08 April 2008

Roma 7:7-12: HUKUM TAURAT DALAM PERSPEKTIF KRISTEN-2: Hukum Taurat dan Dosa-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Manusia Lama Vs Manusia Baru-10


Hukum Taurat Dalam Perspektif Kristen-2 :
Hukum Taurat dan Dosa-1


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 7:7-12.


Setelah mempelajari tentang arti yang lebih dalam bahwa kita telah mati bagi Taurat di pasal 7 ayat 1-6, maka di ayat 7-12, Paulus menjelaskan tentang kaitan antara Hukum Taurat dan dosa.

Dari enam ayat pertama di pasal 7, seolah-olah Paulus terkesan menyalahkan Taurat. Supaya tidak terjadi penyalahtafsiran dari para pembaca, maka pada pasal 7 ayat 7, Paulus mengajarkan dengan jelas, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah hukum Taurat itu dosa? Sekali-kali tidak! Sebaliknya, justru oleh hukum Taurat aku telah mengenal dosa. Karena aku juga tidak tahu apa itu keinginan, kalau hukum Taurat tidak mengatakan: "Jangan mengingini!"” Pertama-tama, Paulus memjelaskan presuposisi para pembaca yang telah membaca keenam ayat awal di pasal 7 ini, yaitu hukum Taurat itu bukanlah dosa (atau lebih tepatnya, hukum Taurat itu bukan membuat kita meleset dari sasaran Allah). “Sekali-kali tidak!” dalam terjemahan Indonesia diterjemahkan “God forbid.” dalam terjemahan King James Version (KJV). Dengan kata lain, bukan Taurat penyebab dosa. Lalu, apa yang mengakibatkan manusia berdosa ? Diri sendiri yang melawan Allah. Hal ini ditegaskan Paulus selanjutnya, “Sebaliknya, justru oleh hukum Taurat aku telah mengenal dosa. Karena aku juga tidak tahu apa itu keinginan, kalau hukum Taurat tidak mengatakan: "Jangan mengingini!"” Kedua kata “ingin” di dalam bagian ini diterjemahkan KJV dengan dua kata yang agak berlainan. Kata “keinginan” diterjemahkan lust (Yunani : epithumia ; akar katanya : epithumeō ; Indonesia : keinginan/nafsu) dan kata “mengingini” diterjemahkan covet (Yunani : epithumeō ; Indonesia : iri hati/menaruh hati pada...). Kedua perbedaan ini membukakan satu arti bagi kita. Kata “keinginan” dilekatkan dengan keinginan nafsu birahi manusia SETELAH dirinya membaca Taurat yang hanya berbicara jangan menaruh hati pada sesuatu. Di sini, ada suatu pengertian yang meluas (=lebih parah) setelah membaca Taurat. Yaitu, sebelum membaca Taurat, Paulus tak tahu apa itu keinginan (tentu bukan karena ia tidak tahu, tetapi belum tahu), tetapi setelah membaca Taurat, ia semakin mengetahui dan mengerti serta menjalankannya (konotasi negatif). Artinya, hukum Taurat membukakan realita tentang dosa kepada kita. Tujuannya agar kita sadar bahwa kita ini hanya manusia ciptaan, terbatas dan jatuh ke dalam dosa serta kita harus kembali kepada Allah sebagai Sumber. Bagaimana dengan kita ? Bukankah kita juga sama seperti Paulus ? Bukan karena kita tidak tahu dosa, tetapi kita belum mengetahui dosa itu, lalu setelah kita mengetahui dosa itu, kita bukan menyadarinya dan bertobat, malahan kita makin melakukannya. Itulah cengkeraman dosa di dalam hidup kita.

Bukan hanya itu saja, Paulus menambahkan di ayat 8, “Tetapi dalam perintah itu dosa mendapat kesempatan untuk membangkitkan di dalam diriku rupa-rupa keinginan; sebab tanpa hukum Taurat dosa mati.” KJV menerjemahkannya, “But sin, taking occasion by the commandment, wrought in me all manner of concupiscence. For without the law sin was dead.” Justru, anehnya, melalui Taurat, Paulus mengungkapkan dosa mendapat kesempatan untuk membangkitkan keinginan di dalam dirinya. Kata “mendapat kesempatan” di dalam bahasa Yunani aphormē berarti titik pembuka (starting point). Dengan kata lain, melalui Taurat lah, semakin manusia membaca dan menghafal Taurat (tanpa pengertian sejati dari Allah) akan mengakibatkan :
pertama, manusia tersebut mengenal dosa dan semakin berbuat dosa.
Kedua, dosa itu hidup. Jika dibalik dari pernyataan “... ; sebab tanpa hukum Taurat dosa mati.”, Paulus sendiri mengajarkan bahwa hukum Taurat mengakibatkan dosa itu hidup.
Ketiga, dosa hidup, tetapi manusia mati. Di ayat 9-10a, Paulus mengatakan dengan terus terang, “Dahulu aku hidup tanpa hukum Taurat. Akan tetapi sesudah datang perintah itu, dosa mulai hidup, sebaliknya aku mati.” Artinya, semakin orang menjalankan Taurat tanpa pengertian yang benar, maka orang itu semakin mati, dan dosa semakin ia tumpuk secara tidak sengaja, karena ia menjalankan Taurat secara membabibuta.

Inilah tragisnya orang yang katanya beragama, berTaurat, tetapi sebenarnya tidak mengerti esensi Taurat dengan pengertian sejati dari Allah. Akibatnya mereka sebenarnya bukan sedang beragama, menjalankan perintah Tuhan, tetapi mereka sedang menumpuk dosa, murka Allah, dan akhir dari semuanya itu adalah kematian orang yang mengaku diri beragama/berTaurat itu. Bagaimana dengan kita ? Kita sebagai orang Kristen mungkin berani mengaku diri sudah membaca ribuan ayat Alkitab bahkan berkali-kali membaca Alkitab dari Kejadian sampai dengan Wahyu, tetapi seringkali kita membaca tanpa pengertian dan pendalaman serta pelaksanaan, sehingga pembacaan kita sia-sia sama seperti orang-orang Yahudi yang taat membaca Taurat, tetapi tidak mengerti esensinya. Apa esensi Firman Allah ? Esensinya adalah kebenaran mutlak Allah, disertai dengan kasih, keadilan, kejujuran, kesetiaan, pemeliharaan dan murka-Nya. Itu semua adalah esensi Firman Allah, sehingga ketika kita membaca Alkitab, berusahalah mengerti esensinya sehingga kita tidak salah mengartikan apalagi salah menerapkannya. Memisahkan Firman Allah dari esensi sangat menyesatkan dan membahayakan orang lain (apalagi kalau ini dilakukan oleh para “pemimpin gereja” yang mungkin sudah bergelar doktor berderet-deret). Hal ini sudah dipraktekkan oleh para ahli Taurat, sehingga di dalam Matius 6:5,7, Tuhan Yesus mengkritik doa para ahli Taurat yang munafik seperti orang fasik (tidak mengenal Allah) dan di dalam Matius 23, Tuhan Yesus mengkritik kemunafikan orang-orang yang menganggap diri “ahli” Taurat. Tuhan tidak membutuhkan kemahiran kita berdebat theologia, atau bergelar doktor sampai berderet-deret, sebaliknya Ia membutuhkan ketaatan umat-Nya mempelajari dan melakukan firman-Nya dengan pengertian dan esensi yang benar (bukan berarti Ia tak menghargai kepandaian manusia, melainkan Ia menghina mereka yang tidak taat kepada-Nya tetapi berani mengklaim diri “pandai”). Orang-orang Farisi dan ahli Taurat sudah membuktikan kegagalannya mengerti Taurat, apakah kita juga mengikuti jejak mereka dengan pura-pura alim/religius di depan semua orang, tetapi hati kita jahat dan busuk di hadapan-Nya ? Mari kita mengintrospeksi diri masing-masing. Pada saat kita berlaku busuk dan munafik demikian, Alkitab mengatakan bahwa kita sedang mati (meskipun secara kasat mata kita hidup). Mati di sini bukan secara fisik, tetapi secara spiritual, artinya terputusnya hubungan kita dengan Allah.

Mengapa kita bisa mati dan dosa semakin hidup ? Karena, “perintah yang seharusnya membawa kepada hidup, ternyata bagiku justru membawa kepada kematian.” (ayat 10b) Kata “seharusnya” di dalam ayat ini menunjukkan bahwa tujuan awal Allah mewahyukan firman-Nya melalui Taurat untuk membawa manusia hidup memuliakan Allah dan menikmati-Nya selama-lamanya. Tetapi akibat dosa, manusia semakin tidak dapat memuliakan Allah, sehingga baginya, Taurat itu sesuatu “momok” yang mengerikan dan membawa kepada kematian. Esensi kesalahannya terletak bukan kepada Taurat, tetapi kepada diri manusia yang bebal, berdosa dan sok tahu di hadapan Allah. Perintah Taurat itu membuat manusia semakin diikat oleh Taurat dan terpaksa melakukannya karena jika tidak melakukannya, hukumannya mati. Pemaksaan seperti ini yang diterapkan di dalam hukum Yahudi khususnya berkenaan dengan Sabat. Barangsiapa yang berjalan beberapa meter saja di hari Sabat, sudah dianggap bekerja, itu menodai hari Sabat dan harus dihukum. Sehingga setiap perintah Taurat bukan perintah yang memerdekakan, tetapi perintah yang membelenggu. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita juga demikian ? Sesudah kita dilahirbarukan oleh Roh Kudus, seharusnya kita memandang Taurat dan hukum Allah bukan sebagai “momok” yang mengerikan, tetapi sebagai sukacita respon kita setelah kita diselamatkan di dalam Kristus. Menaati perintah Allah seharusnya menjadi kegemaran kita, bukan menjadi “momok” bagi kita. Rasul Yohanes mengajarkan, “Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anak-anak Allah, yaitu apabila kita mengasihi Allah serta melakukan perintah-perintah-Nya. Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat,” (1 Yohanes 5:2,3)

Lebih lanjut, Paulus menjelaskan di ayat 11, “Sebab dalam perintah itu, dosa mendapat kesempatan untuk menipu aku dan oleh perintah itu ia membunuh aku.” Bukan hanya membuat kita mati, malahan Taurat yang tidak dimengerti bisa menipu dan membunuh kita. Mengapa ? Kembali, karena kita tak mengerti esensi Taurat. Albert Barnes di dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menafsirkan Taurat yang menipu kita sebagai Taurat yang mengakibatkan kita semakin berbuat dosa dengan menyeleweng dari jalan Allah. Mengapa demikian ? Karena Taurat yang tidak dimengerti dapat mengakibatkan kita sebagai pembacanya bisa sombong, merasa diri menguasai Taurat, seperti para ahli Taurat, tetapi sejujurnya mereka tak mengerti esensi Taurat. Ini yang disebut paradoks. Banyak orang mengira dirinya mengerti segala sesuatu, tetapi sejujurnya mereka tak mengerti apapun. Justru, orang yang selalu merasa diri belum mengerti, di saat itulah ia bertumbuh dan mengerti bahwa ia perlu mengerti lebih banyak. Kunci pertumbuhan sejati bukan terletak pada berapa banyak gelar akademis yang diperoleh, tetapi pada kerendahan hati ingin belajar kebenaran Firman Tuhan.
Bukan hanya menipu, kemengertian seseorang yang salah akan Taurat dapat membunuh orang tersebut. Membunuh di sini menurut Albert Barnes adalah “aku mati” di Roma 7:8. Mengapa bisa demikian ? Karena pengertian yang salah akan Taurat dapat mengakibatkan orang tersebut makin melakukan Taurat secara salah makin ia terbelenggu oleh peraturan itu dan akhirnya lama-kelamaan ia akan mati dalam kesia-siaan. Bagaimana dengan kita ? Kita mungkin sudah membaca dan mengerti Alkitab dan doktrin Kristen yang banyak, tetapi sampai sejauh mana pengertian kita mempengaruhi spiritualitas/kerohanian kita dengan Tuhan. Doktrin itu sangat penting, tetapi tidak boleh dipisahkan dari pengalaman rohani sejati dengan Tuhan. Jangan menjadi Farisi-farisi modern ! Tuhan tidak menyenangi kita yang berkutat terus di dalam hal theologia, tetapi lupa bersekutu dengan-Nya dan mengalami-Nya. Mengalami Tuhan adalah suatu pengalaman setelah kita mengerti doktrin Alkitab secara beres. Prof. Sinclair B. Ferguson, Ph.D. di dalam bukunya Kehidupan Kristen : Sebuah Pengantar Doktrinal pada bab 1 memberikan judul “Mengetahui Adalah untuk Menghidupinya”. Sebuah judul bab yang singkat namun mendalam bahwa kita mengetahui doktrin yang banyak itu bagus tetapi ingatlah bahwa semua doktrin itu dimengerti bukan sebagai bahan debat, melainkan untuk menghidupi doktrin itu di dalam kehidupan kita sehari-hari. Mengapa ? Karena Firman itu hidup dan memerdekakan kita dari budak dosa dan Taurat. Orang yang terlalu banyak belajar doktrin tetapi kurang menghidupinya membuktikan bahwa orang itu belum mengerti Firman Tuhan dengan beres, apalagi orang itu yang lebih parah menganggap bahwa Firman Tuhan itu mati. Padahal, Firman Tuhan itu hidup dan berkuasa (Roma 1:16).

Sebagai kesimpulan, di ayat 12, Paulus mengajarkan, “Jadi hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik.” Hukum Taurat menurut Paulus tetap adalah kudus, benar (benar adil) dan baik. Itulah hukum Taurat yang sesungguhnya. Sehingga yang perlu dikoreksi bukan Taurat, tetapi kita yang membaca dan melakukan Taurat. Puji Tuhan, kita sudah dimerdekakan dari kutuk hukum Taurat melalui penebusan Kristus. Tetapi kita tidak boleh mengatakan bahwa kita tidak perlu menjalankan Taurat. Taurat tetap adalah Firman Allah yang perlu dijalankan bahkan bagi orang Kristen yang sudah ditebus oleh Kristus, tetapi bedanya kita menjalankan Taurat dengan sukacita dan kasih kepada Allah (bukan dengan unsur keterpaksaan dan keterikatan seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi). Ketika kita menjalankan perintah Taurat, kita menjalankannya untuk memuliakan Allah, bukan untuk kehebatan kita sendiri, karena segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia dan bagi Dia, kemuliaan bagi-Nya untuk selama-lamanya (Roma 11:36).

Setelah merenungkan keenam ayat ini, maukah kita berkomitmen gemar menjalankan perintah Tuhan/Taurat di dalam hidup kita dengan sukacita dan kasih kepada Allah ? Biarlah Tuhan menyelidiki hati dan motivasi kita. Soli Deo Gloria. Amin.

Matius 9:18-26: SAVING FAITH

Ringkasan Khotbah : 10 Juli 2005


Saving Faith

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.


Nats: Mat. 9:18-26



Pendahuluan
Kita telah memahami bahwa Kristus adalah Tuhan dan hanya kepada-Nya kita harus taat, ketika kita telah memutuskan untuk menjadi pengikut Kristus maka pengikutan itu bersifat terus menerus bukan sementara dan sebagai anak Tuhan yang sejati kita harus hidup kudus dengan demikian kita beda dengan dunia maka sub tema yang keempat adalah bagaimana hidup beriman di dalam Kristus. Sub tema keempat ini merupakan klimaks dari seluruh implikasi Kerajaan Sorga. Pada bagian pertama ini ada dua kejadian yang terjadi bersamaan, yaitu: pertama, anak perempuan dari Yairus, seorang kepala rumah ibadat sedang sakit keras dan akhirnya meninggal namun dalam situasi demikian iman Yairus tidak bergeser, ia tetap beriman pada Kristus. Fokus iman inilah yang hendak ditekankan oleh Matius, itulah sebabnya ia menyisihkan bagian-bagian lain yang dianggap tidak perlu sehingga dapat menggeser inti cerita; kedua, iman seorang perempuan yang sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan.
Setiap orang di dunia tidak pernah tahu akan hari esok maka iman itulah yang melandasi seluruh langkah hidup kita. Hati-hati, kalau kita salah memilih obyek iman maka akan berakibat fatal yakni membawa kita pada kehancuran. Manusia menyadari hal ini namun ironisnya, manusia tidak mau kembali pada Kristus Sang Kebenaran yang sejati. Cornelius Van Till mengungkapkan bahwa di dunia ini manusia terbagi dalam dua golongan, yaitu: pertama, manusia yang beriman pada Kristus, kedua, orang yang beriman pada diri sendiri dan semua ekstensi yang ada pada dirinya sendiri. Pertanyaannya adalah apakah diri layak untuk dipercaya? Kalau memang benar, kenapa muncul istilah “kurang percaya diri,“ hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya, diri tidak layak untuk dipercaya. Untuk menutupi kenyataan ini orang membuat alasan lain, yakni kalau sesuatu tidak dapat diterima logika maka orang tidak akan mau percaya. Perhatikan, kalau sebelumnya orang sudah tidak percaya maka semua yang masuk akal tidak akan dapat diterima akal sebaliknya kalau orang sudah percaya maka semua yang tidak masuk akal akan masuk di akal. Jadi, masalah ada pada percaya atau logika? Jelaslah bahwa segala sesuatu harus dimulai dari rasa percaya dulu barulah segala sesuatu akan dapat diterima akal.
Bukanlah hal yang mudah mengatakan pada seseorang yang tidak percaya bahwa hanya melalui Kristus Yesus saja kita diselamatkan karena baginya: jalan keselamatan melalui Kristus tidaklah dapat diterima akal. Begitu juga kalau kita mengatakan pada seorang atheis bahwa dunia dan segala isinya diciptakan oleh Tuhan sebab baginya hal itu tidak masuk akal. Kepercayaan seseorang itulah yang menentukan apakah sesuatu itu masuk akal ataukah tidak masuk akal maka logika itu tergantung dari percaya. Seorang yang sudah tidak percaya bahwa Allah itu ada maka semua hal tentang Allah menjadi tidak masuk akal. Ada orang yang mau percaya kalau ia telah melihat terlebih dahulu, pertanyaannya adalah apa yang mau dipercaya kalau ia sudah melihat? Sesungguhnya, melihat itupun tergantung dari apa yang ia pikir, tergantung dari imannya dan itupun akan menghasilkan interpretasi yang berbeda, sebagai contoh, seorang dokter dengan seorang ahli hukum melihat suatu kejadian kecelakaan lalu lintas misalnya akan mempunyai pandangan yang berbeda.
Manusia lebih suka ditipu daripada kita mengatakan kebenaran tentang dirinya; orang akan menjadi sangat marah ketika kita mengatakan tentang keburukannya. Kalau begitu, sebenarnya manusia itu pintar atau bodoh? Ingat, memiliki banyak pengetahuan bukanlah jaminan bahwa ia adalah seorang yang pandai sebab ia tidak mengerti esensi, contohnya Saulus, seorang yang sangat pandai sekaligus sangat bodoh sampai kemudian ia bertobat barulah disadari bahwa segala sesuatu yang ada padanya tidak lebih dari sekedar sampah. Manusia seharusnya mengakui bahwa kepandaiannya tidak dapat menyelamatkan hidupnya. Orang pandai tidak identik dengan orang bijak. Hendaklah kita takut akan Tuhan sebab itulah permulaan pengetahuan dan orang bodoh menghina hikmat dan didikan (Ams. 1:7).
I. Teguhkanlah Hatimu
Orang sulit menerima realita bahwa suatu hari kelak manusia berdosa harus berhadapan dengan pengadilan Tuhan dan upah dosa adalah maut. Hanya anugerah Tuhan kalau kita dapat terlepas dari hukuman dosa. Tidak ada cara atau usaha apapun yang dapat membebaskan kita dari hukuman dosa, semua usaha adalah sia-sia belaka. Demikian juga halnya dengan perempuan yang sakit pendarahan ini, segala cara dan usaha pastilah sudah ia tempuh, seluruh tenaga dan uang sudah ia habiskan demi untuk kesembuhannya namun semua sia-sia, sakitnya tidak menjadi sembuh tetapi justru semakin parah. Pada saat tidak ada pengharapan itulah, ia bertemu Tuhan Yesus, ia percaya dengan menjamah jubah-Nya saja maka akan sembuh. Tuhan Yesus berpaling dan memandang dia serta berkata: “Teguhkanlah hatimu, imanmu telah menyelamatkan engkau“ (Mat. 9:22). Tidak ada satu katapun yang keluar yang menyinggung tentang kesembuhan sebab Tuhan Yesus hendak membereskan konsep iman yang sifatnya esensi dan jawaban ini sekaligus menjawab pergumulan Yairus.
Orang yang menaruh kepercayaannya pada obyek iman yang tepat maka seluruh pola pikirnya yang kacau akan diubahkan menuju pada esensi iman yang sejati. Perubahan ini bukanlah perubahan yang bersifat fenomena. Tidak! Francis Shaeffer mengungkapkan I do what I think and I think what I believe, apa yang kita lakukan merupakan hasil dari apa yang kita pikirkan dan apa yang kita pikir merupakan hasil dari kepercayaan kita dari sini nampak jelas bahwa radian hidup kita yang paling luar adalah do atau tindakan, barulah think atau pikiran dan kemudian believe atau iman. Sesungguhnya, pola pikir kita dipengaruhi oleh: kesatu, apa yang kita pikirkan itu merupakan hasil dari seluruh informasi yang kita dapatkan seperti, budaya, pengalaman hidup, genetik, lingkungan sosial, dan lain-lain; kedua, apa yang kita pikirkan merupakan hasil filsafat hidup kita (Rm. 12:2) dimana filosofi hidup menjadi main set atau pola pikir kita. Karena itu, orang yang mempunyai pengalaman sama maka hasil yang didapatkan atau cara mereka menanggapi pengalaman itu tidak akan sama karena pola pikir antara satu orang dengan orang yang lain berbeda. Main set ini sekaligus adalah believe atau imannya yang mengendalikan seluruh hidupnya. Bagian terdalam inilah yang biasa disebut orang dengan perasaan atau hati; rasa sakit, rasa sedih, rasa gembira yang kita rasakan itu sesungguhnya dikendalikan oleh otak.
Jadi, segala sesuatu yang kita pikir dan kita rasakan sesungguhnya berasal dari pusat yang sama yakni otak. Pikiran dan perasaan kita dikendalikan oleh inti hidup dan inti hidup manusia sudah menjadi mati ketika manusia jatuh dalam dosa. Secara fenomena, memang manusia tidak mati, manusia masih bernafas namun itu hanya bersifat sementara sebab secara esensi, dia sudah mati. Ketika hati manusia sudah mati maka itu berarti seluruh hidupnya telah mati. Hanya Tuhan, Sang Sumber Kehidupan yang dapat menghidupkan hati manusia yang telah mati, yaitu dengan memberikan hati yang baru dan roh yang baru (Yeh. 36:26). Tanpa hati dan roh yang baru maka manusia tidak akan dapat hidup. “Teguhkanlah hatimu“, Tuhan Yesus ingin mengajak kita melihat bahwa inti daripada iman sejati adalah kembali kepada Tuhan; bukan usaha atau kemampuan kita yang membuat kita dapat beriman kepada Tuhan, tidak, tetapi semua karena anugerah Tuhan semata. Hanya Tuhan Sang Sumber Hidup itu yang dapat menghidupkan kita kembali, hanya Tuhan yang dapat memberikan hati yang baru. Perempuan yang sakit pendarahan ini hanya berorientasi di permukaan, dia hanya melihat sebuah tindakan tetapi dia tidak mengerti esensi karena itu Tuhan langsung mengkoreksi inti iman. Janganlah kita terkecoh dengan hal-hal yang sifatnya fenomena tetapi hendaklah iman kita itu muncul dari kesadaran kita sebagai manusia berdosa dan hanya Tuhan saja yang dapat memberikan kekuatan hidup pada kita yaitu di dalam Kristus Yesus.
II. Iman yang Menyelamatkan
Kalau hati kita sudah dihidupkan oleh Kristus maka iman yang keluar dari hati yang dikuatkan itu adalah iman yang menyelamatkan. Perempuan ini pastilah tidak pernah berpikir akan keselamatan jiwa, kemungkinan dia hanya memikirkan hasil, yaitu kesembuhan. Hari inipun banyak orang yang memikirkan tentang hasil, orang hanya berorientasi pada kesembuhan. Hal ini menunjukkan bahwa orang masih terikat dengan hal yang sifatnya fenomena; orang hanya melihat hasil iman tanpa ia mengerti akan apa arti esensi iman. Iman seharusnya menghasilkan “hasil“ tetapi celakanya, sekarang iman kita kepada “hasil.“ Pada tahap ini, iman perempuan hanya kepada “hasil atau kesembuhan“ saja. Celakanya, sampai hari inipun orang masih beriman pada “hasil“, maka tidaklah heran kalau seringkali kita mendengar ungkapan: orang baru mau percaya kepada Tuhan Yesus kalau ia disembuhkan. Berarti ia beriman pada “hasil atau sembuh“, kalau ia tidak sembuh maka dengan mudah dan cepat imannya akan berpindah pada obyek iman yang lain yang dapat memberikan “hasil“ yang sesuai dengan keinginannya. Tuhan ingin menyadarkan kita bahwa iman itu bukanlah digeser ke “hasil“ tetapi iman harus kembali pada obyek iman, yaitu iman yang menyelamatkan, saving faith. Memang, iman dapat memberikan “hasil“ tetapi iman yang menyelamatkan ini tidak mengacu pada hasil; memang, iman itu memberikan kekuatan tetapi kita tidak beriman pada “kekuatan“ itu. Itulah sebabnya, Tuhan Yesus tidak menyinggung sedikitpun tentang kesembuhan meskipun hasilnya, perempuan ini disembuhkan karena Tuhan Yesus tidak ingin iman itu bergeser pada kesembuhan. Iman yang sejati adalah iman yang menyelamatkan, iman yang bersifat esensial yang membawa kita memandang pada Kristus Sang Kebenaran Sejati. Melalui kisah ini, Matius ingin supaya orang terbuka dan menyadari bahwa iman sejati bukanlah pada hal yang tampak secara fenomena tetapi iman sejati hanya ada dalam Kristus.
Pada dasarnya, setiap manusia pasti berjalan dengan iman tetapi pertanyaannya adalah iman kepada siapa? Apakah kita mau mempertaruhkan hidup kita dengan beriman pada sesuatu yang sifatnya fenomena dan mudah berubah? Ingat, hari ini, mungkin kita sembuh tetapi besok kita mati. Iman sejati haruslah terarah pada Kristus, satu-satunya oknum yang posisinya lebih tinggi dari manusia. Janganlah kita salah dengan mempercayakan diri kita pada sesuatu yang posisinya berada di bawah kita atau sejajar kita, yaitu:
kesatu, materi, celakalah kalau kita menyandarkan iman kita pada sesuatu yang bersifat materi yang posisinya berada di bawah manusia karena itu berarti kita telah merendahkan eksistensi hidup kita. Ingat, materi tidak bersifat kekal sebab suatu hari nanti materi itu dapat hilang lenyap, kedua, janganlah menyandarkan dirimu pada orang lain yang posisinya sejajar dengan kita sebab manusia sangatlah terbatas dan berdosa sehingga manusia pun dapat mengecewakan kita, ketiga, ketika orang lain sudah mengecewakan maka orang mulai tidak percaya lagi dan ia berbalik meletakkan kepercayaan itu pada dirinya sendiri, keempat, orang tidak menyandarkan imannya pada materi, orang lain atau diri lagi tapi ia bersandar pada iblis yang posisinya justru ada di bawah kita. Iblis memang mempunyai kemampuan lebih yang tidak dapat dilakukan oleh manusia tetapi jangan samakan kemampuan dengan posisi.
Segala sesuatu yang mempunyai kekuatan besar tidak berarti ia mempunyai posisi atau ordo lebih tinggi dan bukan berarti pula kita harus tunduk padanya. Tidak! Sebagai contoh, gajah mempunyai kekuatan lebih besar dari manusia tetapi bukan berarti kita harus tunduk pada gajah, bukan? Binatang mempunyai ordo atau urutan di bawah manusia. Begitu juga setan, setan adalah malaikat yang dicipta Tuhan dan jatuh dalam dosa; malaikat dicipta Tuhan untuk melayani Allah dan manusia. Manusia dicipta sebagai makhluk tertinggi dalam ordo ciptaan karena manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah maka urutan atau posisi yang benar berdasarkan ordo ciptaan adalah: manusia – malaikat – setan. Jadi, kalau manusia menyembah kepada setan itu berarti menyalahi ordo. Betapa bodohnya manusia! Memang, iblis mempunyai kekuatan lebih besar dari manusia tetapi bukan berarti manusia harus tunduk pada setan. Manusia yang beriman pada Kristus mempunyai hak untuk mengusir setan. Tuhan memberikan hak pada anak-Nya untuk mengusir setan karena Tuhan sendiri tidak ingin anak-Nya berkompromi dengan iblis. Hati-hati, sekali kita berkompromi dengan iblis maka sukar sekali bagi kita untuk dapat lepas kecuali Tuhan beranugerah maka Dia akan membebaskan kita dari ikatan dan belenggu iblis.
Materi, manusia, diri sendiri dan iblis tidak layak untuk dijadikan sebagai obyek iman karena semua itu tidak membawa kita pada keselamatan. Hanya iman pada Kristus saja yang membawa kita pada keselamatan; kita akan merasakan sukacita dan damai sejahtera ketika berjalan dalam pimpinan Tuhan. Kita tidak tahu hari esok namun kita tahu satu hal yang pasti pimpinan Tuhan tidak akan pernah salah. Kita tidak tahu esok akan terang atau gelap tapi kita tahu Tuhan selalu berjalan disisi kita, Dia akan menolong ketika kita dalam kesusahan. Banyak hal yang tidak kita tahu di dunia ini namun satu hal yang pasti Tuhan telah menyelamatkan kita dan Dia telah menyediakan tempat bagi kita di Sorga kekal. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber: http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2005/20050710.htm

Resensi Buku-51: SELANGKAH DEMI SELANGKAH (Rev. Prof. James C. Petty, D.Min.)

...Dapatkan segera...
Buku Resources for Changing Lives :
STEP BY STEP
(SELANGKAH DEMI SELANGKAH)


oleh: Rev. Prof. James C. Petty, M.Div., D.Min.

Penerbit: Momentum Christian Literature, Surabaya, 2004

Penerjemah: Ev. Dra. Trivina Ambarsari S., S.Th.





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio :
Katekismus Singkat Westminster Pasal 1 menjawab pertanyaan : “Apakah tujuan utama manusia” dengan jawaban : “Tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia untuk selama-lamanya.” Bagaimana kita bisa memuliakan Allah di dalam hidup kita sehari-hari ? Adalah dengan hidup sesuai kehendak-Nya. Tetapi apa kehendak Allah bagi kita ? Apakah Ia memiliki kehendak khusus bagi kita ? Bagaimana kita mengerti dan menjalankan kehendak Allah ? Di dalam buku ini, Dr. James C. Petty menjelaskan prinsip-prinsip mengerti kehendak Allah. Buku ini diawali pada bab-bab awal tentang tiga paradigma yang bermunculan di dalam keKristenan tentang hikmat dan bimbingan Allah, misalnya pandangan tradisional yang mengajarkan bahwa ada peran dan rencana khusus Allah bagi setiap individu dengan menginterpretasi situasi, perasaan, desakan batin, dll. Pandangan kedua disebut Pandangan Karismatik Tradisional yang menitikberatkan pada mimpi, penglihatan, dll sebagai pola bimbingan Allah. Dan terakhir Pandangan Hikmat yang mengajarkan bahwa meskipun Allah memiliki rencana khusus bagi setiap individu, rencana itu tetap rahasia, dan Ia memberikan kita hikmat untuk mengerti rencana-Nya yang rahasia itu. Kemudian, beliau membagi dan menjelaskan dua macam kehendak Allah, yaitu kehendak yang dekriptif (ketetapan atau rencana Allah) dan preseptif (perintah Allah). Dua macam kehendak Allah inilah yang menuntun para pembaca ke dalam tiga lingkaran kehendak Allah, yaitu : wilayah semua hal yang terlarang (perintah negatif Alkitab), wilayah pengaplikasian perintah-perintah Allah yang positif (perintah positif Allah) dan wilayah kemerdekaan Kristen (merupakan pilihan di antara alternatif-alternatif yang sama baiknya). Pada bagian terakhir, beliau menguraikan tujuh (7) elemen pengambilan keputusan yang Alkitabiah, yaitu : Pengabdian Diri, Informasi, Permohonan, Konsultasi, Meditasi, Keputusan, dan Pengharapan. Masing-masing elemen ini disertai aplikasi praktis melalui contoh Don di dalam mengerti kehendak Allah ketika ia ingin berpindah pekerjaan atau tidak.


Rekomendasi para theolog/pendeta :
“Selangkah demi Selangkah adalah pendekatan yang segar dan mengikuti zaman sekaligus Alkitabiah dan meneguhkan, ditulis dengan baik untuk menjawab pertanyaan Kristen yang selalu muncul : Bagaimana saya bisa mengetahui kehendak Allah bagi hidup saya ? Saya merekomendasikan buku yang bijak dan berimbang ini kepada setiap orang.”
(Rev. James Montgomery Boice, D.Theol., D.D. – Pendeta Senior di Tenth Presbyterian Church, U.S.A.)

“...penawar bagi banyak jawaban sesat yang telah dilontarkan untuk pertanyaan ini ... berfokus pada Alkitab ... menghidupkan theologi dengan cara yang sangat praktis dan meyakinkan.”
(Prof. Richard C. Chewning, Ph.D.)

“Buku yang baik mengenai cara mengambil keputusan-keputusan yang bijak dan menghormati Allah.”
(Prof. James Innell (J. I.) Packer, D.Phil. – Profesor Theologia di Regent College, Vancouver, British Columbia)

“…menghindari kesan bahwa bimbingan Alkitab hanyalah bagi kaum akademis … banyak contoh tentang bagaimana Allah memimpin kita melalui situasi-situasi yang memusingkan.”
(Prof. John M. Frame, D.D. – Profesor Theologia Sistematika dan Filsafat di Reformed Theological Seminary, U.S.A)

“Begitu sederhana, tetapi sangat mendalam. Tanpa terasa Anda akan menepuk dahi sambil berseru, ‘Ya, tentu saja! Inilah yang dikatakan Alkitab.’”
(Rev. Steve Estes, Th.M.)

“...Layak dipelajari dengan cermat dan serius ... pendekatan yang bisa dipercaya dan sangat menoloong di dalam membuat pilihan-pilihan hidup dan keputusan-keputusan pribadi yang penting.”
(Dr. Arthur F. Miller, Jr.)

“Saya merekomendasikan buku ini kepada semua orang Kristen yang mencari bimbingan. Dengan penuh kehangatan dan kejelasan, dipadukan dengan theologi yang benar, Dr. Petty menjelaskan bahwa pengertian rohani, hikmat dan pemahaman memampukan orang-orang Kristen mengetahui kehendak Allah bagi kehidupan mereka dan bagi situasi-situasi yang khusus.”
(Prof. Bruce K. Waltke, Th.D., Ph.D. – Profesor Perjanjian Lama di Reformed Theological Seminary, U.S.A.)






Profil Rev. Dr. James C. Petty :
Rev. Prof. James C. Petty, M.Div., D.Min. adalah Direktur dari Conciliation Services, seorang konselor dan Direktur Pengembangan di Christian Counseling and Educational Foundation di Glenside, Pennsylvania, Amerika Serikat. Beliau meraih gelar Master of Divinity (M.Div.) dan Doctor of Ministry (D.Min.) dari Westminster Theological Seminary, U.S.A.