28 April 2007

Matius 1:1-6 : THE GENEOLOGY-2


Ringkasan Khotbah : 01 Februari 2004

The Geneology (2)
oleh :Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 1:1-6




Pada umumnya orang tidak suka akan silsilah bahkan cenderung tidak peduli. Hal ini disebabkan karena: 1) orang tidak mengerti kegunaan silsilah sehingga menganggapnya tidak berarti, 2) orang tidak mengenal sebagian besar nama-nama yang tercantum dalam silsilah tersebut. Berbeda kalau kita mengenal setiap nama pastilah silsilah menjadi menarik. Matius menempatkan nama Abraham di posisi signifikan dari keseluruhan silsilah yang dicatatnya karena Matius ingin menegakkan kembali topik “Kerajaan Allah“, The Kingdom of Heaven. Dalam hal ini Matius tidak menggunakan istilah kerajaan Allah tetapi kerajaan surga karena orang Yahudi takut berdosa jika menyebut nama Allah dengan sembarang. Inilah ironisnya manusia yang mempunyai perasaan takut akan Tuhan tapi ketika rasa takut itu mulai hilang orang menjadi tidak peduli apapun.
Akan tetapi dunia modern mulai menampakkan gejala untuk bertindak secara hati-hati dalam melakukan apapun akibatnya orang cenderung untuk tidak berbuat apapun. Padahal berhati-hati dan tidak berbuat merupakan dua hal yang berbeda. Orang yang tidak menggunakan atau tidak melakukan apapun membuktikan satu hal, yaitu manusia ingin lari dari realita. Everything is empty, nothing but nothing, segala sesuatu hampa, manusia hidup di dalam kekosongan itulah yang diajarkan dunia modern sekarang. Dunia selalu memasukkan konsep nihilisme dalam kehidupan nyata seperti yang kita jumpai di dunia arsitektur dengan trend minimalis.
Istilah surga bagi setiap orang mempunyai pengertian berbeda-beda. Bagi orang Indonesia surga berbeda dengan Allah; surga adalah tempat Allah bertahta dan kaum Tionghoa biasa menyebut surga dengan “thien“ (langit). Namun kaum Tionghoa tidak memahami bahwa “thien“ mempunyai pribadi, yakni Tuhan yang berkuasa, Tuhan yang bisa marah ketika melihat umatNya melanggar perintah. Akibatnya mereka mengganti Tuhan yang berkepribadian tersebut dengan orang-orang yang dihormati maka muncullah penyembahan terhadap nenek moyang yang telah meninggal, seperti Kwan Im, Lao Tze, Konfusius, dll. Konsep ini sangat mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari maka wajarlah kalau mereka melihat surga seperti halnya di dunia; kalau di dunia orang punya rumah, uang, kendaraan, dll maka di surgapun demikian juga. Manusia sulit menerima konsep kekekalan dan kesementaraan.
Konsep “kerajaan“ yang dimaksudkan Matius dan yang dituliskannya dalam silsilah bukanlah bersifat sementara melainkan bersifat kekal. Silsilah tidak dapat dilepaskan dari sejarah yang berkait dengan kekekalan maka orang yang tidak mengerti silsilah pasti kehilangan konsep kekekalan. Semakin modern, dunia semakin tidak peduli silsilah bahkan ingin meniadakan silsilah dengan alasan sepele, yaitu tidak mau repot. Dengan kecanggihan teknologi sekarang, alasan tersebut sangatlah tidak masuk akal karena dibandingkan jaman dulu dimana orang harus berjalan berhari-hari hanya untuk mencatatkan diri masuk dalam silsilah menunjukkan mereka sangat menghargai pentingnya silsilah.
Matius ingin supaya para pembacanya tidak melihat silsilah hanya sekedar catatan urutan nama belaka tetapi di balik silsilah ada rencana kekal Allah, the geneology of the Kingdom of God. Hanya orang-orang tertentu yang dianggap Matius mempunyai integritas sempurna sajalah yang masuk dalam silsilah dan penulisan itupun bukan secara sembarangan; ada Roh Kudus yang memimpin. Maka bukanlah suatu kebetulan kalau Matius membagi silsilah Kristus menjadi 3 bagian dimana di setiap bagiannya ada 14 keturunan. Kata “memperanakkan“ dalam bahasa Indonesia tidak sama dengan “melahirkan anak“. Silsilah ditulis agar manusia mempunyai:
1. Kesadaran Sejarah Adanya kekekalan dalam sejarah seharusnya menyadarkan manusia bahwa pergerakan sejarah berada di bawah kendali Allah, yakni demi untuk menggenapkan kerajaanNya di dunia. Sampai hari ini orang Israel masih memperhatikan silsilah yang disebut toledoth. Secara struktur orang Israel sudah kehilangan silsilah sejak mereka dibuang ke Babel dan terserak lagi tahun 70 AD, yaitu ketika jenderal Titus menghancurkan orang Israel. Sejak itulah bangsa Israel mulai terpencar ke seluruh dunia hingga tahun 1948 mulai terbentuk kembali. Meskipun demikian bangsa Israel tidak pernah lupa sejarah, mereka tetap menyusun toledoth/silsilah. Itulah sebabnya ketika nama Abraham tertulis dalam silsilah, mereka langsung mengingat sejarah yang terjadi. Setiap nama menyadarkan kita: 1) Allah sedang menggenap-kan rencanaNya dan 2) manusia mengalami proses sejarah. Hanya manusia yang dapat menghubungkan antara waktu dengan kekekalan.
Dunia modern mulai dipengaruhi oleh filsafat rasionalistik bahwa tidak ada kehidupan lain setelah kematian. Akibatnya, manusia tidak takut akan pertanggung jawaban hidup sehingga manusia bertingkah laku dengan sembarangan. Manusia menurunkan derajatnya sedemikian rupa dan hampir sama seperti binatang. Maka muncullah filosofi humanimal gabungan dari kata human-animal, yakni menyamakan tingkah laku binatang seperti manusia dan sebaliknya. Pemikiran ini sangatlah rendah dan merusak moral manusia, itulah sebabnya orang sulit memahami konsep kekekalan. Hanya manusia, satu-satunya makhluk di dunia yang mempunyai kualitas moral yang terkait dengan proses kekekalan. Kalau kita menyadari akan hal ini maka kita tidak akan melewati hari dengan sia-sia. Alkitab membedakan antara kairos, yakni waktu yang berjalan begitu saja dan kronos, yakni ada makna di dalam waktu yang dilalui. Ingat, kita tidak dapat mengulang sejarah karena itu isilah setiap momen dengan hal-hal bermakna, yaitu demi untuk kemuliaanNya.
2. Kesadaran Ordo Kata “memperanakkan“ disini bukan berarti melahirkan anak. Kata “memperanakkan“ ditulis berulang; Abraham memperanakkan Ishak, Ishak memperanakkan Yakub, dst sehingga setiap nama disebut sebanyak dua kali, berarti ada meaning yang sangat besar. Ingat, setiap kata dalam Alkitab bukan ditulis secara sembarangan tapi setiap kata sarat dengan makna. Dari kata “memperanakkan“ kita dapat melihat posisi seseorang yang berkaitan dengan ordo/urutan struktur vertikal. Kita harus menyadari keberadaan posisi kita, yakni siapa yang berada di atas dan siapa yang berada di bawah dengan demikian kita tidak kehilangan posisi.
Manusia modern tidak suka dengan adanya ordo dan menggantinya dengan networking/jeja-ring yakni posisi yang sejajar. Manusia tidak suka diatur oleh siapapun juga bahkan Tuhan sekalipun; manusia hanya mau mengatur tapi tidak mau diatur. Seorang yang bijak adalah orang yang mau diatur sebelum ia mengatur orang lain. Andaikan, dunia mengerti konsep ordo dengan tepat maka pastilah seluruh tatanan dunia akan terjaga rapi. Namun, dunia tidak suka dengan adanya ordo dan kedaulatan akibatnya dunia makin menuju kehancuran. Hendaklah kita sebagai anak Tuhan sadar akan posisi kita; belajar tunduk pada orang yang berada di atas kita dan tidak semena-mena dengan mereka yang berada di bawah kita, seperti Daud tidak mau membunuh Saul meski ada kesempatan karena ia tahu bagaimanapun juga Saul adalah orang yang harus ia taati. Adanya ordo/urutan inilah yang membuat manusia tidak menyukai silsilah.
3. Kesadaran Pertanggung jawaban Hidup Adalah salah kalau orang menganggap kematian sebagai akhir dari segala-galanya. Tidak! Ada catatan yang harus dipertanggung jawabkan selama hidup kita di dunia; ada catatan sejarah yang membuktikan kalau kita pernah ada di dunia. Kalau kita ada di dunia, berarti tidak akan pernah dapat ditiadakan lalu bagaimana keberadaan kita menjadi sesuatu yang bermakna? Hanya manusia berakal budi yang dapat berpikir tentang “ada/being“ dan hal ini menjadi pergumulan manusia sejak abad pertengahan hingga kini. Para filsuf seperti Heidegger, Nietzsche, dll mengemukakan bahwa “ada“ berarti adanya sesuatu yang “tidak ada“.
“Keberadaan“ selalu menjadi perdebatan manusia di dunia karena manusia tidak dapat menghindar dari keberadaan dirinya. If you are exist and you always be exist, eternally exist. Alkitab menegaskan hidup tanpa makna seperti bunga rumput yang hari ini ada dan besok hilang (Yes. 5:24). Manusia berbeda dengan binatang ataupun rumput kering; keberadaan manusia tidak dapat dihilangkan atau dilupakan begitu saja, dia harus mempertanggung jawabkan setiap yang apa yang dilakukannya selama hidupnya di dunia. Sekali dia ada berarti dia sudah ada dalam sejarah dan silsilah akan mencatatnya sehingga setiap orang dapat melihat hidup kita. Hidup kita lebih mendekat pada kekudusan dan kesalehan ataukah lebih mendekat pada kerusakan moral; hidup kita hanya untuk mengejar keegoisan diri ataukah hidup yang menjadi berkat bagi banyak orang. Ingat, pertanggung jawaban hidup bukan hanya ada di dalam sejarah saja melainkan di dalam kekekalan.
4. Kesadaran ada Rencana Allah sejak Kekekalan Konsep kesadaran sejarah, kesadaran ordo dan kesadaran akan adanya pertanggung jawaban masih dapat diterima khalayak umum sebagai suatu realita termasuk orang ateis. Matius melihat silsilah dari sudut pandang masa lampau tapi orang hanya melihat atau menilai dari sudut luarnya saja seperti kesuksesan, kekayaan , jabatan, dll. Ada kesuksean lain yang tidak dapat dilihat manusia, yaitu bagaimana seseorang mempersiapkan hidupnya di dalam kekekalan. Silsilah bukan sekedar sebuah proses kebetulan dalam sejarah; silsilah tidak dapat dirancang atau direncanakan oleh manusia akan tetapi ada otoritas yang lebih tinggi yang mengharuskan silsilah terjadi. Manusia bisa memilih melawan atau taat kehendak Tuhan, seperti memilih sekolah, pekerjaan bahkan agama meskipun secara prinsip Alkitab hanya seseorang yang Tuhan pilih saja yang dapat melihat keselamatan kekal. Hanya satu hal, manusia tidak dapat memilih, yaitu tentang kelahirannya; orang tidak dapat memilih di keluarga siapa ia akan dilahirkan.
Melalui silsilah, kedaulatan Allah yang dinyatakan. Matius ingin menunjukkan bahwa keberadaan kita sudah ada dalam rencana kekal Allah. Tidak ada satu manusiapun yang berhak memilih tempat kelahirannya, termasuk Abraham, Ishak, Yakub, Yehuda, Peres dan nama-nama lain yang tercantum dalam silsilah Yesus Kristus (Mat. 1:1-17). Keberadaan mereka ditetapkan berdasarkan rencana kekal Allah begitu juga dengan perpanjangan umur Hizkia. Silsilah merupakan manifestasi bahwa Allah itu hidup dan Allah bekerja sehingga harus kita sadari keberadaan manusia di dunia bukan karena kebetulan tapi telah direncanakan. Dalam pergerakan sejarah, manusia hanya ada dua pilihan, sebagai pemeran utama atau hanya figuran. Dalam sejarah kerajaan Allah kita harus mengerti dan memahami silsilah sebagai rencana kekal Allah. Dimanakah posisi kita, sebagai pemain utama atau hanya sekedar figuran yang sekedar lewat dan kemudian dilupakan? Ingat, hidup manusia di dunia sangat terbatas maka celakalah kalau kita gagal menghubungkan antara keberadaan kita dengan rencana kekal Allah. Bertobatlah kerajaan Allah sudah dekat.
5. Kesadaran Iman Silsilah kerajaan Allah tidak disusun berdasarkan silsilah lahir. Hanya anak Tuhan yang beriman sejati saja yang dicantum dalam injil Matius; mereka dianggap mempunyai catatan sejarah yang sempurna. Puji Tuhan, Alkitab mencatat sejarah iman secara mendetail sehingga kita dapat meneladaninya. Orang yang mengerti kehendak Tuhan adalah orang yang mempunyai iman yang sejati. Alkitab mencatat berbahagialah engkau yang pergi memberitakan kabar baik sehingga orang dapat percaya; kita akan mendapatkan sukacita sejati ketika ada satu orang bertobat. Karena itu kita harus pergi untuk melaksanakan amanat Agung yang Kristus perintahkan (Mat. 28:19-20) maka silsilah kerajaan Allah tidak akan musnah. Silsilah yang bermakna bukanlah silsilah yang ada nama kita di dunia tapi silsilah sejati adalah ketika ada nama kita di kerajaan Allah.
Kalau kita berada dalam kesadaran iman, mengerti iman yang sejati dan kita tahu berada dalam jalur rencana kekal Allah maka tugas dan tanggung jawab kitalah untuk melanjutkan silsilah kerajaan Allah di dunia. Kesadaran inilah yang membuat Yohanes Pembaptis bisa berkata, “Bertobatlah kerajaan Allah sudah dekat“ dan Tuhan Yesus memberikan amanat AgungNya sehingga silsilah kerajaan Allah tidak berhenti begitu saja. Masih banyak orang di dunia yang hidup dalam kehancuran dan tidak berpengharapan, itu menjadi tugas kita sebagai orang Kristen membawa mereka kepada pengharapan sejati dalam Tuhan. Betapa sukacita hati kita jika melalui kita orang boleh diselamatkan dan hidup kita menjadi berkat bagi banyak orang. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber :
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2004/20040201.htm

Roma 1:16-17 : INJIL : KUASA ALLAH YANG MENYELAMATKAN dan MEMIMPIN IMAN

Seri Eksposisi Surat Roma :
Hamba Kristus dan Fokus Injil-5


Injil : Kuasa Allah yang Menyelamatkan dan Memimpin Iman

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 1:16-17



Setelah kita merenungkan dua ayat sebelumnya, yaitu di ayat 14-15, tentang dua kerinduan Paulus yaitu mengasihi jiwa dan memberitakan Injil, maka selanjutnya di ayat 16—17, Paulus mengajarkan, “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: "Orang benar akan hidup oleh iman.” Di dalam kedua ayat ini, Paulus menjelaskan alasan mengapa di ayat 15, ia berkeinginan untuk memberitakan Injil kepada jemaat di Roma, yaitu karena Injil adalah kekuatan Allah. Di dalam ayat 16, Paulus dengan berani memproklamasikan bahwa dirinya tidak malu akan Injil (KJV : “For I am not ashamed of the gospel of Christ”). Terjemahan King James Version ini lebih sesuai dengan naskah aslinya di mana kata ashamed dalam naskah Yunaninya, epaischunomai yang berarti to feel shamed for something. Sungguh menarik sekali akan apa yang Paulus nyatakan, mengingat dulunya Paulus adalah seorang yang membenci Kristus dan para pengikut-Nya. Tetapi setelah dirinya diperbaharui oleh-Nya, ia tidak lagi malu akan Injil bahkan rela mati demi Injil. Inilah jiwa seorang hamba Kristus. Di dalam zaman postmodern ini, banyak sekali orang “Kristen” yang menamakan diri pengikut “Kristus” tetapi herannya tidak suka membicarakan dan memberitakan tentang Injil, salah satunya adalah karena malu. KeKristenan menurut mereka hanya salah satu agama di antara banyak agama, sehingga tidak keunikan dan finalitasnya. Tidak heran, mengapa di abad postmodern yang “memutlakkan” kerelatifan, jiwa membawa dan memberitakan Injil menjadi berkurang di kalangan banyak orang “Kristen” apalagi mereka yang mengklaim diri dengan bangganya sedang “melayani tuhan” ?! Benarkah seorang yang aktif di dalam gereja dan terlibat di dalam “pelayanan” tidak lagi mau memberitakan Injil ? Tentu tidak benar. Mereka boleh saja mengklaim diri sedang “melayani tuhan”, tetapi sebenarnya yang mereka layani adalah diri mereka sendiri, sama sekali bukan Tuhan, mengapa ? Karena seorang yang melayani Tuhan menempatkan diri di bawah Tuhan, menjadi hamba/budak-Nya yang siap diperintah oleh Sang Tuan, yaitu Tuhan Yesus sendiri. Kita harus dan perlu belajar semangat menjadi hamba dari teladan Paulus yang menghambakan diri secara total kepada Kristus dan men-Tuhan-kan Kristus, sehingga ia tidak malu sedikitpun akan Injil. Paulus tahu di mana titik keunikan dan finalitas Injil, sehingga ia tidak malu akan finalitas Injil yang ia beritakan. Berbeda total dengan banyak orang “Kristen” yang hari-hari tidak berbeda dengan orang-orang dunia yang merelatifkan segala sesuatu termasuk merelatifkan Kebenaran di dalam Kristus dan Alkitab.

Titik finalitas Injil yang dipercaya oleh Paulus, dipaparkannya di dalam pernyataan, “karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.” Injil bukan membuat orang sakit menjadi sembuh, atau membuat orang miskin menjadi kaya, atau bahkan membantu orang-orang miskin, itu sama sekali bukan Injil, tetapi “injil” murahan/palsu yang Paulus kutuk habis di dalam Galatia 1:6-10. Injil Kristus sejati yang Paulus tekankan tetap berintikan kepada Kristus, karya pengorbanan-Nya di kayu salib dan pengampunan serta penebusan dosa. Injil tidak boleh dipisahkan dengan penebusan dan karya Kristus. Di dalam pernyataan ini, Paulus mengartkan Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan. Mari kita merenungkan dua prinsip penting di dalam pernyataan ini. Pertama, Injil adalah kekuatan Allah. Kata “Injil” dalam bahasa Yunani euaggelion yang berarti good message atau kabar sukacita/baik dan kata “kekuatan” diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, power dan dalam bahasa Yunani, dunamis yang dapat diterjemahkan mighty, miracle, power, ability, dll. Ini berarti Injil yang berarti kabar sukacita itu adalah kekuatan/kuasa Allah sendiri. Mengapa disebut kuasa Allah ? Karena di dalam Injil, Allah menyatakan kedaulatan-Nya yang melampaui logika yaitu mengutus Kristus yang bernatur 100% Allah dan 100% manusia (bandingkan Roma 1:3-4). Logika ini benar-benar tidak masuk akal di mata dunia, karena apa yang Allah anggap baik selalu dianggap tidak baik oleh manusia, itu namanya supralogika (atau melampaui logika manusia). Selain penciptaan, Allah memakai sarana Injil sebagai kuasa-Nya, sehingga tidak ada hal yang perlu ditambahkan untuk melengkapi apa yang telah Allah sediakan. Dengan kata lain, Injil saja sudah cukup tidak perlu ditambahi oleh buku-buku atau kitab-kitab “suci” manapun untuk menyatakan keseluruhan Pribadi Allah. Itulah finalitas Injil yang berkuasa. Tetapi Injil yang berkuasa tidak berhenti sampai di sini, maka dari itu Paulus melanjutkan pernyataan bahwa Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan (poin kedua). Maksud Injil diberikan bukan untuk menyombongkan diri, tetapi untuk menyelamatkan. Injil itu diberikan oleh Allah melalui anugerah-Nya untuk membawa manusia pilihan-Nya yang sudah berdosa kembali direkatkan hubungannya dengan Allah yang Mahakudus. Matthew Henry di dalam tafsirannya Matthew Henry’s Concise Commentary menyatakan, “In these verses the apostle opens the design of the whole epistle, in which he brings forward a charge of sinfulness against all flesh; declares the only method of deliverance from condemnation, by faith in the mercy of God, through Jesus Christ; and then builds upon it purity of heart, grateful obedience, and earnest desires to improve in all those Christian graces and tempers, which nothing but a lively faith in Christ can bring forth.” Matthew Henry mengajarkan dan mengingatkan kita bahwa satu-satunya jalan kita dibebaskan dari belenggu kutuk dosa adalah melalui iman di dalam anugerah Allah, melalui Yesus Kristus. Itulah Injil Kristus sejati membawa manusia pilihan-Nya yang sudah jatuh ke dalam dosa untuk direkatkan kembali hubungannya dengan Allah yang Mahakudus. Kristus itu satu-satunya jalan. Sekali lagi, fokus Injil sejati adalah Kristus, sedangkan “injil-injil” palsu berfokus kepada manusia dan tentunya ide di baliknya adalah setan sebagai bapa pendusta. Setiap Injil yang tidak berfokus kepada Kristus, pasti 100% bukan Injil tetapi “injil” palsu dan setiap pengajar “injil” palsu selalu mencari keuntungan dan kemuliaan bagi diri sendiri (Galatia 1:10). Renungkanlah hal ini. Injil sejati membawa manusia mengenal Allah yang sejati di dalam Kristus melalui karya Roh Kudus. Injil sejati memerdekakan manusia dari dosa, sebagaimana Tuhan Yesus berfirman, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yohanes 8:31-32) Kembali, oleh Paulus, di dalam 2 Timotius 1:10, ia menyatakan bahwa kuasa Injil, “telah mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa.” Inilah kekekalan sifat Injil Kristus. Injil bukan saja mematahkan kuasa maut tetapi mendatangkan hidup yang kekal, sebagaimana Kristus sendiri berfirman di dalam Yohanes 3:16, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Injil Kristus menjamin setiap manusia pilihan-Nya yang percaya di dalam-Nya tidak binasa selama-lamanya. Inilah jaminan keselamatan anak-anak Tuhan yang kekal dan tidak dapat hilang. Itulah sebabnya di dalam theologia Reformed, Calvin mengajarkan bahwa keselamatan di dalam Kristus tidak dapat hilang. Karena theologia Reformed sangat mempercayai providensia Allah melalui janji-Nya yang memelihara setiap orang pilihan-Nya yang percaya di dalam-Nya. Mengapa Injil juga bisa mendatangkan hidup yang kekal ? Karena Injil adalah kekuatan Allah. Kalau Injil itu kekuatan Allah, maka otomatis Allah yang Kekal juga menjamin setiap anak-anak-Nya pasti memperoleh hidup kekal bersama-Nya karena mempercayai Injil tersebut.

Kemudian, pada pernyataan selanjutnya di ayat 16, Paulus menjelaskan siapa yang diselamatkan oleh Injil, yaitu mereka yang percaya baik orang Yahudi maupun orang Yunani. Lalu, mungkin di dalam benak kita muncul pertanyaan, mengapa hanya dua macam golongan orang yang muncul di dalam pernyataan ini ? Kembali, kita harus melihat konteks di kota Roma yang terdiri dari mayoritas kedua orang dari bangsa ini. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mengganti kata “juga orang Yunani” dengan kata, “dan bangsa lain juga.” Perhatikan urutannya. Paulus mengungkapkan bahwa Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan pertama-tama : orang Yahudi baru kedua : orang-orang dari bangsa lain. Mengapa harus orang-orang Yahudi dahulu ? Karena keselamatan memang diperuntukkan terlebih dahulu bagi orang-orang Yahudi yang telah menerima Taurat. Taurat adalah penyataan diri Allah yang menjadi teladan dan pemimpin moral, etika, dll bagi umat Israel, tetapi melalui Taurat, mereka bukannya tidak sadar akan keberdosaan dan kelemahan mereka, malahan membanggakan diri sebagai ahli Taurat yang sudah menghafal Taurat, tetapi tidak menjalankannya. Oleh karena itu, di dalam Matius 23, dengan sengit Tuhan Yesus melawan dan menegur kemunafikan banyak ahli Taurat dan orang Farisi yang mengaku menghafal Taurat, tetapi perbuatannya tidak sesuai dengan Taurat. Di dalam rencana Allah, Ia tahu bahwa meskipun Taurat diberikan sebagai penuntun moral dan etika bangsa Israel, tidak ada satu orangpun yang sanggup menjalankannya, oleh karena itu, Bapa mengutus Kristus sebagai satu-satunya wakil untuk menggenapkan seluruh hukum Taurat supaya kebenaran Kristus dapat dilimpahkan kepada kita sehingga kita pun dapat dibenarkan melalui iman di dalam karya Kristus. Paulus sangat mengasihi orang Yahudi karena dulunya ia adalah penganut Yudaisme yang kolot. Inilah hutang Injil yang ia ungkapkan di dalam Roma 1:14. Ia sangat berhutang Injil khususnya kepada orang-orang Yahudi yang belum mendengar tentang Injil, padahal Injil itu yang dinubuatkan dan ditunjukkan oleh Taurat dan kitab-kitab Perjanjian Lama. Kedua, Paulus juga berkata bahwa Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan orang-orang Yunani atau bangsa lain juga. Ini berarti wilayah kuasa Allah di dalam Injil tidak terbatas hanya bagi orang-orang Yahudi saja, tetapi juga orang-orang dari bangsa lain yang percaya. Mungkin sekali lagi kita bertanya, “Apakah orang itu harus percaya terlebih dahulu akan Injil, baru Injil itu menyelamatkan dirinya ?” Tentu, pertanyaan ini timbul dari ajaran Arminianisme yang menitikberatkan pada kehendak bebas manusia. Pertanyaan ini tidak patut untuk dipertanyakan, karena jelas, jawabannya tidak. Urutan di dalam ayat ini sangat jelas, Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya. Bukan karena percaya dahulu, baru Injil menyelamatkan, tetapi Injil dahulu yang berkuasa menyelamatkan umat pilihan-Nya setelah Roh Kudus melahirbarukan mereka, baru mereka dapat meresponi berita Injil dengan bertobat dan percaya di dalam-Nya. Lalu, siapakah “orang yang percaya” di dalam ayat ini ? Apakah orang yang percaya adalah orang-orang yang tiba-tiba percaya di dalam-Nya atas kesadaran sendiri ? Tidak. “Orang yang percaya” dalam ayat ini sama dengan pernyataan “orang yang percaya kepada-Nya” di dalam Yohanes 3:16 di mana kata “percaya” sama-sama menggunakan bahasa Yunani pisteuō yang berarti mempercayakan diri ke dalam. Orang yang percaya jika dikaitkan dengan Yohanes 3 secara keseluruhan maka orang yang percaya pasti berarti orang-orang yang diperanakkan dari Allah atau orang-orang yang telah dipilih oleh Allah sebelumnya. Orang percaya tidak bisa dilepaskan dari umat pilihan-Nya, karena tidak mungkin orang dapat beriman di dalam Kristus tanpa Allah sendiri yang pertama kali berinisiatif mengerjakan seluruh proses keselamatan, dengan mengefektifkan karya penebusan Kristus di dalam hati umat pilihan-Nya melalui tindakan aktif Roh Kudus. Sehingga kuasa Injil hanya berlaku efektif bagi umat-umat pilihan-Nya yang pasti beriman di dalam-Nya.

Kedua, apakah kuasa Injil hanya berhenti pada kuasa untuk menyelamatkan saja ? Tidak. Pada ayat 17, Paulus mengungkapkan, “Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: "Orang benar akan hidup oleh iman."”Kuasa Injil tidak berhenti hanya untuk menyelamatkan tetapi memimpin iman. Paulus mengungkapkan bahwa di dalam Injil dan Injil itu sendiri adalah kebenaran Allah. Kata “kebenaran” diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dikaiosunē yang berarti pembenaran/justification. Apakah kebenaran atau pembenaran Allah itu ? Terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) di dalam ayat 17 ini mengartikan, “Sebab dengan Kabar Baik itu Allah menunjukkan bagaimana caranya hubungan manusia dengan Allah menjadi baik kembali; caranya ialah dengan percaya kepada Allah, dari mula sampai akhir. Itu sama seperti yang tertulis dalam Alkitab, "Orang yang percaya kepada Allah sehingga hubungannya dengan Allah menjadi baik kembali, orang itu akan hidup!"”Pembenaran Allah yang dimaksud adalah bagaimana cara Allah merekatkan hubungan manusia dengan-Nya melalui Kristus yang di dalamnya kita harus percayai dan taati secara mutlak dari awal sampai akhir. Itulah yang Injil kerjakan yaitu membenarkan manusia berdosa melalui karya Allah Anak dan juga memimpin iman. Di sini, Paulus mengaitkan konsep kebenaran/pembenaran Allah dengan konsep iman. Iman sejati tidak bisa dilepaskan dari kebenaran/pembenaran Allah. Dengan kata lain, iman harus terus-menerus berpaut kepada dan berada di dalam kebenaran Allah (Kristus) sebagai Obyek sekaligus Subyek Iman. Saya memberikan dua istilah bagi Tuhan yaitu sebagai Subyek dan Obyek Iman. Hal ini sesuai dengan pemaparan Paulus di dalam ayat 17 ini, di mana kebenaran Allah memimpin iman yang mula-mula kepada iman pada akhirnya. Di sini ada perjalanan iman. Pdt. Dr. Stephen Tong memberikan empat macam iman, yaitu pertama, iman natural (benih iman yang telah Allah tanamkan di dalam diri setiap orang tanpa kecuali), kedua, iman di dalam Kristus Yesus (iman eksklusif bagi umat pilihan-Nya), ketiga, karunia iman di dalam pelayanan, dan keempat, iman yang bergantung kepada Tuhan. Nah, di dalam ayat 17 ini, iman yang dimaksudkan tentu iman macam kedua. Allah adalah Pemberi atau Sumber/Subyek Iman yang memberikan iman sejati di dalam Kristus kepada umat pilihan-Nya. Ini berarti iman adalah anugerah Allah, sesuai jawaban dari pertanyaan Katekismus Singkat Westminster pasal 86 tentang “Apakah yang dimaksud dengan iman di dalam Yesus Kristus ?” yang mengatakan, “Iman di dalam Yesus Kristus adalah suatu anugerah yang menyelamatkan, yang dengannya kita menerima dan bersandar hanya kepada-Nya untuk keselamatan, sebagaimana yang Dia tawarkan kepada kita di dalam Injil.” Iman bukan hasil usaha kita sendiri, tetapi anugerah Allah. Starr Meade di dalam bukunya “Membentuk Hati, Mendidik Akal Budi” mengajarkan, “Allah menghendaki kita untuk beriman kepada Tuhan Yesus Kristus agar terhindar dari kutuk yang layak diterima dosa kita. Apa yang telah Yesus lakukan untuk menggantikan kita itulah yang menyelamatkan kita. Iman adalah cara kita untuk menggapai dan menerima bagi diri kita sendiri apa yang telah dilakukan-Nya. Iman di dalam Kristus bukanlah sesuatu yang kita kerjakan sendiri. Seandainya demikian, pasti kita dapat berkata bahwa kita selamat oleh karena sesuatu yang kita lakukan. Iman di dalam Kristus adalah karunia dari Allah... Allah menuntut iman dari kita, kemudian Dia sendirilah yang mengaruniakan iman itu supaya kita dapat terlepas dari kutuk-Nya.” (Meade, 2004, halaman 383) Iman ini mengakibatkan anak-anak-Nya tidak terlebih dahulu berusaha keras untuk menggapai iman dan perkenanan Allah, tetapi menyerahkan keseluruhan hidup mereka kepada Tuhan yang menganugerahkan iman. Dengan kata lain, di dalam tahap iman awal/mula-mula ini, Allah bertindak aktif 100% menganugerahkan iman dan manusia pilihan-Nya bertindak pasif 100% hanya sebagai penerima anugerah iman dari Allah. Mengapa manusia pilihan-Nya harus bertindak pasif 100% ? Karena mereka tidak pernah sanggup dapat melepaskan diri dari dosa apalagi dapat memilih iman yang benar di dalam Kristus. Kerusakan total manusia mengakibatkan manusia tidak dapat memiliki keinginan dan motivasi yang beres dan memuliakan Allah. Hati, pikiran, keinginan, emosi, perkataan, sikap dan seluruh keberadaan mereka rusak total akibat dosa seperti noda teh atau minuman soda yang mengenai baju yang kita pakai. Kalau kita mau membersihkan noda kotor di baju kita, apakah baju itu dapat membersihkan dirinya sendiri ? TIDAK. Hanya sesuatu atau Pribadi di luar baju itu yang dapat melakukannya, itulah manusia yang menggunakan deterjen pemutih untuk menghilangkan noda tersebut. Demikian pula, noda itu adalah dosa dan baju itu adalah diri kita. Apakah mungkin jika baju itu dapat membersihkan noda yang menempel padanya ? Tidak. Demikian juga, manusia yang berdosa tidak mungkin dapat lepas dari masalah dosanya. Satu-satunya jalan keluar adalah membiarkan Allah menganugerahkan iman kepada kita di dalam Kristus yang telah menebus dan menyelamatkan kita dari dosa. Inilah yang saya sebut sebagai tindakan manusia pilihan-Nya yang pasif (tindakan manusia hanya pasif menerima). Lalu, apakah iman hanya berhenti sampai di sini saja ? Tidak. Karena iman bukan saja berhenti pada iman yang merupakan anugerah Allah untuk keselamatan, tetapi iman itu terus bertumbuh. Itu adalah pertumbuhan iman. Iman yang terus berhenti hanya di tataran untuk keselamatan dari dosa saja, itu bukan iman yang bertumbuh. Iman yang bertumbuh adalah iman yang berada di dalam proses terus-menerus bersama dan di dalam jalur Allah melalui firman dan Roh-Nya yang kudus. Di sini, saya mengaitkan konsep progressive faith dengan progressive sanctification and progressive knowledge in Christ. Iman yang terus-menerus pasti berkait dengan pengudusan terus-menerus ditambah pengetahuan terus-menerus di dalam Kristus (progressive knowledge in Christ). Iman yang bertumbuh adalah iman yang terus-menerus menghendaki hidup kudus sebagaimana Allah yang memanggil umat-Nya adalah Allah yang Kudus, dan kemudian, iman itu juga bertumbuh di dalam pengetahuan yang melimpah di dalam Kristus. Aspek afeksi dan rasio harus berjalan secara seimbang di dalam iman yang bertumbuh. Pertumbuhan iman inilah yang diajarkan oleh Paulus di dalam suratnya kepada jemaat di Efesus pasal 4 ayat 13-15, “sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” Kata “iman” baik di dalam Roma 1:17 dan Efesus 4:13 memiliki arti yang sama di mana kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani pistis yang berarti kesetiaan/fidelity. Jadi, iman yang bertumbuh sama dengan sebuah kesetiaan yang terus-menerus kepada Allah dan firman-Nya sehingga, kata Paulus, kita tidak mudah diombang-ambingkan oleh angin pengajaran yang menyesatkan kita, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih yang bertumbuh di dalam Kristus sebagai Kepala.Melalui Efesus 4:13-15, kita belajar beberapa aspek dari iman yang bertumbuh, yaitu pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh yang bertumbuh dan adanya kasih. Aspek pengetahuan (knowledge) tidak pernah dihilangkan dari konsep pertumbuhan iman, tetapi herannya banyak gereja kontemporer yang pop justru menghilangkannya dan mengatakan bahwa “roh kudus” melawan rasio. Iman yang bertumbuh tanpa melibatkan unsur penundukkan pengetahuan kita di bawah Kristus (pengetahuan yang benar tentang Kristus), maka iman itu pasti berhenti dan seperti iman anak-anak yang selalu ingin minum susu (suka hal-hal yang mudah dimakan/diserap, tetapi tidak mau makanan yang keras sebagai gizi untuk bertumbuh). Tetapi tidak berarti iman yang bertumbuh hanya berhubungan dengan pengetahuan yang bertumbuh, melainkan juga berhubungan dengan afeksi rohani yang terus bertumbuh. Afeksi ini meliputi kekudusan rohani kita, peka terhadap gerakan Roh Kudus yang mencerahkan hati dan pikiran kita, dll yang memimpin kita untuk tumbuh dewasa di dalam iman di dalam Kristus. Afeksi ini dapat dibuktikan tatkala kita menghadapi penderitaan, penganiayaan, pengucilan dari masyarakat, penghinaan, pemfitnahan, dll. Di situlah baru kita dapat merasakan bahwa iman kita dapat bertumbuh, tatkala kita peka akan gerakan Roh-Nya yang memimpin hati dan pikiran kita untuk tetap taat dan setia kepada-Nya. Di dalam afeksi yang bertumbuh, ada penundukkan diri secara mutlak di bawah Kristus, sehingga iman kita dapat terus bertumbuh dan kita terus-menerus menjadi sempurna menuju ke arah Kakak Sulung kita, Tuhan Yesus Kristus. Lalu, apakah di dalam iman “tahap” kedua ini mengandung 100% unsur jasa baik manusia ? TIDAK. Iman selama-lamanya tetap adalah anugerah Allah. Tetapi pada “tahap” kedua dari iman ini, iman dapat bertumbuh melalui pengenalan akan Allah dan firman-Nya. Dengan kata lain, manusia tidak lagi pasif dikontrol oleh Allah seperti robot, tetapi manusia bertindak aktif beriman di dalam-Nya, setia kepada-Nya sesuai pimpinan dan tuntunan dari Roh Allah dan Firman-Nya. Di sini, ada tanggung jawab manusia (pilihan-Nya), meskipun tidak berarti iman pada “tahap” pertama tidak menuntut tanggung jawab manusia. Ini yang saya sebut sebagai Tuhan sebagai Obyek Iman (tempat di mana kita melabuhkan iman kita satu-satunya).
Oleh karena itulah, di akhir ayat ini, Paulus menyimpulkan, “Orang benar akan hidup oleh iman.” Siapakah “orang benar” di dalam kesimpulan ini ? Tentu mereka yang sudah dibenarkan Allah di dalam Kristus (umat pilihan-Nya), sehingga mereka pasti dapat hidup oleh iman. Mengapa mereka bisa hidup oleh iman ? Tentu karena Allah yang memimpin dan menuntun hidup mereka sehingga mereka tetap beriman. Adam Clarke di dalam Adam Clarke’s Commentary on the Bible memaparkan dua arti dari pernyataan “orang benar akan hidup oleh iman” yaitu, pertama, “That the just or righteous man cannot live a holy and useful life without exercising continual faith in our Lord Jesus: which is strictly true; for He only who has brought him into that state of salvation can preserve him in it; and he stands by faith.” Dan kedua, “It is contended by some able critics that the words of the original text should be pointed thus: ‘ο δε δικαιος εκ πιστεως, ζησεται. The just by faith, shall live; that is, he alone that is justified by faith shall be saved: which is also true; as it is impossible to get salvation in any other way.” Dalam pengertian pertama, “orang benar akan hidup oleh iman” berarti orang benar tidak dapat hidup kudus atau memiliki kehidupan yang berarti jika tidak melatih iman yang terus-menerus di dalam Tuhan kita Yesus. Jadi, iman yang tidak bertumbuh tidak mungkin menghasilkan kekudusan hidup dan makna hidup sejati. Seperti yang sudah saya kemukakan di atas, bahwa iman yang bertumbuh adalah iman yang salah satunya berhubungan dengan pengudusan terus-menerus. Dalam pengertian kedua, Adam Clarke memaparkan bahwa sebenarnya terjemahan ini bukan “orang benar akan hidup oleh iman” tetapi “orang benar oleh iman akan hidup” sebagaimana Habakuk 2:4 memaparkan, “tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya.” Jadi, intinya bukan hidup oleh iman, tetapi orang benar oleh iman dapat hidup (dan diselamatkan). Orang benar dapat hidup ketika beriman, sedangkan jika mereka tidak beriman, mereka pasti tidak dapat hidup, karena iman sesungguhnya bukan kepercayaan diri tetapi mempercayakan diri dan setia kepada Allah sebagai satu-satunya Sumber Hidup. Albert Barnes di dalam Albert Barnes’ Note on the Bible memaparkan, “In Habakkuk this means to be made happy, or blessed; shall find comfort, and support, and deliverance. So in the gospel the blessings of salvation are represented as life, eternal life. Sin is represented as death, and man by nature is represented as dead in trespasses and sins, Eph 2:1. The gospel restores to life and salvation, Joh 3:36; Joh 5:29, Joh 5:40; Joh 6:33, Joh 6:51, Joh 6:53; Joh 20:31; Act 2:28; Rom 5:18; Rom 8:6.” Hidup ini berarti hidup yang diberkati dan bersukacita, menemukan kenyamanan. Jadi, ketika orang benar oleh imannya dapat hidup berarti orang itu oleh imannya dapat menemukan kesukacitaan sejati, berkat sejati, kedamaian sejati dan hidup kekal. Inilah efek/akibat iman yang didapatkan oleh umat pilihan-Nya ketika mereka sungguh-sungguh beriman di dalam Kristus. Mereka mungkin sering mengalami aniaya karena nama Kristus, tetapi mereka tetap bersukacita di dalam iman mereka yang tidak bisa digantikan oleh kesuksesan materi atau kesenangan duniawi lainnya.

Hari ini, sudahkah kita menemukan Subyek dan Obyek iman sejati sehingga kita dapat hidup di dalamnya ? Sudahkah iman kita bertumbuh dan dibangun di atas Kristus dan firman-Nya ? Maukah kita kembali kepada Kristus saat ini, mengenal-Nya dan memuliakan-Nya melalui hati, pikiran, perkataan dan perbuatan kita yang telah dikuduskan-Nya ? Amin.

TANGGAPAN SINGKAT TERHADAP BUKU "MISQUOTING JESUS"--penulis : Bart D. Ehrman (oleh : Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

TANGGAPAN SINGKAT TERHADAP BUKU “MISQUOTING JESUS” (penulis : BART D. EHRMAN)

oleh : Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



ISI BUKU SECARA UMUM
Sebenarnya tidak ada yang baru dalam buku ini. Sudah banyak theolog yang menyusun buku sejenis, walaupun sikap mereka cenderung berbeda dengan Ehrman. Tetapi tekad Ehrman untuk membawa isu ini ke level jemaat awam dapat dikategorikan sebagai hal baru.

Secara sederhana, Ehrman ingin menunjukkan Alkitab tidak bisa diandalkan. Alasan yang diangkat ada dua. Pertama, para penulis naskah asli Alkitab (autografa) kemungkinan melakukan beberapa kesalahan. Kedua, para penyalin Alkitab melakukan berbagai kesalahan/pengubahan, baik yang disengaja maupun tidak. Di antara dua alasan tersebut, Ehrman hanya memfokuskan pada alasan yang kedua.

Alur berpikir Ehrman dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Yang disebut firman Allah adalah autografa Alkitab.
2. Autografa sudah tidak ada lagi.
3. Yang tersisa adalah salinan-salinan Alkitab yang saling berbeda.
4. Usaha untuk menentukan autografa berdasarkan perbandingan salinan-salinan tidak bisa diandalkan.

Kesimpulan : Alkitab sekarang bukanlah firman Allah yang tidak bisa salah.


ANALISIS KRITIS
Kita perlu mengakui pandangan Ehrman bahwa yang disebut firman Allah yang tidak mungkin salah memang hanya terbatas pada autografa Alkitab. Salinan, terjemahan ataupun tafsiran kadangkala menunjukkan beberapa kesalahan. Dia juga benar bahwa autografa Alkitab sudah tidak ada lagi (salinan Perjanjian Baru tertua yang kita miliki ditulis tahun 125 M). Dia juga benar soal ribuan salinan yang saling berbeda. Sayangnya, Ehrman tidak mampu mengambil kesimpulan yang benar dari hal-hal tersebut.

Tidak adanya autografa Alkitab seharusnya tidak boleh terlalu meresahkan kita. Pertama, semua buku kuno—baik yang dianggap kitab suci maupun buku sekuler—yang pernah ada di dunia ini sudah tidak memiliki autografa lagi. Kita hanya memiliki salinan-salinannya saja. Seandainya Alkitab diragukan hanya gara-gara tidak menyisakan autografa, maka sikap yang sama seharusnya diterapkan pada semua kitab yang lain.

Kedua, dibandingkan dengan buku-buku kuno lain yang juga tidak memiliki autografa, salinan-salinan Alkitab justru lebih bisa dipercaya. Para cendekiawan biasanya menerapkan uji kualitas yang disebut bibliographical test. Berdasarkan kriteria ini, suatu buku kuno dianggap bisa dipercaya kalau memiliki salinan-salinan :
1. Yang jarak waktu antara penyalinan dengan penulisan aslinya semakin dekat. Semakin dekat dengan waktu penulisan maka salinan tersebut mengalami proses penyalinan yang jumlahnya semakin sedikit, sehingga jumlah kesalahan yang ditimbulkan dari penyalinan tersebut juga relatif lebih sedikit.
2. Yang jumlahnya banyak. Dengan memiliki jumlah salinan yang banyak maka kita memiliki banyak bahan/pertimbangan untuk menentukan mana yang lebih sesuai dengan autografa.

Hasil penerapan bibliographical test terhadap Perjanjian Baru dan buku-buku kuno lainnya menunjukkan bahwa salinan Perjanjian Baru memiliki jarak waktu yang terpendek dengan waktu penulisannya. Salinan Perjanjian Baru juga memiliki jumlah yang paling banyak. Lihat penjelasan di bawah ini :
· Buku Iliad ditulis oleh Homer pada tahun 800 SM (salinan tertua : c. 400 SM ; interval waktu : c. 400 tahun ; jumlah salinan : 643).
· Buku History ditulis oleh Herodotus pada tahun 480-425 SM (salinan tertua : c. 900 M ; interval waktu : 1350 tahun ; jumlah salinan : 8).
· Buku History ditulis oleh Thucydides pada tahun 460-400 SM (salinan tertua : c. 900 M ; interval waktu : c. 1300 tahun ; jumlah salinan : 8).
· Buku yang ditulis oleh Plato pada tahun 400 SM (salinan tertua : c. 900 M ; interval waktu : c. 1300 tahun ; jumlah salinan : 7).
· Buku yang ditulis oleh Demosthenes pada tahun 300 SM (salinan tertua : c. 1100 M ; interval waktu : c. 1400 tahun ; jumlah salinan : 200)
· Buku Gallic Wars ditulis oleh Caesar pada tahun 100-44 SM (salinan tertua : 900 M ; interval waktu : c. 1000 tahun ; jumlah salinan : 10)
· Buku History of Rome ditulis oleh Livy pada tahun 59 SM-17 M (salinan tertua : abad IV (partial), abad X (mostly) ; interval waktu : c. 400 tahun (partial), c. 1000 tahun (mostly) ; jumlah salinan : 1 partial, 19 copies).
· Buku Annals ditulis oleh Tacitus pada tahun 100 M (salinan tertua : c. 1100 M ; interval waktu : c. 1000 tahun ; jumlah salinan : 20)
· Buku Natural History ditulis oleh Pliny Secundus pada tahun 61-113 M (salinan tertua : c. 850 M ; interval waktu : c. 750 M ; jumlah salinan : 7)
· Perjanjian Baru ditulis pada tahun 50-100 M (salinan tertua : c. 114 (fragmen), c. 200 (buku), c. 250 (mostly), c. 325 (lengkap) ; interval waktu : +50 tahun (fragmen), 100 tahun (buku), 150 tahun (mostly), 225 tahun (lengkap) ; jumlah salinan : 5366)


Kita bisa menyimpulkan, seandainya Perjanjian Baru diragukan hanya gara-gara tidak memiliki autografa, maka kita juga harus meragukan semua buku kuno yang lain, karena kualitas dan jumlah salinan mereka mereka sangat jauh di bawah salinan-salinan Perjanjian Baru. Sekali lagi, yang terpenting bukanlah memiliki autografa atau tidak, namun seberapa bagus dan banyak salinan yang kita miliki.

Ketiga, berdasarkan salinan-salinan yang ada, para cendekiawan berusaha merekonstruksi autografa Alkitab (menentukan salinan mana yang lebih sesuai dengan yang asli) melalui kritik teks (textual criticism). Mereka menerapkan kriteria tertentu untuk menentukan salinan mana yang lebih bisa dipercaya. Misalnya usia salinan, kualitas salinan, karakteristik tata bahasa penulis Alkitab, konteks dari ayat yang diselidiki, dsb.

Kritik teks sudah berkembang sedemikian rupa, sehingga mayoritas cendekiawan telah mencapai persetujuan tentang banyak bagian di dalam Alkitab. Beberapa ayat memang masih diperdebatkan, namun di antara ayat-ayat ini tidak ada yang memengaruhi ajaran Kristen yang pokok. Buku Misquoting Jesus terlalu melebih-lebihkan beberapa ayat yang belum bisa dipastikan ada di dalam autografa atau tidak, seolah-olah ayat-ayat itu sangat memengaruhi runtuh atau berdirinya ajaran Kristen.

Beberapa teks yang dipermasalahkan dalam buku Misquoting Jesus juga tidak boleh dilihat secara berlebihan seolah-olah hal tersebut cukup untuk meragukan otoritas Alkitab secara keseluruhan. Sebagai contoh, seandainya 1 Yohanes 5:7b-8 tidak ada dalam autografa (beberapa terjemahan kuno dan salinan Alkitab yang tertua tidak memiliki bagian ini), maka kita masih memiliki ayat-ayat lain yang sangat kuat untuk mendukung doktrin Tritunggal. Begitu pula dengan Yohanes 8:11. Seandainya teks ini tidak ada dalam autografa (salinan kuno tidak memiliki kisah ini ; salinan yang lebih muda yang memiliki bagian ini meletakkannya di tempat yang berbeda-beda), maka hikmat dan kasih Kristus kepada orang berdosa masih bisa dilihat dengan jelas di bagian Perjanjian Baru yang lain.


KONKLUSI
Saya setuju dengan semangat Ehrman untuk menyelidiki Alkitab sampai pada autografanya karena hanya autografa Alkitab yang diilhamkan Allah dan bersifat tidak mungkin salah. Bagaimanapun, hal ini tidak berarti bahwa kita boleh merendahkan Alkitab terjemahan modern. Semua terjemahan tersebut dibuat oleh para ahli Alkitab yang juga telah belajar kritik teks. Sesuai dengan segmen pembaca yang ditargetkan, para penerjemah Alkitab telah berusaha semampu mungkin untuk merekonstruksi autografa sekaligus menerjemahkannya ke dalam bahasa populer yang bisa dimengerti oleh orang awam (khusus untuk terjemahan King James Version kita memang harus mengakui bahwa ketika terjemahan ini dibuat, banyak salinan kuno yang belum ditemukan). Dalam hal ini, para hamba Tuhan memiliki peranan sentral dalam membimbing jemaat untuk memilih terjemahan yang paling baik (saya sendiri merekomendasikan terjemahan Revised Standard Version dan New American Standard Bible bagi mereka yang bisa bahasa Inggris dan senang menyelidiki Alkitab).

Hal terakhir, soal keyakinan Ehrman bahwa para penulis Alkitab mungkin melakukan beberapa kesalahan sehingga ada kontradiksi dalam Alkitab. Tentang pendapat ini, kita harus dengan tegas menolaknya. Sayangnya, kita tidak memiliki banyak ruang untuk membahas hal ini secara detail. Kita juga harus menolak pandangan Ehrman yang menilai Alkitab hanya sebagai hasil karya manusia yang bisa salah. Allah memang menggerakkan para penulis Alkitab dan Ia menggunakan keunikan mereka masing-masing, namun Allah tetap menjaga mereka sehingga apa yang akhirnya ditulis adalah apa yang dinafaskan Allah (2 Tim. 3:16) dan didorong oleh Roh Kudus (2 Pet. 1:21). Sekali lagi, penolakan ini untuk sementara hanya bisa dinyatakan saja di sini tanpa disertai argumentasi-argumentasi yang mendukungnya. Lain waktu kalau Tuhan berkehendak, kita akan membahas hal ini secara khusus.


Sumber : Majalah Rohani Populer BAHANA Vol. 192, April 2007

Diketik ulang dan sedikit diedit oleh : Denny Teguh Sutandio



Profil Ev. Yakub Tri Handoko :
Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. adalah hamba Tuhan yang melayani di Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya. Beliau juga adalah dosen apologetika di Sekolah Theologia Reformed Injili Surabaya (STRIS) Ngagel, Surabaya. Beliau meraih gelar Sarjana Theologia (S.Th.) dari Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS), gelar Master of Arts (M.A.) dan Master of Theology (Th.M.) dari International Theological Seminary, USA (President : Rev. Prof. Joseph Tong, Ph.D., adik kandung Pdt. Dr. Stephen Tong). Selain itu, beliau juga menjadi dosen di STT Injili Abdi Allah, Pacet.

15 April 2007

Matius 1:1-6 : THE GENEOLOGY (1)

Ringkasan Khotbah Mimbar di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya tanggal 25 Januari 2004

The Geneology (1)

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.



Nats: Mat. 1:1-6






Adalah salah kalau orang menganggap bahwa silsilah yang tertulis dalam Alkitab tidaklah terlalu penting. Prinsip iman kristen menegaskan bahwa segala Firman Allah bersifat kebenaran. Allah tidak pernah mewahyukan Firman dengan sembarangan atau sia-sia. Matius membagi silsilah Kristus menjadi tiga bagian dimana setiap bagiannya terdiri dari 14 keturunan (Mat. 1:17). Sesungguhnya, ada nama-nama lain yang tidak tercantum maka kalau Matius hanya memilih 14 nama, berarti ada keistimewaan dari nama-nama tersebut yang patut kita teladani. Cara Matius menulis silsilah Yesus Kristus berbeda dengan Lukas. Matius meletakkan Abraham di urutan pertama kemudian turun sampai kepada Tuhan Yesus sedang Lukas terbalik, dari Tuhan Yesus terlebih dahulu sampai akhirnya ia menyimpulkan bahwa Yesus adalah anak Allah (Luk. 3:23-38).

Ada misi yang ingin Lukas sampaikan pada para pembacanya, yakni orang-orang non Yahudi bahwa keberadaan Yesus bukan secara tiba-tiba tetapi sudah direncanakan sejak kekekalan oleh Allah. Yesus bukan berasal dari dewa Venus, dewa Merkurius atau dewa-dewa Yunani lain tapi Dia berasal dari Allah Yehovah. Lukas menekankan hal ini karena pada jaman itu, orang selalu mengaitkan silsilah manusia dengan dewa-dewa Yunani. Berbeda dengan Matius, silsilah Yesus dimulai dari Abraham terlebih dahulu karena nama Abraham sangat terkait dengan orang Yahudi. Mereka mengetahui bahwa dari Abraham inilah Allah memilih umatNya untuk menggenapkan kerajaanNya di dunia. Tapi sayang, umat Israel gagal menggenapkan misi tersebut sehingga Allah mengalihkannya pada gerejaNya dengan Kristus sebagai raja.
Allah sangat mengasihi manusia meski manusia berulang kali mendukakan hati Tuhan. Ingat, Tuhan tidak menciptakan manusia untuk berdosa karena kehendak manusia sendirilah ia jatuh ke dalam dosa; manusia mulai melawan Allah, hidup mereka bergelimang dengan dosa. Puji Tuhan, Dia tidak melupakan janjiNya untuk menyelamat-kan manusia. Tuhan menghukum dunia dengan air bah dan menyelamatkan keluarga Nuh. Ironis, kejadian air bah tidak membuat manusia menjadi takut pada Tuhan; anak Nuh kembali berbuat dosa. Dunia selalu mengulang kesalahan yang sama dan jatuh kembali dalam dosa. Tapi Allah itu setia, Dia memilih Abraham untuk menggenapkan rencanaNya yang kekal.

Dan yang lebih mengherankan lagi, manusia mempunyai ide ingin sampai pada Tuhan dengan membangun menara Babel hingga ke langit. Padahal secara nalar semakin tinggi lapisan udara, oksigen akan semakin berkurang. Tuhan membenci kesombongan manusia sehingga Dia memporak porandakan bahasa mereka dan menara Babelpun gagal dibangun. Peristiwa Babel membuktikan bahwa bahasa bukanlah hasil budaya manusia melainkan sarana yang Allah berikan kepada manusia untuk berkomunikasi. Melalui bahasa pula, Allah ingin agar kita memuliakan Dia.

Nama Abraham yang tertulis dalam silsilah Yesus Kristus menunjukkan sifat Allah, yaitu:
I. Kedaulatan Allah. Abraham dipilih bukan karena kehebatannya tetapi mutlak karena kedaulatan Allah (Kej. 12). Melalui Abraham inilah konsep kerajaan Allah dan umat pilihan mulai dipahami oleh bangsa Israel. Karena itu, bangsa Israel sangat bangga akan status dirinya. Manusia tidak suka Allah yang berdaulat karena manusia ingin dirinya yang berdaulat dan mendirikan kerajaannya di dunia. Manusia mau mengatur segala sesuatu demi untuk kepentingan sendiri; konsep menara Babel tidak pernah hilang. Alkitab menegaskan kerajaan sejati bukanlah di tangan manusia karena manusia tidak berdaulat dan mempunyai kuasa menjadi Raja atas alam semesta. Konsep kerajaan Allah yang sejati akan kita mengerti kalau kita memahami Dia sebagai Raja yang berdaulat. Kerajaan Allah yang sejati menjadi ancaman tersendiri bagi umat Israel. Mereka tidak menyadari, hidup paling indah justru didapatkan kalau kerajaan Allah digenapkan di muka bumi.
Pengertian kedaulatan berbeda dengan kekuasaan akan tetapi kekuasaan merupakan bagian dari kedaulatan. Di dunia, orang yang mempunyai kekuatan dan kuasa besar seringkali hanya menjadi alat belaka; mereka tidak berdaulat untuk menentukan apapun. Dan, Allah kita adalah Allah yang berdaulat karena itu, manusia tidak suka akan konsep kedaulatan dan menggantinya dengan Allah berkuasa. Kitalah “tuan“ yang berdaulat dan Tuhan “budaknya“ sehingga kita dapat meminta apapun pada Allah yang berkuasa. Konsep ini sama seperti cerita Aladin dan lampu ajaibnya; kuasa jin tunduk dibawah kedaulatan Aladin. Alkitab menegaskan kitalah hamba dan Allahlah Tuhan, Tuan atas segala tuan yang berdaulat/berhak atas hidup kita.
Sebagai orang yang telah dipilih untuk menggenapkan kerajaanNya hendaklah kita bertekad untuk hidup benar dan bukan seperti orang fasik. Kita akan merasakan indahnya kalau kita hidup sebagai orang benar (Ams. 10:16-25). Kita tidak terikat dengan hal-hal duniawi yang menjerat hidup kita. Orang Yahudi sangat ingin membangun kerajaan Allah tapi dengan konsep manusia berdosa dimana manusialah yang berdaulat. Hati-hati, pada mereka yang mengajarkan bahwa suatu hari nanti kita sebagai orang benar akan berkuasa atas orang-orang fasik. Salah! Bayangkan, masalah seperti apa yang akan kita hadapi kalau seandainya kita “orang benar“ menjadi penguasa dan orang fasik sebagai rakyatnya. Bukankah itu akan menjadi kesusahan tersendiri dalam hidup kita?
Allah berdaulat memilih Abraham untuk menggenapkan kerajaanNya. Karena iman, Abraham taat dan meninggalkan segala milik kepunyaannya menuju tanah perjanjian. Matius ingin agar umat Israel meneladani kembali Abraham, nenek moyangnya. Sudahkah dan maukah anda menjadi seperti Abraham yang taat mutlak pada kedaulatan Allah tanpa mempedulikan harta, kedudukan maupun kekuasaan. Ingat, apa yang pikir manusia baik belum tentu baik bagi Tuhan justru di saat kita merasa diri nyaman, Tuhan panggil kita untuk pergi memberitakan Injil. Bersiapkah anda? Karena Allah mengasihi umat pilihanNya maka Dia akan menguji setiap kita untuk belajar taat perintahNya. Nama-nama yang dituliskan Matius dalam silsilah Yesus bukanlah orang istimewa dalam arti bukan orang yang berdosa. Tidak! Mereka juga manusia berdosa tetapi bedanya adalah mereka taat perintah Tuhan, mereka mencintai Tuhan dan mengerti kedaulatan Allah.

II. Kesetiaan Allah. Tuhan berjanji pada Abraham bahwa dari keturunannyalah akan lahir suatu bangsa yang besar dan banyaknya seperti pasir di laut dan bintang di langit. Secara manusia, hal ini dirasakan oleh Abraham dan Sarah mustahil sebab mereka sudah lanjut usia dan Sarah mandul; mereka mentertawakan janji Tuhan. Ingat, Tuhan tidak pernah berfirman sembarangan dan sia-sia; di balik setiap janji ada rencana indah yang Tuhan sediakan bagi kita dan ketahuilah janji Tuhan bukan untuk kepentingan diri kita sendiri tetapi menyangkut kepentingan orang lain. Jadi, anak yang dijanjikan Tuhan pada Abraham bukan demi untuk kepentingan keluarga Abraham semata. Justru dari keturunan yang dijanjikan inilah akan lahir suatu bangsa besar yang menjadi tempat perwakilan kerajaan Allah di dunia. Itulah sebabnya ketika Matius menuliskan silsilah Yesus Kristus dengan anak Daud, anak Abraham mereka langsung disadarkan bahwa dirinyalah umat pilihan tersebut, bangsa besar yang dijanjikan Allah pada Abraham.
Orang Kristen yang ada di dunia sekarang merupakan penggenapan dari janji Tuhan di Mat. 28:19-20. Kita inilah “Israel Baru“ dimana Allah akan menggenapkan kerajaanNya kembali. Sebagai umat Allah sudahkah kita mengakui Dia sebagai Raja di atas segala raja? Ataukah kita akan seperti umat Israel yang selalu melawan dan tidak percaya janji Allah. Apakah kita hanya memegang janji-janji Tuhan sejauh janji tersebut menguntungkan kita? Dan kita menjadi tidak percaya kalau janji tersebut berkaitan dengan penggenapan kerajaan Allah. Ingat, jangan selalu berpikir pragmatis bahwa setiap janji Tuhan hanya demi untuk kepentingan diri tetapi mulai sekarang cobalah untuk memahami ada rencana Tuhan yang indah dibalik janji tersebut yang Allah maksudkan demi untuk menggenapkan kerajaan Allah di dunia.
Karena ada Abraham maka Ishak, Yakub, Yehuda dan yang lain-lain ada hingga sampailah pada kelahiran Yesus Kristus. Silsilah sangat penting dan membuktikan bahwa Allah setia, Dia tidak melupakan janjiNya.

III. Pemeliharaan Allah. Allah sangat mengasihi umatNya, Dia memelihara perjalanan kerajaanNya sehingga tidak ada satu silsilah yang terputus. Padahal sejarah menunjukkan dari dulu hingga kini orang selalu ingin membinasakan umat Allah. Seperti, di jaman Musa, Ester, dan masih banyak lagi. Kalau hari ini orang kristen masih ada itu semua tidak lepas dari rencana kekal Allah. Sesuatu yang bersifat kekal tidak boleh berubah; ia tidak terkena proses waktu atau ruang. Allah kita adalah Allah yang kekal. Banyak orang yang mempertanyakan kekekalan Allah dan mengaitkannya dengan Hizkia. Kalau Allah kekal kenapa Allah bisa berubah ketika Hizkia meminta perpanjangan umur dalam doanya? Pertanyaan tersebut hanya membuktikan satu, yaitu orang tersebut tidak mengerti Firman. Ingat, doa tidak bisa merubah Tuhan. Kalau Tuhan bisa berubah berarti Dia tidak kekal.

Doa Hizkia (2 Raj. 20:1-6) lebih indah dibandingkan dengan doa Yabes yang hari ini banyak dibicarakan. Untuk memahami doa Yabes maka kita harus mengerti konteksnya secara keseluruhan. Jawaban yang Tuhan berikan pada Yabes sangat unik; dia mengalami penderitan berat di situasi yang sulit karena itu Tuhan memberikan suatu timbal balik yang seimbang. Berbeda dengan Hizkia, justru dari vonis mati ini muncul doa yang indah dari Hizkia. Kita perlu mengevaluasi diri bisakah kita berdoa seperi Hizkia? Hizkia adalah seorang yang sangat mencintai Tuhan, ia seorang yang setia dan hidup dengan tulus hati. Di jaman sekarang ini, masih adakah seseorang yang menjelang ajalnya berani mengatakan bahwa seluruh hidupnya tidak tercemar dan telah melakukan apa yang baik di mata Tuhan? Mempunyai hidup yang berkenan di mata Tuhan bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan waktu yang panjang sehingga Hizkia dapat memberikan pertanggung jawaban yang baik pada Tuhan.

Tuhan berketetapan memberikan perpanjangan umur 15 tahun lagi pada Hizkia dan itu berarti ada rencana Tuhan yang indah, yakni kelahiran anaknya Manasye. Setelah melewati 3 tahun perpanjangan umur lahirlah Manasye dan ia menggantikan ayahnya menjadi raja di usia 12 tahun (2 Raj. 21:3). Jadi, perpanjangan umur tersebut sudah ada dalam rencana kekal Allah. Kalau umur Hizkia tidak diperpanjang maka tidak akan lahir Manasye, tidak akan ada Amon dan tentu saja tidak akan ada silsilah Yesus Kristus (Mat. 1:3). Manusia berulang kali mencoba menggagalkan rencana kekal Allah seperti di jaman Ester dimana Haman mencoba membinasakan seluruh bangsa Yahudi. Bayangkan, andai seluruh bangsa Yahudi binasa, tentu Kristus tidak akan lahir. Puji Tuhan, Dia memelihara kerajaanNya mulai dari dulu hingga kini. Seperti kita ketahui, kekristenan begitu dibenci orang di sepanjang sejarah; mereka berusaha membinasakan anak-anak Tuhan tapi Allah tidak pernah tinggal diam; Dia memelihara umatNya.

Bahkan providensia umum Allah masih menyertai bangsa Yahudi hingga kini. Tuhan tidak pernah melupakan jasa mereka sehingga Tuhan tidak membiarkan bangsa ini menjadi punah. Ingat, kalau sampai hari ini Tuhan masih berkenan memelihara hidup kita, itu karena Tuhan menginginkan agar kita menjadi saksiNya dan memuliakan namaNya. Jangan terjerat dengan janji-janji manis yang ditawarkan dunia; itu semua hanya tipuan kita. Hati-hati, ketika ketaatanmu pada dunia merusak relasimu dengan Tuhan maka itu berarti tanda bagi anda untuk menghentikan ketaatanmu pada dunia. Apapun yang kamu kerjakan, kerjakanlah semuanya itu demi untuk menggenapkan rencanaNya, yakni mendirikan Kerajaan Allah yang sejati di dunia. Tuhan ingin agar kita mengutamakan Dia dalam hidup kita dan itu semua adalah demi untuk kebaikan manusia itu sendiri. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber : http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2004/20040125.htm

Roma 1:14-15 : HAMBA KRISTUS : MENGASIHI JIWA dan MEMBERITAKAN INJIL

Seri Eksposisi Surat Roma :
Hamba Kristus dan Fokus Injil-4


Hamba Kristus : Mengasihi Jiwa dan Memberitakan Injil

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 1:14-15

Mengapa di ayat-ayat sebelumnya (sebelum ayat 14), Paulus berkeinginan mengunjungi jemaat di Roma ? Alasannya terdapat di dalam ayat 14-15, yaitu, “Aku berhutang baik kepada orang Yunani, maupun kepada orang bukan Yunani, baik kepada orang terpelajar, maupun kepada orang tidak terpelajar. Itulah sebabnya aku ingin untuk memberitakan Injil kepada kamu juga yang diam di Roma.” Inilah citra diri seorang hamba Tuhan sejati, memiliki hati mengasihi jiwa. Bukan hanya memiliki hati yang mengasihi jiwa, Paulus pun sampai-sampai menyebutkan bahwa dirinya berhutang kalau tidak segera memberitakan Injil. Kata “hutang” di sini di dalam terjemahan King James Version maupun International Standard Version (ISV) sama-sama menggunakan istilah debtor. Di dalam Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari, kata “berhutang” diganti dengan kata “mempunyai kewajiban”. Hal ini identik dengan terjemahan English Standard Version (ESV) yang menerjemahkan, “under obligation” dan New International Version (NIV) menerjemahkannya, “I am obligated” (saya diharuskan/diwajibkan). Dari perbedaan istilah yang dipakai ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya Paulus merasa diri memiliki hutang yaitu suatu kewajiban yang harus diembannya sebagai hamba Kristus yaitu memberitakan Injil. Saya membagi dua tahap di dalam dua ayat ini.
Tahap pertama, Paulus berhutang. Sebelum memberitakan Injil, perasaan berhutang sudah dimiliki oleh Paulus. Ini berarti rasa mengasihi jiwa-jiwa yang berdosa sudah ada di dalam benak Paulus. Oleh karena itu, menjadi kerinduannya untuk mengunjungi jemaat Roma. Perasaan berhutang ini pun seharusnya menjadi perasaan kita di dalam mengasihi jiwa-jiwa yang tersesat, sama sekali bukan suatu keterpaksaan yang memberatkan. Mungkin di dunia ini, kalau kita mengerti konsep hutang berarti mau tidak mau kita harus membayar hutang kita (otomatis dengan terpaksa). Tetapi konsep hutang demikian tidaklah diajarkan oleh Alkitab, karena hutang ini bukan lahir dari keterpaksaan, tetapi dari kerelaan hati yang siap tunduk kepada Allah sebagai Tuhan dan Pemilik hidup anak-anak-Nya. Mengapa bisa muncul sikap kerelaan hati ini ? Karena sebagai anak-anak Tuhan, kita telah dimerdekakan dari kutuk dosa, iblis dan maut oleh penebusan Kristus. Paulus mengungkapkan hal ini di dalam Kolose 2:13,14, “Kamu juga, meskipun dahulu mati oleh pelanggaranmu dan oleh karena tidak disunat secara lahiriah, telah dihidupkan Allah bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita, dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib:” Kata “surat hutang” memang tidak identik dengan yang dipaparkan di dalam Roma 1:14 tentang perasaan berhutang Paulus. Kata “surat hutang” ada yang diterjemahkan the record of debt (ESV), the charges (ISV), the handwriting of ordinances (KJV). Semuanya itu berarti Kristus telah mengampuni dosa kita dan menebus segala dosa dan pelanggaran yang membelenggu kita dengan memakukannya di kayu salib. Darah Kristus telah menghapus semua dosa kita, karena hanya darah Anak Domba Allah yang 100% suci yang mampu membersihkan kenajisan manusia yang berdosa. Sebagai umat tebusan Allah, sudah seharusnya hati yang berhutang atau mengasihi jiwa-jiwa harus kita miliki, karena itu bukti kita mencintai Allah. Seorang yang mencintai Allah tetapi tidak mencintai jiwa-jiwa yang berdosa, itu berarti mereka tidak pernah mencintai Allah. Mencintai jiwa-jiwa yang berdosa tidak sama dengan mencintai dosa-dosa mereka. Marilah kita belajar dari Tuhan Yesus yang mencintai manusia yang berdosa dan membenci dosa-dosa mereka. Dunia kita mengajarkan konsep mencintai dengan tidak ada aturan yang bertanggungjawab. Apa itu mencintai ? Mereka mendefinisikan bahwa mencintai itu setulus hati mencintai dan menerima apa adanya, bahkan kalau perlu menerima dosa-dosanya sekalian. Inikah cinta kasih Kristen ? Tidak. Cinta kasih memang harus tulus, tetapi tidak boleh dikompromikan. Ketika ada sesama kita yang berdosa, sebagai wujud cinta kasih, kita tidak boleh membiarkannya, tetapi menegurnya dengan kasih dan pengajaran, sehingga mereka boleh bertobat. Seorang yang mengatakan bahwa dirinya mengasihi tetapi membiarkan sesamanya hidup di dalam dosa, adalah seorang yang sebenarnya tidak pernah mengasihi, tetapi mengasihi apa yang dimiliki oleh sesamanya atau mengasihi kalau memerlukan sesuatu. Inilah kasih yang bersyarat. Kasih Kristen adalah seperti kasih Tuhan Yesus yang tidak bersyarat (unconditional love), kasih Agape yang tidak berarti mengkompromikan dosa, tetapi menghendaki manusia yang berdosa segera meninggalkan dosa-dosa mereka dan kembali kepada-Nya. Itulah wujud kasih Kristen yang sejati, sama seperti (beda secara kualitatif) seorang laki-laki yang mengasihi pasangannya (baik pacar maupun istrinya) adalah laki-laki tersebut akan menegur pasangannya jika ada yang kurang atau salah, misalnya mengumpat, dll, tujuannya agar pasangannya juga bisa hidup baik. Hal ini mengajarkan kepada kita untuk tidak egois. Sikap mengasihi jiwa adalah sikap yang tidak egois. Orang Kristen yang egois adalah orang Kristen yang hanya menginginkan dirinya saja yang selamat, lalu masa bodoh dengan orang lain yang belum selamat. Tetapi bukan itu yang Tuhan inginkan. Tuhan ingin kita menjadi saksi dan berkat bagi orang lain dengan mengasihi mereka. Mengasihi adalah tanda seseorang berani merelakan dirinya menjadi saluran berkat dan kasih bagi orang lain agar orang lain boleh diberkati.
Kepada siapakah Paulus berhutang ? Saya kembali membagi obyek hutang Paulus ke dalam dua kategori. Pertama, orang Yunani maupun bukan orang Yunani. Orang-orang bukan Yunani diterjemahkan sebagai orang-orang barbar di dalam Alkitab terjemahan Inggris. Secara ras dan suku, Paulus tidak pernah membeda-bedakan orang. Paulus mengasihi jiwa-jiwa mereka tanpa membedakan ras dan suku. Kita sebagai pengikut dan hamba Kristus juga harus memiliki semangat ini, yaitu semangat untuk mengasihi jiwa-jiwa yang tersesat tanpa memandang suku, ras dan agama mereka. Kalau kita mengerti mayoritas orang Yunani beragama Yunani dengan segala macam dewa-dewi dan pengaruh filsafat mereka baik dari Socrates, Plato, Aristoteles, dll. Demikian pula orang-orang yang non-Yunani atau pendatang juga memiliki agama dan kebudayaan mereka sendiri yang mungkin saja jauh dari pengenalan konsep yang benar tentang Allah yang benar. Paulus mengasihi mereka berdua, demikian pula kita harus mengasihi kedua golongan tersebut. Di Indonesia, mayoritas penduduknya beragama Islam. Sudah menjadi kewajiban kita dengan perasaan berhutang mengasihi jiwa-jiwa mereka yang tersesat tanpa memandang agama, suku dan ras mereka. Sekali lagi, ketika kita berbicara mengenai mengasihi jiwa-jiwa tanpa memandang agama, suku dan ras, itu TIDAK berarti kita mengkompromikan segala macam filsafat dan kebudayaan mereka lalu mengakui filsafat, agama dan kebudayaan mereka sebagai kebenaran yang setara dengan Alkitab. Ingatlah, mengasihi tidak berarti mengkompromikan segala sesuatu. Mengasihi tetaplah mengasihi. Mari kita belajar sedikit tentang mengasihi jiwa-jiwa (yang tanpa kompromi) konsep Paulus di dalam tugas apologetikanya di Atena di dalam Kisah Para Rasul 17:16-34. Di dalam pelayanan pemberitaan Injil, Paulus tidak pernah satu kali mengkompromikan Injil, tetapi mengkomunikasikan Injil dengan tepat dan bertanggungjawab. Di Atena, sebelum masuk ke dalam pemberitaan Injil, ia mengungkit sedikit mengenai kondisi keagamaan masyarakat Atena yang menyembah Allah yang tidak dikenalnya. Dari konsep unknown god, Paulus menceritakan dan mengajarkan tentang konsep Allah yang benar bukan dengan konsep penduduk Atena, tetapi dari konsep Injil Kristus (ayat 22-31). Kalau kita dengan teliti memperhatikan konsep apologia dan penginjilan Paulus ini, sebagai kata pengantar/pembukaan, ia tetap menghargai agama-agama mereka di tataran respon manusia terhadap wahyu umum Allah, lalu ia meneruskannya dengan berita Injil sebagai yang terutama di dalam penginjilan. Ini namanya mengasihi jiwa tanpa mengkompromikan Injil sedikitpun dengan orang-orang yang berbeda kepercayaan dengan kita. Tetapi rupa-rupanya para penganut social “gospel” tidak senang dengan hal ini, dan mengajarkan bahwa kita juga bisa “belajar” dari agama-agama lain, kalau perlu, Alkitab pun perlu ditambah dengan “kitab suci” agama lain. Mereka sudah mendegradasikan fungsi penginjilan dan esensi Injil sejati. Inilah wujud iblis yang menyamar sebagai malaikat terang, mereka sama sekali bukan hamba Kristus, tetapi jelas statusnya adalah hamba diri dan hamba setan. Setiap orang yang tidak memberitakan Kristus dan Injil-Nya, sama sekali bukan hamba Kristus, tetapi hamba diri dan hamba setan, apalagi yang suka memutarbalikkan dan menyelewengkan Injil Kristus dengan motivasi yang tidak beres. Kedua, terhadap orang-orang yang terpelajar dan tidak terpelajar. Kata “terpelajar” diterjemahkan wise atau bijaksana oleh Alkitab terjemahan Inggris dan kata “tidak terpelajar” diterjemahkan foolish atau bodoh/tolol oleh ESV dan ISV. Paulus tidak hanya memperhatikan masalah kebudayaan dan agama, tetapi juga memperhatikan rasio mereka. Paulus yang cerdas sangat memperhatikan konsep pikiran manusia berdosa. Ini terbukti dengan caranya berdialog dan memberitakan Injil di antara orang-orang Yahudi di Atena di dalam Kisah Para Rasul 17:16-34 tadi. Paulus juga mengasihi jiwa-jiwa baik yang berbijaksana atau mungkin yang benar-benar bodoh di mata masyarakat. Paulus menggunakan kata “berbijaksana” bukan kata “pintar”. Perbedaan kata ini bukan sekedar perbedaan kata, tetapi menyangkut perbedaan esensi. Seorang yang pintar bergelar Ph.D. sekalipun belum tentu bijaksana, karena orang yang berbijaksana adalah seorang yang terjun ke dalam masyarakat secara praktek, misalnya dalam mengambil keputusan. Seorang yang bijaksana adalah seorang yang belajar dari sejarah, hidup orang lain, dll, terutama di dalam keKristenan, orang itu belajar dari Sumber Bijaksana itu sendiri yaitu Allah dan firman-Nya. Orang pintar berbeda, mereka mungkin bisa bergelar Ph.D. sebanyak 9 buah, tetapi mungkin sekali secara praktek, mereka tidak memiliki pengalaman bijaksana, sehingga mereka akan kacau dalam mengerjakan apapun meskipun pintar secara akademis. Itulah kegagalan banyak institusi pendidikan yang terlalu mementingkan pengetahuan (knowledge) tanpa memperhatikan kemampuan/keahlian dan hal-hal yang bersangkut paut dengan kehidupan sehari-hari apalagi menyangkut Tuhan. Di dalam kota Roma yang penduduknya juga banyak orang-orang Yunani yang mementingkan rasio, Paulus menyebut mereka bijaksana dengan pengetahuan mereka, tetapi mereka kurang satu hal yaitu kembali kepada Sumber Bijaksana, yaitu Allah dan firman-Nya. Mereka inilah yang perlu dikasihi jiwanya, karena mereka terlalu memuaskan diri dengan berbagai macam bijaksana cara dunia yang berbeda total dengan bijaksana versi Allah. Semua hal yang di dunia ini fana sifatnya dan tidak akan menemukan makna sejati jika tidak kembali kepada Sumber segala sesuatu yaitu Allah sendiri. Oleh karena itu, keinginan Paulus dan seharusnya juga merupakan keinginan kita untuk mengasihi jiwa-jiwa yang merasa puas diri untuk kembali kepada Kristus.
Tahap kedua, Paulus ingin memberitakan Injil. Wujud kasihnya kepada jiwa-jiwa yang tersesat, ternyata direalisasikan oleh Paulus dengan keinginannya untuk memberitakan Injil. Mengasihi jiwa itu harus, tetapi jika terhenti pada tahap itu saja dan tidak ada pewujudnyataannya, itu sia-sia. Mengasihi jiwa harus diwujudnyatakan dengan keinginan kita untuk memberitakan Injil. Kembali, mari kita lihat apa yang Alkitab catat mengenai perasaan dan keinginan Paulus di dalam Kisah Para Rasul 17:16-34. Ayat 16 di dalam Kis. 17, dr. Lukas mencatat, “Sementara Paulus menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia melihat, bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala.” Perasaan mengasihi jiwa-jiwa yang tersesat ada di dalam perasaan Paulus dengan perasaan kesedihan yang mendalam setelah melihat kota Atena yang penuh dengan patung-patung berhala. Tetapi apakah perasaan itu hanya berhenti sampai tahap mengasihi jiwa-jiwa saja ? Tidak. Paulus langsung berdiskusi dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Atena tentang Injil Kristus sambil memberitakan Injil. Inilah citra hamba Kristus sejati, yaitu hati yang mengasihi jiwa ditambah dengan pewujudnyataannya dengan memberitakan Injil. Pemberitaan Injil adalah wujud utama kita mengasihi jiwa, karena pemberitaan Injil sedang berbicara mengenai pemenuhan kebutuhan spiritual yang paling urgent di dalam diri manusia. Mereka perlu Juruselamat yang memberikan kedamaian. Tetapi tidak berhenti sampai di sini, mereka juga perlu diajar oleh Injil untuk hidup bergantung dan bersandar mutlak di dalam penguasaan-Nya dan pimpinan-Nya (men-Tuhan-kan Kristus). Penginjilan Paulus di kota Atena ini sungguh unik dan berbeda total dengan penginjilan yang banyak diperdagangkan oleh banyak “hamba Tuhan” dari gereja kontemporer yang pop. Bedanya terletak pada berita Injil yang langsung disertai dengan berita murka-Nya yang mengadili dunia. Berita Injil yang sehat bukan hanya memberitakan penebusan Kristus atas dosa-dosa manusia, tetapi juga memberitakan tentang hukuman Allah kepada mereka yang tidak menerima Kristus. Itulah kedua sisi berita Injil sebagaimana yang dipaparkan di dalam Yohanes 3:16-21. Kasih Allah menyelamatkan umat pilihan-Nya yang percaya kepada-Nya, dan menghukum manusia yang tidak percaya kepada-Nya. Itulah keadilan Allah yang jarang dibicarakan oleh banyak gereja hari-hari ini. Pemberitaan Injil inilah yang Paulus jalankan dan itulah yang harus kita teladani, karena pemberitaan Injil bukanlah barang dagangan yang bisa dijual menurut kebutuhan manusia yang mendesak (hukum supply and demand), tetapi pemberitaan Injil adalah suatu pemberitaan Kabar Sukacita tentang jalan keluar dari dosa dan hidup benar di hadapan Allah. Injil berlaku untuk selama-lamanya dari zaman Adam sampai di akhir zaman, karena Injil itu, “kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.” (Roma 1:16) Karena di dalam Injil ada kuasa Allah yang menyelamatkan, oleh karena itu, jangan sekali-kali mempermainkan Injil dengan tidak bertanggungjawab. Dengan mempermainkan Injil dengan cara memutarbalikkan atau menambahi atau mengubah arti Injil itu berarti mempermainkan kuasa Allah dan otomatis nama Allah sendiri, itu namanya menghujat Allah. Pemberitaan Injil harus kembali berfokus hanya di dalam Kristus, bukan yang lain dan bagi kemuliaan-Nya saja.
Sudahkah hari ini Anda mulai disadarkan akan kebenaran firman untuk mengasihi jiwa-jiwa dan memberitakan Injil Kristus kepada mereka yang tersesat sebagai realisasinya ? Amin.

Pdt. Drs. Thomy Job Matakupan, S.Th., M.Div. (Pendeta di GRII Andhika, Surabaya)

Pdt. Drs. Thomy J. Matakupan, S.Th., M.Div.

Pdt. Drs. Thomy Job Matakupan, S.Th., M.Div. dilahirkan di Jakarta pada tahun 1966. Mengambil keputusan menjadi hamba Tuhan pada tahun 1984. Setelah menyelesaikan pendidikan S-1 Umum (Drs.) pada tahun 1989, melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Teologia Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta tahun 1991. Gelar Sarjana Theologia (S.Th.) diperoleh pada tahun 1995. Gelar Master of Divinity (M.Div.) diperoleh juga dari Institusi yang sama pada tahun 2001.

Pada tahun 1995-1996 menggembalakan jemaat di Mimbar Reformed Injili Surabaya, sekaligus mengajar sebagai dosen di Sekolah Teologia Reformed Injili, baik yang berada di Surabaya maupun Malang.

Pada bulan Oktober 1996 dipercayakan menjadi Kepala Perwakilan Lembaga Reformed Injili Indonesia (LRII) perwakilan Yogyakarta dan Gembala Sidang Mimbar Reformed Injili (MRI) Yogyakarta sebagai bagian dari pengembangan pelayanan Gerakan Reformed Injili di Indonesia.

Semenjak bulan Februari 2000 kembali melayani di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII), Andhika Surabaya serta menjadi dosen di Sekolah Teologia Reformed Injili Surabaya (STRIS) Andhika, dan International Reformed Evangelical Correspondence Study (IRECS).

Menikah dengan Ev. Mercy Grace Prealy Putong, S.Th. pada tahun 1998 dan telah dikaruniai seorang putri, Nikita Ilona Putri Matakupan. Beliau ditahbiskan menjadi pendeta pada Paskah 2005 bersama Pdt. Billy Kristanto, M.C.S.

Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D. (Rektor STTRII)

Pdt. Yakub B. Susabda, M.C.E., M.Th., Ph.D.

Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D. dilahirkan di Grabag, Magelang tahun 1946. Beliau mendapatkan gelar Sarjana Theologia (S.Th.)nya di Sekolah Tinggi Theologia (STT) Jakarta pada tahun 1971. Kemudian melayani sebagai pembantu pendeta dalam bidang PAK di GKI Panglima Polim, Kebayoran Baru, Jakarta (1971-1974). Setelah itu dengan beasiswa dari WARC (World Alliance of Reformed Churches), beliau melanjutkan studi dalam bidang Pastoral Counseling di Union Theological Seminary, Richmond, Virginia, USA. Kemudian studinya dilanjutkan di Reformed Theological Seminary di Jackson, Missisippi untuk gelar Master dalam Christian Education (1975-1977) dan Trinity Evangelical Divinity School di Deerfield, Illinois untuk gelar Master of Theology dalam Psychology dan Counseling (1977-1979). Pada tahun 1985-1987, beliau studi di BIOLA University untuk program Ph.D. (Doctor of Philosophy) Pada tahun 1988, beliau berhasil mempertahankan disertasi yang merupakan hasil dari suatu studi empiris dengan tema "The Relationship between Religiousity, the Male-Female Love Ralationship, and the Church Teaching Ministry among Evangelical Christians in California".

Beliau diteguhkan ke dalam jabatan pendeta (untuk mengajar di seminari) di First Presbitarian Church, Jackson, Missisippi pada tahun 1978 dan menjadi dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang (1979-1989). Bersama-sama dengan Pdt. Dr. Stephen Tong dan Pdt. Caleb Tong, beliau mendirikan Lembaga Reformed Injili Indonesia (1986). Buku-buku yang telah ditulisnya adalah Administrasi Gereja, Pastoral Konseling, Teologi Modern, Kaum Injili, Pengantar ke dalam Teologi Reformed dan buku-buku untuk pembinaan keluarga Kristen. Saat ini (sejak tahun 2006) beliau menjabat sebagai Rektor di Sekolah Tinggi Teologi Reformed Injili Indonesia (STTRII)

Pdt. Nico Ong, M.Div. (MRII Taiwan/China)

Pdt. Nico Ong, M.Div.

Dari situlah tergeraklah pemuda ini untuk merintis persekutuan bagi orang Indonesia dengan pengajaran yang tepat yaitu teologi Reformed. Hingga pada satu kesempatan SPIK Pdt. Dr. Stephen Tong di World Trade Center. Taipei dengan tema Roh Kudus, Doa dan Kebangunan Rohani. Pemuda ini memberanikan diri untuk menuliskan surat pribadinya kepada beliau. di luar dugaan dan rencana, beliau juga terbeban dan menyetujui perintisan persekutuan Reformed. Maka terbentuklah PRII Taipei pada tahun 1996, dan pada saat yang bersamaan seorang hamba Tuhan dari GRII Pusat ditugaskan untuk mengembalai jemaat mula-mula. Pada tahun 1997, sang pemuda memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikan di Reformed Institute dan Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia (STTRII).

Awal Januari 1998, Persekutuan Reformed Injili Indonesia (PRII Taipei) bubar karena hamba Tuhan yang ditugaskan harus kembali ke Indonesia. Namun pada tgl 12 Januari 1998 atas tantangan Pdt. Dr. Stephen Tong dan visi awal perintisan, Pdt. Nico Ong pun kembali berangkat ke Taipei untuk menggembalakan jemaat setempat. Perintisan PRII Taipei kembali dimulai berawal dari 2 orang dalam persekutuan doa dan berkembang sampai 5 orang dan akhirnya memberanikan diri menyewa tempat di Hakka Church. Dan Tuhan memberkati dengan jumlah jemaat yang semakin bertambah. Keseriusan serta komitmen jemaat dan pengurus juga semakin terlihat dalam penginjilan dan financial independence.

Dengan komitmen ini serta kemurahan Tuhan maka kami dapat mneyewa gedung sendiri sebagai sekretariat Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Taipei. Pada tahun yang sama, gerakan Reformed Injili di kota Taichung juga dirintis. Awal Mei 2000 merintis gerakan Reformed Injili di Guangzhou - China. Juni 2000 di Beijing. Tahun 2002 di Shanghai. Tahun 2003 di Hongkong dan Tahun 2004 di Xiamen.

(alm.) Pdt. Ir. Amin Tjung, M.Div., M.Th.

Pdt. Ir. Amin Tjung, M.Div., M.Th.
(alm.) Pdt. Ir. Amin Tjung, M.Div., M.Th. dilahirkan pada 9 Februari 1966. Setelah menyelesaikan Sarjananya di STMIK "Budi Luhur" Jakarta, dengan gelar S.Kom., maka beliau melanjutkan di Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia (STTRII) untuk mengambil gelar Sarjana Theologia (S.Th.), dan kemudian lulus Master of Divinity (M.Div.) pada tahun 1997 di sekolah yang sama. Selain itu, beliau juga pernah mengambil kuliah pasca sarjana Filsafat di Universitas Indonesia selama 1 tahun.

Dalam kiprahnya di dunia komputer, sebelum menjadi hamba Tuhan penuh waktu, beliau pernah turut membuat buku untuk kursus komputer dan sekaligus juga menjadi dosen di almamater, STMIK "Budi Luhur." Menjadi asisten dosen th. 1987, lalu menjadi dosen 1988-1991, menjadi guru komputer di SMU IPEKA Jakarta 1988-1989, kerja di ASTRA Group bidang komputer (1988-1989), membuat program dan melayani di Persekutuan Pembaca Alkitab Jakarta selama 6 bulan di tahun 1990, menjadikan beliau cukup banyak berkecimpung di dunia komputer.

Mulai terlibat dalam pelayanan di Lembaga Reformed Injili pada tahun 1990-1991. Sebelumnya, beliau melayani di Gereja Kristen Baptis Jakarta, menjadi guru sekolah minggu dan pemimpin PA (sejak 1984), sie kerohanian (1986), ketua pemuda dan tim penyusun AD/ART Sinode (1987-1989), dan mulai membawakan renungan di remaja, khususnya di cabang sejak 1988.

Dalam pelayanan kampus dan umum, beliau terlibat dalam memimpin Kelompok Kecil di kampus dan KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) di Perkantas (1985), mulai menjadi pengurus PMK di kampus (1986-1988). Sejak 1986 mulai banyak berkhotbah di persekutuan kampus, kelompok kecil atau memimpin berbagai seminar, lokakarya dan juga Kebaktian Kebangunan Rohani. Tahun 1989 mulai memegang persekutuan PMKJB bersama Perkantas.

Beliau juga banyak mengikuti pembinaan di Perkantas, Univ. Trisakti, PPA, Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) dari Pdt. Dr. Stephen Tong, dan masuk Sekolah Theologia Reformed Injili Jakarta th.1988 (selesai kuliah).

Beliau menikah dengan Ev. Dra. Lita K. Handaya dan dikaruniai tiga putra, Ezra (1993), Paul (1994) dan Kharis (1997).

Beliau meraih gelar Master of Theology (M.Th.) dalam bidang Pendidikan Kristen dari Universitas Kristen Indonesia. Selain menggembalakan Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Singapura dan mengepalai Institut Reformed di Singapura, beliau menjadi wakil ketua Yayasan SETIA (ketua : Pdt. Dr. Matheus Mangentang).

Resensi Buku-4 : THE SOVEREIGNTY OF GOD/KEDAULATAN ALLAH (oleh : Arthur Walkington Pink)

Buku
THE SOVEREIGNTY OF GOD (Kedaulatan Allah)

oleh : Arthur Walkington Pink

Penerbit : Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2005

Penerjemah : The Boen Giok.








“Kita sangat membutuhkan pengajaran tentang kemahakuasaan Allah,” tulis A. W. Pink. Pada zaman di mana manusia semakin diagungkan, kebebasan untuk mempercayai allah-allah ciptaan manusia sendiri semakin ditekankan, dan gereja yang membuang ajaran Alkitab yang ketat untuk menggantikannya dengan pragmatisme semakin banyak, kita melihat betapa mendesaknya kebutuhan untuk mengajarkan dengan tegas tentang kemutlakan kedaulatan Allah, Pencipta langit dan bumi.

Arthur W. Pink menyajikan kembali kebenaran-kebenaran mendasar yang Alkitabiah tentang kedaulatan Allah atas segala sesuatu di dalam penciptaan, providensi (pemeliharaan), dan khususnya di dalam keselamatan kekal kaum pilihan-Nya. Pink juga membahas secara ketat topik yang selalu menjadi perdebatan theologis : kedaulatan Allah dan kehendak bebas manusia ; dan hubungan antara kedaulatan Allah dan doa.

Kedaulatan Allah akan menjadi bacaan yang mengoreksi kesalahan konsepsi yang telah terjadi begitu lama, makanan rohani yang menguatkan iman dan merendahkan hati, serta memberikan suatu jaminan yang pasti bagi kita karena mengetahui bahwa Allah kita berdaulat atas segalanya dan di dalam segala sesuatu Dia berkarya demi kemuliaan-Nya dan kebaikan kita.






Profil A. W. Pink :
Arthur Walkington Pink lahir di Inggris pada tahun 1886, bermigrasi ke Amerika Serikat untuk menjalani studi di Moody Bible Institute. Dia menggembalakan jemaat di Colorado, California, Kentucky, dan South Carolina sebelum menjadi penginjil keliling pada tahun 1919. Dia kembali ke Inggris pada tahun 1934 dan menetap di Pulau Lewis, Skotlandia, mulai tahun 1940 sampai dia meninggal dua belas tahun kemudian. Sebagian besar tulisannya diterbitkan pertama kali sebagai artikel dalam Studies in the Scriptures, yang beredar dari tahun 1922 sampai 1952. Beberapa tulisan Pink termasuk : Attributes of God ; The Doctrine of Justification ; The Antichrist ; The Patience of God ; Eternal Security ; Christmas ; The Total Depravity of Man ; The Sovereignty of God ; The Christian Sabbath ; he Decrees of God ; The Atonement ; Practical Christianity ; The Doctrine of Reconciliation.
Pink meninggal di Stornoway, Skotlandia pada bulan Juli 1952. Setelah kematian Pink, karyanya diterbitkan oleh The Banner of Truth Trust.

07 April 2007

Refleksi Paskah 2007 : KEBANGKITAN KRISTUS : JAMINAN KEPASTIAN KESELAMATAN dan HIDUP (oleh : Denny Teguh Sutandio)

Refleksi Paskah 2007

KEBANGKITAN KRISTUS :
JAMINAN KEPASTIAN KESELAMATAN DAN HIDUP


oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Lukas 23:56b-24:12 ; Yohanes 11:25 ; 1 Korintus 15:12-58.

Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati? Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit. Ingatlah apa yang dikatakan-Nya kepada kamu, ketika Ia masih di Galilea, yaitu bahwa Anak Manusia harus diserahkan ke tangan orang-orang berdosa dan disalibkan, dan akan bangkit pada hari yang ketiga.” (Lukas 24:5-7)

Ketika Kristus disalib dan mati, karya-Nya memang sudah genap, tetapi tidak berarti Ia tetap mati, karena pada hari ketiga, Ia bangkit. Ketiga ayat di atas adalah perkataan para malaikat kepada para perempuan yang datang ke kubur Yesus untuk memberikan rempah-rempah. Perikop ini terdapat juga di dalam ketiga Injil sinoptik lainnya yaitu : Matius 28:1-10 ; Markus 16:1-8 ; dan Yohanes 20:1-10. Meskipun peristiwa terdapat di dalam keempat Injil sinoptik, Lukas mencatat peristiwa ini khususnya perkataan kedua malaikat dengan sangat teliti dibandingkan dengan keempat Injil lainnya. Kalau kita membaca Matius, Markus dan Yohanes, kedua malaikat ini hanya berkata bahwa Yesus sudah bangkit, tetapi di dalam Injil Lukas, dicatat bahwa malaikat itu bertanya, “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati? Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit.” Kalimat ini hanya terdapat di dalam Injil Lukas. Ini berarti Kristus yang bangkit adalah Kristus yang hidup di antara orang mati. Lalu, apa signifikansi kebangkitan Kristus bagi umat percaya ?
Pertama, kebangkitan Kristus membuktikan kemenangan-Nya atas kuasa dosa, iblis dan maut. Kalau kita membaca Alkitab, Allah menciptakan manusia, tetapi manusia yang diciptakan-Nya itu memberontak dan tidak setia kepada-Nya (berdosa), sehingga mereka dibuang dari Taman Eden. Dosa manusia mengakibatkan manusia harus menanggung penderitaan, penyakit dan akhirnya mati. Tidak ada jalan lain dari pihak manusia yang membuat manusia bisa lepas dari siklus mengerikan dari dosa ini, kecuali hanya ada satu jalan dari pihak Allah, yaitu dengan mengutus Kristus untuk mati disalib demi menebus dosa manusia. Jumat Agung merupakan momen agung di dalam sejarah di mana Allah menjadi manusia rela disalib dan mati demi menebus dosa manusia. Di dalam salib, ada penebusan Kristus yang memperdamaikan, meredakan murka Allah dan menggantikan kita yang seharusnya mati. Tetapi kematian-Nya tidak akan menghasilkan apapun, jika IA tidak bangkit. Kebangkitan-Nya membuktikan bahwa Ia telah mengalahkan kuasa dosa, iblis dan maut. Di dalam film The Passion of The Christ, ketika Kristus bangkit dari kematian, iblis digambarkan menjerit kalah. Itulah gambaran yang sebenarnya tentang kondisi iblis pada saat Kristus bangkit. Pada saat yang sama, kemenangan-Nya atas dosa, iblis dan maut diberikan kepada umat pilihan-Nya, sehingga umat-Nya juga memiliki kuasa Allah untuk mengusir setan. Rasul Petrus mengatakan di dalam 1 Petrus 5:9a, “Lawanlah dia dengan iman yang teguh,” Hal yang sama juga diungkapkan oleh Rasul Paulus di dalam 1 Korintus 15:54-57, “Maut telah ditelan dalam kemenangan. Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?" Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat. Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” Inilah kemenangan Kristus yang juga menjamin kemenangan kita akan kuasa dosa, iblis dan maut. Memang, kita masih bisa berdosa, tetapi satu hal yang perlu diingat adalah kuasa dosa tidak bisa lagi mencengkeram kita, karena kuasa dosa telah dikalahkan di dalam salib dan kebangkitan-Nya. Oleh karena itu, sudah seharusnya, anak-anak Tuhan hidup sebagai anak-anak terang yang mengerjakan apa yang Tuhan inginkan (Roma 12:1-2 ; Efesus 2:10 ; 4-5) dan menang mengalahkan setiap pencobaan iblis berdasarkan kebangkitan Kristus.

Kedua, kebangkitan Kristus menggenapkan rencana Allah di dalam keselamatan. Rasul Paulus mengajarkan, “Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu.” (1 Korintus 15:17) Bukan hanya mengalahkan kuasa dosa, iblis dan maut, kebangkitan Kristus juga menggenapkan rencana Allah di dalam keselamatan. Paulus mengatakan bahwa kalau Kristus tidak bangkit, maka iman kita di dalam-Nya menjadi sia-sia, karena semua orang juga mati dan tidak bangkit lagi. Bukan hanya sia-sia, kalau Kristus tidak bangkit, kita pun masih hidup di dalam dosa, karena Kristus sendiri tidak bangkit yang melambangkan bahwa Kristus sendiri tidak dapat mengalahkan dosa. Tetapi semua kemungkinan itu tidak pernah terjadi, karena fakta sesungguhnya adalah Kristus bangkit (1 Korintus 15:20). Kebangkitan-Nya menggenapkan rencana Allah di dalam keselamatan umat pilihan-Nya. Berarti umat pilihan-Nya mendapatkan keselamatan yang genap setelah Kristus bangkit dan terus-menerus disempurnakan oleh Roh Kudus sehingga di dalam kekekalan nantinya mereka telah sempurna seperti Kristus, Kakak Sulung mereka.

Ketiga, kebangkitan Kristus memberikan jaminan kepastian hidup. Selain jaminan keselamatan, kebangkitan Kristus juga akan menghidupkan mereka yang sudah mati kelak, karena Kristus sendiri bersabda, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.” (Yohanes 11:25-26) Inilah iman Kristen sejati. Iman Kristen sejati berani menerobos dan jauh melampaui realita yang dilihat oleh manusia biasa, yaitu realita kematian fisik. Sehingga, iman di dalam Kristus mengakibatkan kita tidak bersedih dan menangis pada saat seorang percaya (Kristen sejati) meninggal, tetapi justru bersukacita karena orang percaya yang telah meninggal akan mendapatkan tempat yang indah bersama-Nya di Surga. Sedangkan barangsiapa yang sengaja menolak dan menghina Kristus, percayalah, “ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah.” (Yohanes 3:18b) Puji Tuhan ! Tidak ada jaminan kepastian hidup selain hanya di dalam Kristus dan kebangkitan-Nya. Oleh karena itu, Rasul Petrus berani mengajarkan, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu. Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir.” (1 Petrus 1:3-5) Kebangkitan-Nya juga memberikan pengharapan hidup kepada umat pilihan-Nya bahkan ketika mereka berada di dalam penderitaan (baca 1 Petrus 1:6, “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan.”). Berarti, iman Kristen sejati di dalam kehidupan kekal mengakibatkan mereka tidak goyah ketika mengalami berbagai pencobaan, karena iman itu dibangun di atas pengharapan yang sangat kokoh di dalam kebangkitan Kristus.

Keempat, kebangkitan Kristus menjamin kebangkitan (tubuh) umat pilihan-Nya. Selain jaminan kepastian hidup, kebangkitan-Nya menjamin kebangkitan umat pilihan-Nya, seperti yang diajarkan oleh Rasul Paulus, “Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan.” (1 Korintus 15:13) Kalimat pengandaian ini harus dibalik dan kenyataannya adalah Kristus sudah bangkit dan kebangkitan-Nya menjamin kebangkitan umat pilihan-Nya. Kebangkitan umat pilihan-Nya diibaratkan seperti, “Apa yang engkau sendiri taburkan, tidak akan tumbuh dan hidup, kalau ia tidak mati dahulu. Dan yang engkau taburkan bukanlah tubuh tanaman yang akan tumbuh, tetapi biji yang tidak berkulit, umpamanya biji gandum atau biji lain.” (1 Korintus 15:36-37) Begitu pula dengan kebangkitan umat pilihan harus didahului dengan kematian tubuh lama yang nantinya akan diganti dengan tubuh jasmani yang baru yang tidak bisa berdosa lagi (non-posse peccare). Perbedaan antara kedua tubuh ini dibahas oleh Paulus di dalam 1 Korintus 15:40-46 dan bagi saya, hal ini ditutup dengan suatu konklusi di ayat 47-48, “Manusia pertama berasal dari debu tanah dan bersifat jasmani, manusia kedua berasal dari sorga. Makhluk-makhluk alamiah sama dengan dia yang berasal dari debu tanah dan makhluk-makhluk sorgawi sama dengan Dia yang berasal dari sorga.” Kita sebagai umat pilihan-Nya mungkin masih bisa berdosa dan bisa tidak berdosa (posse non-peccare), karena adanya dosa asal, tetapi di dalam kekekalan nantinya, yaitu di dalam langit dan bumi yang baru, kita akan mengenakan suatu tubuh surgawi yang tidak bisa lagi berdosa. Tubuh surgawi ini bukanlah tubuh yang baru, tetapi tubuh yang lama akan disempurnakan. Penyempurnaan tubuh kita yang lama membuktikan bahwa Allah berkuasa memakai tubuh fisik kita yang lemah untuk diubah menjadi tubuh baru yang menjadi alat-Nya, sehingga kelak kita akan dapat bersama-sama dengan-Nya. Sungguh suatu anugerah yang terbesar dan teragung di dalam sejarah, bahwa kebangkitan-Nya menjamin kebangkitan umat pilihan-Nya. Tidak ada agama atau filsafat atau ajaran yang berani mengajarkan konsep akhir zaman dengan begitu jelas kecuali hanya di dalam Alkitab. Puji Tuhan !

Setelah merenungkan hal ini, maukah Anda kembali kepada Kristus yang telah mengunjungi dunia ini, mati disalib dan bangkit dari kematian ? Tidak ada jalan lain kembali kepada Bapa jika tidak melalui Kristus yang adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup (Yohanes 14:6). Kebangkitan-Nya memang banyak disalahmengerti dan dihina, tetapi sebenarnya kebangkitan-Nya memberikan kepastian keselamatan dan hidup bagi umat pilihan-Nya yang percaya di dalam-Nya. Karena itu, bertobatlah dan kembali kepada-Nya sekarang.

Happy Easter !

IMAN KRISTEN dan MUSIK (Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.)

IMAN KRISTEN DAN MUSIK

oleh : Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.



Iman Kristen dan Musik (1)


Dear beloved brothers and sisters in Christ,

Saya ingin sharing pengertian yang saya dapatkan melalui perjalanan kehidupan saya mengikut Tuhan, khususnya berkenaan dengan musik, suatu bidang yang dihadirkan Tuhan dalam kehidupan saya sejak kecil (namun saya tidak pernah terjatuh ke dalam piano, apalagi tertimpa piano ketika masih orok, seperti halnya Obelix ke dalam ramuan ajaib).

Saya lahir dalam keluarga Kristen, tumbuh di dalam lingkungan keluarga yang menyukai musik, hanya saja di antara keluarga saya, saya satu-satunya yang diberi kesempatan oleh Tuhan boleh mengembangkan talenta yang Dia berikan melalui suatu pendidikan musik yang formal.

Sejak sekolah minggu saya mulai melayani musik di gereja di mana saya beribadah. Keluarga saya beribadah di Gereja Pentakosta, seperti pada umumnya, kami menggunakan seperangkat alat musik yang membentuk suatu band dalam ibadah. Saya kadang-kadang juga dipercaya untuk ikut bermain di dalamnya, biasanya saya mengisi keyboard atau piano. Ada banyak hal di mana Tuhan membentuk dan menenun kehidupan saya melalui komunitas di tempat ini, di tengah segala kekurangan dan kelemahan yang ada. Saya menyaksikan teladan orang-orang Kristen yang suka berdoa dan hidup bergantung kepada Tuhan dengan iman yang sederhana. Orang-orang percaya yang dengan tulus melayani Tuhan dengan kerelaan berkorban, hidup memikul salib, tidak takut susah. Orang-orang yang sangat bergairah dalam memberitakan Injil keselamatan, menyaksikannya kepada orang-orang yang belum mengerti pengorbanan Tuhan Yesus Kristus. Orang-orang yang saling menerima dan mengasihi satu sama lain, sekalipun kita tahu setiap orang punya kelebihan dan kekurangan serta kelemahannya masing-masing. Namun sekaligus di tempat yang sama saya juga menyaksikan kehidupan yang berkeping-keping, sehabis menerima Perjamuan Kudus yang selalu mengharukan banyak orang, segera melanjutkan konflik dan kepahitan di antara jemaat, keuangan perpuluhan yang tidak jelas digunakan untuk apa, pelayanan yang dimotivasi oleh uang dan kekayaan, termasuk mulai merambatnya ajaran-ajaran kesuksesan (orang Kristen tidak seharusnya sakit, tidak seharusnya miskin) yang menyusup menggantikan ajakan hidup menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus. Ya, Alkitab sendiri mengatakan bahwa realita Kerajaan Allah pun digambarkan oleh Yesus sebagai benih gandum dan ilalang yang tumbuh bersama. Tampaknya konsep steril tentang Kerajaan Allah di mana hanya ada gandum saja merupakan impian yang tidak mungkin akan terwujud selama kita masih berada di dunia ini.

Saya terbentuk dalam suatu kultur yang sangat menggemari pop-culture, suatu kultur yang pada umumnya dapat diterima oleh sebagian besar manusia kesederhanaan kualitas yang tidak harus menuntut penggemarnya untuk banyak berpikir dan mempersoalkannya, surely it’s OK because I feel good, I can enjoy, so I just consume it. Selain musik ini saya sangat akrab dengan musik dangdut yang banyak dikonsumsi oleh karyawan yang bekerja di tempat saya. Keluarga saya tampaknya tidak keberatan untuk menyediakan konsumsi ini sepanjang hari dengan volume suara yang dapat didengar oleh seluruh karyawan, termasuk saya sendiri, sehingga saya sempat hafal paling sedikit puluhan lagu-lagu jenis ini.

Sampai suatu saat saya berkenalan dengan musik jazz yang certainly much more deeper and has a certain depth and quality di dalamnya. Membandingkan jenis musik ini dengan yang selama ini banyak saya konsumsi, saya sadar bahwa yang dulu jauh lebih sederhana daripada yang terakhir, baik di dalam aspek harmony, melody and rhythm. Saya mulai lebih tertarik dengan jenis musik ini bahkan juga belajar untuk bisa memainkannya sendiri, and so God will, pikir saya, saya juga bisa menggunakan kreativitas ini ketika saya melayani di Gereja. Why not? Musical creativity is God’s gift and definitely not from Satan! Dalam kesungguhan saya untuk melayani Tuhan dan dengan motivasi yang saya rasa cukup tulus, saya berusaha untuk mempertanggungjawabkan apa yang saya percaya saya terima sebagai anugerah Tuhan dengan mengembalikannya kepada Sang Pencipta.

Sampai suatu saat saya berkenalan dengan karya piano dari Beethoven, a very simple piece, perhaps not so complicated seperti kebanyakan musik-musik rumit yang sebelumnya saya pernah dengar, tapi juga bukan jenis keserdahanaan seperti musik-musik jenis pertama yang saya pernah konsumsi. Saya mendapati bahwa karya-karya seperti ini berbeda dan memiliki keunikan tersendiri, namun saya belum dapat mengetahuinya dengan jelas mengapa. Saya mulai belajar untuk memainkan jenis musik ini, demikian seterusnya untuk mempersingkat cerita, sampai suatu saat saya akhirnya memutuskan untuk mengambil study jurusan musik setelah lulus dari SMA.

Dalam periode ini saya mulai belajar dan mengaitkan apa yang saya pelajari dan geluti (yaitu bidang musik) dan berusaha untuk mengintegrasikannya dengan apa yang saya pelajari dari firman Tuhan. Saya tidak puas jika hanya sampai pada batas penguasaan bidang saya pelajari (dalam hal ini musik) di satu sisi, dan di sisi lain pengenalan akan Tuhan yang saya peroleh melalui merenungkan dan membaca firman Tuhan dan buku-buku yang membangun iman saya, tanpa bisa mengaitkan kedua hal ini. Saya sadar bahwa Alkitab memang bukanlah buku musik. Kita akan kecewa jika mencari untuk mendapatkan di dalam Alkitab bagian yang menyatakan penggunaan alat musik tertentu yang lebih “kudus” daripada yang lain, atau jenis musik apa yang disetujui oleh Alkitab (pop-culture kah, dangdut kah, Klassik, Romantik, Barock, postmodern, New Age or Gregorian Chant, atau jangan-jangan musik yang pernah dipakai oleh Daud, yang kita semua sekarang tidak tahu lagi bagaimana merekonstruksinya). Kita juga pasti akan sangat kecewa jika kita berusaha dengan segala kesungguhan untuk mendapatkan dalam Alkitab apakah pada bagian tertentu dari suatu lagi saya lebih baik bergerak ke c-minor atau C Mayor atau ke D7, perlu pakai sus4 atau saya lebih baik diam saja (seperti diusulkan oleh John Cage misalnya).

Saya percaya bagian penjelasan yang seperti itu tidak ada dan memang juga tidak perlu, karena itu akan menjadikan iman kita iman instant yang tidak perlu lagi bergumul. Alkitab menjadi buku pedoman how-to, di mana kita dapat menyelesaikan seluruh persoalan dari rumus fisika, matematika, kimia, persoalan ekologi, ekonomi, science, dan akhirnya juga seni dan musik. Kalau Alkitab harus memuat semuanya seperti layaknya sebuah textbook, kita semua pasti tidak sanggup untuk beribadah dengan membawa Kitab Suci, karena itu berarti saya harus membawa buku dengan berat berton-ton.

Namun ini juga tidak berarti bahwa Alkitab tidak membicarakan tentang ekologi, ekonomi, seni, science dsb. Karena kita percaya ilmu-ilmu itu (logi) sebenarnya berasal dari LOGOS atau Firman. Allah yang menyatakan diriNya melalui firman Tuhan (Maz 19:8-12) adalah Allah yang sama yang juga menyatakan diriNya melalui alam (Maz 19:1-7), yaitu alam di mana manusia menggali dan menemukan berbagai macam disiplin ilmu yang menyatakan kemuliaan Allah di dalamnya. Kita tidak mungkin memisahkan penemuan dalam alam (sebagai wahyu umum Allah) dengan pengenalan melalui firman Tuhan dan di dalam Yesus Kristus (wahyu khusus Allah).

Yang menyedihkan adalah pendapat yang banyak diterima saat ini adalah Alkitab hanya membicarakan kehidupan gerejawi, membicarakan teologi, tapi Alkitab tidak mungkin membicarakan tentang musik, jenis musik, komposisi musik, Alkitab tidak membicarakan semua bidang yang lain, entah itu fisika, geologi, ekologi, ekonomi karena memang Alkitab hanya membicarakan urusan keselamatan jiwa manusia. Dengan kata lain: ilmu-ilmu tersebut silahkan independen dari Alkitab, Alkitab tidak usah mencampuri hal itu karena kedua hal tersebut adalah hal yang terpisah satu dengan yang lainnya. Konsekuensi dari pandangan seperti ini adalah: kita boleh menggunakan dan menkonsumsi jenis seni/musik apapun, kita boleh memiliki pandangan ekonomi apapun, teori ekologi juga terserah, karena science adalah wilayah fakta sedangkan Alkitab berbicara dalam wilayah nilai. Maka kita harus memisahkan keduanya. Teori seperti ini sebenarnya bukanlah apa yang kita terima dari Firman Tuhan, melainkan suatu dualisme yang diciptakan oleh para pemikir enlightenment. Pandangan seperti ini langsung akan menyediakan angin untuk sekularisme masuk ke dalam semua bidang, karena di situ kerajaan Kristus (the kingship of Christ) tidak boleh dinyatakan dalam bidang apapun kecuali teologi (itupun kalau masih ada kekuatan!). Bidang-bidang yang lain pada akhirnya akan diisi oleh isme-isme yang lain, sinful culture yang tidak tunduk pada Alkitab segera akan meresap ke dalam bagian-bagian yang dengan sengaja dibuka untuk dibebaskan dari otoritas firman Tuhan. Kita sekarang berada dalam keadaan pengaruh ecological disaster yang makin lama akan makin mengerikan. Di mana pengaruh pandangan Kristen terhadap ekologi? Tidak perlu? Karena Alkitab tidak membicarakan geologi, sama seperti juga tidak membicarakan c-minor or a-minor? Kita tidak boleh membicarakan teori Adam Smith berdasarkan perspektif Alkitab karena Alkitab adalah buku teologi? Biarkanlah Picasso dan Polluck mengembangkan talenta dan kreativitasnya, itu toh juga berasal dari Tuhan? Kalau seandainya John Cage dan Stockhausen mengusulkan musiknya dipakai dan dipergunakan untuk ibadah, kita pasti selalu akan ada tempat untuk memberikan akomodasi berbintang lima baginya, sebab hati kita sangat luas, kita bukanlah orang-orang sempit yang tidak bisa menerima keaneka-ragaman?

Welcome to our contemporary time: a world with an almost unlimited possibilities to embrace and accomodate all theories of ecology, economy, politics, aesthetics, science, sociology … (BTW we don’t even know which one is ecology, economy, sociology, theology, sociology … it looks all the same).

I’m terribly sorry to stop here today, and thank you for listening my confused thoughts. I really hope I may have the same patience as yours …. and the strength .... to continue ….

Tu excitas, ut laudare te delectet, quia fecisti nos ad te et inquietum est cor nostrum, donec requiescat in te (Augustinus).



Iman Kristen dan Musik (2)

Di bagian pertama kita sudah membahas bahwa tidak mungkin untuk membiarkan suatu ilmu independen dari penilaian Firman Tuhan. Alkitab mengajarkan kepada kita untuk menguji segala sesuatu dan memegang yang baik (I Tes 5:21). Tidak menguji adalah suatu bentuk ketidak-taatan terhadap ayat ini. Sayangnya, kita sekarang berada dalam suatu kondisi dunia yang mendiscourage segala pengujian. Orang yang berusaha untuk menguji dikatakan berpikiran sempit, tidak memiliki spirit toleransi, tidak mempunyai kasih, bahkan suka menghakimi. Dunia lebih suka berada dalam suatu keadaan di mana segala sesuatu sebisa mungkin dianggap netral, dengan demikian persoalan salah – benar, kudus – tidak kudus, baik – buruk, tidak akan menyusahkan manusia lagi.

Kita berada dalam perubahan budaya modern dan pasca-modern sekaligus. Mythos yang keliru dari orang-orang modern adalah percaya satu-satunya kebenaran tunggal yang harus diterima secara seragam dengan menolak semua perbedaan yang ada. Sementara dalam kebudayaan pasca-modern ada kecenderungan untuk mengakomodasi semua perbedaan yang ada, budaya merayakan keaneka-ragaman, termasuk juga siapa pun berhak membicarakan segala sesuatu, karena manusia tidak percaya lagi adanya suatu jawaban otoritatif yang dianggap mengulang kesalahan modern totaliterism atau bahkan kesalahan gereja pada jaman abad pertengahan (yang dipersoalkan oleh Luther). Sejarah biasa bergerak dari suatu pendulum dari satu arah ke arah yang lain. Sebagai orang percaya, kita perlu kembali kepada apa yang dikatakan oleh Alkitab, instead mengikuti begitu saja semangat jaman tanpa melakukan suatu refleksi kritis terhadapnya.

Alkitab menyatakan kebenaran memang tunggal (dalam pengertian ada kesatuan/unity, sifat koherensi di dalamnya). Kebenaran selalu bersifat integratif dan tidak mungkin fragmented. Sekaligus kata integrasi atau unity sebenarnya menyatakan adanya aspek pluralitas/diversitas di dalamnya. Allah Tritunggal adalah Allah yang esa, sekaligus dalam tiga Pribadi. Demikian juga metafor banyak anggota satu tubuh, dan juga banyak karunia satu Roh menyatakan hal yang sama. Di dalam kultur modern selalu ada ketakutan terhadap perbedaan, perbedaan selalu dianggap sebagai ancapan terhadap kesatuan (unity), di mana unity cenderung dimengerti sebagai uniformity (maksudnya tidak boleh ada perbedaan). Sementara dalam pasca-modern kecenderungannya sekali lagi adalah merayakan diversitas, namun diversitas ini akhirnya menimbulkan division atau fragmentasi karena kita tahu memang tidak mungkin untuk mengakomodasi semua pluralitas, menyambut semua keaneka-ragaman dalam hidup sama dengan tindakan memecah-belah diri alias memeluk suatu kehidupan yang fragmented (baca: tidak memiliki integrasi).

Dalam jaman seperti ini, pemahaman tentang karunia-karunia rohani yang berbeda-beda, dan juga penggalian talenta yang berbeda-beda (bukan hanya jenis tapi juga takarannya), merupakan hal urgent yang harus digumulkan oleh setiap orang percaya. Dengan runtuhnya paradigma modern totaliterism, absolut otoriterism, sekarang orang berada dalam keadaan confusion, karena sekarang seolah setiap orang berhak bicara apa saja, setiap orang boleh menjadi guru, setiap orang boleh mengajar yang lain, sementara ia sendiri mungkin tidak jelas pimpinan Tuhan secara khusus di dalam dirinya. Dalam jaman seperti ini kita cenderung kehilangan pengertian akan keunikan diri sendiri, di mana Tuhan menempatkan saya dalam Kerajaan Allah. Orang yang memiliki talenta A mencoba untuk mengerjakan talenta H, orang yang memiliki takaran 1 talenta mencoba mengerjakan porsi 5 talenta, sementara yang memiliki 5 talenta begitu “rendah hati” dengan mencukupkan diri puas dengan hasil 1 talenta. Orang yang tidak memiliki karunia X memaksakan diri untuk tampil sebagai orang yang berkarunia X, sementara yang sungguh-sungguh dipercayakan Tuhan dengan karunia X tidak puas dengan hal itu dan mencoba untuk mengambil karunia A.

Yang jelas, banyak orang tidak sabar (I’m certainly one of them!) dengan masa pembentukan padang gurun selama 40 tahun yang merupakan periode sangat penting dalam kehidupan Musa. Sejujurnya kita lebih suka mengajar orang lain daripada diajar, memimpin orang lain daripada dipimpin, menasihati orang lain daripada dinasihati, mengubah orang lain daripada sendiri terlebih dahulu diubahkan oleh Tuhan. Humility is a very rare jewel in our age, isn’t it? Kita ingin apa yang kita katakan berdampak begitu besar dan semua orang mendengarkan kita dengan terangguk-angguk, tapi kita sendiri tidak suka mendengarkan orang lain. Orang yang tidak dipanggil menjadi ekonom berbicara banyak tentang ekonomi, mereka yang tidak mempelajari seni membicarakan segala sesuatu tentang seni, yang bukan fisikawan mengajar kelas tinjauan iman Kristen terhadap fisika, dan yang paling kacau: tidak mengerti teologi berani bicara di atas mimbar! Everybody can teach everything. This is a very sad condition.

Saya pribadi merindukan suatu kebangunan rohani yang menyentuh salah satu aspeknya: kebangunan pelayanan kaum awam, di mana setiap anggota tubuh Kristus menyadari keunikan panggilannya masing-masing, mengenal karunia tertentu yang pasti Tuhan percayakan dalam hidupnya, seumur hidup menjalankan talenta tertentu dengan takaran tertentu yang Tuhan percayakan dalam dirinya. Saya tidak perlu menjadi gelisah apalagi iri dan marah-marah jika di dalam Kerajaan Allah saya mendapati orang lain jauh lebih menguasai ekonomi daripada saya, karena itu mungkin adalah panggilan Tuhan di dalam dirinya dan bukan panggilan saya, biarkan dia mengajar bidang yang dia gumuli bersama dengan Tuhan lalu menjadi berkat bagi keKristenan. Mengapa saya harus memaksakan diri menjadi guru dalam semua bidang? We should follow the biblical story, the story of the gospel, rather than Superman story, to shape our life. We are created, we have our limitation. Mengapa tidak menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk mengerjakan hal-hal yang sungguh Tuhan percayakan di dalam hidup kita masing-masing dengan mempertahankan keluasan pandangan Kerajaan Allah (supaya kita tidak menganggap beban kita yang paling penting daripada semua yang lain), sehingga ada kekuatan yang saling melengkapi satu sama lain? Kelebihan orang lain mencukupkan kekurangan saya, sementara kelebihan saya mencukupkan kekurangan orang lain sehingga terjadi keseimbangan seperti dikatakan oleh Paulus. Mari kita belajar saling mengasihi satu sama lain dengan terus mempertahankan kerendahan hati untuk semakin mengenal kebenaran Allah dan sesuai dengan janjiNya, jika ada sesuatu yang berlainan di antara kita, maka Tuhan juga yang akan menyatakannya. Sola gratia, Soli Deo Gloria!

I'd like to thank God for the beautiful weather today ... despite the theo- and eco- logical confusion in our time ... May God bless you abundantly today and give you all a reason to smile, because God loves you :)

Tu excitas, ut laudare te delectet, quia fecisti nos ad te et inquietum est cor nostrum, donec requiescat in te (Augustinus).



Iman Kristen dan Musik (3)

Pada bagian yang kedua kita sudah membahas kecenderungan baik kebudayaan modern yang anti perbedaan dan menekankan konsep unity in uniformity, dengan kebudayaan pasca-modern yang merayakan pluralitas namun akhirnya jatuh ke dalam disintegritas atau fragmentasi. Firman Tuhan memberikan alternatif yang jauh lebih indah daripada kedua kebudayaan yang sangat mewarnai kehidupan kita di atas. Konsep multi-dimensi atau multi-perspektif bukanlah konsep yang asing bagi firman Tuhan karena firman Tuhan mengajarkan kesatuan dalam keaneka-ragaman. Namun di sisi yang lain, firman Tuhan juga memberikan prinsip agar kita tidak jatuh dalam chaotic pluralism, di mana setiap orang berjalan sesuai dengan apa yang dia pandang baik, sesuai dengan pandangan subyektifnya masing-masing, selera yang membentuk dia sejak kecil, relativisasi kebudayaan yang dibuat independen dari penilaian firman Tuhan. In fact kita percaya bahwa kebudayaan manusia sendiri merupakan campuran antara penaburan benih gandum dan lalang. Adalah suatu kefatalan jika kita sebagai orang percaya berpikir bahwa budaya netral adanya. Ada godly culture ada pula sinful culture. Culture pun suatu saat akan dihakimi oleh Tuhan sendiri.

Sekarang bagaimana dengan musik? Sebagai bagian dari culture, musik juga tidak bebas dari nilai. Kita sudah membahas pada bagian yang pertama jika kita berusaha untuk membebaskan musik dari penilaian firman Tuhan, sebenarnya yang terjadi adalah kita sedang membuka pintu lebar-lebar untuk masuknya sekularisme ke dalam musik. Keengganan orang percaya untuk “menguji segala sesuatu dan memegang yang baik” akan semakin menyuburkan angin sekularisme. Lalu bagaimana kita menguji musik? Saya percaya tidak cukup hanya dengan prinsip telos (seperti diusulkan Sdr. Jimmy misalnya).[1] Kita harus selalu kembali kepada Firman Tuhan, sehingga kita tidak gampang terjebak pada ajaran-ajaran fragmented yang ditawarkan oleh dunia ini. Alkitab membicarakan bukan hanya telos saja yang harus benar, melainkan means untuk mencapai tujuan ke situ juga harus benar dan kudus ditambah lagi sedikitnya dengan motivasi kita juga harus kudus, yaitu kasih.[2] Tiga hal ini adalah merupakan hal minimal yang harus digenapi untuk melakukan suatu pengujian yang Alkitabiah.

Mari kita melihat kehidupan Yesus Kristus sendiri. Dalam sepanjang hidupNya Ia selalu menjaga tujuan hidup yang benar (teleological), sekaligus Alkitab mencatat bahwa Ia tidak pernah berbuat dosa, Yesus tidak pernah memakai sarana-sarana apa pun juga asal saja mencapai goal yang benar dalam pelayananNya. Jesus always does the right thing (aspek deontological), He is truth Himself (yang ini saya tidak sanggup memberikan kategori apa-apa karena kalimat ini terlalu dalam dan kaya sehingga tidak dapat direduksi dengan satu/dua kategori), dan Ia adalah penyataan kasih Allah dalam wujud Pribadi yang berinkarnasi, turun ke dunia (menjawab tuntutan situation ethics). Saya percaya, selain tiga hal ini (teleological, deontological and situational) masih banyak aspek yang lain yang kita bisa pelajari dari kehidupan Yesus Kristus. Tidak ada habisnya kita mengagumi serta menggali dari kelimpahan hidup yang ada padaNya.

Kembali kepada musik, jika kita ingin melakukan suatu pengujian yang lebih komprehensif dan bertanggung-jawab, selain menguji tujuan serta motivasinya yang harus kudus dan benar, kita juga harus menguji musiknya sendiri: is it the right or wrong music? Is it good music or bad music? Is it holy or sinful?

Tentu dalam realitanya, kita tidak dapat melakukan pemisahan putih-hitam karena kita percaya dalam kejahatan yang bagaimanapun selalu masih ada anugerah Tuhan yang menahan dari kerusakan yang serusak-rusaknya, ada common grace (anugerah umum) yang tetap menyatakan secercah kebaikan di dalamnya.[3] Demikian halnya dengan musik, tidak ada musik yang serusak-rusaknya sehingga tidak mungkin menjadi lebih rusak lagi (karena sudah terlalu rusak), selalu ada ruang untuk setitik (atau mungkin dua – tiga titik J) keindahan di dalamnya. Sebaliknya, tidak ada musik atau seni yang begitu sempurna sehingga dikatakan musik ini adalah musik yang tanpa cacat sesuai dengan selera Tuhan (itu mungkin pengharapan eskatologis, bukan di dunia yang berdosa ini), bagaimanapun musik adalah hasil karya manusia yang berdosa, yang tidak sempurna, yang di dalam Yesus Kristus boleh berharap bahwa hari demi hari ia semakin dikuduskan dan disempurnakan.

NAMUN, ini tidak berarti bahwa karena semua musik toh tidak ada yang sempurna, selalu merupakan campuran antara yang baik dari Tuhan dan kelemahan manusia yang berdosa, kalau begitu semua musik sama adanya.[4] Tidak sama. Ada musik yang sangat dipengaruhi oleh keindahan Firman Tuhan, namun ada pula yang dibentuk dari spirit yang sangat melawan Tuhan (yang juga ternyata dalam komposisi musiknya).

Sampai di sini saya ingin share apa yang saya pelajari dalam pergumulan pribadi saya mengikut Tuhan khususnya dalam integrasi Firman Tuhan dan musik. Memang, sekali lagi, Alkitab tidak membicarakan nada-nada dan juga tidak dimaksudkan sebagai textbook untuk semua logi. Namun Alkitab membicarakan mengenai apa itu keindahan. Keindahan menurut konsep Firman Tuhan tidak dapat dilepaskan/dipisahkan dengan kebenaran, kekudusan, kesalehan, keadilan, kebaikan dsb. Adalah suatu kecelakaan besar di jaman kita yang selalu terbiasa dan latah mengatakan apa yang dipercaya oleh para penganut agama subjectivism bahwa keindahan semata-mata hanya tergantung pada mata si pelihat (beauty in the eyes of the beholder). Mengapa saya sebut musik ini indah? Karena memang itu indah bagi saya. Saya sejak kecil sudah terbiasa mendengar musik ini, saya dibesarkan dalam selera musik ini, maka musik ini indah.

Kita tidak menyangkali bahwa apa yang kita percaya sebagai kebenaran tidak mungkin lepas dari kontext kebudayaan yang membentuk kita (termasuk di dalamnya selera musik yang mewarnai hidup kita sejak kecil), namun ini tidak berarti bahwa dalam pengujian musik yang benar dan baik semata-mata hanya diwarnai oleh bias subyektif dan tidak ada standard atau kriteria obyektif di dalamnya.[5] Sekali lagi saya menghimbau, adalah lebih bijaksana bagi kita untuk tetap kembali kepada Firman Tuhan, instead of diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran dari filsafat-filsafat dari dunia yang melawan Tuhan kita.

Jika kita percaya pandangan bahwa segala sesuatu yang kita anggap benar sebenarnya adalah merupakan produk selera subyektif kita, maka berdasarkan prinsip ini kita juga bisa mengatakan: “Yesus Kristus adalah Tuhan bagimu, itu karena engkau dibesarkan sejak kecil dalam keluarga Kristen. Pantes saja engkau berselera terhadap ajaran Yesus, pantesan engkau menyebut Dia Tuhan.” Berapa banyak di antara kita di sini yang menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat namun tidak dibesarkan dalam keluarga Kristen, tidak mendengar pembentukan kebudayaan cerita-cerita sekolah minggu sejak kecil? Saya percaya tidak sedikit dan saya percaya masih banyak yang akan menyusul. Apakah Yesus baru menjadi Tuhan lantaran bias subyektif kita sebagai orang Kristen? Kita berani berkata, “Entah saya percaya Yesus sebagai Tuhan atau tidak, Yesus tetap adalah Tuhan.” Yesus Kristus Tuhan adalah suatu fakta kebenaran obyektif yang tidak dipengaruhi oleh kepercayaan subyektif saya sebagai orang Kristen. Hanya saja, memang ketika saya tidak mempercayaiNya sebagai kebenaran yang subyektif (maksudnya hal itu juga saya imani secara pribadi), kebenaran itu tidak menjadi kebenaran yang menyelamatkan saya, namun bahwa itu tetap adalah kebenaran adalah suatu fakta yang tidak dapat diubah (meskipun saya tidak mempercayainya).

Adalah suatu kebohongan dari dunia ini bahwa segala sesuatu yang kita percaya dan kita anggap benar semata-mata adalah kepercayaan serta pandangan subyektif yang tidak ada dasar obyektivitasnya sama sekali. Ketidak-percayaan terhadap pencarian kebenaran yang bersifat obyektif ini,[6] atau sederhananya: “kebenaran yang sejati”, dengan menggantikannya dengan sikap “ah, itu kan selera kamu, itu kan pandangan subyektif kamu belaka” adalah suatu penghinaan terhadap Allah Roh Kudus yang dijanjikan oleh Yesus Kristus sebagai yang “akan memimpin kamu dalam seluruh kebenaran” (Yoh 16:13). Kita menganggap Roh Kudus tidak cukup berkuasa untuk memimpin kita ke dalam kebenaran yang sejati seperti dijanjikan Yesus. This is a very serious sin! Dan yang lebih kacau adalah: dunia menuduh bahwa orang yang masih mempertahankan iman yang sederhana bahwa ada kebenaran transendental yang terlepas dari selera subyektif kita, karena itu diturunkan dari atas, dari Bapa segala terang, yang padaNya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran (Yak 1:17), tidak ada kepalsuan di dalamNya, orang yang masih percaya seperti itu adalah orang-orang yang tidak jujur dan sedang berbohong!

Kalau boleh sedikit saya sharing dari perjalanan hidup saya pribadi, ada saat-saat yang menyakitkan dalam kehidupan saya di mana saya harus belajar melepaskan selera saya yang tidak kudus dan menggantikannya dengan yang lebih baik yang Tuhan sediakan. Ada musik-musik tertentu – mungkin terlalu general mengatakan musik-musik tertentu – katakanlah lagu-lagu tertentu, yang tadinya saya sukai dan gemari berdasarkan selera pribadi saya, sekarang saya menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna dan tidak membangun, bukannya tidak boleh (I Kor 10:23), karena pandangan hidup kebebasan Kristen bukan persoalan boleh – tidak boleh, melainkan bahwa di dalam kebebasan saya sebagai orang percaya, saya tidak memerlukan hal itu lagi, ada hal yang jauh lebih indah, berharga dan nikmat yang Tuhan sediakan bagi saya. Di sisi yang lain, ada hal-hal yang tadinya saya sangat tidak berselera untuk melakukannya, namun karena saya mengetahui bahwa itu adalah perintah Tuhan, saya belajar untuk menyangkal diri dan mengubah selera saya yang tidak selalu benar dan kudus.

Ah, sudah tiga halaman lebih saya menulis, hari ini sampai di sini dulu. Hopefully, next time masih bisa sharing lagi. Kiranya Tuhan sumber segala berkat mengaruniakan kepada kita sekalian hidup dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10).
[1] Sebenarnya pandangan yang hanya menekankan the ultimate goal dalam disiplin ilmu disebut teleological ethics. Pandangan utilitarianisme sangat dekat dengan konsep seperti ini. Kecenderungan konsep demikian adalah: yang penting tujuannya baik, ada manfaat dan hasil yang terlihat, caranya, jalannya, sarananya, whatever it is, doesn’t matter. Pandangan etika seperti ini bersifat reduktif dan karena itu kurang komprehensif dan integratif.
[2] Kembali di sini kita melihat bahwa baik teleological ethics, deontological ethics (it is the right thing to do) maupun situation ethics (yang menekankan motivasi kasih) memiliki kelemahan serta kesempitannya masing-masing.
[3] Orang suka mengatakan tentang hal ini “Jam rusak pun dalam satu hari paling sedikit cocok dua kali”.
[4] Kita dapat memberi analogi di sini yaitu teologi. Teologi pun merupakan hasil karya manusia yang berdosa yang berusaha untuk taat serta merefleksikan Firman Tuhan dalam kehidupan yang sementara ini. Tidak ada teologi yang sempurna, yang dapat dikatakan infallible, setara dengan Alkitab. Namun ini tidak berarti bahwa semua teologia pasti sama dan semuanya relativ adanya. Ada teologi dengan tingkat kerusakan minor, ada teologia dengan tingkat kerusakan sangat parah, ada pula teologi yang – kita sungguh dibuat sangat bingung – mengapa hal seperti itu masih bisa disebut teologi!
[5] Indeed, banyak pemikir postmodernist sekuler yang menganut pandangan seperti ini (saya mengatakan sekuler karena tidak semua pemikir kontemporer menyembah ilah jamannya, masih ada sebagian pemikir yang mempertahankan iman yang sederhana kepada ajaran Alkitab sembari terus kritis menyikapi Zeitgeist yang ditawarkan oleh dunia ini).
[6] Maafkan keterbatasan bahasa saya, jika di sini terpaksa menggunakan kutub “subyektif-obyektif” yang sangat berbau Cartesian untuk menjelaskan tentang iman Kristen.

My conscience is captive to the Word of God. ... for to go against conscience is neither right nor safe (Luther at the Imperial Diet of Worms).



Iman Kristen dan Musik (4)

Pada bagian 1-3 kita sudah membahas bahwa kebudayaan tidak bebas dari nilai moral. Tidak ada kebudayaan yang netral. Jika kita percaya kebudayaan bersifat netral maka konsekuensi logisnya adalah kita sebagai orang Kristen tidak perlu menjalankan mandat budaya, karena yang disebut mandat budaya adalah pengaruh filsafat Firman Tuhan yang dipancarkan dalam kebudayaan yang bersifat transformatif. Jika tidak relevan membicarakan apakah suatu kebudayaan merupakan suatu kebudayaan yang baik, kudus dan berkenan kepada Allah atau sebaliknya buruk, banyak dipengaruhi sifat dosa, merusak dsb, maka seluruh pembicaraan tentang transformasi kebudayaan adalah sia-sia dan juga tidak relevan.

Sebagaimana kita tahu, musik termasuk atau menjadi bagian dari kebudayaan manusia. Sama seperti di atas jika kita menerima pandangan musik netral sepenuhnya (hal mana sebenarnya sulit untuk dipertahankan dengan dasar alkitabiah) maka pembicaraan tranformasi kuasa Firman Tuhan di dalam musik juga tidak terlalu relevan. Yang paling banyak dipikirkan dalam pandangan seperti ini adalah: ya, beri saja teks firman Tuhan di dalamnya, maka musik otomatis akan mengalami transformasi. Pandangan seperti ini sebenarnya dangkal dan kurang bertanggung-jawab. Ini mirip dengan orang yang menggumulkan bagaimana mentransformasi dunia pekerjaan berdasarkan prinsip Kristen dengan mengadakan persekutuan kantor atau berdoa sebelum saya memulai pekerjaan.[1] Pandangan seperti ini sayangnya banyak dianut oleh kaum Injili. Asal di dalamnya ada teks firman Tuhan, otomatis menjadi lagu Kristen yang baik dan memuliakan Allah.

Dalam tulisan yang lalu kita juga sudah membahas bahwa dengan menguji telos saja sebenarnya bersifat reduktif dan akhirnya salah. Setiap reduksi yang dipertahankan akan selalu membawa kerugian bagi kita dan orang-orang yang kita layani karena ini sama dengan menolak pertumbuhan yang sedang dikerjakan oleh Tuhan.[2] Saya pikir sebagai orang Kristen, adalah lebih baik bagi kita untuk lebih mengikuti Alkitab daripada ajaran-ajaran dunia seperti utilitarianism dan pragmatism. Banyak ajaran-ajaran yang seolah-olah berasal dari Alkitab namun tanpa kita sadar sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh filsafat-filsafat dunia. Kita dapat memberikan satu argumentasi lagi dari Alkitab sendiri bahwa bagi Allah bukanlah hal yang basa-basi ketika Ia menuntut agar yang dipersembahkan kepadaNya adalah korban domba yang tidak bercela, yang tidak bercacat (Imamat 22:21). Di sini kita melihat bahwa bukan hanya tujuannya yang perlu diuji dan diperhatikan, demikian juga motivasi saja tidak cukup, melainkan juga termasuk apa yang dipersembahkan itu sendiri harus diuji. Tidak semua layak dipersembahkan kepada Tuhan.

Beberapa ini contoh dari firman Tuhan bahwa orang-orang saleh mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan:
· Abraham mempersembahkan roti bundar dari tiga sukat tepung yang terbaik (Kej 18:6)
· Yang terbaik dari buah bungaran hasil tanahmu haruslah kaubawa ke dalam rumah TUHAN, Allahmu. Janganlah kaumasak anak kambing dalam susu induknya (Kel 23:19)
· Yang terbaik dari buah bungaran hasil tanahmu haruslah kaubawa ke dalam rumah TUHAN, Allahmu. Janganlah engkau masak anak kambing dalam susu induknya (Kel 34:26)
· Apabila seseorang hendak mempersembahkan persembahan berupa korban sajian kepada TUHAN, hendaklah persembahannya itu tepung yang terbaik dan ia harus menuangkan minyak serta membubuhkan kemenyan ke atasnya (Imamat 2:1)

Dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang mengatakan bahwa apa yang kita persembahkan kepada Tuhan juga harus kita uji. Tidak cukup hanya dengan menguji asal tujuan dan motivasinya saja benar.

Sekarang pertanyaannya: bagaimana kita bisa menguji musik itu sendiri sebagai apa yang kita persembahkan kepada Tuhan? Karena sebagaimana sering dikatakan: Alkitab tidak membicarakan nada-nada. Memang tidak, dan juga tidak perlu, tapi Alkitab membicarakan tentang apa itu keindahan, filsafat keindahan menurut sudut pandang Alkitab dan bahwa seni tidak mungkin terlepas dari filsafat keindahan (atau filsafat ketidak-indahan :) yang ada di dalamnya. Bagian inilah yang bisa dibenturkan (baca: diuji berdasarkan firman Tuhan).

Dalam study saya pribadi saya mempelajari bahwa memang tidak ada satu-satunya jaman yang menghasilkan estetika musik yang alkitabiah. Kalau kita menerima ajaran Alkitab kita akan sangat berhati-hati uniformitas seperti diajarkan dalam modernism (hanya ada satu-satunya jenis musik yang benar dan Alkitabiah). Pandangan demikian bukan ajaran Alkitab karena Alkitab memberitakan tentang diversitas atau keaneka-ragaman. Allah Tritunggal adalah Allah di dalam tiga Pribadi, bukan satu-satunya Pribadi. Namun di sisi yang lain, kita juga tidak menerima pandangan pluralisme radikal yang mengatakan bahwa semua jenis musik dapat dipergunakan. Pandangan ini berasal dari filsafat kontemporer yang merupakan pendulum sebaliknya dari modernism. Kita tahu bahwa Alkitab memang membicarakan pluralitas tapi Alkitab memberitakan pluralitas yang terbatas. Menerima semua pluralitas, saya kuatir, sebenarnya hanya merupakan respon simetris dari kesalahan modernism. Dalam jaman seperti ini saya percaya salah satu karunia yang sangat penting adalah karunia membedakan bermacam-macam roh (I Kor 12:10). Tanpa karunia ini Gereja akan tersesat ke dalam pluralisme radikal, mengakomodasi semua pluralitas tanpa merefleksikan atau mengujinya apakah keaneka-ragaman itu dibenarkan oleh Firman Tuhan atau tidak.

Dalam musik berlaku prinsip yang sama. Tidak ada satu-satunya jenis musik yang benar dan Alkitabiah (modern uniformitas), sebaliknya juga tidak benar mengatakan semua jenis musik adalah benar dan kudus (unreflected pluralism kontemporer). Saya coba sharing dari beberapa karya musik di mana kita dapat menguji bahwa ada estetika yang dipengaruhi oleh Alkitab atau wahyu umum, ada juga yang sebenarnya dipengaruhi bukan oleh filsafat sekuler yang tidak setia kepada Alkitab. Dua tokoh yang coba untuk dinilai di sini adalah J.S. Bach dan John Cage.[3] Ada beberapa argumentasi yang salah untuk menilai bahwa Bach pasti lebih baik daripada Cage, misalnya:[4] Bach adalah komponis Jerman dan Cage komponis Amerika.
Tanggapan: argumentasi ini tidak dapat diterima karena yang alkitabiah tidak ditentukan oleh ras atau bangsa tertentu. Yang dari Barat bisa alkitabiah bisa tidak, yang dari Timur bisa alkitabiah bisa juga tidak.
Bach artinya sungai kecil, dengan demikian lebih menyatakan kehidupan Kristen yang seharusnya mengalirkan berkat, sementara Cage artinya adalah kurungan alias tidak bebas, maka seperti belum ditebus. Tanggapan: penyelidikan ‘etimologis’ seperti ini tampaknya tidak terlalu berguna dan mengada-ada.
Bach dimulai dengan huruf B seperti kata “better” sementara Cage dengan huruf C seperti “chaotic”. Tanggapan: argumentasi ini lebih mengada-ada dan konyol.
Bach, sebagai seseorang yang hidup di jaman Barock lebih banyak menggunakan wig (rambut palsu) daripada Cage yang hidup di jaman kita. Tanggapan: wig (rambut palsu) sama sekali tidak berperan dalam komposisi yang alkitabiah atau tidak. Demikian kita dapat menambahkan beberapa argumentasi konyol yang lain, namun mungkin ada 1 argumentasi lagi yang mirip dengan yang di atas dan sebenarnya juga konyol, namun banyak diterima yaitu:

Bach adalah komponis jaman Barock, dengan demikian ia adalah tradisional sementara Cage adalah komponis kontemporer. Argumentasi ini konyol karena yang alkitabiah bisa terjadi di masa lampau maupun di masa sekarang, sementara yang rusak dan yang melawan Alkitab juga bisa terjadi di masa lampau dan juga masa sekarang. Perdebatan musik yang berkecimpung antara musik tradisional dan kontemporer sebenarnya membuang-buang tenaga yang seharusnya bisa dipergunakan untuk mengerjakan hal-hal yang lebih baik bagi Tuhan. Persoalannya bukan mengenai musik masa lampau dan musik kontemporer, melainkan pengujian estetis menurut terang firman Tuhan.

Seperti kita tahu, Bach yang rada old-fashioned itu masih menggunakan teknik komposisi polyphonic music dengan cantus firmus sebagaimana digunakan dalam jaman sebelumnya (Renaissance dan middle ages). Bach bukanlah satu-satunya komponis yang menggunakan teknik ini, malahan dia sendiri belajar hal ini dari komponis-komponis sebelum dia. D. Bonhoeffer (seorang teolog dan juga seorang pianis yang berbakat) pernah menjelaskan tentang kasih dengan mengatakan bahwa kasih kita kepada Kristus seperti cantus firmus sedangkan kasih kepada sesama adalah seperti polyphonic counterpoint yang dirajut berdasarkan cantus firmus itu. Apa yang dikatakan Bonhoeffer sebenarnya bukan dari pemikiran dia sendiri, melainkan yang terjadi lebih dahulu adalah estetika kristologis (Kristus sebagai fokus yang mempersatukan keaneka-ragaman) mewarnai penggarapan musik mulai dari abad pertengahan dan diteruskan sampai kepada Bach. Musik seperti itu indah (menurut pengertian Alkitab) karena dipengaruhi oleh estetika yang alkitabiah.

Yang dilakukan Bonhoeffer sebenarnya hanya menggunakan insight musical untuk menjelaskan teologinya, sementara insight musical itu sendiri dipengaruhi oleh pemikiran dari Alkitab. Selain Bonhoeffer, teolog yang kadang-kadang membicarakan integrasi antara teologi dan musik adalah Karl Barth, Hans Urs von Balthasar dan terutama belakangan ini Jeremy Begbie (Cambridge). Begbie berusaha untuk menelaah lebih banyak musical language untuk memberikan insights bagi teologi. Bagi saya pribadi, penarikan seperti ini sangat mungkin karena banyak karya musik dari tradisi Barat yang sangat dipengaruhi oleh estetika alkitabiah. Ini tidak menyatakan bahwa Barat lebih superior dari Timur, melainkan karena tradisi kebudayaan mereka banyak dipengaruhi oleh Alkitab sehingga kebudayaan yang dihasilkan juga memiliki kualitas yang tinggi.[5] Di samping itu kita juga melihat bahwa di Barat juga banyak kebudayaan yang dihasilkan dari spirit yang melawan Tuhan (mis. violence, anti-otorian, egalitarian, materialism, konsumerism, hedonism etc), yang juga tercermin dalam karya seni mereka. Kebudayaan yang dipengaruhi oleh filsafat Firman Tuhan pasti lebih tinggi (lebih baik, lebih kudus, lebih indah, lebih membangun) daripada yang dipengaruhi oleh filsafat yang melawan Tuhan.

Sekarang kita coba melihat karya John Cage, juga dari Barat, misalnya karya ‘monumental’nya yaitu 4’33’’.[6] Atau karya lain yang diberi judul HPSCHD di mana 7 pemain harpsichord sekaligus memainkan cuplikan dari karya Cage secara ‘kebetulan’ (chance-determined) ditambah dengan suara-suara elektronik yang lain, atau Imaginary Landscape No. 4 yang ditulis untuk 12 radio. Pada karya yang terakhir ini sekalipun Cage memberikan instruksi bagi para ‘pemain’ radio itu, ‘musik’ yang dihasilkan darinya tidak pernah mungkin bisa dikontrol (kita tidak tahu gelombang hari itu mengeluarkan bunyi apa). Ide “musical happenings” ini merupakan produk estetika postmodern non-intentionality (yang rusak dan melawan Alkitab). Karya seperti HPSCHD menggambarkan kompleksitas kehidupan (yang fragmented dan tidak perlu ada integrasi), suatu bentuk negasi atau perlawanan terhadap one single opinion, karena itu berarti dictatorship. Cage sendiri banyak dipengaruhi oleh estetika Taoisme dan Zen Buddhism. Seorang filsuf bahkan menelusuri kemiripan estetika Cage dengan filsafat dari Martin Heidegger.

Pengujian estetis yang sama kita bisa lakukan terhadap lukisan (abstract) expressionism dari Polluck misalnya atau expressionisme dalam musik Schoenberg, musik bi-tonality, demikian juga dengan jenis musik yang lain. Tidak ada yang bebas dari konsep estetika. Inilah yang membuat musik tidak mungkin netral.[7]
Melakukan pengujian seperti ini selalu tidak mudah dan terutama di jaman yang serba instant, mau langsung jadi, tidak perlu banyak bergumul, over-simplifikasi etc, pengujian seperti ini sangat melelahkan dan dalam natur kita yang lemah kita lebih suka (saya juga!) mencari jalan yang mudah, jalan yang lebar, yang tidak perlu banyak bergumul, tidak perlu banyak belajar, tidak perlu banyak .... pikul salib. Sekarang banyak orang berpikir “atas nama pluralitas” kita melakukan ‘pemutihan’, penetralan segala sesuatu, namun Alkitab memerintahkan kita untuk “menguji segala sesuatu dan memegang yang baik” (I Tes 5:21).
[1] Tentunya tidak salah mengadakan persekutuan kantor atau berdoa sebelum bekerja, itu dapat menjadi hal yang menjadi berkat. Yang saya maksud adalah kalau kita mau memikirkan theology of work secara komprehensif, tidak cukup hanya dengan mengadakan persekutuan kantor saja (memasukkan life sphere ibadah dalam dunia pekerjaan). Pekerjaan itu sendiri harus menjadi suatu ibadah di hadapan Tuhan.
[2] Mengenai pandangan telos seperti yang banyak dianut saat ini sebenarnya merupakan pengaruh dari filsafat utilitarianism dan pragmatisme. Entah kita mau membicarakannya dalam konteks etika Kristen atau tidak, yang jelas ALKITAB membicarakan lebih daripada sekedar tinjauan teleologis. Yesus Kristus tidak hanya memiliki telos yang benar, Dia juga selalu mengerjakan serta mempersembahkan hal yang benar (ini bukan aspek telos tapi merupakan aspek yang lain), dan dia juga selalu memiliki motivasi yang benar. Tiga hal ini dicatat oleh Alkitab sendiri, terlepas dari etika membicarakan ini atau tidak.
[3] Untuk membereskan kesalah-pahaman pandangan karikatural bahwa semua musik ‘klassik’ pasti baik dan bermutu, perbandingan ini akan menyatakan bahwa tidak semua musik dari tradisi ‘klassik’ selalu baik dan membangun.
[4] bagi mereka yang sibuk dan terlalu serius, silakan bagian ini di-skip dan langsung saja pada argumentasi terakhir di akhir paragraf :)
[5] Menanggapi pernyataan Sdr. Jimmy tentang cultural elitist, saya pikir kita perlu membacanya dengan double perspective: di satu sisi para elitists bersalah karena kecenderungan menghina/merendahkan mereka yang memiliki kebudayaan yang lebih rendah karena ini sebenarnya merupakan penyangkalan dari teologia anugerah: “Apakah yang engkau miliki yang tidak engkau terima (dari Tuhan)?” Persoalan para elitists adalah kekurangan spirit inkarnasi; namun di sisi yang lain pandangan yang mengatakan bahwa kebudayaan tertentu memang higher dan lebih berkualitas/bermutu daripada kebudayaan yang lain adalah pendapat yang tidak salah. Mengatakan semua kebudayaan (musik termasuk di dalamnya) tidak memiliki perbedaan kualitas merupakan either ignorance atau penipuan diri.
[6] Tidak sulit untuk membayangkan karya ini: seorang performer berdiri di atas panggung selama empat menit tigapuluhtiga detik tanpa memainkan suatu nada. Yang terdengar di situ adalah mungkin suara audience yang sedang gelisah dan iri terhadap seorang musician yang makan gaji buta.
[7] Analogi bahasa seperti diusulkan oleh Sdr. Jimmy kurang memadai untuk menggambarkan ketidak-netralan musik/seni/culture. Tapi seandainya analogi ini (bahasa) tetap dipertahankan, kita tahu bahwa dalam bahasa apa pun di dunia ini ada kata-kata makian, kata-kata yang mengekspresikan kebencian yang berdosa, kata-kata yang menghujat dsb. Kata-kata atau kalimat-kalimat tersebut tidak mungkin tidak, harus dikuduskan dan tidak layak dipergunakan untuk memuji Tuhan. Bahasa pun (meskipun sekali lagi sebagai analogi untuk musik sangat lemah dan tidak memadai) ternyata tidak senetral yang kita pikirkan. Bahasa, sebagai salah satu modus dalam hidup manusia, tidak luput dari pencemaran dosa. Bahasa juga perlu dikuduskan oleh Firman Tuhan.



Iman Kristen dan Musik (5)

Hari ini saya ingin sharing sedikit tentang perkembangan musik yang terjadi di jaman Middle Ages. Sayang warisan seni dalam bidang musik tidak banyak dirayakan dibandingkan dengan seni-seni yang lain (kemungkinan besar kita akan lebih kagum memandangi Kathedral di Köln, Ulm, Sainte-Chapelle di Paris atau Duomo di Milano daripada mendengarkan sebuah Gregorian Chant). Beberapa orang bahkan mengatakan jenis musik seperti ini sebenarnya masih belum berkembang alias primitif sehingga sulit untuk diapresiasi. Dalam ibadah, apalagi dalam kalangan gereja-gereja Injili, sedikit sekali (kalau tidak mau dikatakan hampir tidak ada) jenis-jenis lagu Gregorian yang masih dinyanyikan dalam ibadah. Mungkin hampir satu-satunya yang paling populer adalah O come, O come, Emmanuel.

Lagu-lagu Gregorian ditulis monophonic, satu suara tanpa iringan, tanpa melodi tandingan, meskipun tentunya bisa dinyanyikan bersama-sama. Ada keindahan tersendiri dalam karya-karya ini, dengan suatu penggarapan konsep estetika yang berbeda sebagaimana dimengerti oleh jaman-jaman selanjutnya. Salah satu aspek estetika yang ditonjolkan dalam karya-karya ini adalah kesederhanaan iman (simplicity of faith) yang dituangkan dalam gaya musik satu suara, sulit untuk ditandingi dengan musik-musik polyphonic atau homophonic (meskipun tentunya karya-karya polyphonic dan homophonic memiliki keunikannya tersendiri yang juga sulit untuk diterapkan dalam karya seperti Gregorian chant).

Penggunaan tangga nada modus dan bukan mayor-minor seperti yang ada pada jaman-jaman selanjutnya juga memiliki keunikan tersendiri. Tangga nada modus to certain extent menyajikan perbedaan yang lebih kaya dibandingkan tangga nada mayor-minor (yang hanya dua macam). Modus-modus yang beraneka ragam ini bagaikan warna dalam sebuah lukisan. Bahkan komponis-komponis Renaissance awal masih berpikir dalam tatanan tangga nada modus, meskipun mereka sudah menulis musik polyphonic yang progresif.

Selain kesederhanaan iman yang dituangkan dalam gaya musik monophonic dan kekayaan nuansa dalam tangga nada modus, keindahan estetika dalam musik ini adalah terkandungnya potensi yang besar untuk berkembang/dikembangkan. Kita bisa membandingkannya dengan pemikiran-pemikiran yang besar biasanya ditandai dengan tidak berhentinya pikiran-pikiran tersebut, melainkan dengan memberikan inspirasi kepada yang membacanya untuk bukan hanya mengolah melainkan juga mengembangkannya lebih lanjut. Khotbah-khotbah yang baik juga demikian, tidak hanya memberikan solusi how-to terhadap pergumulan hidup seseorang, melainkan merangsang pendengarnya untuk terus menggumulkan, memikirkan dan merenungkannya lebih lanjut. Potensi sedemikian hanya mungkin terjadi dari bahan dasar yang memiliki kualitas yang cukup untuk dikembangkan. Kita tahu bahwa Gregorian Chant ini menjadi inspirasi karya-karya polyphonic di kemudian hari dalam penggarapan teknik komposisi cantus firmus (melodi utama) seperti ternyata dalam karya Leoninus, Perotinus dan Guillaume de Machaut pada jaman Abad Pertengahan.

Selain kesederhanaan iman, kekayaan nuansa dalam tangga nada modus dan kemungkinan potensi untuk terus berkembang, musik-musik Gregorian Chant juga menonjolkan aspek transendensi Allah, kekudusan, kemuliaan dan kebesaran Allah yang dimengerti secara antitetis dengan keadaan manusia sebagai ciptaan yang kecil, hina dan berdosa (Yes 6:1-5). Konsep transendensi Allah ini sejalan dengan perkembangan Theologia Mistik dalam abad pertengahan (sebagian sangat baik sebagian lagi tidak), khususnya dalam gerakan monastik, dan juga sejalan dengan komposisi arsitektural yang ternyata dalam katedral-katedral Gotik yang menjulang tinggi ke atas. Konsep transendensi Allah seperti diajarkan oleh Alkitab penting untuk terus diberitakan, karena hanya dengan menekankan imanensi-Nya (kedekatan) saja, kita cenderung kurang menghargai Allah. Konsep transendensi dalam Gregorian Chant ini erat hubungannya dengan eschatological character, other-worldly nuance yang terdapat dalam karya-karya ini. Tidak heran jika banyak musikus-musikus kontemporer yang mencoba untuk menimba dari Gregorian Chant untuk meminjam suasana mistik yang ada di dalamnya. Beberapa groups pop and rock, techno dan bahkan black metal menimba inspirasi dari Gregorian Chant. Yang ironis adalah, orang-orang Kristen sendiri tidak tahu bagaimana harus menghargai tradisi musik yang sangat berharga ini dan menggunakannya untuk tujuan yang mulia.

Transendensi Allah, kesadaran eskatologis (bahwa kita hanya sementara berada dalam dunia yang fana ini) dan other-worldly character dari Gregorian Chant memiliki keindahan estetika yang unik yang memperkaya pengertian iman Kristen. Penghayatan iman seperti ini berkait erat dengan suatu hidup yang berserah sepenuhnya (absolute surrender/totale Gelassenheit), another rare jewel in our post-industrial era yang dengan pandangan reduktifnya memperlakukan manusia sebagai mesin produksi. Sekaligus jenis musik seperti ini juga dapat menjadi alternativ tandingan terhadap new age culture (baik itu praktek-praktek meditasi transendental, musik-musik new age, pengembangan diri ala new age, pengolahannya dalam film, literatur etc). New age aesthetics mengajarkan bad and wrong aesthetics, karena presuposisi dasarnya memang melawan Alkitab. Estetika yang keliru dan berdosa akan menghasilkan musik yang keliru dan berdosa. Kehausan spiritualitas di dalam jaman kita (saya percaya bukan hanya di Barat tapi di Timur juga) tidak dapat ditutup-tutupi lagi. Jikalau keKristenan tidak tahu menghargai tradisi yang baik sebagaimana pernah Tuhan karuniakan dalam sejarah Gereja, saya khawatir kita akan mencoba pendekatan trial and error terhadap semua jenis culture yang ada, tanpa melakukan suatu pengujian yang bertanggung jawab sebagai seorang percaya yang mengaku dan berkomitmen untuk taat kepada Firman Tuhan. Kiranya Tuhan menguatkan dan menolong kita yang sangat lemah. Sola Gratia, Soli Deo Gloria.



Iman Kristen dan Musik (6)—Diskusi
(Sdr. Jimmy—S dan Pdt. Billy Kristanto—B)


J :
Sekali lagi, saya angkat topi utk upaya kamu meninjau masalah ini dari seluruh dimensi yg penting... Tidak disangkal lagi, kamu sangat bertanggung jawab dan serius mendalami hal ini... Kami semua dapat belajar banyak dari kamu... Pembahasan kamu menyegarkan motivasi saya utk belajar lbh serius lagi...

B :
Saya pikir diskusi ini juga mempertajam dan memperjelas kesimpang-siuran konsep tentang musik gerejawi yang banyak dianut, sekalipun mungkin kita belum bisa 100% sependapat.

J :
Satu pertanyaan saja karena saya belum menemukan jawabannya secara lugas dalam pembahasan kamu: Apa properties dari suatu jenis musik yang memungkinkan kita melakukan pengkategorian musik yang kudus atau tidak (selain teks, apalagi)?
Saya setuju bahwa dari sudut pandang estetika, maka ada kemungkinan bahwa jenis musik tertentu (seperti Klasik) adalah high-art. Mungkin inilah perbedaan kita berdua. Kamu berangkat dari estetika. Sedangkan saya berangkat dari preferensi musikal manusianya.

B :
As you already noticed, pengujian musik yang good or bad, atau lebih baik: better and worst.[1] Pengujian ini terutama dilakukan dengan menyelidiki estetika musik tersebut.[2] Tentang approach (pendekatan) tentunya bisa beraneka-ragam dan tidak mutlak, namun kita harus selalu ingat bahwa ketika kita membicarakan “starting point” (bukan “approach”) maka hanya ada satu-satunya starting point yaitu penilaian dari Alkitab sendiri. Persoalan berangkat dari preferensi musikal bagi saya adalah ini bukan hanya sekedar perbedaan approach (which I have no problem at all with), melainkan sudah berurusan dengan “starting point”. Preferensi musikal ini berangkat dari diri sebagai subyek yang menyukai musik tertentu (saya suka musik A, kamu musik B, yang lain lagi musik C dan seterusnya). Dengan kata lain starting pointnya masih berada di bawah tradisi filsafat Cartesian (Rene Descartes). Kita tahu bahwa pengaruh Descartes dan Kant (yang mulai dari diri manusia sebagai subyek) hanya membawa kepada agnostisisme, skeptisisme, relativisme, dan terakhir (menurut Hauerwas) nihilism. Kalau kita mulai starting point dari diri (padahal kita tahu diri kita berdosa dan tidak sempurna) maka yang akan terjadi adalah “you can choose whatever you like, what you think is best and good for you”. Starting point dari diri (manusia) pasti tidak akan ada jalan temu karena setiap orang mempunyai pendapatnya sendiri-sendiri. Musicology yang dimulai dengan starting point diri bukan jalan dari Alkitab tetapi dari Descartes and co.
Sebaliknya ketika kita melakukan penyelidikan estetis, kita percaya bahwa terlepas dari selera musik saya secara pribadi, ya, terlepas dari pendapat saya sebagai manusia yang berdosa dan tidak sempurna, Alkitab memberikan prinsip-prinsip tentang apa itu keindahan. Dengan kata lain, Alkitab membicarakan tentang estetika. Menurut Fil 4:8 ada kaitan antara keindahan (aspek estetik) dengan kebenaran, kemuliaan, keadilan, kesucian dsb). Apa yang indah adalah apa yang kudus dan apa yang benar. Sehingga musik yang indah (menurut kriteria Alkitab) dapat juga dikatakan kudus, musik yang tidak indah adalah tidak kudus dan tidak benar. Di sini kita langsung berbeda dengan para relativist yang mengatakan bahwa indah adalah persoalan selera, tidak bisa diuji etc. Pandangan itu bukan pandangan Alkitab tapi pandangan filsafat dunia.
Bagaimana kita menguji estetika suatu musik tertentu, atau lebih detail, suatu karya komponis tertentu? Untuk suatu pengujian yang lebih kompleks dan komprehensif kita perlu untuk mempelajari musik tersebut terbentuk dari latar belakang yang bagaimana (di sini diperlukan study interdisipliner bidang-bidang yang lain seperti sosiologi, filsafat, kebudayaan dsb). Atau kalau mempelajari estetika komponis tertentu, kita perlu mengetahui biografinya, kepercayaan atau ideologi yang dia anut (saya sudah sharingkan secara singkat di tulisan yang terdahulu tentang John Cage misalnya yang banyak dipengaruhi oleh Zen-Buddhism). Selain itu juga dia berada di bawah pengaruh tradisi apa, adakah pengaruh estetika Kristen dalam tradisi ini? Jika ada, seberapa jauh? Berapa banyak penyimpangannya?
Konsep estetika ini berkaitan dengan penggarapan yang terjadi dalam 5 musical parameter dasar (harmoni, melodi, ritme, dinamika dan suara [Klang]). Estetika tertentu digarap dalam harmoni atau melodi tertentu yang merefleksikan estetika tadi (kembali dalam pembahasan tentang John Cage saya mencoba untuk mensharingkan kaitan antara estetika yang dianut oleh Cage dengan teknik penggarapan komposisi musiknya). Dengan demikian musik tidak mungkin netral. Dan kalau kita menerima pandangan Alkitab tentang keindahan (bukan pandangan relativisme), kita tahu bahwa keindahan memiliki kriteria obyektif dalam suatu pengujian yang dilakukan di bawah terang Alkitab. Yang indah adalah kudus dan benar, yang tidak indah tidak kudus dan tidak benar. Dengan kata lain, there is better aesthetics and worst aesthetics. Estetika tidak relatif menurut konsep Alkitab.


J : Analogi saya sederhana saja. Dalam dunia linguistik pun kita dapat menemukan beberapa bahasa yang jauh lebih tinggi dalam pengungkapan dan kedalaman makna. Contohnya saja bahasa Inggris dan Indonesia lebih unggul Inggris karena memiliki tenses. Sementara bahasa Yunani mungkin lebih tinggi daripada bahasa Inggris. Ada pula yang bilang bahasa Mandarin lebih tinggi karena kandungan filosofis dalam perkawinan pelbagai karakter yang menghasilkan karakter baru, dsbnya. Namun, apakah dengan demikian kita seharusnya berdoa/berkomunikasi kepada Tuhan dalam bahasa Yunani/Inggris/Mandarin ketimbang Indonesia karena Indonesia lebih inferior?

B:
Kamu mengangkat satu point yang penting di sini (“higher culture”) yang saya percaya akan semakin memperjelas diskusi ini. Mengenai “higher culture” ini saya ada beberapa tanggapan:
1. Saya pribadi lebih suka menggunakan istilah kebudayaan yang lebih kompleks/berbobot dan kebudayaan yang lebih sederhana, instead of high and low. Pembedaan high and low arts bisa membawa orang terjebak dalam spirit cultural elitist yang salah (menghina culture yang lebih rendah), dengan demikian, seperti sudah saya bahas sebelumnya, merupakan ketidak-mengertian terhadap theology of grace. Dalam tradisi Reformed theology orang lebih suka menggunakan istilah kebudayaan yang lebih kompleks di satu sisi dan lebih sederhana di sisi yang lain.
2. Pembedaan ini penting karena adanya konsep takaran yang berbeda-beda bagi setiap orang. Tidak setiap orang diberikan takaran yang sama, let say, untuk mengecap ‘high’ education, ‘high’ cultural living, ‘high’ civilization dsb. Alkitab mengajarkan agar kita memberikan yang terbaik bagi Tuhan (motivasi, tujuan dan pemberiannya sendiri). “Yang terbaik” yang dimaksud di sini tentunya adalah “yang terbaik yang dapat saya berikan.” Yang terbaik, sesuai dengan takaran yang Tuhan percayakan pada saya. Persoalan yang terjadi pada cultural elitist adalah tidak mengerti bahwa setiap orang memiliki takaran yang berbeda-beda dari Tuhan. Yang penting di sini adalah setiap orang harus jujur dan mengenal diri dengan benar.
3. Namun ini tidak berarti bahwa takaran itu statis dan tidak dapat berubah. Alkitab juga mengajarkan bahwa mereka yang setia dalam perkara kecil akan dipercayakan perkara yang lebih besar. Dalam takaran pun terjadi progresi. Point ini juga sama pentingnya dengan point ke-2, karena tanpa pengertian ini kita cenderung menjadikan konsep takaran itu sebagai rasionalisasi untuk mempertahankan status quo alias keengganan untuk bertumbuh dan terus maju. Di sini saya sulit untuk menerima pop-culture karena salah satu kecenderungan yang sangat kuat dalam kebudayaan ini adalah spirit yang suka mempertahankan “lack of depth” yang menjadi karakteristiknya.[3] Bukan hanya di dalam musik/seni saja, dalam pengenalan akan firman Tuhan juga bisa merembet spirit pop-culture,[4] dalam filsafat pelayanan juga dapat dipengaruhi oleh pop-culture.[5] Spirit instant dan mau langsung jadi, “how-to Christianity” yang mau jawaban siap pakai (tanpa harus bergumul) menjadi karakteristik umum di jaman kita sekarang. Sebaliknya jika kita mengikuti Alkitab, kita harus dengan rendah hati untuk terus mau bertumbuh dengan dipercayakan perkara yang lebih besar oleh Tuhan, termasuk di dalamnya pengenalan teologis yang lebih dalam dan lebih kaya akan Firman Tuhan, juga musik yang lebih berbobot dan lebih kompleks yang Tuhan ingin berikan kepada kita. Ini termasuk dalam bagian pertumbuhan yang wajar dalam hidup Kristen.
4. Sekalipun benar memang ada perbedaan seni yang lebih kompleks dan yang lebih sederhana, namun concern saya sebagai orang percaya lebih berurusan dengan apakah suatu karya memiliki good or bad aesthetics daripada ‘high’ or ‘low’ aesthetics. I have no problem at all dengan estetika musik yang lebih sederhana, karena bagi saya, kedua-duanya (musik yang kompleks atau yang sederhana) dapat dipakai oleh Tuhan. Yang menjadi persoalan bukanlah tingkat kompleksitas musiknya, melainkan estetika yang benar atau tidak. Ada musik yang sangat kompleks estetikanya, and yet bad aesthetics (seperti John Cage misalnya). Sebaliknya ada musik yang lebih sederhana and good aesthetics. Sebagai orang percaya kita mempertahankan yang good aesthetics dan membuang yang bad aesthetics (mengikuti anjuran Paulus untuk menguji segala sesuatu dan memegang yang baik [I Tes 5:21]). Di sinilah perbedaan kita dengan para cultural elitists karena mereka (para elitists) akan mempertahankan ‘high’ arts dan menghina serta membuang ‘low’ arts. Bagi kita, good aesthetics bisa ada pada karya seni yang kompleks maupun yang lebih sederhana, demikian juga halnya dengan bad aesthetics. Sama halnya dengan perdebatan musik trasional – kontemporer, perdebatan musik dalam kategori ‘high – low’ arts totally miss the point, karena yang dipersoalkan Alkitab adalah benar dan tidak benar, kudus dan tidak kudus (bukan tinggi atau rendah).[6]

Mengenai analogi bahasa, saya sudah pernah singgung bahwa analogi ini lemah dan tidak cukup untuk menggambarkan kompleksitas persoalan dalam pengujian estetika. Mengapa? Karena bahasa lebih bersifat universal, yang paling dasar yang ada pada setiap bangsa/suku. Jika analogi ini tetap mau dipaksakan juga, yang mungkin dapat menjadi perbandingan yang lebih tepat adalah dengan etno-musik, yang juga ada pada setiap bangsa/suku.[7] Sementara jenis musik seperti Rock, New Age, Expressionism, bi-tonality etc, bukanlah produk universal setiap bangsa (seperti keanekaragaman dalam etno musik misalnya), melainkan merupakan kebudayaan yang lebih banyak berkait dengan ideologi, bahkan agama tertentu. Ini yang membuat kategori jenis musik yang terakhir ini sangat tidak tepat jika dianalogikan dengan bahasa (karena kandungan nilai kepercayaannya yang sangat kuat).


J :
Kembali ke ibadah, saya melihat kesamaan masalah bila kita juga apply cara pikir yg sama. Saya melihat begini: mari kita pakai bahasa musik kita masing-masing... namun tetap terapkan striving for excellence within each categories...

B :
Jika ada seseorang yang dilahirkan dalam ‘bahasa musik’ New Age lalu dia ingin bertumbuh dalam ‘bahasa musik’nya itu dan menggunakannya dalam ibadah, bagaimana respon kita? Saya pribadi sulit dengan hati nurani yang jujur dan bertanggungjawab di hadapan Tuhan mengatakan “silakan saja, itu memang ‘bahasa musik’ kamu …” karena saya tahu musik-musik seperti itu lahir dari pergumulan agamawi yang melawan Tuhan. ‘Bahasa musik’ kita pun tidak netral, dan perlu terus dikuduskan oleh Firman Tuhan.


J :
Saya tidak menolak aspek keunggulan estetika namun itu menjadi tahap berikut, bukan titik awal.... makanya dalam credo saya, quality saya letakan setelah diversity dan love... jika kita mau pakai musik kontemporer, maka berikan musik kontemporer terbaik...

B :
Saya sependapat dengan kamu jika itu berurusan dengan estetika ‘tinggi – rendah’ maka tidak terlalu matters (asal kita tetap memperhatikan bahwa takaran kita bersifat progresif). Tapi itu matters jika berurusan dengan good/bad aesthetics (bagi saya memberikan yang terbaik mencakup pengujian musik yang baik dan benar). Sudah saya bahas di atas bahwa concern kita lebih berurusan dengan good or bad music instead or ‘high/low’ (complex/simple). Dalam konteks yang pertama (good and bad aesthetics), saya sedikit terganggu dengan kalimat di atas bahwa keindahan boleh ditempatkan setelah diversity and love, karena dalam Firman Tuhan kita tidak mendapati bahwa keindahan (yang berkait dengan kebenaran, kekudusan dsb) boleh dibicarakan ‘belakangan’. Sulit untuk mendapati bahwa Firman Tuhan mengajarkan bahwa pluralitas dan kasih lebih dahulu daripada kebenaran, kekudusan, keindahan, kemuliaan dsb.[8] Bagi saya, semuanya harus diuji, tanpa mendahulukan yang satu dan mengesampingkan yang lain. Dalam Alkitab kebenaran, keindahan, kemuliaan, kekudusan tidak mungkin dipisahkan dari kasih. Kebenaran ada dalam keaneka-ragaman faset (namun ini tidak berarti semua faset dapat ditampung dalam kebenaran), keaneka-ragaman ini dipersatukan oleh kasih, di dalam kebenaran. Mengenal kebenaran berarti menerima keaneka-ragaman di dalam kasih. Ketika kita menomor-duakan kebenaran (yang berkait dengan keindahan, kekudusan, kemuliaan dsb) kita cenderung akan terjebak pada pluralisme yang diajarkan oleh dunia (bukan pluralitas yang diajarkan oleh Alkitab) dan kasih kita akan menjadi kasih yang tidak berkait dengan pengertian (blind love). Sebaliknya hanya menekankan ‘kebenaran’ tanpa bisa menerima keaneka-ragaman di dalam kasih juga bukanlah merupakan pengenalan kebenaran yang sejati. Allah yang kita percaya adalah Allah yang benar, Allah yang mengasihi, dan Allah di dalam tiga Pribadi. Tuhan memberkati kita sekalian. Sola scriptura.

In Christ,
one of the greatest sinners, forgiven by God
[1] Seperti sudah saya bahas dalam tulisan yang lalu bahwa tidak ada musik yang sepenuhnya sempurna, demikian juga tidak ada musik yang sepenuhnya rusak dan tidak ada keindahan yang tersisa di dalamnya. Maka kita lebih baik berbicara tentang musik yang lebih baik dan kurang baik, yang lebih alkitabiah dan kurang alkitabiah, dalam berbagai macam tingkat kebaikan atau kerusakan.
[2] Penyelidikan estetis ini bisa terjadi dalam beberapa tahap tentunya, mulai dari tahap yang paling general, seperti misalnya estetika musik Rock, musik Barock, musik medieval, serial music, expressionism, new age etc, atau yang lebih detail misalnya Barock Perancis, Barock Jerman, Italia etc, dan lebih detail lagi dengan menguji estetika per komponis (let say Mozart misalnya), lebih detail lagi: Mozart pada periode kehidupan yang mana, atau lebih detail lagi: per karya, dan lebih detail lagi: bagian tertentu pada karya tertentu. Pengujian estetika yang general mencoba untuk mencari karakteristik umum dari musik yang diuji (misalnya musik Rock, Klassik, Romantik etc), kelemahan dari pengujian yang seperti ini pasti adalah kecenderungan generalisasinya (ini tidak bisa dihindarkan karena memang pengujiannya terjadi pada tahap yang general). Kalau kita mau melakukan pengujian yang lebih kompleks harus bicara lebih detail.
[3] Ini wajar dan dapat dimengerti karena jika goal yang ingin dicapai adalah mendapatkan jangkauan sebanyak-banyaknya maka yang seringkali harus dikompromikan adalah kualitasnya. Pop-culture yang menuju kepada “depth” tidak akan menjadi pop-culture lagi dan akan dituduh menjadi penganut cultural elitist. Bagi saya pilihan cultural elitist di satu sisi dan pop-culture di sisi yang lain, dua-duanya salah. Alkitab memberikan alternatif yang lain mengenai ini yaitu konsep takaran dalam progresi.
[4] Kalimat seperti “Untuk apa susah-susah mempelajari teologi, itu hanya bikin tambah bingung, bahkan sombong, lebih baik kita belajar saling mengasihi saja” saya kuatir tanpa sadar sebenarnya juga dipengaruhi oleh kecenderungan pop-culture yang cenderung menolak untuk belajar lebih dalam dan terus maju. Dalam Alkitab kasih tidak dapat dipisahkan dengan pengertian yang benar, demikian pula sebaliknya.
[5] Misalnya mencoba untuk mendapatkan jiwa sebanyak-banyaknya dengan mengkompromikan kualitas yang ditakar oleh Tuhan.
[6] Tuhan dapat memakai tulisan dengan kapasitas teologi yang sangat kompleks seperti J. Edwards, maupun juga khotbah-khotbah yang sangat sederhana dari D.L. Moody. Tulisan Kant boleh jadi jauh lebih kompleks, lebih ‘tinggi’ daripada Moody namun ini tidak berarti pemikiran Kant lebih benar dan kudus daripada Moody hanya karena dia lebih kompleks. Pengujiannya adalah kesetiaan kepada Firman Tuhan (entah kompleks atau sederhana).
[7] Ini pun bagi saya juga tidak dapat diakomodasi begitu saja sebagai totally neutral tanpa critical reflection terlebih dahulu. Di satu sisi kita percaya seperti diajarkan dalam Reformed Theology, ada anugerah umum dalam setiap kebudayaan, dan di sisi yang lain kita juga tidak boleh melupakan tanpa pencerahan wahyu khusus, pengertian wahyu umum sesungguhnya kabur dan bahkan cenderung ditekan oleh manusia berdosa (Roma 1:21-23). Dalam etno-musik pasti ada respon terhadap pengenalan akan Allah dalam wahyu umum (bayang-bayang dan kabur), namun juga sekaligus produk keberdosaan dan ketidak-taatan manusia.
[8] Sekali lagi menurut Alkitab konsep keindahan tidak dapat dipisahkan dengan kebenaran, kekudusan, kemuliaan dsb.



Iman Kristen dan Musik (7)—Tanya Jawab
(Jawaban Pdt. Billy Kristanto—B terhadap pertanyaan Sdr. Hansel—H)

Hansel :
Shalom Pak Billy,
Saudara berkata bahwa untuk menguji estetika jenis musik tertentu, kita harus mempelajari latar belakang musik tersebut. Satu pertanyaan saya belum terjawab bahkan setelah membaca 6 email tentang musik yang Saudara post. "Apakah yang Alkitab katakan tentang musik yang kudus dan tidak kudus?"

Billy:
Saya sudah coba sharingkan prinsip ini, sayang sekali Anda tidak menangkap pointnya :)


H :
Mempelajari latar belakang sebuah musik dan kemudian mendasarkan keputusan kita berdasarkan latar belakang tersebut berarti kita mendasarkan keputusan kita pada apa yang kita tahu, dan bukan pada Alkitab.

B :
Di sini Anda salah mengerti. Mempelajari latar belakang, biografi, tradisi musik yang mempengaruhi suatu karya tertentu perlu untuk suatu penyelidikan yang lebih komprehensif, setelah itu pengujian tersebut dibawa dan diuji di bawah terang Alkitab.


H :
Beberapa minggu yang lalu, ada juga yang menge-post soal musik. Dan pendapat dia bahkan jauh lebih ekstrim. Dia seolah-olah berkata hanya musik hymne sajalah yang paling baik. Ketika kita menyanyi untuk Tuhan, kita sama sekali tidak boleh bergoyang. Karena itu, lagu "Oh, betapa indahnya," yang dinyanyikan dengan irama dangdut adalah lagu yang tidak kudus. Tetapi, tidak ada ayat Alkitab sama sekali di dalam email yang dia kirim itu. Berbicara soal bergoyang, tahukah Saudara bahwa Raja Daud pernah memuji dan menyanyi untuk Tuhan sambil menari dan meloncat sekuat tenaga? Tetapi anehnya, Tuhan tidak pernah sama sekali menegur dia untuk tidak menari dan meloncat.

B :
Bagian ini ditujukan kepada saya? Kalau kepada saya: Ya, sebagai hamba Tuhan, puji syukur saya mengenal bagian Alkitab tsb :)
Hanya saja kesimpulan seperti ini bagi saya terlalu cepat dan cenderung menimbulkan pengertian yang salah. Kesulitan penafsiran Alkitab yang seperti ini adalah kerancuan dan kegagalan untuk membedakan bagian Firman Tuhan yang bersifat preskriptif (pengajaran) dan deskriptif (penggambaran). Bagian yang preskriptif berlaku bagi semua orang percaya, bagian deskriptif adalah khusus/unik terjadi pada orang tersebut. Petrus berjalan di atas air sebagai suatu tindakan iman (deskriptif), bukan berarti setiap orang percaya boleh berjalan di atas air sebagai tindakan imannya.


H :
Saya ingin jawaban yang saya dapatkan benar-benar dari Alkitab, dan bukan dari teologi ini dan itu. Terus terang, saya tidak memiliki pengetahuan apa-apa tentang teologi. Yang saya tahu dan kenal sebagai sumber segala kebenaran hanyalah Alkitab.

B :
Tidak mungkin kita tidak memiliki pengetahuan apa-apa tentang teologi. Seringkali tanpa sadar kita banyak dipengaruhi oleh school of thought theologi tertentu. Statement Anda "Yang saya tahu dan kenal sebagai sumber segala kebenaran hanyalah Alkitab" juga berada di bawah pengaruh tradisi theologi tertentu :)
Mengenai gerakan tubuh dalam ibadah, perlu dipikirkan suatu pembahasan yang mengaitkan antara sikap hati dan filsafat tubuh. Pembahasan ini akan menarik jika dikaitkan dengan thema ekspresi. Untuk sederhananya, kita dapat mengajukan beberapa pertanyaan kepada diri kita masing-masing untuk melakukan suatu pengujian:
- Apakah saya menganggap ekspresi itu sebagai sesuatu yang tabu dan tidak alkitabiah?[1]
- Apakah gerakan tubuh/ekspresi yang saya lakukan itu berkaitan dengan apa yang menjadi isi hati saya? (dalam bagian ini Tuhan Yesus memberikan kritik kepada orang Farisi yang menyalahgunakan ekspresi sebagai suatu kemunafikan, precisely karena apa yang tampak di luar tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam hati).
- Apakah ekspresi yang dituangkan dalam gerakan tubuh tersebut bersifat self-centered (saya harus mengekspresikan diri saya) atau God-centered (ekspresi itu sebagai respon kita menikmati Tuhan dalam ibadah).[2]
- Apakah ekspresi atau gerakan tubuh itu membangun sesama jemaat (dan bukan hanya membangun diri saya saja). Bahwa prinsip membangun jemaat lebih baik dan lebih dewasa, lebih sesuai dengan natur kasih daripada hanya membangun diri sendiri, dapat kita pelajari dari I Kor 14:1-5, terutama karena pembahasan ini ada dalam konteks ibadah (pertemuan bersama).
- Apakah ekspresi/gerakan tubuh itu berlangsung dalam batasan kesopanan dan keteraturan (I Kor 14:26-40).

Tuhan memberkati kita sekalian. Semper reformanda.

Yours in Christ.
[1] Jika kita cenderung berpendapat ya, kita perlu berhati-hati dan kritis terhadap pandangan seperti itu, karena pandangan yang mengaitkan kekudusan atau kerohanian yang tinggi dengan semakin meninggalkan ekspresi tubuh lebih banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani kuno daripada Alkitab.
[2] Di sini sebagai orang percaya kita perlu berhati-hati dan membedakan dengan kritis ekspresi yang diajarkan oleh Alkitab dengan ekspresi seperti yang dimengerti oleh aliran expressionisme (yang terakhir ini berpusat kepada diri).

Billy Kristanto

= http://www.grii.de/ =
Quis credidit auditui nostro? et brachium Domini cui revelatum est? (Is. 53:1)


Sumber : http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE (mailinglist)



Profil Pdt. Billy Kristanto :
Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S. lahir pada tahun 1970 di Surabaya. Sejak di sekolah minggu mengambil bagian dalam pelayanan musik gerejawi. Setelah lulus SMA melanjutkan study musik di Hochschule der Künste di Berlin majoring in harpsichord (Cembalo) di bawah Prof. Mitzi Meyerson (1990-96).
Setelah lulus dari situ melanjutkan post-graduate study di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory) di Den Haag, a conservatory with the largest early music department in the world (mempelajari historical performance practice). Belajar di bawah Ton Koopman, seorang dirigen, organis, cembalis dan musicolog yang sangat ahli dalam interpretasi karya J.S. Bach. Selain itu juga mempelajari fortepiano di bawah Prof. Stanley Hoogland.
Setelah lulus dari situ pada tahun 1998 pulang ke Indonesia, lalu melayani sebagai Penginjil Musik di Gereja Reformed Injili Indonesia/GRII di Jakarta (Februari 1999). Pada tahun yang sama memulai study Teologi di Institut Reformed di Jakarta. Lulus pada tahun 2002 dengan Master of Christian Studies (M.C.S.). Sejak tahun 2002 sampai sekarang menjabat sebagai Dekan School of Music di Institut Reformed Jakarta serta menggembalakan jemaat Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Jerman : Berlin, Hamburg dan Munich. Beliau ditahbiskan menjadi pendeta sinode GRII pada Paskah 2005 dan saat ini sedang menyelesaikan studi doktoral di bidang filsafat di Universitas Heidelberg, Jerman.