24 April 2008

TINJAUAN IMAN KRISTEN TERHADAP UTILITARIANISME (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Tinjauan Iman Kristen Terhadap Utilitarianisme

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.


1. MANFAATKU ATAU MANFAAT-KU

Nats: Kol. 3:17, 23



1. Latar Belakang Permasalahan
Munculnya John Stuart Mill
[1] dengan filsafat Utilitarianisme mo­dern, telah merubah dunia modern menjadi dunia yang penuh gai­rah. Seluruh gagasan ini diterima dengan pujian dan penyem­bah­an, karena inilah yang selalu didambakan oleh setiap manusia.
Ide Utilitarian adalah usaha untuk mengejar kebahagiaan yang puncak. Yang dimaksud kebahagiaan puncak adalah segala hal yang bisa dikejar untuk kita bisa menikmati dunia ini. Itu se­babnya timbul perdebatan aspek moral dari filsafat ini. Pertama, bagaimana konsep utilitarian ini dilukiskan dan diaplikasikan de­ngan tepat, dan kedua, apakah implikasi moral dari utilita­rian­isme ini bisa diterima atau harus ditolak.

2. Konsep Bahagia Utilitarianisme
a) Menganut sifat hedonisme, di mana kesenangan dan tidak ada­nya kepedihan adalah utility dan nilai intrinsik yang perlu dike­jar. Nilai intrinsik ini bernilai untuk kepentingannya sendiri dan tidak ada hubungan atau konsekwensi terhadap yang lain.
b) Tetapi sebagian utilitarian menganggap pandangan pertama terlalu sempit. Mereka melihat bahwa utilitarianisme ideal adalah sesuatu atau pengalaman tertentu, seperti pengetahuan atau menjadi mandiri, secara intrinsik bernilai atau bersifat baik, entah orang menghargai atau tidak, ataupun lebih berbahagia atau tidak dengan itu.
c) Persoalannya adalah perbandingan nilai kebaikan itu sendiri. Pada utilitarian, bisa nilai perbandingan itu dinilai berdasarkan diri sendiri, yang membandingkan beberapa tindakan yang berbeda untuk mencari nilai tertinggi (intrapersonal utility com­pa­rison), atau nilai perbandingan itu juga diperbandingan de­ngan kepentingan dan kebaikan bagi orang-orang lain (inter­personal utility comparison).
d) Pada umumnya, para utilitarian menuduh para moralis telah menciptakan kesusahan bagi manusia karena tuntutan moral seringkali membuat orang tidak bisa hidup nikmat. Misalnya timbulnya rasa bersalah bila kita pergi nonton atau pesta makan, karena uang yang kita pakai bisa kita berikan kepada orang miskin yang tidak bisa makan. Maka bagi utilitarian, setiap orang harus menjadi agen bagi dirinya sendiri. Kalau ia gagal mencapai kebahagiaannya, maka tidak ada tuntutan moral dari orang lain untuk menolong dia.

3. Bahaya Utilitarianisme
a) Semua dilihat dari aspek kepentingan manusia, sehingga seperti telah diungkap diatas, terjadi konflik kepentingan dan timbul masalah moral yang sulit diselesaikan. Se­mang­at hedonistis yang mewarnai citra utilitarianisme menjadi­kan sifat moral dikesampingkan ataupun diganti dengan nilai moral yang sangat relatif dan rendah sifatnya. Disini sifat dosa diumbar dan dipuaskan tanpa ada penghalang yang membatas lagi.
b) Di sini terjadi kesalahan fatal. Utilitarian telah memutlakkan yang relatif. Ketika manusia mengejar kebahagiaan pribadi dengan batasan dan perbandingan nilai yang relatif, tanpa standard yang sejati, telah kehilangan basis kemutlakkan yang sesungguhnya. Akibatnya, diri dijadikan basis mutlak, dan itu berarti akan menolak Allah sebagai penentu dan standard kemutlakkan yang benar.
c) Hidup hanya mengejar kekinian yang akan meniadakan aspek kekekalan. Karena utilitarian hanya bisa melihat nilai-nilai yang ada di dunia ini, maka seluruh pengharapan akan kekekalan dan sifat-sifat ilahi diabaikan.

4. Tuntutan Alkitab
a) Segala sesuatu yang kita lakukan harus direferensikan dengan Diri dan Sifat Allah sebagai basis kemutlakkan. Inilah utilitarian yang sejati. Kita adalah utility dari Allah. Kita adalah alat, dan kita bukan menggunakan alat untuk kepentingan kita, tetapi kita adalah alat yang hidup di hadapan Allah (the living vessel - 2 Tim 2:20-21).
b) Karena kita adalah utility di tangan Allah, maka kita harus memurnikan diri kita dan menyatakan sifat-sifat Allah di dalam diri kita. Inilah misi Kristen yang menjadi saksi bagi Allah di tengah dunia. Ini pula yang dituntut oleh Alkitab terhadap kita (2 Tim 2:22-26).
c) Seluruh hidup kita harus diukur bukan diatas azas manfaat bagi diri kita, tetapi bagi Tuhan. Manfaat tertinggi adalah ketika semua yang kita kerjakan adalah penggenapan rencana Allah yang Ia kehendaki untuk kita tuntaskan. Inilah utilitarian yang sejati (Kis 20:24).
d) Untuk itu, semua yang kita lakukan, haruslah kita lakukan seperti untuk Tuhan dan bukan untuk diri kita sendiri. Se­mang­at mau mempermuliakan Tuhan harus mengalahkan egois­me dan semangat humanisme yang duniawi. Hanya dengan cara ini kita bisa menghindar diri dari sifat utilitarian yang duniawi.

Diskusikan sifat Saul ketika ia menggunakan pola utilitarian di dalam berdialog dengan Samuel, yang telah membuat Allah marah (1Sam 15:1-26).






2. YUDAS: UTILITARIAN SEJATI

Nats: Luk. 22:3-6



1. Pendahuluan
Satu pertanyaan yang sering dilontarkan adalah: apakah utilita­rian­isme merupakan suatu pikiran filsafat yang baru diutarakan dan dikenal oleh masyarakat sejak Jeremy Bentham atau bahkan sejak J. S. Mill, ataukah filsafat ini sebenarnya sudah merupakan pikiran yang kuno? Secara singkat kita bisa menjawab bahwa pi­kiran ini bukan baru, tetapi sangat kuno, bahkan sejak dari zaman Tuhan Yesus, atau bahkan bisa dikatan sejak Kejatuhan.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Alkitab memberikan satu contoh yang sangat baik untuk melihat kasus Utilitarian. Hal ini terlihat nyata dalam kasus Yudas.

2. Luk 22:3-6
Yudas adalah salah seorang dari murid-murid Tuhan Yesus. Dan di dalam perjalanan pelayanannya, ia dipercaya menjadi bendahara dari kelompok rasul yang Kristus pimpin. Rupanya, ia memang memiliki kemampuan untuk mengatur keuangan. Tetapi rupanya, kemudian ia memikirkan lebih jauh dan mulai terjebak dengan pikiran-pikiran dan cara kerja yang tidak sesuai dengan kebenaran. Ia mulai terjebak menjadi seorang utilitarian.
Di dalam ayat yang kita baca dan paralelnya, kita dengan segera melihat sikap oportunis dan utilitarianistis dari Yudas. Ia merasa dengan cara yang ia pakai, maka semua orang akan disenangkan. Yang pertama, ia merasa dia sendiri untung; kedua, ia merasa juga bahwa pasti para ahli taurat dan orang Farisi juga senang dan diuntungkan; dan ketiga, ia bahkan yakin Tuhan Yesus tidak akan mau ditangkap mentah-mentah begitu saja, dan pasti jika Tuhan Yesus melawan, tidak ada kuasa apapun yang bisa mengalahkan. Yudas sangat mengerti kuasa yang Tuhan Yesus mi­liki. Tetapi apa yang Yudas pikirkan adalah pikiran seorang utilita­rianis. Ia hanya memikir menurut kepentingannya dan sekaligus kepentingan yang kelihatan "lebih luas", tetapi yang pasti tidak berpikir di dalam kebenaran. Maka tanpa sadar, Yudaspun akan menjadi seorang oportunis. Dengan harapan keuntungan 30 keping perak, atau bahkan keuntungan-keuntungan lain yang bisa diperolehnya, maka ia rela menjual Tuhan-nya. Dari sini kita bisa belajar secara lebih kongkrit sikap utilitarian di dalam sejarah.

