King James Version menerjemahkannya continual sorrow ; American Standard Version menerjemahkannya unceasing pain). Artinya, kedua kesaksian yang Paulus sebutkan mengakibatkan dirinya sangat sedih hati dan menderita tidak habis-habis. Ini berarti ada perasaan “tertekan” dalam diri Paulus.

Ketertekanan ini ditandai langsung dengan pengakuannya di ayat 3, “Bahkan, aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani.” Beberapa terjemahan Inggris (American Standard Version, Geneva Bible, King James Version dan New King James Version) TIDAK memisahkan kedua hal ini yaitu terkutuk dan terpisah bagi Kristus. Tetapi empat terjemahan Inggris lainnya (English Standard Version, International Standard Version, New American Standard Bible dan New International Version) memisahkan kedua hal ini. Hal ini juga sesuai dengan terjemahan bahasa asli (Yunani)nya (yang memisahkan kedua hal ini dengan kata penghubung “sehingga”). Ketertekanan Paulus ini ditandai dengan keinginan dan kerelaan Paulus untuk dikutuk (menjadi obyek yang dikutuk) sehingga ia terlepas/terpisah dari Kristus. Paulus rela melakukan hal ini demi saudara-saudara sebangsanya yaitu Israel secara jasmani. Kata “saudara” dalam bahasa Yunani adelphos yang bisa berarti saudara (seiman) atau saudara (sebangsa). Kata ini muncul sebanyak 343 kali di dalam Perjanjian Baru. (Sutanto, 2006, p. 18) Ini berarti demi saudara-saudara sebangsanya, Paulus rela mati dikutuk bahkan sampai terpisah dari Kristus. Inilah teladan Paulus yaitu mengasihi jiwa demi Kristus. Kebenaran Allah di dalam Kristus dan kesaksian Roh Kudus di dalam hati nuraninya mengakibatkan dia memiliki hati yang mengasihi jiwa. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita juga ingin seperti Paulus yang rela mati dikutuk demi mengasihi bangsa yang berdosa ini dan memberitakan Injil kepada mereka ? Apakah kita juga siap mati seperti Paulus demi pengabaran Injil ? Karakter dan teladan Paulus adalah teladan seorang hamba Tuhan yang taat dan setia akan panggilan-Nya. Di abad postmodern, status “hamba Tuhan” bukanlah seperti status hamba Tuhan di abad-abad sebelumnya. Status ini banyak mengalami pergeseran makna. Kalau dahulu, di zaman para rasul, bapa gereja, dll, status hamba Tuhan adalah status yang mulia (di mata Allah), sekaligus “hina” (di mata manusia), tetapi sayangnya di abad postmodern, status ini banyak mengalami pergeseran, di mana banyak “hamba Tuhan” merasa diri mulia (di mata manusia), sebaliknya di mata Allah, sebenarnya mereka hina. Paulus adalah Rasul Kristus dan hamba Tuhan yang mungkin dipandang hina oleh dunia (beberapa orang Islam di dalam zaman postmodern ini menghina Paulus dan membedakan antara ajaran Yesus dan Paulus {suatu anggapan yang konyol dan tidak bertanggungjawab}), tetapi di mata Allah, Paulus adalah Rasul Kristus yang mulia. Kriteria mulia dan hina di dalam keKristenan sangat berbeda dari kriteria yang ditetapkan dunia, karena kedua kriteria ini di dalam keKristenan sangat Theosentris (berpusat kepada Allah), sedangkan di dalam dunia, kedua kriteria ini sangat antroposentris (berpusat kepada manusia). Ketika kita mengukur seorang hamba Tuhan berdasarkan standar ukur Alkitab, maka ukurlah mereka dari kacamata kedaulatan Allah, apakah mereka setia dan taat kepada kehendak-Nya ataukah mereka “setia” kepada kehendaknya sendiri. Ini yang membedakan antara Hamba Tuhan sejati dengan “hamba ‘tuhan’” palsu, antara Israel sejati dengan “israel” palsu.

Mengapa Paulus rela dikutuk demi Israel ? Alasannya di ayat 4-5, “Sebab mereka adalah orang Israel, mereka telah diangkat menjadi anak, dan mereka telah menerima kemuliaan, dan perjanjian-perjanjian, dan hukum Taurat, dan ibadah, dan janji-janji. Mereka adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu. Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya. Amin!” Kedua ayat ini dapat dibagi menjadi dua yang berarti dua status Israel, yaitu:
Pertama, Israel telah diangkat menjadi anak. King James Version menerjemahkannya bahwa Israel telah diadopsi. Dari sekian banyak bangsa, Allah berdaulat memilih Israel bukan karena kebaikannya, tetapi mutlak karena kerelaan kehendak-Nya yang berdaulat. Pemilihan Allah berlanjut pada pengadopsian Israel menjadi umat-Nya. Hal ini sesuai dengan Keluaran 4:22, “Beginilah firman TUHAN: Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung;” Uniknya, status Israel sebagai anak Allah ditunjukkan di depan Firaun (baca konteks Keluaran 4). Ini berarti ada hak istimewa Israel sebagai umat/anak-Nya (yang tetap harus diuji oleh-Nya) di hadapan bangsa-bangsa lain. Ketika Israel diadopsi menjadi umat-Nya, Ia mewahyukan diri-Nya dan Paulus menyebutkan 5 hal yang diperoleh Israel sebagai wahyu Allah, yaitu:
(1) kemuliaan. King James Version (KJV), New King James Version (NKJV), American Standard Version (ASV), English Standard Version (ESV), Geneva Bible, International Standard Version (ISV) dan New American Standard Bible (NASB) menerjemahkannya glory (=kemuliaan) ; New International Version (NIV) menejermahkannya divine glory (kemuliaan Allah) ; bahasa Yunani menerjemahkannya kehormatan. Ketika diadopsi menjadi anak Allah, Israel menerima kemuliaan (Allah) atas mereka. Ini juga berlaku bagi kita sebagai umat pilihan Allah di dalam Kristus yang akan dimuliakan-Nya kelak (lihat Roma 8:30b).
(2) Perjanjian-perjanjian. Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah diathēkē berarti disposition (=pengaturan atau ketentuan). Dalam bahasa Inggris, kata ini diterjemahkan covenant (=kovenan atau perjanjian). Sebagai anak-Nya, Allah mengadakan perjanjian dengan mereka. Ada dua pandangan mengenai perjanjian, yaitu perjanjian antara dua pihak yang setara (antar teman/saudara/rekan) dan perjanjian antara dua pihak yang tidak setara (antara bos dengan karyawan). Perjanjian/kovenan yang terjadi antara Allah dan Israel adalah perjanjian model kedua, yaitu Allah yang membuat perjanjian dengan Israel dan Israel harus taat (tidak boleh membantah). Perjanjian Allah dengan Israel dimulai dari kovenan kerja di Taman Eden, dilanjutkan dengan kovenan Allah dengan Abraham, di mana melalui keturunannya, semua bangsa akan mendapat berkat, dan berlanjut sampai kovenan Allah dengan Ishak, Yakub dan keturunan mereka. Kovenan ini HANYA berlaku bagi umat Israel dan sekarang, kovenan ini berlanjut sampai kovenan keselamatan, di mana hanya di dalam Kristus, umat pilihan-Nya dibenarkan dan diselamatkan dari dosa-dosa.
(3) Hukum Taurat. Dalam bahasa Inggris, kata ini diterjemahkan law (tidak mengindikasikan adanya Hukum Taurat). Tetapi ketika kita memperhatikan konteksnya, maka kata “hukum” ini bisa ditafsirkan sebagai hukum Taurat. Sebagai umat-Nya, Ia memberikan hukum Taurat untuk memimpin langkah hidup umat-Nya agar berjalan di jalan-Nya. Hukum Taurat menunjuk kepada dasa titah di dalam Keluaran 20. Selain itu, hukum ini juga berlaku sebagai hukum standar dalam bidang politik, dll di dalam bangsa Israel agar bangsa ini menjalankan perintah Allah di dalam segala segi, baik moralitas, politik, dll. Sebagai umat pilihan Allah di dalam Kristus pun, kita diberikan oleh Allah sebuah Alkitab sebagai pedoman bagi iman dan kehidupan kita sehari-hari, sehingga hidup kita adalah hidup yang memuliakan Allah dalam segala segi kehidupan, baik theologi, moralitas, ekonomi, politik, hukum, dll. Semua hukum Allah ini mewujudnyatakan seluruh atribut Allah yang Mahakasih, Mahaadil, Mahakudus, Mahabijaksana dan Maha segala-galanya.
(4) Ibadah. ESV dan ISV menerjemahkannya worship, dan KJV, NKJV, Geneva Bible, ASV menerjemahkannya the service of God. NASB menerjemahkannya the temple service, dan NIV menerjemahkannya the temple worship. Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah latreia berarti menyembah (worship). Dengan kata lain, sebagai anak-Nya, Israel diajar bagaimana menyembah atau beribadah kepada Allah, di mana cara ini berbeda dari bangsa-bangsa di luar Israel. Cara ini adalah cara khusus yang Allah sendiri ajarkan kepada anak-Nya. Apakah itu ? Ibadah Israel dimulai dengan pengakuan akan adanya Allah yang Esa (tidak berarti satu pribadi, tetapi satu di dalam esensi) (baca: Ulangan 6:4-5). Apakah Ulangan 6:4 mengajarkan bahwa Allah orang Israel adalah Allah yang hanya satu pribadi ? TIDAK. Banyak “pemimpin gereja” baik yang menganut Unitarian, Sabellianisme, dll mengklaim ayat ini sebagai ayat yang mengajarkan ketunggalan Allah. Padahal Ulangan 6:4 ditulis bukan dengan motivasi ingin mengajar Israel bahwa Allah itu hanya satu pribadi, tetapi motivasinya adalah agar Israel beriman yang beres (di dalam Tuhan à Ibrani: YHWH/Yahweh/Yehovah) di tengah-tengah bangsa-bangsa di luar Israel yang menyembah banyak ilah (politeisme). Dengan kata lain, marilah kita memperhatikan konteksnya, jangan asal menemukan ayat lalu ditafsirkan seenaknya sendiri ! Di dalam keKristenan, hal ini diperjelas lagi, yaitu Allah yang Esa adalah Allah yang berpribadi tiga dan beresensi satu (=Allah Trinitas).
(5) Janji-janji. Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah epaggelia yang secara khusus berarti divine assurance of good (=asuransi Allah akan kebaikan). Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible membagi janji ini menjadi dua, yaitu janji temporal (sementara) dan spiritual. Janji temporal ini dijelaskan oleh Adam Clarke di dalam tafsirannya Adam Clarke’s Commentaries on the Bible sebagai janji akan tanah Kanaan dan janji spiritual yaitu janji Mesias yang akan diutus. Sebagai orang Kristen, kita tidak lagi menantikan janji kedatangan Mesias, tetapi kita menantikan janji Allah yang akan membangkitkan kita kelak di dalam Kristus. Itulah janji Allah yang bersifat spiritual bagi kita.

Kedua, mereka adalah keturunan nenek moyang. “Bapa-bapa leluhur” dalam bahasa Yunani lebih tepat diterjemahkan nenek moyang. Artinya, dari keturunan Israellah, Mesias lahir. Dengan kata lain, Israel melahirkan Kristus secara jasmani. Di dalam ayat ini, terjemahan bahasa Indonesia kurang jelas menguraikan dwi natur Kristus yang adalah 100% Allah dan 100% manusia. Mengapa ? Karena di dalam terjemahan LAI, ayat yang berbunyi, “Mereka adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu. Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya. Amin!”, kata “Ia” bisa ditafsirkan sebagai Allah Bapa, tetapi jika kita memperhatikan terjemahan bahasa Inggris, kita langsung menemukan adanya dwi natur Kristus. English Standard Version, misalnya, menerjemahkan, “To them belong the patriarchs, and from their race, according to the flesh, is the Christ who is God over all, blessed forever. Amen.” Dengan kata lain, Mesias yang dinantikan oleh orang Israel telah digenapi di dalam Pribadi Kristus yang 100% Allah dan 100% manusia yang menyelamatkan manusia dari dosa-dosa mereka dengan menebus umat-Nya.


Dari kelima ayat ini, kita sudah mendapatkan gambaran tentang siapakah Israel, dan itu juga menggambarkan kita sebagai orang Kristen. Bagaimana respon kita sebagai umat-Nya? Apakah seperti Israel yang tegar tengkuk atau kah kita taat dan setia kepada Allah dan kehendak-Nya ? Biarlah perenungan lima ayat ini menjadi perenungan yang mempersiapkan kita pada ayat-ayat berikutnya tentang kegagalan Israel dan kedaulatan Allah. Soli Deo Gloria. Solus Christus.