21 July 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:25-28 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:25-28

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:25-28



Penggunaan kata sambung “sekarang tentang” (peri de) merupakan salah satu karakteristik Paulus dalam surat 1 Korintus untuk memulai suatu bagian yang baru. Kata sambung ini muncul di 7:1 untuk menandakan perpindahan antara hal-hal yang didengar Paulus (pasal 1-6, bdk. 1:11; 5:1) dan hal-hal yang diketahi Paulus dari surat-surat jemaat (7:1a). Kata sambung ini juga muncul di bagian awal pembahasan tentang makan daging persembahan berhala (8:1) maupun karunia roh (12:1).

Dalam 1 Korintus 7:25 kata peri de menunjukkan perpindahan target pembaca. Kalau bagian sebelumnya membahas tentang mereka yang kawin atau pernah kawin (ay. 2-24), mulai ayat 25 menyinggung tentang mereka yang belum kawin. Walaupun ada perubahan target pembaca, tetapi inti masalah yang dibahas tetap sama, yaitu konsep theologis yang salah tentang seks (ay. 1b). Mereka menganggap bahwa seks akan merusak kerohanian seseorang.

Prinsip ini ternyata tidak hanya mereka terapkan pada orang-orang yang sudah kawin (ay. 2-5, 10-16), tetapi juga pada mereka yang belum kawin. Mereka beranggapan bahwa tidak kawin merupakan hal yang baik. Dalam kasus orang-orang yang belum kawin ini (ay. 25a), Paulus mula-mula menyatakan otoritasnya dalam memberikan nasehat. Dia memang tidak mendapat perintah langsung dari Tuhan Yesus, namun ia tetap memiliki otoritas dalam hal ini (ay. 25b). Setelah itu ia memaparkan pendapatnya yang secara prinsip sama dengan yang ia tekankan sebelumnya: tetap dalam keadaan seperti ketika dipanggil (ay. 26b-27). Bagi yang ingin mengubah status mereka, Paulus pun tidak melarang (ay. 28a). Ia juga memberikan dua alasan mengapa jemaat sebaiknya tidak mengadakan perubahan status: waktu darurat sekarang (ay. 26a) dan kesusahan badani bagi yang kawin (ay. 28b).


Target Nasehat: Gadis-gadis (ay. 25a)
LAI:TB dan mayoritas versi Inggris (KJV/NASB/NIV) menerjemahkan kata parthenos di ayat ini dengan “gadis/perawan”. Arti umum dari kata parthenos memang perempuan yang belum pernah kawin. Paulus menggunakan kata ini dengan artikel feminin di depannya (7:28, 33, 36, 37, 38). Pemakaian di luar Alkitab juga mengarah pada hal yang sama. Sebagian penafsir meragukan arti umum di atas dapat diterapkan dalam 1 Korintus 7:25a.

Dari sisi tata bahasa bentuk jamak tōn parthenōn bisa merujuk pada maskulin maupun feminin (walaupun dari sisi kata dasar parthenos adalah feminin). Keseluruhan ayat 25-28 menunjukkan bahwa Paulus menujukan nasehatnya kepada laki-laki (ay. 27) maupun wanita (ay. 28). Beberapa data kuno juga menunjukkan bahwa kata parthenos pernah dipakai untuk laki-laki yang belum pernah menikah (Why. 14:4; Joseph & Aseneth 4:7). Berdasarkan hal ini sebagian penafsir memahami dalam konteks ini sebagai laki-laki atau wanita yang belum kawin.

Beragam usulan lain juga dimunculkan para penafsir untuk menjelaskan arti yang spesifik dari kata parthenos. Dari semua usulan yang ada, yang paling tepat adalah tetap membatasi arti kata parthenos pada perempuan yang belum kawin. Arti inilah yang secara konsisten muncul di 1 Korintus 7. Kita perlu menambahkan bahwa para gadis di sini bukan hanya sekadar belum kawin, tetapi mereka sudah dalam status pertunangan. Beberapa petunjuk dalam teks mengarah pada dugaan ini: (1) orang yang tidak kawin (agamos) di 7:34 disebut agamos dan dibedakan dari parthenos; (2) kata parthenos beberapa kali dipakai untuk wanita yang berada dalam status pertunangan, misalnya Maria (Mat. 1:18, 23//Luk. 1:27), orang-orang Kristen sebagai orang yang sudah dipertunangkan dengan Kristus (2Kor. 11:2); (3) kata “terikat” di ayat 26 mengindikasikan adanya status tertentu yang mengikat; (4) kata “nya” pada kata “gadisnya” mengarah pada relasi khusus. Jika penafsiran di atas diterima, maka hal ini sangat mudah dipahami dalam konteks 1 Korintus 7 secara keseluruhan. Konsep theologis yang negatif terhadap seks (ay. 1b) juga diterapkan pada mereka yang dalam tahap pertunangan. Mereka didesak untuk tidak melanjutkan hubungan itu ke jenjang perkawinan. Dalam situasi seperti inilah Paulus memberikan pendapatnya di ayat 26-28.


Otoritas Paulus dalam Memberikan Nasehat (ay. 25b)
Sebelum memaparkan isi nasehat (ay. 26-28) Paulus terlebih dahulu menegaskan dasar otoritatif dari nasehat tersebut (ay. 25b). Ia mengatakan bahwa ia tidak mendapat perintah dari Tuhan tentang hal ini (ay. 25b). Pernyataan ini tidak berarti bahwa nasehat Paulus bukan firman Tuhan. Pernyataan ini harus dipahami sebagai bentuk kejujuran Paulus bahwa Tuhan Yesus selama di dunia memang tidak pernah memberikan nasehat secara khusus tentang masalah yang dihadapi jemaat Korintus, karena kasus ini baru muncul di kalangan jemaat Korintus. Kalau tentang suami-istri tidak boleh bercerai, itu pernah diajarkan secara langsung oleh Yesus (7:10-11; bdk. Mrk. 10:11-12). Tentang orang Kristen yang pasangannya kafir (ay. 12-16) atau sedang dalam pertunangan (ay. 25-28), Yesus tidak pernah menyinggung secara langsung. Dalam pengertian seperti inilah Paulus menyatakan bahwa ia tidak menerima perintah dari Tuhan.

Kalau nasehat Paulus bukan langsung berasal dari Tuhan Yesus, apakah ia memiliki otoritas dalam memberikan nasehatnya pribadi? Apa dasar dari otoritas itu? Terhadap hal ini Paulus menyatakan dirinya sebagai “seorang yang dapat dipercayai karena rahmat yang diterimanya dari Allah” (ay. 25b, LAI:TB). Walaupun terjemahan LAI:TB di sini sudah baik (juga NIV/NASB/RSV)), namun penekanannya sedikit berbeda dengan nuansa dalam teks asli.

Secara hurufiah ayat ini berarti “seorang yang telah menerima rahmat Tuhan untuk menjadi orang yang dapat dipercayai” (KJV). Terjemahan pertama menampilkan rahmat Tuhan sebagai alasan Paulus bisa dapat dipercaya, sedangkan terjemahan hurufiah menyiratkan tujuan dari pemberian rahmat Tuhan.

Apa maksud “seorang yang dapat dipercayai” (pistos)? Kata ini bisa berarti setia, percaya atau dapat dipercayai. Dalam konteks 1 Korintus 7:25 arti yang lebih tepat adalah dapat dipercayai. “Dapat dipercayai” bukan berarti “selalu menepati janji” atau “berkata dengan konsisten”, walaupun Paulus memiliki dua sikap positif ini. 1 Korintus 4:1-2 memberikan petunjuk yang bermanfaat. Dalam teks ini kata pistos juga muncul dalam konteks “orang yang dipercayakan rahasia Allah harus bisa dipercayai”. Dengan demikian kata pistos merujuk pada orang yang bisa dipercayai dalam arti setia menyampaikan kepada orang lain apa yang ia sendiri telah terima dari Tuhan. Ia bisa dipercaya sebagai pembawa berita ilahi.

Bagaimana cara Paulus menerima berita ilahi seputar kasus pertunangan di ayat 25-28? Dalam bagian ini ia tidak menyatakan secara jelas. Jika kita meihat ayat 40, maka kita dapat mengetahui kalau Paulus mendapatkan wahyu ilahi itu dari Roh Allah. Pengakuan sebagai orang yang dapat dipercayai (pistos) tidak boleh dianggap sebagai bentuk kesombongan. Paulus secara eksplisit menjelaskan bahwa dia bisa dipercayai karena ia telah menerima rahmat Tuhan. Dalam teks Yunani bahkan diterangkan “orang yang telah menerima rahmat Allah untuk menjadi setia” (NIV). Dari terjemahan hurufiah ini terlihat bahwa pemberian rahmat tidak hanya menjadi alasan, tetapi rahmat itu diberikan dengan tujuan supaya Paulus bisa menjadi pistos. Penekanan kepada rahmat Allah telah menjadi karakteristik Paulus. Keberadaan dan pelayanan Paulus merupakan kasih karunia Allah (1Kor. 15:8-10).


Isi Nasehat (ay. 26-28)
Nasehat Paulus di bagian ini dimulai dan diakhiri dengan alasan yang berkaitan dengan konsep eskatologis: sekarang adalah waktu darurat (ay. 26a) yang akan ditandai dengan kesusahan badani (ay. 28b). Di tengah-tengah alasan tersebut di atas Paulus memberikan dua nasehat: lebih baik dalam keadaan seperti semua (ay. 26b-27), tetapi menikah pun tidak apa-apa (ay. 28a). Dengan demikian cara berpikir Paulus di ayat 26-28 dapat digambarkan dalam struktur A B B A.
A Alasan 1: waktu darurat (ay. 26a)
B Lebih baik tetap dalam keadaan semula (ay. 26b-27)
B’ Kalau kawin tidak apa-apa (ay. 28a)
A’ Alasan 2: kawin membawa masalah (ay. 28b)
Alasan 1: waktu darurat (ay. 26a)

Frase dia tēn enestōsan anankēn (LAI:TB “mengingat waktu darurat sekarang”) telah diterjemahkan dalam berbagai cara. KJV/NASB/RSV memilih “kesukaran sekarang”, YLT “kebutuhan sekarang”, sementara NIV memakai “krisis sekarang”. Perbedaan ini dipicu oleh arti kata anankēn yang memang beragam: “kesukaran”, “kebutuhan” atau “paksaan”.

Untuk menentukan arti mana yang tepat, kita harus melihat konteks. Beberapa petunjuk dalam teks mengarah pada arti “masa eskatologis yang penuh kesukaran”. Pertama, frase “waktunya telah singkat” di ayat 29 jelas mengarah pada masa sebelum Kristus datang. Kedua, kata “kesusahan” (thlipsis) di ayat 28 sering dipakai dalam konteks eskhatologis (Why. 7:14; bdk. 1:9; 2:9-10, 22). Ketiga, kata anankhn kadang kala dipakai dalam konteks kesukaran sebelum parousia (Luk. 21:23).

Dalam theologi Paulus, masa penantian sebelum kesudahan segala sesuatu dipenuhi dengan berbagai kesukaran. Semua makhluk bergumul dengan berbagai penderitaan (Rm. 8:17-24). Secara khusus orang Kristen merasa susah “karena kita rindu mengenakan tempat kediaman sorgawi di atas tempat kediaman kita yang sekarang ini” (2Kor. 5:2). Ketegangan inilah yang disebut Paulus sebagai masa penuh kesukaran. Situasi ini seyogyanya diresponi orang-orang Kristen dengan fokus hidup yang semakin jauh dari ikatan duniawi. Ketika kita menantikan kedatangan Kristus tetapi kita sendiri semakin terikat dengan hal-hal yang ada di dunia, maka ketegangan itu akan menjadi semakin kuat dan meningkatkan kesukaran kita.

Konsep Paulus yang terkesan mengajarkan kedatangan Kristus yang sangat segera dalam hidupnya sering kali dipersoalkan oleh para theolog. Mereka menganggap bahwa para rasul telah salah menebak waktu kedatangan Kristus. Anggapan ini dikenal dengan nama penundaan kedatangan Kristus (delay of parousia).

Bagaimanapun, anggapan di atas sudah pasti tidak dapat dibenarkan. Yesus sendiri mengajarkan dengan jelas bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui waktu dan masa parousia (Mat. 24:36). Kristus datang seperti pencuri (1Tes. 5:1-8). Kedatangan-Nya juga akan diawali dengan tanda-tanda tertentu (2Tes. 2-3). Kesan kesegeraan kedatangan Kristus dalam tulisan para rasul bersumber dari keyakinan bahwa jaman akhir sudah dimulai pada jaman mereka (bdk. Kis. 2:15-21). Kesan itu juga muncul dari pengharapan yang kuat terhadap momen parousia (bandingkan penggunaan kata “kita” yang dipakai Paulus di 1Tes. 4:15-17).

Isi nasehat 1: tetap dalam keadaan semula (ay. 26b-27)
Bagi semua orang yang belum menikah, Paulus memandang baik (kalos) kalau mereka tetap seperti itu. Tidak seperti pandangan jemaat Korintus, baik atau tidak di sini bukan dilihat secara moral, melainkan secara eskatologis (ay. 26a, 28b, 29, 31b, 32-35). Menurut Paulus, mereka yang menantikan kedatangan Kristus lebih baik tidak mengupayakan perubahan status karena hal itu tidak akan memberi kontribusi apa pun secara spiritual. Memutuskan relasi pertunangan tidak akan menjadikan seseorang lebih rohani atau bermoral daripada mereka yang kawin. Sebaliknya, mencari ikatan pertunangan/pernikahan justru berpotensi untuk mengganggu fokus dalam menantikan kedatangan Kristus (7:32-35). Dengan pemikiran seperti ini, maka lebih baik seseorang tetap dalam keadaannya masing-masing. Ayat 27 memberikan penjelasan yang lebih eksplisit tentang “tetap dalam keadaannya” di ayat 26b. Dari ayat 27 terlihat bahwa prinsip di ayat 26b juga berlaku untuk mereka yang sudah bertunangan maupun yang belum. Apakah arti “terikat pada seorang perempuan”? Terjemahan dalam berbagai versi Inggris menyiratkan bahwa ikatan yang ada bukan sekadar pertunangan, tetapi perkawinan (ESV/NASB/RSV/KJV “bound to/unto a wife”; NIV “married”; NLT “have a wife”). Pilihan ini diambil karena kata “terikat” (deomai) biasa dipakai Paulus untuk ikatan dalam sebuah perkawinan (7:39; Rom 7:2). Di samping itu, jika Paulus memaksudkan ikatan ini sebagai pertunangan, maka di ayat 27 ia akan memakai kata parthenos (bdk. ay. 25), bukan gpsnē (“wanita/isteri”).

Sebagian penafsir lain memberikan keberatan terhadap pandangan di atas. Jika ikatan yang dimaksudkan Paulus di sini adalah perkawinan, mengapa kata “perceraian” (lpssis) atau “tidak terikat” (lpsō) di ayat 27 berbeda dengan kata “menceraikan” (chōrizō) di ayat 10 atau “menceraikan” (aphiēmi) di ayat 12? Jika di ayat 27 berbicara tentang larangan bercerai bagi yang menikah, apakah hal itu tidak bersifat pengulangan yang basi dari ayat 10-16? Lagi pula, jika ini larangan cerai dalam konteks perkawinan, mengapa Paulus di ayat 25 mengatakan bahwa ia tidak mendapat perintah dari Tuhan (bdk. ay. 10-11)? Keberatan paling esensial adalah konteks. Jika konteks ayat 25-38 memang berbicara tentang orang-orang yang dalam taraf pertunangan, maka sangat janggal apabila Paulus secara tiba-tiba berpindah topik ke ikatan perkawinan.

Di antara dua pilihan di atas, yang kedua tampaknya lebih tepat karena lebih memperhatikan konteks. Paulus mungkin sengaja memakai istilah yang lebih luas (yaitu lpssis dan gpsnē) supaya nasehat ini juga dapat diaplikasikan dalam konteks perkawinan. Kata lpssis sendiri dalam literatur kuno di luar Alkitab biasa dipakai untuk pelepasan tanggung-jawab dari suatu kontrak. Kontrak yang dimaksud bisa sangat beragam, termasuk ikatan pertunangan. Kata gpsnē pun bisa bermakna sangat luas, termasuk wanita yang belum menikah. Bagi mereka yang sudah bertunangan, Paulus menasehatkan agar mereka tidak perlu memutuskan ikatan itu. Bagi yang belum bertunangan, mereka dinasehati untuk tidak bertunangan. Menariknya, Paulus juga tidak menasehatkan agar yang bertunangan segera menikah. Ia lebih memilih agar mereka tetap dalam keadaan masing-masing (ay. 26b).

Mengapa ia tidak mendorong yang bertunangan untuk menikah? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan diberikan di ayat 32-35, walaupun ia juga tidak melarang seandainya mereka mau melanjutkan ke tahap berikutnya (ay. 36, 38).

Isi nasehat 2: kalau kawin tidak apa-apa (ay. 28a)
Pilihan terbaik adalah tetap dalam keadaan semula (ay. 26-27), namun hal itu bukanlah sebuah dogma yang kaku. Paulus tidak sedang membandingkan antara “baik” dan “jahat”, tetapi “baik” dan “lebih baik” (ay. 38). Ia memberikan pendapat yang terbaik, namun ia sadar bahwa tidak semua orang mampu menerima hal itu. Sama seperti ia melarang perceraian dalam perkawinan campur tetapi tetap membuka ruang untuk itu apabila inisiatif bercerai berasal dari pihak non-Kristen (ay. 12-16), demikian pula di sini ia tetap memberi ruang bagi mereka yang ingin mengubah keadaan mereka.

Sikap Paulus di atas tidak boleh ditafsirkan sebagai sebuah kompromi. Tidak ada kebenaran Alkitab yang dikorbankan dalam hal ini. Ini adalah sebuah fleksibilitas pastoral yang bijaksana. Ia menandaskan bahwa menikah bukanlah dosa. Dari kacamata Yahudi, pernyataan ini terlihat kurang tegas. Tradisi para rabi mengajarkan bahwa pernikahan hampir dapat dikatakan sebagai sebuah keharusan. Menikah bukan hanya “tidak apa-apa”, tetapi sebagai bukti bahwa seorang laki-laki telah menaati perintah TUHAN (bdk. Kej 1:27) dan menjadi pribadi sempurna.

Dari perspektif orang modern, pernyataan Paulus terdengar sangat aneh dan tidak berguna. Kita hampir tidak pernah mendengar bahwa ada orang modern yang menganggap pernikahan sebagai sebuah dosa. Untuk apa Paulus mengatakan bahwa pernikahan bukanlah dosa? Semua ini terkait dengan sikap jemaat Korintus (ay. 1b). Mereka menganggap perkawinan sebagai dosa yang berpotensi mengganggu kerohanian seseorang. Dari sini dapat kita lihat bahwa walaupun jemaat Korintus dan Paulus sama-sama memandang “tidak kawin” sebagai pilihan yang [lebih] baik, tetapi mereka berbeda pendapat tentang alasan (ay. 26a, 28b) maupun sikap terhadap perkawinan (ay. 28a).

Alasan 2: kawin membawa masalah (ay. 28b)
Di bagian ini Paulus menjelaskan bahwa orang yang mau menikah akan ditimpa “kesusahan badani” (thlipsis tē sarki). Frase ini tidak boleh diartikan pada kesusahan fisik yang dialami oleh wanita saja, seperti hamil atau melahirkan. Bentuk jamak “orang-orang yang demikian” (eoi toioutoi) jelas merujuk pada “engkau” (laki-laki) dan “seorang gadis” di ayat 28a.

Kata “badani” (tē sarki, lit. “dalam daging”) di ayat ini sebaiknya dipahami dalam arti “selama hidup di dunia ini”. Kata “daging” (sarx) memang kadangkala dipakai Paulus untuk merujuk pada kehidupan di dunia yang sementara ini (BAGD, bdk. 2Kor. 4:11; Kol. 1:24). Makna ini sesuai dengan konteks ayat 25-31. Paulus sedang membahas tentang masa hidup orang Kristen yang sementara sebelum Kristus datang kembali. Selama masa penantian ini semua mahkluk (termasuk orang Kristen) berada dalam kesusahan (Rm. 8:18-25) karena berada di antara ketegangan: tetap hidup di dunia tetapi fokus hidup tertuju pada kekekalan (2Kor. 5:4). Jika seseorang menikah, maka ia akan menambah kesusahan tersebut.

Keluarga dan semua permasalahan di dalamnya akan membuat ketegangan tersebut menjadi lebih kuat. Kita akan semakin terikat dengan keluarga kita (bdk. ay. 32-34); hal ini membuat penantian kita menjadi semakin sulit.

Pernyataan “aku mau menghindarkan kamu dari kesusahan itu” di akhir ayat 28 sekali lagi memperjelas sisi pastoral Paulus. Ia memang tegas dalam hal-hal yang mendasar, tetapi kita tidak boleh melupakan sisi-sisi kelembutan dalam diri Paulus. Untuk hal-hal yang tidak bertentangan dengan firman, ia memilih untuk bersikap toleran. Di bagian ini pun ia mengungkapkan perhatiannya kepada jemaat Korintus. Nasehat yang ia berikan bukan hanya terbaik dari sisi theologis, tetapi juga dari sisi praktis. Ia ingin agar jemaat Korintus terhindari dari kesusahan yang bisa dicegah tersebut. #





Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 12 Juli 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2025-28.pdf