3. Aplikasi Pemikiran Yudas
Di dalam kehidupan sebagai orang Kristen, kita seringkali me­ne­rapkan pola utilitarian, masuk ke dalam iman Kristen kita. Apalagi dengan berbagai format Kekristenan modern, sangatlah mudah bagi orang Kristen untuk terjebak "merohanikan" pemikiran utilitarianistik ini. Beberapa hal yang mungkin perlu kita pikirkan:
a. Christianity is a pleasure.
Pemikiran bahwa Tuhan tidak menghendaki ma­­nusia seng­sara, sehingga Ia harus menolong kita. Pengem­bang­an dari pe­mikiran utilitarian masuk ke Kekristenan dengan ang­gap­an bahwa jika kita sengasara (pain), maka itu pasti bukan kehen­dak Tuhan. Maka dengan kata lain, Kekristenan harus identik dengan pleasure. Maka gereja adalah tempat untuk pleasure yang utama. Maka tidak heran jika kemudian ada gereja yang mene­rap­kan disco di gereja atau bahkan undian "kunci kamar" di antara pe­mu­da-pemudi di gereja, atau segala bentuk pleasure lainnya. Pada saat seperti itu, posisi Allah menjadi tidak jelas, atau menjadi budak manusia.
b. Manage your God.
Yudas berpikir bahwa jika ia bisa me­ran­cang segala yang baik, maka Tuhan Yesus akan ikut di dalam "ske­nario"-nya. Ketika ia berpikir, jika Tuhan Yesus diserahkan, pasti itu akan "mem­per­cepat" proses Tuhan Yesus menjadi Raja. Ia sa­ma sekali tidak menyangka bahwa apa yang ia pikir, bukanlah ran­cangan Tuhan. Ia hanya berpikir bahwa semua bisa menjadi alat untuk mencapai tujuannya, termasuk Tuhan Yesus. Hari ini, begitu banyak orang yang mau memperalat Tuhan demi apa yang dipi­kir­kan­nya. Mere­ka berpikir persis seperti Yudas. Jika manusia bisa merancang apa yang menurut dia baik untuk Tuhan, dan bisa ber­ja­lan menu­rut ke­pen­tingan bersama (win-win solution), maka ma­ri­lah kita ker­ja­kan, maka Tuhan pasti akan menurut kalau sudah "terjepit."
c. God is for our own-sake.
Allah mencipta manusia dan meng­inginkan manusia bisa berbahagia. Maka kita bisa berdoa dan me­mo­hon pada Allah untuk semua yang kita butuhkan. Allah yang sejati adalah Allah yang akan memenuhi semua kebutuhan kita (Mat 6). Dalam hal ini kita harus berani "mengklaim" janji Allah agar seluruh kebutuhan kita bisa dipenuhi. Inilah format yang Yudas pakai. Ia merasa bahwa Yesus harus terus memenuhi kebutuhannya. Jika perlu, segala cara bisa ia pakai untuk itu. Banyak orang Kristen masa kini juga cenderung mau memanipulasi Allah, sehingga Allah tidak lain hanya sebagai utiliti bagi manusia. Ia bukan Allah yang berdaulat, tetapi Allah yang harus menjadi budak manusia.






3. HOMO HOMINI LUPUS

Nats: Mat. 26:14-16; Mrk. 14:10-11; Luk. 22:3-6



1. Pendahuluan
Istilah "homo homini lupus" berarti: manusia adalah pemakan sesamanya. Ada anekdot yang mengatakan bahwa orang miskin akan bertanya "hari ini kita makan apa?", sedangkan orang me­nengah bertanya "hari ini kita makan dimana?, dan orang kaya ber­­ta­nya "hari ini kita makan siapa?" Anekdot di atas mau meng­gam­barkan bahwa orang menjadi kaya karena telah mema­kan atau mengorbankan sesamanya.
Tentu munculnya anekdot seperti itu bukanlah tanpa alasan. Hal itu terjadi karena di dalam dunia berdosa ini begitu banyak orang yang menjadi kaya akibat "memakan" sesamanya. Tentu tidak semua demikian. Namun, rupanya pola mengorbankan sesamanya untuk mencari keuntungan dan kekayaan bagi diri sudah merupakan suatu "ciri" dalam kehidupan manusia. Mengapa demikian?

2. Sifat Manusia Humanistis
Sifat manusia yang memuncakkan diri dan menganggap diri sebagai makhluk yang tertinggi dan termulia, telah menjadikan manusia menyingkirkan posisi Allah sebagai posisi mutlak. Hal ini dianggap sebagai kemenangan Humanisme. Tetapi sebenarnya, justru disinilah kekalahan dan kehancuran manusia.
Ketika manusia memutlakkan diri, manusia lupa bahwa "manu­sia" itu bukanlah tunggal, bukan multi-tunggal tetapi murni plural. Manusia mutlak adalah makhluk relatif. Akibatnya, terjadi pemutlakkan relativisme. Situasi ini menjadikan semangat Human­isme memukul manusia balik.
Manusia yang sebenarnya harus memikirkan sesamanya dan tidak boleh memutlakkan diri, kini menjadikan dirinya sebagai "Tuhan" untuk mengganti posisi Tuhan yang sesungguhnya, yang telah disingkirkannya. Maka, ketika ia memutlakkan diri, orang atau manusia lain akan menjadi obyek yang harus memenuhi kemutlakkan dirinya. Disini terjadi semangat manipulatif. Manusia mulai dengan menganggap dirinya sebagai kebenaran yang mutlak sehingga orang lain yang berbeda pandangan dengan dia selalu tidak disukainya dan begitu sulit bagi dia untuk menerima pandangan yang kontras dengan dia. Ketika situasi seperti itu terjadi, tidak ada basis penentu kebenaran yang menjadi tolok ukur baginya untuk menguji siapa yang benar. Maka kemungkinan terbesar adalah orang lain dianggap salah olehnya.
Lebih jauh lagi, ketika ia sudah mulai memikirkan dirinya, maka ia mulai melangkah kepada kebutuhannya. Ketika kebutuhannya berkonflik dengan kebutuhan orang lain, maka ia merasa bahwa kebutuhan dirinyalah yang harus dipenuhi terlebih dahulu, barulah orang lain. Kalau perlu, biarlah orang lain dirugikan asalkan diri menjadi untung. Disini semangat utilitarian mulai mengusik dan masuk dalam pikiran orang. Maka orang tidak rela jika ia harus berkorban dan dirugikan demi kepentingan orang lain, kecuali jika ia memiliki kepentingan lain yang lebih besar atau menghindari kerugian yang lebih besar lagi.

3. Argumentasi Utilitarian
a. Manusia harus pandai-pandai memanfaatkan situasi
Seorang utilitarian tidak pernah mengerti adanya rencana Allah atau ketaatan kepada kehendak Allah. Yang dipikirkan adalah manusia perlu pandai-pandai memanfaatkan situasi, karena hidup matinya manusia tergantung kepada manusia itu sendiri.
Maka, cara terbaik bagi manusia adalah hidup memanfaatkan situasi yang ada. Tujuannya adalah untuk mencapai kebaha­giaan. Sejauh kebahagiaan itu bisa dicapai, maka manusia harus mengejarnya, karena itulah sasaran akhir hidup manusia.
Seperti Bentham tegaskan, bahwa tidak perlu terlalu dirisaukan dengan berbagai pertimbangan yang akhirnya hanya menyu­sah­kan kita (pain), seperti berbagai pertimbangan moral, kare­na moral adalah kesenangan (pleasure). Maka manusia harus mengejar kesenangan ini.

b. Korban adalah akibat kesalahan sendiri
Dalam kaitan dengan kesenangan yang manusia kejar, terkadang terjadi konflik sehingga ada pihak yang dirugikan. Dalam hal ini, maka yang salah adalah pihak yang dirugikan. Jika ia rugi, berarti ia gagal mencari kesempatan atau meng­gu­na­kan kesempatan secara tepat, sehingga ia telah menjadi kor­ban dari kelemahannya. Akibatnya ia mengalami kepedihan (pain). Jadi untuk seseorang bisa mencapai kesenangan, tidak ada salahnya jika orang lain sampai dirugikan, karena itu tidak ada kaitannya dengan obligasi moral sama sekali.

c. Hidup di dunia adalah memakan atau dimakan (utilitarianistis)
Hal ini merupakan realita kehidupan di dunia. Jika kita tidak berhasil menggunakan kesempatan di dunia, pastilah kita akan "dimakan" oleh orang lain. Maka di dalam dunia hanya ada satu hukum utama, yaitu memakan atau dimakan. Maka dalam hal ini, pilihan haruslah diletakkan pada yang pertama. Dimakan berarti mengalami pain, dan itu tidak sesuai dengan asas hidup, maka kita lebih baik memakan demi untuk mencapai pleasure.
Konsep di atas secara logis membenarkan jika seseorang memakan sesamanya demi untuk mencapai apa yang dianggapnya sebagai pleasure.

4. Kritik Kristen
a. Benarkah bahagia identik dengan pleasure?
Kesalahan utilitarian adalah mengidentikkan bahagia dengan plea­sure. Kebahagiaan adalah suatu kondisi akibat dari men­jalankan kehendak Allah dan mendapatkan "kredit point" dari Tuhan sebagai upahnya. Pleasure adalah kenikmatan yang dikaitkan dengan kedagingan, entah secara pribadi, kelompok atau masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini, sering terjadi konflik antara pleasure dengan kehendak Allah, maka tidak mungkin pleasure bisa identik dengan kebahagiaan. Di dalam fak­tanya, justru pleasure seringkali hanya merupakan kenik­mat­an sesaat yang membawa seseorang pada keti­dak­ba­ha­giaan.

b. Benarkah ketika kita memakan orang lain itu pleasure?
Problem kedua dari utilitarianisme adalah mengabaikan aspek moral manusia. Manusia adalah makhluk yang dicipta dengan sifat moral. Bentham dan Mills lupa bahwa mereka bukanlah kuda atau anjing. Jika binatang memang tidak memiliki obligasi moral, tidak memiliki akal budi dan pertimbangan moral, maka manusia yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah, memiliki akal budi dan pertimbangan moral. Itu alasan, sifat moral ini tidak bisa ditiadakan begitu saja. Hanya manusia yang sudah kebinatangan yang tidak lagi memiliki pertimbangan moral. Sifat moral inilah yang menjadikan manusia bisa memiliki tuntutan keadilan dan hukum. Apabila tidak ada moral, tidak perlu ada hukum dan pengadilan.
Aspek moral manusia menjadikan manusia tidak pernah bisa tenang apabila ia telah merugikan dan menghancurkan orang lain. Tuduhan moral akan tiba padanya dan hal itu akan membuat manusia kehilangan kebahagiaannya. Mungkin ia bisa menikmati sukacita di atas kesusahan dan pengorbanan orang lain, tetapi hal itu akan mendatangkan tuntutan keadilan kepadanya, paling tidak nanti di dalam kekekalan. Hal itu yang menyebabkan orang berdosa akan begitu takut mati, karena ia sadar tidak bisa lepas dari tuntutan keadilan yang harus dipertanggungjawabkan.

c. Tidak sadarnya realita dosa dan pertobatan
Seperti telah diungkapkan sepintas, maka kelemahan utama utilitarian adalah penyangkalan akan adanya dosa dan perlunya pertobatan.
Utilitarian justru menganggap dosa sebagai kewajaran, karena dosa telah menjadi "mayoritas" dalam kehidupan masyarakat. Disini utilitarian yang ingin mencapai kebahagiaan justru gagal mengerti kaitan antara kebahagiaan dan kebenaran, serta perlawanan terhadap dosa dan kedagingan. Maka, sebenarnya yang dibutuhkan oleh dunia ini adalah pertobatan. Memang dunia sudah jatuh ke dalam dosa, dan sifat makan-memakan antar manusia berdosa telah menjadi ciri dunia yang berdosa. Itu alasan di dunia ini perlu ada polisi, pengadilan, dan penjara. Jika memang dunia ini baik, seperti asumsi utilitarianisme, maka tentulah polisi dan pengadilan tidak akan banyak peker­jaan. Sikap dan prinsip utilitarianisme justru akan menjadikan dunia ini semakin penuh dengan dosa, kepedihan dan keseng­sa­raan. Jika dunia ingin baik, maka satu-satunya jalan adalah kembali kepada Kristus, yang telah menebus dosa di kayu salib, dan bertobat sungguh-sungguh, taat kepada kebenaran yang Allah nyatakan kepada kita.





Pdt. Sutjipto Subeno, S.Th., M.Div. adalah gembala sidang Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya; Direktur: Toko Buku Momentum, Studi Korespondensi Reformed Injili Internasional (SKRII), dan Sekolah Theologi Reformed Injili Surabaya (STRIS) Andhika. Beliau adalah co-founder dari Yayasan Pendidikan Reformed Injili LOGOS (LOGOS Reformed Evangelical Education). Selain itu, beliau adalah dosen di Institut Reformed, Jakarta dan Sekolah Theologi Reformed Injili Jakarta (STRIJ). Beliau juga adalah seorang pengkhotbah KKR dan hamba Tuhan yang menguasai bidang-bidang, seperti ekonomi, pendidikan, hukum, etika dan sosial politik. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) dan Master of Divinity (M.Div.) dari Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta. Beliau menikah dengan Ev. Susiana Jacob Subeno, B.Th. dan dikaruniai dua orang anak, Samantha Subeno (1994) dan Sebastian Subeno (1998).




Sedikit diedit oleh: Denny Teguh Sutandio.



[1] Sebenarnya Utilitarianisme dicetuskan oleh Jeremy Bentham (1748-1832) dan James Mill (1773-1836), tetapi menjadi begitu populer di tangan John Stuart Mill (1806-1873) dengan bukunya Utilitarianism (1869). Jeremy Bentham terkenal dengan bukunya An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Bagi dia, "pleasure is the only good, and pain is the only evil." Bagi dia moral itu tidak ada artinya sama sekali jika mendatangkan kepedihan. Moral adalah kesenangan. Ia adalah seorang psikolog hedonis menurut Richard B. Brandt. Nantinya J.S. Mill mengembangkan pemikiran tentang pleasure ini di dalam bukunya, Utilitarianism, dengan membedakan berbagai bidang yang dianggap tingkat pleasure-nya berbeda-beda. Melalui buku ini istilah Utilitarianisme menjadi terkenal.