28 June 2007

Matius 3:7-12 : THE PROBLEM OF FAITH

Ringkasan Khotbah : 2 Mei 2004

The Problem of Faith

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.


Nats: Mat. 3:7-12


Tugas Yohanes Pembaptis adalah menjadi pembuka jalan untuk Tuhan Yesus dan mewartakan berita pertobatan; dan sebagai tanda pertobatan yaitu mereka dibaptis dengan air. Baptisan Yohanes menyadarkan manusia untuk hidup dalam kebenaran. Yohanes Pembaptis membaptis dengan air tetapi Ia, Yesus akan datang dan membaptis engkau dengan Roh Kudus dan dengan api (ay. 11). Dilihat dari konteksnya berita kedatangan Kristus ini seharusnya menggentarkan setiap manusia karena manusia harus berhadapan dengan kematian. Ironisnya, orang berpikir hal ini justru sebagai suatu kenikmatan, berarti telah terjadi penyimpangan iman manusia.
Beribu-ribu orang dari segala penjuru datang untuk dibaptis tak terkecuali orang Parisi dan orang Saduki, orang yang katanya “rohani“. Namun, bukannya pujian yang diterima oleh mereka, Yohanes Pembaptis malah mengatai mereka dengan ular beludak. Kalimat ini sangat menusuk hati setiap orang yang mendengarnya karena ular beludak menggambarkan kemunafikan dan kejahatan. Ular beludak, vipers mempunyai warna kulit yang sangat indah akan tetapi racunnya sangat mematikan. Yohanes Pembaptis tidak mudah terkecoh dengan tampilan luar yang indah karena dia tahu, di mata Tuhan hal itu justru kejijikan. Dalam hal ini Yohanes Pembaptis mewakili suara Tuhan dan menegaskan bahwa manusia boleh menyanjung dan menghormati namun Tuhan tidak memandang semuanya, karena tampilan luar tidak lebih hanya seperti seekor ular beludak yang penuh dengan kemunafikan.
Kalau kita tidak masuk dalam esensi iman yang sejati maka kita mudah terkecoh dengan segala bentuk tampilan luar yang bagus. Dan celakanya, diri sendiri juga terkecoh sehingga masuk dalam jebakan yang sama; kita memproses “kerohanian“ kita dengan cara yang tidak rohani. Kita akan sulit membedakan orang-orang yang beriman dan orang yang tidak beriman. Yohanes Pembaptis bukan tanpa alasan menuduh orang Parisi dan orang Saduki sebagai ular beludak. Ia tahu bahwa tugasnya adalah mewartakan kebenaran karena itu ia harus membukakan realita tentang siapakah diri mereka yang sesungguhnya. The problem of faith seseorang kenapa tidak mempunyai iman yang sejati adalah:
Pertama, Manusia menegakkan kebenaran di atas sesuatu yang sifatnya belum pasti, yakni hanya perkiraan saja. Janganlah mengira...(ay. 9) merupakan konsep apologia dan epistemologi yang dibangun oleh dunia. Manusia seharusnya mempunyai akal budi dan hikmat lebih tinggi dari binatang, mempunyai cara pikir dan analisa yang lebih hebat dari binatang. Manusia mempunyai konsep sebab akibat yang tidak dipunyai binatang, manusia mempunyai semua kapasitas untuk menjadi lebih bijaksana. Namun, kita justru melihat hal yang sebaliknya, manusia tidak mempunyai bijak yang dari “sana“ melainkan bijak yang dari “sini“ (diri sendiri). Bijak yang sejati bukan berasal dari diri melainkan berasal dari luar diri dan diberikan ke dalam diri. Hari ini banyak orang yang merasa diri bijaksana namun sesungguhnya bukan bijak yang dari “sana“ melainkan bijak yang dari “sini“ maka tidaklah heran kalau dunia semakin hari semakin rusak.
Alkitab menegaskan bahwa segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! (Rm. 11:36). Orang humanis tidak suka sehingga mereka memutar balik konsep tersebut, yakni manusialah yang menjadi tolak ukur untuk segala sesuatu, homo men sura. Kehancuran dunia dimulai dari ketika manusia mengira dirinya hebat, dia kira dia tahu segala hal, dan dia kira dia benar. Tidak! Justru semua perkiraan tersebut akan menghancurkan diri mereka karena semua perkiraan tersebut sifatnya belum pasti. Do not think that, jangan pernah kau pikir bahwa...! Inilah sifat manusia berdosa, yakni membangun kebenaran berdasar pada dirinya sendiri. Dan ketika bangunan kebenaran yang didirikan tersebut mulai dipertanyakan, maka ia menjadi marah karena kita meragukan kebenaran yang dia pikirkan, hal itu sama dengan mencurigai dan menghancurkan dirinya.
Bukan hal yang mudah bagi seseorang untuk mengubah dasar bangunan yang telah berdiri sekian lama; dia harus rela membongkar hati dan semua hal yang tersembunyi. Pada umumnya, manusia tidak suka dan tidak mau disadarkan dari kesalahannya. Manusia sudah mencapai titik kebekuan yang fatal. Hal ini dialami oleh orang Parisi dan orang Saduki, mereka tidak menyadari kalau mereka telah berada pada jalur yang salah. Orang Yahudi berjuang keras demi untuk menjadi orang Parisi maupun orang Saduki supaya dihormati. Mereka berjuang keras menghafal seluruh aturan Taurat dan menjalankannya. Namun sayang, semua usaha keras tersebut hanyalah sekedar ritual belaka.
Orang Yahudi tidak pernah tahu bahwa semua usaha yang mereka lakukan tersebut salah dan sia-sia. Hal ini disebabkan karena mereka mempunyai pra asumsi atau menetapkan terlebih dahulu bahwa semua hal yang mereka pikir dan mereka lakukan sebagai suatu kebenaran. Apa yang menjadi standar ukuran tertinggi suatu kebenaran? Dan siapa yang menetapkan suatu kebenaran? Darimana orang tahu bahwa sesuatu yang dianggap benar itu benar? Manusia berdosa pasti menjawab: diri saya sendiri. Maka tidaklah heran manusia menjadi marah jika dirinya diusik. Bukanlah hal yang mudah bagi manusia untuk mempunyai konsep bahwa segala hal yang ditetapkan diri sendiri itu belum tentu benar karena itu berarti melampaui pikiran manusia berdosa. Segala sesuatu yang sifatnya belum pasti, yakni hanya perkiraan saja dapatlah dikatakan bukan sebagai kebenaran.
Seseorang barulah menyadari bahwa yang dianggap benar ternyata salah setelah dia dihancurkan, mengalami berbagai hal yang tidak menyenangkan. Adalah tugas setiap anak Tuhan untuk menyadarkan manusia bahwa kebenaran sejati hanya ada dalam Kristus dan hanya anugerah Tuhan kalau orang mau bertobat dan kembali pada kebenaran sejati. Logika manusia tidak akan dapat mengerti cara Roh Kudus yang dapat membuat orang mengakui segala perbuatan dosanya. Hal ini terjadi di negeri Cina pada saat John Sung berkhotbah. Para polisi yang ditugaskan untuk mengawasi segala gerak gerik John Sung menjadi heran karena banyak orang yang mengakui dosanya padahal untuk membuat seseorang mengakui dosanya tidaklah mudah. Jadi, semua hanya karena anugerah.
Yohanes Pembaptis tahu beda antara iman sejati dan iman yang palsu karena itu ia menegur dengan keras orang Parisi dan orang Saduki. Mereka sepertinya memperjuangkan kepentingan Tuhan namun sesungguhnya tidaklah demikian, sesungguhnya mereka hanya mementingkan kepentingan duniawi. Janganlah terkecoh dengan segala penampilan luar. Aktivitas rohani yang dilakukan selama bertahun-tahun bukanlah jaminan bagi seseorang bisa mempunyai iman sejati. Keagamaan dan kerohanian menyangkut hidup kita, sekali kita menentukan basis salah maka semua tingkah laku kita akan salah dan akibatnya kematian. Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api (Mat. 3:10). Manusia mempunyai iman sejati kalau ia mau taat pada perintah Tuhan.
Kedua, merasa diri sebagai keturunan Abraham dan menjalankan segala ritual agama Kristen. Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami (Mat. 3:9). Yohanes Pembaptis tahu apa yang menjadi pikiran mereka dan hal ini pun diulang kembali oleh orang Yahudi ketika mereka berdebat dengan Tuhan Yesus (Yoh. 8). Orang seringkali mempunyai konsep yang salah; mereka merasa diri sudah “Kristen“ karena:
1) Dilahirkan dari keluarga Kristen, I am Christian by born. “Bapa kami adalah Abraham“ merupakan kebanggaan orang Yahudi bahkan kalimat ini seringkali diucapkan. Mereka mengira bahwa mereka adalah umat pilihan maka pasti selamat. Salah! Perhatikanlah, daerah-daerah dimana orang menjadi Kristen sejak lahir justru mengalami kehancuran karena mereka merasa diri dari keturunan Kristen. Kita tidak mengerti apa yang menjadi rencana dan maksud Tuhan tapi kita tahu pasti kalau Tuhan mengijinkan hal ini terjadi pasti demi untuk kebaikan anak-anakNya. Tuhan ingin menguji iman mereka, apakah mereka sungguh beriman sejati? Sebab, orang yang berasal dari keluarga Kristen belum tentu punya iman sejati. Alkitab menegaskan bahwa menjadi keturunan Abraham bukanlah jaminan keselamatan karena Tuhan dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu (Mat. 3:9). Hal ini berarti batu lebih berharga dibandingkan dengan keturunan Yahudi. Celakanya, hari ini banyak orang Kristen yang tidak menjadi saksi dan berkat namun justru mempermalukan nama Tuhan. Ingat, Kerajaan Tuhan bukan didirikan atas fenomena.
2) Sudah melakukan segala macam ritual agama. Orang Parisi sudah merasa “rohani“ karena telah menjalankan semua tradisi nenek moyang dan menjalankan Taurat. Tradisi sudah menjadi kebiasaan yang harus dijalankan turun temurun. Alkitab menegaskan iman Kristen bukan karena kita menjalankan ritual justru dampak iman sejatilah yang membuat kita menjalankan segala ritual ibadah dengan sungguh-sungguh. Jadi, orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh dan melakukan berbagai macam “pelayanan“ belum dapat disimpulkan sebagai orang Kristen sejati. Iman sejati akan mengeluarkan buah yang sesuai pertobatan. Dengan tajam dan keras Yohanes Pembaptis menegur orang Parisi bahwa segala ritual dan kebanggaan mereka sebagai keturunan Abraham bukanlah jaminan; hal itu justru menghancurkan mereka. Persembahan uang yang kita berikan pun tidak identik dengan iman sejati. Iman Kristen menekankan kesucian dan tingkat hidup moral yang tinggi. Iman sejati seharusnya mendorong kita untuk melayani Tuhan dengan lebih baik, tidak menjadikan diri kita egois.
Orang Kristen harus menjadi saluran berkat. Apakah kita mempunyai iman yang sejati? Ingat, jika hanya menjadi seorang Kristen ritual maka kita pasti ditebang dan dibuang ke dalam api (Mat. 3:11). Orang Parisi mempunyai semangat tinggi dalam melayani bahkan berani berkorban, seperti Saulus. Agama digunakan untuk membunuh orang beragama. Puji Tuhan, anugerahNya menyadarkan Paulus bahwa tanpa pertobatan semua perjuangan keras kita hanyalah sia-sia belaka; itu bukan iman sejati tapi ritual yang merupakan ekspresi dari arogansi keegoisan manusia. Biarlah cinta Tuhan di kayu salib yang berkenan menyelamatkan kita menyadarkan setiap anak Tuhan untuk mau melayani dan menjadi saluran berkat; menjadi saksi Kristus sehingga orang lain menjadi percaya dan bertobat.
Ketiga, Kita tidak asal percaya tapi mengkritisi diri sendiri sehingga kita terbuka untuk melihat kebenaran Firman lebih tajam, kita berproses dalam iman. Kata “api“ diulang sebanyak tiga kali, yakni di ayat 10, 11, dan 12 berarti ada hal yang serius dan bermakna yang harus kita perhatikan. Yohanes Pembaptis ingin menunjukkan pada orang Parisi bahwa apa yang selama ini mereka pikir baik dan benar ternyata salah! Orang yang sudah menaruh iman kepercayaannya pada sesuatu, misalnya uang maka ia pasti tidak akan pernah memikirkan resiko yang harus dihadapi, what’s the risk in my faith? Orang yang menjadikan uang sebagai “tuhan“ akan sulit disadarkan akan bahayanya uang; mereka tidak dapat menerima konsep Alkitab yang menegaskan bahwa cinta uang adalah akar dari segala kejahatan (1Tim. 6:10).
Sebagai orang Kristen, setiap orang hendaklah mengkritisi imannya sendiri. Dan hanya teologi reform yang mengajarkan dan berani diuji. Iman sejati menuntut pengujian sebaliknya iman dunia tidak mau diuji. Iman Kristen dapat dipertanggung jawabkan dan diuji termasuk oleh diri sendiri. Caranya yaitu ketika kita mempunyai konsep, ujilah dengan Firman; jangan mencari ayat yang mendukung konsep kita tapi justru carilah ayat yang melawan, self critic. Diri sendiri tidak berhak mengkritisi diri sendiri karena jika demikian maka hanya kebenaran diri yang kita dapatkan. Libatkan saudara seiman kita karena mungkin sekali kita mengira tidak ada ayat yang melawan dan kemudian bersama-sama mencoba menguji konsep tersebut. Ingat, dengan rendah hati kita harus menghancurkan konsep kita yang salah dan membiarkan Kristus membangunnya kembali. Inilah self critic.
Reformed is always to be re reformed. Ingat, kapak ada di akar maka kalau kita tidak mempunyai iman sejati, kita pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. Biarlah kita mau menuntut diri untuk belajar dan belajar sehingga iman kita dibangun bukan berdasar fanatisme tapi kita tahu pasti mengapa kita beriman Kristen sehingga di dunia yang makin kacau ini kita tidak takut menghadapi serangan tapi malah membuat iman kita semakin kokoh. Hendaklah setiap orang Kristen menuntut dirinya sendiri untuk belajar memahami Firman, semakin mengenal dan taat pada Allah dengan demikian bersama-sama bertumbuh dalam iman. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber :

http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2004/20040502.htm

Roma 2:3-4 : MURKA ALLAH TERHADAP KEBEBALAN MANUSIA DAN PENTINGNYA PERTOBATAN

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-7


Murka Allah Terhadap Kebebalan Manusia dan Pentingnya Pertobatan


oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 2:3-4

Pada ayat sebelumnya (ayat 1-2), manusia yang berdosa yang sudah mengetahui hukuman Allah tetap menghakimi mereka sebagai orang berdosa. Mereka menyangka dengan menghakimi sesamanya, mereka kelihatan hebat, dan bisa terlepas dari murka Allah. Mereka secara tidak sadar sedang menyombongkan diri, padahal apa yang mereka hakimi terhadap orang lain, mereka melakukannya sendiri. Dengan kata lain, mereka munafik. Bagi Paulus, orang yang munafik tidak pernah akan lolos dari murka Allah, seperti yang dikatakannya pada ayat 3, “Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, adakah engkau sangka, bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah?” Sejarah Israel membuktikan bahwa mereka membangkang di hadapan Tuhan, tetapi mereka tidka sadar sadar lalu mereka menghakimi orang-orang di luar Israel sebagai orang kafir, padahal mereka sendiri kafir dengan menyembah berhala-berhala di luar Allah. Kitab Raja-raja membuktikan hal ini di dalam kedua kerajaan yaitu Israel dan Yehuda, kalau seorang raja memerintah dengan baik dan sesuai kehendak Allah, maka seluruh umat menyembah Allah, tetapi jika raja penggantinya memerintah dengan melawan Allah, maka seluruh umat kembali menyembah ilah-ilah lain. Bukankah ini membuktikan bahwa mereka sebenarnya munafik, menghakimi orang lain sebagai orang kafir (karena tidak memiliki Taurat), tetapi di sisi lain, mereka sendiri juga kafir dengan menyembah ilah-ilah lain. Kepada mereka yang munafik, Paulus menantang mereka, apakah mereka akan luput dari hukuman Allah ? Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen ? Mengingat surat ini juga ditujukan kepada orang Kristen, maka surat ini juga harus menjadi pelajaran bagi setiap kita ? Apakah kita sebagai orang Kristen gemar menghakimi orang lain sebagai penghuni neraka karena mereka telah berbuat dosa yang begitu keji, sedangkan kita sendiri tidak jauh bedanya dengan mereka ? Berwaspadalah, dosa bukan sekedar dalam bentuk perbuatan, melainkan esensi dosa adalah pemberontakan terhadap Allah. Bagi kita jugalah tersedia murka Allah yang berupa penghakiman-Nya yang adil.

Apakah wujud penghakiman dan murka Allah itu ? Paulus mendeskripsikannya pada ayat 4, “Maukah engkau menganggap sepi kekayaan kemurahan-Nya, kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan?” Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “Atau kalian pandang enteng kemurahan Allah dan kelapangan hati serta kesabaran-Nya yang begitu besar? Pasti kalian tahu bahwa Allah menunjukkan kebaikan hati-Nya karena Ia mau supaya kalian bertobat dari dosa-dosamu.” Perhatikan. Paulus langsung menghakimi jemaat di Roma bahwa mereka terkesan memandang rendah (merendahkan)/tidak menghargai atau membenci (KJV : despise ; Yunani : kataphroneō) kekayaan kemurahan, kesabaran dan kelapangan hati-Nya. Mengapa bisa demikian ? Karena menurut mereka, Allah itu Mahakasih dan panjang sabar, maka Ia tidak akan pernah menghukum (bandingkan ayat 3). Ini pulalah yang diajarkan di dalam keKristenan abad postmodern ini. Allah yang diajarkan hanya berfokus kepada Allah yang Mahakasih, Maha Memberi, panjang sabar, Maha Pengampun, dll, lalu tidak heran banyak orang Kristen hari-hari ini “mempermainkan” Allah yang diajarkan seperti ini dengan “menodong” Allah agar mengabulkan apa yang dimintanya. Bagi mereka, Allah adalah “pembantu” mereka yang bisa disuruh dengan dalih “Mahakuasa”, “Mahakasih”, dll. Sehingga, Allah yang Mahakasih secara tidak sengaja “dihina” habis-habisan sampai-sampai Ia bukan lagi sebagai Allah, tetapi “Pemenuh” kebutuhan hasrat/nafsu birahi manusia berdosa. Percuma sajalah mereka beribadah, menyembah Allah di dalam gereja (bahkan mengangkat tangan, dll), padahal paradigma mereka telah diracuni oleh ajaran-ajaran yang tidak bertanggungjawab yang diklaim dari “Allah” dan mereka sebenarnya sedang menghina dan merendahkan Allah. Lalu, apa sebenarnya maksud dari Allah yang Mahakasih ini ? Paulus mengajarkan bahwa Allah yang Mahakasih adalah Allah yang kaya akan kemurahan, kesabaran dan kelapangan hati. Kata “kekayaan” di dalam ayat ini dalam bahasa Yunani ploutos yang identik dengan wealth (kekayaan), richness (kekayaan), abundance (kelimpahan), valuable bestowment (hadiah yang berharga), dll. Dengan demikian, Allah yang Mahakasih adalah Allah yang memiliki suatu kekayaan atau suatu hal yang berharga yang tak mungkin bisa ditandingi oleh Pribadi yang lain akan kemurahan, kesabaran dan kelapangan hati.

Ada 3 bentuk kekayaan yang dimiliki oleh Allah yang Mahakasih ini, yaitu, pertama, kemurahan Allah. Kata ini identik dengan kebaikan (KJV : goodness). Albert Barnes menafsirkan kata ini sebagai kindness (=kebaikan hati, keramahan, perbuatan baik, kasih sayang) dan benignity yang artinya penuh dengan belas kasih, baik hati, anugerah, mementingkan kepentingan orang lain (altruisme), dll. Dalam bahasa Yunani, kata ini diterjemahkan sebagai chrēstotēs berarti usefulness, that is, moral excellence (in character or demeanor) : - gentleness, good (-ness), kindness (=manfaat, yaitu kebaikan moral dalam hal karakter atau pembawaan diri) : kelemah-lembutan, kebaikan, kebaikan hati). Jadi, Allah yang penuh dengan kemurahan berarti Allah yang mengasihi umat-Nya, Allah yang lemah lembut, baik hati dan selalu memberikan anugerah. Hal ini diajarkan sejak dari Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru. Kasih setia Allah dicurahkan kepada umat-Nya, Israel, meksipun mereka terus berdosa. Ketika Allah harus menghukum Israel karena kebebalan hati mereka yang terus menyembah berhala, Ia tetap mengasihi mereka, sehingga setelah mereka bertobat Allah tetap mengasihi dan memulihkan keadaan mereka. Kasih setia Allah selalu berbarengan dengan keadilan Allah. Di dalam penebusan Kristus pun, Allah juga menunjukkan kasih sayang-Nya kepada manusia (hanya umat pilihan-Nya) (Yohanes 3:16-18a) dan menunjukkan juga keadilan dan kemarahan-Nya berupa hukuman-Nya kepada mereka yang menolak percaya kepada Kristus (Yohanes 3:18b,19). Kemurahan Allah selalu berkaitan dengan kekerasan-Nya. Hal ini ditunjukkan Paulus di dalam Roma 11:22, “Sebab itu perhatikanlah kemurahan Allah dan juga kekerasan-Nya, yaitu kekerasan atas orang-orang yang telah jatuh, tetapi atas kamu kemurahan-Nya, yaitu jika kamu tetap dalam kemurahan-Nya; jika tidak, kamupun akan dipotong juga.” Allah yang bermurah hati akan menyelamatkan umat pilihan-Nya, dan di sisi lain Ia yang Maha Pemurah itu juga pasti menghukum mereka yang tidak taat. Selain itu, kebaikan atau kemurahan Allah berkenaan dengan keselamatan umat pilihan-Nya. Hal ini diajarkan oleh Titus di dalam Titus 3:4-5, “Tetapi ketika nyata kemurahan Allah, Juruselamat kita, dan kasih-Nya kepada manusia, pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus,” Allah yang murah hati adalah Allah yang menyelamatkan umat-Nya bukan berdasarkan perbuatan baik mausia, tetapi atas belas kasihan dan kedaulatan-Nya saja dengan rela mengorban Putra Tunggal-Nya, Kristus Yesus, Tuhan kita untuk mati menebus dosa-dosa manusia. Kemurahan hati Allah dalam hal ini berkaitan dengan pengorbanan. Kedua, kesabaran Allah. Kata “kesabaran” ini dari bahasa Yunani anochē yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai forbearance (=kesabaran) atau bisa berarti tolerance (=toleransi). Apa arti kesabaran ini ? Mari kita lihat apa yang Paulus katakan di dalam Roma 3:25, “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya.” Kesabaran-Nya pada bagian ini berkaitan dengan waktu Allah yang “sengaja” membiarkan dosa manusia terjadi, sampai pada waktu yang Ia telah tetapkan di mana Kristus harus inkarnasi untuk menebus dosa-dosa manusia pilihan-Nya. Pembiaran terhadap dosa ini tidak membuktikan dan mendorong kita untuk terus-menerus berbuat dosa, tetapi seharusnya mendorong kita untuk segera bertobat. Ketiga, kelapangan hati-Nya. Kata “kelapangan hati” dalam King James Version (KJV) diterjemahkan longsuffering dan dalam bahasa Yunaninya makrothumia identik dengan kesabaran (patience, forbearance). Kata ini dipakai oleh Paulus di dalam Roma 9:22, “Jadi, kalau untuk menunjukkan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan” Mengapa Allah tetap bersabar dan tetap menahan murka-Nya agar tidak menimpa orang-orang yang layak dibinasakan ? Ayat 23-24 di dalam Roma 9 ini, Ia berfirman melalui Paulus, “justru untuk menyatakan kekayaan kemuliaan-Nya atas benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan, yaitu kita, yang telah dipanggil-Nya bukan hanya dari antara orang Yahudi, tetapi juga dari antara bangsa-bangsa lain,” Jadi, dalam kekekalan Allah, Ia telah menetapkan sebagian orang untuk diselamatkan di dalam Kristus, dan bagi merekalah (perhatikan pernyataan, “benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan, yaitu kita, yang telah dipanggil-Nya”), Ia menunjukkan kemuliaan-Nya yang melimpah, sedangkan sebagian orang yang tidak Ia pilih, secara otomatis, Ia tolak. Ini disebut Paulus sebagai, “benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan” Jadi, apa yang diajarkan oleh theologia Reformed mengenai predestinasi (pemilihan Allah sebelum dunia dijadikan) MUTLAK tidak salah, karena bagian Roma 9 ini telah mengajarkannya dengan jelas dan teliti !

Lalu, apakah motivasi dari kemurahan-Nya yang berlimpah ini ? Paulus berkata, “maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan” Kata “kemurahan” yang dipakai di sini adalah wujud pertama dalam kasih-Nya yaitu kebaikan atau kebaikan hati-Nya. Jadi, Allah yang baik hati (terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari) bermaksud BUKAN agar kita terus berkanjang di dalam dosa, tetapi untuk menuntun kita supaya bertobat. Kata “menuntun” dalam KJV diterjemahkan lead artinya memimpin. Jadi, kebaikan hati-Nya bukan langsung membuat kita menjadi bertobat dan kudus 100% secara instan, tetapi memimpin kita secara bertahap kepada pertobatan. Saya dapat membagi dua macam pertobatan. Pertobatan bisa terjadi secara langsung, misalnya Roh Kudus bekerja langsung mempertobatkan salah seorang umat pilihan ketika mendengarkan Injil sekali, atau bisa juga pertobatan terjadi secara bertahap, artinya melalui pendengaran Injil beberapa kali. Itu semua tergantung pada kedaulatan-Nya melalui pencerahan Roh Kudus. Kata “pertobatan” dalam ayat ini dari bahasa Yunani metanoia berarti compunction (=perasaan bersalah, menyesal, termasuk reformasi/perubahan radikal) atau reversal (of [another’s] decision) (=perubahan dari keputusan seseorang). Jadi, pertobatan meliputi tiga hal, yaitu :
Pertama, perasaan bersalah dan mengaku diri bersalah. Pertobatan terjadi dahulu mulai dari perasaan bersalah. Tanpa ada perasaan bersalah/dosa, maka mustahil terjadi pertobatan. Perasaan bersalah bukan sekedar perasaan manusia yang bersalah melakukan tindakan-tindakan yang salah, tetapi lebih ke arah esensi, yaitu perasaan manusia yang bersalah karena telah berdosa dan melawan Allah. Ingatlah, Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengajarkan bahwa manusia itu adalah makhluk yang dicipta (created), terbatas (limited) dan terpolusi dosa (polluted). Karena ada tiga status manusia ini, manusia seharusnya sadar bahwa dirinya hanya debu tanah yang mudah rapuh. Renungkanlah apa yang dikatakan oleh Raja Daud, “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.” (Mazmur 8:4-6). Raja Daud juga mengajarkan, “Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu. Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi. Tetapi kasih setia TUHAN dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia, dan keadilan-Nya bagi anak cucu, bagi orang-orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya.” (Mazmur 103:13-18) Manusia itu makhluk yang mudah rapuh, lemah, terbatas, berdosa, meskipun mereka telah dikaruniai mahkota kemuliana dan hormat dari Allah, sehingga akhirnya mereka tidak taat kepada perintah Allah yang melarang mereka memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat. Akibat ketidaktaatan manusia terhadap perintah-Nya, Allah terpaksa harus membuang mereka dari Taman Eden. Itulah dosa, suatu tindakan yang bukan melawan perintah manusia, tetapi melawan perintah Allah. Kalau di abad postmodern, orang-orang dunia (bahkan orang-orang “Kristen” yang masih indekos di dalam gereja) menganggap bahwa manusia itu hebat, superman, pintar, berintelek, cerdas, lalu menganggap diri tidak mungkin berdosa lagi, karena telah menganggap dirinya identik dengan “allah”, maka bagaimana dengan anak-anak Tuhan sejati ? Biarlah kita tidak ikut-ikutan dengan arus zaman yang semakin menggila ini. Akuilah dosamu sebagai prinsip dasar pertobatan. Caranya ? Jika Firman Tuhan baik melalui perenungan/khotbah maupun Alkitab mengoreksi dosa yang telah kita perbuat, maka segera mengakui dosa-dosa tersebut, jangan menutup-nutupinya dengan beribu alasan, misalnya khilaf, dll !
Kedua, perasaan dan sikap menyesal. Setelah mengakui dosa, benarkah itu sudah cukup? TIDAK. Perasaan dan pengakuan dosa harus dilanjutkan dengan sikap menyesal. Penyesalan bukan sekedar suatu perasaan tetapi juga sebuah sikap. Sikap penyesalan ini bisa ditandai dengan menangisi dosa, sedih terhadap dosa, dll. Tetapi ekspresi menangis tidak boleh dimutlakkan lalu kalau tidak menangis, dicap sebagai orang yang tidak mau menyesali dosa. Kebangunan rohani yang dipimpin oleh Jonathan Edwards di Amerika pada abad 18 pun ditandai dengan sikap penyesalan terhadap dosa oleh jemaat-jemaat yang hadir setelah mereka mendengarkan khotbah Jonathan Edwards yang berintikan murka Allah terhadap dosa. Mungkin sekali sikap penyesalan terhadap dosa menimbulkan kita yang melakukannya akan dicap sebagai orang bodoh, sok rohani, dll, karena bagi orang dunia, hal itu tak perlu dilakukan. Lalu, apa sikap kita ? Kita sebagai anak-anak Tuhan sejati tidak perlu menghiraukan ide-ide gila dari orang-orang dunia yang juga ikut-ikutan gila di abad postmodern ini. Kalau Roh Kudus menggerakkan dan mendorong kita untuk bertobat, sesalilah dosa-dosa kita.
Cukupkah hanya menyesali dosa ? TIDAK. Pertobatan mencakup hal terakhir/ketiga, yaitu berubah total. Kata Yunani, metanoia bukan sekedar berarti perubahan tingkah laku, tetapi perubahan radikal yang mencakup segala sesuatu, pertama-tama dari hati, pikiran, perkataan, sifat, tingkah laku sampai perbuatan kita. Hal ini saya sebut sebagai holistic reformation (perubahan radikal secara menyeluruh). Yohanes Pembaptis menegur orang-orang Farisi dan Saduki yang ingin dibaptis dengan mengatakan, “Jadi hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan.” (Matius 3:8). Yohanes mengerti prinsip pertobatan yang berkaitan dengan buah/hasil. Pertobatan jika hanya diucapkan di dalam mulut saja, itu adalah hal yang sia-sia, tetapi pertobatan harus diwujudnyatakan di dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya perubahan hati dan pikiran yang memimpin perubahan perilaku, perkataan, sifat dan tindakan kita. Paulus menasehatkan, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2). KJV menerjemahkan ayat ini dengan lebih teliti, “And be not conformed to this world: but be ye transformed by the renewing of your mind, that ye may prove what is that good, and acceptable, and perfect, will of God.

Biarlah setelah mendengarkan perenungan Firman Tuhan ini, kita semakin disadarkan pentingnya pertobatan atas dosa-dosa kita sebelum Tuhan menimpakan murka-Nya kepada kita. Amin. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-11 : THEOLOGIA ABU-ABU, PLURALISME AGAMA (Pdt. DR. STEVRI INDRA LUMINTANG)

...Dapatkan Segera...

Buku
THEOLOGIA ABU-ABU, PLURALISME AGAMA (EDISI REVISI)
Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme Dalam Teologi Kristen Masa Kini


oleh : Pdt. Stevri Indra Lumintang, M.Th., D.Min., Th.D. (Cand.)

Penerbit : Gandum Mas, Malang (2004)

Prakata :

Prof. Joseph Tong, Ph.D. (President of International Theological Seminary, Los Angeles, USA)

Teologi Abu-abu adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itupun dianggap sebagai mitos. Dari perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yang ada di dunia ini. Inilah teologi abu-abu yang dengan bangga ditawarkan oleh kaum pluralis, sebagai teologi yang sempurna dan sangat tepat untuk menjawab persoalan fenomena pluralitas agama dan budaya di dunia. Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama. Kaum pluralis sedang bermimpi untuk mengulangi keindahan taman Eden, dan membangun kembali menara Babel (Utopia), namun sayang teologi mereka yang abu-abu tersebut hancur bersama hancurnya menara Babel.







Profil Pdt. Dr. Stevri I. Lumintang :
Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang dilahirkan di Kanonang, Minahasa, Sulawesi Utara tahun 1965, anak ketiga dari empat bersaudara dalam pernikahan Bapak Herny Lumintang dengan Ibu Sherly Paendong. Pada tahun 1991, beliau menikah dengan Danik Astuti, M.Div. dan dikaruniai tiga orang putri yang bernama : Shendy Carolina Lumintang, Sheren Angelina Lumintang, Sheline Feranda Lumintang.

Pada tahun 1999, beliau ditahbiskan sebagai pendeta di Gereja Keesaan Injil Indonesia, anggota PGI dan melayani sebagai dosen bidang theologia sistematika, theologia reformasi, apologetika dan filsafat dan Institut Injil Indonesia, baik program Sarjana maupun Pascasarjana. Beliau juga mengajar di beberapa Sekolah Tinggi Theologia di Indonesia.

Beliau menyeleesaikan studi theologia dengan gelar Sarjana Theologia (S.Th.) pada tahun 1991 di Institut Injil Indonesia, Batu. Pada tahun 1996, beliau menyelesaikan studi program S-2 dengan gelar Master of Divinity (M.Div.) di Institut yang sama. Pada tahun 1999, beliau menyelesaikan Master of Theology (M.Th.) in Systematic Studies di International Theological Seminary, Los Angeles, USA. Pada tahun 2003, beliau menyelesaikan studi doktoral di ITS Los Angeles, USA dengan mempertahankan disertasi yang berjudul, “A Study of the Doctrine of Divine Sovereignty in Reformed Perspective and Spiritual Formation of Evangelical Semianry Students in Indonesia,” dengan gelar Doctor of Ministry (D.Min.). Sejak tahun 2001, beliau juga memulai program Doctor of Theology in Mission (Th.D.) di Consortium for Graduate Program in Christian Studies (CCS) dan sekarang sedang dalam tahap tutorial penulisan disertasi (tahun 2004).