09 July 2010

EMANG GUE PIKIRIN (Denny Teguh Sutandio)

EMANG GUE PIKIRIN (EGP)

oleh: Denny Teguh Sutandio



Tiga orang pemuda saling bercakap-cakap di sebuah mal. Suatu saat, seorang pemuda A mengajak pemuda B dan C untuk menghadiri sebuah kebaktian muda-mudi di gerejanya. Tanpa mikir panjang pemuda C menjawab, “Hah? Hari gene masih mikirin agama? Udah basi kaleee.” Kemudian pemuda A bertanya kepada pemuda C, “Lho, qta ini diciptakan oleh Tuhan dan harus hidup untuk Tuhan lho. Kalo qta gak hidup untuk Tuhan, trus qta hidup untuk siapa? Trus entar kalo qta mati mau ke mana coba?” Pemuda C menjawab, “Mati? Cape dech. Emangnya gue pikirin. Yang penting bersenang-senang dulu aja, masa tua, apalagi mati mikirnya belakangan.”

Percakapan antara pemuda A dan C dan diakhiri dengan pernyataan dari pemuda C, “emangnya gue pikirin” sebenarnya merupakan cetusan banyak generasi muda zaman sekarang. Tidak heran, generasi zaman sekarang sering disebut generasi EGP (emang gue pikirin). Budaya cuek-isme ini sebenarnya bukan hanya nampak di kalangan muda-mudi, namun juga pada beberapa orangtua atau orang tua. Mengapa budaya ini muncul? Apa akibatnya? Bagaimana kita sebagai orang Kristen dapat bersaksi di dalam zaman EGP ini?

Secara rohani dan inti penyebab budaya EGP ini sebenarnya adalah masalah makna hidup. Seorang bisa menganut budaya EGP karena dia sebenarnya sedang kehilangan makna hidup atau memiliki makna hidup yang kacau. Seorang yang kehilangan makna hidup adalah seorang yang telah menjauhkan diri dari Kristus sebagai Sumber Hidup (bdk. Yoh. 14:6). Orang ini menganggap bahwa tanpa Kristus, ia bisa hidup, namun sayangnya, makin orang ini menjauh dari Kristus, orang ini makin kehilangan makna hidup dan mengakibatkan orang ini memiliki budaya EGP.

Secara filsafat, budaya EGP ini sebenarnya lahir dari filsafat pragmatisme yang berasal dari Amerika Serikat pada akhir tahun 1800-an. Filsafat ini mengajarkan bahwa sebuah ideologi atau proposisi dikatakan benar jika ideologi tersebut memberikan signifikansi praktis. Jika suatu ideologi tidak memberi manfaat praktis, maka ideologi tidak bisa diterima. Tidak heran, makin lama manusia di abad postmodern makin hidup pragmatis, selalu menekankan hal-hal praktis dan hampir membuang hal-hal prinsipil. Hal-hal prinsipil dinilai sebagai hal yang terlalu rumit dan memeras pikiran, sehingga kerap kali hal-hal prinsipil dibuang dan diganti dengan hal-hal yang praktis. Di dunia ini kita telah melihat gejala-gejala demikian, bahkan di dalam gereja pun, rupa-rupanya pragmatisme juga telah mewabah. Jika dua atau tiga abad lalu, banyak khotbah mimbar di gereja masih menyuarakan Injil sejati, namun banyak khotbah gereja di tahun belakangan ini kurang menyuarakan Injil dan menggantinya dengan hal-hal praktis dan subyektif, misalnya: khotbah yang bertema tentang pengembangan diri, kesembuhan, kekayaan, dll. “Yang penting gue sembuh, gak musingin apa itu Allah Tritunggal, bla, bla, bla” begitulah cetusan seorang jemaat yang pragmatis yang berada di dalam gereja yang pragmatis juga. Bukan hanya khotbah di gereja, banyak pendeta pun sekarang juga pragmatis. Tanpa berbekal pendidikan theologi yang memadai dan hanya berbekal pintar berpidato, banyak pendeta langsung naik mimbar dan berkhotbah. Yang dia khotbahkan hanya mencomot satu atau beberapa ayat Alkitab kemudian ditafsirkan semaunya sendiri dan dicocokkan dengan konsep yang sudah ada di dalam pikirannya. Tidak heran, seorang pendeta terkenal dari Amerika Serikat yang begitu laris di Indonesia pernah mengajar bahwa Allah itu bukan Tritunggal, namun 9 tunggal (Allah Bapa memiliki tubuh, jiwa, dan roh; Allah Anak mempunyai tubuh, jiwa, dan roh; Allah Roh Kudus juga memiliki tubuh, jiwa, dan roh) dan pengajaran ini diklaimnya dari “Roh Kudus”. Namun herannya, setelah itu, si pendeta ini meralat pengajarannya ini. Lain lagi ceritanya dengan seorang pendeta terkenal di Indonesia yang jualan minyak urapan dan menganggap Perjamuan Kudus sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit. Inilah zaman yang dipenuhi dengan pragmatisme.

Pragmatisme ini nantinya menimbulkan gejala lain secara aplikatif yaitu cuek-isme. Karena segala sesuatu dinilai secara praktis, maka tidak heran, banyak orang di zaman ini bersikap cuek terhadap banyak hal, karena baginya, kebenaran tidaklah penting, yang terpenting adalah kesenanganku. Kalau dibahasagaulkan, inilah yang dicetuskan oleh banyak generasi muda, “Suka-suka gue kan. Gue mau gini, bukan urusan lu.” Semboyan yang lainnya adalah, “Muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk ‘sorga’.” Bagi seorang penganut cuek-isme, yang terpenting gue happy, barangsiapa yang membuat dia gak happy, orang tersebut akan dimusuhi. Tidak heran, banyak generasi muda memusuhi gereja, pendeta, orang Kristen yang saleh, karena mereka dicap sebagai orang kaku dan jadul yang membatasi kesenangan para generasi muda.

Ide kedua dari cuek-isme adalah anti otoritas/hukum. Seorang yang menginginkan kesenangan pribadi biasanya pasti seorang yang anti otoritas/hukum, karena baginya, otoritas atau hukum/peraturan itu bersifat mengikat. Misalnya, di jalan raya, ada peraturan dilarang belok kanan atau atau bus/bemo dilarang berhenti di sembarang tempat. Namun, bagaimana faktanya? Bukan hanya para generasi muda, mereka yang lumayan berumur pun banyak yang tidak mematuhi peraturan tersebut. Tidak heran, banyak pengendara bus atau becak atau bemo/mikrolet seenaknya menghentikan kendaraannya di pinggir jalan (meskipun ada rambu dilarang berhenti), kemudian mengemudikan kendaraannya lagi TANPA melihat apakah ada kendaraan di belakangnya. Pengendara becak dan sepeda motor juga tanpa merasa bersalah melawan arus. Nanti, kalau pengendara sepeda motor tersebut ditabrak pengendara mobil, yang disalahkan siapa? Pengendara mobil. Lucu kan? Welcome to cuek-ism world! Di dunia kita melihat gejala ini, di gereja pun hampir tidak ada bedanya. Dahulu, banyak gereja menghargai sumbangsih tradisi gereja yang sesuai dengan Alkitab, misalnya Pengakuan Iman Rasuli, dll, namun perhatikanlah kondisi banyak gereja kontemporer saat ini. Pengakuan Iman Rasuli tidak lagi dilafalkan di dalam kebaktian di banyak gereja kontemporer, sehingga tidak heran banyak jemaatnya buta akan pengertian iman Kristen secara historis. Selain itu, lagu-lagu dan musik-musik gereja warisan zaman dahulu dibuang dalam tata cara ibadah dalam banyak gereja kontemporer dan digantikan dengan musik-musik dan lagu-lagu yang mayoritas tidak bermutu dan hanya memancing emosi sesaat. Tidak heran, jika sebuah gereja kontemporer di Surabaya mengeluarkan jenis musik baru, “Christian Housemusic”. Kekristenan bukan menjadi berkat bagi dunia, namun mengadopsi budaya dunia untuk disisipi ayat-ayat Alkitab.

Filsafat cuek-isme ini sebenarnya memiliki kelemahan yang tidak mereka sadari. Mereka mengatakan bahwa diri mereka cuek, namun secara tidak sadar, mereka tetap membutuhkan orang lain sebagai obyek untuk mengatakan bahwa diri mereka cuek. Jika mereka tak membutuhkan orang lain, bagaimana mungkin mereka bisa berkata bahwa diri mereka cuek?

Lalu, bagaimana kita sebagai orang Kristen memberitakan Injil kepada orang cuek ini?
Pertama, hindari pembicaraan yang terlalu serius dan mencekam. Langkah pertama memberitakan Injil kepada orang cuek adalah hindarilah pembicaraan yang terlalu serius dan mencekam. Ajaklah orang cuek tersebut untuk hang-out ke mal dan ajaklah diskusi pada saat atau setelah makan di salah satu resto. Hindari juga diskusi yang terlalu rumit dan tidak terlalu penting yang bisa mengakibatkan si cuek makin enek mendengarkan perkataan kita.

Kedua, temukan akar masalahnya, yaitu kehilangan makna hidup. Seperti yang telah saya paparkan di atas, seorang yang memiliki budaya EGP atau cuek sebenarnya memiliki krisis makna hidup yaitu kehilangan makna hidup, sehingga ia akan bertindak semau gue. Dengan demikian, maka memberitakan Injil kepada orang yang cuek harus didahului dengan sikap menyadarkan realitas kepada si cuek. Misalnya, ketika si cuek mencuekkan tentang kematian, kita perlu bertanya kepada si cuek, “Meskipun kamu cuek terhadap masalah kematian, kamu suatu hari pasti mati, kematian gak bisa dielakkan.”

Ketiga, ajak berpikir sederhana tentang kelemahan kecuekannya. Setelah menyadarkan realitas kepada si cuek, kita harus membawanya untuk mengerti kelemahan dari kecuekannya. Misalnya, jika si cuek mencuekkan kalau mati masuk Sorga atau neraka, sadarkan si cuek bahwa meskipun dia cuek, dia akan tetap harus memilih mau ke mana dia nanti setelah meninggal.

Keempat, bawa kepada Injil. Setelah mengajaknya merenungkan tentang kematian, maka kita harus membawanya kepada Injil bahwa Kristus sanggup menyelamatkan manusia berdosa, sehingga mereka tidak lagi binasa, melainkan beroleh hidup kekal. Kehilangan makna hidup harus diobati dengan mengembalikannya kepada Sumber Hidup.

Biarlah Roh Kudus memakai kita untuk bersaksi di tengah dunia yang dipenuhi dengan orang-orang cuek. Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: