26 February 2008

Roma 6:1-4: IMPLIKASI PERBEDAAN ESENSIAL-2: Kehidupan yang Mati Vs Kematian yang Hidup-1

Seri Eksposisi Surat Roma :

Manusia Lama Vs Manusia Baru-4



Implikasi Perbedaan Esensial-2 :

Kehidupan yang Mati Vs Kematian yang Hidup-1

oleh : Denny Teguh Sutandio

Nats : Roma 6:1-4.

Setelah mempelajari tentang implikasi perbedaan manusia pertama dan kedua poin pertama yaitu di dalam Taurat dan anugerah Allah di ayat 20 s/d 21, maka kita akan mempelajari implikasinya yang kedua yaitu kehidupan yang mati vs kematian yang hidup di pasal 6 ayat 1 s/d 4. Mengapa saya memakai kedua istilah ini : kehidupan yang mati vs kematian yang hidup ? Kehidupan yang mati menandakan status dan kondisi kita ketika kita masih berdosa (manusia) lama, di mana kita secara fenomena hidup (dilihat dari aktivitas kita : makan, minum, bernafas, dll), tetapi jiwa dan keseluruhan esensi hidup kita sudah mati di dalam dosa, mengapa ? Karena kita menghidupi dosa (disebut hidup yang mematikan). Sedangkan ketika kita sudah ditebus oleh Kristus, kita menjadi manusia baru yang mematikan dosa dan hidup bagi Kristus. Dengan kata lain, kita mungkin dianggap “mati” oleh dunia berdosa (karena tidak mengikuti arus zaman yang gila ini), tetapi kita sebenarnya hidup karena kita mematikan dosa dan bangkit untuk mempersembahkan hidup kita bagi Kristus (Roma 12:1-2). Oleh karena itu, marilah kita melihat lebih teliti keempat ayat di dalam pasal 6 ini.

Di ayat 20 di pasal 5, Paulus menjelaskan bahwa ketika dosa bertambah banyak, di situ kasih karunia menjadi berlimpah-limpah. Konsep ini mungkin kelihatan tidak masuk akal, tetapi kita sudah merenungkannya di bagian sebelumnya. Konsep ini bisa disalahmengerti. Hal ini diungkit kembali oleh Paulus di pasal 6 ayat 1, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?” Ini juga lah yang menjadi pertanyaan orang-orang dunia. Kalau di Alkitab kita membaca bahwa semakin dosa bertambah banyak, maka kasih karunia juga makin berlimpah, bukankah ini mengakibatkan banyak orang “Kristen” semakin tetap berdosa ? Apalagi ada orang “Kristen” sendiri yang memegang doktrin Arminianisme berani menuduh Calvinisme dengan mengatakan bahwa kalau seseorang sudah pasti selamat dan tidak mungkin murtad, bukankah ia boleh sembarangan berdosa, toh nantinya ia pasti selamat ? Pertanyaan Paulus ini merupakan pertanyaan retoris yang tak memerlukan jawaban, tetapi sekaligus sebagai pertanyaan perenungan bagi jemaat di Roma maupun kita yang hidup saat ini.

Terhadap pertanyaan ini, Paulus menjawabnya di ayat 2, “Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” Di titik pertama, Paulus langsung mengatakan bahwa meskipun kasih karunia semakin berlimpah di saat dosa semakin banyak, tidak berarti itu mengakibatkan kita semakin bertekun di dalam dosa. “Sekali-kali tidak!” dalam terjemahan King James Version (KJV) : “God forbid.” (=Allah melarangnya) Terjemahan ini bukan hanya terjemahan untuk kepentingan akademis, tetapi memiliki arti. Ketika dimunculkan pernyataan bahwa Allah melarang, berarti Allah membenci kita berbuat dosa setelah kita mengerti Kebenaran. Mengapa Allah melarang ? Di ayat 2b dan 3 yang merupakan alasan kita tidak bertekun di dalam dosa ini adalah ayat yang merupakan pertanyaan retoris sekaligus sebagai pertanyaan perenungan dan pengajaran tidak langsung dari Paulus.

Alasannya adalah karena kita telah mati bagi dosa. Mati bagi dosa artinya sama dengan mematikan dosa. Kita tidak lagi bertekun di dalam dosa karena kita sudah mati bagi dosa. Kapan kita sudah mati bagi dosa ? Yaitu ketika kita mengalami anugerah penebusan Kristus. Saat kita dibenarkan dan ditebus oleh Kristus secara cuma-cuma, ada dua hal yang terjadi : pertama, kita harus bertobat. Bertobat berarti berbalik 180 derajat dari posisi kita yang gelap kepada terang Allah. Ini adalah tindakan spontan/langsung. Kedua, secara progresif (terus-menerus/berkelanjutan) kita dikuduskan oleh Roh Kudus. Ini adalah proses kita semakin lama semakin mengenal Allah dan kehendak-Nya. Mengapa kita perlu mematikan dosa ? Karena Kristus yang sudah membenarkan dan menebus kita telah mematikan dosa itu bagi kita, sehingga kita pun wajib mematikan dosa kedagingan di dalam diri kita (meksipun itu hanya sisa-sisa saja). Dengan kata lain, penebusan Kristus terhadap dosa-dosa kita mengakibatkan kita semakin lama semakin mematikan (sisa-sisa) dosa kita sehingga kita nantinya makin menyerupai Kristus, Kakak Sulung kita. Kalau Kristus sudah menebus kita dari dosa, adalah suatu kekonyolan yang aneh jika kita yang telah ditebusnya mau tetap menghidupi dosa. Apa artinya menghidupi atau hidup di dalam dosa di dalam ayat ini ? Hidup di dalam dosa identik dengan menjadi hamba dosa (Yohanes 8:34). Menjadi hamba dosa, kata Tuhan Yesus, berarti orang itu terus-menerus berbuat dosa. Orang yang terus berbuat dosa jelas bukan lahir dari Allah, sedangkan orang yang lahir dari Allah tidak terus-menerus berbuat dosa (meskipun masih bisa berdosa lagi) (1 Yohanes 3:8-9). Apa bedanya ? Bukankah orang yang lahir dari Allah juga bisa berdosa lagi ? Orang-orang yang lahir dari Allah memang bisa berdosa lagi, tetapi yang menjadi fokus dan esensi hidupnya bukanlah dosa, tetapi Kristus. Dengan kata lain, dosa tidak lagi mengikat orang-orang yang lahir dari Allah. Bagaimana dengan kita ? Mungkin kita mengaku diri di depan masyarakat bahwa kita itu Kristen bahkan puluhan tahun, tetapi sayangnya kita masih menghidupi dosa itu, bukankah itu menandakan kita belum menjadi manusia baru yang lahir dari Allah ? Saya mengamati banyak orang yang mengaku diri “Kristen” bahkan aktif “melayani ‘tuhan’” tetapi paradigmanya masih kacau dan masih dicengkeram oleh dosa dengan mencoba memisahkan antara iman Kristen dengan ilmu/kehidupan sehari-hari. Selain itu, ada juga orang “Kristen” juga malas disuruh belajar Alkitab, meskipun di depan masyarakat, mengaku bahwa ia “melayani ‘tuhan’” di gereja tertentu. Itu semua adalah tanda kita belum mau menjadi manusia baru meskipun menyebut diri “Kristen. Bukan hanya orang-orang lain, saya pun menyadari kelemahan-kelemahan saya. Oleh karena itu, sudah saatnya marilah kita yang termasuk anak-anak Allah (umat pilihan Allah) keluar dari ikatan dosa dan iblis, lalu bangkit menjadi manusia baru.

Bagaimana kita bisa menjadi manusia baru ? Di titik pertama, kita perlu belajar bahwa menjadi manusia baru memang harus diusahakan tetapi itu bukan 100% hasil jerih payah kita, melainkan itu adalah anugerah Allah. Rasul Paulus menasehatkan, “Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Filipi 2:12-13) Seringkali untuk menyerang Calvinisme, para penganut Arminianisme (termasuk di dalamnya Katolik Roma dan liberal terselubung) dengan tidak bertanggungjawab mengajarkan bahwa Filipi 2:12 mengajarkan orang Kristen untuk mengerjakan keselamatan, dengan demikian berarti keselamatan kita bisa hilang. Benarkah ayat ini berarti demikian ? Kalau “benar”, maka apa yang Paulus ajarkan sangat berbeda dari ajaran Tuhan Yesus di dalam Yohanes 3:16 yaitu barangsiapa yang percaya kepada-Nya akan beroleh hidup yang kekal (bukan hidup yang sebagian kekal). Kenyataannya TIDAK. Tafsiran merekalah yang kacau dan seenaknya sendiri. Filipi 2:12 memang mengajar kita untuk mengerjakan keselamatan, tetapi ayat ini disusul ayat 13 yang mengajarkan prinsip penting bahwa ketika kita bisa berbuat baik, itupun karena Allah yang memulai mengerjakan di dalam kita baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. Dengan kata lain, Allah yang memulai, Ia pulalah yang mengakhirinya, karena Ia adalah Alfa dan Omega. Arminianisme (termasuk di dalamnya Open Theism, mayoritas Katolik Roma) yang memuja kehendak bebas manusia dan menghina kedaulatan Allah di titik pertama dapat ditumbangkan argumentasinya karena mereka tak mempercayai ketidakberubahan Allah.

Lalu, setelah kita mengerti bahwa Allah sebagai sumber di mana kita nantinya bisa melakukan/mengerjakan keselamatan, maka apa yang harus kita lakukan selanjutnya ? Di ayat 3, Paulus mengambil teladan dari Kristus bagi kita, “Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya?” Kata “kita semua” tidak sesuai dengan terjemahan asli maupun terjemahan King James Version yang memakai, “many of us”. Kata ini berarti tidak semua orang yang mengaku diri “Kristen” dibaptis di dalam Kristus, tetapi hanya umat pilihan Allah sejati di dalam Kristus yang dibaptis di dalam Kristus (tidak semua orang yang mengaku diri “Kristen” pasti termasuk umat pilihan Allah, karena banyak orang “Kristen” gadungan yang beriman di dalam diri ketimbang di dalam Kristus yang secara otomatis tidak termasuk umat pilihan-Nya). Cara kita menjadi manusia baru adalah pertama, dibaptis di dalam Kristus dan kematian-Nya. Geneva Bible Translation Notes memberikan tafsiran atas ayat ini, “There are three parts of this sanctification: that is, the death of the old man or sin, his burial, and the resurrection of the new man, descending into us from the virtue of the death, burial, and resurrection of Christ, of which benefit our baptism is a sign and pledge.” (=Ada tiga bagian dalam pengudusan ini : yaitu, kematian manusia atau dosa lama kita, penguburannya, dan kebangkitan manusia baru) turun/diwarisi ke dalam kita dari kebaikan kematian, penguburan, dan kebangkitan Kristus, yang olehnya menguntungkan baptisan kita sebagai tanda dan jaminan/janji.) Albert Barnes dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menafsirkan, “The act of baptism denotes dedication to the service of him in whose name we are baptized.” (=Tindakan baptisan menandakan dedikasi untuk melayani Dia di dalam nama kita dibaptiskan.) Barnes merujuk kepada 1 Korintus 10:2 sebagai peringatan bahwa bangsa Israel juga dibaptiskan bagi Musa untuk melayani Musa atau mengakui Musa sebagai pemimpin mereka. Kita dapat belajar dari Barnes, bahwa baptisan bukan sekedar lambang lalu kita boleh mengabaikannya, atau di ekstrim lain, baptisan itu terpenting, sehingga sebelum dibaptis, begitu khusyuk, tetapi setelah dibaptis, banyak dari kita berlaku liar (karena sudah dibaptis). Kedua ekstrim ini harus dihindari. Alkitab mengajarkan bahwa baptisan itu janji sekaligus tanda kita terikat di dalam anggota keluarga Allah, di mana kita harus melayani-Nya. Melayani berarti harus mendedikasikan seluruh hidup kita bagi kemuliaan-Nya (bandingkan Roma 12:1-2). Dengan dibaptiskan di dalam kematian-Nya, kita juga berani untuk TIDAK melayani iblis dan dosa, tetapi melayani Allah sebagai hamba-Nya, hamba Kebenaran sejati.

Setelah dibaptis di dalam Kristus dan kematian-Nya, cara kedua adalah hidup baru di dalam Kristus (dibaptis di dalam kebangkitan-Nya). Hal ini disebutkan Paulus di dalam ayat 4, “Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.” Di dalam iman Kristen yang Alkitabiah, kita beriman bahwa setelah Kristus mati, Ia bangkit. Demikian juga, setelah kita dibaptiskan di dalam kematian-Nya, kita pun harus dibaptiskan di dalam kebangkitan-Nya. Artinya, ada hidup baru. Hidup baru bukan hanya mendedikasikan sseluruh hidup kita bagi kemuliaan-Nya, tetapi kita mau men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidup kita. Men-Tuhan-kan Kristus berarti menjadikan Dia sebagai Tuhan dan Pemilik hidup kita. Bagaimana dengan kita ? Seringkali kita berani mengaku diri “Kristen”, tetapi aneh sekali ketika nama Tuhan dan konsep iman Kristen disebutkan di luar gereja, kita sangat alergi dengan alasan yang dibuat-buat, “Tidak ada hubungannya.” Itukah cara kita men-Tuhan-kan Kristus ? Atau jangan-jangan kita sedang men-“tuhan”-kan iblis dan dosa, lalu kita mengklaim iblis sebagai “tuhan”. Itulah kegagalan postmodern yang mengilahkan dan memutlakkan relativisme. Sudah seharusnya kita sebagai anak-anak Allah keluar dari bujuk rayu iblis melalui ide postmodern dan kembali kepada Alkitab untuk men-Tuhan-kan Kristus dan menjadikan Dia sebagai satu-satunya fokus hidup kita. Itulah tandanya manusia baru yang dibaptis di dalam kebangkitan-Nya.

Mari dengan rendah hati, kita belajar taat mutlak kepada Allah dan Firman-Nya untuk terus-menerus berkomitmen untuk hidup bagi-Nya dan men-Tuhan-kan-Nya bukan diri kita atau iblis atau hal-hal sejenis yang najis di hadapan-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: