09 July 2010

BAGAIMANA KAUM INJILI MEMANDANG GEREJA KATOLIK? (Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.)

BAGAIMANA KAUM INJILI MEMANDANG GEREJA KATOLIK?1

oleh: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.




Ribuan jemaat Katolik berkumpul di Supermall Surabaya Convention Center (SSCC) pada bulan November 2007 yang telah lalu. Kegiatan KKR yang bernuansa Katolik Karismatik ini telah menjadi gerakan yang makin terasa di Indonesia.2 Sekilas, nampaknya gerakan ini telah “mendekatkan” Katolik dengan kaum Protestan khususnya kalangan karismatik. Di sisi lain, usaha pembelaan iman Katolik terhadap keberatan-keberatan theologis kaum Protestan juga makin terasa akhir-akhir ini di Indonesia. Bertambah maraknya buku Katolik yang bernada apologetik terhadap Protestan semakin menegaskan jurang antara Katolik dan umat Kristen Protestan.3

Dalam rangka memikirkan relasi antara Katolik dan kaum Protestan inilah, beberapa paradigma relasi muncul dalam benak penulis. Apakah gereja Katolik dapat dipandang sebagai saudara, pesaing, atau musuh? Bagaimana jika pilihan ini diajukan kepada Anda yang berasal dari golongan Protestan khususnya Injili dalam memandang gereja Katolik Roma?4 Sebaliknya juga penting, bagaimanakah perspektif gereja Katolik dalam memandang kaum Injili?

Tanpa berusaha untuk menggeneralisasi persepsi masing-masing orang, tampaknya ada beberapa stereotip umum yang biasa dilekatkan kaum Injili pada gereja Katolik, dan sebaliknya juga. Di sini kita bisa menyebutkan misalnya, sebagian orang Kristen Injili memandang gereja Katolik sebagai gereja palsu, Paus sebagai Anti-Kristus dan orang Katolik sebagai penyembah Maria, dan bahkan penyembah patung.5 Sebaliknya, juga umum kita temui orang Katolik yang memandang orang Kristen sebagai gereja yang terpisah dari gereja sejati, gereja multi penafsiran yang kacau balau. Begitu banyaknya denominasi dalam tubuh gereja Kristen Protestan juga menjadi salah satu poin kritik yang sering disebut oleh jemaat Katolik dalam memandang gereja Protestan.6

Terlepas dari evaluasi kita terhadap stereotip-stereotip yang telah berkembang ini, suatu babak baru dalam hubungan resmi antara gereja Katolik dan gereja-gereja Protestan telah dimulai. Paling tidak, sejak konsili Vatikan II (1962-1965), gereja Katolik telah memiliki beberapa perubahan cara pandang terhadap golongan-golongan gereja yang berada di luar mereka. Salah satu perubahan yang penting adalah bahwa gereja Katolik tidak lagi memandang gereja Kristen Protestan sebagai musuh yang harus dikutuk, tetapi sebagai “separated brethren” atau “saudara terpisah” yang juga memperoleh keselamatan dari Kristus Yesus.

Akan tetapi, kita mungkin bertanya, sedemikian positifkah gereja Katolik Roma memandang gereja-gereja lain di luar mereka? Bukankah selama ini mereka mengklaim diri sebagai gereja sejati dan bahkan the Mother Church? Apakah telah terjadi pergeseran paradigma theologies dalam perspektif mereka terhadap gereja-gereja lain? Selanjutnya apabila memang telah terjadi pergeseran paradigma theologis dari gereja Katolik, bagaimanakah kita sebagai kaum Protestan khususnya Injili memandang gereja Katolik Roma. Dapatkah kita menganggap mereka sebagai satu kesatuan tubuh Kristus dengan kita? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Akan tetapi untuk memfokuskan tulisan ini maka penulis akan menyoroti pertanyaanpertanyaan di atas dari sudut pandang doktrin kesatuan gereja (the unity of the church). Pembahasan tulisan ini akan mengalir sebagai berikut. Pertama, akan dipaparkan mengenai sekilas pandang pergeseran pandangan gereja Katolik terhadap doktrin kesatuan gereja yang meliputi sikap mereka terhadap gereja-gereja lain di luar gereja Katolik. Kedua, argumentasi biblis dan tradisi untuk mendukung doktrin kesatuan gereja menurut gereja Katolik. Ketiga, penulis akan menyampaikan suatu tinjauan kritis atas pandangan Katolik tersebut. Pada bagian akhir, beberapa pemikiran tentang hubungan antara kaum Injili dan Katolik akan diajukan sebagai kesimpulan dan aplikasi.




PANDANGAN GEREJA KATOLIK TERHADAP DOKTRIN KESATUAN GEREJA
Ketika kita menelusuri doktrin kesatuan gereja sampai pada abad-abad permulaan Kekristenan, kita akan menemukan pemahaman Bapa-bapa gereja mengenai natur gereja sebagai communio sanctorum. Istilah ini mengacu pada komunitas orang-orang yang telah dipilih Allah untuk menjadi milik-Nya.7 Dalam pengertian ini kita melihat suatu definisi yang memandang gereja sebagai suatu persekutuan orang-orang percaya yang telah dipanggil menjadi umat Allah. Akan tetapi, seiring perkembangan organisasi gereja yang bermula dari keuskupan-keuskupan dan akhirnya membentuk institusi gereja Katolik Roma, maka kesatuan gereja pun dilihat dari sudut pandang yang berbeda dengan sebelumnya. Kesatuan gereja ini tidak lagi ditekankan dari perspektif komunitas atau persekutuan antara orang-orang yang telah dipilih Allah, tetapi lebih dipandang dari segi institusi atau organisasi.

Konsep yang demikian ini berkembang mula-mula karena pengaruh Cyprian, Bishop dari Kartage. Ia berpendapat bahwa kesatuan gereja terkait erat dengan kesatuan para bishop.8 Selanjutnya, doktrin ini berkembang terus pada masa skolastik sampai dengan abad ke-19.9 Hal ini tercermin dari definisi konsili Vatikan I (1870) tentang gereja sebagai berikut:10
The church has all the marks of a true society. Christ did not leave this society underfined or without a fixed form; rather, he himself gave it existence, determined the form of its existence, and gave it its constitution.

Tekanan perspektif gereja sebagai institusi juga tercermin model hierarkis dari gereja. Ada pembedaan yang tegas antara ecclesia docens (gereja pengajar) yang mengacu pada orang-orang yang duduk dalam hierarki Katolik Roma dan ecclesia discens (gereja pembelajar) atau jemaat biasa yang harus taat pada pejabat dalam hierarki gereja. Dari definisi di atas jelaslah bahwa gereja terutama dipandang sebagai sebuah institusi yang bersifat hierarkis dan kelihatan (visible).11 Kesatuan gereja adalah kesatuan yang lebih bersifat organisasi walaupun tetap memiliki makna mistik.

Akan tetapi, perkembangan eklesiologi dari gereja Katolik Roma tidaklah statis melainkan terus berkembang. Pada pertengahan abad ke-20, para theolog Katolik tampaknya cukup menyadari bahwa model gereja sebagaimana yang dirumuskan oleh Vatikan I memerlukan pembaharuan. Oleh karena itu, pada konsili Vatikan II (1962-1965)12 kita melihat ada pergeseran definisi mengenai gereja. Dalam dokumen Lumen Gentium (terang bagi bangsa-bangsa), gereja didefinisikan sebagai “People of God” atau umat Allah yang merupakan kontinuitas dari Israel.13 Tom Jacobs, seorang theolog Indonesia kelahiran Belanda menguraikan bahwa konsep gereja sebagai “umat Allah” memang sengaja dipilih oleh konsili Vatikan II untuk menghindari istilah yang berbau “organisatoris”. Menurut Jacobs, keberadaan gereja sebagai “umat Allah” ini tentu saja berkaitan dengan konsep gereja sebagai “tubuh Kristus”, karena hanya sebagai tubuh Kristus gereja adalah umat Allah. Jacobs lebih jauh menyatakan bahwa: maka faham “umat Allah” tidak hanya menempatkan gereja dalam kerangka sejarah keselamatan, tetapi sekaligus juga menghapus sifat piramidal gereja, yang menempatkan hierarki di atas seluruh umat.

Masih dalam topik yang sama ia menyatakan bahwa konsili Vatikan II juga tidak mau menempatkan gereja Katolik lagi di atas gereja-gereja kristiani yang lain. Gereja Kristus tidak lagi diidentifikasikan dengan gereja Katolik (lih. LG 14).14 Tekanan lainnya dalam konsili Vatikan II adalah konsep gereja sebagai “misteri” di mana gereja dipahami sebagai tempat pertemuan Allah dan manusia. Pokok penting yang perlu di catat dari perkembangan Vatikan II ini adalah bahwa gereja Katolik tidak lagi menyamakan dirinya secara langsung dengan umat Allah itu maupun satu-satunya “tempat” di mana Allah bisa bertemu dengan manusia. Orang-orang Kristen yang berada di luar gereja Katolik dan disebut sebagai “saudara terpisah” juga merupakan warga dari umat Allah. Dalam dekrit de oecumneismo unitatis redintegratio, gereja Katolik Roma justru mengajak orang-orang Katolik Roma untuk bekerja sama dengan “saudara terpisah” ini.15 Dengan perkembangan di atas, kita melihat adanya suatu perubahan sikap ke arah keterbukaan terhadap gereja-gereja lainnya. Hal ini tentu berbeda sekali dengan posisi konsili Trent yang mengutuk kaum Protestan.

Melalui perspektif historis di atas, terlihatlah bahwa gereja Katolik Roma mengalami beberapa perubahan signifikan dalam pandangannya mengenai kesatuan gereja dan sikapnya terhadap gereja lainnya. Pada masa Bapa-bapa gereja (yang merupakan cikal bakal gereja Katolik), gereja dilihat sebagai suatu communio sanctorum yang menekankan aspek persekutuan dari komunitas orang-orang pilihan. Pada masa skolastik sampai Vatikan I, gereja terutama dipandang sebagai institusi yang bersifat hierarkis dan bersikap keras terhadap gereja-gereja lain di luar Katolik. Pergeseran yang signifikan terjadi lagi pada konsili Vatikan II dengan menyebut gereja sebagai “umat Allah” yang merupakan kontinuitas dari Israel. Dalam definisi yang terakhir ini, tampak ada suatu penghargaan terhadap golongan gereja lain seperti Ortodoks Timur dan Protestan.16

Namun, apakah hal ini berarti bahwa gereja Katolik Roma mengakui kesederajatannya dengan gereja-gereja lain? Apakah theologi mereka menganggap bahwa gereja-gereja Ortodoks dan Protestan merupakan satu kesatuan tanpa perbedaan dengan mereka? Tampaknya pemikiran ini masih jauh dari theologi resmi mereka. Di samping keterbukaan yang mereka kembangkan terhadap gereja-gereja lain, gereja Katolik masih berdiri teguh pada doktrin Kesatuan gereja yang didasarkan pada pribadi Paus sebagai pemimpin tertinggi dari gereja di dunia. Konsep theologi Katolik Roma tentang kesatuan gereja inilah yang akan kita bahas lebih lanjut.


DOKTRIN KESATUAN GEREJA MENURUT GEREJA KATOLIK ROMA
Gereja Katolik Roma mendasarkan konsep kesatuan gereja mereka di atas konsep kepausan. Kesatuan iman (faith) dan relasi (communion) dijamin oleh pribadi Paus sebagai pengajar yang tertinggi dan pastor gereja. Oleh karena itu, seseorang dikeluarkan dari kesatuan orang percaya bila terlibat dalam bidat (heresy) dan dikeluarkan dari kesatuan relasi bila ia memisahkan diri (schism).

Paus Leo XIII menyatakan bahwa natur atau sifat dari kesatuan ini adalah One and perpetual. Siapa pun yang meninggalkan gereja Katolik, ia juga meninggalkan kehendak dan perintah Kristus Tuhan, meninggalkan jalan keselamatan, dan menuju pada kebinasaan. Selanjutnya dikatakan bahwa ketika Tuhan menetapkan umatnya untuk menjadi satu dalam iman dan dalam pemerintahan serta relasi, Ia memilih Petrus dan para penerusnya untuk menjadi pusat kesatuan. Kesimpulannya jelas bagi kita, kesatuan gereja didefinisikan dalam pengertian sikap tunduk gereja kepada Paus sebagai satu-satunya wakil dari Kristus di dalam dunia.17

Dalam perkembangan selanjutnya, Vatikan II menganggap Paus sebagai sumber dan fondasi yang kelihatan dan bersifat abadi atas para uskup dan orang-orang percaya.18 Pandangan ini juga menggema kembali dalam katekismus gereja Katolik yang terbit pada tahun 1994. Dalam katekismus ini juga dikatakan bahwa kesatuan gereja dijamin oleh ikatan yang kelihatan dari relasi yang ditunjukkan dalam suksesi kerasulan melalui sakramen Holy orders.19

Dalam mempertahankan kesatuan yang kelihatan dari gereja di bawah yurisdiksi Katolik Roma, para theolog Katolik biasanya mengacu pada argumen dari Alkitab maupun tradisi. Argumen ini diarahkan untuk membuktikan pentingnya kesatuan dari iman dan kesatuan dari relasi antar anggota gereja. Kesatuan iman ini berdiri di atas asumsi bahwa di dalam hati semua anggota gereja percaya tentang kebenaran iman yang diajarkan oleh gereja, paling tidak secara impisit dan secara kelihatan mengakuinya. Pada satu sisi, kesatuan relasi menekankan sikap tunduk anggota gereja kepada otoritas uskup-uskup dan Paus (unity of government or hierarchical unity), dan di sisi lain, dalam ikatan anggota-anggota itu sendiri dalam kesatuan sosial dengan partisipasi dalam cara pemujaan dan alat-alat anugerah yang sama (unity of cult or liturgical unity).20


Argumentasi dari Alkitab
Secara umum, argumentasi para theolog Katolik mengenai kesatuan gereja akan diuraikan seperti berikut: Kristus memberikan mandat kepada para rasul untuk menyebarluaskan pengajaran-Nya kepada semua orang, dan menuntut persetujuan yang tidak bergantung pada kondisi untuk pengajaran ini (Mat. 28:19; Mrk. 16:15). Lagi pula, dalam doa Imam Besar kita, Ia meminta kepada Bapa akan kesatuan dari para rasul dan orang-orang percaya di masa mendatang (Yoh. 17:20). Kesatuan ini ditafsirkan sebagai kesatuan organisasi yang kelihatan.

Kemudian theolog Katolik biasanya berargumentasi bahwa Paulus secara simbolis menyatakan kesatuan gereja dengan menggambarkannya sebagai suatu rumah (1Tim. 3:15) dan juga sebagai tubuh Kristus (Rm. 12:4). Di dalam ayat-ayat itu, ia mengekspresikan kesatuan yang bersifat internal maupun eksternal (Ef. 4:3-6). Gereja Katolik Roma adalah rumah dan tubuh Kristus itu, di mana di dalamnya terdapat kesatuan internal yaitu iman dan juga kesatuan eksternal secara organisasi/institusi. Kedua jenis kesatuan gereja ini menjadi satu keping mata uang dengan dua sisi. Gereja Katolik juga berpendapat bahwa perpecahan gereja dan bidat bukan merupakan kehendak Tuhan. Paulus sendiri secara keras melawan perpecahan dan bidat (1Kor. 1:10; bdk. Tit. 3:10).21 Oleh karena itu, tidak ada satu golongan pun yang boleh memisahkan diri dari gereja Katolik Roma karena bila mereka memisahkan diri dari gereja Katolik maka mereka pantas dianggap sebagai bidat.

Dalam kaitannya dengan poin terakhir ini (pemisahan diri disamakan dengan menjadi bidat), kita melihat bahwa perkembangan dalam konsili Vatikan II, telah membawa ajaran resmi Katolik untuk bersikap jauh lebih lunak. Golongan Ortodoks dan Protestan tidak lagi dipandang sebagai bidat tetapi saudara terpisah. Namun demikian, ketika dokumen-dokumen Katolik Roma berbicara mengenai ekumenisme dan kesatuan gereja-gereja, kita harus sadar bahwa di samping pengakuan gereja Katolik bahwa kita (kaum Protestan/Injili) dapat diselamatkan walaupun berada di luar mereka,22 namun kebenaran tetap paling baik dijalankan jika kita kembali pada gereja induk (The Mother Church) yaitu gereja Katolik Roma.23 Kata-kata dalam Dokumen konsili Vatikan II berikut ini mencerminkan pandangan tersebut:
Akan tetapi saudara-saudari yang tercerai dari kita, baik secara perorangan maupun sebagai Jemaat dan gereja, tidak menikmati kesatuan, yang oleh Yesus Kristus hendak dikurniakan kepada mereka semua, yang telah dilahirkan kembali dan dihidupkan-Nya untuk menjadi satu tubuh…Sebab hanya melalui gereja Kristus yang katoliklah, yakni upaya umum untuk keselamatan, dapat dicapai seluruh kepenuhan upaya-upaya penyelamatan.24

Winfried Corduan menyebut pendekatan konsili Vatikan II ini sebagai model kontinuitas di atas dasar superioritas dan inferioritas (continuity on the basis of superiority and inferiority). Maksudnya, gereja Katolik memiliki kelebihan dibandingkan dengan gereja Ortodoks dan Protestan dalam hal tingkatan kepemilikan atas kebenaran dan menjadi mediator yang lebih baik antara Allah dan manusia.25


Argumentasi dari Tradisi
Theologi Katolik bergantung banyak pada tradisi untuk mendukung konsepnya tentang kesatuan dari gereja. gereja Katolik biasanya mengacu pada perjuangan para Bapa gereja secara khusus Irenius dan Tertulian dalam melawan perpecahan gereja. Tulisan Bapa-bapa gereja lainnya seperti Cyprian dan Augustinus yang melawan perpecahan dan mendukung kesatuan gereja Katolik juga banyak digunakan sebagai argumentasi.26 Selanjutnya, dukungan lain bagi kesatuan gereja juga terkait erat dengan pemahaman beberapa theolog Katolik bahwa gereja perlu menjadi gereja yang kelihatan (secara organisasi menyatu) karena Kristus juga kelihatan (visible) ketika Ia berinkarnasi. Menurut mereka, sebagaimana Kristus kelihatan pada saat inkarnasi, demikian pula tubuh-Nya yaitu gereja, kelihatan pada saat ketidakhadiran-Nya.27




TINJAUAN KRITIS ATAS DOKTRIN KESATUAN GEREJA KATOLIK ROMA
Kaum Injili menolak penafsiran gereja Katolik atas Alkitab yang mendukung doktrin kesatuan yang bersifat kelihatan dalam arti organisasional. Bagi kaum Injili, dasar kesatuan gereja adalah kesatuan mistis atau spiritual dalam tubuh Kristus (spiritual unity). Hal ini berbicara mengenai invisible church dan bukan visible church. Di bawah ini kita akan memberikan tanggapan atas penafsiran gereja Katolik Roma terhadap dua bagian Alkitab yang sering kali digunakan sebagai pendukung bagi doktrin mereka.28

Tanggapan Atas Argumentasi dari Alkitab
Matius 28:19-20
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Gereja Katolik Roma menganggap bahwa perintah Yesus untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya merupakan sesuatu yang tidak kondisional sifatnya (sesuatu yang otoritatif dan tidak tergantung pada kemauan orang atau dipaksakan). Akan tetapi kalau kita perhatikan, sebenarnya murid-murid Yesus hanya diperintahkan mengajar mereka untuk melakukan segala sesuatu yang telah diperintahkan Tuhan. Tentu saja dalam hal ini, kesediaan orang untuk diajar adalah suatu kondisi yang perlu ada. Hal ini juga sesuai dengan permintaan untuk percaya dalam Markus 16:1.

Bapa gereja Augustinus secara bijaksana berkata bahwa iman adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksakan. Gereja Katolik Roma tidak bisa memaksakan pengajarannya kepada orang lain dan ayat ini tidak bisa menjadi dasar bagi otoritas gereja Katolik Roma bagi pengajaran yang terpusat. Lebih lanjut, sebenarnya di dalam bagian Matius 28:19, 20 ini tidak ada suatu visi yang berkaitan dengan kesatuan organisasi. Kesatuan yang tercermin dalam ayat-ayat ini adalah kesatuan yang bersifat doktrinal dan spiritual. Ini adalah kesatuan dalam pengajaran Kristus dan dalam kehadiran-Nya (ay. 20), bukan dalam institusi dunia.29

Yohanes 17:20, 21
“Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orangorang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama Seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.”
Gereja Katolik Roma sering mengacu pada ayat ini untuk mengajarkan bahwa Yesus ingin agar hanya ada satu organisasi gereja dalam dunia. Organisasi gereja yang itu adalah gereja Katolik Roma yang merupakan kelanjutan dari rasul-rasul Tuhan Yesus. Akan tetapi sebagai kaum Injili, kita bisa menyampaikan beberapa keberatan yang serius atas penafsiran yang demikian.

Pertama, jika kita perhatikan ayat ini sebenarnya tidak berbicara mengenai kesatuan organisasi (organizational) melainkan kesatuan organik (organic)30 atau spiritual (spiritual). Yesus tidak mengacu pada kesatuan eksternal, tetapi pada manifestasi yang kelihatan dari kesatuan spiritual, misalnya dalam kasih kita satu sama lain sehingga orang yang tidak percaya dapat melihatnya (Yoh. 13:35). Kedua, dalam ayat ini Yesus hanya berdoa agar semua orang percaya menjadi satu, bukan semua organisasi gereja menjadi satu. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kesatuan itu harus kelihatan tetapi tidak harus berarti organisasional. Sesuai konteksnya, aspek yang kelihatan dari kesatuan ini berbicara mengenai manifestasi kesatuan yang kelihatan, yaitu kasih yang terwujud di antara murid-murid Yesus (bdk. konteks dekatnya adalah Yoh. 13:23,35), dan bukan kesatuan organisasi.31




TANGGAPAN TERHADAP ARGUMENTASI DARI TRADISI
Menanggapi argumentasi gereja Katolik yang mengajarkan bahwa Bapa-bapa gereja selalu menolak perpecahan mempertahankan kesatuan organisasi gereja Katolik, ada beberapa hal yang dapat kita ajukan. Pertama, sebenarnya kesatuan organisasi gereja Katolik belumlah muncul sebelum masa Konstantin dan Augustinus (abad ke-4). Dengan demikian, kesatuan gereja sebelum masa ini (termasuk zaman Bapa-bapa gereja seperti Irenius, Cyprian, dan Tertulian) hanyalah dalam bentuk pengakuan-pengakuan (misalnya, Pengakuan Iman Rasuli).

Kedua, konsili ekumenikal pertama yaitu konsili Nicea, baru terlaksana pada 325 Masehi, dan pada saat itu kita juga tidak melihat adanya kesatuan organisasi gereja sebagaimana yang diklaim oleh gereja Roma Katolik. Dengan alasan-alasan di atas, maka mayoritas golongan Protestan ortodoks menerima validitas dari kredo-kredo dan konsili-konsili pada lima abad pertama, namun menolak klaim Roma Katolik sebagai gereja yang satu dan benar di seluruh bumi.32 Lebih lanjut, kesatuan gereja yang diklaim berada di bawah kepausan pada dasarnya terbentuk pada masa Paus Leo I (461 M). Oleh karena itu, kesatuan yang kelihatan dari gereja yang ditekankan oleh Bapa-bapa gereja tentu saja tidak identik dengan kesatuan organisasi di bawah pimpinan Paus yang tidak bisa bersalah di Roma.




APAKAH KAUM INJILI TIDAK PERLU MEMPERJUANGKAN KESATUAN YANG KELIHATAN DARI GEREJA?
Apakah dengan pemahaman seperti di atas, sebagai kaum Injili kita tidak perlu memperhatikan atau berjuang bagi terwujudnya kesatuan gereja yang kelihatan? Tidak juga! Bagi penulis, semampu mungkin kita harus berjuang bagi kesatuan gereja yang kelihatan (visible church).33 Namun dua catatan penting perlu menjadi pedoman kita.

Pertama, kesatuan gereja yang kelihatan ini pertama-tama dan yang utama bukanlah berarti sebuah kesatuan organisasi gereja (organizational unity) sebagaimana yang dimaksudkan oleh gereja Katolik Roma. Kesatuan gereja yang kelihatan ini adalah kesatuan relasional (relational unity), yang di dalam berbagai denominasi gereja yang ada, semuanya diikat oleh kasih Kristus dan memiliki keharmonisan dalam menjalankan peranannya masing-masing di dalam dunia. Kesatuan relasional yang demikian ini memungkinkan dan mendorong adanya persekutuan dan penyembahan bersama di antara gereja-gereja (persekutuan ekumenikal), adanya pengakuan iman bersama (misal: Pengakuan Iman Rasuli), dan bahkan kerja sama di area-area praktis dalam menjalankan misi Tuhan Yesus. Apabila kesatuan relasional ini terwujud, berbagai denominasi yang ada justru merupakan perwujudan dari kepelbagaian anggota tubuh Kristus yang satu dan dunia tetap mampu melihat bahwa denominasidenominasi gereja yang ada pada hakikatnya merupakan satu kesatuan. Wayne Grudem menyatakannya demikian:
In fact, the unity of believers is often demonstrated quite effectively through voluntary cooperation and affiliation among Christian groups. Moreover, different types of ministries and different emphasis in ministry may result in different organization, all under universal headship of Christ as Lord of the church. Therefore the existence of different denominations, missions boards, & is not necessarily a mark of disunity of the church (though in some cases may be), for there may be a great deal of cooperation and frequent demonstrations of unity among such diverse bodies as these.34

Dengan pemahaman seperti ini, kita berani menyatakan dengan tegas bahwa kesatuan spiritual di bawah kepemimpinan Tuhan Yesus yang menyatukan gereja-gereja di dunia adalah lebih penting daripada perbedaan-perbedaan organisasi yang menempatkan mereka dalam berbagai denominasi yang berbeda-beda. Selanjutnya, agar ekumenisme kita bukanlah sesuatu yang tanpa arah dan menjadi persekutuan yang tidak memiliki identitas, maka kesatuan relasional ini tidak boleh diusahakan dengan mengkompromikan atau mengorbankan doktrin-doktrin Injili35 yang penting dengan mereka yang mengaku diri sebagai gereja tetapi memiliki doktrin yang menyimpang.36 Hal ini amat penting mengingat bertumbuhnya berbagai organisasi yang menyebut diri sebagai gereja, namun tidak memiliki fondasi pengajaran iman yang benar.37

Oleh karena itu kesatuan yang kelihatan dari gereja perlu terus diperjuangkan dalam kerangka pertimbangan doktrinal dan tidak mengizinkan keharmonisan mengorbankan kebenaran.




BAGAIMANA DENGAN HUBUNGAN ANTARA KAUM INJILI DAN KATOLIK?
Tidak dapat disangkal bahwa dalam kelompok Injili sendiri terdapat sikap yang berbeda-beda dalam memandang gereja Katolik Roma. Sebagian kaum Injili bersikeras bahwa gereja Katolik adalah gereja yang palsu dan karenanya suatu kesatuan sekalipun merupakan kesatuan relasi (apalagi organisasi), tidak layak untuk dilakukan. Sebagian yang lain cukup moderat dalam memandang gereja Katolik. Penulis sendiri melihat bahwa sebagai kaum Injili kita harus mengakui beberapa persamaan doktrin yang kita miliki dengan gereja Katolik Roma selain kekayaan perbedaan yang ada.

Dalam kaitan dengan persamaan, tampaknya sebagian kaum Injili tidak menyadari bahwa kedua golongan ini mewarisi dan mengakui kredo-kredo dan hasil- hasil konsili dari Bapa-bapa gereja secara bersama-sama. Dalam daftar ini kita bisa menyebutkan: Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea, dan Pengakuan Iman Athanasius. Hasil keputusan konsili-konsili yang diterima secara bersama-sama oleh Katolik maupun kaum Injili adalah hasil-hasil dari konsili Nicea I, Konstantinopel I, Efesus, dan Chalcedon.38 Selanjutnya juga, dalam doktrin tentang pewahyuan (revelation), Allah, dan manusia, banyak persamaan antara Katolik dan kaum Injili. Dalam doktrin lain seperti keselamatan, gereja, Alkitab, sakramen, Maria, dan akhir zaman secara khusus purgatory memang terdapat perbedaan doktrin yang jelas.39

Dalam perspektif yang lebih luas seperti ini, kita perlu membuang stereotip-stereotip negatif terhadap kepercayaan Katolik Roma. Sebagai contoh, McGrath menyatakan bahwa sebagian kaum Injili terus menekankan bahwa gereja Katolik Roma secara resmi mengajarkan Justification by works, padahal hal ini tidak benar.40

Akhirnya, dengan mempertimbangkan persamaan dan perbedaan antara kaum Injili dan gereja Katolik Roma, maka penulis ingin menyampaikan beberapa kesimpulan dan perspektif dalam memandang gereja Katolik Roma sekaligus implikasinya bagi relasi keduanya.

Sebagai tambahan terhadap pernyataan McGrath ini perlu juga diakui bahwa theologi Katolik Roma percaya akan justification by faith tetapi bukan justification by faith alone. Hal inilah yang dipermasalahkan R. C. Sproul ketika mengkritik sesama kaum Injili yang terlibat dalam penyusunan dokumen “Evangelicals And Catholics Together.” Ia menegaskan bahwa “Reformasi bukan mempermasalahkan apakah pembenaran itu melalui iman, tetapi lebih menekankan pada pernyataan bahwa pembenaran hanya melalui iman. Pokok pertentangan itu adalah pokok sola dari sola fide” (Faith Alone [trans.; Mitra Pustaka, 2004], hlm. 45).

1. Sebagian anggota gereja Katolik Roma termasuk dalam gereja sejati yang bersifat tak kelihatan (invisible church).
Lebih jauh lagi, sebagian dari mereka adalah orang-orang yang berpaham Injili Gereja yang kelihatan adalah tubuh yang bercampur (corpus per mixtum). Tidak semua anggota gereja yang kelihatan (visible church) merupakan anggota dari gereja Kristus yang tak kelihatan (invisible church), artinya tidak semua orang yang pergi ke gereja, mengikuti kebaktian, dan bahkan melakukan pelayanan, merupakan orang-orang yang sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan Yesus dan diselamatkan. Fakta ini sebenarnya berlaku bagi semua anggota gereja yang ada, baik Protestan, Ortodoks maupun Katolik Roma dan lain-lain. Tegasnya, dalam komunitas gereja Katolik Roma terdapat juga orang-orang pilihan Tuhan yang memiliki iman yang benar dan bahkan sebagian dari individu-individu Katolik ini memegang erat doktrin-doktrin Injili dalam hidup mereka.41
Selaras dengan hal itu, McGrath memaparkan hasil penemuannya sebagai berikut:
Pada level institusi, gereja Katolik Roma masih memusuhi paham Injili walaupun level permusuhannya sudah menurun secara dramatis dibandingkan pada masa lalu.42
Pada level jemaat biasa dalam gereja Katolik Roma, terdapat fakta yang mengejutkan bahwa paham Injili telah memperoleh pengikut yang semakin meningkat dalam diri individu-individu Katolik. Kita mungkin akan terkejut mendengar hal ini karena kita biasanya berasumsi bahwa individu Katolik menerima otoritas dari semua pengajaran resmi gereja mereka. Namun bukti-bukti empiris ternyata menunjukkan bahwa banyak di antara mereka yang tidak demikian. Salah satu contoh yang jelas adalah penolakan yang meluas untuk menaati pengajaran Katolik atas metode-metode pengontrolan kelahiran. Hal ini sebenarnya menggambarkan fenomena yang lebih dalam, yaitu suatu tendensi untuk tetap menghargai etos Katolik Roma tetapi juga bersifat selektif berkaitan dengan aspek-aspek pengajarannya yang tepat. Hal ini didukung pula oleh sebuah pengamatan bahwa ada jutaan orang di Amerika yang mengaku diri sebagai orang Katolik walaupun mereka menolak banyak atau mayoritas pandangan gereja resmi, bahkan dalam hal doktrin-doktrin esensial.43

Suatu informasi yang menarik dari Barna Research Group (kelompok yang mengadakan penelitian bagi gereja-gereja Kristen maupun kelompok-kelompok Kristen) juga patut kita perhatikan. Kelompok ini telah menemukan beberapa hal sebagai berikut:44 Di Amerika jumlah orang yang lahir baru menurut survei pada tahun 1992 adalah 40% dari jumlah penduduk dewasa. Dari 40% ini diidentifikasi 80% di antaranya berasal dari gereja Protestan, sedangkan 12% Katolik, dan 8% dari anggota gereja-gereja lainnya. Populasi orang yang telah lahir baru dari gereja Katolik adalah 22%. Jumlah ini meningkat 6% dibandingkan tahun 1985.45

Jumlah orang yang diidentifikasi sebagai kaum Injili dan memenuhi semua kriteria seorang Injili (ada 9 kriteria) 46) hanyalah 12% dari sampel yang ada. Menurut perkiraan Barna, terdapat kurang lebih 23 juta orang Injili dewasa tersebar di seluruh Amerika. Dari jumlah itu jemaat gereja Baptis menempati urutan pertama (26%) dan 4% dari antara seluruh orang Injili itu adalah orang Katolik. Jika dilihat dari denominasi secara spesifik, maka 2% dari orang Katolik adalah orang Injili.

Apakah yang dapat kita simpulkan dari data di atas? Jelas bahwa terdapat orang-orang Injili dalam gereja Katolik Roma, dan yang terpenting adalah jumlah mereka makin meningkat walaupun masih relatif sedikit.

Selanjutnya kembali pada pengamatan McGrath. Ia juga menyatakan bahwa banyak anggota gereja Katolik Roma di Amerika yang secara luar (outwardly) dan secara umum (publicly) tetap setia pada gereja mereka namun di dalam hati (inwardly), dan secara pribadi (privately) mengikuti pemikiran-pemikiran utama dari paham Injili. Di Amerika Latin bahkan terjadi penolakan secara umum terhadap Katolik Roma akibat bertumbuhnya simpati terhadap paham Injili. Mereka secara terang-terangan memegang ide-ide dan menggunakan gaya penyembahan dari berbagai golongan kaum Injili.47 Berdasarkan fakta-fakta di atas, McGrath menyatakan bahwa ada dua pilihan besar bagi kaum Injili untuk merespons gerakan Injili di dalam gereja Katolik:48

Pertama, meminta individu-individu Katolik yang memeluk paham Injili untuk meninggalkan gereja Katolik Roma dan bergabung dengan gereja Injili (fenomena ini terjadi dalam skala yang besar di Amerika Latin).49 Kedua, mendorong pertumbuhan paham Injili di dalam gereja Katolik Roma dan berharap agar hal ini akan memberikan suatu tekanan yang lebih kuat bagi reformasi dan pembaruan dari dalam gereja Katolik untuk kembali kepada gereja yang lebih memiliki etos Injili. Lebih lanjut McGrath menyarankan bahwa untuk jangka waktu yang singkat ini lebih baik kaum Injili tidak mendorong para “Evangelical Catholics” ini untuk meninggalkan gereja mereka.50

Penulis sendiri berpendapat bahwa anjuran McGrath di atas agak mengecewakan. Jika, sebagai orang Injili kita meyakini akan kebenaran doktrin-doktrin Injili, maka kita perlu dengan cukup tegas mendorong orang-orang Katolik yang berkesempatan berdialog dengan kita untuk memikirkan ulang keberadaan mereka dalam gereja Katolik dengan segala pengajaran resminya. Tentu saja McGrath memikirkan konteks sosial dalam anjurannya. Namun demikian, kita juga perlu mendorong seseorang untuk memutuskan sebuah keputusan iman yang kadang kala harus membayar harga yang mahal seperti yang dialami Luther. Hal ini tidak berarti bahwa keluar dari gereja Katolik adalah sebuah keharusan yang kita tekankan, melainkan sebuah pilihan yang memiliki nilai-nilai positif dalam kerangka kebenaran.

Selanjutnya, dari berbagai perkembangan di atas kita melihat bahwa sebagai kaum Injili kita harus memiliki perspektif yang benar menyangkut gereja Katolik Roma. Beberapa hal dapat ditarik sebagai kesimpulan.

Pertama, cukup jelas bahwa sebagian umat Katolik Roma adalah orang-orang pilihan Allah. Kita tidak boleh menyamaratakan semua orang Katolik seolah-olah mereka semua adalah sekumpulan umat yang memiliki pemahaman iman yang seragam atas doktrin-doktrin yang salah dan yang ditolak kaum Injili. Kedua, sebagai kaum Injili kita justru harus banyak berinteraksi dan berdialog dengan mereka untuk mendorong bertumbuhnya vitalitas paham Injili di dalam gereja mereka dan terjadi perubahan-perubahan yang positif dari dalam gereja Katolik. Dalam hal ini, istilah penginjilan bagi orang Katolik51 adalah istilah yang terlalu keras bagi penulis dan justru dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi kaum Injili sendiri. Dampak negatif tersebut adalah adanya generalisasi bahwa orang-orang Katolik belum diselamatkan semuanya. Lagipula, penggunaan istilah semacam itu dapat menambah sikap defensif Katolik terhadap kaum Injili serta mendorong arogansi yang tidak sehat dari kaum Injili.


2. Persekutuan ekumenikal dengan individu-individu Katolik dengan persyaratan tertentu merupakan sesuatu yang sah dan bermanfaat untuk dilakukan.
Sejalan dengan pemikiran Timothy George, penulis setuju bahwa kaum Injili tidak memiliki “kesatuan iman” dengan gereja Roma tetapi memiliki “kesatuan di dalam Kristus” dengan orang-orang percaya dalam gereja Katolik.52 Kita tidak memiliki kesatuan iman karena kita memiliki pemahaman iman yang amat berbeda dalam banyak hal dengan gereja Katolik Roma. Walaupun demikian, kesatuan spiritual dengan orang-orang percaya sejati yang berada dalam gereja Katolik tentu tidak bisa kita sangkali. Justru, di atas fondasi “kesatuan di dalam Kristus” inilah maka suatu persekutuan ekumenikal dengan individu-individu Katolik yang sungguh-sungguh beriman adalah sah untuk dilakukan. Walaupun demikian, dalam persekutuan yang melibatkan individu-individu Katolik seperti ini, ketegasan posisi doktrinal kita harus jelas dan tegas untuk dinyatakan. Sebagai contoh: kita harus menolak sebuah persekutuan yang di dalamnya ada ritual untuk mendoakan orang yang sudah mati agar diterima Allah, dan kita tidak boleh setuju bila dalam persekutuan ini terdapat doa kepada Maria sebagai pengantara kita kepada Yesus.

Singkatnya, sebuah persekutuan ekumenikal dengan individu-individu Katolik (bukan gereja Katolik secara resmi) harus disertai dengan kesepakatan terlebih dahulu mengenai susunan acara, isi, dan metode doanya. Namun, jika persekutuan/ibadah ekumenikal ini telah menyangkut sebuah kerja sama/perjanjian resmi antara sebuah gereja Injili dengan sebuah gereja Katolik, sejauh ini penulis merasa bahwa hal itu tidak tepat dilakukan. Hal ini akan menimbulkan kesan yang salah bagi jemaat awam bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara gereja-gereja Injili dan gereja Katolik.

Gerakan ekumenisme yang berkembang memang telah menumbuhkan sikap keterbukaan satu sama lain. Di satu sisi, hal ini tentu amat positif. Gerakan menuju pada manifestasi yang kelihatan dari kesatuan gereja memang harus terwujud agar kesaksian gereja dalam dunia semakin menguat. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa kita boleh mengkompromikan doktrin-doktrin Injili dan menganggap bahwa perbedaan- perbedaan yang ada bersifat remeh belaka. Identitas dan doktrin kita sebagai kaum Injili harus dipertahankan, sinkretisme dalam ekumenisme harus kita tolak.53 Lebih jauh, penulis percaya bahwa persekutuan-persekutuan interdenominasi yang di dalamnya melibatkan orang-orang Injili yang matang seharusnya membawa dampak pada pemahaman doktrin Injili secara lebih baik dan membuka kemungkinan yang luas bagi bertambahnya individu Katolik yang bersedia menganut paham Injili.54 Sebaliknya, stereotip-stereotip negatif terhadap gereja Katolik yang tidak bertanggung jawab juga perlu dilepaskan oleh kaum Injili.


3. Kerja sama dalam berbagai bidang praktis seperti isu-isu moral dan aksiaksi sosial layak untuk diusahakan bersama.
Oleh karena kaum Injili dan kaum Katolik Roma memiliki beberapa kesamaan dalam doktrin dan juga pandangan atas beberapa pokok isu moral, maka kerja sama dalam area-area sosial dan moral merupakan sesuatu yang perlu dan sah untuk dilakukan.55 Sebenarnya kerja sama ini sudah mulai digarap sejak tahun 1965 ketika dibentuk Joint Working Group between The Roman Catholic Church and The World Council of Churches yang bertugas meningkatkan kerja sama antara gereja Katolik Roma dan Dewan Gereja-gereja Dunia (DGD). Pada masa selanjutnya terwujudlah kerja sama dalam bentuk sosial, dalam bidang kaum awam, dan lain-lain. Akan tetapi, kerja sama ini ternyata tidaklah berjalan mulus sejak Paus Yohanes Paulus II naik takhta. Sejak itu kerja sama dengan gerejagereja lain dalam bentuk organisasi yang konkret semakin sulit dilakukan. gereja Katolik tidak lagi melihat DGD sebagai satu-satunya bentuk konkret gerakan oikumenis. Mereka hendak mengembangkan kerja sama bilateral dengan gereja-gereja dari kelompok konvensional.

Di Amerika telah berdiri beberapa organisasi yang didirikan secara bersama-sama oleh orang-orang Katolik dan Injili. Sebagai contohnya adalah: The Ethics and Public Policy Center. Organisasi ini mempublikasikan buletin dan buku-buku, juga mengadakan konferensi dan seminar berkaitan dengan berbagai isu. Michael Cromartie, Nicholas Wolterstorff, Terry Eastland, Fr. Richard John Neuhaus, dan Carl F. H. Henry adalah sebagian dari mereka yang berpartisipasi dalam organisasi ini. Contoh lainnya adalah: Institute on Religion and Public Life. Organisasi ini mencetak jurnal bulanan, First Things, di mana Richard John Neuhaus (aktivis Katolik) menjadi editor kepalanya. Di dalam jurnal ini para penulis Injili seperti Carl Thomas juga turut berpartisipasi. Kerja sama yang dilakukan di antara orang-orang Injili dan Katolik seharusnya juga meliputi bidang-bidang yang moral seperti perjuangan melawan aborsi, euthanasia, homoseksual.

Bidang-bidang lain seperti penginjilan, dan penyebaran warisan spiritual (mis. melalui literatur, himne) juga dimungkinkan.56 Pada dasarnya, dalam bidang-bidang di atas, kerja sama antara kaum Injili dan orang-orang Katolik Roma bisa dalam bentuk keterlibatan dalam organisasi secara bersama-sama serta menjalin relasi antar organisasi agar memperoleh sinergi dan kekuatan yang lebih kuat untuk memberikan pengaruh kepada dunia sekular.

Di Indonesia tampaknya belum banyak muncul organisasi di bidang sosial, atau yang memperjuangkan moralitas Kristiani (mis. anti aborsi, anti euthanasia) yang di dalamnya orang-orang Katolik dan Injili bergabung untuk bekerja sama. Walaupun demikian beberapa perkembangan perlu dicatat. Sejak Sidang Raya V di Jakarta (1964), MAWI yang berubah menjadi KWI selalu menghadiri sidang-sidang raya DGI, sedangkan utusan-utusan DGI menghadiri sidang-sidang MAWI/KWI. Kerjasama yang erat biasanya juga muncul saat ada musuh bersama. Pada saat UU perkawinan dirumuskan kembali (1972-1974), DGI bekerja sama dengan MAWI menyerahkan pokok-pokok pemikiran bersama kepada presiden. Demikian pula pada saat pekabaran Injil diancam pembatasan (1978-1979).




PENUTUP
Bagaimanakah perkembangan hubungan gereja-gereja Injili dengan gereja Katolik pada masa mendatang, baik di dunia maupun di Indonesia? Tidak seorang pun dapat menjawabnya secara pasti. Namun sebagai orang Kristen apalagi hamba-hamba Tuhan yang mempengaruhi perspektif serta arah jemaat, kita adalah salah satu kekuatan yang memegang peranan penting dalam hal ini.

Akhir kata, mari kita merobohkan stereotip-stereotip yang tidak bertanggungjawab terhadap gereja Katolik, mengakui banyak persamaan doktrinal yang kita miliki, menegaskan sangat banyak perbedaan doktrinal yang memisahkan kita, dan berjuang bagi kesatuan relasi kaum Injili dan orang-orang percaya dalam gereja Katolik sambil menyaksikan prinsip-prinsip Injili yang berakar pada reformasi.




Catatan kaki:
1. Tulisan ini merupakan revisi dari artikel penulis yang telah diterbitkan di situs www.5roti2ikan.org pada tahun 2003 dengan judul “gereja Katolik Roma: Saudara, Pesaing atau Musuh?”
2. Eksistensi Katolik karismatik amat terasa di kalangan kaum muda dan mahasiswa. Penyebaran gerakan dan paham karismatik Katolik juga didorong oleh KKR-KKR berskala besar. Sebuah buku yang ditulis oleh Deshi Ramadhani berjudul Mungkinkah Karismatik Katolik Sungguh Katolik? (Yogyakarta: Kanisius, 2008) mencerminkan pergulatan Katolik karismatik di Indonesia. Buku ini mempromosikan pandangan bahwa gereja Katolik perlu terbuka terhadap Pentakostalisme yang ditandai dengan ciri-ciri: pewartaan yang terus terang, langsung dan penuh kuasa (ibid. 259).
3. Buku-buku Katolik yang bernada apologetik terhadap doktrin Protestan misalnya: sebuah kisah “pertobatan” Scott Hahn dari Protestan menuju Katolik (Scott dan Kimberly Hahn, Rome Sweet Home-Roma Rumahku [trans.; Malang: Dioma, 2004]); bdk. Leon J. Suprenant, Jr. dan Philip C.L. Gray, Faith Facts (trans.; Malang: Dioma, 2007); Catholic for a Reason II: Scripture and the Mystery of the Mother of God (trans. Malang: Dioma, 2007). Buku-buku tersebut mudah sekali dijumpai di toko buku umum maupun rohani.
4. Dalam tulisan ini gereja Katolik dan gereja Katolik Roma adalah sinonim.
5. Lih. Norman L. Geisler, Roman Catholics And Evangelicals: Agreements and Differences (Grand Rapids: Baker 1995), hlm. 15. Di bukunya yang lain, Geisler bersama Ron Rhodes menganggap gereja Katolik Roma pada dasarnya adalah sebuah gereja Kristen dan secara teknis bukanlah bidat (cult). Walaupun demikian di dalam gereja Katolik Roma terdapat penyimpangan doktrin yang begitu serius sehingga aspek-aspek ortodoksi dirusak/dirongrong (When Cultist Ask: A Popular Handbook on Cultic Misinterpretations [Michigan: Baker, 1997], hlm. 18).
6. Apalagi biasanya diajarkan oleh gereja Katolik bahwa masing-masing denominasi ini mengklaim diri sebagai gereja yang benar dan bahwa seseorang tidak dapat selamat kecuali ia masuk ke dalam denominasi gereja itu (lih. Loraine Boettner, Roman Catholicism [Philadelphia: Presbyterian and Reformed, 1973], hlm. 37). Orang-orang Katolik biasanya juga menuduh orang Protestan sebagai jemaat dengan banyak kawanan dan banyak gembala, sedangkan gereja Katolik adalah satu kawanan domba dengan satu gembala. Bagi orang Katolik, ciri utama dari gereja yang benar adalah kesatuan. Dengan dasar itu gereja Katolik melihat bahwa gereja Protestan adalah gereja yang tidak benar (bdk. Luis Padrosa, Why I Became a Protestant [Chicago: Moody, 1953], hlm. 53). Walaupun demikian, stereotip-stereotip ini tentu saja sudah banyak berubah sejak konsili Vatikan II pada tahun 1962-1965. Oleh karena itu, membaca buku-buku Protestan seperti Roman Catholicism karya Boettner bisa membuat kita meleset dari pemahaman yang benar terhadap doktrin gereja Katolik masa kini yang banyak didefinisikan ulang sejak konsili Vatikan II.
7. Lih. Louis Berkhof, Theologi Sistematika (Jakarta: LRII, 1999) 5.11.
8. Cyprian juga berkata bahwa, “He cannot have God for his father who has not the Church for his mother.” Selain itu, ia juga berpandangan sangat eksklusif dalam doktrin keselamatannya, sebagaimana tercermin dalam kata-katanya, “there is no salvation outside the Church” (lih. Rex A. Koivisto, One Lord, One Faith: A Theology for Cross-Denominational Renewal [Illinois: Victor, 1993], hlm. 55-56). Berbeda dengan Cyprian, Bapa gereja Agustinus percaya bahwa sebagian dari orang pilihan terdapat di luar gereja Roma (Gordon R. Lewis dan Bruce A. Demarest, Integrative Theology [Grand Rapids: Zondervan, 1996] 3.244).
9. Pada masa skolastik, Hugo dari St. Victor membandingkan antara gereja dengan negara. Baginya, keduanya merupakan susunan monarkhis dalam undang-undang. Raja/kaisar adalah kepala negara tetapi Paus adalah kepala gereja (Berkhof, Theologi Sistematika 5.13-14) (bdk. Robert L. Reymond, A New Systematic of The Christian Theology [Nashville: Thomas Nelson, 1998], hlm. 847).
10) Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction (3rd ed. Oxford: Backwell, 2001), hlm. 492.
11) Pemahaman mengenai gereja sebagai institusi yang hierarkis dan kelihatan (visible) ini juga dipegang oleh gereja ortodoks Timur. Hanya saja gereja ortodoks Timur tidak mengakui kepemimpinan Paus di Roma (Koivisto, One Lord, hlm. 60).
12. Konsili yang diadakan di Roma ini dihargai sebagai suatu peristiwa terpenting dalam Kekristenan di abad ke-20 selain daripada gerakan Pentakosta yang dimulai dari Los Angeles tahun 1906 (David L. Smith, All God’s People [Illinois: Victor, 1996], hlm. 421).
13. McGrath, Christian Theology, hlm. 483; bdk. Alister E. McGrath, Historical Theology (Oxford: Blackwell, 1998), hlm. 318-319; bdk. Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), hlm. 76-79
14. Lih. Gereja Menurut Vatikan II (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 24; bdk. Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik (Indonesia: Kanisius dan Obor, 1996), hlm. 338. Di sana dikatakan: “Konsili Vatikan II tidak mau menonjolkan segi institusional gereja ini, kendatipun juga tidak menyangkalnya. Konsili Vatikan II, khususnya dalam konstitusi Lumen Gentium, lebih menonjolkan misteri gereja, sebagai tempat pertemuan antara Allah dan manusia.”
15. McGrath, Christian Theology, hlm. 486; bdk. Christian DeJonge, Menuju Keesaan Gereja (Jakarta: Gunung Mulia, 1990), hlm. 92-93; bdk. Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Dokumen Konsili, hlm. 189.
16. Lih. F. S. Piggin dalam “Roman Catholicism,” Walter A. Elwell, ed. Evangelical Dictionary of Theology (Grand Rapids: Baker, 1984), hlm. 956.
17. Reymond, A New Systematic, hlm. 847.
18. Piggin dalam “Roman Catholicism,” Elwell, Evangelical Dictionary, hlm. 957.
19. Lih. Reymond, A New Systematic, hlm. 847; bdk. John H. Armstrong, A View of Rome (Chicago: Moody, 1995), hlm. 77.
20. Geisler, Roman Catholics, hlm. 280.
21. Geisler merangkumkan ini dari tulisan Ott, Fundamentals of Catholics Dogma (Roman Catholics, hlm. 280); bdk. Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Dokumen Konsili, hlm. 90-97.
22. Reymond menafsirkan bahwa menurut Vatikan II sifat katolisitas dari Gereja bukan hanya memasukkan orang-orang yang berada di bawah struktur pemerintahan yang kelihatan dari Katolik Roma, melainkan juga termasuk di dalamnya: (1) orang-orang yang dibaptis dalam golongan separated brethren, yaitu gereja-gereja Ortodoks dan Protestan; (2) orang-orang Yahudi; (3) kaum Muslim; (4) semua agama pada umumnya; (5) dan terakhir, yaitu orang-orang yang tidak mendengar Injil Kristus tetapi sungguh- sungguh mencari Allah dengan hati yang tulus dan berusaha untuk melakukan kehendak yang sesuai dengan hati nurani mereka. Semua golongan ini dapat mencapai keselamatan kekal (lih. A New Systematic 848; bdk. Konsili Vatikan II menyatakan sebagai berikut: “Pun dari umat lain, yang mencari Allah yang telah mereka kenal dalam bayangan dan gambaran, tidak jauhlah Allah, karena Ia memberi semua kehidupan dan nafas dan segalanya (lih. Kis. 17:25-28), dan sebagai Penyelamat menghendaki keselamatan semua orang (lih. 1Tim. 2:4). Sebab mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal” (lih. Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Dokumen Konsili, hlm. 88-89).
23. Armstrong, A View, hlm. 113.
24. Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Dokumen Konsili, hlm. 188.
25. A Tapestry of Faith (Deerfields: InterVarsity, 2002) 27-28. Lebih jauh lagi, gereja Katolik juga percaya bahwa orang-orang Yahudi, Muslim, Politeis dan Animis, bahkan seorang ateis yang bermoral pun memiliki kebenaran dalam taraf yang tertentu dan lebih inferior dibandingkan gereja Katolik.
26. Geisler, Roman Catholics, hlm. 280.
27. Ibid., hlm. 273.
28. Pembahasan yang lebih lengkap dapat ditemukan dalam buku Geisler, Roman Catholics, hlm. 281-285. Pada intinya, gereja Katolik Roma selalu menafsirkan ayat-ayat Alkitab yang berkaitan dengan kesatuan dalam pengertian kesatuan organisasi yang kelihatan. Oleh karena itu, biasanya mereka kurang memperhatikan konteks ayat-ayat tersebut.
29. Ibid., hlm. 281.
30. Kesatuan organik di sini harus dimaknai dalam arti “intrinsik.” Millard J. Erickson menggunakan istilah yang sama “Organic Unity” namun dalam pengertian yang berbeda. Ia mendefinisikan “Organic Unity” sebagai kesatuan yang justru melibatkan pembentukan suatu organisasi baru yang menyatukan berbagai denominasi gereja yang ada (Christian Theology [Grand Rapids: Baker, 1999], hlm. 1142).
31. Geisler, Roman Catholics 282. Koivisto mengutip beberapa tokoh untuk mendukung pandangannya bahwa Yohanes 17:20-23 Berbicara mengenai relational unity dan bukan organizational unity. Dengan ini ia menegaskan bahwa kesatuan orang percaya terletak pada kesatuan relasi kasih di antara orang percaya (One Lord, hlm. 33-35) (bdk. Smith, All God’s, hlm. 240-241).
32. Geisler, Roman Catholics, hlm. 285.
33. Bdk. Koivisto bahkan berkata: “Now this does not mean that where the reational unity of love exists that there is not the need for a visible unity such as organizational unity exhibits. It sometimes does” (One Lord, hlm. 35).
34. Wayne Grudem, Systematic Theology: An Introduction To Biblical Doctrine (Leicester: InterVarsity, 1994). Bdk. Ketika berbicara mengenai kesatuan dari gereja-gereja Protestan, Loraine Boettner menyatakan, “If we have true spiritual unity, the lack of outward unity will not seriously hamper Christian life and practice” (Roman Catholicism, hlm. 42).
35. McGrath menyatakan bahwa ada enam keyakinan fundamental dalam evangelicalism yaitu: (1) Alkitab sebagai otoritas tertinggi dalam fungsinya sebagai sumber pengetahuan akan Allah dan juga penuntun bagi kehidupan Kristen; (2) Kemuliaan Yesus Kristus baik sebagai Allah dan Tuhan yang berinkarnasi maupun sebagai Juruselamat dari manusia yang berdosa; (3) Ketuhanan dari Roh Kudus; (4) Pentingnya pertobatan pribadi; (5) Prioritas bagi penginjilan baik untuk individu-individu Kristen maupun gereja secara keseluruhan; (6) Pentingnya komunitas Kristen bagi pemeliharaan spiritual serta persekutuan dan pertumbuhan. Bagi McGrath, semua denominasi yang memiliki kepercayaan dan nilai-nilai di atas merupakan kaum Injili. Oleh karena itu, kaum Injili bukanlah merupakan suatu denominasi tertentu, melainkan bersifat transdenominasi (Evangelicalism and The Future of Christianity [Deerfields: InterVarsity, 1995], hlm. 54-55; hlm. 82-83; bdk. Donald Bloesch, God, Authority, And Salvation [SanFransisco: Harper And Row, 1982] 9-10). Berbagai definisi lain mengenai arti dari evangelicalism terdapat dalam tulisan: R. Albert Mohler Jr, “‘Evangelical’: What’s in A Name” dalam The Coming Evangelical Crisis: Current Chalellenges to The Authority of the Scripture & the Gospel (gen.ed. John H. Armstrong; Chicago: Moody, 1996) 31; bdk. Henry H. Knight III, A Future for Truth: Evangelical Theology in A Postmodern World (Nashville: Abingdon, 1997), hlm. 18.
36. K. Armstrong, A View, hlm. 116. Ia mengkritik pernyataan bersama kaum Injili dan Katolik yang berbicara mengenai Misi bersama. Pernyataan bersama ini memakai judul “Evangelicals And Catholics Together” atau disingkat “ECT,” sebuah dokumen yang terbit tahun 1994. Baginya, ajaran Katolik adalah ajaran yang menyimpang sehingga kaum Injili seharusnya tidak berbicara mengenai misi bersama dengan mereka.
37. Dalam kategori ini kita bisa memasukkan gereja Mormon, Saksi Yehuwa, gereja Setan, dll.
38. Bdk. Geisler, Roman Catholics, hlm. 20.
39. Ibid., hlm. 16; bdk. Ron Rhodes, Reasoning from the Scripture with Catholics (Oregon: Harvest, 2000), hlm. 19.
40. McGrath juga memberikan contoh-contoh lain dari misinterpretasi kaum Injili terhadap pengajaran Katolik Roma, misalnya, mereka menyembah Yesus yang mati karena memakai patung-patung salib (Evangelicalism, hlm. 176-177).
41. Ron Rhodes menggolongkan orang-orang Katolik dalam enam kategori utama yaitu: ultratradisionalis, tradisionalis, liberal, karismatik/Injili, kultural, dan orang-orang Katolik biasa. Lebih lanjut ia menulis: “There are some Roman Catholics who do believe what is taught in the Bible about grace and justification and are, in fact saved [despite some of the official teachings of catholicism]” (Reasoning from 14-15); bdk. Charles Colson menyebut Martin Luther sebagai seorang “Evangelical Catholic” (“The Common Cultural Task: The Culture War from a Protestant Perspective” dalam Evangelicals and Catholics Together: Toward A Common Mission [Waco: Word, 1995], hlm. 25).
42. McGrath, Evangelicalism 177.
43. Lih. Philip Jenkins, The Next Christendom: The Coming of Global Christianity (New York: Oxford University Press, 2002), hlm. 89.
44. Riset ini mengambil sampel lebih dari 1.000 orang dewasa yang diambil secara acak (random) di berbagai daerah di Amerika pada tahun 1991-1992 (George Barna, The Barna Report 1992-1993 [California: Regal, 1992], hlm. 14). Hasil-hasil penelitian lain dapat diakses di www.barna.org.
45. Ibid. 78-80. Definisi lahir baru yang dipakai adalah mengakui bahwa mereka memiliki komitmen pribadi kepada Yesus Kristus dan percaya bahwa mereka akan menuju ke surga setelah mati karena mereka telah mengakui dosa-dosa mereka dan menerima Kristus sebagai Juruselamat.
46. Sembilan kriteria ini adalah: mengatakan bahwa Alkitab sangat penting; sangat setuju bahwa Alkitab adalah firman Allah yang tertulis dan secara total akurat dalam segala yang diajarkannya; percaya bahwa Allah adalah Allah yang mahakuasa, mahatahu, Pencipta yang sempurna dari alam semesta yang terus memerintah dunia saat ini; percaya bahwa doa orang percaya memiliki kuasa untuk mengubah kondisi mereka; menganggap diri mereka sebagai orang Kristen; membaca Alkitab paling sedikit sekali seminggu, di luar kebaktian gereja; bersaksi tentang kepercayaan religius mereka dengan orang lain yang memiliki kepercayaan berbeda, dalam satu bulan terakhir; telah memiliki komitmen pribadi pada Yesus Kristus yang masih penting sampai saat ini dalam hidup mereka; percaya bahwa jikalau mereka mati mereka akan pergi ke surga karena telah mengakui dosa-dosa mereka dan menerima Kristus sebagai Juruselamat mereka (Barna, The Barna Report, hlm. 81).
47. McGrath, Evangelicalism, hlm. 178.
48. Ibid., hlm. 179-180.
49. Suatu contoh menarik yang terjadi di Indonesia dipaparkan dalam skripsi Johanes Widiprasetyo. Beberapa jemaat Katolik yang dahulunya menganggap gereja Protestan salah kemudian berbalik haluan setelah mengikuti gerakan Pembaruan karismatik Katolik. Mereka tidak lagi setuju dengan doktrin berdoa kepada orang mati, theologi Maria di gereja Katolik, dll. Selanjutnya, mereka lebih banyak membaca Alkitab sendiri dan menyadari bahwa gereja Katolik membutuhkan pembaruan. Tetapi kemungkinan pembaruan dari dalam agaknya sulit dilakukan. Akhirnya, mereka meninggalkan gereja Katolik secara baik-baik (pamit pada pastor Paroki) dan mendirikan Gereja Bethel Indonesia Sungai Yordan di Jakarta pada tahun 1988 (Pandangan Gereja Roma Katolik terhadap Persekutuan karismatik Katolik: Suatu Pendekatan Dogmatis [Jakarta: Institut Theologia dan Keguruan Indonesia, 1999], hlm. 40).
50. Hal ini disebabkan karena adanya ketegangan antara kehidupan umum dan pribadi. Artinya, di cukup banyak negara yang sebagian besar penduduknya adalah Katolik, meninggalkan iman Katolik akan mendapatkan tekanan secara umum walaupun pilihan pindah gereja merupakan hak pribadi.
51. Ron Rhodes menggunakan istilah “Evangelizing Catholics.” Penulis juga pernah mendengar istilah ini dilontarkan oleh beberapa jemaat dan pendeta Kristen Protestan.
52. Dikutip dalam Donald G. Bloesch, The Church: Sacraments, Worship, Ministry, Mission (Deerfields: InterVarsity, 2002), hlm. 42.
53. Untuk kritik kaum Injili terhadap ekumenisme lih. James Leo Garret, Systematic Theology (Grand Rapids: Eerdmans, 1995) 2.623.
54. Posisi penulis mungkin selaras dengan posisi John Warwick Montgomery yang menginginkan kaum Protestan-Injili seharusnya terlibat dalam dialog dengan kaum Protestan lain, Katolik Roma, dan Ortodoks Timur namun dengan tidak berkompromi dan “in a posture of witness” (Garret, Systematic Theology, hlm. 623).
55. Bdk. Geisler, Roman Catholics, hlm. 357. Hal ini menurut Geisler meliputi perjuangan untuk melawan musuh bersama seperti sekularisme dan okultisme yang telah masuk ke dalam budaya dan sekolah-sekolah umum (konteks di Amerika). Charles Colson bahkan menyatakan bahwa dalam kerangka anugerah umum kita dapat bekerja sama juga dengan Mormon, orang Yahudi, dan Muslim untuk berbicara melawan perbuatan seksual yang tidak bermoral (“The Common Cultural Task” dalam Evangelical And Catholics Together, hlm. 37).
56. Bdk. Geisler, Roman Catholics, hlm. 357-429.





Sumber:
VERITAS (Jurnal Theologi dan Pelayanan) 9/1 (April 2008)
(http://www.gkri-exodus.org/image-upload/APO%2016%20Memandang%20Gereja%20Katolik.pdf)




Profil Penulis:
Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau mendapat sertifikat dari Ravi Zacharias International Ministry, Academy of Apologetics, India.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

EMANG GUE PIKIRIN (Denny Teguh Sutandio)

EMANG GUE PIKIRIN (EGP)

oleh: Denny Teguh Sutandio



Tiga orang pemuda saling bercakap-cakap di sebuah mal. Suatu saat, seorang pemuda A mengajak pemuda B dan C untuk menghadiri sebuah kebaktian muda-mudi di gerejanya. Tanpa mikir panjang pemuda C menjawab, “Hah? Hari gene masih mikirin agama? Udah basi kaleee.” Kemudian pemuda A bertanya kepada pemuda C, “Lho, qta ini diciptakan oleh Tuhan dan harus hidup untuk Tuhan lho. Kalo qta gak hidup untuk Tuhan, trus qta hidup untuk siapa? Trus entar kalo qta mati mau ke mana coba?” Pemuda C menjawab, “Mati? Cape dech. Emangnya gue pikirin. Yang penting bersenang-senang dulu aja, masa tua, apalagi mati mikirnya belakangan.”

Percakapan antara pemuda A dan C dan diakhiri dengan pernyataan dari pemuda C, “emangnya gue pikirin” sebenarnya merupakan cetusan banyak generasi muda zaman sekarang. Tidak heran, generasi zaman sekarang sering disebut generasi EGP (emang gue pikirin). Budaya cuek-isme ini sebenarnya bukan hanya nampak di kalangan muda-mudi, namun juga pada beberapa orangtua atau orang tua. Mengapa budaya ini muncul? Apa akibatnya? Bagaimana kita sebagai orang Kristen dapat bersaksi di dalam zaman EGP ini?

Secara rohani dan inti penyebab budaya EGP ini sebenarnya adalah masalah makna hidup. Seorang bisa menganut budaya EGP karena dia sebenarnya sedang kehilangan makna hidup atau memiliki makna hidup yang kacau. Seorang yang kehilangan makna hidup adalah seorang yang telah menjauhkan diri dari Kristus sebagai Sumber Hidup (bdk. Yoh. 14:6). Orang ini menganggap bahwa tanpa Kristus, ia bisa hidup, namun sayangnya, makin orang ini menjauh dari Kristus, orang ini makin kehilangan makna hidup dan mengakibatkan orang ini memiliki budaya EGP.

Secara filsafat, budaya EGP ini sebenarnya lahir dari filsafat pragmatisme yang berasal dari Amerika Serikat pada akhir tahun 1800-an. Filsafat ini mengajarkan bahwa sebuah ideologi atau proposisi dikatakan benar jika ideologi tersebut memberikan signifikansi praktis. Jika suatu ideologi tidak memberi manfaat praktis, maka ideologi tidak bisa diterima. Tidak heran, makin lama manusia di abad postmodern makin hidup pragmatis, selalu menekankan hal-hal praktis dan hampir membuang hal-hal prinsipil. Hal-hal prinsipil dinilai sebagai hal yang terlalu rumit dan memeras pikiran, sehingga kerap kali hal-hal prinsipil dibuang dan diganti dengan hal-hal yang praktis. Di dunia ini kita telah melihat gejala-gejala demikian, bahkan di dalam gereja pun, rupa-rupanya pragmatisme juga telah mewabah. Jika dua atau tiga abad lalu, banyak khotbah mimbar di gereja masih menyuarakan Injil sejati, namun banyak khotbah gereja di tahun belakangan ini kurang menyuarakan Injil dan menggantinya dengan hal-hal praktis dan subyektif, misalnya: khotbah yang bertema tentang pengembangan diri, kesembuhan, kekayaan, dll. “Yang penting gue sembuh, gak musingin apa itu Allah Tritunggal, bla, bla, bla” begitulah cetusan seorang jemaat yang pragmatis yang berada di dalam gereja yang pragmatis juga. Bukan hanya khotbah di gereja, banyak pendeta pun sekarang juga pragmatis. Tanpa berbekal pendidikan theologi yang memadai dan hanya berbekal pintar berpidato, banyak pendeta langsung naik mimbar dan berkhotbah. Yang dia khotbahkan hanya mencomot satu atau beberapa ayat Alkitab kemudian ditafsirkan semaunya sendiri dan dicocokkan dengan konsep yang sudah ada di dalam pikirannya. Tidak heran, seorang pendeta terkenal dari Amerika Serikat yang begitu laris di Indonesia pernah mengajar bahwa Allah itu bukan Tritunggal, namun 9 tunggal (Allah Bapa memiliki tubuh, jiwa, dan roh; Allah Anak mempunyai tubuh, jiwa, dan roh; Allah Roh Kudus juga memiliki tubuh, jiwa, dan roh) dan pengajaran ini diklaimnya dari “Roh Kudus”. Namun herannya, setelah itu, si pendeta ini meralat pengajarannya ini. Lain lagi ceritanya dengan seorang pendeta terkenal di Indonesia yang jualan minyak urapan dan menganggap Perjamuan Kudus sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit. Inilah zaman yang dipenuhi dengan pragmatisme.

Pragmatisme ini nantinya menimbulkan gejala lain secara aplikatif yaitu cuek-isme. Karena segala sesuatu dinilai secara praktis, maka tidak heran, banyak orang di zaman ini bersikap cuek terhadap banyak hal, karena baginya, kebenaran tidaklah penting, yang terpenting adalah kesenanganku. Kalau dibahasagaulkan, inilah yang dicetuskan oleh banyak generasi muda, “Suka-suka gue kan. Gue mau gini, bukan urusan lu.” Semboyan yang lainnya adalah, “Muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk ‘sorga’.” Bagi seorang penganut cuek-isme, yang terpenting gue happy, barangsiapa yang membuat dia gak happy, orang tersebut akan dimusuhi. Tidak heran, banyak generasi muda memusuhi gereja, pendeta, orang Kristen yang saleh, karena mereka dicap sebagai orang kaku dan jadul yang membatasi kesenangan para generasi muda.

Ide kedua dari cuek-isme adalah anti otoritas/hukum. Seorang yang menginginkan kesenangan pribadi biasanya pasti seorang yang anti otoritas/hukum, karena baginya, otoritas atau hukum/peraturan itu bersifat mengikat. Misalnya, di jalan raya, ada peraturan dilarang belok kanan atau atau bus/bemo dilarang berhenti di sembarang tempat. Namun, bagaimana faktanya? Bukan hanya para generasi muda, mereka yang lumayan berumur pun banyak yang tidak mematuhi peraturan tersebut. Tidak heran, banyak pengendara bus atau becak atau bemo/mikrolet seenaknya menghentikan kendaraannya di pinggir jalan (meskipun ada rambu dilarang berhenti), kemudian mengemudikan kendaraannya lagi TANPA melihat apakah ada kendaraan di belakangnya. Pengendara becak dan sepeda motor juga tanpa merasa bersalah melawan arus. Nanti, kalau pengendara sepeda motor tersebut ditabrak pengendara mobil, yang disalahkan siapa? Pengendara mobil. Lucu kan? Welcome to cuek-ism world! Di dunia kita melihat gejala ini, di gereja pun hampir tidak ada bedanya. Dahulu, banyak gereja menghargai sumbangsih tradisi gereja yang sesuai dengan Alkitab, misalnya Pengakuan Iman Rasuli, dll, namun perhatikanlah kondisi banyak gereja kontemporer saat ini. Pengakuan Iman Rasuli tidak lagi dilafalkan di dalam kebaktian di banyak gereja kontemporer, sehingga tidak heran banyak jemaatnya buta akan pengertian iman Kristen secara historis. Selain itu, lagu-lagu dan musik-musik gereja warisan zaman dahulu dibuang dalam tata cara ibadah dalam banyak gereja kontemporer dan digantikan dengan musik-musik dan lagu-lagu yang mayoritas tidak bermutu dan hanya memancing emosi sesaat. Tidak heran, jika sebuah gereja kontemporer di Surabaya mengeluarkan jenis musik baru, “Christian Housemusic”. Kekristenan bukan menjadi berkat bagi dunia, namun mengadopsi budaya dunia untuk disisipi ayat-ayat Alkitab.

Filsafat cuek-isme ini sebenarnya memiliki kelemahan yang tidak mereka sadari. Mereka mengatakan bahwa diri mereka cuek, namun secara tidak sadar, mereka tetap membutuhkan orang lain sebagai obyek untuk mengatakan bahwa diri mereka cuek. Jika mereka tak membutuhkan orang lain, bagaimana mungkin mereka bisa berkata bahwa diri mereka cuek?

Lalu, bagaimana kita sebagai orang Kristen memberitakan Injil kepada orang cuek ini?
Pertama, hindari pembicaraan yang terlalu serius dan mencekam. Langkah pertama memberitakan Injil kepada orang cuek adalah hindarilah pembicaraan yang terlalu serius dan mencekam. Ajaklah orang cuek tersebut untuk hang-out ke mal dan ajaklah diskusi pada saat atau setelah makan di salah satu resto. Hindari juga diskusi yang terlalu rumit dan tidak terlalu penting yang bisa mengakibatkan si cuek makin enek mendengarkan perkataan kita.

Kedua, temukan akar masalahnya, yaitu kehilangan makna hidup. Seperti yang telah saya paparkan di atas, seorang yang memiliki budaya EGP atau cuek sebenarnya memiliki krisis makna hidup yaitu kehilangan makna hidup, sehingga ia akan bertindak semau gue. Dengan demikian, maka memberitakan Injil kepada orang yang cuek harus didahului dengan sikap menyadarkan realitas kepada si cuek. Misalnya, ketika si cuek mencuekkan tentang kematian, kita perlu bertanya kepada si cuek, “Meskipun kamu cuek terhadap masalah kematian, kamu suatu hari pasti mati, kematian gak bisa dielakkan.”

Ketiga, ajak berpikir sederhana tentang kelemahan kecuekannya. Setelah menyadarkan realitas kepada si cuek, kita harus membawanya untuk mengerti kelemahan dari kecuekannya. Misalnya, jika si cuek mencuekkan kalau mati masuk Sorga atau neraka, sadarkan si cuek bahwa meskipun dia cuek, dia akan tetap harus memilih mau ke mana dia nanti setelah meninggal.

Keempat, bawa kepada Injil. Setelah mengajaknya merenungkan tentang kematian, maka kita harus membawanya kepada Injil bahwa Kristus sanggup menyelamatkan manusia berdosa, sehingga mereka tidak lagi binasa, melainkan beroleh hidup kekal. Kehilangan makna hidup harus diobati dengan mengembalikannya kepada Sumber Hidup.

Biarlah Roh Kudus memakai kita untuk bersaksi di tengah dunia yang dipenuhi dengan orang-orang cuek. Amin. Soli Deo Gloria.