28 August 2011

Resensi Buku-132: KETIKA ALKITAB DIPERTANYAKAN (Prof. Norman L. Geisler, Ph.D. dan Ronald M. Brooks, Th.M.)

Iman Kristen yang sehat adalah iman yang berdasarkan Alkitab yang tidak bersalah dalam naskah aslinya. Dari Alkitab inilah dibentuklah formulasi iman Kristen tentang Allah, mukjizat, dosa, kehidupan, keselamatan, Kristus, dan moralitas. Namun dunia kita sedang mencoba menggoyahkan iman Kristen ini dengan berbagai filsafat dan ajaran yang meragukan Alkitab. Bagaimana sikap Kekristenan khususnya ketika kita menghadapi/berapologetika terhadap mereka yang melawan Alkitab?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
KETIKA ALKITAB DIPERTANYAKAN

oleh:
Prof. Norman L. Geisler, Ph.D. dan
Ronald M. Brooks, Th.M.

Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta, 2006

Penerjemah: Jhony The



Dalam bukunya Ketika Alkitab Dipertanyakan (judul aslinya: When Skeptics Asks), Prof. Norman L. Geisler, Ph.D. dan Ronald M. Brooks, Th.M. di bab 1 memaparkan pentingnya pra-penginjilan yaitu apologetika yang dilakukan oleh orang Kristen kepada mereka yang meragukan Alkitab. Mengapa pra-penginjilan diperlukan? Karena itu tugas kita sebagai orang Kristen untuk memberi pertanggungjawaban tentang iman kita kepada orang lain. Keyakinan kita di dalam berapologetika didasarkan pada suatu keyakinan bahwa meskipun orang dunia mengajukan pertanyaan yang bagus kepada Kekristenan, Kekristenan berdasarkan Alkitab pun memiliki jawaban yang lebih bagus lagi untuk menjawab sekaligus menantang mereka yang non-Kristen. Kemudian, Dr. Geisler dan Ron Brooks memaparkan 9 tema apologetika singkat yang harus dihadapi oleh orang Kristen, yaitu: Allah, kejahatan, mukjizat, Yesus Kristus, Alkitab, ilmu pengetahuan dan evolusi, kehidupan, kebenaran, dan moralitas. 9 tema ini diangkat oleh para penulis sebagai bahan perbandingan antara Kekristenan vs agama dan filsafat lain yang melawan Alkitab. Dengan bahasa yang cukup sederhana namun tajam, para penulis memaparkan tantangan agama lain dan filsafat yang melawan Kekristenan disertai dengan kekontradiksian di dalam konsep mereka (agama dan filsafat non-Kristen) sendiri sambil menyajikan iman Kristen yang solid sebagai satu-satunya solusi terhadap permasalahan agama dan filsafat tersebut yang mengalami jalan buntu. Meskipun dalam beberapa hal saya kurang menyetujui doktrin para penulis, namun secara mayoritas, buku ini sangat baik dan patut dibaca oleh orang Kristen ketika berhadapan dengan pertanyaan dari orang-orang non-Kristen berkenaan dengan iman Kristen mereka.



Profil Dr. Norman L. Geisler dan Ron Brooks:
Prof. Norman L. Geisler, B.A., M.A., Th.B., Ph.D. (http://www.normangeisler.net) adalah president di Southern Evangelical Seminary, Charlotte, Carolina Utara, U.S.A. Beliau juga ikut menandatangani the 1978 Chicago Statement on Biblical Inerrancy. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) dalam bidang Filsafat dan Master of Arts (M.A.) dalam bidang Theologi dari Wheaton College, U.S.A.; Bachelor of Theology (Th.B.) dari William Tyndale College, U.S.A.; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam bidang Filsafat dari Loyola University, Chicago, U.S.A. Beliau menulis banyak buku, di antaranya: General Introduction to the Bible (Moody), Christian Apologetics (Baker), Inerrancy (Zondervan), The Battle for the Resurrection (Thomas Nelson), When Critics Ask (Victor Books), dll.

