28 February 2008

ADA APA DENGAN CINTA? (Ev. Yadi S. Lima, M.Div.)

Ada Apa Dengan Cinta:
Sebuah Refleksi atas Ajaran Cinta dalam Yohanes 15: 9 – 17

oleh: Ev. Yadi S. Lima, M.Div.
(Pembina Pemuda di Gereja Reformed Injili Indonesia--GRII Pondok Indah, Jakarta dan dosen di Institut Reformed, Jakarta; Master of Divinity dari Institut Reformed, Jakarta)



Tiap orang Kristen sudah tahu bahwa Tuhan memerintahkan kita untuk mengasihi. Dalam khotbah bulan lalu saya menekankan bahwa perintah Tuhan ini bersifat timbal-balik. Yesus bukan memerintahkan kita untuk menjadi ‘Juara Satu Mengasihi’ atau menjadi ‘Jagoan Mengasihi’. Ia memerintahkan kita untuk saling mengasihi. ‘Saling’ di sini berbicara mengenai keterkaitan, matriks inter-relasi, transaksi cinta di antara orang-orang percaya. Ia tidak menyuruh tiap individu untuk melatih kemampuan mengasihi agar makin tinggi levelnya. Ini bukan perintah yang berbasis individu, tetapi komunitas. Yesus menyuruh murid-murid-Nya (plural) untuk menjadi komunitas yang transaksi sosialnya bernafaskan kasih. Kasih itu bukan hanya terletak dalam hati tiap murid, tetapi di dalam ketersalingan tindakan, perkataan, dan niat yang ditransaksikan satu sama lain. Kasih itu terwujud dalam keselarasan tiap sel tubuh Kristus dalam menikmati dan memancarkan kemuliaan Tuhannya. Perintah ini adalah perintah untuk menjadi satu tubuh – Tubuh Kristus. Perintah Yesus untuk mengasihi adalah perintah yang diberikan agar kita menjadi Gereja. “To love each other as Jesus does, as the Father does, is to be a Church.”

Yesus berkata, “Tinggallah dalam kasih-Ku itu.” Bagaimanakah ‘tinggal dalam kasih-Nya’ itu? Yesus berkata, “Dengan menaati perintah-perintah-Ku.” Perintah yang mana yang Ia maksudkan di sini? Saya percaya ‘perintah’ yang Yesus maksudkan adalah perintah Bapa yang ditaati-Nya saat dalam konteks ini. Bagaimana saya menyimpulkan begini? Karena Kristus mengatakan, “Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.” Apakah perintah Bapa yang sedang ditaati Kristus dalam konteks ini? (Perintah yang dengan melakukannya Kristus tinggal dalam kasih Bapa). Kristus kemudian menjawab, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu (ayat 12).” Seperti apakah Kristus telah mengasihi kita? Jawabannya ada di ayat 9: "Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu.” Jadi kita harus saling mengasihi sebagaimana Bapa mengasihi Kristus. Kenyataan ini sering dilupakan. Kita lebih sering menekankan bahwa teladan kasih yang Kristus berikan adalah: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya (ayat 13),” sementara kenyataan bahwa Kristus juga mengasihi kita sebagaimana Bapa mengasihi-Nya (ayat 9) kita lupakan. Menekankan teladan Kasih Kristus yang berkorban bagi kita menghasilkan kasih di antara murid-murid Kristus masa kini yang secara radikal berbeda dengan kasih yang dipraktekkan dunia. Seperti apakah ‘kasih’ yang dipraktekkan dunia? Mengasihi diri sendiri. Tiap-tiap orang mengasihi dirinya sendiri, bekerja-sama demi kepentingan masing-masing (tak ada sahabat abadi, tak ada musuh abadi, yang abadi hanyalah kepentingan masing-masing), lalu keluarlah hal-hal yang baik daripadanya. Kita pada dasarnya egois! Jatuhnya Negara-negara komunis di penghujung abad ke-20 menjadi bukti nyata kesalahan asumsi Marx tentang sifat manusia. Karl Marx mengasumsikan bahwa manusia pada dasarnya bersifat altruistik (suka berkorban dan berbuat baik kepada sesama – suka charity). Asumsi ini tidak jalan dalam lingkup global. Lebih dari 200 tahun sejak revolusi industri asumsi Adam Smith bahwa ekonomi digerakkan oleh prinsipself-interest (tiap-tiap orang sesungguhnya hanya mau mencari kepentingannya sendiri saja) kelihatannya lebih realistis. Transaksi menjadi lebih kondusif ketika orang dibebaskan dan dilindungi untuk secara bebas berkompetisi mencari kepentingan dan kebahagiaannya sendiri. Lihat saja kesuksesan kapitalisme Barat. Banyak orang terbunuh ketika mencoba menyeberangi tembok Berlin dari Timur ke Barat. Tetapi tak ada yang berminat untuk melakukan sebaliknya! Nobody beats the (free) market! Satu sisi perintah Yesus di sini, “Hendaklah kalian saling mengasihi sebagaimana Aku mengasihi kalian – dengan berkorban sampai mati,” adalah antitesis dari apa yang secara de facto dipraktekkan dunia. Masalahnya, apakah ini realistis? Marx mengasumsikan tiap manusia bersifat altruis (rela berkorban demi kasih pada sesama) dan ia membangun filsafat yang benar-benar dipraktekkan oleh sepertiga umat manusia di dunia di bawah kepemimpinan Lenin, Mao, Castro, dkk, hanya untuk membuktikan bahwa asumsi ini adalah keliru. Adakah tempat bagi perintah Yesus ini dalam masyarakat? Mimpi utopiakah ini?

Ini hal yang krusial. Sisi pertama perintah Yesus (‘saling mengasihi dengan berkorban’) tidak dapat dipisahkan dari sisi yang lainnya (‘saling mengasihisebagaimana Bapa mengasihi Kristus dan Kristus tinggal dalam kasih Bapa’). Bagian pertama sangat ditekankan di dalam Protestanisme Barat dengan doktrin penalsubstitution, sedangkan bagian kedua dapat kita pahami dalam ajaran yang lebih kuno dalam sejarah doktrin, yaitu: perichoresis di antara pribadi Allah Tritunggal. Yang belakangan ini lebih banyak berkembang dalam teologia Orthodox Timur. Pengakuaniman Nicea mengajarkan bahwa di antara pribadi Tritunggal ada kesaling-meresapan yang tuntas, ada unity di dalam Tritunggal – jadi kita tidak menyembah ‘tiga Allah’ (atau lebih tepatnya: ‘dua Allah’ - sebagaimana dipahami oleh para penganut bidatArianisme). Tetapi unity ini juga tidak mencampur-leburkan Pribadi Bapa dari Anak dan dari Roh hingga tak dapat dibedakan seperti dipahami oleh bidat Sabelianisme. Pendek kata: distinctio sed non separatio – tidak tercampur, tidak terpisah. Dibedakan, tetapi tidak dipisahkan. Ada ruang untuk keunikan sejati tiap pribadi, tetapi ada keintimanrelasi yang radikal dan kekal di antara Ketiga-Nya. Misteri relasi cinta yang paradigmatis bagi komunitas tubuh Kristus. Yesus memerintahkan murid-murid-Nyauntuk saling mengasihi sebagaimana Allah Tritunggal saling mengasihi dalam kesatuannya yang kekal. Tambahan lagi, kesatuan tubuh Kristus ini tidak berhenti pada dirinya sendiri. Kesatuan tubuh Kristus ini dimaksudkan untuk menyatukan kita dengan Bapa (bnd. Yoh 17:21 “…supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.”)

Sedari kekekalan Allah menginginkan kita untuk bersekutu satu sama lain, sama seperti Allah Tritunggal saling bersekutu dalam diri-Nya sendiri didalam kekekalan. Manusia diciptakan untuk menikmati dan mempermuliakan Tuhan (Westminster Shorter Catechism Q/A #1) di dalam komunitas (Kej. 1:27; 2:18). Salah satu kesalahpahaman kaum fundamentalis Injili adalah mereka melihat perintah mempermuliakan Tuhan di dalam ciptaan, kenyataan kejatuhan dalam dosa, dan keselamatan yang diberikan Tuhan melalui penebusan Kristus, semuanya di dalam kerangka individualisme. Aku yang melakukan dosa dan terbelenggu dosa, aku yang diselamatkan Tuhan dari dosa, dan akhirnya aku yang harus mempermuliakanTuhan, lalu kita jatuh-bangun dalam realitas dunia berdosa yang membuat ketatan kepada Tuhan seperti mission impossible juga sebagai seorang individu. Penekanan tak sadar yang kelewatan kepada individualitas ini mereduksi berita keselamatan Tuhanhanya untuk menyingkirkan takut akan kematian dan hukuman neraka, serta menceraikan mandat budaya dari mandat Injil. Individualisme membuat berita Injilterlepas dari tujuan kultural dan mediasi kulturalnya (dalam kasus kaum fundamentalisme injili). Seolah-olah penebusan yang dilakukan Kristus hanya berlaku padalingkup pribadi, tingkah-laku, atau ‘hal-hal rohani’ saja. Injil Kristus sesungguhnya merupakan berita sukacita bagi segala mahluk! Keseluruhan alam semesta yang diciptakan dengan luar biasa indah oleh Tuhan inilah yang ditebus, dipulihkan dari kerusakan akibat dosa manusia dalam pekerjaan Kristus. Inilah yang dimaksudkan Paulus sewaktu ia menuliskannya dalam Roma 8:19-21, “…dengan sangat rindu seluruh mahluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Karena seluruh mahluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia yang telah menaklukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena mahluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah.” Seluruh ciptaan. Jelas bukan terbatas pada individu-individu saja.

Seluruh jejaring makna yang melimpah dengan kehidupan (dan di dalamnya ada aspek aritmetis, geometris, fisis, biologis, sensitif, analitik, linguistik, inter-relasi sosial, ekonomi, estetis, hukum, etis, dan gereja) inilah yang mau dipulihkan oleh Tuhan di dalam rencana besar penebusan-Nya. Sampai di sini jelas sudah bahwa tiap individu orang percaya tidak berhenti sampai keputusannya untuk ‘menerima Yesus sebagai satu-satunya juru selamat pribadinya’. Tidak berhenti sampai ia mengaku sebagai orang Kristen. Pemberitaan Injil jelas berbeda dengan kristenisasi - yang sudah puas saat seseorang masuk Kristen saja. Berita Injil itu integral – satu paket – dengan keseluruhan realitas.

Yesus datang untuk mempersatukan kita satu sama lain di dalam kasih, ke dalam diri-Nya (menjadi satu tubuh Kristus) dan dengan demikian kita disatukan dalam saturelasi cinta dengan Bapa Pencipta langit dan bumi. Komunitas kasih gereja menjadi analogi dari komunitas kasih Allah Tritunggal. Maka tidaklah heran jika momenpaling sakral dalam ibadah orang Kristen adalah Perjamuan Kudus. Dengan menyantap roti dan anggur kita dipersatukan secara ‘mistis’ (atau kalau anda merasalebih nyaman, silakan pakai istilah: ‘secara rohani’) dengan Yesus Kristus. Kekristenan adalah tentang pembentukan komunitas suci tubuh Kristus. Di sinilah kita melihat sentralitas perintah saling mengasihi dalam kehidupan Kristiani kita.

Sampai di sini anda mungkin bertanya, “Jadi bagaimana kita melakukan perintah ini secara nyata?” Buat apa menjelaskan ruwet-ruwet begini kalau kesimpulanakhirnya sama saja: “Kita harus mengasihi!” Mungkin metafora yang Kristus berikan dapat memperjelas. Ia ingin murid-muridnya menjadi sahabat. Tuhan ingin kitamenjadi sekumpulan sahabat dengan memperlakukan kita (hamba-hamba) sebagai sahabat-sahabat-Nya (Yoh. 15:14-15). Sahabat itu tidak mengenal perbedaanstatus pendidikan, status sosial, warna kulit, bahkan agama! Setiap manusia adalah manusia bagi sesamanya. Saya suka cara Richard Mouw dalam bukunya, Calvinism in the Las Vegas Airport menyatakan bagaimana ia melihat dirinya: “I am first and foremost a human being. But I find being a Christian to be the best way for me to be a human being ...” Inilah tujuan Kristus datang dalam dunia: Untuk menjadikan kita sekumpulansahabat yang saling mengasihi, dan melalui sahabat-sahabat-Nya inilah Kristus memulai penebusan radikal-Nya bagi seluruh ciptaan.

Pondok Indah, 3 Februari 2008


Sumber:
http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE/message/7065

26 February 2008

Matius 9:9-13: RADICAL CONVERSION

Ringkasan Khotbah : 17 April 2005



Radical Conversion


oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.




Nats: Mat. 9:9-13




Pendahuluan

Kita telah memasuki bagian ketiga dari implikasi Kerajaan Sorga, yaitu separasi atau pemisahan; mengikut Tuhan berarti memisahkan diri dari dunia. Tuhan Yesus menegaskan bahwa tidak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan, yaitu Allah dan Mamon; kita harus pilih salah satu, mengikut Tuhan berarti kita harus meninggalkan mamon dan sebaliknya. Pilihan ini menjadi tantangan besar bagi manusia sebab manusia ingin Allah sekaligus mamon dengan kata lain manusia ingin dirinyalah sebagai tuan yang jadi penentu. Tapi, manusia bukanlah pemegang kontrol maka manusia harus taat pada siapa yang ia pilih untuk menjadi tuannya. Kita telah memahami bahwa tema sentral dari bagian cerita orang lumpuh yang disembuhkan ini terletak pada kalimat “dosamu sudah diampuni“ dan ini menimbulkan konflik antara Tuhan Yesus dengan para ahli Taurat dan orang Farisi. Ahli Taurat dan orang Farisi merasa diri sebagai orang yang beragama, mereka merasa bahwa ia sudah mendapatkan Sorga namun Tuhan Yesus membukakan bahwa mereka bukanlah bagian dari pemisahan itu.

Kalau pada kisah tentang orang lumpuh disembuhkan, Markus dan Lukas menulis lebih detail dibandingkan dengan Matius maka pada kisah pemungut cukai yang mengikut Yesus ini, pembahasan Matius, Markus maupun Lukas sama bahkan urutan dan settingnya pun sama. Dan menurut kebudayaan Yahudi merupakan hal yang biasa kalau seseorang mempunyai lebih dari satu nama, ada orang yang menyebut Petrus dengan Simon atau Kefas dan Matius dengan Lewi. Alkitab mencatat selain Tuhan Yesus yang diundang, banyak pemungut cukai dan orang berdosa yang juga diundang dan datang ke pesta itu. Pesta perjamuan ini kemungkinan adalah pesta perpisahan, farewell party. Ironisnya, Matius yang mengadakan pesta tetapi yang menjadi tuan rumah dalam pesta itu adalah Tuhan Yesus dan hal itu mendatangkan kejengkelan dari ahli Taurat dan orang Farisi.

Mengapa Matius jadi Pemungut Cukai?

Sesungguhnya para ahli Taurat dan orang Farisi ini sangat mengagumi hikmat bijaksana yang ada pada Yesus akan tetapi mereka tidak menyukai perilaku Yesus sebab perilaku Yesus sebagai salah seorang Rabbi Yahudi dirasakan tidak sesuai dengan para ahli Taurat dan orang Farisi pada umumnya. Mereka marah pada Tuhan Yesus akan tetapi seperti kejadian sebelumnya, kali inipun, mereka hanya menggerutu dalam hati, mereka tidak berani berbicara langsung pada Tuhan Yesus tetapi mereka menegur murid-murid-Nya. Tuhan Yesus tahu apa yang menjadi ganjalan hati mereka dan Tuhan Yesus memberi jawab dimana jawaban ini bersifat paradoxical: Bukan orang sehat yang perlu tabib tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa (Mat. 8:12,13). Jawaban ini terasa menyakitkan hati sebab mereka harus memikirkan ulang kembali dirinya, pikiran theologi dan hidupnya.

Matius bukanlah seperti pemungut cukai umumnya yang ada di pinggir jalan. Matius mengambil pajak dari setiap barang yang keluar atau masuk maka kantor bea cukai ini berada di daerah sentral, yaitu daerah perbatasan atau perdagangan. Penetapan pajak ini sudah menjadi peraturan dari pemerintah Romawi. Bayangkan, orang Yahudi yang bekerja keras tetapi pemerintah Romawi yang mengambil keuntungan maka tidaklah heran kalau orang Yahudi ini begitu membenci pemungut cukai apalagi Matius adalah orang Yahudi tetapi pro bangsa Romawi maka kebencian mereka pastilah berlipat-lipat. Orang Yahudi yang bekerja untuk pemerintah Romawi dikatakan sebagai pengkhianat atau kafir sebab mereka telah mempermainkan imannya dengan pro pada bangsa Romawi yang menyembah berhala. Ada ungkapan yang berbunyi: orang Romawi menjajah tubuh orang Yunani tapi orang Yunani menjajah otak orang Romawi. Memang benar, bangsa Yunani tidak dapat melawan bangsa Romawi tapi semua pemikiran filsafat Yunani sudah mencengkeram pemikiran orang-orang Romawi dimana dewa-dewa yang disembah dan cara penyembahannya mencontoh orang Yunani hanya namanya saja yang diganti, sebagai contoh dewi Artemis diganti menjadi Diana.

Bagi orang Yahudi, orang yang menyembah dewa adalah orang yang berdosa. Orang Yahudi telah belajar dari pengalaman 400 tahun mereka dibuang karena berulang kali jatuh ke dalam dosa penyembahan berhala maka sejak masa pembuangan itu, mereka tidak menyentuh berhala sedikitpun. Mereka takut kejadian yang sama terulang kembali maka orang Yahudi membuat peraturan-peraturan yang sedemikian ketat, salah satunya yaitu tidak boleh bersentuhan dengan orang kafir. Karena itu orang Yahudi sangat benci pada pemungut cukai yang bergaul dengan orang Romawi yang kafir. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang membuat Matius rela dicap sebagai pengkhianat dan dimusuhi oleh bangsanya sendiri? Jawabannya hanya satu, yaitu demi uang; Matius adalah seorang materialis. Pada jaman itu, semua pemungut cukai hidup kaya, mereka digaji besar oleh pemerintah Romawi demi untuk menjaga agar mereka tidak korupsi dan Matius merupakan salah seorang yang hidupnya kaya sebab untuk membuat suatu pesta sedemikian besar pasti dibutuhkan biaya yang besar.

Akan tetapi, Matius tidak peduli dengan semua pandangan orang atas dirinya sebab baginya yang terpenting hanya satu, yaitu kaya. Bukankah hal ini terjadi sampai sekarang? Demi uang, orang rela berkorban dan mengorbankan apapun. Matius berpikir kekayaan akan membuat hidup bahagia; ia telah dikunci oleh paradigma hidupnya. Namun ketika Matius menjalankan seperti yang ia pikirkan ternyata berbeda; apa yang ia pikir ternyata tidak sesuai dengan realita. Orang tidak mau belajar, orang selalu ingin mengalami sendiri. Begitu juga dengan Matius ketika ia memilih menjadi pemungut cukai dan menjadi kaya, apakah hidupnya bahagia? Alkitab mencatat ternyata tidaklah demikian, Matius menjadi orang yang tersendiri, lonely. Pekerjaannya menjadi rutinitas, ia tidak dapat keluar dari pekerjaannya sebab oleh bangsanya sendiripun ia ditolak dan kalaupun ia keluar dari pekerjaannya maka tidak ada tempat lain yang lebih menjanjikan daripada pemungut cukai.

Hari inipun orang masih berpikir kalau ia kaya maka akan mudah mendapatkan segala sesuatu dan itu membuat bahagia. Tidak! Semua itu membuktikan bahwa kita belum pernah kaya sebab kalau orang sudah kaya maka pasti tidak akan pernah keluar kalimat seperti demikian. Apalah artinya kekayaan kalau keluarga kita berantakan, apalah artinya kekayaan kalau uang justru membuat kita tidak dapat hidup damai sejahtera. Inilah kehidupan orang kaya banyak beban yang harus ia tanggung, banyak tuntutan yang harus dipenuhi. Kalau bukan Tuhan yang memberikan kekuatan maka sulit baginya untuk menanggung beban itu. Ingat, barangsiapa diberikan lima talenta maka Tuhan menuntut lima, barangsiapa mempunyai dua talenta maka Tuhan juga menuntut dua begitu juga jikalau kita diberikan satu talenta maka Tuhan hanya menuntut satu, tidak lebih dan tidak kurang. Kalau kita hanya diberikan satu talenta tapi kita mengerjakan secara berlebihan maka kita akan hancur sebab kita tidak mempunyai kekuatan cukup untuk menanggungnya.

Mengapa Matius mengikut Tuhan?

Di tengah-tengah kesibukannya bekerja, Tuhan Yesus mendatangi Matius dan berkata: “Ikutlah Aku.“ Seandainya kita berada di situasi itu bagaimanakah reaksi kita? Matius tentu bukan pertama kali mendengar tentang Yesus, pastilah Matius mendengar tentang segala perbuatan yang dilakukan oleh Yesus. Matius berasumsi bahwa Yesus sama seperti Rabbi Yahudi yang lain yang mempunyai konsep sama, yaitu menganggap dirinya pengkhianat dan orang berdosa. Akan tetapi di dalam hatinya sebenarnya Matius mempunyai kerinduan untuk lebih dekat dan mengenal Yesus, ia tahu bahwa Yesus pastilah dapat merubah hidupnya namun ia mengubur dalam-dalam impiannya tersebut sampai suatu ketika Tuhan Yesus datang padanya dan berkata: “Ikutlah Aku.“ Momen itu sangatlah krusial sebab mengikut Yesus bukanlah hal yang sederhana, orang tidak bisa masuk dan pergi kapan ia mau. Tidak!

Mengikut berasal dari kata akulotheo (bhs Ibrani) yang berarti mengikut tanpa syarat dan itu bersifat selamanya. Kalau mengikut Yesus berarti Matius harus keluar dari pekerjaannya sebagai pemungut cukai selamanya sebab banyak orang yang ingin menggantikan pekerjaan Matius. Hari itu, banyak orang yang berpikir sama, yaitu kekayaan akan membawa kenikmatan. Ingat, iblis sangat licik menjebak manusia dengan kekayaan yang justru akan membelenggu hidupnya dan akan sulit baginya untuk keluar dari belenggu iblis. Jangan pikir hidup kita akan menjadi nikmat ketika kita berpenghasilan semakin tinggi, tidak, sebab ketika kita jatuh maka tingginya penghasilan justru mencelakakan hidup kita dan menjadi tiang gantung bagi kita. Tuhan tahu sampai dimana batas kecukupan kita maka kalau sudah melampaui batas maka pasti bukan Tuhan yang memberi tapi asalnya dari iblis.

Tuhan tidak akan memberikan kemiskinan supaya jangan sampai kita mencuri dan mempermalukan nama Tuhan atau memberikan kekayaan sehingga kita melupakan Tuhan. Orang kaya sejati adalah orang yang tidak diikat dengan kekayaannya, dengan penghasilan seratus juta rupiah ia dapat hidup tapi dengan uang hanya satu juta rupiah pun ia dapat hidup. Biarlah kita belajar dari pengalaman iman Yusuf berjalan bersama Tuhan menyadarkannya bahwa Tuhan satu-satunya sandaran hidup kita. Inilah bedanya orang yang hidup bersandar pada mamon dan Tuhan. Tentunya menjadi pergumulan berat dalam diri Matius ketika Tuhan memanggilnya akan tetapi Matius telah melangkah dengan iman. Ingat, Tuhan tidak menjanjikan hidup kita akan bahagia dan nikmat ketika kita menjadi murid-Nya tetapi Tuhan janji: Ia akan selalu beserta ketika badai itu datang menimpa kita. Pilihan Matius adalah pilihan sempurna, dibutuhkan kesadaran penuh dan cara pandang Matius kini berbeda, ia melihat ada pengharapan di dalam Kristus.

Kesaksian indah mengikut Tuhan

Alangkah indahnya kalau hidup kita dipimpin Tuhan, memang saat ini mungkin yang ada di depan mata kita hanyalah kegelapan ketika kita mengikut Yesus tapi satu hal yang pasti Tuhan tidak akan membiarkan kita berjalan sendiri, Ia akan menuntun kita keluar dari kegelapan itu. Orang selalu terjebak dengan kekinian, mata kita mudah sekali melihat ke bawah tetapi sulit memandang Sorga. Cobalah renungkan, kalau memang benar, kekayaan dapat membuat hidup kita bahagia maka pasti tidak ada orang kaya yang bertobat. Karena itu dibutuhkan langkah iman yang besar untuk orang dapat bertobat. Hati-hati, dengan akal licik si iblis yang selalu menggoda manusia dengan segala kenikmatan namun berakhir dengan kehancuran. Iblis selalu meminta imbalan atas pemberiannya, ia tidak pernah memberikan gratis; iblis ingin nyawa kita sebagai gantinya. Berbeda dengan Tuhan, Ia memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi kita. Pada saat kita dihadapkan pada suatu titik kritis yang menuntut suatu keputusan maka disana nampaklah siapa sesungguhnya kita, termasuk orang bodoh ataukah orang bijak? Hendaklah kita menjadi bijak dengan tidak mudah tertipu oleh akal licik si iblis. Orang bijak bukanlah orang yang pandai tapi orang yang bijak adalah orang yang taat kehendak Tuhan.

Makna hidup kita tidak ditentukan oleh uang sebab ketika kita gagal menguasai uang maka uang itu berganti yang menguasai hidup kita dan akhirnya kita menjadi budak uang. Banyak orang yang ingin kaya, orang berharap dengan kekayaannya itu, ia dapat mengatur hidup namun fakta terbalik justru uang yang mengatur hidup kita, uang menjadi tuan yang membelenggu hidup. Kisah hidup seorang Elvis Presley dan para selebritis lain dapatlah kita jadikan pelajaran bagi kita. Demi untuk mendapatkan uang dan ketenaran maka Elvis harus membayar mahal, ia harus menukarnya dengan kebebasan dan hidupnya berakhir dengan kehancuran. Namun hari ini, masih banyak orang yang ingin hidup seperti Elvis Presley atau Lady Di yang dipuja dan kaya namun semua ketenaran dan kekayaan itu justru menghantar mereka menuju kehancuran. Hidup mereka berakhir dengan sangat mengenaskan.

Keputusan yang diambil Matius bukanlah keputusan biasa atau sekedarnya. Pesta yang ia adakan menjadi proklamasi dirinya, ia dapat bersaksi keindahan menjadi pengikut Tuhan Yesus. Matius tahu, mengikut Yesus berarti ia akan kehilangan kekayaannya tapi ia tahu ia akan mendapatkan kepenuhan hidup. Ketika Matius kembali pada Kristus, disana ia mendapatkan kemerdekaan dalam Kristus, ia tidak lagi menjadi budak uang. Matius telah mendapatkan yang terindah. Dunia hanya dapat memamerkan kekayaan tapi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana kehidupan yang sesungguhnya? Kita tidak tahu, apa yang tersembunyi di balik senyum dan penampilan seseorang yang memukau mungkin disana ada air mata yang berderai. Ketika kita mengikut Kristus mungkin hidup kita tidak akan kaya bahkan mungkin tidak banyak orang yang mengenal kita tapi hidup akan bahagia sebab kita mendapatkan makna hidup. Jangan sia-siakan waktumu dengan percuma tetapi jadikanlah hidupmu penuh makna sehingga hidup kita di dunia yang singkat ini tidak menjadi sia-sia dan berakhir dengan kehancuran. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)





Sumber:

http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2005/20050417.htm

Resensi Buku-44: TIDAKKAH KAMI MEMPUNYAI HAK? (Mabel Williamson)

...Dapatkan segera...




Buku

HAVE WE NO RIGHTS ?

(TIDAKKAH KAMI MEMPUNYAI HAK ?)

oleh : Mabel Williamson

Penerbit : Momentum Christian Literature, 2007

Penerjemah : Lana Asali Sidharta

Prakata :

Ø Pdt. DR. STEPHEN TONG

Ø Rev. James Montgomery Boice, Th.D., D.D.

Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio :

Di zaman postmodern, banyak orang suka meneriakkan Hak Asasi Manusia (HAM) ketimbang lebih memperhatikan kewajiban asasi manusia. Beberapa pemimpin gereja pun (dan orang-orang Kristen) juga diajar untuk lebih memperjuangkan haknya. Benarkah kita harus memperjuangkan hak ? Ataukah kita harus membuang hak kita ? Selama pelayananya bertahun-tahun di China, Mabel Williamson belajar bahwa dirinya bukan miliknya sendiri. Dalam arti, ia tidak bisa terus mempertahankan hak-haknya sendiri, tetapi ia harus belajar mengorbankan hak-haknya atas kenyamanan hidup sehari-hari, kesehatan, keselamatan jasmani, privasi dalam pekerjaan, waktu, teman-teman, asmara, keluarga, dan rumah tangga. Itulah yang sedang dituturkan olehnya di dalam buku ini dengan sebuah kisah pengalaman di China baik pengalamannya sendiri maupun pengalaman orang lain. Pdt. Dr. Stephen Tong sebagai rekan kerja Mabel Williamson ketika mengajar di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang di dalam Prakatanya menuturkan bahwa Mabel Williamson meneladani semangat Paulus, yaitu “hak terbesar seorang yang melayani Tuhan ialah melepaskan haknya.” di dalam 1 Korintus 9:12,15. Di lain pihak, Rev. Dr. James M. Boice di dalam Prakatanya juga mengatakan, “...identitas... sesuatu yang dibentuk melalui pilihan-pilihan yang sulit, pekerjaan, dan komitmen pada orang lain.” Bahkan bagi Dr. Boice, buku ini adalah satu dari sepuluh buku yang paling berpengaruh bagi hidupnya. Saya pun juga diberkati melalui buku ringan dan singkat ini mengenai bagaimana kita mengorbankan hak-hak kita demi melayani Tuhan. Mungkin hal ini agak sulit, tetapi biarlah kiranya Roh Kudus memampukan kita untuk melakukan hal ini dalam melayani dan memuliakan nama Allah.

Profil Mabel Williamson :

Mabel Williamson telah melayani di Indonesia sejak tahun 1960 sebagai pengajar Alkitab. Ia pernah mengajar selama sepuluh tahun di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang dan juga di Singapore Theological Seminary. Ia mengawali pelayanannya dengan China Inland Mission, yang kini dinamakan Overseas Missionary Fellowship (OMF), pada tahun 1934.

Roma 6:1-4: IMPLIKASI PERBEDAAN ESENSIAL-2: Kehidupan yang Mati Vs Kematian yang Hidup-1

Seri Eksposisi Surat Roma :

Manusia Lama Vs Manusia Baru-4



Implikasi Perbedaan Esensial-2 :

Kehidupan yang Mati Vs Kematian yang Hidup-1

oleh : Denny Teguh Sutandio

Nats : Roma 6:1-4.

Setelah mempelajari tentang implikasi perbedaan manusia pertama dan kedua poin pertama yaitu di dalam Taurat dan anugerah Allah di ayat 20 s/d 21, maka kita akan mempelajari implikasinya yang kedua yaitu kehidupan yang mati vs kematian yang hidup di pasal 6 ayat 1 s/d 4. Mengapa saya memakai kedua istilah ini : kehidupan yang mati vs kematian yang hidup ? Kehidupan yang mati menandakan status dan kondisi kita ketika kita masih berdosa (manusia) lama, di mana kita secara fenomena hidup (dilihat dari aktivitas kita : makan, minum, bernafas, dll), tetapi jiwa dan keseluruhan esensi hidup kita sudah mati di dalam dosa, mengapa ? Karena kita menghidupi dosa (disebut hidup yang mematikan). Sedangkan ketika kita sudah ditebus oleh Kristus, kita menjadi manusia baru yang mematikan dosa dan hidup bagi Kristus. Dengan kata lain, kita mungkin dianggap “mati” oleh dunia berdosa (karena tidak mengikuti arus zaman yang gila ini), tetapi kita sebenarnya hidup karena kita mematikan dosa dan bangkit untuk mempersembahkan hidup kita bagi Kristus (Roma 12:1-2). Oleh karena itu, marilah kita melihat lebih teliti keempat ayat di dalam pasal 6 ini.

Di ayat 20 di pasal 5, Paulus menjelaskan bahwa ketika dosa bertambah banyak, di situ kasih karunia menjadi berlimpah-limpah. Konsep ini mungkin kelihatan tidak masuk akal, tetapi kita sudah merenungkannya di bagian sebelumnya. Konsep ini bisa disalahmengerti. Hal ini diungkit kembali oleh Paulus di pasal 6 ayat 1, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?” Ini juga lah yang menjadi pertanyaan orang-orang dunia. Kalau di Alkitab kita membaca bahwa semakin dosa bertambah banyak, maka kasih karunia juga makin berlimpah, bukankah ini mengakibatkan banyak orang “Kristen” semakin tetap berdosa ? Apalagi ada orang “Kristen” sendiri yang memegang doktrin Arminianisme berani menuduh Calvinisme dengan mengatakan bahwa kalau seseorang sudah pasti selamat dan tidak mungkin murtad, bukankah ia boleh sembarangan berdosa, toh nantinya ia pasti selamat ? Pertanyaan Paulus ini merupakan pertanyaan retoris yang tak memerlukan jawaban, tetapi sekaligus sebagai pertanyaan perenungan bagi jemaat di Roma maupun kita yang hidup saat ini.

Terhadap pertanyaan ini, Paulus menjawabnya di ayat 2, “Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” Di titik pertama, Paulus langsung mengatakan bahwa meskipun kasih karunia semakin berlimpah di saat dosa semakin banyak, tidak berarti itu mengakibatkan kita semakin bertekun di dalam dosa. “Sekali-kali tidak!” dalam terjemahan King James Version (KJV) : “God forbid.” (=Allah melarangnya) Terjemahan ini bukan hanya terjemahan untuk kepentingan akademis, tetapi memiliki arti. Ketika dimunculkan pernyataan bahwa Allah melarang, berarti Allah membenci kita berbuat dosa setelah kita mengerti Kebenaran. Mengapa Allah melarang ? Di ayat 2b dan 3 yang merupakan alasan kita tidak bertekun di dalam dosa ini adalah ayat yang merupakan pertanyaan retoris sekaligus sebagai pertanyaan perenungan dan pengajaran tidak langsung dari Paulus.

Alasannya adalah karena kita telah mati bagi dosa. Mati bagi dosa artinya sama dengan mematikan dosa. Kita tidak lagi bertekun di dalam dosa karena kita sudah mati bagi dosa. Kapan kita sudah mati bagi dosa ? Yaitu ketika kita mengalami anugerah penebusan Kristus. Saat kita dibenarkan dan ditebus oleh Kristus secara cuma-cuma, ada dua hal yang terjadi : pertama, kita harus bertobat. Bertobat berarti berbalik 180 derajat dari posisi kita yang gelap kepada terang Allah. Ini adalah tindakan spontan/langsung. Kedua, secara progresif (terus-menerus/berkelanjutan) kita dikuduskan oleh Roh Kudus. Ini adalah proses kita semakin lama semakin mengenal Allah dan kehendak-Nya. Mengapa kita perlu mematikan dosa ? Karena Kristus yang sudah membenarkan dan menebus kita telah mematikan dosa itu bagi kita, sehingga kita pun wajib mematikan dosa kedagingan di dalam diri kita (meksipun itu hanya sisa-sisa saja). Dengan kata lain, penebusan Kristus terhadap dosa-dosa kita mengakibatkan kita semakin lama semakin mematikan (sisa-sisa) dosa kita sehingga kita nantinya makin menyerupai Kristus, Kakak Sulung kita. Kalau Kristus sudah menebus kita dari dosa, adalah suatu kekonyolan yang aneh jika kita yang telah ditebusnya mau tetap menghidupi dosa. Apa artinya menghidupi atau hidup di dalam dosa di dalam ayat ini ? Hidup di dalam dosa identik dengan menjadi hamba dosa (Yohanes 8:34). Menjadi hamba dosa, kata Tuhan Yesus, berarti orang itu terus-menerus berbuat dosa. Orang yang terus berbuat dosa jelas bukan lahir dari Allah, sedangkan orang yang lahir dari Allah tidak terus-menerus berbuat dosa (meskipun masih bisa berdosa lagi) (1 Yohanes 3:8-9). Apa bedanya ? Bukankah orang yang lahir dari Allah juga bisa berdosa lagi ? Orang-orang yang lahir dari Allah memang bisa berdosa lagi, tetapi yang menjadi fokus dan esensi hidupnya bukanlah dosa, tetapi Kristus. Dengan kata lain, dosa tidak lagi mengikat orang-orang yang lahir dari Allah. Bagaimana dengan kita ? Mungkin kita mengaku diri di depan masyarakat bahwa kita itu Kristen bahkan puluhan tahun, tetapi sayangnya kita masih menghidupi dosa itu, bukankah itu menandakan kita belum menjadi manusia baru yang lahir dari Allah ? Saya mengamati banyak orang yang mengaku diri “Kristen” bahkan aktif “melayani ‘tuhan’” tetapi paradigmanya masih kacau dan masih dicengkeram oleh dosa dengan mencoba memisahkan antara iman Kristen dengan ilmu/kehidupan sehari-hari. Selain itu, ada juga orang “Kristen” juga malas disuruh belajar Alkitab, meskipun di depan masyarakat, mengaku bahwa ia “melayani ‘tuhan’” di gereja tertentu. Itu semua adalah tanda kita belum mau menjadi manusia baru meskipun menyebut diri “Kristen. Bukan hanya orang-orang lain, saya pun menyadari kelemahan-kelemahan saya. Oleh karena itu, sudah saatnya marilah kita yang termasuk anak-anak Allah (umat pilihan Allah) keluar dari ikatan dosa dan iblis, lalu bangkit menjadi manusia baru.

Bagaimana kita bisa menjadi manusia baru ? Di titik pertama, kita perlu belajar bahwa menjadi manusia baru memang harus diusahakan tetapi itu bukan 100% hasil jerih payah kita, melainkan itu adalah anugerah Allah. Rasul Paulus menasehatkan, “Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Filipi 2:12-13) Seringkali untuk menyerang Calvinisme, para penganut Arminianisme (termasuk di dalamnya Katolik Roma dan liberal terselubung) dengan tidak bertanggungjawab mengajarkan bahwa Filipi 2:12 mengajarkan orang Kristen untuk mengerjakan keselamatan, dengan demikian berarti keselamatan kita bisa hilang. Benarkah ayat ini berarti demikian ? Kalau “benar”, maka apa yang Paulus ajarkan sangat berbeda dari ajaran Tuhan Yesus di dalam Yohanes 3:16 yaitu barangsiapa yang percaya kepada-Nya akan beroleh hidup yang kekal (bukan hidup yang sebagian kekal). Kenyataannya TIDAK. Tafsiran merekalah yang kacau dan seenaknya sendiri. Filipi 2:12 memang mengajar kita untuk mengerjakan keselamatan, tetapi ayat ini disusul ayat 13 yang mengajarkan prinsip penting bahwa ketika kita bisa berbuat baik, itupun karena Allah yang memulai mengerjakan di dalam kita baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. Dengan kata lain, Allah yang memulai, Ia pulalah yang mengakhirinya, karena Ia adalah Alfa dan Omega. Arminianisme (termasuk di dalamnya Open Theism, mayoritas Katolik Roma) yang memuja kehendak bebas manusia dan menghina kedaulatan Allah di titik pertama dapat ditumbangkan argumentasinya karena mereka tak mempercayai ketidakberubahan Allah.

Lalu, setelah kita mengerti bahwa Allah sebagai sumber di mana kita nantinya bisa melakukan/mengerjakan keselamatan, maka apa yang harus kita lakukan selanjutnya ? Di ayat 3, Paulus mengambil teladan dari Kristus bagi kita, “Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya?” Kata “kita semua” tidak sesuai dengan terjemahan asli maupun terjemahan King James Version yang memakai, “many of us”. Kata ini berarti tidak semua orang yang mengaku diri “Kristen” dibaptis di dalam Kristus, tetapi hanya umat pilihan Allah sejati di dalam Kristus yang dibaptis di dalam Kristus (tidak semua orang yang mengaku diri “Kristen” pasti termasuk umat pilihan Allah, karena banyak orang “Kristen” gadungan yang beriman di dalam diri ketimbang di dalam Kristus yang secara otomatis tidak termasuk umat pilihan-Nya). Cara kita menjadi manusia baru adalah pertama, dibaptis di dalam Kristus dan kematian-Nya. Geneva Bible Translation Notes memberikan tafsiran atas ayat ini, “There are three parts of this sanctification: that is, the death of the old man or sin, his burial, and the resurrection of the new man, descending into us from the virtue of the death, burial, and resurrection of Christ, of which benefit our baptism is a sign and pledge.” (=Ada tiga bagian dalam pengudusan ini : yaitu, kematian manusia atau dosa lama kita, penguburannya, dan kebangkitan manusia baru) turun/diwarisi ke dalam kita dari kebaikan kematian, penguburan, dan kebangkitan Kristus, yang olehnya menguntungkan baptisan kita sebagai tanda dan jaminan/janji.) Albert Barnes dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menafsirkan, “The act of baptism denotes dedication to the service of him in whose name we are baptized.” (=Tindakan baptisan menandakan dedikasi untuk melayani Dia di dalam nama kita dibaptiskan.) Barnes merujuk kepada 1 Korintus 10:2 sebagai peringatan bahwa bangsa Israel juga dibaptiskan bagi Musa untuk melayani Musa atau mengakui Musa sebagai pemimpin mereka. Kita dapat belajar dari Barnes, bahwa baptisan bukan sekedar lambang lalu kita boleh mengabaikannya, atau di ekstrim lain, baptisan itu terpenting, sehingga sebelum dibaptis, begitu khusyuk, tetapi setelah dibaptis, banyak dari kita berlaku liar (karena sudah dibaptis). Kedua ekstrim ini harus dihindari. Alkitab mengajarkan bahwa baptisan itu janji sekaligus tanda kita terikat di dalam anggota keluarga Allah, di mana kita harus melayani-Nya. Melayani berarti harus mendedikasikan seluruh hidup kita bagi kemuliaan-Nya (bandingkan Roma 12:1-2). Dengan dibaptiskan di dalam kematian-Nya, kita juga berani untuk TIDAK melayani iblis dan dosa, tetapi melayani Allah sebagai hamba-Nya, hamba Kebenaran sejati.

Setelah dibaptis di dalam Kristus dan kematian-Nya, cara kedua adalah hidup baru di dalam Kristus (dibaptis di dalam kebangkitan-Nya). Hal ini disebutkan Paulus di dalam ayat 4, “Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.” Di dalam iman Kristen yang Alkitabiah, kita beriman bahwa setelah Kristus mati, Ia bangkit. Demikian juga, setelah kita dibaptiskan di dalam kematian-Nya, kita pun harus dibaptiskan di dalam kebangkitan-Nya. Artinya, ada hidup baru. Hidup baru bukan hanya mendedikasikan sseluruh hidup kita bagi kemuliaan-Nya, tetapi kita mau men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidup kita. Men-Tuhan-kan Kristus berarti menjadikan Dia sebagai Tuhan dan Pemilik hidup kita. Bagaimana dengan kita ? Seringkali kita berani mengaku diri “Kristen”, tetapi aneh sekali ketika nama Tuhan dan konsep iman Kristen disebutkan di luar gereja, kita sangat alergi dengan alasan yang dibuat-buat, “Tidak ada hubungannya.” Itukah cara kita men-Tuhan-kan Kristus ? Atau jangan-jangan kita sedang men-“tuhan”-kan iblis dan dosa, lalu kita mengklaim iblis sebagai “tuhan”. Itulah kegagalan postmodern yang mengilahkan dan memutlakkan relativisme. Sudah seharusnya kita sebagai anak-anak Allah keluar dari bujuk rayu iblis melalui ide postmodern dan kembali kepada Alkitab untuk men-Tuhan-kan Kristus dan menjadikan Dia sebagai satu-satunya fokus hidup kita. Itulah tandanya manusia baru yang dibaptis di dalam kebangkitan-Nya.

Mari dengan rendah hati, kita belajar taat mutlak kepada Allah dan Firman-Nya untuk terus-menerus berkomitmen untuk hidup bagi-Nya dan men-Tuhan-kan-Nya bukan diri kita atau iblis atau hal-hal sejenis yang najis di hadapan-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.

21 February 2008

Yakobus 2:23-26

Ayat 23, “Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: ‘Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.’ Karena itu Abraham disebut: ‘Sahabat Allah.’” (Yunani : kai eplhrwqh h grafh h legousa episteusen de abraam tw yew kai elogisqh autw eiv dikaiosunhn kai filoς qeou eklhqh = sehingga dipenuhi nas Alkitab (yang) berkata, telah percaya lalu Abraham kepada Allah, dan (itu) diperhitungkan kepadanya sebagai status yang dibenarkan sehingga sahabat Allah ia dipanggil.”). Terjemahan bebas, “Jadi, genaplah nas Alkitab yang mengatakan bahwa ketika Abraham percaya kepada Allah, ia dibenarkan secara status di hadapan-Nya dan ia disebut sahabat Allah. Melalui ayat 23, Yakobus tetap mengatakan bahwa Allah memperhitungkan iman (kepercayaan) Abraham (bukan perbuatannya) kepada Allah sebagai status yang dibenarkan. Bagian ini mengutip kitab Kejadian 15:6 yang mengatakan, “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Di ayat ini, tidak disebut sama sekali mengenai sebutan Abraham yaitu sebagai “Sahabat Allah”, tetapi jika ditarik kesimpulan, memang benar bahwa Abraham yang dibenarkan oleh Allah dapat dikatakan dan disebut sebagai sahabat Allah. Iman Abraham kepada Allah merupakan suatu iman yang luar biasa, mengapa ? Karena perlu diketahui, Abram dulu tinggal di suatu lingkungan penyembah berhala dan ketika Allah memanggil Abram untuk keluar dari Ur-Kasdim (Kejadian 12), Abram tidak banyak bertanya atau meragukan Allah, tetapi ia menjalankannya. Di sini titik iman Abram yang luar biasa, oleh karena itu ia disebut bapa orang beriman. Tidak hanya itu saja, di pasal 15 kitab Kejadian, ketika Abram meminta keturunan dan Allah mengabulkannya dengan membawa Abram ke luar serta berfirman, “’Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya.’ Maka firman-Nya kepadanya, ‘Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.’” (Kejadian 15:5). Menanggapi firman Allah ini, Abram bukannya meragukan Allah atau menganggap Allah itu hanya menipu dia, tetapi ia mempercayai setiap firman Allah, sehingga Alkitab berkata, “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Kepercayaan (iman) Abraham adalah respon pertama setelah Allah berfirman dan imannya dilakukan (sebagai bukti/hasil dari imannya yang sejati) sehingga Abraham disebut sahabat Allah. Perhatikan, apa yang terjadi pada kasus Abram, jangan ditafsirkan bahwa kalau manusia tidak beriman dan tidak meminta, maka Allah itu diam saja dan merasa “kasihan”, sehingga perlu ada jasa manusia di dalam rencana Allah. Tidak. Kalau ada anggapan seperti itu, bagaimana Abram bisa meminta kepada Allah, jika Allah tak pernah mencipta Abram, dan bagaimana Abram bisa mempercayai firman Allah, jika Allah tak pernah berfirman kepadanya. Di sini, paradigma kita harus melihat segala sesuatu dari sudut pandang Allah, bukan dari sudut pandang manusia. Kita harus melihat Kedaulatan Allah (The Sovereignty of God) di atas segala-galanya, bukan “kehendak bebas” manusia. Sungguh unik, Yakobus dengan jeli menghubungkan antara kepercayaan Abraham kepada Allah dengan status yang dibenarkan. Hal ini pula yang diyakini oleh setiap anak-anak Tuhan di mana ketika dianugerahkan oleh Allah sebuah iman yang menyelamatkan dan hidup (living and saving faith), di saat itu pula kita mendapat pembenaran (status pembenaran) di mana kita dibenarkan di hadapan Allah Bapa. Jadi, di sini Yakobus mengajar bahwa karena iman saja manusia diselamatkan (sola fide). Hanya melalui iman yang benar kepada Allah yang benar yang merupakan anugerah Allah 100% kepada orang-orang yang telah dipilih-Nya sebelum dunia dijadikan lah, manusia (pilihan-Nya) beroleh status yang dibenarkan oleh Allah. Tanpa ada campur tangan anugerah Allah, manusia yang dalam keadaan/natur berdosa tak mungkin meresponi panggilan Allah melalui iman, karena manusia pada hakekatnya lebih suka melakukan sesuatu yang jahat ketimbang yang baik. Hanya oleh melalui iman sajalah, manusia yang dalam keadaan berdosa boleh dibenarkan di hadapan Allah secara cuma-cuma dan proses pembenaran ini berlangsung sampai selama-lamanya serta proses ini tidak pernah akan hilang (Perseverance of The Saints) karena Allah yang menganugerahkan keselamatan, Ia pulalah yang memelihara keselamatan itu hingga akhirnya, sehingga tak satu kuasa manapun yang bisa merebut keselamatan anak-anak-Nya yang telah Ia pilih sebelum dunia dijadikan. Pada saat kita telah percaya kepada Tuhan Yesus, kita bukan hanya mendapat status dibenarkan oleh Allah, tetapi Kristus menyebut kita sebagai sahabat (Yohanes 15:14-15). Kata “sahabat” yang dijelaskan pada Yohanes 15:13 mempunyai persamaan kata dengan anak-anak-Nya (umat pilihan-Nya), karena di situ Tuhan Yesus sedang berbicara mengenai kasih-Nya yang memberikan nyawa-Nya sendiri kepada mereka. Lalu, ayat ini disambung dengan pernyataan bahwa kamu (di sini menunjukkan para murid-Nya) adalah sahabat-Nya jikalau kamu (mereka) melakukan atau berbuat apa yang Kuperintahkan kepada mereka (Yohanes 15:14). Status dibenarkan lalu disambung dengan status disebut sebagai sahabat, tetapi bukan hanya itu saja, seorang anak Tuhan disebut sahabat jika ia melakukan perintah-Nya. Apakah ini berarti jasa baik manusia diperhitungkan Tuhan baru setelah Tuhan menyebut mereka sebagai sahabat ? Tidak. Jika diperhatikan, pada ayat 9-10, Tuhan Yesus membuka pengajarannya dengan mengatakan, “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu ; tinggallah di dalam kasih-Ku itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.” Kedua ayat ini merupakan dasar utama ketika Tuhan Yesus mengatakan bahwa kita harus menuruti perintah-Nya, itu menunjukkan bahwa kita mengasihi Allah, sebagaimana Allah telah terlebih dahulu mengasihi kita, anak-anak-Nya. Jadi, ketika kita dapat menuruti perintah-perintah-Nya, itu bukan kemampuan kita, itu hanya karena anugerah-Nya yang memampukan kita untuk menaati perintah-Nya. Kalau Allah tidak terlebih dahulu mengasihi manusia yang berdosa, bagaimana bisa manusia mengasihi Allah dengan menaati perintah-Nya ? Pada ayat 15, Tuhan Yesus menegaskan ulang pengajaran-Nya pada ayat 14 dengan membandingkan kata “sahabat” dengan kata “hamba”, di mana ketika seseorang telah percaya kepada Tuhan Yesus, statusnya bukan lagi sebagai hamba, karena hamba tidak mengerti apa yang dilakukan oleh tuannya, tetapi kita disebut sahabat, karena Kristus telah memberitahukan kepada kamu (anak-anak-Nya) segala sesuatu yang telah Ia dengar dari Bapa-Nya. Apakah berarti kita pun mengetahui seluruh rencana Allah dengan sempurna ? Tidak. Kata “telah” di sini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus hanya memberitahukan segala sesuatu yang Ia telah dengar dari Bapa, bukan yang akan Ia dengar atau yang sedang Ia dengar. Mengapa ? Karena hanya Allah Bapa saja yang memiliki kedaulatan penuh atas rencana-Nya dan hanya Ia sajalah yang berdaulat memberitahukan manusia hal-hal yang perlu diberitahu dan menyimpan sesuatu yang hanya boleh diketahui oleh Allah Bapa sendiri (Ulangan 29:29), misalnya kedatangan Kristus yang kedua kalinya (dalam hal ini, Tuhan Yesus pun tidak tahu). Tidak hanya itu saja, ayat 16, Tuhan Yesus menegaskan kembali bahwa bukan manusia yang memilih Allah, tetapi Allah yang memilih manusia. Ini sangat berkaitan erat dengan status sahabat di mana sahabat ini tentu dipilih oleh Allah, untuk apa ? Ayat ini melanjutkan bahwa ketika Allah memilih manusia, Ia menetapkan mereka untuk pergi dan menghasilkan buah dan buah itu tetap, supaya apa yang mereka minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu. Ayat ini seringkali ditafsirkan secara sembrono oleh mayoritas-mayoritas gereja Karismatik/Pentakosta di mana kebanyakan mereka mengajarkan bahwa setiap permintaan yang dialaskan dalam nama Tuhan Yesus pasti dikabulkan karena Ia sendiri menjanjikan demikian. Sekali lagi, ayat ini jangan dicomot lepas dari konteksnya. Ayat ini memang berupa janji Kristus yang akan memberikan segala sesuatu yang diminta oleh manusia, tetapi kalau manusia itu sudah melakukan apa yang diperintahkan-Nya yaitu menghasilkan buah. Jadi, istilahnya, perintah dijalankan, baru dapat hasilnya. Sudahkah kita hari ini menyadari ketika kita dipanggil oleh Allah untuk percaya kepada Tuhan Yesus, itu merupakan anugerah yang sangat indah dan agung, karena Ia telah memilih kita dari sekalian banyak orang yang hidup di dunia dan kita dibawa masuk ke dalam Keluarga-Nya, menikmati status pembenaran dan disebut sahabat Allah ? Dengan sangat tepat, Katekismus Singkat Westminster (Westminster Shorter Cathecism) pada pasal 1 menjelaskan bahwa tujuan hidup manusia yaitu untuk memuliakan Allah dan berbahagia di dalam Dia selama-lamanya. Kita bukan hanya memuliakan Allah saja, tetapi juga menikmati-Nya karena kita telah menjadi anak-anak-Nya dan hidup bersama-sama di bawah pimpinan Allah.

Ayat 24, “Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman” (Yunani : órate oti έx ergwn dikaioutai άnθrwpoς kaί ouk ek pίstewς mónon = Kamu lihat bahwa karena perbuatan-perbuatan dibenarkan manusia dan tidak karena iman hanya.”). Terjemahan bebas, “Lihatlah bahwa manusia dibenarkan bukan hanya melalui iman saja, tetapi juga melalui perbuatan-perbuatan.” Setelah membahas mengenai Abraham yang secara status dibenarkan karena melakukan apa yang Ia perintahkan, Yakobus menjelaskan dan menyimpulkan bahwa manusia dibenarkan bukan hanya karena iman, tetapi juga karena perbuatan-perbuatannya. Perhatikan kata “bukan hanya karena iman” yang berarti manusia tetap dibenarkan melalui iman kepada Tuhan Yesus Kristus, tetapi kalau iman yang menyelamatkan itu saja yang menjadi pegangan, bagaimana orang lain dapat melihat bahwa diri kita beriman, kalau perbuatan-perbuatan kita sama jahatnya dengan orang-orang dunia ? Di sini, Yakobus ingin menyeimbangkan dan mengintegrasikan iman yang menyelamatkan dan hidup dengan perbuatan-perbuatan sehari-hari yang memuliakan Allah. Kalau ada orang-orang “Kristen” yang dengan sembrono menafsirkan ayat ini lepas dari konteksnya dan membuang kata “bukan hanya” lalu mengatakan, “Jangan teori saja, mana prakteknya ?”, mereka harus menyelidiki terlebih dahulu, apakah benar melalui perbuatan baik manusia dibenarkan ? Ketika ada orang Kristen lainnya mengkritik tindakan kita yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan, kita harus tetap menguji teguran/kritikan itu apakah sesuai dengan Alkitab atau tidak, jika sesuai, kita harus dengan rendah hati dan rela menerima teguran itu lalu bertobat dan tidak mengulanginya, tetapi jika tidak sesuai, kita tetap harus sadar diri, jangan malahan membalas kritikannya. Tetapi yang sangat disesalkan, ketika ada orang Kristen menegur saudara seimannya, selalu dikaitkan dengan gerejanya atau doktrinnya, dengan mengatakan, “Orang Reformed kok berkata kotor ?” atau “Orang Kristen kok buang sampah sembarangan ?”, dll, padahal hal itu (status) tidak perlu dikatakan. Orang yang mengatakan hal ini pun kadang-kadang perbuatannya tidak lebih baik dari yang dikritik, tetapi mereka dengan sok tahu dan sombong menegur orang lain. Kalau ada orang Kristen yang berani mengatakan, “Jangan hanya teori saja, mana prakteknya ?” dengan kata lain, dia tidak senang teori, hanya mau prakteknya, padahal yang sedang dia katakan adalah sebuah teori, aneh bukan ?! Perhatikan, kata “bukan hanya karena iman” ini harus ditafsirkan jika seseorang yang beriman kepada Kristus itu masih memiliki kesempatan yang panjang untuk mengaplikasikan atau menghasilkan iman itu dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak ada kesempatan, seperti penjahat di sebelah Tuhan Yesus yang bertobat, apakah dia bisa menghasilkan perbuatan-perbuatan yang lahir dari imannya kepada Kristus ? Tidak, bukan ? Lalu, apakah berarti dia tidak bisa masuk Surga, karena tidak menghasilkan perbuatan-perbuatan baik ? Juga, tidak ! Kemudian, jika ada orang yang hampir menuju ke kematian, kemudian ia setelah diberitakan Injil oleh anak-anaknya atau saudara atau temannya, tiba-tiba Roh Kudus menggerakkannya untuk percaya kepada Kristus, dan beberapa menit/jam kemudian, ia meninggal dunia, apakah berarti ia tidak masuk Surga, karena tidak berbuat baik ? Tidak, itu pikiran sesat ! Dan perlu diperhatikan, kata “perbuatan” jangan ditafsirkan secara sembrono yaitu amal baik, misalnya banyak memberikan sumbangan kepada orang-orang yang membutuhkan, dll. Kata “perbuatan” harus dikaitkan dengan sikap kepatuhan kepada perintah-Nya, dan itu tidak hanya dalam bentuk memberikan amal, tetapi juga berserah total kepada-Nya, memperbaharui seluruh paradigma kita, membenci dosa, memberitakan Injil, dll. Kalau menaati perintah-Nya hanya dibatasi dengan memberikan sumbangan/amal, lalu pemberitaan Injil, tindakan membenci dosa, memperbaharui seluruh paradigma, dll, itu termasuk apa ? Bukankah itu semua terdapat di dalam Alkitab ? Apakah hal-hal itu tidak disukai karena takut mengganggu privasi orang atau memiliki paradigma bahwa “semua agama itu ‘sama’”, jadi tidak perlu memberitakan Injil ?! Kalau hal ini yang terjadi, percuma saja, orang “Kristen” ini memberikan sumbangan bahkan nyawa dan seluruh hartanya kepada orang miskin, jika dia tidak benar-benar mengerti perintah-Nya yang esensi yaitu mengerti kasih dengan pengertian yang benar. Hari-hari ini, terlalu banyak orang “Kristen” yang tidak bertanggungjawab dengan sembrono menafsirkan kasih dan mengatakan bahwa sebagai seorang hamba Tuhan harus bersikap kasih, bahkan tidak boleh marah-marah, karena itu tanda kurang kasih. Kalau boleh saya katakan, zaman ini, orang “Kristen” memperlakukan hamba-hamba Tuhan seperti banci, yang kompromi dengan semua arus dunia, lemah lembut, panjang sabar, lemah gemulai, lalu hamba Tuhan siapa yang terlalu keras apalagi seperti Pdt. Dr. Stephen Tong, dianggap tidak ada ‘roh kudus’ atau kurang kasih. Ini akibat pembodohan massa yang dilakukan oleh banyak “hamba Tuhan” yang tidak bertanggungjawab, lalu mengatakan bahwa kalau orang Kristen berdosa, yang berdosa itu adalah roh dosa (misalnya, kalau ada orang Kristen yang tidur di kebaktian, itu berarti ada roh ngantuk, jadi yang diusir adalah roh ngantuk). Ajaran-ajaran seperti ini telah merajalela di gereja-gereja Kristen dan anehnya banyak orang Kristen dengan mudahnya ditipu oleh mereka tetapi sampai sekarang tetap saja bodoh dan tidak sadar. Berapa bahaya orang Kristen sekarang, tetapi masih juga tidak sadar ? Pdt. Dr. Stephen Tong menyebut ini sebagai : Krisis Zaman, di mana zaman ini adalah zaman yang tidak mau theologia, menggeser hal-hal yang bermutu dan menggantikannya dengan hal-hal yang remeh. Benarkah kasih itu wujudnya seperti “kasih” yang diajarkan oleh banyak gereja “Kristen” sekarang ? Lalu, apakah perkataan di dalam Wahyu 3:19 yang berkata, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar ; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah !” juga bukan wujud kasih yang Allah inginkan ?! Kalau begitu, ketika Allah “membunuh” orang-orang Israel pada zaman Perjanjian Lama, itu juga berarti bahwa Allah tidak mengasihi mereka ? Demikian juga, ketika Tuhan Yesus menegur orang-orang Farisi di dalam Matius 23 juga termasuk tindakan kurang kasih ? Beranikah kita menghina Tuhan kita sebagai Tuhan yang tidak Mahakasih ? Lalu, bagaimana orang ini menafsirkan Ibrani 12:7-13 ? Inikah ciri hidup orang Kristen yang mengaku diri Kristen dan bahkan “melayani Tuhan” di gereja, tetapi berani menafsirkan sembarangan ayat-ayat Alkitab secara tidak bertanggungjawab ?! Mari kita kembali kepada Alkitab yang mengajarkan bahwa kasih Allah tidak membiarkan anak-anak-Nya hidup di dalam dosa, Ia akan memukul mereka sebagai tanda peringatan, dan kita pun harus taat kepada-Nya. Sikap taat inilah yang oleh Yakobus sebut sebagai “perbuatan” yang lahir dari iman. Kalau orang Kristen yang mengaku diri beriman, tetapi tidak mau ditegur dosanya, lalu berani mengklaim bahwa dia sudah berbuat baik, sangat amat perlu diragukan bahwa dia itu orang Kristen ?! Jangan kira semua orang Kristen itu anak-anak Tuhan ! Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa masih banyak anak-anak Tuhan yang berkeliaran/indekos di dunia, dan juga terlalu banyak anak-anak setan yang masih indekos di dalam gereja. Kalau kita mengaku diri pengikut Kristus, sudahkah hidup dan hati kita diserahkan hanya bagi Tuhan kita dan sudahkah kita menempatkan-Nya di posisi pertama di dalam hidup kita ?

Ayat 25, “Dan bukankah demikian juga Rahab, pelacur itu, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia menyembunyikan orang-orang yang disuruh itu di dalam rumahnya, lalu menolong mereka lolos melalui jalan yang lain ?” (Yunani : omoiwς de kai 'Raab h pórnh ouk ex ergwn edikaiwqh upodexamenh touς aggέlouv kai etera odw ekbalousa = sama halnya Dan juga Rahab (itu) pelacur bukankah karena perbuatan-perbuatan dibenarkan ketika menyambut (itu) utusan-utusan lalu lain melalui jalan menyuruh (mereka) pergi ?”). Terjemahan bebas, “Dan sama halnya juga dengan Rahab, si pelacur, yang dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya yang telah menyambut para utusan di dalam rumahnya dan menyuruh mereka pergi melalui jalan lain. Pada ayat 25, contoh Rahab ini tidak boleh dijadikan contoh (kedua) keselamatan karena perbuatan baik ! Perhatikan konteks Rahab di dalam Yoshua 2:1-21 dengan jelas ! Konteks ini berbicara di mana Rahab dipakai Allah sebagai sarana untuk menyelamatkan dua orang pengintai Israel. Hal ini didahului dengan sikap dan rasa takut yang dialami Rahab ketika mendengar kedahsyatan kuasa Allah Israel (Yosua 2:9-11). Jadi, tetap konteksnya iman yang dipraktekkan/menghasilkan perbuatan adalah ukuran keselamatan (bukan perbuatan baik tanpa melalui iman). Ayat 25 ini harus dibandingkan Yosua 2:1-24 ; 6:15-25 ; Matius 1:5 ; Ibrani 11:31. Yakobus memberikan contoh kedua dengan menggunakan kalimat retoris di mana Rahab yang pertama kali percaya kepada Allah Israel (Yosua 2:9) {hal ini tidak disebutkan oleh Yakobus dalam Surat Yakobus}, baru ia menyembunyikan kedua orang pengintai Israel dan menurunkan mereka dengan tali melalui jendela, sebab rumahnya itu letaknya pada tembok kota (Yosua 2:15). Setelah apa yang dilakukan oleh Rahab, ia diselamatkan (kata “dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya”) dari pemusnahan kota Yerikho (Yosua 6:17).

Menurut Handbook to the Bible halaman 237, Ibrani 11:31 menyebutkan (bahwa karena iman, Rahab dibenarkan) bukan perbuatannya yang tidak bermoral. Rumah Rahab dibangun di atas atau pada tembok kota, dengan atap yang datar untuk dipakai mengeringkan hasil panen. Ketika kita (Yosua 2:1-24), ia sedang mengeringkan batang rami yang nantinya akan dipintal menjadi benang lenan. Memang rumah Rahab lah yang dapat dikunjungi oleh para pengintai itu tanpa menimbulkan kecurigaan sedikitpun ; dan tentu juga merupakan tempat yang baik untuk mendapatkan informasi. Setelah para pengintai Israel memenuhi janji mereka kepadanya (Yosua 6:22 dst), Rahab diterima di tengah-tengah bangsa Israel, kemudian menikah dengan Salmon. Dan melalui Boaz, putranya, (lihat Rut 2-4) ia menjadi nenek moyang Daud, bahkan nenek moyang Yesus sendiri (Matius 1:5).

Di sini, Allah tidak memandang orang tertentu untuk menggenapi karya-Nya, bahkan di dalam Ibrani 11:31, iman Rahablah yang dibenarkan oleh Allah, bukan perbuatannya yang tidak bermoral (pelacur). Ketika Yakobus berkata bahwa Rahab dibenarkan karena perbuatannya, kata “perbuatannya” itu harus diartikan perbuatan yang dihasilkan dari iman kepada Allah Israel yaitu dengan meloloskan kedua orang pengintai Israel. Siapapun bisa dipakai oleh Allah untuk menggenapi rencana-Nya, sekalipun itu adalah seorang pelacur dan bukan anak-anak Tuhan, tetapi perlu diingat, kalau ada orang-orang yang bukan anak-anak-Nya dipakai oleh-Nya tentu itu bukan untuk kebaikan orang itu, melainkan untuk kebaikan anak-anak-Nya (misalnya untuk menegur anak-anak-Nya atau menggenapi rencana Allah di dalam karya penebusan Kristus melalui seorang perempuan sundal yang bernama Rahab di dalam Matius 1:5). Contoh lain, di dalam Perjanjian Lama, Allah mengizinkan dan memakai Firaun untuk menjajah Israel sebagai sarana untuk mendisiplin umat pilihan-Nya untuk nantinya bisa berdiam dan tinggal di Tanah Kanaan. Ketika kita “seolah-olah” lebih miskin, susah, melarat ketimbang orang-orang di luar anak-anak Tuhan, ingatlah, apapun yang terjadi di dalam hidup kita, itu pasti dalam rencana Tuhan. Meskipun keadaan susah sekalipun, seperti kejadian di dalam Kitab Habakuk, ada rencana Tuhan yang sangat indah yang tak mungkin dipahami oleh manusia pada saat itu. Allah di dalam kedaulatan-Nya memakai banyak cara untuk menggenapi rencana-Nya bahkan memakai orang-orang berdosa untuk kemuliaan-Nya juga. Tetapi bukan berarti Rahab tidak dipakai oleh Allah atau dijadikan sarana hanya untuk melepaskan kedua pengintai Israel, karena kitab Ibrani 11:31 mencatat iman Rahab. Kalau ada orang “Kristen” yang selalu menuntut perbuatan baik dengan mengutip sembarangan ayat ini atau mengatakan, “Iman tanpa perbuatan adalah kosong” tanpa melihat konteks, coba tanyakan kepada dia, apakah Rahab juga berarti tidak dibenarkan dan diselamatkan, bukankah perbuatannya tidak bermoral (pelacur/perempuan sundal) ? Bukankah padahal Ibrani 11:31, mencatat iman Rahab dibenarkan oleh Allah. Kalau contoh Abraham dipakai oleh Yakobus untuk mengajarkan bahwa kita dibenarkan melalui iman yang menghasilkan perbuatan yaitu menaati perintah-Nya, pada contoh kedua, yaitu contoh Rahab, Yakobus ingin mengajarkan hubungan antara iman kepada Allah dengan perbuatan yang menggenapi rencana dan kehendak Allah. Ketika kita beriman, iman tidak hanya berhenti pada iman yang statis bahkan mati, tetapi iman itu adalah iman yang hidup (living faith) dan iman itu selalu menghasilkan perbuatan-perbuatan yang menaati perintah-Nya di dalam Alkitab dan juga berhubungan dengan penggenapan karya Allah di dalam dunia ini. Ini pun terjadi karena Allah memimpin kita dan pimpinan Allah ini seharusnya kita pertanggungjawabkan, bukan disia-siakan. Marilah kita belajar melihat segala sesuatu yang terjadi di dunia ini bukan dari sudut pandang manusia tetapi dari sudut pandang kedaulatan Allah yang tidak mungkin berubah dulu, sekarang dan selama-lamanya.

Ayat 26, “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.” (Yunani : ώsper gάr to sώma cwriς pneumatoς nekrón έstin = seperti Sebab tubuh tanpa roh (Yunani :  ® pneumatos) mati adalah, demikian juga iman tanpa perbuatan-perbuatan mati adalah.”). Terjemahan bebas, “Sebab seperti tubuh itu mati jika tanpa roh, demikian juga halnya dengan iman menjadi iman yang mati jika tidak menghasilkan perbuatan-perbuatan.Di sini Yakobus menggunakan bentuk kiasan metafora (“Sebab seperti tubuh tanpa ...”), karena kata “tubuh” tak ada hubungannya dengan “iman” dan kata “roh” (=roh/nafas yang menghidupkan®Kejadian 2:7) tak ada hubungannya dengan “perbuatan”, tetapi kedua hal ini menjadi jelas karena adanya sifat yang sama di mana perbuatan menghidupkan iman seperti roh/nafas menghidupkan tubuh. Kata Yunani : Pneuma, “spirit” (=“roh”) membawa ide Perjanjian Lama akan “life-giving breath” (=“kehidupan-memberikan/pemberian nafas”) {רה , rûah}. Sebuah tubuh tanpa nafas adalah mati (cf. Kejadian 6:17 ; 7:15 ; Mazmur 104:29 ; Yohanes 19:30 ; Lukas 23:46). Prinsipnya adalah jelas : sebuah iman (tubuh) yang tidak didukung oleh pekerjaan-pekerjaan (roh) adalah tak bernyawa. Seperti nafas memungkinkan sebuah tubuh untuk hidup, demikian juga pekerjaan-pekerjaan menghasilkan sebuah iman yang hidup. Kesimpulan cocok dengan Matius 5:16 dalam konteks sebuah evaluasi positif akan “perbuatan-perbuatan baik” (“good deeds”) sebagai/seperti penyimpulan/kesimpulan/ringkasan Peraturan Emas/Golden Rule (Matius 7:12) dan “melakukan kehendak Allah” (“doing the will of God”) dalam Matius 7:21-23 ; 12:50) yang ditunjukkan dalam kasih terhadap tetangga seseorang (one’s neighbor), terutama dalam kebutuhannya (Matius 25:31-46). Pada ayat terakhir ini, Yakobus ingin menjelaskan dan menentang prinsip pemikiran dualisme Yunani dari Plato yang mendualismekan antara dunia maya/ide (nomena) yang sempurna dan baik dengan dunia nyata/realita (fenomena) yang tidak sempurna dan jahat. Yakobus ingin mengajarkan bahwa iman dan perbuatan bukan sesuatu yang terpisah seperti pemikiran dualisme Yunani ini, tetapi jauh melampaui pemikiran ini yaitu adanya integrasi yang kokoh antara iman yang hidup dan menyelamatkan dengan buah dari iman itu yaitu perbuatan-perbuatan yang menaati perintah-Nya di dalam Alkitab. Kalau tidak ada iman yang sejati yang berakar kuat di dalam Firman Tuhan (Alkitab), maka mana bisa menghasilkan perbuatan-perbuatan yang beres dan bertumbuh lebat ? Coba bayangkan jika buah dari suatu pohon tidak ada akar yang kuat, maka apakah bisa buah ini terus bertumbuh lebat ? Tidak mungkin, bukan ? Begitu juga, orang “Kristen” yang selalu menuntut perbuatan baik, lihatlah iman dia terlebih dahulu, pasti sama hancurnya dengan kita atau bahkan lebih parah dari kita, karena yang dituntutnya selalu berbuat baik. Kalau mereka ditanya apa profesinya, selalu dengan sok rohani menjawab, “Melayani Tuhan”, tetapi dia sendiri tidak mengerti dengan benar esensi melayani Tuhan. Saya melihat berapa banyak orang “Kristen” dengan sok rohani mengatakan bahwa dia sedang melayani Tuhan, tetapi jika disuruh belajar theologia dan doktrin-doktrin yang sulit, dia menolak, inikah namanya melayani Tuhan ? Tidak, tetapi justru menghina Tuhan, mengapa ? Karena yang dia mau hanya dia yang bekerja melayani Tuhan, sedangkan dia tidak mau mendengarkan Firman-Nya, sama seperti kebanyakan gereja-gereja Karismatik/Pentakosta yang kalau berdoa ngotot, tetapi kalau mendengarkan khotbah atau Firman Tuhan selalu waktunya kurang atau mayoritas jemaat-jemaatnya tidur. Inilah jiwa egois orang “Kristen” yang mengaku diri sedang melayani Tuhan. Ketika Allah mencipta manusia dengan tubuh nyata tetapi tanpa ada hembusan nafas dari-Nya, bisakah manusia itu hidup seperti sekarang ? Manusia itu menjadi makhluk yang hidup jika Allah memberikan nafas ke dalam hidungnya, tetapi tidak berarti yang penting nafas itu lalu tubuh dibuang. Aneh juga, bila ada nafas saja, tetapi tidak ada tubuh, lalu nafas itu mau dihembuskan ke bagian mana dari manusia ? Tubuh tanpa roh adalah tubuh yang mati, karena roh itu yang menghidupkan manusia, demikian juga iman itu merupakan esensi, tetapi jika iman itu tidak menghasilkan perbuatan, maka iman itu sia-sia/percuma saja. Demikian juga, roh tanpa tubuh pun juga sia-sia. Sama halnya jika perbuatan saja yang ditekankan, kita malahan membanggakan perbuatan dan jasa baik manusia serta tidak kembali kepada anugerah Allah yang memberikan iman. Kedua hal ini harus seimbang dan tidak boleh berat sebelah. Iman kita menjadi hidup (sama seperti tubuh kita bisa hidup) ketika menghasilkan perbuatan-perbuatan yang menaati perintah-Nya (sama seperti roh yang Allah berikan ke dalam hidung manusia). Sudahkah hari ini kita menyadari bahwa tanpa iman, tak ada seorang pun yang berkenan di hadapan Allah dan tanpa menghasilkan perbuatan-perbuatan yang berkenan di hadapan-Nya (Roma 12:1-2), maka iman kita sia-sia adanya ? Sudahkah kita berubah oleh pembaharuan akal budi kita dan menyenangi apa yang Allah sukai dan membenci apa yang Allah benci ? Itulah perbuatan baik kita yang sejati yang berakar dari pengenalan kita pribadi terhadap-Nya dan dari Firman-Nya, Alkitab. ─Amin─

Yakobus 2:18-22

Ayat 18, “Tetapi mungkin ada orang berkata, ‘Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan’, aku akan menjawab dia, ‘Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.’” (Yunani : All έreί tiV su pίstin έceiv, kάgώ έrga έgώ deixón moi thn pίstin sou cwrίV tώu έrgwn, kάgώ pίstin = “Tetapi/Lalu akan berkata ada orang, Engkau iman mempunyai, tetapi aku perbuatan-perbuatan mempunyai ; buktikanlah kepadaku imanmu tanpa perbuatan-perbuatan, dan aku kepadamu akan menjelaskan dari perbuatan-perbuatanku (itu) iman.”). Terjemahan bebas, “Jika ada orang yang berkata, ‘Kau punya iman dan aku punya perbuatan maka aku akan menjelaskan kepadamu imanku yang sejati melalui perbuatan-perbuatanku. Meskipun dia (kamu) menjelaskan imanmu kepadaku tanpa perbuatan, aku tidak akan percaya.” Yakobus menggunakan kata “kamu” dan “aku” untuk menunjukkan pertentangan di mana “kamu” bisa berarti orang-orang percaya yang salah (false believer) seperti yang diungkapkan pada ayat 14-17 dan kata “aku” hendak menunjukkan diri Yakobus. Pada Alkitab Interlinear (bahasa Yunani), lebih tepat menggunakan sebuah pernyataan untuk menunjukkan ada pertentangan yaitu dengan kata “tetapi”, “Engkau iman mempunyai, tetapi aku perbuatan-perbuatan mempunyai ;” (atau “Engkau mempunyai iman, tetapi aku mempunyai perbuatan-perbuatan”). Kata “mempunyai” tidak terdapat pada Alkitab LAI, tetapi sebenarnya kata ini cukup penting, karena kata ini hendak menunjukkan suatu kontras/perbedaan yang cukup signifikan antara orang (orang-orang percaya yang salah/false believer) yang bangga hanya mempunyai iman (tanpa perbuatan) dan Yakobus yang mempunyai iman dan sekaligus ada buah dari iman itu, yaitu perbuatan-perbuatan. Di sini puncak pertentangan yang Yakobus paparkan di dalam suratnya, di mana ketika ada orang Kristen yang mengaku diri beriman, tetapi tidak menghasilkan perbuatan-perbuatan, Yakobus dengan berani menentang dan menantang mereka. Dalam hal ini, Alkitab LAI memberikan satu pernyataan tambahan yaitu, “aku akan menjawab dia,”, yang berarti Yakobus ingin menyelesaikan pertentangan ini dengan satu jalan keluar yang cukup menantang. Jawaban yang Yakobus berikan bukanlah jawaban yang kompromi di mana orang yang mempunyai dan tidak mempunyai perbuatan tidak memberikan efek/dampak apa-apa, tetapi ia memberikan satu jawaban tegas dengan dua kali penguraian. Pertama, Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan,” (bahasa Yunani : buktikanlah kepadaku imanmu tanpa perbuatan-perbuatan,”). Yakobus pertama kali menantang orang-orang percaya yang salah tersebut tetapi berani menyombongkan diri bahwa mereka itu benar (hanya mengandalkan iman), dengan cara menyuruh mereka untuk menunjukkan (Yunani : membuktikan) imannya kepada Yakobus tanpa perbuatan-perbuatan. Dengan kata lain, Yakobus ingin melihat sebuah bukti nyata dan bukan hanya sekedar isapan jempol belaka, karena terlalu banyak orang Kristen di zaman Yakobus hanya berdusta ketika mereka mengaku diri Kristen, buktinya mereka masih mendiskriminasi orang, dll (Yakobus 2:1-4). Cara pertama yang Yakobus lakukan untuk menantang orang ini sungguh tepat, di mana Yakobus ingin segera melihat bukti dari iman bukan sekedar ucapan di mulut. Bukankah kita juga seringkali mengaku diri orang percaya bahkan mengasihi Tuhan Yesus, tetapi perbuatan, perkataan dan seluruh hidup kita sama sekali tidak membuktikan bahwa kita seorang yang percaya ? Kita mengaku diri percaya, tetapi esensi kepercayaan/iman kita itu tidak bisa diuji ketika ada penderitaan, cobaan dan tantangan yang berat, bahkan kita dengan berani undur dan meninggalkan Tuhan ketika Allah menguji iman kita. Yakobus ingin menegur kemunafikan kita melalui penguraian pertama ini. Bagi Yakobus, iman bukan sekedar sesuatu yang samar-samar, tetapi iman itu adalah iman yang hidup dan menyelamatkan (living and saving faith). Kedua, “dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.’” (bahasa Yunani : dan aku kepadamu akan menjelaskan dari perbuatan-perbuatanku (itu) iman.”). Setelah menegur orang percaya yang salah ini, Yakobus langsung menantang mereka dengan pernyataan Yakobus yang dengan berani menjelaskan kepada mereka iman Yakobus dari perbuatan-perbuatannya. Bagi Yakobus, seorang yang mengaku diri Kristen adalah seorang yang bukan hanya memiliki iman yang baik, tetapi juga harus memiliki perbuatan-perbuatan (yang dapat dilihat oleh orang lain dengan jelas) yang menjelaskan sebuah iman yang tak bisa dilihat oleh orang lain dengan jelas. Ibarat, di suatu ruangan yang gelap, tanpa cahaya, mendadak ada seorang yang masuk ke ruangan tersebut dan orang ini tiba-tiba tersandung oleh sebuah benda, lalu orang ini bingung benda apakah itu, kemudian dia mengambil sebuah senter (atau lilin atau menyalakan lampu ruangan tersebut) untuk menerangi ruangan tersebut dan pada akhirnya, orang ini tahu bahwa itulah pot bunga yang diletakkan di tengah-tengah ruangan tersebut. Dari perumpamaan ini, pot bunga memang berada di ruangan itu baik sebelum dan setelah ruangan itu ada cahaya, tetapi pot bunga itu menjadi jelas dan dapat dilihat oleh orang lain ketika ada orang yang menerangi atau memberikan terang di dalam ruangan itu. Demikian juga dengan halnya dengan iman yang tidak menghasilkan perbuatan-perbuatan, maka iman itu seperti pot bunga yang terus-menerus di dalam kondisi yang tidak dapat dilihat. Tuhan Yesus sendiri mengajarkan, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu di Sorga.” (Matius 5:16). Perhatikanlah, Tuhan Yesus menasehatkan para murid-Nya dalam salah satu bagian di dalam Khotbah Di Bukit agar mereka menjadi terang dunia (selain menjadi garam dunia) yang menerangi/menjadi terang di sekeliling manusia yang hidup dalam dosa, untuk apa hal ini dilakukan ? Kembali, Tuhan Yesus mengajarkan bahwa mereka berlaku seperti itu bukan supaya mereka dihormati oleh banyak orang, tetapi agar mereka yang melihat perbuatanmu yang baik dapat memuliakan Bapamu yang di Sorga. Ketika kita melakukan perbuatan-perbuatan baik sebagai buah dari iman kita yang sejati, pada saat itulah, kita sedang menyaksikan cinta kasih dan nama Tuhan Allah kita di tengah-tengah orang dunia serta sekaligus kita juga bisa sambil memberitakan Injil Kristus kepada mereka.

Ayat 19, “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja ? Itu baik ! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” (Yunani : su pisteueiV oti eίV έstin ó θeóV, kalώV poieίV kaί tά daimónia pisteuousin kaί frίssousin = “Engkau percaya bahwa hanya satu adalah Allah, dengan tepat engkau bertindak ; juga roh-roh jahat percaya dan bergemetar (karena takut).”). Terjemahan bebas, “Memang tepat jika engkau mempercayai hanya ada satu Allah, tetapi jangan salah, iblis-iblis pun juga mempercayainya dan mereka gemetar ketakutan karenanya.” Pada ayat ini, Yakobus ingin melanjutkan pembahasannya mengenai orang percaya yang salah di atas (pada ayat 14-18) yang berani mengatakan bahwa mereka mempunyai iman, tetapi tidak menghasilkan perbuatan-perbuatan yang baik di mana ketika mereka mengklaim bahwa mereka beriman kepada Allah, Yakobus langsung mengatakan bahwa bukan hanya mereka saja yang percaya bahwa hanya ada satu Allah, iblis pun melakukan hal yang sama yaitu percaya bahwa Allah itu hanya satu dan mereka gemetar ketakutan. Yakobus tidak berarti hendak mengatakan bahwa kita tidak perlu percaya kepada Allah yang Satu (perhatikan kata, “Itu Baik !” atau bahasa Yunani menerjemahkannya, “dengan tepat engkau bertindak”), tetapi Yakobus ingin membenahi konsep iman orang-orang percaya yang salah ini dengan membandingkannya dengan sikap iblis yang juga sama-sama percaya bahwa Allah itu hanya Satu. Bagi Yakobus, ketika orang Kristen mengklaim bahwa mereka percaya bahwa Allah itu hanya Satu tetapi tidak menghasilkan perbuatan-perbuatan baik, apa bedanya mereka (orang-orang percaya yang salah) dengan iblis-iblis yang bertindak sama dan mereka semua ketakutan (gemetar ketakutan) ? Jangan dikira iblis itu tidak percaya bahwa Allah itu hanya Satu. Justru, iblis mempopulerkan hal itu bukan untuk mengagungkan nama-Nya, tetapi untuk menipu manusia, karena pada dasarnya iblis pun takut ketika mendengar nama Allah disebut. Di dalam kitab Injil Lukas 4:41 ; 8:28 disebutkan iblis pun ketika mendengar dan berhadapan dengan Tuhan Yesus pun, mau tidak mau mereka harus mengakui bahwa Tuhan Yesus adalah Anak Allah dan Ia berkuasa mutlak atas dunia ini bahkan atas setan-setan, tetapi pengakuan mereka bukan dengan tulus, tetapi dengan perasaan gemetar ketakutan. Sekedar perenungan, kalau setan-setan ketika berhadapan dengan Tuhan Yesus, mereka langsung sujud menyembah, takut dan mengakui bahwa Tuhan Yesus adalah Anak Allah, bagaimana dengan orang-orang yang sampai sekarang tidak mengakui Tuhan Yesus adalah Allah, apakah orang-orang ini lebih baik atau lebih parah daripada si setan, Bapa Segala Pendusta ?! Jadi, dengan jelas, Yakobus memaparkan suatu realita di mana setan-setan yang percaya bahwa hanya ada Satu Allah, bukan benar-benar percaya 100% bahwa hanya ada Satu Allah, karena mereka itu terpaksa dan dengan perasaan gemetar mereka mempercayainya. Apakah itu juga terjadi pada orang-orang Kristen yang telah Ia pilih sebelum dunia dijadikan ? Tidak. Bagi Yakobus, kita sebagai anak-anak-Nya seharusnya mempercayai bahwa hanya ada Satu Allah bukan dengan perasaan gemetar seperti sikap si setan, tetapi dengan sikap bersyukur dan bersukacita. Ketika kita sedang melakukan hukum-hukum Tuhan, jangan mengatakan bahwa hukum-hukum tersebut memberatkan, karena ada dua pernyataan yang mau Alkitab ajarkan mengenai hukum-hukum Tuhan. Pertama, hukum-hukum Tuhan itu hukum yang memerdekakan orang (Yakobus 2:12b) yang berarti hukum-hukum Tuhan itu tidak membelenggu kebebasan manusia. Justru, orang-orang dunia merasa bebas ketika mereka tidak menaati hukum-hukum Tuhan, karena bagi mereka, hukum-hukum Tuhan itu memberatkan dan membatasi kebebasannya. Justru salah, ketika orang-orang dunia mulai tidak menghiraukan hukum-hukum Tuhan, justru di situ titik kehancuran mereka yang membuat hidup mereka tidak lagi bebas. Ambil contoh, seorang pengendara sepeda motor atau mobil paling jengkel ketika ada lampu setopan/lalu lintas (traffic light), karena baginya, itu mengganggu kebebasannya berkendara, tetapi bisakah kita membayangkan jika andaikata tidak ada traffic light, lalu kendaraan lalu lalang dan akan mengakibatkan kemacetan dan mungkin sekali bisa berakibat kecelakaan, yang justru sama sekali tidak bebas ? Kedua, di dalam 1 Yohanes 5:3b, Yohanes ingin mengajarkan bahwa perintah-perintah-Nya itu tidak berat. Mengapa perintah-perintah-Nya itu tidak berat ? Pada ayat 4 dan 5, Yohanes menjelaskan bahwa orang-orang percaya (umat pilihan-Nya) atau semua yang lahir dari Allah mengalahkan dunia oleh iman kita bahwa Yesus adalah Anak Allah. Pada ayat 2, Yohanes langsung menggabungkan antara orang yang mengasihi Allah dengan orang yang melakukan perintah-perintah-Nya. Kalau kita menyangka bahwa perintah-perintah-Nya adalah perintah-perintah yang berat, itu tandanya kita belum dapat dikatakan mengasihi Allah, karena kita masih menyangka perintah-perintah-Nya itu memberatkan, kuno dan mengikat kebebasan kita. Orang-orang Kristen harus memiliki paradigma yang paradoks dengan dunia di mana justru di dalam hukum-hukum Allah yang memerdekakan manusia, di situlah terdapat kemerdekaan sejati di dalam Kristus. Jadi, kita percaya bahwa hanya ada Satu Allah, disertai dengan suatu perbuatan untuk mau dengan rela hati menaati perintah-perintah-Nya.

Ayat 20, “Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong ?” (Yunani : qeleiς de gnvnai, ώ anqrwpe kene, oti h pistiς cwriς twn ergwn apgh estin = “engkau ingin lalu mengetahui, oh manusia bodoh, bahwa iman tanpa perbuatan-perbuatannya yang tidak berguna adalah ?”). Terjemahan bebas, “Hai manusia bodoh, ketahuilah bahwa iman yang tidak menghasilkan perbuatan itu tidak ada gunanya.” Pada ayat ini, Yakobus dengan keras menegur orang percaya yang salah di atas sebagai orang bodoh atau bebal karena mereka menyangka bahwa mereka hanya cukup mengandalkan iman tanpa perlu mempunyai perbuatan, padahal si setan pun juga sama-sama memiliki kepercayaan bahwa hanya ada Satu Allah juga, tetapi mereka tidak dapat berbuat baik. Ayat ini merupakan teguran dan serangan langsung dari Yakobus kepada orang-orang percaya yang salah itu dengan satu kesimpulan kedua (yang pertama, ada pada ayat 17) bahwa iman tanpa perbuatan-perbuatannya adalah tidak berguna. Perhatikan, Alkitab bahasa Yunani lebih tepat menambahkan kata “-nya” pada kata “perbuatan-perbuatan” untuk menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan itu berasal dari iman. Yakobus dengan jeli melihat bahwa perbuatan-perbuatan sejati hanya berasal dari sebuah iman yang sejati kepada Allah yang sejati dengan cara yang sejati pula. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang palsu berasal dari iman yang palsu kepada ilah yang palsu dengan cara yang palsu pula. Dalam hal ini, sebagai orang Kristen, kita harus menjelaskan perbedaan (Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya sebagai : perbedaan kualitas/qualitative difference) antara perbuatan-perbuatan yang lahir dari iman sejati dengan yang lahir dari iman yang palsu kepada ilah-ilah palsu yang disembah oleh agama-agama non-Kristen tetapi dianggap sebagai “Allah”. Yakobus tidak menghilangkan fungsi iman ketika membahas ayat ini, tetapi ia justru mempertegaskan sebuah kontras antara iman yang sejati dan palsu dari sudut perbuatan yang bisa dilihat secara kasat mata, tetapi intinya tetap iman, karena tanpa iman tak mungkin seseorang dibenarkan di hadapan Allah. Hal ini diajarkan pula oleh Paulus dengan tegas pada Roma 3:31 sebagai kesimpulan pengajarannya dalam pasal 3 bahwa ketika anak-anak Tuhan dibenarkan karena (melalui) iman, tidak berarti mereka membatalkan hukum Taurat, tetapi sebaliknya, mereka meneguhkan hukum Taurat. Roma 7:12 pun, Paulus dengan tegas mengajarkan bahwa hukum Taurat itu kudus dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik. Paulus sama sekali tidak menentang hukum Taurat, tetapi ia menentang bahwa manusia dibenarkan karena melakukan hukum Taurat tersebut. Pada perikop Roma 7, Paulus ingin menjelaskan bahwa tidak ada yang salah pada hukum Taurat, karena hukum Taurat itu berasal dari Allah, tetapi manusia yang dalam keadaan natur berdosa tak mungkin bisa melakukan hukum-hukum Allah dengan sempurna. Oleh karena itu, Paulus menyebutnya bahwa oleh hukum Taurat, ia mengenal dosa (Roma 7:7). Bagi Paulus, yang menjadikan dirinya berdosa adalah ketidakmampuan dirinya melakukan seluruh hukum Taurat dan sama sekali ia bukan menghina bahwa hukum Taurat itu dosa. Di sini, dengan jelas Paulus ingin mengajarkan satu prinsip bahwa memang manusia pilihan-Nya dibenarkan hanya melalui iman kepada Tuhan Yesus dan bukan berarti kita terus diam saja, kita pun harus melakukan apapun yang Allah telah perintahkan (hukum-hukum-Nya) sebagai bukti bahwa kita beriman dan mengasihi-Nya. Jadi, Paulus dan Yakobus tidaklah bertentangan dalam mengajarkan hubungan iman dan perbuatan. Sudahkah kita dengan rela hati dan taat menaati apa pun yang telah Allah perintahkan sebagai bukti dari iman kita ? Sudahkah kita menjadi terang bagi dunia sekeliling kita ?

Ayat 21, “Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah ?” (Yunani : Abraam o pathr hmwn ouk ex ergwn edikaiwqh anenegkaς 'Isaak ton uion autou epi to qusiasthrion = Abraham bapak leluhur kita bukankah karena perbuatan-perbuatan dibenarkan ketika menyembahkan Ishak anaknya di atas mazbah ?”). Terjemahan bebas, “Ingatlah, bukankah Abraham bapak leluhur kita dibenarkan karena ia mematuhi Allah yang menyuruhnya untuk mempersembahkan anaknya Ishak di atas mezbah sebagai korban bagi-Nya ?” Yakobus mulai menjelaskan ayat 20 dengan contoh pertama dengan kalimat retoris (yang menghendaki jawaban “Ya, Abraham dibenarkan”) mengenai cerita Abraham yang dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah. Cerita ini diambil dari Kejadian 22:1-14. Cerita ini diawali dengan pemanggilan Allah kepada Abraham dan pemberian perintah agar Abraham mempersembahkan Ishak, anaknya yang tunggal itu, sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan dikatakan Allah kepadanya (Kejadian 22:2). Lalu, Abraham mengiyakan perintah Allah ini dan ia mulai berangkat dan menunaikan perintah-Nya (mulai ayat 3-10). Tetapi Allah dari Surga melihat kesungguhan Abraham untuk takut akan Tuhan, maka Ia memberikan perintah lagi kepada Abraham untuk tidak membunuh Ishak, karena Abraham benar-benar takut akan Tuhan dan tidak segan-segan menyerahkan Ishak kepada-Nya (Kejadian 22:12). Ketika Yakobus 2:21 mengatakan bahwa Abraham dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, Musa melalui kitab Kejadian 22:15-19 (ayat 16-18), langsuung menyambung ceritanya dengan janji-janji dan berkat-berkat Allah kepada Abraham yang membuktikan bahwa Abraham dibenarkan oleh Allah karena perbuatan-perbuatannya. Melalui ayat ini, Yakobus ingin mencontohkan Abraham yang perbuatannya dibenarkan karena sikapnya yang melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan bukan hanya diucapkan saja. Ini harus dilakukan oleh orang Kristen, jangan mengaku diri Kristen, tetapi sikapnya tidak karuan. Ayat ini tidak berarti kita dibenarkan melalui perbuatan ! Jika dilihat konteks Abraham, maka Abraham benar-benar taat perintah-Nya bukan sekedar diucapkan saja yaitu mempersembahkan Ishak sebagai korban bagi-Nya. Di sini Yakobus secara tidak langsung mengajak pembaca untuk mengerti mana yang penting dan terutama di dalam hidup kita, apakah untuk Tuhan atau untuk dunia ? Yakobus mengingatkan pembaca kembali secara tidak langsung akan adanya penyangkalan diri di dalam mengikut Kristus (Matius 16:24). Iman yang benar kepada Allah yang benar pasti akan mengerti resiko dan tanggung jawab yang diemban dalam mengikut Allah yang sejati. Seperti contoh, Abraham, ketika ia disuruh Tuhan untuk meninggalkan tanah leluhurnya, Urkasdim, Abraham taat dan melakukannya. Ia bukannya berkata, “Ya, Tuhan, aku berangkat”, dan dia tidak melakukannya, tetapi ia berkata (menyanggupi perintah-Nya) dan melakukan apa yang diperintahkan-Nya. Ia menjalankan perintah-Nya dengan pengertian iman yang benar kepada Allah yang benar bahwa Allah yang memanggilnya adalah Allah yang mempedulikan dan memelihara hidupnya. Sudahkah kita sendiri sungguh-sungguh beriman akan providensia (pemeliharaan) Allah di dalam hdup kita ? Ataukah kita masih mempercayai diri lebih dari mempercayai Allah yang sejati ? Inilah maksud mengapa Yakobus mengatakan bahwa perbuatan Abraham ini dibenarkan oleh Allah yaitu Abraham memiliki iman yang benar kepada Allah yang benar dan ia menjalankan iman itu dengan mengetahui resiko dan tanggung jawabnya.

Ayat 22, “Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.” (Yunani : blέpeiV óti ή pίstiς sunhrgei toίς ergoiv autou kaί ek tώn ergwn ή pίstiς eteleiώθh, = Engkau sadar bahwa iman turut bekerja dengan perbuatan-perbuatannya, dan oleh (itu) perbuatan-perbuatan iman disempurnakan/dijadikan nyata,”). Terjemahan bebas, “Sadarlah bahwa iman turut bekerja sama dengan perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatannya, iman menjadi sempurna/nyata.” Kembali, Yakobus mengingatkan para pembaca Kristen bahwa dari contoh kasus pertama mengenai Abraham, kita dapat belajar satu prinsip bahwa iman itu bekerja sama dengan perbuatan-perbuatannya dan oleh perbuatan-perbuatannya itu iman menjadi nyata/sempurna/disempurnakan. Bagi Yakobus, iman tidak mungkin bisa dipisahkan dengan perbuatan-perbuatan, karena seseorang yang mengaku diri beriman kepada Allah, ia harus menjalankan perintah-perintah-Nya dan otomatis perbuatan-perbuatannya mencerminkan bahwa seseorang itu beriman kepada Allah atau bukan. Iman memang merupakan anugerah Allah (sola gratia) yang diberikan hanya kepada umat pilihan-Nya (iman pasif) dan iman itu tidak hanya pasif, tetapi juga aktif, di mana Allah bekerja di dalamnya untuk menyempurnakan iman itu melalui tindakan aktif manusia pilihan-Nya seturut dengan kehendak-Nya. Kembali, Alkitab bahasa Yunani menambahkan kata “-nya” pada kata pertama dari “perbuatan-perbuatan” yang menunjukkan bahwa iman itu bekerja sama dengan buah dari iman itu yaitu perbuatan-perbuatan. Itulah yang Pdt. Sutjipto Subeno sebut sebagai esensi pasti melahirkan fenomena. Esensi (iman) sejati pasti menghasilkan fenomena (perbuatan-perbuatan yang nampak mata). Jika esensi (iman)nya beres dan benar, pasti menghasilkan fenomena (perbuatan-perbuatan) yang benar, tetapi jika esensinya salah, maka pasti perbuatan-perbuatan/fenomenanya pasti palsu. Melihat perbedaan kedua hal ini, lihatlah dari ketahanan dan kekekalan perbuatan-perbuatan/fenomena tersebut, apakah perbuatan yang dikerjakan oleh seseorang yang beriman itu tahan lama atau hanya sebentar saja. Mengapa ? Karena ayat ini selanjutnya memberikan penegasan bahwa oleh perbuatan-perbuatan, iman itu disempurnakan/dijadikan nyata. Kata “disempurnakan” berarti ada proses waktu yang tak mungkin berhenti sesaat, karena itu dikerjakan oleh pihak Allah. Kalau kita bisa berbuat baik, itu pun adalah anugerah Allah, tetapi bukan berarti kalau semua itu anugerah Allah, kita menganggur. Kalau kita menyadari bahwa perbuatan baik kita pun adalah anugerah Allah, maka seharusnya kita sadar bahwa kita harus mempertanggungjawabkannya dengan baik, bukan malahan mengobral anugerah Allah itu lalu dengan alasan “amal” memberikan uang milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita hanya untuk membantu orang-orang yang kekurangan (kembali ke ayat 16) atau kita malah menjadi sombong karena kita sudah berbuat baik. Berapa banyak orang Kristen hari-hari sudah berbuat baik lalu menyombongkan diri bahwa dirinya sudah berbuat baik. Seorang yang berbuat baik lalu menyombongkan diri bahwa dia sudah berbuat baik, secara tidak sadar, dia sendiri bukan seorang yang berbuat baik, tetapi sangat jahat. Seorang Kristen (anak Tuhan) yang berbuat baik sejujurnya tidak mau dikatakan atau dilihat sebagai orang baik, karena sadar bahwa dirinya bisa berbuat baik itu pun adalah anugerah Allah yang dipercayakan kepadanya. Tetapi jika ada orang “Kristen” berani membandingkan orang lain dengan dirinya yang selalu “baik” dan “berbuat baik”, itu bukan tanda orang Kristen sejati ! Ingatlah, ketika kita ingin sekali berbuat baik, jangan belajar pada orang-orang dunia (termasuk orang “Kristen” palsu) yang menganggap diri “lebih baik” dari orang lain, tetapi belajarlah dari Alkitab karena hanya Alkitab memberikan standar perbuatan baik yang Allah kehendaki dan inginkan yang sama sekali berbeda total dengan prinsip-prinsip dunia. Alkitab dalam 1 Yohanes 3:11-18 (khusus ayat 18) mendukung pengajaran Yakobus mengenai bagaimana kasih Allah itu diterapkan dengan benar bukan hanya melalui perkataan atau dengan lidah saja, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran. Di dalam 1 Yohanes 4:10, Rasul Yohanes langsung memberikan penegasan bahwa poin/inti kasih bukan manusia yang dengan sendirinya bisa mengasihi Allah, tetapi justru Allah lah yang berinisiatif mengasihi manusia dengan cara mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. Ayat ini disusul dengan ayat 11, di mana kalau Allah saja mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi. Ayat 16, kembali, Rasul Yohanes memberikan penegasan yang kedua yaitu Allah itu adalah kasih (God is love). Allah itu bukan sekedar Mahakasih (sifat/atribut Allah), tetapi Ia adalah Kasih itu sendiri, artinya Allah adalah Sumber Kasih Sejati dan barangsiapa yang berada di dalam (sumber) Kasih itu, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia (1 Yohanes 4:16). Dan pada 1 Yoh. 4:19, kembali, untuk yang ketiga kalinya, Rasul Yohanes memberikan penegasan bahwa kita ini bisa mengasihi bukan karena kemampuan atau kehebatan kita, tetapi karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. Hal ini ia jelaskan pada ayat selanjutnya (ayat 20), mengenai sikap-sikap orang Kristen yang tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak kelihatan, kalau mereka tidak mengasihi sesamanya yang kelihatan dan ditutup dengan satu pengajaran yang indah pada ayat 21 yaitu, “Dan perintah ini kita terima dari Dia : Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.” Kata “harus” pada ayat ini menunjukkan sebuah kemutlakan/kewajiban dari anak-anak Tuhan yang telah menerima kasih Allah di dalam hidupnya untuk menyalurkan kasih Allah itu kepada sesamanya. Perlu diingat kembali, kalau kita berbuat baik, meskipun itu juga adalah anugerah Allah yang dipercayakan kepada kita, biarlah semua perbuatan baik kita dikembalikan hanya bagi kemuliaan Tuhan Allah saja {Soli DEO Gloria}(Matius 5:16 ; Roma 11:36). Ingatlah, kita tak berhak menerima pujian dari orang lain ketika kita sedang berbuat baik, karena sejujurnya kita memiliki natur berdosa dan telah rusak total. Meskipun keadaan kita sudah rusak total, kita masih bisa berbuat “baik”, tetapi bukan seperti yang Allah kehendaki, melainkan seperti yang diri kita kehendaki. Nah, hanya melalui anugerah Allah yang mewahyukan diri-Nya secara khusus (wahyu khusus), kita bisa dibenarkan dan dikuduskan untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya yang Tunggal, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Proses pengudusan (sanctification) ini adalah sebuah proses yang berlangsung terus-menerus dan seperti yang Yakobus katakan proses ini menuju kepada kesempurnaan. Puji Tuhan, kita memiliki Allah Trinitas yang mengerjakan seluruh karya penebusan dari rencana keselamatan yang Allah Bapa tetapkan, kemudian Allah Anak yang menggenapi rencana keselamatan ini dan terakhir, Roh Kudus menyempurnakan karya penebusan Kristus dengan panggilan efektif kepada orang-orang yang telah dipilih oleh Bapa sebelum dunia dijadikan.