28 January 2010

Roma 16:21-24: SALAM KEPADA SAUDARA SEIMAN-8

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-17


SALAM KEPADA SAUDARA SEIMAN-8

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 16:21-24



Jika di ayat 3 s/d 15, Paulus memberikan salam pribadinya kepada jemaat-jemaat di Roma, maka di ayat 21 s/d 23, ia menyampaikan salam dari teman-teman pelayanannya untuk jemaat-jemaat di Roma.

Di ayat 21, Paulus menyebut dua orang teman: teman sekerja dan teman sebangsa. Teman sekerjanya adalah Timotius. Siapa Timotius? Timotius adalah anak rohaninya (bdk. 1Tim. 1:2). Profil Timotius dapat dilihat dari Kisah Para Rasul 16:1, “ibunya adalah seorang Yahudi dan telah menjadi percaya, sedangkan ayahnya seorang Yunani.” Kepada jemaat di Korintus, Paulus juga menyebut tentang Timotius, “Jika Timotius datang kepadamu, usahakanlah supaya ia berada di tengah-tengah kamu tanpa takut, sebab ia mengerjakan pekerjaan Tuhan, sama seperti aku.” (1Kor. 16:10) NIV Spirit of the Reformation Study Bible menjelaskan bahwa Timotius disebutkan 10x di dalam surat-surat Paulus.

Teman sebangsa Paulus yang disebutkan adalah Lukius, Yason, dan Sosipater.
Lukius adalah seorang yang berasal dari Kirene (Kis. 13:1).
Yason adalah tuan rumah Paulus ketika berada di Tesalonika (Kis. 17:5-9) Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible memberi keterangan bahwa Yason adalah seorang Yahudi. Namanya berasal dari bahasa Yahudi “Jeshua” atau “Jesus”. Dia adalah saudara laki-laki dari Onias, Imam Besar Yahudi.
Sosipater tidak lain adalah Sopater, anak Pirus dari Berea yang menemani Paulus ke Asia (Kis. 20:4). Menurut Dr. John Gill, Sopater juga seorang Yahudi dan kapten dari Yudas Makabeus.


Bukan hanya dari teman sepelayanan dan sebangsanya, Paulus juga menyampaikan salam dari sekretarisnya, Tertius (ay. 22). Tertius sebagai sekretaris yang bertugas menulis apa yang didiktekan oleh Paulus kepadanya.


Di ayat 23, Paulus menyampaikan salam dari:
Pertama, Gayus. Paulus menyebut Gayus sebagai orang yang memberi tumpangan kepadanya dan kepada seluruh jemaat. Ada yang menafsirkan bahwa Gayus ini adalah orang Makedonia yang bersama dengan Paulus di Efesus (Kis. 19:29). Yang lain menafsirkan bahwa Gayus ini adalah orang Derbe yang menemani Paulus ke Asia (Kis. 20:4). Ada juga yang menafsirkan bahwa Gayus ini adalah orang yang dibaptis Paulus di Korintus (1Kor. 1:14). Matthew Henry di dalam tafsirannya Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible juga menyebutkan hal serupa. Namun baik Dr. John Gill maupun Matthew Henry merujuk kepada orang yang sama yaitu Gayus yang kepadanya Rasul Yohanes menulis suratnya ketiga (3Yoh. 1:1). Mengapa bisa demikian? Karena baik Dr. John Gill maupun Matthew Henry menyatakan bahwa Gayus di ayat ini dengan Gayus di 3 Yohanes 1:1 memiliki karakteristik yang sama yaitu sama-sama memiliki keramahtamahan.

Kedua, Erastus. Erastus dikatakan sebagai bendahara negeri. Matthew Henry menjelaskan bahwa Erastus ini bukan hanya sebagai bendahara negeri di Korintus, namun juga menemani Paulus di dalam pelayanannya (Kis. 19:22; 2Tim. 4:20).

Ketiga, Kwartus. Kwartus disebut Paulus sebagai saudara kita. Dr. John Gill memberi keterangan siapa Kwartus. Kwartus adalah saudara rohani Paulus. Dia adalah orang Roma dan termasuk salah satu dari ketujuhpuluh murid Kristus (Luk. 10:1). Kemudian, dia menjadi Uskup di Berytus.


