02 September 2007

PREDESTINASI : Pembahasan Doktrinal yang Berdasarkan Alkitab (oleh : Denny Teguh Sutandio)

PREDESTINASI
Pembahasan Doktrinal yang Berdasarkan Alkitab

oleh : Denny Teguh Sutandio, S.S.

(anggota jemaat Gereja Reformed Injili Indonesia—GRII Andhika, Surabaya {digembalakan oleh Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.} ; lulusan Sastra Inggris dari UK Petra, Surabaya ; mahasiswa part-time di Sekolah Theologia Reformed Injili Surabaya—STRIS Andhika)



Topik predestinasi adalah topik yang banyak diperdebatkan di dalam kalangan keKristenan. Banyak pihak tidak menyetujuinya karena alasan kurang cinta kasih Allah pada semua manusia. Oleh karena itu, pihak oposisi dari predestinasi mengajarkan bahwa Allah tak mungkin memilih manusia atau meskipun Allah memilih, Ia memilih manusia berdasarkan apa yang manusia lakukan kelak (doktrin foreknowledge of God di dalam “theologia” Arminian). Benarkah demikian ? TIDAK. Alkitab sendiri mengajarkan kepada kita bahwa Allah lah yang memilih kita sebelum dunia dijadikan. “Sebelum dunia dijadikan” jelas menunjukkan bahwa Allah memilih kita MURNI bukan karena kita telah beriman atau berbuat baik, tetapi karena belas kasihan Allah semata. Mari kita menggali Roma 8:29-30 ; 9:1-29 dan Efesus 1:3-14 untuk mempelajari doktrin predestinasi yang diajarkan oleh Allah melalui Rasul Paulus.

Surat Roma adalah surat yang ditulis oleh Rasul Paulus kepada jemaat di Roma yang terdiri dari mayoritas orang-orang Yahudi dan Yunani. Kota Roma adalah ibu kota sebuah kerajaan yang terbentang dari Inggris sampai ke Arab, sebuah kota yang kaya dan termasuk kosmopolitan serta sebagai pusat diplomatik dan perdagangan dunia yang terkenal pada waktu itu. Kekaisaran Romawi berada dalam suatu keadaan yang damai dan makmur (Pax Romana). Surat Roma ini menduduki posisi yang penting berkenaan dengan pengajaran Paulus yang paling gamblang akan Injil dan iman Kristen sejati. Roma 1-7 membahas tentang realita dosa dan perjuangan orang Kristen untuk mengalahkannya. Disusul dengan pasal 8 tentang hidup oleh Roh. Di pasal 8 mulai ayat 18, Paulus menjelaskan tentang pengharapan anak-anak Allah hingga konklusinya yang jelas ditemukan di ayat 28, “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” Inilah kedaulatan Allah yang dipercaya di dalam theologia Reformed/Calvinisme bahwa Allah adalah Sumber dari segala sesuatu yang mengerjakan terlebih dahulu kebaikan bagi mereka yang mengasihi-Nya, yaitu mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Siapakah mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah itu ? Ayat 29-30 menjawab hal ini, “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.” Ada lima kata kerja yang dipakai di dalam kedua ayat ini.

Pertama, dipilih-Nya dari semula. Kita adalah orang yang dipilih Allah dari semula. Kata “dipilih” dalam terjemahan King James Version adalah foreknow ; Yunani : proginōskō berarti to know beforehand, foresee (=mengetahui/melihat sebelumnya). Ada unsur kekekalan di dalam tindakan Allah pertama ini, yaitu Allah memilih manusia sebelumnya atau sebelum dunia dijadikan. Kata “sebelumnya” atau “sebelum dunia dijadikan” menjadi bahan perdebatan di dalam Calvinisme sendiri (supralapsarian dan infralapsarian). Ada yang mengatakan bahwa Allah memilih sebelum terjadinya dosa, sebaliknya ada yang mengajarkan bahwa Allah memilih manusia setelah terjadinya dosa. Perdebatan ini kurang begitu baik, karena, mengutip Pdt. Sutjipto Subeno, Alkitab mengajarkan bahwa Allah yang memilih adalah Allah yang tidak terikat oleh waktu (apakah sebelum atau sesudah jatuh ke dalam dosa). Tetapi tetap jelas bahwa Allah memilih manusia sebelum dunia dijadikan (=sebelum dunia diciptakan). Dr. John Gill di dalam John Gill’s Exposition of the Entire Bible menafsirkan, “nor is this foreknowledge to be understood of any provision or foresight of the good works, holiness, faith, and perseverance of men therein, upon which God predestinates them to happiness; since this would make something out of God, and not his good pleasure, the cause of predestination; which was done before, and without any consideration of good or evil, and is entirely owing to the free grace of God, and is the ground and foundation of good works, faith, holiness, and perseverance in them: but this regards the everlasting love of God to his own people, his delight in them, and approbation of them; in this sense he knew them, he foreknew them from everlasting, affectionately loved them, and took infinite delight and pleasure in them; and this is the foundation of their predestination and election, of their conformity to Christ, of their calling, justification, and glorification :…

Kedua, ditentukan-Nya dari semula. Dalam KJV, kata ini diterjemahkan predestinate ; Yunaninya proorizō berarti to limit in advance, predetermine (membatasi di depan/terlebih dahulu, menetapkan sebelumnya). Dengan kata lain, kita yang dipilih-Nya, kita lah yang ditetapkan-Nya atau dibatasi-Nya. Kita yang ditentukan-Nya ini dengan tujuan “untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” Di dalam lima pokok Calvinisme, hal ini dikenal dengan istilah Limited Atonement (Penebusan Terbatas) yang berarti Kristus menebus dosa-dosa umat pilihan-Nya. Berarti ada keterbatasan pada sekelompok orang yang telah dipilih Allah untuk ditentukan-Nya.

Ketiga, dipanggil-Nya. Setelah dua tindakan Allah dalam kekekalan, maka Ia menyatakan tindakan tersebut di dalam diri manusia dengan memanggil mereka. Dr. John Gill mengatakan bahwa panggilan ini adalah panggilan anugerah bagi umat pilihan-Nya menuju kemuliaan.

Keempat, dibenarkan-Nya. Kata “dibenarkan” dalam bahasa Yunani berasal dari akar kata dikaiosune yang artinya kebenaran keadilan, sehingga kata “dibenarkan” berarti dijadikan benar dan adil. Manusia yang berdosa mustahil bisa memiliki kebenaran keadilan sejati, karena manusia sudah rusak total dan mengurangi/tidak mencukupi kemuliaan Allah (Roma 3:23 ; KJV). Sehingga, hanya melalui anugerah Allah saja, manusia yang berdosa bisa dan layak dibenarkan/dijadikan benar dan berkenan di hadapan-Nya melalui karya Kristus.

Kelima, dimuliakan-Nya. Ini adalah hasil dari pembenaran melalui iman. Setiap umat pilihan yang telah dipanggil dan dibenarkan-Nya, mereka akan dibawa menuju kepada hasil akhirnya yaitu dimuliakan. Sungguh suatu anugerah Allah yang dahsyat. Akibat dosa, manusia yang dimahkotai kemuliaan Allah menjadi rusak total dan manusia semakin jijik di mata Allah, tetapi dosa tersebut ditebus dan akibat dari penebusan itu, manusia dikembalikan natur dan hakekatnya sehingga mereka mendapatkan kemuliaan yang dirusak dosa itu.


Kedua ayat ini dilanjutkan Paulus dengan mengajarkan bahwa karena ada jaminan pemilihan Allah ini dan penebusan Kristus, maka umat-Nya tidak akan binasa selama-lamanya (ayat 33 s/d 39). Untuk menjelaskan bagian ini, mulai pasal 9 s/d 11, Paulus menguraikannya dengan memakai ilustrasi pilihan atas Israel. Pilihan atas Israel yang dimengerti oleh orang-orang Israel seringkali hanya terbatas pada suku bangsa Israel, tetapi Paulus menyingkapkan hal lain yaitu Israel rohani. Israel rohani itulah termasuk kita yang bukan berkebangsaan Israel yang percaya di dalam Kristus. Israel rohani inilah yang disebut sebagai anak-anak Allah bukan secara daging, tetapi secara rohani (ayat 8). Konsep kovenan/perjanjian ini diuraikan Paulus di ayat 9-15 tentang dua macam tindakan pemilihan Allah yaitu penetapan Allah atas diri seseorang untuk menjadi bagian dalam keluarga-Nya (=umat pilihan-Nya) dan penolakan Allah juga pada diri orang lain (sisanya). Di dalam theologia Reformed, hal ini dikenal dengan predestinasi (pemilihan) dan reprobasi (penolakan). Dua hal ini disebut predestinasi ganda (Double Predestination). Banyak orang yang mempercayai predestinasi hanya mempercayai predestinasi dan menolak reprobasi, padahal Alkitab secara jelas mengajarkan adanya reprobasi. Di ayat 12-13, Paulus dengan jelas mengajarkan bahwa Allah mengasihi Yakub dan membenci Esau. Lalu, disambung dengan ayat 14, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah Allah tidak adil? Mustahil!” Ini adalah pengujian Paulus bagi jemaat Roma dan termasuk kita. Seringkali kita mengatakan bahwa Allah yang memilih beberapa orang adalah Allah yang “tidak adil”. Di sini Paulus langsung mengkritik pandangan kita bahwa itu MUSTAHIL ! Kata “mustahil” dalam KJV diterjemahkan God forbid (=Allah melarangnya). Bukan hanya itu saja, di ayat 15, Paulus menjelaskan, “Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati.” Apa yang Paulus katakan ini hendak mengajarkan kepada kita bahwa Allah adalah Allah yang Berdaulat yang berhak melakukan apa saja (yang tidak melawan natur-Nya) untuk memuliakan-Nya, dan kedaulatan Allah ini tidak bergantung pada siapa dan apapun bahkan pada manusia. Lebih lanjut, kedaulatan Allah dijelaskan Paulus di ayat 16, “Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah.” dan ayat 18, “Jadi Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Ia menegarkan hati siapa yang dikehendaki-Nya.” Di ayat 19-22, Paulus lebih keras lagi mengatakan, “Sekarang kamu akan berkata kepadaku: "Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkan-Nya? Sebab siapa yang menentang kehendak-Nya?" Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: "Mengapakah engkau membentuk aku demikian?" Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa? Jadi, kalau untuk menunjukkan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan--” Ayat-ayat tadi mengindikasikan bahwa tidak ada satu inci pun manusia yang sanggup dan berhak membantah Tuhan Allah dalam segala hal, khususnya dalam hal penetapan Allah atas siapa yang diselamatkan/dipilih dan ditolak.


Dari surat Roma, kita beralih kepada Surat Efesus 1:3-14. Surat Efesus adalah surat yang ditulis oleh Rasul Paulus yang sering disebut sebagai surat Trinitas. (mengutip dari kuliah Studi Surat Roma dan Efesus dari Ev. Hendry Ongkowidjojo, M.Div. di Sekolah Theologia Reformed Injili Surabaya—STRIS Andhika) Kembali, mengutip dari Ev. Hendry Ongkowidjojo, khusus Efesus 1:3-14, Paulus menggunakan Berakah (=suatu pujian panjang lebar bagi Allah di dalam gaya Yahudi) yang memiliki 2 keunikan, yaitu : Allah dipuji sebagai Bapa Yesus Kristus Tuhan kita dan pengulangan “di dalam Kristus” (atau “di dalam Dia”) secara konstan dengan tujuan agar ucapan syukur dan kekaguman atas rencana keselamatan Allah mengalir kepada pembaca dengan berespon memuji Allah (sebagai sebuah dorongan).

Di ayat 3, Paulus mengucapkan syukur kepada Allah karena Ia telah memberikan kita segala berkat rohani di dalam Surga. KJV menambahkan kata “in Christ” (=di dalam Kristus) setelah “di dalam Surga”. Ini berarti segala berkat rohani di dalam Surga diperoleh hanya di dalam Kristus. Apa wujud berkat rohani itu ? Ayat 4 menjawab bagian ini, “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.

Berkat rohani ini pertama berwujud anugerah pemilihan Allah yang dikerjakan di dalam Kristus sebelum dunia dijadikan. “Sebelum dunia dijadikan” kembali menjadi kata kunci penting di dalam predestinasi, karena hal ini mengajarkan bahwa pemilihan Allah BUKAN berdasarkan jasa baik (atau iman) kita, tetapi MURNI karena kemurahan hati dan anugerah-Nya yang berdaulat. Lalu, Paulus menjelaskan bahwa kita dipilih-Nya sejak semula supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dengan kata lain, kekudusan hidup dan perubahan etika terjadi SETELAH kita dipilih Allah. Mengikuti pola pikir Paulus di surat Roma, di surat Efesus pun, Paulus mengungkapkan bahwa setelah Allah memilih manusia, “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya,” (ayat 5) Penentuan/predestinasi ini dilakukan oleh Allah berdasarkan : kasih-Nya dan kerelaan kehendak-Nya. Hal ini penting, karena banyak orang salah mengartikan predestinasi yaitu Allah “seenaknya sendiri” memilih dan menentukan manusia. Padahal Alkitab menyatakan bahwa Allah menentukan manusia MURNI berdasarkan kasih-Nya. Allah memilih dan menentukan manusia juga BUKAN karena terpaksa, tetapi MURNI karena kerelaan kehendak-Nya. KJV menerjemahkannya, “...according to the good pleasure of his will” Dari terjemahan KJV ini, kerelaan kehendak-Nya lebih tepat diterjemahkan sebagai kesenangan kehendak-Nya (Yunani : eudokia berarti satisfaction/kepuasan, yaitu secara subyektif : delight/kegembiraan). Tujuan dari penentuan Allah ini dijelaskan Paulus di ayat 6, “supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya.” Ini berarti tindakan keselamatan Allah adalah dari Dia, oleh Dia dan bagi Dia (Roma 11:36).

Berkat rohani kedua yang kita peroleh yaitu pengampunan dosa (ayat 7). Hal ini dijelaskan Paulus di ayat 7, “Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya,” Penentuan dari semula dibarengi dengan tindakan penebusan Allah yaitu dengan mengutus Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa umat-Nya. Dengan kata lain, Allah Bapa memilih dan menentukan manusia di dalam Kristus, Allah Anak (Kristus) diutus oleh Allah Bapa untuk menggenapkan rencana keselamatan Allah Bapa ini dengan menebus dosa umat-Nya. Penebusan dosa di dalam ayat 7 ini berarti pengampunan dosa. Pengampunan dosa bisa berarti dibebaskan/dimerdekakan dari dosa. Dengan kata lain, penebusan dosa berarti kita dimerdekakan dari kutuk dosa yang membelenggu kita selama kita masih menjadi manusia lama. Sehingga penebusan Kristus itu sudah cukup syarat menjadi sarana : peredaan murka Allah (propisiasi), penggantian dosa umat pilihan-Nya (substitusi) dan perekatan kembali hubungan antara Allah yang Mahakudus dengan manusia berdosa (rekonsiliasi). Di dalam pengharapan inilah, kita menemukan suatu pengharapan kekal menjadi anak-anak Allah yaitu keselamatan yang cukup dan final. Berkat rohani ini, “dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian.” (ayat 8)

Berkat rohani ketiga yang kita peroleh dari Allah yaitu penyingkapan rahasia kehendak-Nya (ayat 9-12). Di ayat 9-10, Paulus mengajarkan, “Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.” Predestinasi ternyata bukan perkara mudah dan murah, tetapi predestinasi adalah tindakan agung dari Allah yang berdaulat, karena predestinasi bertujuan akhir pada penyatuan umat Allah di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu. Dengan kata lain, saya menafsirkan bahwa predestinasi berkaitan erat dengan bagian keluarga Allah di mana Kristus menjadi Kepala dan kita sebagai anggota-anggota tubuh-Nya/mempelai wanita-Nya yang kelak akan dinikahkan secara spiritual dengan Kristus sebagai Mempelai Pria. Kristus inilah yang dipaparkan Paulus sebagai sarana umat pilihan-Nya mendapatkan bagian yang dijanjikan (ayat 11), sehingga umat-Nya hanya menaruh pengharapan kovenan pada Kristus (ayat 12).

Berkat rohani keempat yang kita peroleh dari Allah yaitu Roh Kudus (ayat 13-14). Roh Kudus dijelaskan Paulus sebagai Janji yang diberikan Allah sebagai meterai dan jaminan bagi kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah (ayat 13-14). Dengan kata lain, Roh Kudus menjadi meterai dan jaminan keselamatan kita bahwa kita yang sudah dilahirbarukan oleh Roh Kudus untuk bertobat dan percaya di dalam-Nya tidak akan binasa sampai selama-lamanya (keselamatan sejati di dalam Kristus mutlak tidak bisa hilang, karena Roh Kudus menjadi meterai dan jaminan keselamatan kita). Menolak ajaran “sekali selamat tetap selamat” (keselamatan SEJATI di dalam Kristus tidak bisa hilang) bukan hanya menyangkali ajaran Calvinisme, tetapi juga menyangkali berita Alkitab di dalam Efesus 1:13-14 dan yang lebih parah lagi, menghina otoritas Allah seolah-olah Ia “kewalahan” ketika manusia mau murtad dan melawan-Nya.

Biarlah ketiga bahan perenungan ini menjadi studi yang menyadarkan kita akan anugerah Allah yang begitu agung dan ini membuat kita terus bersyukur melalui perbuatan baik yang harus kita lakukan untuk memuliakan-Nya. Soli Deo Gloria. Solus Christus.

Daftar Pustaka

Daftar Pustaka


Apologetic. Retrieved October 31, 2005 from http://www.ekaristi.net.

Berkhof, Louis. (1997). Teologi Sistematika : Doktrin Gereja. (Yudha Thianto, Trans.) Surabaya : Penerbit Momentum. (Buku asli diterbitkan 1941).


Handbook to the Bible. (Yap Wei Fong, Agnes Maria Layantara, Ester Santoso, Tan Giok Lie, Fenny Veronica, Trans.) (2002). Bandung : Yayasan Kalam Hidup. (Buku asli diterbitkan 1973 dan 1983).


Hoekema, Anthony A. (2004). Alkitab dan Akhir Zaman. (Kalvin S. Budiman, Trans.) Surabaya : Penerbit Momentum. (Buku asli diterbitkan 1979)

Lumintang, Stevri I. (2004). Theologia Abu-abu : Pluralisme Agama (Edisi Revisi). Malang : Penerbit Gandum Mas.

Matakupan, Thomy J. dan Julio Kristano. (2005). Antropologi dan Hamartologi : Doktrin Manusia dan Dosa. Surabaya : Penerbit Momentum.

Pariadji, Yesaya. (2005, November 6). Hanya Orang yang Punya Roh Martir yang Diberi Kuasa Membentuk Perjamuan Kudus yang Benar. Retrieved November 12, 2005 from http://www.tiberias.or.id/BULETIN.htm

Roni, K.A.M. Jusuf. Allah yang Esa. Retrieved December 25, 2005 from
http://www.besorahonline.com.

Roni, K.A.M. Jusuf (2000, Juni). Saya Belum Menemukan Kebenaran (Wawancara). Narwastu, 22-23

Sethiadi, Stanley. Teori Geosentris Versus Teori Heliosentris. Retrieved September 24, 2004 from http://www.sahabatsurgawi.net

School of Ministry (SOM) : Salvation/Keselamatan. Surabaya : GBI Bethany.

School of Ministry (SOM) : Holy Spirit/Doktrin Roh Kudus. Surabaya : GBI Bethany.

School of Ministry (SOM) : Second Coming/Kedatangan Tuhan. Surabaya : GBI Bethany.

Til, Cornelius Van. (1967). The Defense of the Faith. Phillipsburg, New Jersey : Presbyterian and Reformed Publishing Co.

Tong, Stephen. (1991). Reformasi dan Teologi Reformed. Jakarta : Lembaga Reformed Injili Indonesia.






Bab 4 : Menafsirkan Alkitab Dengan Bertanggungjawab

Bab 4
Menafsirkan Alkitab Dengan Bertanggungjawab
(Penggabungan Antara Theologia Sistematika dan Theologia Biblika)




Pada bagian terakhir, kita akan membahas bagaimana menafsirkan Alkitab dengan prinsip-prinsip yang bertanggungjawab sehingga kita dapat menghindarkan diri dari kesengajaan (atau ketidaksengajaan) mencoba mencomot ayat Alkitab di luar konteks yang ada. Lalu, pertanyaan yang muncul, apakah berarti kita harus mati-matian membela prinsip-prinsip tersebut, sehingga tanpa prinsip-prinsip tersebut kita tidak mungkin mengerti Alkitab ? Kemudian, bagaimana dengan ibu-ibu yang tidak pernah sekolah tinggi yang tinggal di desa, apakah mereka juga perlu sekolah theologia/Alkitab untuk memahami Alkitab ? Salah satu prinsip Alkitab itu jelas, sehingga ibu-ibu yang tidak berpendidikan tinggi sekalipun dapat memahaminya. Tetapi jangan menyempitkan arti kejelasan Alkitab ini, sehingga kita yang mengenyam pendidikan tinggi, kita malas mempelajari Alkitab, lalu sembarangan menafsirkan Alkitab dengan berpedoman bahwa Alkitab itu jelas. Kalau Tuhan menganugerahkan kita kemampuan dan kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi, sebaiknya kita mempergunakannya untuk mempelajari firman-Nya terlebih dahulu.

Pada bab ini, saya akan membagi ke dalam dua prinsip, pertama, prinsip pembentukan pola paradigma yang bertanggungjawab (theologia sistematika), dan kedua disusul dengan prinsip-prinsip penafsiran Alkitab sesuai dengan theologia sistematika yang telah disusun.
Pertama, kita akan membahas tentang pengajaran-pengajaran theologia sistematika sebelum kita masuk ke dalam prinsip mengerti Alkitab. Pengajaran theologia sistematika ini hanya mungkin diintegrasikan dengan cara penafsiran Alkitab yang bertanggungjawab ketika pengajaran ini dibangun di atas pengertian theologia Reformed yang konsisten.
1. Doktrin Alkitab (Bibliologi)
Di dalam theologia Reformed, Alkitab dipercaya adalah satu-satunya wahyu Allah yang tertinggi dan final (2 Timotius 3:16) yang tidak mungkin bersalah dalam naskah asli/autographa-nya (infallibility and inerrancy of the Bible). Hal ini berakar dari semboyan Reformasi dari Dr. Martin Luther, yaitu Sola Scriptura (hanya Alkitab). Theologia Reformed juga mempercayai bahwa Doktrin Alkitab (Bibliologi) sebagai Prolegomena atau doktrin yang mendasari semua doktrin Kristen. Jadi, semua pembahasan doktrin dari suatu arus theologia Kristen dilihat dari bagaimana arus theologia Kristen itu memandang Alkitab. Ketika kaum liberal mempercayai bahwa Alkitab itu murni buatan manusia, maka seluruh doktrin yang mereka bangun juga berdasarkan konsep kebersalahan Alkitab, sehingga tidak heran para pemuja “theologia” religionum/social “gospel” yang bersumber dari “theologia” liberal mendewakan humanisme dan kontekstualisasi yang salah agar kepercayaan Kristen dapat dikompromikan dengan mudah (menghilangkan esensi Kristen). Selain prolegomena, theologia Reformed juga mempercayai adanya suatu pengertian yang holistik dari Alkitab, di mana seluruh kitab-kitab di dalam Alkitab dari PL sampai dengan PB adalah kitab-kitab yang memberikan penjelasan yang menyeluruh dan saling melengkapi, sehingga ketika kita menemukan adanya kekurangjelasan dalam satu kitab tertentu, kita dapat membuka bagian kitab lainnya untuk mendapatkan penjelasannya. Ketika theologia Reformed memegang pendapat ini, maka jarang sekali para theolog Reformed membuat spekulasi theologia hanya dari satu bagian Alkitab, biasanya mereka akan mengintegrasikannya dengan seluruh berita di dalam kitab-kitab di dalam Alkitab. Untuk penjelasan bagian ini akan dijelaskan pada Bab 4 ini pada prinsip kedua.

2. Doktrin Allah
Tentang doktrin Allah, theologia Reformed dengan sangat konsisten mengajarkan prinsip kedaulatan Allah (the Sovereignty of God) dengan memegang prinsip bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, oleh Allah dan bagi Allah saja kemuliaan sampai selama-lamanya (Roma 11:36). Oleh sebab itu, theologia Reformed dapat disebut sebagai theology from above yang berusaha melihat segala sesuatu BUKAN dari perspektif manusia berdosa, tetapi dari perspektif Allah di dalam Alkitab. Itu sebabnya, di dalam seluruh arus theologia Kristen, hanya theologia Reformed yang lebih mendekati Alkitab (tidak berarti theologia Reformed identik dengan Alkitab), karena kekonsistenan theologia Reformed dalam melihat segala sesuatu. Kalau ada orang “Kristen” yang tidak pernah belajar theologia sama sekali, lalu berani mengatakan bahwa theologia Reformed itu sombong dan tidak mengasihi, berhati-hatilah terhadap orang “Kristen” yang sok tahu ini. Kembali, mengapa theologia Reformed berani menegakkan kedaulatan Allah secara konsisten di dalam seluruh arus pemikirannya ? Karena hanya theologia Reformed melihat Allah sebagai Allah, Tuhan, Pencipta dan Pemilik seluruh alam semesta dan manusia adalah ciptaan-Nya yang hanya merupakan derivasi (turunan) dari atribut Allah yang dapat dikomunikasikan (communicable attribute), misalnya, adil, kasih, jujur, baik, dll. Allah adalah Tuhan yang memiliki dunia ini, sehingga Ia berdaulat dan berhak mengatur dan memimpin hidup manusia sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Di sini, posisi manusia hanya taat mutlak akan pimpinan-Nya. Perbedaan ini disebut oleh Pdt. Dr. Stephen Tong sebagai perbedaan kualitatif (qualitative difference). Perbedaan kualitatif ini memang bersumber dari Alkitab, tetapi hanya dapat digali oleh theologia Reformed. Oleh karena itu, tidak usah heran, banyak theolog atau hamba Tuhan yang bertheologia Injili (yang cenderung Arminian, lawan Reformed/Calvinisme) yang akhirnya dapat dengan mudah diperdaya oleh Gerakan Zaman Baru—GZB (New Age Movement) yang beridekan humanisme dan pantheisme, sehingga dengan berani mengajarkan bahwa di dalam diri manusia terkandung unsur positif, bahkan ada seorang pemimpin gereja Karismatik yang berani mengajarkan bahwa manusia adalah little gods (ilah-ilah kecil). Lalu, seorang direktur dari John Robert Power di Surabaya ternyata adalah seorang “penginjil” perempuan di sebuah gereja Karismatik “terbesar” di Surabaya. Mereka bisa masuk ke dalam racun GZB ini karena doktrin Allah mereka tidak kuat dan begitu kacau, karena mereka secara implisit mempercayai bahwa Allah bisa berubah atau mengubah rencana-Nya sesuai kondisi manusia.

3. Doktrin Manusia dan Dosa (Christian Antropology)
Theologia Reformed yang konsisten mengajarkan bahwa manusia itu diciptakan segambar dan serupa dengan Allah yang menurunkan sifat-sifat Allah yang kasih, suci, baik, adil, jujur, dll (atribut-atribut Allah yang dapat dikomunikasikan), sehingga manusia dapat berpotensi menjadi seperti Allah (tetapi tetap sebagai makhluk yang terbatas, diciptakan dan berdosa). Lalu, theologia Reformed mempercayai bahwa manusia itu terdiri dari tubuh dan jiwa (pandangan dikotomi), di mana kedua hal ini saling berhubungan dan menyatu. Ketika tubuh dan jiwa dipisahkan, maka manusia itu pasti mati. Tetapi saya sangat heran, ada seorang “pemimpin gereja” yang melakukan bisnis “minyak urapan” hobi “bersaksi” bahwa roh/jiwanya turun naik “surga” (tentu, terlepas dari tubuhnya). Ini jelas tidak sesuai dengan prinsip Alkitab, jangan percaya akan hal yang aneh ini. Mengenai penjelasan pandangan dikotomi, Anda dapat membaca sendiri buklet Doktrin Manusia dan Dosa yang ditulis oleh Pdt. Thomy J. Matakupan dan Ev. Julio Kristano (Momentum, 2005). Kembali, di dalam theologia Reformed yang mempercayai ketidakbersalahan Alkitab secara konsisten, manusia yang telah diciptakan segambar dan serupa dengan Allah ini telah jatuh ke dalam dosa dan dosa ini mengakibatkan seluruh potensi diri manusia menjadi rusak total (Total Depravity), sehingga tidak ada satu inci diri manusia yang tidak berdosa (Roma 3:23). Dosa inilah mengakibatkan hubungan antara manusia dengan Allah terputus, begitu pula hubungan antara manusia dengan alam, binatang dan sesama manusia juga terputus. Tidak heran, di dalam dunia ini muncul berbagai macam masalah, mulai dari timbulnya penyakit yang aneh, bencana banjir, tanah longsor, tsunami, dll, itu semua akibat dosa. Tetapi tidak berarti setiap penyakit, bencana alam pasti dari dosa. Yang saya maksudkan adalah dosa mengakibatkan penyakit, bencana alam, dll. Dosa ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu dosa asal (original sin) yang diwariskan dari Adam (Roma 5:12-14), lalu ada dosa aktual, yaitu dosa yang kita kerjakan sendiri. Dalam kondisi ini, manusia hanya memiliki satu kecenderungan : tidak bisa tidak berdosa (artinya ingin terus-menerus berdosa).

4. Doktrin Keselamatan (Soteriologi)
Konsep anugerah adalah konsep utama yang telah ditegakkan dari Paulus, Bapa gereja Augustinus, Dr. Martin Luther sampai John Calvin dan mempengaruhi semua theologia Reformasi dan Reformed. Di dalam hal ini, John Calvin, dengan memegang prinsip dari Paulus, menegakkan konsep kedaulatan Allah lah yang dengan lebih tepat mengartikan konsep hanya anugerah (sola gratia) ketimbang Luther. Mengapa ? Karena di dalam theologia Reformed, konsep anugerah langsung dikaitkan dengan kedaulatan Allah, sebaliknya di dalam theologia Reformasi agak kurang menekankan kaitan anugerah Allah dengan kedaulatan Allah, sehingga beberapa gereja Lutheran mulai mengkompromikan theologia mereka dengan theologia Injili yang Arminian. Mengapa menurut saya, theologia Reformed saja yang lebih tepat memahami anugerah Allah ? Karena hanya theologia Reformed mengaitkan konsep kedaulatan Allah dengan anugerah Allah ditambah ketidakmampuan manusia secara total, sehingga manusia pasti membutuhkan-Nya. Konsep anugerah ini jelas mempengaruhi doktrin keselamatan dan kehidupan Kristen sehari-hari. Di dalam doktrin keselamatan, theologia Reformed mempercayai bahwa sebelum dunia dijadikan, Allah telah memilih kita tanpa memandang jasa baik kita, tetapi murni atas kerelaan kehendak-Nya yang berdaulat (Efesus 1:3-6). Lalu, setelah Allah memilih kita untuk menerima keselamatan yang telah direncanakan-Nya, Bapa mengutus Putra untuk menggenapkan karya keselamatan itu dengan mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia, kemudian Roh Kudus diutus untuk menyempurnakan karya keselamatan itu dengan mengefektifkan karya penebusan Kristus ke dalam hati setiap umat pilihan-Nya dengan memberikan iman di dalam Kristus. Hanya theologia Reformed yang konsisten mengajarkan peranan setiap Allah Tritunggal di dalam proses keselamatan. Lalu, Allah yang memulai keselamatan ini akan menjaga umat pilihan-Nya sampai akhir sehingga mereka tidak pernah mungkin dapat meninggalkan Kristus untuk selama-lamanya. Konsep ini jelas konsisten dengan seluruh berita Alkitab (Yohanes 3:16 ; 6:40,44,47 ; 10:27-30 ; Roma 8:33-35). Tetapi herannya konsep ini ditolak mentah-mentah oleh theologia Injili yang cenderung Arminian dan juga theologia Katolik Roma yang mengatakan bahwa ketika orang tersebut murtad, maka keselamatannya bisa hilang. Ini jelas tidak konsisten, mengapa ? Kembali, problematika kekekalan keselamatan berkaitan erat dengan kekekalan diri Allah dan pemeliharaan-Nya. Kalau pandangan Arminian yang mengatakan bahwa keselamatan umat pilihan Allah bisa hilang akibat murtad itu adalah pandangan yang “benar”, maka kaum Arminian secara implisit ingin mengajarkan konsep Deisme (yang mengajarkan bahwa setelah Allah menciptakan dunia ini, maka Ia tidak memelihara dunia ini) dan dengan jelas merendahkan posisi Allah di bawah posisi manusia yang “berotoritas”. Mengapa demikian ? Karena dengan mengatakan bahwa keselamatan umat pilihan Allah bisa hilang, otomatis sedang menghina Allah bahwa Ia tak sanggup lagi berbuat apa-apa terhadap keselamatan umat pilihan-Nya ketika mereka memilih untuk murtad. Ini tentu bukan Allah sejati tetapi “ilah” buatan para theolog Arminian dan Katolik yang tidak lebih dari suatu idealisme utopia yang tidak pernah diajarkan oleh Alkitab, tetapi mirip seperti pandangan L. Feuerbach bahwa “Allah” itu diciptakan menurut gambar dan rupa manusia. Di dalam kehidupan Kristen sehari-hari, konsep anugerah harus menjadi konsep yang tertanam di dalam hati dan pikiran kita, sehingga apapun yang telah Ia berikan kepada kita baik itu kepintaran, kemampuan berbicara, dll, itu murni adalah anugerah Allah, lalu pergunakanlah itu hanya bagi kemuliaan-Nya saja.

5. Doktrin Kristus (Kristologi)
Theologia Reformed mengikuti pandangan dari Rasul Paulus sendiri (Roma 1:3-4), para bapa gereja yang setia, Luther dan John Calvin memegang pernyataan bahwa Kristus itu bernatur 100% Allah dan 100% manusia (dwi natur/dua sifat di dalam satu Pribadi Kristus yang tidak terbagi, terpecah, tercampur). Hal ini telah dirumuskan dalam pengakuan iman gerejawi yang bertanggungjawab, baik Chalcedon, dll. Tetapi yang agak berbeda, theologia Reformed memiliki pandangan lain terhadap pribadi Kristus yang tidak dianut oleh arus theologia Kristen apapun, yaitu Kristus itu sebagai Nabi, Imam dan Raja. Sebagai Nabi (di atas segala nabi), Ia memberitakan firman Allah tentang kerajaan Allah kepada manusia dan kedatangan-Nya membuktikan Kerajaan Allah telah hadir di bumi ini (Kerajaan Allah pada waktu sekarang/yang telah ditegakkan), sebagai Imam (di atas segala imam), Ia mengorbankan diri-Nya sendiri sebagai penebusan dosa bagi umat manusia yang berdosa (Ia berbeda dengan para imam di dalam Perjanjian Lama yang mengorbankan binatang sebagai korban penebus dosa) dan sebagai Raja, Ia memerintah alam semesta ini sebagai Tuhan yang berdaulat dan berkuasa penuh (Matius 28:18) serta Ia akan datang kembali untuk kedua kalinya untuk mendirikan Kerajaan-Nya (Kerajaan Allah yang akan datang).

6. Doktrin Roh Kudus (Pneumatologi)
Roh Kudus BUKAN Kuasa Allah, tetapi Roh Kudus adalah Pribadi Allah sendiri yaitu Oknum/Pribadi Ketiga dari Allah Trinitas. Di dalam ordo/urutan keselamatan, Roh Kudus berfungsi mengefektifkan karya penebusan Kristus ke dalam hati setiap umat pilihan-Nya sehingga mereka bisa percaya di dalam Kristus dan bertobat. Tanpa ada karya Roh Kudus ini, tak mungkin manusia dapat beriman dan mengaku Kristus sebagai Tuhan (1 Korintus 12:3). Menghujat Roh Kudus sama halnya dengan menghujat fungsi dan peranannya, oleh karena itu tindakan ini tidak ada ampun (Matius 12:32). Lalu, theologia Reformed seperti Alkitab juga mempercayai bahwa Roh Kudus diutus untuk, “menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman” (Yohanes 16:8). Kalau ada orang yang berani mengajar tentang Roh Kudus, tetapi terlepas dari (bahkan bertentangan total dengan) prinsip ini, berhati-hatilah terhadap para pengajar itu, karena dapat dipastikan mereka adalah para pengajar palsu meskipun berjubah “Kristen” bahkan “pendeta” atau “pemimpin gereja”.

7. Doktrin Gereja (Ekklesiologi)
Gereja bukanlah gedungnya, tetapi orang-orangnya. Jadi, ketika orang-orang Kristen disebut Bait Roh Kudus/Allah (1 Korintus 3:16), maka gereja yang merupakan kumpulan orang-orang pilihan Allah pun dapat disebut Bait Allah tetapi dengan pengertian theologis. Kalau gereja bukanlah gedungnya, maka kita tidak perlu berlomba-lomba membangun gedung gereja sebagus dan semewah mungkin, tetapi kita tidak perlu jatuh ke dalam ekstrim lainnya, yaitu membiarkan bangunan gereja tidak terawat, berdebu, bau, dll. Kedua hal itu sama-sama salah. Gereja dapat dibagi menjadi dua, yaitu, gereja yang kelihatan (visible church), gereja yang kelihatan dalam bentuk gedung, misalnya, GRII, GKA, GKRI, GKT, GKI, GBI, dll dan kedua, gereja yang tidak kelihatan (invisible church) yang meliputi semua orang Kristen sejati dari berbagai zaman, tempat dan kondisi. Lalu, kalau gereja adalah kumpulan orang-orang pilihan Allah, apakah berarti semua anggota gereja pasti diselamatkan ? Kalau gereja itu dalam pengertian gereja yang tidak kelihatan (orang-orang Kristen sejati), maka pasti diselamatkan, tetapi jika dalam pengertian keanggotaan formal gereja yang kelihatan, maka mereka belum tentu diselamatkan (karena banyak orang yang pergi ke gereja bahkan mengaku diri “melayani tuhan” terbukti bahwa mereka bukan termasuk umat pilihan Allah).
Di dalam doktrin gereja, theologia Reformasi dan Reformed menegaskan bahwa gereja yang sehat adalah gereja yang mengerjakan dua tugas yaitu mengajar doktrin dan melakukan sakramen (dalam hal ini, hanya dua, yaitu Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus saja). Khususnya, di dalam theologia Reformed, mandat gereja dibagi menjadi tiga, yaitu mandat theologis (mengajar doktrin kepada jemaat-jemaat gereja), mandat Injil (memberitakan Injil) dan mandat budaya (anak-anak Tuhan menjadi garam dan terang bagi masyarakat dunia di dalam setiap aspek hidup, baik politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, dll). Di dalam theologia Reformed, gereja-gereja Reformed menjalankan baptisan anak (infant baptism) dengan paradigma dasar bahwa baptisan bukan hal yang menyelamatkan, tetapi respon terhadap anugerah Allah yang mendahului iman seseorang. Prinsip ini konsisten di dalam seluruh Alkitab, di mana di dalam PL, Allah mengadakan perjanjian (covenant) melalui sunat sejak kecil (tanpa perlu mempertanyakan apakah anak kecil itu beriman dahulu atau belum), maka di dalam PB, perjanjian itu berupa baptisan. Selain itu, gereja-gereja Reformed memegang sistem pemerintahan gereja Presbyterial/Presbyterian. Prof. Dr. Louis Berkhof di dalam bukunya Teologi Sistematika : Doktrin Gereja mengungkapkan tentang sistem pemerintahan gereja Reformed ini,
Gereja Reformed tidak mengklaim bahwa sistem mereka mengenai pemerintahan Gereja ditentukan oleh setiap detilnya oleh Firman Tuhan, tetapi gereja Reformed menekankan bahwa prinsip dasarnya diperoleh secara langsung dari Alkitab. Mereka tidak mengklaim adanya jus divinum secara rinci, tetapi hanya untuk prinsip dasar yang umum saja dari sistem ini, dan mereka siap untuk mengakui bahwa banyak hal-hal khusus ditentukan oleh pertimbangan kebijaksanaan manusia...
Berikut ini kita lihat prinsip-prinsipnya yang paling mendasar :
1. Kristus adalah Kepala Gereja dan Sumber dari Segala Otoritas
...Reformed mempertahankan pendapat bahwa Kristus satu-satunya Kepala Gereja...
Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa Kristus adalah Kepala atas segala sesuatu. Ia adala hTuhan dari alam semesta, bukan sekedar sebagai Pribadi kedua dalam Tritunggal, tetapi jjuga dalam keadaan-Nya sebagai Pengantara, Mat 28:18 ; Ef 1:20-22 ; Flp 2:10,11 ; Why 17:14 ; 19:16.Dalam pengertian yang sangat khusus, Ia adalah Kepala Gereja di mana Gereja adalah tubuh-Nya...Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Kristus adalah Kepala Gereja, bukan saja dalam hubungannya yang vital dengan Gereja, tetapi juga sebagai Legislator dan Raja. Dalam pengertian organik dan vital, Ia adalah Kepala yang utama, walaupun tidak secara eksklusif, dari Gereja yang tidak nampak yang membentuk tubuh-Nya secara spiritual. Ia juga kepala bagi Gereja yang nampak bukan hanya dalam pengertian organik saja, tetapi juga dalam pengertian bahwa Ia adalah pemegang otoritas dan memerintah atasnya, Mat 16:18,19 ; 23:8,10 ; Yoh 13:13 ; 1 Kor 12:5 ; Ef 1:20-23 ; 4:4,5,11,12 ; 5:23,24...
2. Kristus Melaksanakan Otoritas-Nya dengan Memakai Firman Kerajaan-Nya.
Pemerintahan Kristus tidaklah persis sama dengan pemerintahan raja-raja dunia. Ia tidak memerintah Gereja dengan paksaan, tetapi secara subjektif melalui Roh-Nya yang bekerja dalam Gereja dan secara objektif melalui Firman Tuhan sebagai standar otoritas... Karena Kristus adalah satu-satunya Penguasa Gereja yang berdaulat, maka firman-Nya adalah satu-satunya hukum dalam arti yang paling mutlak. Karena itu semua kekuasaan tiranis tidak boleh ada dalam Gereja...
3. Kristus sebagai Raja Melimpahkan Kekuasaan kepada Gereja.
...sebagai tambahan para pejabat Gereja menerima suatu kuasa yang diperlukan oleh mereka untuk melaksanakan tugas mereka dalam Gereja milik Kristus. Mereka memiliki kuasa yang umum yang dilimpahkan kepada Gereja, dan juga menerima otoritas dan kuasa sebagai pejabat langsung dari Kristus. Mereka adalah wakil, bukan sekedar sebagai pelaksana atau delegasi dari jemaat...
4. Kristus Memperlengkapi para Pelaksana yang Ditunjuk untuk Melaksanakan Hal-hal Khusus.
Kendatipun Kristus memberikan kuasa kepada Gereja secara keseluruhan, Ia juga menghendaki agar pelaksanannya dilakukan oleh orang-orang tertentu secra khusus. Mereka harus memelihara doktrin, ibadah dan disiplin. Para pejabat Gereja adalah wakil bagi umat yang dipilih berdasarkan pemungutan suara. Tetapi, bukan berarti bahwa mereka menerima otoritas dari umat. Sebab panggilan ini adalah panggilan batiniah yang diberikan oleh Tuhan sendiri. Dari Tuhan juga para pejabat itu menerima otoritas, dan kepada-Nya mereka harus bertanggungjawab...
5. Kekuatan Gereja Terutama Terletak pada Pemerintahan dalam Gereja Lokal.
... (Berkhof, 1997, pp. 57-63)

8. Doktrin Akhir Zaman (Eskatologi)
Terakhir, theologia Reformed memegang konsep Amillenialisme di dalam doktrin Akhir Zamannya. Di mana, pernyataan “Kerajaan 1000 Tahun” bukan dimengerti secara harafiah, tetapi simbolis. Oleh karena itu, theologia Reformed sangat berhati-hati dalam menafsirkan Kitab Wahyu, karena kitab ini berisikan simbol-simbol yang ditulis oleh Rasul Yohanes untuk dikirimkan kepada jemaat-jemaat Kristen yang mengalami penganiayaan. Di dalam Doktrin Akhir Zaman, Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. membagi dua konsep kerajaan Allah dan Eskatologi yaitu Kerajaan Allah dan Eskatologi yang telah ditegakkan dan Kerajaan Allah dan Eskatologi yang akan datang. Inilah paradoksikal di dalam iman Kristen yang sungguh iman. Kerajaan Allah yang telah ditegakkan adalah Kerajaan Allah yang hadir ketika Kristus berinkarnasi ke dalam dunia sampai Ia mati dan bangkit yang membuktikan kemenangan-Nya atas kuasa dosa, iblis dan maut, lalu Kerajaan Allah ini terus berlangsung sampai akhir (Kerajaan Allah yang akan datang), di mana anak-anak-Nya akan menikmati berkat yang telah dijanjikan-Nya yaitu tidak ada air mata, tidak ada penyakit, dll. Konsep paradoks ini berimplikasi di dalam kehidupan Kristen yaitu mendorong kita untuk tidak terlena dalam menikmati berkat-berkat pemeliharaan Allah yang telah diberikan-Nya pada zaman sekarang, lalu mendorong kita juga untuk giat bagi pekerjaan Allah meskipun harus menderita aniaya, karena kita memiliki pengharapan yang pasti bahwa Allah pasti mengalahkan iblis dan dunia yang jahat ini.

Sebelum kita masuk ke dalam prinsip penafsiran Alkitab, kita perlu mengetahui cara mengintegrasikan prinsip-prinsip theologia sistematika dengan menafsirkan Alkitab ?
1. mempelajari theologia sistematika secara teliti sebagai dasar.
Dasar untuk mempelajari sekaligus menyelidiki Alkitab adalah mempelajari theologia sistematika yaitu sebuah sistematika (susunan) doktrin/ajaran atau theologia atau iman Kristen (merupakan anugerah Allah), misalnya doktrin Allah, Kristus, Roh Kudus, dll (sudah dijelaskan pada poin pertama di atas). Dasar ini harus dipakai untuk menyelidiki Alkitab. Kalau dasar ini sudah kacau dan tidak dibangun dengan pengertian iman yang beres, maka secara otomatis cara menafsirkan dan menyelidiki Alkitab pun akan semakin kacau (hal ini sudah dibahas pada Bab 2 dan 3).

2. theologia sistematika sebagai “kacamata” dan alat untuk mengadakan penyelidikan Alkitab (mengerti theologia Biblika).
Setelah kita mengetahui theologia sistematika sebagai dasar yang beres, kita harus memakai dasar ini untuk menyelidiki Alkitab. Misalnya, di dalam theologia Reformed/Calvinis, kita mempercayai adanya kedaulatan Allah, di mana Allah yang Berdaulat tidak mungkin dibatasi oleh waktu, berubah-ubah, dll (berbeda dengan doktrin Allah yang diajarkan oleh “theologia” Arminian/anti-Calvinis), maka prinsip ini akan menentukan bagaimana seorang penganut theologia Reformed menafsirkan Alkitab (lihat Bab 2). Kalau kita tidak menggunakan theologia sistematika sebagai dasar dan “kacamata” ini, si penafsir Alkitab akan kebingungan dalam menyelidiki dan menafsirkan Alkitab, lalu kalau sudah bingung dan kacau, mereka akan sembarangan menafsirkan Alkitab menurut kehendaknya sendiri. Inilah yang kerapkali gemar dilakukan oleh banyak “hamba Tuhan” dari mayoritas gereja-gereja Karismatik/Pentakosta yang tidak pernah menempuh pendidikan theologia yang beres, langsung naik mimbar dan berkhotbah (atau sekolah theologia di mana dosen-dosennya pun tidak pernah sekolah theologia ð Pdt. Budi Asali menyebutnya, “orang buta menuntun orang buta”). Hal ini juga terjadi pada beberapa “hamba Tuhan” penganut “theologia” liberal/religionum (pluralisme agama) dari banyak gereja-gereja Protestan mainline (seperti GKI, GKJW, GPIB, HKBP, dll) yang notabene sudah menempuh pendidikan theologia, tetapi sayangnya hati dan imannya tidak sungguh-sungguh mempercayai ketidakbersalahan Alkitab (belajar theologia seharusnya meliputi dua hal, hati yang taat dan pikiran yang disucikan).

Kedua, setelah mengerti cara pengintegrasian theologia sistematika dengan theologia Biblika, kita akan melanjutkan dengan prinsip penafsiran Alkitab yang bertanggungjawab sesuai prinsip-prinsip theologia sistematika di atas.

Berikut adalah prinsip-prinsip dalam penafsiran Alkitab yang bertanggungjawab.
1. Memperhatikan Konteks yang Ada
Kalau kita membaca buku apapun hendaklah kita memperhatikan konteks penulisan buku itu supaya kita tidak sembarangan menafsirkan maksud penulis yang sebenarnya. Apalagi ketika kita mulai membaca dan menafsirkan Alkitab, prinsip pertama yang tidak boleh dilupakan adalah memperhatikan konteks yang ada. Setiap ayat dan pasal di dalam suatu kitab di dalam Alkitab memiliki banyak konteks. Misalnya, ketika di dalam Ibrani 4:12, penulis Ibrani mengajarkan, “Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.”, jangan langsung gegabah menafsirkan bahwa penulis Ibrani mengajarkan tentang pemisahan antara jiwa dan roh. Konteks penulisan ayat ini adalah tentang begitu dahsyatnya kuasa Firman Allah sehingga mampu menembusi kedalaman manusia. Pdt. Thomy J. Matakupan dan Ev. Julio Kristano di dalam buklet Doktrin Manusia dan Dosa (2005) memaparkan, “Penulis Surat Ibrani di dalam bagian ini sebenarnya lebih menekankan daya dan kuasa firman yang menembus jauh ke dalam sehingga manusia tidak dapat bersembunyi.” (p. 7)

2. Memperhatikan Latar Belakang Penulisan Kitab
Setelah kita memperhatikan konteks yang ada, selanjutnya kita harus juga memperhatikan latar belakang penulisan masing-masing kitab di dalam Alkitab, karena setiap kitab ditulis oleh para penulis dengan latar belakang tertentu, misalnya di dalam penganiayaan, dll. Saya akan memberikan dua contoh. Contoh pertama, Roma 10:9 berkata, “Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.” Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa ayat ini dengan mudah dicomot oleh banyak penginjil untuk dijadikan dasar dalam memberitakan Injil, lalu berkata, “Ayo coba katakan Yesus, Yesus, maka kamu akan diselamatkan.” Ini adalah penafsiran Alkitab yang dipaksakan. Benarkah arti ayat ini ? Lalu, apakah Paulus bertentangan dengan Tuhan Yesus di dalam Matius 7:21 mengajarkan, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” ? Ini akibatnya menafsirkan Alkitab tanpa melihat latar belakang. Surat Roma ditulis oleh Rasul Paulus untuk dikirimkan kepada jemaat-jemaat Kristen di Roma yang mengalami penganiayaan dan penderitaan, di mana pada waktu itu mereka diancam jika mereka menyembah Allah di luar Kaisar yang dianggap sebagai “Allah”, mereka akan dibunuh. Oleh karena itu, mengapa di dalam ayat 9 di dalam Roma 10 ini, Paulus mengatakan bahwa jika mereka mengaku dengan mulut mereka bahwa Yesus adalah Tuhan dan percaya dalam hati mereka, mereka akan diselamatkan, karena dengan menyebut Yesus sebagai Tuhan, mereka pasti menerima resiko hukuman mati dari Kerajaan Romawi.
Kedua, Rasul Paulus berkata di dalam Galatia 1:6-7, “Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu injil lain, yang sebenarnya bukan Injil. Hanya ada orang yang mengacaukan kamu dan yang bermaksud untuk memutarbalikkan Injil Kristus.” Lalu, muncul pertanyaan “injil lain” apakah yang Paulus maksudkan ? Kalau kita memperhatikan latar belakangnya, maka kita akan mengerti mengapa Paulus menulis kedua ayat tersebut. Dari buku Handbook the Bible, kita dapat mengerti latar belakang ini,
“...Tidak lama setelah kunjungan pertama Rasul Paulus, guru-guru Yahudi yang lainnya tiba di Galatia. Rasul Paulus mengajarkan bahwa untuk dapat menerima pengampunan Allah dan karunia hidup baru diperlukan pertobatan dan iman. Tetapi guru-guru itu bersikeras mengharuskan orang bukan Yahudi yang telah bertobat agar disunat juga dan menaati hukum Yahudi — dengan kata lain harus menjadi orang Yahudi — untuk dapat diselamatkan...” (“Handbook to the Bible,” 2002)
Dengan kata lain, “injil lain” ini adalah “injil” palsu yang diberitakan oleh guru-guru Yahudi dengan Yudaismenya.

3. Memperbandingkan Berbagai Terjemahan Alkitab (Khususnya dengan bahasa Ibrani dan Yunani)
Setelah mempertimbangkan konteks dan latar belakang, sekarang kita akan mencoba masuk ke dalam tahap ketiga yaitu memperbandingkan berbagai terjemahan Alkitab (dari berbagai bahasa, entah itu Indonesia, Mandarin, Jawa, Madura, Batak, Inggris, Latin, dll). Mengapa ini perlu dilakukan ? Karena kita mempercayai ketidakbersalahan Alkitab hanya di dalam naskah asli/autographanya, sehingga terjemahan-terjemahan yang disalin dari Alkitab mengandung beberapa kelemahan arti (meskipun tidak 100% mempengaruhi isi Alkitab). Kita sebagai orang Kristen harus tetap percaya bahwa terjemahan-terjemahan Alkitab dijaga oleh Tuhan sehingga tidak menyimpang dari arti aslinya, tetapi karena keterbatasan terjemahan, kita tetap perlu memperbandingkan berbagai terjemahan Alkitab untuk mendapatkan makna aslinya yang lebih jelas, khususnya memperbandingkan langsung dengan terjemahan asli Alkitab dalam bahasa Ibrani (PL) maupun bahasa Yunani (PB). Misalnya, Paulus di dalam Roma 1:16 berkata, “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.” (TB), di dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), “Saya percaya sekali akan Kabar Baik itu, karena kabar itu adalah kekuatan Allah untuk menyelamatkan semua orang yang percaya; pertama-tama orang Yahudi, dan bangsa lain juga.” dan Alkitab terjemahan King James Version (KJV) mengartikannya, “For I am not ashamed of the gospel of Christ: for it is the power of God unto salvation to every one that believeth; to the Jew first, and also to the Greek.” Terjemahan Baru dan BIS dalam hal ini kurang jelas mengartikan maksud dari “mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil”, sedangkan KJV lebih tepat menerjemahkannya, “For I am not ashamed of the gospel of Christ:...” (=Sebab aku tidak malu akan Injil Kristus). Kata “ashamed” lebih sesuai dengan kata dalam bahasa Yunaninya epaischunomai yang berarti to feel shame for something (merasa malu akan sesuatu). Dari perbedaan kata ini, kita dapat menemukan makna yang mendalam yaitu Paulus yang berkeyakinan kokoh ini benar-benar tidak malu akan Injil Kristus, meskipun harus mengalami penganiayaan sekalipun, karena hal ini senada dengan ungkapan Paulus sendiri di dalam suratnya yang kedua kepada Timotius pasal 1 ayat 12, “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.”
Contoh kedua, di dalam Roma 3:23, Paulus berkata, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah,” (TB) Alkitab BIS menerjemahkannya, “Semua orang sudah berdosa dan jauh dari Allah yang hendak menyelamatkan mereka.” dan Alkitab KJV menerjemahkannya, “For all have sinned, and come short of the glory of God;” Kata “kehilangan kemuliaan Allah” di dalam Terjemahan Baru (TB) dapat mengakibatkan tafsiran yang aneh yaitu kemuliaan Allah benar-benar hilang dalam diri manusia, ini adalah pandangan dari theologia Lutheran yang mengajarkan bahwa peta teladan Allah sudah hilang ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Padahal arti sebenarnya, bukan “kehilangan kemuliaan Allah” tetapi “jauh dari Allah” (BIS) atau “come short of the glory of God” (KJV) yang berasal dari bahasa Yunaninya hustereō yang berarti fall short (=tidak mencukupi), fall, lack (=kekurangan), dll. Dalam hal ini, theologia Reformed yang ditegakkan oleh John Calvin tepat sekali mengartikan bahwa ketika manusia jatuh ke dalam dosa, peta teladan Allah tidak hilang, tetapi hanya rusak total atau mengurangi kemuliaan Allah. Di sini, theologia Reformed menunjukkan ketelitiannya di dalam menafsirkan Alkitab.

4. Memperhatikan Bentuk Sastra/Genre yang Digunakan
Kemudian, setelah membandingkan berbagai terjemahan Alkitab, kita juga harus memperhatikan bentuk sastra atau genre yang dipakai di dalam setiap kitab di dalam Alkitab. Setiap kitab di dalam Alkitab memiliki keunikan tersendiri, di mana ada yang berisi nyanyian (seperti Mazmur), puisi (Amsal), cerita, surat pastoral (Roma, Galatia, Efesus, dll), simbol-simbol (Wahyu), dll. Masing-masing bentuk ini harus diperlakukan dengan tepat, sehingga tidak terjadi kebingungan. Jika kita menafsirkan kitab Wahyu, janganlah menggunakan pendekatan yang harafiah/literal (seperti para penganut Premillenialisme/Dispensasionalisme). Itu akan berakibat fatal dan kita akan salah langkah untuk nantinya mengerti simbol-simbol seperti kuda merah (Wahyu 6:4), dll yang adalah suatu kebahayaan jika kita menafsirkan hal ini benar-benar kuda berwarna merah. Misalnya, kalau kita menggunakan penafsiran literal untuk menafsirkan kitab Wahyu khususnya dalam menafsirkan tentang angka 666 di dalam Wahyu 13:18, maka pengajaran yang dihasilkan adalah langsung mewaspadai setiap angka 666 baik di dalam plat nomor kendaraan, label harga, dll dan mencap itu adalah antikristus. Angka 666 adalah bilangan manusia, jadi, angka ini dapat menunjuk kepada pribadi tertentu. Kalau di dalam konteks penulisan Rasul Yohanes ini, maka angka 666 menunjuk kepada “Kerajaan Romawi dan penyembahan Kaisar” (“Handbook to the Bible,” 2002) Yang jelas, angka 666 ini menunjuk kepada antikristus. Pdt. Thomy J. Matakupan pernah menafsirkan ayat ini sebagai berikut : angka 6 menunjuk kepada manusia (karena manusia diciptakan oleh Allah pada hari keenam) dan angka 6 ini disebutkan tiga kali yang menunjukkan Allah (Allah Trinitas), maka angka ini berarti manusia yang ingin menjadi seperti Allah, atau lebih tepatnya Antikristus yang menggantikan posisi Kristus sebagai Allah. Apakah ini menunjuk kepada suatu pribadi tertentu, misalnya, Paus, dll ? Alkitab tidak membicarakannya, karena Yohanes menulis kitab Wahyu bukan hanya untuk orang-orang di zaman sekarang, tetapi dikhususkan untuk orang-orang Kristen pada waktu itu.

5. Memperhatikan Kaitan Antara Satu Kitab Dengan Kitab-kitab Lain
Setelah itu, kita juga memperhatikan kaitan erat antara satu kitab dengan kitab lainnya. Mengapa ? Karena kita percaya bahwa Alkitab itu tidak mungkin bertentangan satu dengan yang lainnya dan Alkitab itu menafsirkan dirinya sendiri. Kedua konsep ini mengarahkan kita untuk mencoba membandingkan satu kitab yang diselidiki dengan kitab lainnya. Misalnya, ketika di dalam Yakobus 2:14-26, ditemukan kata intinya yaitu “iman”, maka kita dapat membandingkan pengertian kata ini dengan kitab-kitab yang ditulis oleh rasul lainnya, misalnya Paulus (Efesus 2:8-10), Petrus (1 Petrus 5:9 ; 2 Petrus 1:1), penulis Ibrani (Ibrani 11:1), dll, lalu dengan kitab-kitab PL (Kejadian 12 dan 17) dan diintegrasikan dengan seluruh kitab di dalam Alkitab. Kalau kita ingin mengerti konsep Injil ketika kita menyelidiki surat Roma, maka kita harus memperbandingkan pengertian Injil di dalam Roma dengan surat-surat Paulus lainnya, misalnya Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, dll, lalu dikaitkan dengan surat-surat pastoral dari Petrus (1 dan 2 Petrus), Rasul Yohanes, dll, ditambahkan tipologi Injil di dalam PL. Jadi, di dalam menyelidiki dan memperbandingkan dengan kitab-kitab lain di dalam Alkitab, pertama-tama kita harus memperbandingkannya dengan kitab yang ditulis oleh penulis yang sama (misalnya ketika kita menyelidiki Surat Roma, kita dapat memperbandingkannya dengan Surat Galatia, Efesus, Filipi, dll), kemudian juga memperbandingkan dengan surat-surat yang ditulis oleh penulis yang berbeda (misalnya, 1 dan 2 Petrus, surat 1, 2, dan 3 Yohanes, Kitab Wahyu, dll), ditambah juga memperbandingkannya dengan kitab-kitab di dalam Perjanjian Lama dan akhirnya kita dapat mengintegrasikan semuanya dalam pengertian yang lebih dalam dan jelas. Apakah ini untuk keperluan akademis ? Tidak. Ini sangat penting agar kita dapat mengerti Alkitab bukan secara parsial/sebagian, tetapi menyeluruh/holistic, dan kita nantinya dapat mengaplikasikan ke dalam kehidupan Kristen kita sehari-hari.

6. Memperhatikan Tafsiran-tafsiran Alkitab yang Ada
Keenam, kita juga memperhatikan tafsiran-tafsiran Alkitab yang telah ditulis oleh para penafsir Alkitab yang bertanggungjawab. Hal ini diletakkan pada prinsip keenam, karena ini hanya sebagai pembanding dan juga penambah pengetahuan bagi kita saja. Apakah ini mutlak perlu ? Tidak, tetapi tetap perlu untuk dibaca dan diperbandingkan. Kita tidak boleh mengambil dua sikap ekstrim, yaitu, pertama, menolak semua tafsiran Alkitab yang pernah ditulis baik oleh para bapa gereja, theolog dan para penafsir Alkitab, karena kita percaya bahwa Roh Kudus lah yang menafsirkan Alkitab. Di sisi lain, kita juga tidak boleh terus-menerus mempercayai 100% terhadap buku-buku tafsiran Alkitab yang ada meskipun ditulis oleh para theolog dan penafsir Alkitab tersohor, lalu kita kelihatan akademis karena suka mengutip pendapat orang lain. Buku-buku tafsiran Alkitab itu baik, tetapi tidak boleh menggantikan posisi Alkitab sebagai wahyu Allah yang tidak bersalah. Saya akan memberikan contoh, Paulus di dalam Roma 1:17 berkata, “Orang benar akan hidup oleh iman.” Kalau sepintas kita membaca pernyataan ini, kita dapat menafsirkan bahwa orang benar yang hidup akan hidup oleh imannya, tetapi benarkah tafsiran demikian ? Albert Barnes dalam Albert Barnes’ Notes on the Bible mengungkapkan, “The Syriac renders it in a similar manner, “The just by faith shall live.”” Artinya, orang benar melalui iman baru dikatakan hidup. Kalau kita kurang memperhatikan beberapa tafsiran Alkitab seperti ini, kita akan kehilangan makna ini.

7. Mengaplikasikan ke dalam Kehidupan Kristen Sehari-hari
Terakhir, penafsiran Alkitab bukan hanya untuk kepentingan akademis di seminari theologia, tetapi juga untuk diaplikasikan. Percuma saja kita mahir di dalam menafsirkan Alkitab sampai menyelidiki bahasa asli Alkitab, tetapi di dalam tafsiran itu kita lupa untuk mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah kelemahan dari banyak buku tafsiran Alkitab yang ditulis hanya untuk menambah pengetahuan theologis, penemuan ilmiah, sastra, dll tanpa mengaplikasikannya ke dalam kehidupan Kristen sehari-hari. Hermeneutika tanpa implikasi adalah suatu kesia-siaan, karena ketika kita menafsirkan Alkitab, kita ingin terus-menerus belajar tentang firman dan kebenaran-Nya yang terus-menerus mengoreksi dan menuntun jalan hidup kita.
Setelah kita mempelajari cara dan prinsip penafsiran Alkitab, marilah kita bukan hanya menambah pengetahuan saja, tetapi setiap anak Tuhan diharapkan dapat mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari agar nama Tuhan dipermuliakan selama-lamanya. Soli Deo Gloria. Solus Christus.

Bab 3 : Problematika Penafsiran Alkitab di Kalangan KeKristenan

Bab 3
Problematika Penafsiran Alkitab di Kalangan KeKristenan




Setelah kita melihat prinsip-prinsip umum di dalam penafsiran Alkitab, marilah kita mencoba mempelajari banyak problematika yang terjadi berkenaan dengan penafsiran Alkitab di kalangan keKristenan abad postmodern yang dipengaruhi oleh theologia sistematika yang salah.
Problematika utama yang terjadi di dalam penafsiran Alkitab di kalangan keKristenan yang terjadi pada abad postmodern ini adalah pengaruh humanisme yang meninggikan potensi diri manusia dan merendahkan kedaulatan Allah. Pengaruh ini mulai muncul di dalam zaman Renaissance sampai abad postmodern ini meskipun dengan cara yang sedikit berbeda, tetapi memiliki esensi yang sama yaitu humanisme. Pada Abad Pertengahan (Medieval), di mana ilmu pengetahuan mendapat prioritas, maka seluruh ilmu pengetahuan berkiblat ke arah Yunani, mengikuti pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa bumi adalah pusat alam semesta (Geosentris). Yang paling celaka, pada saat itu, gereja hanyut ke dalam filsafatnya Aristoteles. Tidak heran, ketika pertama kali, Nicolaus Copernicus mengemukakan bahwa matahari lah yang menjadi pusat alam semesta (Heliosentris), maka gereja Katolik marah dan menghukumnya, karena gereja Katolik mengikuti pandangan Aristoteles ditambah argumentasi yang dicomot dari Yoshua 10:12a-13b, “Lalu Yosua berbicara kepada TUHAN pada hari TUHAN menyerahkan orang Amori itu kepada orang Israel; ia berkata di hadapan orang Israel: "Matahari, berhentilah di atas Gibeon dan engkau, bulan, di atas lembah Ayalon!" Maka berhentilah matahari dan bulanpun tidak bergerak, sampai bangsa itu membalaskan dendamnya kepada musuhnya. Bukankah hal itu telah tertulis dalam Kitab Orang Jujur? Matahari tidak bergerak di tengah langit dan lambat-lambat terbenam kira-kira sehari penuh.” Apakah Geosentris itu benar atau Heliosentris ? Dengan bijaksana, Ir. Stanley I. Sethiadi di dalam artikelnya : “TEORI GEOSENTRIS VERSUS TEORI HELIOSENTRIS” di
http://www.sahabatsurgawi.net mengungkapkan,
Sesungguhnya kalau teori Geosentris dianggap salah, maka teori Helio sentris juga sama salahnya. Tidak ada alasan apapun untuk menganggap bahwa bumi atau matahari adalah pusat alam semesta. Untuk menggam barkan gerakan bulan atau satelit buatan terhadap bumi, paling logis ialah menganggap bahwa bumi diam dan bulan yang menge lilingi bumi. Untuk menggambarkan gerakan planet-planet, paing logis menganggap bahwa matahari diam dan planet-planet berputar mengelilingi matahari. Tetapi untuk menggambarkan gerakan bintang- bintang dalam galaxy Bima Sakti sangat tidak logis untuk mengambil matahari sebagai pusat Bima Sakti. Lebih logis menganggap bahwa ditengah-tengah Bima Sakti ada sumbu imaginair. Semua bintang-bintang dalam gugusan Bima Sakti berputar mengelilingi sumbu imaginair ini. Tetapi untuk menggamparkan gerakan galaxy-galaxy dalam cluster of galaxies, tidak logis mengambil sumbu imaginair ini. Mungkin haru diambil sumbu imaginair lain yang lebih besar. Dan sebagainya dan sebagainya.
Jadi sesungguhnya Copernicus tidak lebih benar dari Yoshua. Untuk menggambarkan gerakan matahari dan bulan terhadap orang-orang yang sedang bertempur waktu itu, Yoshua sangat logis menganggap bahwa matahari dan bulan yang bergerak dan bumi yang diam.


Ilmu pengetahuan bisa berubah dan relatif sifatnya, tetapi hanya satu yang tak mungkin berubah, itulah firman Allah. Kesalahan fatal penafsiran terhadap Yoshua 10:12a-13b adalah hanya mengambil sedikit ayat untuk mendukung ide filsafat Aristoteles yang memegang Geosentris yang dianut oleh gereja-gereja Katolik Roma. Dari sini, mulai muncul penyelewengan penafsiran Alkitab, yang nantinya berimbas pada doktrin/ajaran gereja Katolik Roma yang akhirnya didobrak oleh Dr. Martin Luther dengan 95 dalilnya yang ditempel di depan pintu gereja Wittenberg. Oleh karena itu, problematika penafsiran Alkitab sangat erat kaitannya dengan pengaruh theologia sistematika atau paradigma dasar. Mari kita akan menelusuri beberapa paradigma dasar atau theologia sistematika yang tidak bertanggungjawab yang mempengaruhi penafsiran Alkitab.

Pertama, Doktrin Alkitab (Bibliologi). Berikut ini saya akan menyajikan salah satu contoh problematika penafsiran Alkitab yang tidak bertanggungjawab yang diambil dari http://www.ekaristi.net :
Tanya : Alkitab adalah satu-satunya sumber autoritas Firman Allah
Jawab : Rom 10:17: Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.
Iman kita biasanya tidak dimulai ketika kita membaca Alkitab. Iman biasanya lahir dan berkembang melalui apa yang kita dengar dari orang lain (orang tua kita, keluarga, teman, dll). Penyebaran iman melalui oral adalah yang dimaksudkan pada ayat ini. Alkitab mengatakan pada kita bahwa iman kita datang dari pendengaran terhadap Firman Allah. Alkitab dibaca dan digunakan untuk mengajar, tapi Alkitab bukanlah satu-satunya sumber wahyu Allah.
Komentar saya :
Bukankah Alkitab yang dikutip di sini jelas mengajarkan bahwa iman timbul dari pendengaran dan pendengaran oleh firman Kristus ? Ayat 17 di dalam Roma 10 ini sudah amat jelas, tetapi dasarnya para theolog Katolik Roma menyangkali finalitas firman Kristus dan iman yang beres di dalam Allah, maka mereka berusaha memelintir ayat 17 yang sangat begitu jelas dengan argumentasi-argumentasi “akademis” mereka yang pada akhirnya mengarahkan pembaca untuk menolak finalitas Alkitab (perhatikan pernyataan, “Alkitab bukanlah satu-satunya sumber wahyu Allah.”) Benarkah iman tidak dimulai dari membaca Alkitab ataukah iman lahir dan berkembang melalui apa yang kita dengar dari orang lain ? Di dalam theologia Reformed, manusia telah ditanamkan suatu benih agama di mana setiap manusia mau tidak mau pasti memiliki iman di dalam konsep Allah (belum tentu menyembah Allah yang sejati). Iman ini yang Pdt. Dr. Stephen Tong sebut sebagai iman natural/alamiah. Jadi, tidaklah benar bahwa iman itu timbul dan berkembang dari luar diri kita, karena jika iman timbul dan berkembang dari luar diri kita, maka ketika orang lain yang kita sandari tersebut mati, maka iman kita juga akan beralih kepada orang lain lagi. Itu namanya self-centered faith yang sama sekali ditolak oleh Alkitab. Iman di dalam Roma 10:17 adalah iman di dalam Kristus yang merupakan anugerah Allah hanya kepada umat pilihan-Nya. Iman ini merupakan suatu tindakan Roh Kudus yang mengaktifkan karya penebusan Kristus ke dalam hati umat pilihan-Nya yang belum menerima Kristus. Yang paling aneh, si “apologet” Katolik yang tidak mengakui Alkitab sebagai sumber otoritas ini malahan mengutip bukti ketidakpercayaannya dari Alkitab (yang tidak dipercayainya). Sungguh, suatu kontradiksi yang aneh.

Kedua, Doktrin Allah. Tentang Doktrin Allah, saya akan mengutip kekonyolan pernyataan doktrinal dari Jusufroni yang mengajar tentang Allah Trinitas.
“Keimanan agama Kristen berakar-bertumbuh dan berkembang dari agama Yahudi, dimana memiliki keyakinan monoteisme yang ketat, suatu kewajiban umat PL mengucapkan syahadat (pengakuan iman)-nya; SHEMA' YIS'RA'EL ADONAI ELOHEINÛ ADONAI EKHAD (Dengarkanlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa!)─Ulangan 6:4.”
“Mat. 4:10b; Mark. 12:29; Yoh. 17:3; Yoh. 5:44; I Kor. 8:4b dan banyak lagi ayat-ayat yang lain menunjukkan keesaan Allah dalam PL dan PB.” (http://
www.besorahonline.com)
Komentar saya :
1. Tafsiran terhadap Ulangan 6:4 yang tidak bertanggungjawab.
Benarkah Allah yang dipercaya oleh orang Yahudi adalah Allah yang hanya satu pribadi (monotheisme) ? Kata “dxa ‘echad” tidak hanya berarti satu (one) tetapi bisa juga berarti united (dipersatukan). Mengapa “Abuna” Jusufroni begitu yakin bahwa Allah orang Yahudi adalah Allah yang hanya berpribadi satu ? Perlu diketahui Kitab Ulangan ditulis oleh Nabi Musa untuk mengingatkan kembali bangsa Israel agar mereka tidak berbalik kepada ilah-ilah palsu, sehingga Musa menegaskan pernyataan bahwa Allah bangsa Israel itu hanya satu (dalam arti, tidak ada dewa dewi lainnya yang boleh disembah sebagai “Allah”). Kalau ayat ini ditafsirkan bahwa mutlak hanya satu pribadi Allah, itu jelas salah tafsiran. “Pendeta” yang dengan sombongnya mengaku bergelar Doktor ini masih tidak mengerti bagaimana menafsirkan Alkitab dengan baik ! Semua ayat-ayat Perjanjian Lama yang dipakai oleh “Abuna” Jusufroni misalnya, Keluaran 20:3, 4, 5a ; Yesaya 44:6b ; 45:5a, 6b ; 46:9c tidak sedang mengajarkan bahwa Allah itu hanya satu pribadi, tetapi merupakan peringatan-peringatan dari nabi-nabi Tuhan untuk menegaskan ulang bahwa tidak ada dewa-dewi lain yang boleh disembah sebagai “Allah” kepada bangsa Israel, sehingga mereka (para nabi Tuhan) dengan gigih memperjuangkan bahwa Allah itu satu-satunya yang layak disembah. Perhatikan Kitab Kejadian 1:1-3, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong ; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah : “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi.” Kata “Allah” yang digunakan dalam Kejadian 1:1 dalam bahasa Ibraninya, “Myhla” (‘elohiym) yang berbentuk/berintensif plural (plural intensive) dengan pengertian tunggal. Kemudian, kata “Roh Allah” menggunakan bahasa Ibrani, “xwr ” (ruwach) yang berarti Spirit of God, the third person of the triune God, the Holy Spirit, coequal, coeternal with the Father and the Son (Roh Allah, pribadi ketiga dari Allah Trinitas, Roh Kudus, sama kedudukan dan sama kekalnya dengan Bapa dan Anak). Kemudian, di dalam Kejadian 1:26, firman Tuhan berkata, “Berfirmanlah Allah : “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, ...” Bagaimana “Abuna” Jusufroni menafsirkan kata “Kita” dalam Kejadian 1:26 ? Jelas, kata “Kita” bukanlah sesuatu yang tunggal/singular, tetapi bentuk jamak/plural. Lalu, siapakah “Kita” yang dimaksud ? Apakah berarti Allah menciptakan manusia bekerja sama dengan para malaikat ? TIDAK. Allah tak pernah menciptakan kita sesuai dengan gambar dan rupa Allah (dan malaikat) {Kejadian 1:27}, lalu siapakah “Kita” yang dimaksud ? Jelas, Allah yang memiliki tiga Pribadi dalam satu Esensi, yaitu Allah Bapa dan Allah Putra dan Allah Roh Kudus. Dan perlu diperhatikan semua ayat-ayat dalam Perjanjian Lama yang Jusufroni kutip selalu menggunakan kata dalam bentuk plural yang bermakna tunggal yaitu “Myhla” (‘elohiym).

2. Kutipan ayat-ayat dalam Perjanjian Baru yang tidak memperhatikan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.
Injil Yohanes 17 jangan hanya dimengerti dalam ayat 3 saja, tetapi dalam seluruh perikop. Di ayat 21, Tuhan Yesus menyatakan bahwa Bapa di dalam Dia dan Dia di dalam Bapa (adanya kesatuan antara Allah Bapa dan Allah Anak). Lagi, 1 Korintus 8 ada dalam konteks di mana orang-orang Kristen di Korintus sedang meributkan masalah makan daging persembahan berhala. Nah, pada ayat 4b-5, Paulus memberikan jawaban bahwa mereka tidak perlu takut karena Allah itu lebih besar dari berhala-berhala dunia (tidak ada berhala di dunia), dan Allah itu Allah yang Esa. Tetapi jangan dipotong, karena ayat 6, menjelaskan bahwa Bapa itu Allah, Anak Allah yaitu Tuhan Yesus juga adalah Tuhan (Yunani : κύριος kurios ; Indonesia : Tuhan/Tuan/pemilik). Tuhan Yesus bernatur 100% Allah dan 100% manusia, sehingga Ia bisa berinkarnasi menjadi manusia tanpa menghilangkan natur Ilahinya (dwi natur Kristus). Kalau di zaman Perjanjian Lama, para nabi Tuhan ketika disuruh oleh Tuhan menyampaikan berita firman kepada bangsa Israel, mereka selalu berseru, “Beginilah firman Tuhan semesta alam,...” atau “Tuhan berfirman, ...”, dll, tetapi ketika Tuhan Yesus datang ke dalam dunia, Ia tidak menggunakan kata-kata tadi, melainkan langsung menggunakan otoritas-Nya dengan mengatakan, “Aku adalah,...”, “Aku berkata kepadamu, ...” Tidak ada satu nabi Tuhan yang diutus-Nya berani mengucapkan “Aku” untuk menggantikan firman Allah, tetapi Tuhan Yesus melakukannya, karena Ia memang adalah Allah yang berinkarnasi menjadi manusia !

Ketiga, Doktrin Manusia dan Dosa (Christian Antropology). Berkaitan dengan hal ini, saya akan mengutip pengajaran dari School of Ministry (SOM) Bethany yang diambil dari silabus “Salvation/Keselamatan” yang diterbitkan oleh GBI Bethany, Surabaya,
MANUSIA TERDIRI DARI ROH, JIWA DAN TUBUH
1. Roh Manusia
Elemen manusia yang sadar akan Allah, sanggup menyembah Allah dan sebagai pelita Tuhan. Zak. 12:1 ; Yoh. 4:25. Roh manusia terdiri dari Intuisi (pemahaman Ilahi), Iluminasi (pengertian Firman Allah), Instruksi (nasehat dan bimbingan) dan persekutuan dengan Allah.
Pada waktu manusia jatuh dalam dosa, roh manusia putus hubungannya dengan Allah. Efesus 2:1-3. Dalam kelahiran baru, manusia dipulihkan fungsi rohnya. Yoh. 3:3-7 ; Roma 8:16 ; Titus 3:5.
2. Jiwa Manusia
Elemen ini membuat manusia mempunyai kesadaran akan diri sendiri. Kej. 2:7, Allah menghembuskan nafas sehingga manusia menjadi nyawa yang hidup. Jiwa manusia (Psuche) adalah tempat kedudukan dari kepribadian dan diri (ego) manusia.
Jiwa manusia terdiri dari pikiran, perasaan, keinginan, memory, imajinasi, rasa ingin tahu dan suara hati. Fungsinya terbatas pada bidang mental semata. Dibutuhkan kuasa Roh Allah untuk merobohkan tembok pemisah dan mengangkat manusia dari pengaruh duniawi. Roma 8 ; 1 Kor. 2 ; Gal. 5.
3. Tubuh Manusia
Manusia mempunyai satu tubuh yang dapat berinteraksi dengan dunia sekitar. Panca indera merupakan jendela jiwa. Tubuh harus diserahkan kepada allah untuk menjadi bait-Nya. 1 Kor. 6:19 ; Roma 6:11.
Bagi manusia yang belum dilahirkan baru tubuh menjadi hamba dosa. Roma 6:17. Bagi yang telah percaya dan lahir baru tubuh ini menjadi rumah Roh Kudus. Immanuel, Allah berdiam di dalam kita. (Silabus SOM Bethany “Salvation/Keselamatan” p. 30)

Komentar saya :
Di dalam pandangan Karismatik/Pentakosta yang banyak menganut paham trikotomi sengaja memisahkan antara roh dan jiwa manusia, bahkan ada seorang dokter yang mengaku juga diundang berkhotbah di beberapa gereja/persekutuan doa Karismatik/Pentakosta mengungkapkan bahwa Ibrani 4:12 mengungkapkan “fakta” bahwa antara jiwa dan roh itu berbeda. Lagi-lagi, ayat ini tidak sedang membicarakan perbedaan antara jiwa dan roh, tetapi tentang kuasa Firman. Inilah penafsiran Alkitab yang terlalu dicocok-cocokkan. Kembali kepada pernyataan yang ada di dalam buku SOM ini.
1. Pernyataan, “Pada waktu manusia jatuh dalam dosa, roh manusia putus hubungannya dengan Allah. Efesus 2:1-3.” tidak bertanggungjawab.
Efesus 2:1-3, “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain.” Kata “roh” dalam bahasa Yunaninya pneuma yang identik dengan breath/nafas yang terdapat di dalam Kejadian 2:7 yang oleh penulis buku SOM ini dikategorikan sebagai jiwa manusia (bukan roh manusia), padahal antara jiwa dan roh manusia tidak ada perbedaan. Benarkah ketika manusia jatuh dalam dosa, hanya roh manusia putus hubungannya dengan Allah ? Pantas saja, banyak orang “Kristen” hari ini mengaku diri bebas dari segala dosa (tidak berdosa lagi), karena menurutnya yang berdosa itu hanya roh. Ini jelas salah. Penafsiran model ini membuktikan si penulis buku SOM ini tidak mengerti dasar iman Kristen, tetapi berani menulis buku. Tidak ada satu ayat Alkitab yang mengajar bahwa yang berdosa itu hanya roh manusia. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, seluruh potensi hidup manusia sudah rusak total. Itulah yang John Calvin sebut sebagai kerusakan total (Total Depravity). Kerusakan total diibaratkan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong sebagai noda teh yang tumpah pada baju kita yang mengakibatkan warna baju yang tadinya putih menjadi pudar (tetapi baju tersebut bukan menjadi tidak berwarna lagi).

2. Pernyataan “Jiwa manusia terdiri dari pikiran, perasaan, keinginan, memory, imajinasi, rasa ingin tahu dan suara hati.” tidak bertanggungjawab.
Benarkah suara hati dikategorikan sebagai jiwa manusia ? Mari kita menyelidiki lebih teliti. Amsal 20:27 (Terjemahan Baru) mengatakan, “Roh manusia adalah pelita TUHAN, yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya.”, Alkitab terjemahan King James Version menerjemahkan, “The spirit of man is the candle of the LORD, searching all the inward parts of the belly.” Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan, “Hati nurani manusia merupakan terang dari TUHAN yang menyoroti seluruh batin.” Jelaslah, hati nurani tidak termasuk jiwa manusia, tetapi identik dengan roh manusia.
Kata “jiwa” dan “roh” manusia dipakai secara bergantian di dalam Alkitab baik PL dan PB. Mari kita selidiki. Bilangan 5:14, “dan apabila kemudian roh cemburu menguasai suami itu, sehingga ia menjadi cemburu terhadap isterinya, dan perempuan itu memang telah mencemarkan dirinya, atau apabila roh cemburu menguasai suami itu, sehingga ia menjadi cemburu terhadap isterinya, walaupun perempuan itu tidak mencemarkan dirinya,” Kata “roh” ini dalam bahasa Ibraninya rûach berarti wind, breath, dll. Kata yang sama dipakai di dalam Kejadian 2:7, di mana kata “nafas” dalam bahasa Ibraninya neshâmâh identik dengan wind, breath, dll. Di dalam Imamat 26:16, kata “jiwa” diterjemahkan sebagai heart oleh King James Version (KJV). Dengan kata lain, kata “hati” atau “hati nurani” identik baik dengan kata “jiwa” (Imamat 26:16) maupun dengan kata “roh” (Amsal 20:27). Kemudian, kata “jiwa” di dalam Yakobus 5:20 diterjemahkan oleh KJV sebagai soul yang berasal dari bahasa Yunani psuche yang juga bisa berarti spirit (Yunani : pneuma).
Pdt. Thomy J. Matakupan dan Ev. Julio Kristano (2005) di dalam booklet Doktrin Manusia dan Dosa pada halaman 6-7 memaparkan empat contoh yang menunjukkan penggunaan kedua kata antara jiwa (Ibrani : nepes ; Yunani : psuchē) dan roh (Ibrani : ruah ; Yunani : pneuma) yang saling bergantian :
1 Kata “jiwa” dan “roh” dipakai secara bergantian :
a. Kej. 41:8 (bdk. Mzm 42:6)
· “his spirit was troubled” (New American Standard Bible/NASB) — “Gelisahlah hatinya” (LAI)
· My soul is in despair” (NASB) — “Mengapa engkau tertekan hai jiwaku...”
b. Mat. 20:28 (bdk. Mat. 27:50)
· “memberikan nyawa-Nya” (psuchē)
· “menyerahkan nyawa-Nya” (pneuma)
c. Yoh. 17:27 (bdk. Yoh. 13:21)
· “jiwaku terharu” (psuchē)
· “terharu” (terjemahan seharusnya “roh-Nya terharu” — pneuma)
2 Kata ruah dan pneuma dipakai untuk menyebut nyawa/jiwa binatang (Pkh. 3:21 ; Why. 16:3).
3 Kata nepes dan psyche dipakai pada diri Allah (Yes> 42:1 ; Ibr. 10:39 ; bdk. Mat. 12:18).
4 Keadaan rohani manusia yang paling tinggi dihubungkan dengan “jiwa” (Mrk. 12:30 ; Luk. 1:46 ; Ibr. 6:19 ; Yak. 1:21).


Keempat, Doktrin Kristus (Kristologi). Berikut ini saya akan mengutip pernyataan doktrinal dari seorang “pemimpin gereja” Kemah Abraham, Jusufroni,
Secara pribadi saya ingin bertanya, yakinkah Anda bahwa kebenaran Kristus itu ditemukan atau suatu pernyataan ? Jangan sekali-kali mengatakan telah kutemukan kebenaran dalam Kristus. Memangnya siapa kita? Akulah jalan kebenaran dan hidup, tak seorangpun sampai kepada Bapa kalau tidak melalui Aku. Tolong camkan kata-kata itu. Murid-Nya tidak berkata Yesuslah jalan kebenaran dan hidup, tapi Yesuslah yang menyatakan diri-Nya dan bukan murid yang menemukan. Kalau pun kita mencoba mencari kebenaran agama, sebenarnya sampai saat ini belum menemukan. Kita baru coba-coba. Apalagi, kita mengatakan inilah kebenaran agamaku, yang diabsolutkan. Begitu diabsolutkan menolak kebenaran orang lain. Karena itu lahirlah penderitaan yang kita rasakan sekarang ini. Mengapa terjadi bentrok itu ? Karena mereka merasa sudah menemukan kebenaran. (Majalah Narwastu, Juni 2000)
Komentar saya :
1. Tafsiran Yohanes 14:6 yang tidak bertanggungjawab.
Perhatikan alur pikirannya. Jusufroni mengatakan bahwa Tuhan Yesus yang mengatakan bahwa Dia adalah jalan dan kebenaran dan hidup, tak seorangpun sampai kepada Bapa kalau tidak melalui Dia. Itu benar dan terdapat dalam Yohanes 14:6. Lalu, lebih lanjut, Jusufroni mengemukakan pernyataan bahwa bukan murid-Nya yang mengemukakan hal ini, tetapi Kristus sendiri, jadi, “kalau kita mencoba mencari kebenaran agama, sebenarnya sampai saat ini belum menemukan. Kita baru coba-coba.” Sungguh tidak masuk akal. Memang benar bahwa Allah di dalam Pribadi Tuhan Yesus Kristus menyatakan diri-Nya dan memproklamirkan diri-Nya sebagai jalan dan kebenaran dan hidup itu, sehingga barangsiapa yang mau datang kepada Bapa harus melalui diri-Nya. Ini berarti ada finalitas karya Kristus yang tak mungkin dijumpai pada para pendiri agama apapun ! Kalau demikian, memang bukan murid Kristus yang mengatakan hal ini, tetapi akibat dari pernyataan ini, para murid-Nya sadar dan akhirnya mengerti Tuhan yang selama ini diikuti-Nya adalah benar dan sejati. Akibat adanya konfirmasi Tuhan Yesus sebagai satu-satunya jalan menuju kepada Bapa di Surga, maka para murid Kristus dan kita sebagai orang Kristen percaya kepada-Nya. Sama seperti kita baru bisa mengasihi Allah, karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita. Tanpa adanya campur tangan dan anugerah Allah yang intervensi ke dalam dunia, maka mustahil manusia yang berdosa bisa mencari dan mengasihi Allah ! Begitu kan logikanya. Kalau sampai si Jusufroni mengatakan bahwa dirinya masih meraba-raba dan mencoba-coba, bukankah berarti “kesaksiannya” selama ini adalah palsu/bohong tatkala dia menjadi “Kristen” dan bahkan “pendeta” ?! Kalau memang Jusufroni benar-benar bertobat dan rela menyerahkan diri menjadi pendeta yang bertanggungjawab, maka dia tak sampai mengeluarkan pernyataan yang tidak bertanggungjawab ini !

2. Pernyataan, “Begitu diabsolutkan menolak kebenaran orang lain.” yang tidak bertanggungjawab.
Apakah dengan mengabsolutkan suatu kebenaran yang benar-benar benar berarti menolak kebenaran orang lain ? YA, BENAR ! Lalu, apa yang salah dengan pemikiran ini ? Ambil contoh, seorang guru dengan tegas mengajarkan bahwa 1+1+2 (hal yang absolut), lalu, bolehkah murid-muridnya mengatakan bahwa sang guru mengajarkan hal-hal yang terlalu absolut dan bisa menolak “kebenaran” orang lain yang mengatakan bahwa 1+1=3 atau 4 atau 5 atau terserah ?! Tidak bertanggungjawab, bukan ? Sama halnya dengan pandangan ini. Tuhan Yesus sudah berkali-kali memperingatkan bahwa karena diri-Nya, barangsiapa yang mengikut-Nya pasti mengalami aniaya dan kita dituntut untuk juga menderita bersama Kristus dengan sukacita (1 Petrus 4:14). Demi Kerajaan Allah dan hidup kekal, kita pasti mau menderita, karena ada janji pengharapan bagi mereka yang setia mengikut Kristus (otomatis karena pimpinan dan pemeliharaan Allah melalui Roh Kudus). Ada harga yang harus dibayar ketika kita mengikut Kristus dan berperang bagi Kerajaan Allah, tidak ada kompromi ala dunia, harus berperang melawan setan dan kroni-kroninya ! Sesuatu yang absolut (dalam arti hanya Alkitab) pasti menolak kebenaran orang lain pun sedang menunjukkan bahwa “kebenaran” orang lain yang ditolak oleh Alkitab itu adalah suatu hal yang relatif dan siapa yang membela pernyataan ini (bahwa yang absolut menolak “kebenaran” orang lain) pun merupakan pengajaran yang relatif !

3. Pernyataan, “Mengapa terjadi bentrok itu ? Karena mereka merasa sudah menemukan kebenaran.” Yang tidak bertanggungjawab.
Menurut pandangan Jusufroni, bentrok dan konflik terjadi karena mereka merasa sudah menemukan kebenaran, padahal pernyataan ini menurut Jusufroni “tidak benar”. Benarkah pandangan ini ? Kebenaran sejati (Alkitab) memang membutuhkan pengorbanan untuk dibenci oleh orang-orang dunia, karena orang-orang dunia di luar Kristus adalah orang-orang yang berdosa yang berasal dari dunia, sedangkan umat pilihan Allah adalah orang-orang yang sama-sama berdosa (tetapi telah ditebus oleh Kristus) dan tinggal di dalam dunia, tetapi berasal dari Surga/umat pilihan Allah (Yohanes 17:16) ! Tetapi tidak berarti ketika kita sedang menyatakan suatu kebenaran Alkitab, itu bisa menghina orang lain, sehingga terciptalah konflik. Ingatlah, konflik terjadi bukan karena orang-orang Kristen memperjuangkan kebenaran Alkitab, tetapi munculnya orang-orang Islam maupun Kristen yang radikal yang berusaha menghancurkan yang lain dengan kekerasan (peperangan dengan fisik). Peperangan sejati bukan peperangan fisik/daging, tetapi peperangan rohani melawan ajaran-ajaran yang sesat dengan hanya berpedoman Alkitab sebagai standart mutlak ! Seharusnya, kalau mereka masih menganggap diri manusia dan berhati nurani, mereka sadar dan kembali kepada Kristus, karena tanpa Kristus dan pengorbanan/penumpahan darah-Nya, tidak ada pengampunan dosa (Ibrani 9:22)! Tetapi akibat dosa, maka hati nurani manusia pun menjadi terpolusi oleh dosa, sehingga mereka tidak mampu kembali kepada Kristus, kecuali melalui karya Roh Kudus yang melahirbarukan dan mencerahkan pikiran dan hatinya sehingga mereka dapat percaya kepada Kristus.

Kelima, Doktrin Roh Kudus (Pneumatologi). Pada bagian ini, saya akan mengutip dua hal tentang pengajaran tentang bahasa roh dari Sekolah Orientasi Melayani/School of Ministry (SOM) dari Gereja Bethany Indonesia (dulu : GBI Bethany),
HARUSKAH KITA BERBAHASA LIDAH
Dalam 1 Kor. 14:18, Paulus berkata : “Aku mengucap syukur kepada Allah bahwa aku berkata-kata dengan bahasa Roh lebih dari pada kamu semua.” Paulus berani bersaksi bahwa ia berkata-kata dengan bahasa lidah lebih dari orang-orang Korintus berarti begitu ia bangun dari tempat tidur langsung berbahasa lidah, pergi tidur berbahasa lidah, dalam perjalanan, dalam pekerjaan, dalam kehidupan sehari-hari bahkan setiap saat ia berbahasa lidah. Paulus berbahasa lidah dalam frekuensi waktu yang cukup banyak...
Kita akan lihat beberapa alasan mengapa setiap orang Kristen harus berbahasa lidah :
Alasan 1...
Alasan 5 : Dengan berdoa dalam bahasa lidah kita dapat berdoa untuk sesuatu permohonan yang kita tidak ketahui (Enable us to pray for the unknown)
Roma 8:26, “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.”
Kadang-kadang tatkala menghadapi persoalan yang amat berat dan secara akal sudah tidak terpecahkan dan sudah tidak ada jalan keluar lagi dan kita tidak tahu apa yang harus kita doakan dan mohonkan kepada Allah, saat itulah Roh akan membantu kelemahan kita apabila kita mulai berbicara dengan bahasa lidah...
Yang terakhir adalah : Mengapa Paulus berkata bahwa “bahasa Roh adalah tanda untuk orang yang tidak beriman ?” 1 Kor. 14:22. Yang jelas Paulus tidak bermaksud mengatakan bahwa orang yang berkata-kata dengan bahasa Roh itu orang yang tidak beriman, karena ayat-ayat sebelumnya Paulus menunjukkan bahasa-bahasa Roh itu penting untuk berkata rahasia kepada Allah dan penting untuk membangun diri sendiri, dan Paulus suka kalau semua orang berbahasa Roh seperti dia yang berbahasa Roh lebih dari semua orang Korintus.
Yang dimaksudkan Paulus adalah : Jika ada seorang tidak percaya atau mempersoalkan bahkan menolak dan menentang bahasa Roh, itu adalah “tanda” bahwa mereka adalah orang yang tidak mempunyai iman. Jadi “bahasa Roh” adalah patokan yang mendasar. Jika menolak ini menjadi tanda bahwa mereka tidak mempunyai Iman. Mari kita kembali kepada pengajaran Alkitab yang sepenuhnya (Back to the Bible). (Buletin SOM Bethany “Roh Kudus”, pp 32-40)
Komentar saya :
Dari sekelumit pembahasan ini, mari kita akan memperhatikan problematika penafsiran Alkitab dari theologia ini :
1. Penafsiran 1 Korintus 14:18.
Dengan menafsirkan 1 Korintus 14:18, yang sengaja tidak mengutip ayat 19, penulis buku SOM ini mengutarakan, “Paulus berani bersaksi bahwa ia berkata-kata dengan bahasa lidah lebih dari orang-orang Korintus berarti begitu ia bangun dari tempat tidur langsung berbahasa lidah, pergi tidur berbahasa lidah, dalam perjalanan, dalam pekerjaan, dalam kehidupan sehari-hari bahkan setiap saat ia berbahasa lidah. Paulus berbahasa lidah dalam frekuensi waktu yang cukup banyak...” Ayat ini dengan semena-mena ditafsirkan, padahal di dalam ayat selanjutnya, ayat 19, Paulus mengungkapkan, “Tetapi dalam pertemuan Jemaat aku lebih suka mengucapkan lima kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain juga, dari pada beribu-ribu kata dengan bahasa roh.” Memang Paulus bisa berbahasa Roh, tetapi ia mengungkapkan bahwa itu hanya untuk membangun dirinya sendiri, sedangkan di ayat 19, ia mulai membicarakan bahwa yang penting itu adalah untuk membangun Jemaat, sehingga ia lebih suka mengucapkan atau berkhotbah tentang 5 kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang ketimbang berpuluh-puluh ribu bahasa roh yang tidak diketahui. Perhatikan terjemahan King James Version pada ayat 19 ini, “Yet in the church I had rather speak five words with my understanding, that by my voice I might teach others also, than ten thousand words in an unknown tongue.” Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari menerjemahkan, “Namun, di dalam pertemuan-pertemuan untuk menyembah Tuhan, saya lebih suka memakai lima perkataan yang dapat dimengerti orang daripada memakai beribu-ribu perkataan dalam bahasa yang ajaib. Saya lebih suka begitu supaya saya dapat mengajar orang.” Kata “understanding” dalam bahasa Yunaninya nous berarti intellect, mind, dll. Jadi, kata “pengertian” bisa mencakup intelek, pikiran, dll. Dengan kata lain, di dalam pertemuan jemaat atau ibadah, Paulus lebih suka mengajar orang lain dengan hal-hal doktrinal yang bisa dimengerti bahasanya supaya iman jemaat dapat dibangun ketimbang berpuluh-puluh ribu bahasa yang tidak dapat dingerti (unknown tongue). Kalau ayat 18 ditafsirkan bahwa Paulus setiap saat berbahasa lidah, bisakah Anda membayangkan bahwa mungkinkah Paulus menuliskan wahyu Allah melalui surat-suratnya ? Jelas, ini sebuah penafsiran yang dicocok-cocokkan. Kalau memang menurut penulis buku SOM ini, Paulus setiap saat berbahasa Roh, mengapa rasul-rasul Kristus lainnya, seperti Yohanes, Petrus, dll tidak dilaporkan setiap saat berbahasa Roh ? Jelas, ini suatu ketidakkonsistenan penafsiran Alkitab ala penulis buku SOM. Penafsiran Alkitab ini disebut eisegese (menafsirkan Alkitab sekehendak hatinya asal cocok dengan pola pikir yang telah ia tetapkan dahulu).

2. Penafsiran Roma 8:26.
Penulis buku SOM ini mengungkapkan 7 alasan orang “Kristen” harus “berbahasa roh”, salah satunya adalah alasan 5 yang menyatakan, “Dengan berdoa dalam bahasa lidah kita dapat berdoa untuk sesuatu permohonan yang kita tidak ketahui (Enable us to pray for the unknown)” Lalu, untuk mendukung pengajaran ini, ia mengutip Roma 8:26 dengan penafsirannya, “Kadang-kadang tatkala menghadapi persoalan yang amat berat dan secara akal sudah tidak terpecahkan dan sudah tidak ada jalan keluar lagi dan kita tidak tahu apa yang harus kita doakan dan mohonkan kepada Allah, saat itulah Roh akan membantu kelemahan kita apabila kita mulai berbicara dengan bahasa lidah...” Dengan sangat jelas, ayat 26 di dalam Roma 8 ditafsirkan seenaknya sendiri. Perhatikan. Roma 8:26 tidak sedang berbicara tentang doa dalam bahasa roh. Ayat ini berarti Roh Allah yang Mahakudus itu membantu kita berdoa kepada Bapa. Jadi, urutannya adalah : kita berdoa kepada Allah Bapa di dalam nama Tuhan Yesus melalui Roh Kudus. Tetapi herannya, beberapa pemimpin gereja Karismatik/Pentakosta mengajarkan berdoa di dalam Roh itu berarti berdoa dengan menggunakan bahasa “roh”, lalu banyak jemaat mereka (termasuk para pemimpin gereja mereka yang tidak mengerti) kalau berdoa bukan kepada Bapa tetapi kepada Roh Kudus, ini pembalikkan ordo/urutan. Kembali, Roh Kudus membantu kita berdoa kepada Bapa karena kita tidak mengerti bagaimana berdoa supaya doa kita diperkenan Allah (doa yang tidak diperkenan Allah : doa yang egois, sombong, doa minta kaya, dll), oleh karena itu Roh Kudus lah yang membantu kelemahan kita sehingga doa-doa kita disampaikan oleh Roh Kudus kepada Allah Bapa. Lalu, jika Roh membantu kelemahan kita ketika kita mulai berbicara dengan bahasa lidah, tafsiran ini terlalu dicocok-cocokkan, mengapa ? Karena di dalam kelemahan-Nya dalam natur manusia, Tuhan Yesus ketika berdoa di Taman Getsemani, Ia berdoa kepada Bapa sama sekali tidak menggunakan bahasa roh, apakah berarti Roh Kudus tidak menolong-Nya ? Apakah berarti kita tidak boleh sama sekali berbahasa lidah ? TIDAK. Bahasa Roh sejati masih ada sampai sekarang, karena itu adalah suatu hal yang supranatural yang melebihi kemampuan rasio manusia, TETAPI tidak berarti karena itu hal yang supranatural lalu tidak ada standardnya. Tidak semua hal supranatural itu benar dan bertanggungjawab, oleh karena itu hanya Alkitablah yang harus menjadi standard untuk menguji hal-hal yang supranatural.

3. Penafsiran 1 Korintus 14:22.
Tentang bahasa roh yang adalah karunia untuk orang yang tidak beriman (1 Korintus 14:22), penulis buku SOM ini mengungkapkan, “Yang dimaksudkan Paulus adalah : Jika ada seorang tidak percaya atau mempersoalkan bahkan menolak dan menentang bahasa Roh, itu adalah “tanda” bahwa mereka adalah orang yang tidak mempunyai iman. Jadi “bahasa Roh” adalah patokan yang mendasar. Jika menolak ini menjadi tanda bahwa mereka tidak mempunyai Iman. Mari kita kembali kepada pengajaran Alkitab yang sepenuhnya (Back to the Bible).” Perhatikan. Ayat ini jelas menyimpang dari konteksnya, mengapa ? Ayat 22 tidak bisa dilepaskan dari ayat sebelumnya. Di ayat 20, Paulus sudah memperingatkan jemaat Korintus untuk tidak seperti anak-anak di dalam pemikiran mereka, karena mereka lebih melihat fenomena yang kelihatan “wah” dan “supranatural” tanpa melihat esensi yang lebih penting (yaitu mendengarkan Firman). Lalu, di ayat 21, dengan mengutip Yesaya 28:11-12, Tuhan berkata melalui Paulus, “Oleh orang-orang yang mempunyai bahasa lain dan oleh mulut orang-orang asing Aku akan berbicara kepada bangsa ini, namun demikian mereka tidak akan mendengarkan Aku, firman Tuhan.” Di dalam Yesaya 28:11-12, Yesaya menuliskan bahwa kepada para pemimpin Yerusalem, Allah menggunakan bahasa-bahasa yang tidak mereka mengerti untuk menghukum mereka, “Sungguh, oleh orang-orang yang berlogat ganjil dan oleh orang-orang yang berbahasa asing akan berbicara kepada bangsa ini. Dia yang telah berfirman kepada mereka: "Inilah tempat perhentian, berilah perhentian kepada orang yang lelah; inilah tempat peristirahatan!" Tetapi mereka tidak mau mendengarkan.” Oleh karena itulah, di dalam ayat 22, Paulus mengajarkan, “Karena itu karunia bahasa roh adalah tanda, bukan untuk orang yang beriman, tetapi untuk orang yang tidak beriman; sedangkan karunia untuk bernubuat adalah tanda, bukan untuk orang yang tidak beriman, tetapi untuk orang yang beriman.” Lalu, penulis buku SOM ini menyimpulkan, “Jadi “bahasa Roh” adalah patokan yang mendasar. Jika menolak ini menjadi tanda bahwa mereka tidak mempunyai Iman. Mari kita kembali kepada pengajaran Alkitab yang sepenuhnya (Back to the Bible).” Posisi Alkitab sebagai satu-satunya yang layak dipercaya digeser menjadi bahasa roh menjadi patokan yang mendasar untuk mengukur iman seseorang, padahal di dalam Roma 10:17, Alkitab berkata, “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” Alkitab tidak pernah berkata bahwa iman timbul dari bahasa roh, tetapi dari pendengaran oleh firman Kristus ! Tetapi herannya, dengan menggantikan posisi finalitas Alkitab, penulis buku SOM ini mengatakan bahwa pengajarannya adalah pengajaran yang “kembali kepada Alkitab”. Sungguh, suatu kontradiksi yang aneh.

Keenam, Doktrin Keselamatan (Soteriologi). Berikut adalah contoh konkrit tentang kesalahan tafsiran Alkitab yang diambil dari website “apologetika” sebuah pelayanan gereja Katolik (http://www.ekaristi.net).
Tanya : Pendapat Gereja Katholik tentang pentingnya perbuatan adalah salah satu penemuan buatan mereka.
Jawab : Filipi 2:12-13 : Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.
Umat di Filipi diminta untuk menuruti pesan St. Paulus untuk mengerjakan keselamatan mereka dengan takut dan gentar. Apa bedanya dengan kita, jika kita benar-benar adalah orang Kristen Perjanjian Baru ? Tingkah laku kita penting, karena dengan itulah Allah akan menghakimi kita. Ayat ini seharusnya membuat kita merasa gentar sehingga kita terus menerus melakukan keinginan Bapa dalam segala hal. St. Paulus atau penulis-penulis Perjanjian Baru tidak pernah menggambarkan kepastian keselamatan yang tidak perlu dikhawatirkan seperti yang banyak diajarkan oleh pengkhotbah-pengkhotbah pada masa sekarang.
Komentar saya :
Tafsiran terhadap Alkitab yang dilakukan secara semena-mena ini membuktikan penulis di website ini tidak mengerti benar Alkitab. Filipi 2:12-13 sangat digemari oleh para theolog Arminian dan Katolik yang anti-kedaulatan Allah. Coba kita akan menyelidiki dengan teliti. Memang benar, di dalam Filipi 2:12-13, Paulus memerintahkan jemaat di Filipi untuk mengerjakan keselamatan. Ayat ini tidak sedang mengajarkan bahwa karena keselamatan itu mudah hilang, sehingga Paulus perlu mengingatkan jemaat di Filipi untuk mengerjakan keselamatan. Tafsiran model ini adalah tafsiran yang dicocok-cocokkan (eisegese) yang tidak sinkron dengan seluruh berita Alkitab. Meskipun Filipi 2:12-13 dikutip keseluruhan, tetapi fokusnya sering dilihat hanya pada ayat 12, dan bukan pada ayat 13. Mengapa demikian? Karena di ayat 13 mengajarkan bahwa Allah lah yang mengerjakan kehendak baik manusia sehingga manusia bisa berbuat baik dan ajaran ini tidak cocok dengan ajaran Arminian dan Katolik Roma. Itu masalahnya. Saya tidak berarti menyalahkan 100% bahwa perbuatan itu tidak penting. Perbuatan baik itu penting tetapi bukan yang terutama, karena perbuatan baik adalah respon kita yang telah mendapatkan anugerah Allah melalui iman di dalam Kristus. Kita harus berbuat baik demi mewujudnyatakan cinta kasih dan terang Kristus ke dalam dunia kita yang berdosa. Tetapi tidak berarti perbuatan baik lebih penting dari iman, sehingga seolah-olah melalui perbuatan baik, “Allah” dipuaskan. Inilah yang ditekankan oleh banyak theolog Katolik Roma dengan “theologia” naturalnya dan banyak theolog Injili dengan presuposisi human-centerednya. Apalagi pernyataan yang mengatakan, “St. Paulus atau penulis-penulis Perjanjian Baru tidak pernah menggambarkan kepastian keselamatan yang tidak perlu dikhawatirkan seperti yang banyak diajarkan oleh pengkhotbah-pengkhotbah pada masa sekarang.” adalah pernyataan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara Alkitabiah. Pernyataan ini adalah pernyataan yang dibuat-buat dan dicocok-cocokkan serta membuktikan penulis artikel ini tidak mengerti pengajaran Alkitab. Benarkah Paulus dan para rasul Perjanjian Baru tidak pernah mengajarkan kepastian keselamatan yang tidak perlu dikhawatirkan ? Ini pandangan keliru. Pandangan ini dengan mudah dapat dijatuhkan. Di dalam Yohanes 3:16, Tuhan Yesus memberikan janji kepastian keselamatan bahwa barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Apakah hidup yang kekal itu ? Hidup yang tidak dapat binasa, hidup selama-lamanya bersama Bapa di Surga. Apakah dengan ini berarti janji Tuhan Yesus itu palsu dan bohong belaka hanya untuk mengelabui Nikodemus pada waktu itu yang sedang “stres” ? Lalu, saya akan memberikan argumentasi theologis di dalam hal ini. Keselamatan adalah murni 100% adalah anugerah Allah, tidak ada satu unsur jasa baik manusia. Jangan percaya kepada theologia Injili yang mengaku juga mempercayai keselamatan adalah anugerah Allah, tetapi menyangkali kedaulatan Allah yang memimpin manusia pilihan-Nya sehingga tidak mungkin kehilangan keselamatan. Itu bohong belaka. Sekali lagi, theologia Reformed saja yang berani menegaskan kedaulatan Allah dan anugerah Allah secara konsisten. Keselamatan sejati adalah anugerah Allah, seperti yang dipaparkan Paulus di dalam Efesus 2:8-9, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” Gereja Katolik Roma dan Arminian mungkin saja menyetujui kedua ayat ini, tetapi dengan perspektif yang menyimpang dari konteks Alkitab ini, yaitu dengan mengajarkan bahwa meskipun keselamatan itu adalah anugerah Allah, kita sebagai manusia harus menerima keselamatan itu dan berbuat baik supaya diperkenan Allah. Ini sama saja bohong dan kontradiksi dengan pendapat sendiri. Ketika theologia Reformed berani menegaskan bahwa keselamatan sejati hanya melalui anugerah Allah di dalam iman, maka itu berarti keseluruhan proses keselamatan ada di tangan Allah secara pribadi (bukan di tangan manusia), yaitu mulai dari rencana keselamatan yang ditetapkan oleh Allah Bapa dengan memilih sebagian orang untuk diselamatkan, penggenapan keselamatan di dalam Pribadi Allah Anak, Tuhan Yesus Kristus dan penyempurnaan karya keselamatan melalui karya Roh Kudus yang melahirbarukan umat pilihan Allah Bapa untuk beriman di dalam Kristus Yesus. Itulah karya Allah Tritunggal di dalam keselamatan. Tidak ada satu theologia Kristen yang berani merumuskan theologia sistematika ini, kecuali theologia Reformed ! Lalu, keselamatan yang telah disempurnakan melalui karya Roh Kudus dengan melahirbarukan umat pilihan-Nya dan memberi mereka iman di dalam Kristus, lalu diterima oleh umat pilihan-Nya dan terus dikerjakan. Mengerjakan keselamatan tidak berarti mempertahankan keselamatan supaya tidak hilang, tetapi berarti mewujudnyatakan keselamatan itu sehingga orang lain dapat melihat perbuatan baik kita dan memuliakan Bapa di Surga (Matius 5:16). Kembali, perbuatan baik kita yang dikaruniai dari Allah, dilakukan oleh Allah, berorientasi hanya untuk kemuliaan Allah (Roma 11:36). Prinsip Soli Deo Gloria (=kemuliaan hanya bagi Allah selama-lamanya) tidak ada pada theologia Katolik Roma, Orthodoks, Arminian, dll, tetapi hanya pada theologia Reformasi dan Reformed yang konsisten. Tidak ada satu arus theologia Kristen yang memiliki perspektif Kristo-sentris dan kedaulatan Allah (theology from above) kecuali theologia Reformed. Ini bukan fanatisme iman, tetapi realita yang mungkin membuat para penganut theologia lainnya akan marah, membenci, dll, itu tidak menjadi masalah. Kembali, kalau memang “benar”, para penganut theologia Katolik Roma dan Arminian mempercayai bahwa keselamatan Kristen itu tidak pasti, saya akan bertanya, lalu, Allah yang menganugerahkan keselamatan itu juga bisa mengambil keselamatan sekehedaknya sendiri, itu berarti Allah tersebut bukan Allah yang diajarkan oleh Alkitab karena Allah tersebut adalah Allah yang plin-plan, seenaknya sendiri (tidak beda dengan manusia yang suka plin-plan, ini membuktikan “Allah” palsu ini merupakan proyeksi dari pikiran manusia yang berdosa seperti yang diajarkan oleh Ludwig Feuerbach). Entah, mungkin saja “Allah” seperti itu yang dipercayai oleh para penganut theologia Katolik Roma dan Arminian. Itu jelas bukan Allah yang Alkitab ajarkan. Inilah kelemahan fatal para penganut theologia Katolik Roma dan Arminian.

Ketujuh, Doktrin Gereja (Ekklesiologi). Salah satu hal di dalam doktrin gereja yang akan kita selidiki adalah tentang minyak urapan dan Perjamuan Kudus. Berikut kutipan ajaran dari Bapak Yesaya Pariadji dari Tiberias yang mengemukakan ajaran tentang minyak urapan dan Perjamuan Kudus.
Tuhan Yesus menegaskan :
HANYA ORANG YANG PUNYA ROH MARTIR YANG DIBERIKUASA MEMBENTUK PERJAMUAN KUDUS YANG BENAR
I. Kita angkat Roti : Yang akan dibentuk menjadi Tubuh Kristus.“Inilah roti yang turun dari Sorga, inilah tubuh Kristus yang tergantung di atas kayu salib.” Artinya: Karena Perjamuan Kudus adalah korban Tubuh Kristus yang tergantung di atas kayu salib, itulah sebabnya hanya orang yang punya Roh Martir yang diberi kuasa membentuk Perjamuan Kudus yang benar. Kalau orang masih minta-minta, minta-minta perpuluhan, itu tandanya orang itu tidak mempunyai Roh Martir sehingga Perjamuan Kudusnya hanya sekedar lambang saja, tidak ada kuasa Allah. Roh Martir adalah orang yang menyerahkan segala miliknya, nyawa dan darahnya. Gereja Tiberias dibangun karena kami bisa menyerahkan segala milik kami, nyawa dan darah kami agar banyak orang diselamatkan, agar Gereja penuh kuasa.
1. Pertama: Yang memberikan keselamatan, yang memberikan hidup kekal di dalam Sorga. Dasar Firman Allah di dalam Yohanes 6:51 & 58... Artinya: Keselamatan hanya melalui Yesus, yaitu yang percaya dan menerima Perjamuan Kudus yang benar. Di luar Yesus tidak ada keselamatan dan hidup yang kekal di Sorga (Yohanes 3:16).
2. Kedua: Untuk menyempurnakan tubuhku agar sehat sempurna. Untuk menyempurnakan jiwa dan rohku dan agar dibangkitkan pada akhir zaman. Dasar Firman Allah di dalam Yohanes 17:23 demikian: “Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.” Yohanes 6:54 demikian: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman”.
3. Ketiga: Inilah tubuh Kristus yang tergantung di atas kayu salib yang tertikam, tertombak, agar kami tidak terkapar di meja operasi, agar kami tidak terkapar di rumah sakit, agar kami tidak lumpuh, agar kami tidak pikun, tidak koma, dan tidak terkapar di rumah sakit atau ruang ICU. Aku tolak kanker, aku tolak tumor. Dasar Firman Allah di dalam Yesaya 53:3-5 ...
(Buletin Gereja Tiberias NO. 883 Minggu TGL. 06 NOVEMBER 2005)
Komentar saya :
Semua ayat Alkitab banyak yang ditafsirkan sekehendak hati Pariadji sendiri. Mari kita akan menyelidiki satu per satu.
1. Tidak ada satu ayat Alkitab yang mengajarkan, “hanya orang yang punya Roh Martir yang diberi kuasa membentuk Perjamuan Kudus yang benar.”
Pernyataan ini adalah tafsiran Pariadji sendiri yang mengaku langsung dari “Tuhan Yesus”, yang lebih aneh lagi, yang langsung dari “tuhan yesus” tidak ditemukan pengajarannya di dalam Alkitab, ini Tuhan Yesus atau “tuhan yesus” ? Dari pernyataan ini, sangat jelas bahwa orang yang punya “roh martir” yang dimaksudkannya adalah Pariadji sendiri. Baca pernyataan selanjutnya, “Gereja Tiberias dibangun karena kami bisa menyerahkan segala milik kami, nyawa dan darah kami agar banyak orang diselamatkan, agar Gereja penuh kuasa.” Kalimat ini mirip dengan kalimat klenik atau syarat-syarat yang diperlukan untuk memperoleh kuasa supranatural. Gereja dibangun bukan untuk memperoleh kuasa, tetapi untuk memuliakan Kristus. Dari konsep gereja saja, Pariadji tidak mengerti totalitas pengajaran Alkitab, lalu berani mengklaim diri memiliki “roh martir”. Sungguh, suatu pernyataan orang yang aneh.

2. Pernyataan yang mengajarkan bahwa perjamuan kudus itu “memberikan keselamatan, yang memberikan hidup kekal di dalam Sorga.” adalah pernyataan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Tidak ada satu ayat Alkitab yang mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus sebegitu berkuasanya sehingga dapat memberikan keselamatan. Sepertinya, Pariadji harus membaca seruan Petrus di dalam Kisah Para Rasul 4:12, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” Ayat ini tidak mengatakan bahwa keselamatan ada di dalam minyak urapan atau perjamuan kudus. Ditambah pernyataannya, “Keselamatan hanya melalui Yesus, yaitu yang percaya dan menerima Perjamuan Kudus yang benar.” Dengan mengutip Yohanes 6:51 dan 58. Kedua ayat yang dikutip oleh Bapak Pariadji sama sekali tidak mengajarkan tentang kanibalisme, lalu orang percaya disuruh untuk benar-benar menguyah daging Tuhan Yesus. Tidak. Penggunaan kata “roti” di dalam kedua ayat ini memang menunjuk Perjamuan Kudus, tetapi yang dimaksudkan dengan “roti” adalah daging atau hidup-Nya sendiri yang diserahkan dan mereka harus menerima-Nya supaya mereka memperoleh hidup. Hidup dan keselamatan sejati didapat ketika mereka menerima-Nya sebagai Tuhan dan satu-satunya Juruselamat, bukan karena menerima Perjamuan Kudus. Dengan pernyataan Bapak Pariadji bahwa keselamatan hanya melalui Yesus, yaitu yang percaya dan menerima Perjamuan Kudus adalah pernyataan yang secara implisit menghina karya penebusan Kristus di kayu salib dan menggantinya dengan hanya menerima Perjamuan Kudus yang “benar” (keselamatan di dalam Kristus menurut Bapak Pariadji tidak cukup hanya percaya, tetapi juga harus menerima Perjamuan Kudus yang “benar”), padahal konsep Perjamuan Kudus yang dipromosikan oleh Bapak Pariadji adalah konsep yang salah (bandingkan 1 Korintus 11:23-31 ; ayat 27 di dalam pasal ini sering diabaikan oleh banyak pemimpin gereja kontemporer yang pop).

3. Kutipan Yohanes 6:54 yang seenaknya sendiri.
Fungsi perjamuan kudus yang dipaparkan Bapak Pariadji, “Untuk menyempurnakan tubuhku agar sehat sempurna. Untuk menyempurnakan jiwa dan rohku dan agar dibangkitkan pada akhir zaman.” Lalu, ia mengutip Yohanes 6:54. Pernyataan “makan daging dan minum darah” tidak bermakna secara literal. Perhatikan pernyataan yang diungkapkan oleh Albert Barnes dalam Albert Barnes’ Notes on the Bible, “Except ye eat the flesh ... - He did not mean that this should be understood literally, for it was never done, and it is absurd to suppose that it was intended to be so understood… His body was offered on the cross, and was raised up from the dead and received into heaven. Besides, there is no evidence that he had any reference in this passage to the Lord’s Supper… The plain meaning of the passage is, that by his bloody death - his body and his blood offered in sacrifice for sin - he would procure pardon and life for man;” (=Dia tidak bermaksud bahwa ayat ini dimengerti secara literal, ... Di samping itu, tidak ada bukti bahwa, bahwa Dia menunjukkan referensi apapun di dalam bagian ini terhadap Perjamuan Tuhan...Arti sederhana dari bagian ini, bahwa melalui darah kematian-Nya—tubuh dan darah-Nya diserahkan sebagai pengorbanan bagi dosa...) Untuk mendukung ajarannya yang kacau, Bapak Pariadji dengan sengaja mencocok-cocokkan ayat yang di luar konteks/makna aslinya supaya cocok dengan pandangan Perjamuan Kudus-nya yang “menyelamatkan” dan “mujarab”.

4. Tafsiran Yesaya 53:3-5 yang seenaknya sendiri.
Fungsi “perjamuan kudus” ala Pariadji adalah untuk menyembuhkan penyakit. Berikut pernyataannya, “Inilah tubuh Kristus yang tergantung di atas kayu salib yang tertikam, tertombak, agar kami tidak terkapar di meja operasi, agar kami tidak terkapar di rumah sakit, agar kami tidak lumpuh, agar kami tidak pikun, tidak koma, dan tidak terkapar di rumah sakit atau ruang ICU. Aku tolak kanker, aku tolak tumor. Dasar Firman Allah di dalam Yesaya 53:3-5 ...” Kembali, ini adalah sebuah pelecehan implisit terhadap makna asli Perjamuan Kudus. Memang, pengorbanan Kristus di kayu salib mampu mematahkan segala belenggu penyakit, tetapi itu bukan poin penting. Bapak Pariadji tidak bisa membedakan mana yang esensi (utama) dan mana yang tambahan (akibat dari esensi), akibatnya, dengan tidak bertanggungjawab, dirinya mencocok-cocokkan semua ayat Alkitab sesuai kehendak hatinya ditambah ada perkataan bahwa “tuhan yesus” langsung berkata kepadanya (biar kelihatan “rohani dan alkitabiah”). Herannya, Rasul Paulus di dalam 1 Korintus 11:23-31 tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang makna Perjamuan Kudus yang mujarab untuk menyembuhkan penyakit. Ini problematika Bapak Pariadji dalam menafsirkan Alkitab, mencari ayat-ayat Alkitab yang mendukung ajarannya dan sengaja meninggalkan 1 Korintus 11:23-31 yang jelas-jelas tidak mengajarkan tentang kemujaraban Perjamuan Kudus.

Kedelapan, Doktrin Akhir Zaman (Eskatologi). Pada bagian terakhir, saya akan mengutip pengajaran eskatologi dari SOM Bethany yang nantinya mempengaruhi penafsiran Alkitab versi mereka. Berikut pengajarannya,
“Ada dua jenis Kebangkitan Tubuh :
KEBANGKITAN I :
Kebangkitan orang-orang benar sebelum Millenium berakhir untuk memperoleh HIDUP.
KEBANGKITAN II :
Kebangkitan orang-orang jahat sesudah Millenium berakhir untuk memperoleh HUKUMAN.
(Dan. 12:3 ; Yoh. 5:28-29 ; Wah. 20:4-6 ; Wah. 20:11-15). Jadi ada jarak 1000 tahun antara kedua kebangkitan tersebut.” (Silabus SOM Bethany “Second Coming/Kedatangan Tuhan”, p. 46)
Komentar saya :
1 Penafsiran Daniel 12:3 yang tidak bertanggungjawab
Pertama, Daniel 12:3, “Dan orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya cakrawala, dan yang telah menuntun banyak orang kepada kebenaran seperti bintang-bintang, tetap untuk selama-lamanya.” Ayat ini sengaja dicomot untuk mendukung ajaran adanya dua kali kebangkitan tubuh, padahal ayat ini tidak mengindikasikan pengajaran ini. Ayat ini hanya mengindikasikan tentang adanya orang-orang yang bijaksana yang adalah orang-orang yang takut akan Allah akan menjadi sinar yang menerangi orang-orang dunia, sehingga orang-orang pilihan-Nya yang belum bertobat boleh dipimpin dan diterangi oleh sinar itu lalu mereka boleh kembali kepada Allah.

2 Penafsiran yang parsial atas Wahyu 20:4-6, 11-15
Untuk menafsir Kitab Wahyu, kita harus memperhatikan prinsipnya yaitu di dalam Kitab Wahyu, terkandung banyak perkataan simbolis atau simbol-simbol yang tidak dapat ditafsirkan secara harafiah. Berikut kutipan paparan tentang kelemahan penafsiran ayat-ayat ini dari Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. di dalam bukunya Alkitab dan Akhir Zaman,
“... penafsiran premillenialisme terhadap ayat 4 hingga 6 bukanlah satu-satunya kemungkinan ; beberapa bukti telah diberikan bahwa 20:4-6 tidak berbicara tentang kebangkitan tubuh bagi orang percaya ataupun orang tidak percaya... ajaran semacam ini didasarkan pada penafsiran secara harafiah terhadap perikop dari kitab yang sangat bersifat simbolis, dan mengabaikan ayat-ayat lain (seperti Yoh. 5:28-29 dan Kis. 24:15) bahwa kebangkitan orang percaya dan tidak percaya akan terjadi secara bersamaan...
Perhatikanlah kalimat “orang-orang mati, besar dan kecil, berdiri di depan takhta itu.” (ayat 12)... Coba amati lebih jauh pernyataan bahwa laut menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya (ayat 13)...Sudah tentu Hades, yaitu dunia orang mati, mencakup semua orang yang telah mati, bukan hanya orang-orang tidak percaya yang telah mati.
Dalam ayat 12 kita membaca tentang kitab yang dibuka. Menurut bagian terakhir dalam ayat 12, kitab tersebut berisi catatan tentang apa yang setiap orang telah lakukan. Tetapi tidak ada indikasi bahwa kitab-kitab tersebut hanya berisi tentang penghukuman. Kitab kehidupan, yang disebut dalam ayat 12 dan 15, umumnya dimengerti sebagai daftar orang-orang pilihan...” (Hoekema : 2004, pp. 327-329)


Kita telah melihat problematika penafsiran Alkitab yang berintikan humanisme dan terimplikasi praktis di dalam paradigma dasar atau theologia sistematika mereka yang akhirnya mempengaruhi cara mereka menafsirkan Alkitab. Lalu, bagaimana kita dapat menafsirkan Alkitab dengan bertanggungjawab ? Kita akan membahasnya pada Bab 4.