Ronald M. Brooks, Th.M. adalah Presiden dan Direktur Research for X-press Ministries di Fort Worth, Texas, U.S.A. Beliau juga adalah penulis freelance yang menamatkan studi Master of Theology (Th.M.) di Dallas Theological Seminary, U.S.A. Beliau menulis beberapa buku, seperti: Christianity Under Attack (Quest) dan secara periodik menulis beberapa jurnal. Beliau telah bekerja sama dengan Dr. Geisler dalam film serial, False Gods of Our Time dan video serial, Christianity Under Attack.


Bagian 9: "TETAPI LEPASKANLAH KAMI DARIPADA YANG JAHAT"

TUHAN, AJARLAH KAMI BERDOA-9

(Seri Pengajaran Doa Bapa Kami):

“tetapi lepaskanlah kami daripada yang jahat”

(Mat. 6:13b)

oleh: Denny Teguh Sutandio

Setelah Kristus mengajar kita untuk berdoa kepada Bapa agar Bapa tidak membawa kita ke dalam pencobaan, maka Kristus mengajar kita untuk berdoa agar Bapa melepaskan kita dari yang jahat. Di sini, Kristus menggabungkan pencobaan dengan si jahat. Kata “jahat” dalam ayat ini dalam teks Yunaninya adalah ponērou yang merupakan kata sifat yang digabungkan bentuk artikel tou yang bisa diterjemahkan si/yang. Kata ini muncul sebanyak 12x di dalam Perjanjian Baru (Mat. 5:37; 6:13; 12:35; 13:38; Luk. 6:45; Yoh. 17:15; Gal. 1:4; Ef. 6:16; 1Tes. 5:22; 2Tes. 3:3; 2Tim. 4:18; 1Yoh. 3:12) dan mayoritas kata ini disertai dengan bentuk artikel tou, kecuali di 1 Tesalonika 5:22 dan 2 Timotius 4:18.

Lalu, apa arti “yang jahat” di dalam ayat ini? Apakah yang jahat identik dengan iblis? Bisa ditafsirkan demikian, tetapi “yang jahat” sebenarnya merupakan perluasan dari iblis. Di Alkitab, kita diajar bahwa iblis adalah bapa penipu yang juga sebagai sumber segala kejahatan. Karena bersifat menipu dan jahat, maka iblis merusak segala sesuatu yang Allah kerjakan dengan salah satu caranya yaitu menipu dan mencobai manusia. Dengan kata lain, “yang jahat” dikaitkan dengan “pencobaan”, sehingga artinya menjadi: hal-hal yang jahat yang mencobai kita.

Dengan berdoa “lepaskanlah kami daripada yang jahat”, Kristus hendak mengajar kita bahwa:

1. Kejahatan Adalah Suatu Fakta

Kejahatan jelas merupakan suatu fakta nyata yang tidak bisa kita elakkan, meskipun beberapa orang mencoba mengindoktrinasi orang lain bahwa kejahatan itu hanya ilusi, sedangkan kebaikan itu nyata. Dengan mengatakan bahwa kejahatan itu ilusi, orang ini sedang melakukan kejahatan tersembunyi dengan mengajar orang akan sesuatu yang tidak realistis. Jika ada orang yang berkata bahwa kejahatan, sakit, dan hal-hal negatif lainnya sebagai ilusi, coba pukul orang itu, bagaimana reaksi orang itu? Jika orang itu marah, katakan kepadanya bahwa itu semua hanya ilusi, jadi tidak perlu marah. Anehnya, orang yang mengatakan bahwa kejahatan itu ilusi, ia tetap bersedih jika ada salah seorang yang dikasihinya dibunuh atau meninggal. Jika kejahatan itu ilusi, mengapa menangis/bersedih? Tidak konsisten!

Dari mana asalnya kejahatan? Jelas dari setan. Apa standarnya kita mengatakan sesuatu itu jahat? Standarnya adalah kebenaran Allah. Sesuatu yang melawan dan merintangi kebenaran Allah pasti jahat dan berasal dari setan.

Apa saja yang termasuk kejahatan? Prof. J. I. Packer, D.Phil. menjabarkan 2 jenis kejahatan: kejahatan di luar diri kita/lingkungan (seperti kesedihan, kelemahan fisik, sakit, bencana alam, dll) dan kejahatan di dalam diri kita (seperti penyelewengan moral).[1]

Meskipun ada 2 jenis kejahatan yang dipaparkan oleh Dr. Packer, lalu apakah 2 jenis kejahatan itu yang dimaksudkan Kristus di ayat ini? TIDAK. Dr. Packer sendiri menafsirkan kejahatan di ayat ini sebagai kejahatan khusus/bukan umum yang berpotensi mencobai kita.[2]

Dengan kata lain, kejahatan di ayat ini berkaitan dengan pencobaan seperti yang telah saya paparkan di atas, yaitu kejahatan di dalam diri yang berpotensi menjatuhkan kita. Kejahatan seperti apakah itu? Kejahatan di dalam diri yang berkeinginan untuk memuaskan nafsu sendiri dan tidak memuliakan Allah, seperti perbuatan kedagingan yang dipaparkan Paulus di Galatia 5:19-21, “percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya.” Hal-hal ini jelas merupakan kejahatan yang ada di dalam diri dan berpotensi menjatuhkan kita baik langsung maupun tidak langsung.

2. Kita Tidak Dapat Mengalahkan Kejahatan Dengan Kekuatan Sendiri

Karena kejahatan adalah suatu fakta, secara hati nurani, kita tentunya memiliki kecenderungan untuk mengalahkan kejahatan. Namun, bisakah kita mampu mengalahkan kejahatan dengan sendirinya? TIDAK! Melalui perkataan “lepaskanlah kami daripada yang jahat”, Kristus mengajar kita bahwa mustahil manusia dapat mengalahkan kejahatan dengan kekuatannya sendiri, karena manusia sendiri adalah makhluk ciptaan-Nya yang berdosa yang secara otomatis pasti menginginkan hal yang jahat. Dengan kata lain, makin kita berusaha mengalahkan kejahatan, kita makin terpuruk ke dalam kejahatan yang berusaha kita kalahkan.

Mau contoh? Tidak usah jauh-jauh, kita melihat kasus nyata di Indonesia, beberapa teroris meledakkan bom di salah satu tempat di Bali, apa motivasinya? Karena mereka melihat tindakan maksiat di tempat yang diledakkannya di Bali itu. Dengan kata lain, mereka ingin mengalahkan (baca: melenyapkan) kejahatan dengan menciptakan kejahatan baru yang lebih dahsyat dan mengerikan.

3. Allah Berdaulat Atas Kejahatan.

Jika manusia tidak mampu melepaskan diri dari kejahatan atau melenyapkan kejahatan, lalu bagaimana solusinya? Kristus mengajar kita agar kita berdoa memohon Allah Bapa melepaskan kita dari yang jahat. Caranya?

a) Melihat Allah yang berdaulat atas kejahatan

Kedaulatan Allah atas kejahatan tidak berarti Allah sebagai pencipta kejahatan, tetapi maksudnya adalah di dalam kejahatan yang terjadi, Allah tetap ada di situ. Pertanyaan selanjutnya, mengapa Allah yang telah mengetahui adanya kejahatan tidak memberhentikan kejahatan itu terjadi? Apakah Allah tidak Mahakuasa atau tidak Mahakasih? TIDAK! Allah yang berdaulat tentu juga adalah Allah yang Mahakuasa, Mahatahu, Mahakasih, dan Mahaadil, namun ketika Ia tidak memberhentikan kejahatan itu, pasti ada maksud tertentu yang Ia inginkan di balik kejahatan. Misalnya, Firaun yang jahat dipakai oleh Allah untuk membebaskan umat Israel dari perbudakan di Mesir (Kel. 13:17-22).

b) Melihat Allah yang menangani kejahatan.

Setelah melihat Allah yang berdaulat atas kejahatan, cara kita lepas dari yang jahat adalah dengan melihat Allah yang menangani kejahatan yang ada di dalam kedaulatan-Nya itu. Di sini, kita diajar Kristus untuk melihat cara kerja Bapa di balik kejahatan dengan mengarahkannya kepada kebenaran. Kita tahu bahwa amarah (yang berpusat pada diri) termasuk kejahatan, namun dengan berdoa “lepaskanlah kami daripada yang jahat”, Kristus hendak mengajar kita bahwa fokus hidup kita adalah Allah, sehingga kita boleh marah, asalkan amarah kita tidak berlarut-larut (Ef. 4:26) dan dimotivasi oleh kebenaran, misalnya: marah karena orang lain tidak mendengar dan menaati firman Tuhan, dll.[3]

Allah adalah Allah yang berdaulat atas segala sesuatu termasuk kejahatan, sehingga firman Tuhan menghibur kita agar kita berhati-hati terhadap kejahatan yang mencobai kita, namun kita pun harus terus-menerus melihat Allah di balik semuanya, karena pasti ada rencana-Nya yang indah di balik kejahatan tersebut. Amin.



[1] J. I. Packer, Kristen Sejati III: Doa Bapa Kami, terj. Sutjipto Subeno dan Susiana J. Subeno. (Edisi keempat). (Surabaya: Momentum Christian Literature, 2005), hlm. 66-67.

[2] Ibid., hlm. 67.

[3] Bdk. Stephen Tong, Pengudusan Emosi (Surabaya: Momentum Christian Literature, 2007).

21 August 2011

Resensi Buku-131: ANTARA KETAT DAN LONGGAR (Bp. Heman Elia, S.Psi., M.Psi.)

Anak adalah anugerah Allah yang dititipkan kepada setiap orangtua. Adalah suatu kewajiban orangtua untuk membesarkan anak di dalam takut akan Tuhan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mendidik anak di dalam Tuhan? Beberapa orangtua mengambil jalur ekstrem, misalnya ada yang terlalu melindungi anaknya (over-protective), di sisi lain ada yang terlalu melepaskan anaknya. Benarkah kedua ekstrem demikian?


Temukan jawabannya dalam:
Buku
ANTARA KETAT DAN LONGGAR

oleh: Bp. Heman Elia, S.Psi., M.Psi.

Penerbit:
Literatur Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang dan Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK)



Melalui bijaksana dari firman Tuhan, Bp. Herman Elia, M.Psi. menyadarkan kita pentingnya keseimbangan di dalam mendidik anak: memberikan pendidikan dan pelajaran yang ketat kepada anak dan mulai melepas mereka secara perlahan ketika mereka sudah bertumbuh dewasa. Ketika orangtua mencoba melepas anak secara perlahan, di saat itulah, orangtua sedang memberi kepercayaan kepada si anak untuk memikul tanggung jawab. Sehingga ketika si anak menyalahgunakan kepercayaan tersebut, maka orangtua wajib menghukum, namun TIDAK perlu sampai memprotect anak secara berlebihan. Tujuan keseimbangan tersebut adalah untuk mendewasakan si anak sehingga nantinya si anak bisa memikul tanggung jawab. Biarlah buklet kecil ini dapat menjadi pelajaran bagi orangtua Kristen untuk mendidik anak secara bertanggungjawab.



Profil Heman Elia, M.Psi.:
Heman Elia, S.Psi., M.Psi. adalah dosen Psikologi dan Konseling di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Psikologi (S.Psi.) di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Magister Psikologi (M.Psi.) di Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

Bagian 8: "DAN JANGANLAH MEMBAWA KAMI KE DALAM PENCOBAAN"

TUHAN, AJARLAH KAMI BERDOA-8

(Seri Pengajaran Doa Bapa Kami):

“dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan”

(Mat. 6:13a)

oleh: Denny Teguh Sutandio

Permintaan kita ketiga yang Kristus ajarkan agar Allah tidak membawa kita ke dalam pencobaan. Kata “pencobaan” dalam ayat ini dalam bahasa Yunaninya peirasmon bisa diterjemahkan sebagai ujian atau pencobaan dan terjemahan itu harus disesuaikan dengan konteksnya. Peirasmon di dalam 1 Petrus 4:12 diterjemahkan sebagai ujian dan itu sesuai dengan konteksnya yaitu penderitaan Kristus (ay. 13), sedangkan peirasmon di dalam Matius 26:41 lebih tepat diterjemahkan sebagai pencobaan karena kata itu disusul dengan perkataan Tuhan Yesus selanjutnya, “roh memang penurut, tetapi daging lemah.

Lalu, bagaimana dengan Yakobus 1:12-13? Di Yakobus 1:12, Tuhan berfirman melalui Yakobus, “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.” Apakah kata peirasmon di ayat ini tepat jika diterjemahkan sebagai pencobaan? TIDAK. Jika kita meneliti ayat ini, maka terjemahan kata “pencobaan” ini jelas tidak cocok, karena ayat ini didahului oleh kata “Berbahagialah” (Yun.: makarios; Ing.: blessed). Di dalam Alkitab, pencobaan merujuk kepada sesuatu yang jahat dan berpotensi menjatuhkan (misalnya: pencobaan Yesus oleh iblis di Mat. 4:1-11).

Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M. menerjemahkan kata peirasmon di ayat 12 ini sebagai ujian, karena “Alkitab secara konsisten mengajarkan bahwa pencobaan harus dilawan, baik dengan menjauhkan diri dari pencobaan (Mat. 6:13; 26:41) maupun melawan iblis (Yak. 4:7; 1Ptr. 5:8-9).”[1]

Sedangkan di Yakobus 1:13, kata dicobai (Yun.: peirazomenos) lebih tepat diterjemahkan sebagai pencobaan/dicobai dan bukan pengujian/diuji. Mengapa? Karena di ayat ini, Yakobus hendak mengajar penerima suratnya agar jangan menyalahkan Allah sebagai sumber pencobaan (jangan mengatakan bahwa kita sedang dicobai Allah) “Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun.” Jika ayat ini diterjemahkan sebagai ujian, maka tentu tidak mungkin Yakobus mengajar para pembaca suratnya agar tidak mengatakan Allah sedang menguji mereka, karena memang pengujian berasal dari Allah.

Selain itu, ayat 13 dilanjutkan oleh ayat 14, “Tetapi tiap-tiap orang dicobai (Yun.: peirazetai) oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.” Lebih tidak masuk akal lagi, jika kata peirazetai diterjemahkan sebagai ujian, karena tidak ada ujian yang berasal dari diri sendiri (yang ada hanyalah pencobaan) dan juga ujian tidak mungkin menyeret dan memikat kita (konotasi negatif). Yang biasa menyeret dan memikat manusia adalah pencobaan (bdk. ketika iblis mencobai Tuhan Yesus di Mat. 4:1-11).

Lalu, apa maksud Kristus mengajar kita memohon kepada Allah agar Allah tidak membawa kita kepada pencobaan, padahal Roh sendiri membawa Yesus untuk dicobai iblis (Mat. 4:1)?

1. Pencobaan itu Sesuatu yang Sangat Berbahaya

Dengan permohonan agar Allah tidak membawa kita ke dalam pencobaan, Kristus hendak mengajar kita bahwa realitas pencobaan bukanlah realitas yang mudah, tetapi sangat sulit dan berbahaya. Terkadang, kita cenderung meremehkan pencobaan bahkan menghina mereka yang tersandung ke dalam pencobaan dunia, sehingga seolah-olah kita merasa lebih baik dan benar daripada mereka yang terjatuh ke dalam pencobaan. Sikap demikian merupakan suatu bentuk kesombongan terselubung.

Fakta membuktikan bahwa banyak orang Kristen yang dicobai dan beberapa terjatuh ke dalam pencobaan menunjukkan bahwa pencobaan itu benar-benar berbahaya, namun dibalut dengan “kulit luar” yang manis. Rev. Kris Lundgaard, M.Div. menyebutnya sebagai seni menipu dan mendefinisikannya sebagai “untuk membuat orang mempercayai hal yang bertolak belakang dari kenyataan, sehingga ia akan melakukan sesuatu yang jika bukan dengan cara demikian tidak akan ia lakukan. Inilah cara kedagingan membuatmu menjadi hamba dosa yang sukarela.”[2]

Dari definisi Rev. Kris Lundgaard, penipuan ini membuat orang:

a) mempercayai hal palsu/salah yang dianggapnya asli/benar

Sesuatu yang salah dan berdosa biasanya ditampilkan seolah-olah “benar”, sehingga hal itu mengakibatkan banyak orang mempercayainya sebagai kebenaran. Contoh, banyak orang dunia dengan etika situasi yang diimaninya percaya bahwa free-sex itu tidak salah, karena tindakan itu dipercaya muncul dari motivasi “kasih.”

b) melakukan apa yang dipercayainya meskipun itu salah.

Karena mempercayai hal yang seolah-olah “benar” dan sah itulah, banyak orang dunia melakukan apa yang dipercayainya, meskipun terbukti (nantinya) bahwa kepercayaan dan tindakan mereka itu salah. Contoh, karena percaya bahwa free-sex itu “benar” karena dilakukan dengan motivasi “kasih”, maka banyak anak muda mempraktikkan free-sex, sehingga beberapa gadis hamil di luar nikah dan tidak sedikit yang menggugurkan kandungannya karena belum siap merawat anak. Meskipun tindakan itu dapat dicegah dengan memakai kondom, tetapi tindakan itu didasarkan pada motivasi yang tidak beres yaitu demi seks. Akibatnya, pernikahan pun diidentikkan dengan kepuasan seks di mana hal ini tidak ada bedanya dengan pernikahan binatang yang demi nafsu birahi saja.

Makin seseorang melakukan hal-hal demikian, ia makin mirip binatang ketimbang manusia. Sungguh mengenaskan!

2. Kita Tidak Akan Sanggup Mengalahkan Pencobaan Dengan Kekuatan Sendiri.

Karena pencobaan itu sangat berbahaya, maka dengan berdoa agar Allah tidak membawa kita ke dalamnya, Kristus mengajar kita bahwa kita sendiri tidak akan sanggup mengalahkan pencobaan. Kita harus mengakui kelemahan kita sendiri dalam mengalahkan pencobaan. Sekali lagi, jangan pernah menyombongkan diri ketika kita menghadapi pencobaan, karena di saat kita sombong, kita sudah diperangkap oleh pencobaan itu sendiri dan itu mengakibatkan kita makin tidak bisa lepas dari pencobaan.

Kelemahan kita di dalam mengatasi pencobaan ditunjukkan dengan lemahnya kita mengikuti apa yang disodorkan oleh pencobaan. Mari kita berbicara jujur. Banyak cowok lemah dalam menghadapi pencobaan ketika di hadapan mereka, banyak cewek cantik dan seksi lewat atau mereka melihat cewek-cewek cantik dan seksi. Kelemahan itu berakibat mereka sering berfantasi hal-hal yang jorok.

Belajar mengaku kelemahan kita menolong kita mengintrospeksi bahwa kita tak mungkin bisa mengalahkan pencobaan dengan kekuatan sendiri. Lalu, siapakah yang dapat melepaskan kita dari pencobaan? Jelas, Allah! Di dalam 1 Korintus 10:13, Allah berjanji, “Pencobaan-pencobaan[3] yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” Dari ayat ini, kita dihiburkan dan dikuatkan Allah melalui janji-Nya:

a) Allah menyebut pencobaan yang kita alami itu adalah pencobaan biasa yang tidak akan melebihi kekuatan/kemampuan kita

Puji Tuhan, Ia menguatkan kita dengan menyebut pencobaan kita adalah pencobaan yang biasa sesuai standar dan urutan-Nya. Tetapi bukankah kita sering menganggap bahwa pencobaan kita adalah pencobaan yang amat berat kita tanggung? TIDAK! Allah yang sangat mengetahui kemampuan kita pasti mengetahui porsi pencobaan yang Ia izinkan agar kita tanggung. Melihat cara Allah menyebut pencobaan kita itu sebagai pencobaan yang biasa memerlukan mata iman yang tajam dan itu memerlukan proses yang lama menuju kedewasaan iman di dalam Kristus.

Makin seseorang beriman secara dewasa di dalam Kristus, ia makin menganggap pencobaan yang diizinkan Allah ini adalah pencobaan biasa, karena ia telah mengalami berbagai macam pencobaan. Saya menyebutnya sebagai latihan menghadapi pencobaan.

b) Allah itu setia yang akan memberikan jalan keluar kepada kita, sehingga kita mampu menanggung pencobaan itu.

Pencobaan kita bukan hanya pencobaan biasa di mata Allah, Ia mengatakan bahwa Ia adalah Allah yang setia yang akan memberikan jalan keluar kepada kita. Jalan keluar apa? Apakah jalan keluar itu membuat kita terbebas dari semua pencobaan? TIDAK! Justru jalan keluar yang Allah sediakan adalah jalan keluar berupa kekuatan yang dari Allah dalam menanggung pencobaan itu. Di sini, Ia membedakan dua macam kekuatan/kemampuan/kuasa (Yun.: dunamai): kemampuan manusia sendiri vs kemampuan manusia yang diberi kekuatan/kemampuan dari Allah. Melalui kemampuan yang Allah berikan kepada kita, maka kita dimampukan-Nya bertahan dalam pencobaan, sehingga kita tidak terjatuh ke dalam pencobaan. Puji Tuhan!

Biarlah melalui doa ini, kita diajar Kristus untuk berhati-hati terhadap pencobaan, namun tetap bergantung dan berharap terus-menerus kepada-Nya. Amin.



[1] Yakub Tri Handoko, Tafsiran Alkitab Untuk Awam: Surat Yakobus (Surabaya: Sekolah Theologi Awam Reformed, 2008), hlm. 61.

[2] Kris Lundgaard, Musuh dalam Diriku: Pembicaraan Terus Terang mengenai Kuasa dan Kekalahan Dosa, terj. Rosana Palatehan (Cetakan ke-3) (Surabaya: Momentum Christian Literature, 2010), hlm. 53.

[3] Dalam teks Yunani, kata “pencobaan-pencobaan” dalam ayat ini berbentuk tunggal (singular) dan menurut konteks, “pencobaan” ini merujuk kepada bentuk pencobaannya yang beraneka ragam: hal-hal yang jahat (ay. 6), penyembah-penyembah berhala (ay. 7), percabulan (ay. 8), mencobai Tuhan dengan menghina apa yang telah Allah berikan kepada mereka (ay. 9; bdk. Bil. 21:5-6).

14 August 2011

Resensi Buku-130: LIMA BAHASA KASIH UNTUK KAUM LAJANG (Rev. Gary Chapman, Ph.D.)

Kasih adalah inti Kekristenan. Kasih terbesar telah ditunjukkan oleh Tuhan Yesus dengan mati disalib demi menebus dosa manusia. Kasih itulah yang harus kita aplikasikan di dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagaimana mewujudnyatakan kasih itu?


Temukan jawabannya dalam:
Buku
LIMA BAHASA KASIH UNTUK KAUM LAJANG

oleh: Rev. Gary Chapman, Ph.D.

Penerbit: Interaksara, Batam, 2006

Penerjemah: Amelia Listiani


Rev. Gary Chapman, Ph.D. memaparkan kepada kita bahwa kasih adalah kunci hubungan manusia. Oleh karena itu, Dr. Chapman memaparkan pentingnya kita mengembangkan 5 bahasa kasih, yaitu: kata-kata penegasan, hadiah, pelayanan, waktu berkualitas, dan sentuhan fisik. Karena kelima bahasa kasih ini diperuntukkan untuk kaum lajang, maka kelima bahasa kasih ini diaplikasikan ke dalam kehidupan kita sehari-hari, mulai dari: diri kita sendiri dengan menemukan bahasa kasih kita sendiri, keluarga kita, pasangan kencan kita, teman (teman sekamar, sekelas, dan rekan kerja), dan terakhir, tatkala kita nantinya menjadi orangtua tunggal. Lalu, Dr. Chapman menutup pembahasannya dengan mengatakan bahwa mengasihi adalah kunci untuk sukses. Buku ini bagi saya unik, karena Dr. Chapman bukan hanya menyajikan teori, namun juga aplikasi praktis melalui contoh pengalaman melalui pelayanan konseling yang telah beliau jalani selama bertahun-tahun. Biarlah buku ini menyadarkan kita pentingnya mengembangkan kasih sebagai wujud kita mengikuti teladan Kristus.





Profil Rev. Dr. Gary Chapman:
Rev. Gary Chapman, Ph.D. adalah Senior Associate Pastor di Calvary Baptist Church, Winston-Salem, North Carolina, U.S.A. Buku best-seller yang beliau tulis berjudul The Five Love Languages telah terjual lebih dari 5 juta kopi dan telah diterjemahkan ke lebih dari 36 bahasa. Beliau menempuh studi di University of North Carolina dalam bidang Philosophy of Education dan Comparative Education; kemudian di Duke University dalam bidang History of Education dan Educational Psychology. Beliau menyelesaikan studi Diploma dalam bidang Pastor’s Course di Moody Bible Institute; Bachelor of Arts (B.A.) dalam bidang Antropologi (minor: Alkitab) di Wheaton College; Master of Arts (M.A.) dalam bidang Antropologi di Wake Forest University; Master of Religion Education (M.R.E.) dalam bidang Education Administration dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam bidang Adult Education di Southwestern Baptist Theological Seminary, U.S.A.