Setelah menyampaikan salam dari orang-orang di atas kepada jemaat-jemaat di Roma, maka Paulus menutupnya di ayat 24, “(Kasih karunia Yesus Kristus, Tuhan kita, menyertai kamu sekalian! Amin.)” Pertanyaan kita adalah mengapa di ayat ini, LAI memberi tanda kurung? Karena beberapa tafsiran menjelaskan bahwa ayat ini di banyak manuskrip asli tidak ada. Ayat ini meskipun merupakan tambahan, namun tetap berguna, karena berfungsi mengulang kembali tentang konsep kasih karunia yang telah dinyatakan di ayat 20.


Dari perenungan kita akan 4 ayat ini, kita belajar bahwa Paulus bukan hanya menyampaikan salamnya kepada jemaat-jemaat di Roma, namun juga menyampaikan salam dari rekan pelayanan dan rekan sebangsanya kepada jemaat-jemaat di Roma. Berarti di dalam pelayanan, Paulus tetap mengikutsertakan rekan-rekannya. Dengan kata lain, ada saling keterikatan dan persekutuan yang intim antara para pelayan Tuhan dengan jemaat-jemat yang dilayaninya, meskipun berjauhan. Hal ini menjadi peringatan dan teguran bagi kita. Para pelayan Tuhan sering kali menyibukkan dirinya dengan pelayanan, sampai-sampai melupakan jemaat. Bahkan ada juga pelayan Tuhan yang tidak mempedulikan kehidupan jemaatnya dengan alasan kalau jemaat terlalu diperhatikan, maka jemaat menjadi manja. Ekses itu bisa saja terjadi, namun ekses tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan tugas penggembalaan. Gereja yang kurang memerhatikan tugas penggembalaan dan terus sibuk mengurus pengajaran doktrinal melalui khotbah mimbar akan menjadikan gereja tersebut suam-suam kuku dan tidak ada kehangatan persekutuan yang intim. Biarlah gereja hari ini meneladani gereja mula-mula yang memerhatikan pengajaran firman, persekutuan, dan penginjilan. Tiga tugas ini harus benar-benar menyeluruh dikerjakan oleh gereja Tuhan demi hormat dan kemuliaan nama-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-88: MENGAPA SAYA SEORANG KRISTEN? (Rev. DR. JOHN R. W. STOTT, CBE)

...Dapatkan segera...
Buku
WHY I AM A CHRISTIAN?
(MENGAPA SAYA SEORANG KRISTEN?)


oleh: Rev. DR. JOHN R. W. STOTT, CBE

Penerbit: Mitra Pustaka dan Pionir Jaya, Bandung, 2005

Penerjemah: Kelompok Peduli Literatur





Ajaran dunia kita sedang merayakan pentingnya pluralitas dan relativitas. Semua dianggap sama, bahkan yang bertolak belakang pun dianggap sama. Alhasil, agama pun dianggap sama, meskipun isinya ada yang tidak konsisten. Lalu, bagaimana kita bisa mengetahui kebenaran? Dunia kita tidak memiliki jawabannya. Namun Alkitab beribu tahun yang lalu telah memberikan jawabannya, yaitu Kebenaran (Truth) hanya ada di dalam Tuhan Yesus Kristus yang adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup (Yoh. 14:6). Apa saja yang bisa kita pelajari dari pribadi dan ajaran Kristus? Apakah keunikan Kristus dibandingkan yang lainnya? Melalui bukunya Why I am a Christian? (Mengapa Saya Seorang Kristen?), dengan tajam, Rev. Dr. John R. W. Stott, CBE. memaparkan 6 alasan mengapa seseorang menjadi Kristen, lalu ditutup di bab terakhir dengan undangan dari penulis bagi para pembaca untuk menyerahkan hidup-Nya bagi Kristus. Enam alasan tersebut dimulai dari alasan pertama sebagai presuposisinya, yaitu kita bisa menjadi Kristen bukan karena kita memilih Allah, namun karena Allah mengejar dan memburu kita. Istilah yang dipakai Dr. Stott adalah Allah seperti anjing pemburu dari Sorga. Kemudian, Dr. Stott secara berurutan menjelaskan alasan lainnya yaitu dimulai dari finalitas Kristus sebagai penyataan Allah, paradoks salib Kristus, paradoks manusia, kunci menuju kemerdekaan sejati tatkala kita menyerahkan hidup kita bagi Kristus, dan ditutup dengan menunjukkan bahwa hanya Kristuslah yang sanggup memenuhi aspirasi kita tentang transendensi, pencarian rasa berharga, dan pencarian kelompok yang berlandaskan kasih. Setelah memaparkan 6 alasan ini, Dr. Stott mengakhirinya dengan undangan bagi para pembaca untuk menyerahkan hidupnya bagi Kristus dan siap memikul salib demi kerajaan-Nya.







Profil Rev. DR. JOHN R. W. STOTT:
Rev. Dr. John Robert Walmsley Stott, CBE adalah seorang pemimpin Kristen dari Inggris dan pendeta gereja Anglikan yang tercatat sebagai seorang pemimpin dari gerakan Injili di seluruh dunia. Beliau terkenal sebagai salah seorang penulis terpenting dari the Lausanne Covenant pada tahun 1974. Beliau lahir di London pada tahun 1921 dari Sir Arnold dan Lady Stott. Stott belajar modern languages di Trinity College, Cambridge di mana beliau lulus dengan dua gelar dalam bidang bahasa Prancis dan Theologi. Di universitas, beliau aktif di the Cambridge inter-collegiate Christian Union (CICCU).
Setelah ini, beliau berpindah ke Ridley Hall Theological College (juga the University of Cambridge) sehingga beliau dapat ditahbiskan menjadi pendeta Anglikan pada tahun 1945 dan menjadi pembantu pendeta di the Church of All Souls, Langham Place (1945-1950) (website: www.allsouls.org) kemudian Pendeta (1950-1975). Beliau dipilih menjadi Pendeta bagi Ratu Inggris Elizabeth II (1959-1991) dan Pendeta luar biasa pada tahun 1991. Beliau menerima CBE pada tahun 2006 dan menerima sejumlah gelar doktor kehormatan dari sekolah-sekolah di Amerika, Inggris dan Kanada, salah satunya adalah Lambeth Doctorate of Divinity pada tahun 1983.

Eksposisi 1 Korintus 3:1-4 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 3:1-4

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 3:1-4



Pasal 3 masih melanjutkan topik tentang perpecahan di antara jemaat yang sudah dibahas Paulus sejak pasal 1:10 (bdk. 3:3-4). Kalau di pasal 1:10-17 Paulus sekedar memberi nasehat supaya bersatu dan di pasal 1:18-2:16 ia lebih menyoroti tentang inti persoalan – yaitu seputar “hikmat” – maka mulai pasal 3:1 Paulus memfokuskan pembahasan pada perpecahan itu sendiri. Secara khusus di pasal 3:1-4 Paulus memberikan teguran kepada jemaat Korintus untuk menunjukkan bahwa sikap mereka tidak sesuai dengan orang yang sudah menerima roh dari Allah (2:12). Di bagian ini dia juga menjelaskan pembelaan dirinya sehubungan dengan pandangan jemaat Korintus yang menganggap khotbahnya “tidak berhikmat” (bdk. 2:1-5).


Pembelaan Paulus
Seperti telah disinggung sebelumnya, sebagian jemaat Korintus bukan hanya lebih mengidolakan pemimpin lain dibandingkan Paulus, tetapi mereka juga menyerang integritas Paulus sebagai rasul. Mereka menganggap bahwa khotbah Paulus tidak disampaikan dengan cara-cara yang “berhikmat” (2:1-5). Mereka juga memandang apa yang disampaikan Paulus sebagai berita yang terlalu sederhana dan layak dikategorikan sebagai “susu” (3:1-2). Mereka secara tidak langsung menuntut agar Paulus memberikan sesuatu yang lebih lagi, yang cocok bagi mereka yang sudah “berhikmat”. Kesombongan intelektual ini merupakan salah satu kelemahan jemaat Korintus yang menonjol (bdk. 8:1).

Serangan seperti di atas mendorong Paulus untuk memberikan pembelaan. Upaya untuk membela diri ini terlihat dari beberapa petunjuk yang ada di pasal 3:1-4. Paulus memakai kata ganti “aku” (3:1-4), padahal di pasal 2:6-16 dia memakai kata ganti “kami” (2:6-7, 13, 16). Kata ganti “aku” ini sebelumnya dipakai di pasal 2:1-5 yang menyinggung tentang cara pemberitaan injil Paulus yang dianggap tidak berhikmat. Dengan demikian, penggunaan kata ganti “aku” di 3:1-4 harus dilihat sebagai petunjuk agar kita menghubungkan perikop ini dengan pasal 2:1-5. Dengan kata lain, apa yang disampaikan di pasal 3:1-4 merupakan pembelaan Paulus yang lain setelah pasal 2:1-5.

Petunjuk lain tentang upaya Paulus membela diri dapat dilihat dari kata “dan aku” di 3:1 (kago). Ungkapan seperti ini dalam bahasa Yunani menyiratkan penekanan, yang maknanya adalah “dan aku, aku sendiri tidak dapat...” Melalui ungkapan ini Paulus seakan-akan ingin secara khusus memfokuskan pada dirinya, bukan pada para pemberita injil secara umum (bdk. “kami” di pasal 2:6-16).

Bagaimana Paulus memberikan pembelaan diri? Kalau di pasal 2:6 Paulus sudah membela diri dengan menyatakan bahwa dia sungguh-sungguh memberitakan hikmat yang benar kepada mereka yang dewasa (dengan demikian dia menyindir jemaat Korintus sebagai orang-orang yang belum dewasa sehingga tidak dapat memahami hikmat yang dia sampaikan), di pasal 3:1-2 dia memberikan pembelaan yang hampir sama. Dia mengakui bahwa dia memang tidak dapat memberitakan injil yang menurut mereka bukanlah makanan keras, tetapi hal itu dilakukannya karena keterbatasan mereka. Inti masalah bukan terletak pada diri Paulus (ay. 1), tetapi pada diri mereka (ay. 2).


Teguran
Selain memberikan pembelaan diri, Paulus juga menegur jemaat Korintus. Teguran ini diungkapkan melalui beberapa sebutan untuk mereka. Bagaimanapun kerasnya teguran yang nanti kita akan selidiki bersama-sama, namun hal itu tetap menunjukkan kasih Paulus kepada mereka. Dia tetap menyebut mereka sebagai “saudara-saudara” (ay. 1). Walaupun mereka “belum dewasa”, tetapi mereka tetap “di dalam Kristus” (ay. 1). Hal ini menyiratkan bahwa perselisihan apapun tidak akan mengubah satu fakta bahwa mereka semua tetap satu saudara di dalam Kristus.

Sebutan apa yang dipakai Paulus untuk jemaat Korintus yang sedang berselisih? Pertama, bukan orang-orang rohani (pneumatikoi, ay. 1). “Tidak rohani” di sini bukan berarti bahwa mereka tidak memiliki Roh Kudus dalam diri mereka. Di pasal 2:12 Paulus mengatakan, “kita tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang berasal dari Allah”. Di pasal 12:3 ia mengajarkan bahwa orang yang mengaku Yesus sebagai Tuhan pasti dalam dirinya sudah ada pekerjaan Roh Kudus (bdk. “di dalam Kristus” di 3:1). Dalam surat-suratnya yang lain Paulus pun mengajarkan bahwa dalam diri orang percaya sudah ada Roh Kudus (Rm. 8:9; Gal. 3:2-3; Tit. 3:5-7). Seandainya Paulus menganggap bahwa jemaat Korintus tidak memiliki Roh Kudus, maka dia pasti akan menyebut sebagai “psuchikos” yang tidak mau dan tidak mampu menerima injil (2:14, LAI:TB “manusia duniawi”). Sebutan “tidak rohani” di sini berarti bahwa mereka – sekalipun memiliki Roh Kudus dalam diri mereka – tidak berpikir dan berperilaku sebagai orang-orang yang memiliki Roh Kudus.

Kedua, sarkinos (ay. 1). LAI:TB menerjemahkan kata sarkinos dengan “manusia duniawi”. Terjemahan ini terlalu umum dan sedikit membingungkan, karena di pasal 2:14 ada sebutan “manusia duniawi” tetapi kata Yunani yang dipakai di sana bukan sarkinos. Bahkan “manusia duniawi” di 3:3-4 pun memiliki kata Yunani yang berbeda. Jadi, bagaimana kita memahami arti kata sarkinos di 3:1? Kata ini lebih merujuk pada manusia yang dikuasai oleh kedagingan (sarx). Dalam Roma 7:14 Paulus menyebut dirinya “bersifat daging” (sarkinos) dalam arti terjual di bawah kuasa dosa. Keadaan ini jelas kontras dengan orang yang rohani (bdk. 3:1 “...tidak dapat...manusia rohani...tetapi...manusia duniawi...”). Hal ini sesuai dengan konsep Paulus di surat-suratnya yang lain (Rm. 8:5-7; Gal. 5:16).

Ketiga, nepios (ay. 1-2). LAI:TB menerjemahkan kata ini dengan “belum dewasa”, padahal arti sebenarnya adalah “bayi” (semua versi Inggris). Keadaan “bayi rohani” ini bukan hanya terjadi dulu, tetapi sampai Paulus menulis surat ini (ay. 2b “kamu dulu tidak dapat menerima [imperfect tense]...sekarang pun kamu belum dapat menerima [present tense]). Para sarjana berdebat tentang makna di balik sebutan “bayi” ini. Sebagian besar menafsirkan bahwa jemaat Korintus dari dulu hanya siap menerima pengajaran-pengajaran dasar Kristen, bukan yang bersifat lanjutan (bdk. Ibr. 5:11-14). Dengan demikian, 1 Korintus 3:1-2 merupakan teguran dan nasehat supaya mereka mengganti jenis makanan rohani mereka. Mereka seharusnya sudah menikmati makanan keras. Tafsiran ini – meskipun populer – mulai ditinggalkan para penafsir modern. Selama 18 bulan di Korintus (Kis. 18:11), Paulus tidak mungkin hanya mengajarkan hal-hal yang mendasar. Kita juga perlu mengingat bahwa konteks pembicaraan di 1 Korintus 1-3 adalah tentang salib (injil). Apakah salib termasuk kebenaran dasar? Ternyata di pasal 2:6 Paulus menyebut salib sebagai hikmat yang sesungguhnya bagi orang yang sudah dewasa. Jadi, salib bukanlah ajaran dasar. Lalu apa hubungan antara “bayi”, “susu” dan “makanan keras” di 3:1-2? Kita tidak boleh lupa inti masalah: jemaat Korintus menganggap bahwa injil hanyalah susu (untuk orang yang kurang berhikmat), sebaliknya mereka melihat hikmat duniawi sebagai makanan keras (untuk mereka yang berhikmat). Bertolak belakang dengan penilaian jemaat Korintus tersebut, Paulus justru menyatakan bahwa mereka adalah bayi rohani. Mereka tidak bisa membedakan makanan. Apa yang mereka anggap makanan keras ternyata tidak bergizi sama sekali. Pendeknya, yang perlu mereka ubah bukanlah “menu makanan”, melainkan “perspektif mereka terhadap makanan yang diberikan Paulus”.

Keempat, sarkikos (ay. 3-4). Kata Yunani di balik terjemahan “manusia duniawi” di ayat 3-4 adalah sarkikos. Walaupun kata ini memiliki akar kata yang sama dengan arkinos di ayat 1 (dari kata sarx = daging), namun arti dua kata tersebut sedikit berbeda. Kalau sarkinos di ayat 1 lebih menunjuk pada orang yang dikuasai kedagingan, maka sarkikos di ayat 3-4 lebih mengarah pada orang yang cara pandangnya hanya tertuju pada hal-hal yang jasmani dan sementara. Makna ini didapat dari pemunculan kata sarkikos di surat-surat Paulus yang seringkali dikontraskan dengan hal-hal yang bersifat kekal. Roma 15:27 “bangsa-bangsa lain telah beroleh bagian dalam harta rohani orang Yahudi, maka wajiblah juga bangsa-bangsa lain itu melayani orang Yahudi dengan harta duniawi (sarkikos) mereka”. 1 Korintus 9:11 “jika kami telah menaburkan benih rohani bagi kamu, berlebih-lebihan kalau kami menuai hasil duniawi (sarkikos) dari pada kamu?”. 2 Korintus 10:4a “karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi (sarkikos), melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah”. Sebutan “sarkikos” memang tepat diterapkan untuk orang yang suka berselisih, karena kita seringkali (selalu?) berselisih karena hal-hal yang sebenarnya tidak kekal, misalnya harga diri, uang, jabatan, dsb.

Kelima, anthropos (ay. 3-4). Paulus menyebut jemaat Korintus telah hidup “secara manusiawi” (kata anthropon, ay. 3). Sebutan “manusia” ini muncul lagi di ayat 4b (secara hurufiah “bukankah hal itu menunjukkan bahwa kamu adalah manusia?”). Terjemahan LAI:TB “kamu manusia duniawi yang bukan rohani” terlalu bebas, padahal kata Yunani yang dipakai hanya satu kata, yaitu anthropos (“manusia”). Apa arti “manusia” di bagian ini? KJV/NIV/NASB “hidup/berjalan seperti manusia saja (mere men)”. RSV “bertingkah laku seperti manusia biasa (ordinary men)”. NRSV bertingkah laku mengikuti kecenderungan manusia”. Inti yang ingin disampaikan Paulus melalui sebutan ini adalah bahwa mereka berpusat pada diri mereka sendiri. Mereka sama seperti orang-orang lain yang hidupnya tidak dipimpin oleh Roh Kudus. Keadaan ini jelas bertentangan dengan fakta bahwa menerima sudah menerima Roh Kudus (2:6). Sebagaimana orang yang sudah menerima Rok Kudus mereka seharusnya tidak boleh mengikuti kehendak mereka saja.


Bukti
Paulus tidak hanya menegur mereka. Dia juga menyebut dua hal yang membuktikan bahwa mereka memang tidak rohani. Di ayat 3 Paulus bahwa mereka memiliki “iri hati” (zelos) dan perselisihan (eris)”. Dua kata ini sering muncul bersamaan dalam Alkitab (Rm. 13:13; 2Kor. 12:20; Gal. 5:20; bdk. Yak. 3:14-15). Fenomena ini menyiratkan bahwa keduanya sangat berkaitan erat. Perselisihan muncul karena iri hati.

Di ayat 4 Paulus memberi bukti lain, yaitu favoritisme terhadap pemimpin. Memberi penghormatan lebih kepada seorang pemimpin rohani tidak selalu salah. Dalam 1 Timotius 5:17 Paulus memberi nasehat agar penatua yang pimpinannya baik mendapat penghormatan dua kali lipat, terutama mereka yang bekerja keras dalam berkhotbah dan mengajar. Bagaimanapun, ayat ini tidak berarti bahwa penatua yang kepemimpinannya kurang baik atau yang tidak berkhotbah/mengajar tidak layak menerima penghormatan. Mereka tetap harus mendapat penghormatan, walaupun tidak sebesar mereka yang kepemimpinannya baik. Dalam kasus perselisihan di Korintus, mereka telah melangkah terlalu jauh. Mereka memilih pemimpin tertentu yang sesuai keinginan mereka sekaligus menyerang pemimpin yang lain. Sikap seperti inilah yang ditentang Paulus, termasuk mereka yang mengidolakan Paulus pun tetap mendapat teguran yang sama. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 13 April 2008