07 July 2010

Eksposisi 1 Korintus 7:12-14 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:12-14

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:12-14



Target Nasehat: tois loipois
Bagian ini masih membahas tentang perkawinan, hanya saja kali ini Paulus memberikan nasehat kepada kelompok jemaat yang sebelumnya belum ia singgung. Ia menujukan nasehat di ayat 12-16 kepada “orang-orang lain” (LAI:TB, ayat 12a). Dalam bahasa Yunani dipakai kata tois loipois yang secara hurufiah berarti “kepada sisanya” (KJV/RSV/NASB/NIV “to the rest”).

Siapa yang dimaksud hoi loipoi dalam konteks ini? Ada petunjuk yang kuat untuk menafsirkan sebagai jemaat Korintus yang pasangannya tidak seiman. Ayat 12-16 membicarakan tentang seorang saudara atau saudari yang istri atau suaminya belum mengenal Tuhan. Hal ini juga didukung oleh konteks sebelumnya: ayat 8-9 tentang duda dan janda, ayat 10-11 tentang suami-istri yang sama-sama Kristen. Sekarang tinggal sisanya (hoi loipoi). “Sisanya” tidak mungkin suami-istri yang non-Kristen (tidak ada kena mengena antara Paulus dan mereka, bdk. 5:12-13) maupun mereka yang belum menikah (kelompok ini akan dibahas tersendiri di ayat 25-28). Jadi, eoi loipoi di ayat 12a harus dipahami sebagai jemaat Korintus yang pasangan hidupnya bukan orang percaya.

Kawin campur seperti di atas merupakan situasi yang tidak terelakkan ketika injil masuk ke budaya kafir. Situasi yang hampir sama juga dialami oleh orang-orang Kristen di perantauan (1Ptr. 3:1). Tidak semua orang seperti Stefanus yang diberi anugerah keselamatan untuk seisi rumahnya (1:16; 16:15). Dalam kasus-kasus lain, hanya suami atau istri yang menerima injil, sedangkan pasangannya masih menolak.

Mengapa kelompok ini perlu diberi nasehat secara khusus? Inti masalah yang sama dengan di ayat 1b. Jemaat Korintus menganggap bahwa orang yang rohani harus menjauhkan diri dari hubungan seks, karena bisa mempengaruhi kerohanian. Jika berhubungan seks dengan pasangan yang sama-sama seiman saja dipandang sebagai hal yang harus diajuhi (bdk. ay. 2-5), apalagi dengan pasangan yang tidak seiman. Mereka kuatir hubungan tersebut akan menajiskan mereka, karena itu mereka memandang perceraian sebagai tindakan yang tepat.

Sebagian penafsir lain mencoba menghubungkan nasehat ini dengan tindakan jemaat secara umum yang menjauhi orang-orang cabul dari dunia ini (5:9-10). Mereka menduga bahwa tindakan menjauhi orang dunia ini juga diterapkan oleh jemaat yang pasangannya non-Kristen. Menurut mereka, jemaat Korintus tidak mau melakukan hubungan seks dengan pasangan karena pasangan mereka telah melakukan percabulan.

Dugaan terakhir ini tampaknya tidak terlalu berkaitan. Selain karena letak pembahasan yang cukup jauh (disisipi perikop tentang kasus pengadilan di 6:1-11), 7:12-16 sama sekali tidak menyinggung tentang dosa percabulan. Di samping itu, semua problem di pasal 7 bermula dari konsep theologis yang salah tentang kerohanian dalam hubungannya dengan seksualitas.


Isi Nasehat (ay. 12b-13)
Di ayat ini Paulus memulai nasehatnya dengan ungkapan “aku, bukan Tuhan” (ay. 12a). Ungkapan ini berbeda dengan ayat 10, tetapi bukan berarti keduanya kontradiktif. Seperti sudah disinggung dalam khotbah sebelumnya, tidak ada perbedaan otoritas antara ayat 10-11 dan 12-16. Perbedaan hanya terletak pada sumber nasehat. Ayat 10 memang langsung berasal dari ajaran Yesus sendiri (Mat. 19:9//Mrk. 10:11-12//Luk. 16:18), sedangkan ayat 12-16 merupakan pendapat Paulus sendiri, karena pada jaman Yesus perkawinan campur memang belum menjadi isu yang penting. Yesus tidak pernah menyinggung tentang perkawinan campur.

Walaupun nasehat di ayat 12-16 tidak langsung berasa dari Yesus dan tidak terlalu ditekankan (“aku katakan”) seperti di ayat 10 (“aku perintahkan”), tetapi otoritas pernyataan ini tetap sama. Segala tulisan dalam Alkitab adalah hasil pengilhaman Roh Kudus (2Tim. 3:16). Lebih jauh, Paulus di 1 Korintus 7 menegaskan bahwa semua nasehatnya adalah nasehat “orang yang dapat dipercaya karena rahmat yang diterimanya dari Allah” (ay. 25) dan “memiliki Roh Allah” (ay. 40).

Isi nasehat Paulus di ayat 12b-13 adalah jangan bercerai. Perintah ini didasarkan pada kondisi bahwa pasangan yang tidak seiman mau hidup bersama. Ungkapan “mau hidup bersama” secara hurufiah berarti “setuju untuk tinggal bersama”. Kata spsneudokeĊ (LAI:TB “mau”) muncul 5 kali dalam PB (Luk. 11:48, orang-orang Yahudi menyetujui pembunuhan terhadap para nabi ; Kis 8:1//22:20, Paulus menyetujui pembunuhan atas Stefanus; Rm. 1:32, orang-orang tertentu setuju dengan dosa orang lain). Dari penggunaan di atas terlihat bahwa kata ini sebenarnya lebih berkaitan dengan aspek intelek (persetujuan) daripada emosi (kemauan). Dengan demikian Paulus di 1 Korintus 7:12-13 bukan hanya membicarakan tentang kemauan yang terpaksa, tetapi persetujuan intelek.

Selama pasangan yang non-Kristen setuju untuk tinggal bersama, maka jemaat Korintus tidak boleh mengupayakan perceraian. LAI:TB menerjemahkan larangan ini dengan “janganlah ia menceraikan”. Dalam beberapa versi bahasa Inggris larangan ini kurang mendapat penekanan (RSV/NRSV “should not”). NIV dengan tepat menangkap ketegasan dalam larangan ini dan menerjemahkan mh afietw dengan “must not divorce” (tidak boleh). Larangan ini memang bukan sekadar alternatif: selama pihak non-Kristen mau hidup bersama, maka pihak yang Kristen sama sekali tidak boleh mengusahakan perceraian.

Larangan untuk bercerai di ayat 12-13 tidak berarti bahwa Paulus menyetujui perkawinan beda iman. Kita perlu mengingat bahwa situasi di ayat 12-16 adalah pasangan yang dulu sama-sama tidak Kristen tetapi kemudian salah satu di antara mereka bertobat. Dengan kata lain, perkawinan ini “sudah terlanjur” terjadi, bahkan memiliki anak-anak (7:14b). Ketika Paulus menasehatkan beberapa jemaat untuk kawin, ia memberi batasan “asal orang itu adalah orang yang percaya” (7:39). Di suratnya yang lain kepada jemaat Korintus dia melarang orang Kristen menjadi pasangan yang tidak seimbang dengan orang yang tidak percaya (2Kor. 6:14-15). Sebagai seorang Farisi Paulus pasti sudah memahami berbagai larangan untuk kawin campur yang ada dalam PL (Ul. 7:3; Neh. 13:25).

Pandangan Paulus di 1 Korintus 7:12-13 sekilas berkontradiksi dengan perintah Ezra kepada bangsa Yehuda supaya mereka mengusir isteri-isteri mereka yang kafir (Ez. 10:3, 19). Bagaimanapun, penyelidikan yang teliti membuat kesan itu sirna. Walaupun dalam Ezra 10 tidak dijelaskan situasi perkawinan yang sebenarnya, namun kita dapat merekonstruksi situasi tersebut berdasarkan tulisan Maleakhi yang sama-sama melayani setelah pembuangan Babel. Dalam konteks Maleakhi 2:10-16 terlihat jelas bahwa bangsa Yehuda telah mengkhianati perjanjian dengan berbagai macam cara: menikahi perempuan kafir dan mengikuti ibadah mereka (10-11), menceraikan isteri masa muda yang adalah teman seperjanjian (ay. 14-15). Dalam situasi seperti ini mereka diperintahkan untuk menceraikan isteri-isteri mereka yang kafir supaya mereka kembali pada isteri muda masing-masing.


Alasan (ay. 14)
Setelah memberikan larangan yang tegas di ayat 12b-13 Paulus selanjutnya menjelaskan alasan di balik larangan tersebut. Alasannya adalah karena pasangan yang tidak seiman dikuduskan oleh pasangannya yang beriman. Kata “dikuduskan” memakai tense perfect yang menyiratkan tindakan di masa lampau yang memiliki akibat sampai sekarang. Beberapa orang menafsirkan tense perfect ini sebagai rujukan pada saat perkawinan, tetapi dugaan ini sebaiknya kita tolak karena sulit dibayangkan bahwa pasangan yang dulu sama-sama tidak beriman bisa menguduskan. Lebih bijaksana jika kita memandang pertobatan salah satu pasangan sebagai titik tolak di masa lalu yang membawa pengudusan bagi keluarganya.

Untuk memahami pernyataan Paulus di ayat ini kita perlu memperhatikan kata depan yang dipakai. Orang yang tidak seiman dikuduskan “dalam” (en) pasangan yang beriman. Walaupun pada masa Yunani Koine penggunaan kata depan agak tumpang tindih, tetapi dalam konteks ini kata depan en kemungkinan besar membawa arti yang umum, yaitu “di dalam”. Paulus tidak memakai kata depan dia (“melalui”, NASB/RSV/NIV) atau hupo (“oleh”, KJV/LAI:TB). Jika pembedaan kata depan ini diterima, maka Paulus tidak sedang memikirkan orang Kristen sebagai pelaku (“oleh”) atau instrumen (“melalui”) kekudusan.

Kekudusan tersebut diterima orang non-Kristen karena ia berada bersama di dalam orang Kristen. Maksudnya, karena perkawinan adalah “satu tubuh” (7:4; bdk. 6:15-16), maka keduanya dapat dianggap sebagai satu kesatuan. Jika yang Kristen dikuduskan oleh Allah, maka pasangannya yang non-Kristen juga dikuduskan.

Sekarang kita perlu membahas tentang makna kekudusan dalam konteks ini. Kekudusan di sini tidak berarti kekudusan theologis yang menyelamatkan, karena pasangan yang tidak seiman tetap sebagai orang yang tidak/belum percaya (7:16). Kekudusan theologis hanyalah bagi mereka yang ada di dalam Kristus dan memanggil nama-Nya (1:2) serta dibenarkan dalam Yesus melalui karya Roh Kudus (6:11). Pasangan yang tidak seiman dikuduskan dalam pasangannya yang beriman, bukan dalam Kristus. Kekudusan ini juga tidak berarti kekudusan secara moral, karena Paulus tidak mungkin ada kekudusan moral tanpa didahului oleh kekudusan theologis.

Kekudusan di sini lebih baik dipahami sebagai pengkhususan. Jika dalam satu keluarga ada anggota yang sudah percaya kepada Tuhan, maka Tuhan pasti akan memperlakukan keluarga itu secara khusus (dikuduskan). Jangankan hubungan suami-isteri, keberadaan Yusuf di rumah Potifar pun membuat Potifar turut merasakan berkat Tuhan (Kej. 39:1-5). Jika orang Kristen mau bertahan dengan perkawinan campur yang sudah terlanjur dia masuki, maka keberadaannya akan membuat pasangannya dikuduskan Tuhan di dalam dia. Dalam konteks 1 Korintus 7:12-16 Paulus memikirkan kekhususan ini dalam bentuk kesempatan mendengarkan injil yang lebih banyak (ay. 16; bdk. 1Ptr. 3:1). Dia mungkin memikirkan kekhususan-kekhususan yang lain, namun ia hanya menyebutkan salah satu di antaranya.

Penjelasan Paulus di atas sekaligus berfungsi sebagai koreksi terhadap kesalahan jemaat Korintus. Mereka beranggapan bahwa hubungan dengan orang yang tidak percaya akan menajiskan mereka, tetapi Paulus menyatakan sebaliknya. Orang percaya justru membawa pengudusan bagi pasangannya. Selama orang Kristen tetap hidup daam kebenaran dan tidak terpengaruh (bdk. 5:9-11) serta bertahan dalam pernikahan, maka keberadaannya akan membawa akibat positif bagi pasangan. Sama seperti roti sulung yang kudus membuat semau roti lain kudus atau akar yang kudus membuat seluruh pohon kudus (Rm. 11:16), demikian pula keberadaan orang percaya akan membawa kekudusan bagi keluarganya.

Untuk mempertegas alasan yang diberikan, Paulus mengaitkannya dengan keberadaan anakanak (ay. 14b). Dalam konteks berpikir orang percaya, anak-anak termasuk dalam lingkup umat perjanjian. Mereka disunat (PL) atau dibaptis (PB) sejak kecil sebagai tanda bahwa mereka bagian dari umat perjanjian yang pasti akan diperlakukan Tuhan secara khusus. Sunat atau baptisan itu memang tidak menjamin keselamatan mereka (mereka perlu menyatakan iman secara pribadi), tetapi hal itu sudah cukup untuk memposisikan mereka secara khusus di hadapan Allah.

Jika anak-anak dipercaya adalah anak-anak kudus, bagaimana bisa ayah atau ibu mereka yang tidak percaya dianggap najis? Jika anak-anak sebagai hasil perkawinan adalah kudus, bukankah perkawinan itu sendiri seharusnya juga kudus? Kalau jemaat Korintus bersikeras bahwa hubungan dengan pasangan yang non-Kristen akan menjaniskan mereka, maka mereka harus konsisten untuk menganggap anak-anak mereka sebagai anak-anak cemar. Dari alasan yang diberikan Paulus terlihat bahwa ia sedang mengajarkan jemaat untuk tidak egois dengan kepentingan mereka sendiri (mengejar “kerohanian”) dan mengorbankan orang lain. Jika mereka mengupayakan perceraian, maka pasangannya yang non-Kristen tidak akan mendapat manfaat positif apapun dari keberadaannya. Sebaliknya, jika ia bertahan – walaupun hal itu sulit dan tidak nyaman bagi dirinya sendiri – maka ia telah memberikan hal positif bagi seluruh keluarga. #





Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 10 Mei 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2012-14.pdf

No comments: