08 April 2008

Matius 9:18-26: SAVING FAITH

Ringkasan Khotbah : 10 Juli 2005


Saving Faith

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.


Nats: Mat. 9:18-26



Pendahuluan
Kita telah memahami bahwa Kristus adalah Tuhan dan hanya kepada-Nya kita harus taat, ketika kita telah memutuskan untuk menjadi pengikut Kristus maka pengikutan itu bersifat terus menerus bukan sementara dan sebagai anak Tuhan yang sejati kita harus hidup kudus dengan demikian kita beda dengan dunia maka sub tema yang keempat adalah bagaimana hidup beriman di dalam Kristus. Sub tema keempat ini merupakan klimaks dari seluruh implikasi Kerajaan Sorga. Pada bagian pertama ini ada dua kejadian yang terjadi bersamaan, yaitu: pertama, anak perempuan dari Yairus, seorang kepala rumah ibadat sedang sakit keras dan akhirnya meninggal namun dalam situasi demikian iman Yairus tidak bergeser, ia tetap beriman pada Kristus. Fokus iman inilah yang hendak ditekankan oleh Matius, itulah sebabnya ia menyisihkan bagian-bagian lain yang dianggap tidak perlu sehingga dapat menggeser inti cerita; kedua, iman seorang perempuan yang sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan.
Setiap orang di dunia tidak pernah tahu akan hari esok maka iman itulah yang melandasi seluruh langkah hidup kita. Hati-hati, kalau kita salah memilih obyek iman maka akan berakibat fatal yakni membawa kita pada kehancuran. Manusia menyadari hal ini namun ironisnya, manusia tidak mau kembali pada Kristus Sang Kebenaran yang sejati. Cornelius Van Till mengungkapkan bahwa di dunia ini manusia terbagi dalam dua golongan, yaitu: pertama, manusia yang beriman pada Kristus, kedua, orang yang beriman pada diri sendiri dan semua ekstensi yang ada pada dirinya sendiri. Pertanyaannya adalah apakah diri layak untuk dipercaya? Kalau memang benar, kenapa muncul istilah “kurang percaya diri,“ hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya, diri tidak layak untuk dipercaya. Untuk menutupi kenyataan ini orang membuat alasan lain, yakni kalau sesuatu tidak dapat diterima logika maka orang tidak akan mau percaya. Perhatikan, kalau sebelumnya orang sudah tidak percaya maka semua yang masuk akal tidak akan dapat diterima akal sebaliknya kalau orang sudah percaya maka semua yang tidak masuk akal akan masuk di akal. Jadi, masalah ada pada percaya atau logika? Jelaslah bahwa segala sesuatu harus dimulai dari rasa percaya dulu barulah segala sesuatu akan dapat diterima akal.
Bukanlah hal yang mudah mengatakan pada seseorang yang tidak percaya bahwa hanya melalui Kristus Yesus saja kita diselamatkan karena baginya: jalan keselamatan melalui Kristus tidaklah dapat diterima akal. Begitu juga kalau kita mengatakan pada seorang atheis bahwa dunia dan segala isinya diciptakan oleh Tuhan sebab baginya hal itu tidak masuk akal. Kepercayaan seseorang itulah yang menentukan apakah sesuatu itu masuk akal ataukah tidak masuk akal maka logika itu tergantung dari percaya. Seorang yang sudah tidak percaya bahwa Allah itu ada maka semua hal tentang Allah menjadi tidak masuk akal. Ada orang yang mau percaya kalau ia telah melihat terlebih dahulu, pertanyaannya adalah apa yang mau dipercaya kalau ia sudah melihat? Sesungguhnya, melihat itupun tergantung dari apa yang ia pikir, tergantung dari imannya dan itupun akan menghasilkan interpretasi yang berbeda, sebagai contoh, seorang dokter dengan seorang ahli hukum melihat suatu kejadian kecelakaan lalu lintas misalnya akan mempunyai pandangan yang berbeda.
Manusia lebih suka ditipu daripada kita mengatakan kebenaran tentang dirinya; orang akan menjadi sangat marah ketika kita mengatakan tentang keburukannya. Kalau begitu, sebenarnya manusia itu pintar atau bodoh? Ingat, memiliki banyak pengetahuan bukanlah jaminan bahwa ia adalah seorang yang pandai sebab ia tidak mengerti esensi, contohnya Saulus, seorang yang sangat pandai sekaligus sangat bodoh sampai kemudian ia bertobat barulah disadari bahwa segala sesuatu yang ada padanya tidak lebih dari sekedar sampah. Manusia seharusnya mengakui bahwa kepandaiannya tidak dapat menyelamatkan hidupnya. Orang pandai tidak identik dengan orang bijak. Hendaklah kita takut akan Tuhan sebab itulah permulaan pengetahuan dan orang bodoh menghina hikmat dan didikan (Ams. 1:7).
I. Teguhkanlah Hatimu
Orang sulit menerima realita bahwa suatu hari kelak manusia berdosa harus berhadapan dengan pengadilan Tuhan dan upah dosa adalah maut. Hanya anugerah Tuhan kalau kita dapat terlepas dari hukuman dosa. Tidak ada cara atau usaha apapun yang dapat membebaskan kita dari hukuman dosa, semua usaha adalah sia-sia belaka. Demikian juga halnya dengan perempuan yang sakit pendarahan ini, segala cara dan usaha pastilah sudah ia tempuh, seluruh tenaga dan uang sudah ia habiskan demi untuk kesembuhannya namun semua sia-sia, sakitnya tidak menjadi sembuh tetapi justru semakin parah. Pada saat tidak ada pengharapan itulah, ia bertemu Tuhan Yesus, ia percaya dengan menjamah jubah-Nya saja maka akan sembuh. Tuhan Yesus berpaling dan memandang dia serta berkata: “Teguhkanlah hatimu, imanmu telah menyelamatkan engkau“ (Mat. 9:22). Tidak ada satu katapun yang keluar yang menyinggung tentang kesembuhan sebab Tuhan Yesus hendak membereskan konsep iman yang sifatnya esensi dan jawaban ini sekaligus menjawab pergumulan Yairus.
Orang yang menaruh kepercayaannya pada obyek iman yang tepat maka seluruh pola pikirnya yang kacau akan diubahkan menuju pada esensi iman yang sejati. Perubahan ini bukanlah perubahan yang bersifat fenomena. Tidak! Francis Shaeffer mengungkapkan I do what I think and I think what I believe, apa yang kita lakukan merupakan hasil dari apa yang kita pikirkan dan apa yang kita pikir merupakan hasil dari kepercayaan kita dari sini nampak jelas bahwa radian hidup kita yang paling luar adalah do atau tindakan, barulah think atau pikiran dan kemudian believe atau iman. Sesungguhnya, pola pikir kita dipengaruhi oleh: kesatu, apa yang kita pikirkan itu merupakan hasil dari seluruh informasi yang kita dapatkan seperti, budaya, pengalaman hidup, genetik, lingkungan sosial, dan lain-lain; kedua, apa yang kita pikirkan merupakan hasil filsafat hidup kita (Rm. 12:2) dimana filosofi hidup menjadi main set atau pola pikir kita. Karena itu, orang yang mempunyai pengalaman sama maka hasil yang didapatkan atau cara mereka menanggapi pengalaman itu tidak akan sama karena pola pikir antara satu orang dengan orang yang lain berbeda. Main set ini sekaligus adalah believe atau imannya yang mengendalikan seluruh hidupnya. Bagian terdalam inilah yang biasa disebut orang dengan perasaan atau hati; rasa sakit, rasa sedih, rasa gembira yang kita rasakan itu sesungguhnya dikendalikan oleh otak.
Jadi, segala sesuatu yang kita pikir dan kita rasakan sesungguhnya berasal dari pusat yang sama yakni otak. Pikiran dan perasaan kita dikendalikan oleh inti hidup dan inti hidup manusia sudah menjadi mati ketika manusia jatuh dalam dosa. Secara fenomena, memang manusia tidak mati, manusia masih bernafas namun itu hanya bersifat sementara sebab secara esensi, dia sudah mati. Ketika hati manusia sudah mati maka itu berarti seluruh hidupnya telah mati. Hanya Tuhan, Sang Sumber Kehidupan yang dapat menghidupkan hati manusia yang telah mati, yaitu dengan memberikan hati yang baru dan roh yang baru (Yeh. 36:26). Tanpa hati dan roh yang baru maka manusia tidak akan dapat hidup. “Teguhkanlah hatimu“, Tuhan Yesus ingin mengajak kita melihat bahwa inti daripada iman sejati adalah kembali kepada Tuhan; bukan usaha atau kemampuan kita yang membuat kita dapat beriman kepada Tuhan, tidak, tetapi semua karena anugerah Tuhan semata. Hanya Tuhan Sang Sumber Hidup itu yang dapat menghidupkan kita kembali, hanya Tuhan yang dapat memberikan hati yang baru. Perempuan yang sakit pendarahan ini hanya berorientasi di permukaan, dia hanya melihat sebuah tindakan tetapi dia tidak mengerti esensi karena itu Tuhan langsung mengkoreksi inti iman. Janganlah kita terkecoh dengan hal-hal yang sifatnya fenomena tetapi hendaklah iman kita itu muncul dari kesadaran kita sebagai manusia berdosa dan hanya Tuhan saja yang dapat memberikan kekuatan hidup pada kita yaitu di dalam Kristus Yesus.
II. Iman yang Menyelamatkan
Kalau hati kita sudah dihidupkan oleh Kristus maka iman yang keluar dari hati yang dikuatkan itu adalah iman yang menyelamatkan. Perempuan ini pastilah tidak pernah berpikir akan keselamatan jiwa, kemungkinan dia hanya memikirkan hasil, yaitu kesembuhan. Hari inipun banyak orang yang memikirkan tentang hasil, orang hanya berorientasi pada kesembuhan. Hal ini menunjukkan bahwa orang masih terikat dengan hal yang sifatnya fenomena; orang hanya melihat hasil iman tanpa ia mengerti akan apa arti esensi iman. Iman seharusnya menghasilkan “hasil“ tetapi celakanya, sekarang iman kita kepada “hasil.“ Pada tahap ini, iman perempuan hanya kepada “hasil atau kesembuhan“ saja. Celakanya, sampai hari inipun orang masih beriman pada “hasil“, maka tidaklah heran kalau seringkali kita mendengar ungkapan: orang baru mau percaya kepada Tuhan Yesus kalau ia disembuhkan. Berarti ia beriman pada “hasil atau sembuh“, kalau ia tidak sembuh maka dengan mudah dan cepat imannya akan berpindah pada obyek iman yang lain yang dapat memberikan “hasil“ yang sesuai dengan keinginannya. Tuhan ingin menyadarkan kita bahwa iman itu bukanlah digeser ke “hasil“ tetapi iman harus kembali pada obyek iman, yaitu iman yang menyelamatkan, saving faith. Memang, iman dapat memberikan “hasil“ tetapi iman yang menyelamatkan ini tidak mengacu pada hasil; memang, iman itu memberikan kekuatan tetapi kita tidak beriman pada “kekuatan“ itu. Itulah sebabnya, Tuhan Yesus tidak menyinggung sedikitpun tentang kesembuhan meskipun hasilnya, perempuan ini disembuhkan karena Tuhan Yesus tidak ingin iman itu bergeser pada kesembuhan. Iman yang sejati adalah iman yang menyelamatkan, iman yang bersifat esensial yang membawa kita memandang pada Kristus Sang Kebenaran Sejati. Melalui kisah ini, Matius ingin supaya orang terbuka dan menyadari bahwa iman sejati bukanlah pada hal yang tampak secara fenomena tetapi iman sejati hanya ada dalam Kristus.
Pada dasarnya, setiap manusia pasti berjalan dengan iman tetapi pertanyaannya adalah iman kepada siapa? Apakah kita mau mempertaruhkan hidup kita dengan beriman pada sesuatu yang sifatnya fenomena dan mudah berubah? Ingat, hari ini, mungkin kita sembuh tetapi besok kita mati. Iman sejati haruslah terarah pada Kristus, satu-satunya oknum yang posisinya lebih tinggi dari manusia. Janganlah kita salah dengan mempercayakan diri kita pada sesuatu yang posisinya berada di bawah kita atau sejajar kita, yaitu:
kesatu, materi, celakalah kalau kita menyandarkan iman kita pada sesuatu yang bersifat materi yang posisinya berada di bawah manusia karena itu berarti kita telah merendahkan eksistensi hidup kita. Ingat, materi tidak bersifat kekal sebab suatu hari nanti materi itu dapat hilang lenyap, kedua, janganlah menyandarkan dirimu pada orang lain yang posisinya sejajar dengan kita sebab manusia sangatlah terbatas dan berdosa sehingga manusia pun dapat mengecewakan kita, ketiga, ketika orang lain sudah mengecewakan maka orang mulai tidak percaya lagi dan ia berbalik meletakkan kepercayaan itu pada dirinya sendiri, keempat, orang tidak menyandarkan imannya pada materi, orang lain atau diri lagi tapi ia bersandar pada iblis yang posisinya justru ada di bawah kita. Iblis memang mempunyai kemampuan lebih yang tidak dapat dilakukan oleh manusia tetapi jangan samakan kemampuan dengan posisi.
Segala sesuatu yang mempunyai kekuatan besar tidak berarti ia mempunyai posisi atau ordo lebih tinggi dan bukan berarti pula kita harus tunduk padanya. Tidak! Sebagai contoh, gajah mempunyai kekuatan lebih besar dari manusia tetapi bukan berarti kita harus tunduk pada gajah, bukan? Binatang mempunyai ordo atau urutan di bawah manusia. Begitu juga setan, setan adalah malaikat yang dicipta Tuhan dan jatuh dalam dosa; malaikat dicipta Tuhan untuk melayani Allah dan manusia. Manusia dicipta sebagai makhluk tertinggi dalam ordo ciptaan karena manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah maka urutan atau posisi yang benar berdasarkan ordo ciptaan adalah: manusia – malaikat – setan. Jadi, kalau manusia menyembah kepada setan itu berarti menyalahi ordo. Betapa bodohnya manusia! Memang, iblis mempunyai kekuatan lebih besar dari manusia tetapi bukan berarti manusia harus tunduk pada setan. Manusia yang beriman pada Kristus mempunyai hak untuk mengusir setan. Tuhan memberikan hak pada anak-Nya untuk mengusir setan karena Tuhan sendiri tidak ingin anak-Nya berkompromi dengan iblis. Hati-hati, sekali kita berkompromi dengan iblis maka sukar sekali bagi kita untuk dapat lepas kecuali Tuhan beranugerah maka Dia akan membebaskan kita dari ikatan dan belenggu iblis.
Materi, manusia, diri sendiri dan iblis tidak layak untuk dijadikan sebagai obyek iman karena semua itu tidak membawa kita pada keselamatan. Hanya iman pada Kristus saja yang membawa kita pada keselamatan; kita akan merasakan sukacita dan damai sejahtera ketika berjalan dalam pimpinan Tuhan. Kita tidak tahu hari esok namun kita tahu satu hal yang pasti pimpinan Tuhan tidak akan pernah salah. Kita tidak tahu esok akan terang atau gelap tapi kita tahu Tuhan selalu berjalan disisi kita, Dia akan menolong ketika kita dalam kesusahan. Banyak hal yang tidak kita tahu di dunia ini namun satu hal yang pasti Tuhan telah menyelamatkan kita dan Dia telah menyediakan tempat bagi kita di Sorga kekal. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber: http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2005/20050710.htm

No comments: