25 August 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:39-40 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:39-40

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:39-40



Sekilas keberadaan bagian ini di penghujung pasal 7 tampak agak mengejutkan. Di ayat 25-38 Paulus membahas tentang orang-orang yang sedang bertunangan, namun di bagian ini ia membicarakan tentang perempuan yang sudah menikah. Apakah kita sebaiknya memahami ayat 39-40 sebagai topik yang baru atau sebagai kesimpulan dari semua pembahasan di pasal 7?

Beberapa penafsir memegang pilihan yang pertama. Mereka beranggapan bahwa Paulus kali ini menyinggung tentang para janda. Pendapat ini agak lemah karena para janda sudah dibahas sebelumnya di 7:8-9, 11, 15. Pilihan kedua tampak lebih bisa diterima. Pilihan ini tidak berarti bahwa Paulus sekadar mengulang atau merangkum apa yang ia sudah paparkan sebelumnya. Ia melangkah sedikit lebih jauh. Kalau di bagian awal Paulus melarang suami-istri untuk saling menjauhi (7:2-5) atau bercerai (7:10-16) tetapi ia hanya sekadar menyatakan larangan tersebut, sekarang ia menjelaskan alasan mendasar bagi larangan itu: suami-istri terikat sepanjang hidup. Kalau Paulus sebelumnya mendorong para duda dan janda untuk tetap hidup sendiri atau kawin lagi (7:7-9), sekarang ia memberikan alasan mengapa mereka boleh kawin lagi: kalau salah satu pasangan sudah mati.

Ayat 39-40 juga mengikuti ayat 36-38 dengan mulus. Paulus sebelumnya menjelaskan bahwa inisiatif untuk menikah bukanlah dosa (ay. 38), terutama bagi mereka yang jelas-jelas tidak memiliki karunia selibat (ay. 36), di ayat 39-40 Paulus menjelaskan betapa kuatnya ikatan sebuah pernikahan. Mereka yang ingin menikah harus menyadari dan siap untuk mengambil komitmen seumur hidup.

Cara Paulus menyimpulkan pembahasannya di ayat 39-40 sedikit mengundang rasa ingin tahu penafsir. Tidak seperti larangan di ayat 2-5 yang ditujukan pada suami dan istri, kesimpulan di ayat 39-40 hanya ditujukan pada para istri saja. Mengapa ia hanya membicarakan tentang mereka? Sebelum menjawab pertanyaan itu kita terlebih dahulu perlu menegaskan bahwa kesimpulan yang mengarah pada para istri saja bukanlah sesuatu yang berlebihan. Bahaya perceraian bukan hanya muncul sebagai inisiatif dari para suami. Dalam budaya Yunani-Romawi yang berbeda dengan budaya Yahudi, Paulus sebelumnya sudah mengantisipasi inisiatif cerai maupun upaya menghindari hubungan seksual dari pihak istri (7:2-5, 10b, 13). Berdasarkan penjelasan di atas, bukan suatu hal yang aneh jika Paulus menutup seluruh pembahasan dengan menujukan kesimpulan pada pihak istri.

Mengapa bagian kesimpulan ini hanya ditujukan kepada para istri saja? Ada beberapa kemungkinan jawaban. Di bagian sebelumnya (ay. 25-38) Paulus memulai pembahasan dengan menujukannya pada pihak perempuan (ay. 25a), karena itu sangat wajar ketika ia berpindah ke bagian yang baru ia juga menujukannya pada perempuan. Kelemahan dari dugaan ini adalah absennya pembahasan yang ditujukan pada pihak laki-laki di ayat 39-40.

Di ayat 25-38 para perempuan memang menjadi objek mula-mula dari nasehat Paulus, tetapi hal itu langsung diikuti juga oleh nasehat lain kepada pihak laki-laki (ay. 27, 29). Kemungkinan lain berkaitan dengan situasi khusus dalam jemaat Korintus. Berdasarkan 11:30 yang menginformasikan banyaknya jemaat laki-laki yang sakit keras atau mati, sebagian penafsir menduga jumlah janda di jemaat Korintus sedikit berlebihan. Fenomena ini mendorong Paulus untuk memberi perhatian khusus kepada mereka di ayat 39-40. Ia ingin memberikan solusi bagi keadaan itu. Dugaan di atas memang ada benarnya. Walaupun demikian, kita tidak boleh melupakan keberadaan para duda juga. Mereka juga disinggung di 7:8 (seperti sudah disinggung sebelumnya, ungkapan LAI:TB “orang-orang yang tidak kawin” = agamoi, yang dalam konteks ini merujuk pada para duda). Di samping itu, kita tidak bisa memastikan apakah benar-benar ada kaitan antara 11:30 dengan 7:39-40. Sejauh petunjuk yang ada, keterkaitan antara kedua bagian ini hanyalah sebatas dugaan yang mungkin benar dan mungkin juga salah. Lebih jauh, seandainya fenomena tersebut merupakan persoalan yang mendesak untuk ditanggapi Paulus, mengapa ia hanya membahasnya secara sepintas saja (apalagi hanya diletakkan di bagian terakhir)? Pendeknya, kita tidak bisa mengetahui secara pasti alasan Paulus mengapa ia hanya menujukan kesimpulan pada para istri saja.

Di ayat 39-40 Paulus memulai dengan sebuah prinsip penting tentang durasi ikatan pernikahan (ay. 39a). Berangkat dari prinsip ini, ia lalu mengaplikasikan prinsip itu dalam suatu keadaan hipotetikal (pengandaian), yaitu jika suami telah mati (ay. 39b). Dalam kasus seperti ini seorang istri bisa memutuskan untuk kawin lagi dengan persyaratan tertentu (ay. 39c), tetapi menurut Paulus ia akan lebih berbahagia kalau tetap hidup sendiri (ay. 40a). Paulus lalu menutup bagian ini dengan penegasan bahwa ia juga memiliki Roh Allah (ay. 40b).


Durasi Ikatan Pernikahan (ay. 39a)
Pernyataan Paulus di awal ayat 39 bahwa sebuah pernikahan berlangsung sampai kematian memisahkan sebuah pasangan merupakan konsep yang sangat berani untuk ukuran waktu itu. Konsep yang sama ia ajarkan di Roma 7:2. Dibandingkan dengan mayoritas pandangan Yahudi yang memandang perceraian sebagai hal yang sangat lazim dan mudah untuk dilakukan (bdk. Mat. 19:3, 7, 10), pandangan Paulus tampak sangat radikal. Kesan yang sama akan kita dapatkan apabila pandangan Paulus ini dibandingkan dengan budaya Yunani-Romawi yang juga memberi ruang luas bagi perceraian, termasuk yang bermula dari inisiatif istri (1Kor. 7:10, 13).

Ketegasan Paulus dalam hal pernikahan juga terlihat jelas apabila dikontraskan dengan pandangannya tentang pertunangan. Jika hanya sekadar ikatan pertunangan, Paulus masih memberi ruang yang cukup luas untuk membatalkan hal tersebut (7:37). Kasus akan sangat berbeda jika berkaitan dengan pernikahan. Suami-istri tidak boleh bercerai (7:10-11). Dalam kasus perkawinan campur pun orang Kristen tidak boleh mengupayakan perceraian (7:12-16). Konsep yang sangat tegas dan berbeda dengan budaya waktu itu ini pasti berasal dari otoritas kitab suci dan ajaran Tuhan Yesus. Sejak awal Allah sudah menetapkan pernikahan sebagai suatu ikatan yang tidak dapat dibatalkan oleh manusia (Mat. 19:4-6). Hanya kematian yang bisa memisahkan, karena kematian berasal dari Tuhan sendiri (Ayb. 12:10; Yak. 4:15), termasuk kematian yang disebabkan oleh orang lain atau kecelakaan (Kel. 21:13).

Dalam surat 1 Korintus Paulus beberapa kali menjelaskan beberapa keterkaitan praktis yang sangat besar dari prinsip di atas. Seseorang tidak boleh melakukan hubungan seks dengan orang yang bukan menjadi suami/istrinya yang sah (6:16). Suami-istri memiliki kewajiban seksual satu dengan yang lain dan saling berbagi kepemilikan tubuh mereka karena mereka adalah satu tubuh (7:2-4; bdk. Kej. 2:24). Suami-istri juga tidak boleh bercerai (7:10-11). Bagi yang sudah terlanjur bercerai, mereka diperintahkan untuk berdamai dengan pasangannya atau sedikitnya orang itu tidak boleh kawin lagi dengan orang lain (7:11).


Kasus Pengandaian: Jika Suami Meninggal Dunia (ay. 39b-40a)
Karena pernikahan memiliki keterikatan seumur hidup (ay. 39a) dan di surga tidak akan ada ikatan pernikahan lagi (Mat. 22:30), maka kematian salah satu pasangan juga berarti akhir dari sebuah pernikahan. Kata Yunani di balik kata “meninggal [dunia]” adalah koimaō. Kata yang secara hurufiah berarti “tidur” ini hanya dipakai Paulus untuk orang-orang Kristen saja (11:30; 15:6, 18, 20, 15; 1Tes 4:13-15). Penggunaan kata ini bukan berarti orang percaya yang mati berada dalam keadaan tidak sadar (Why. 5:8-14; 6:10) atau mereka berada dalam suatu tempat penantian di dunia roh (Luk. 23:43; Flp. 1:23). Pemilihan kata ini hanyalah sebuah gaya bahasa penghalus (eufemisme) yang menyiratkan ide bahwa kematian bukanlah sebuah titik akhir. Orang percaya akan dibangkitkan dan diberi tubuh kemuliaan (1Kor. 15:13-16, 21-22). Jika kematian seorang suami sungguh-sungguh terjadi, istrinya memiliki dua pilihan: ia boleh kawin lagi (ay. 39b) atau ia tetap hidup sendiri (ay. 40a).

Pilihan untuk kawin lagi (ay. 39b)
Kematian pasangan menjadikan seseorang berada dalam keadaan bebas (eleutheros). Kata ini bisa menyiratkan kebebasan secara sosial (7:21-22) atau keadaan tidak berada dalam keharusan atau tanggung-jawab tertentu (9:1, 19). Dalam konteks 1 Korintus 7:39b kata ini merujuk pada keadaan yang tidak terikat secara hukum (bdk. Rm. 7:2). Seorang istri yang ditinggal mati suaminya bukan hanya bebas untuk kawin lagi, namun ia juga bebas memilih siapa yang akan jadi pasangannya (LAI:TB “dengan siapa saja yang dikehendakinya”). Pernyataan ini membuktikan bahwa Paulus tidak sedang memikirkan hukum levirat di mana seorang janda terikat untuk diperistri oleh adik iparnya (Ul. 25:5-6).

Ada beberapa kemungkinan mengapa hukum levirat tidak berlaku dalam kasus ini: si janda mungkin sudah memiliki anak dari suaminya atau Paulus sedang membicarakan pernikahan dalam konteks Yunani-Romawi. Kemungkinan terakhir ini tampaknya lebih masuk akal, karena dalam ayat ini Paulus juga menunjukkan kebebasan istri dalam memilih suami baru (hal ini terdengar asing dalam konteks Yahudi di mana pihak laki-laki memegang peranan sangat aktif dan dominan). Kebebasan untuk memilih siapa saja yang dikehendaki bukan berarti si janda bisa memilih sembarangan. Paulus tetap memberikan batasan, yaitu “dengan orang yang percaya” (ay. 39b). Frase ini dalam teks Yunani secara hurufiah berbunyi “hanya di dalam Tuhan” (monon en kuriō, KJV/NASB/RSV). Apa atau siapa yang harus “di dalam Tuhan”? Beberapa versi mencoba menafsirkan bahwa yang harus di dalam Tuhan adalah laki-laki yang dipilih oleh janda Kristen itu (LAI:TB/NIV/NLT). Sebagian penafsir juga mengadopsi pandangan yang sama. Di sisi lain, beberapa penafsir menganggap frase “di dalam Tuhan” menerangkan perempuan yang ditinggal mati suaminya. Dengan kata lain mereka berpendapat bahwa janda tersebut harus bertindak sebagai orang Kristen, misalnya tidak melepaskan kepercayaannya, sebaliknya dengan motivasi Kristiani untuk memenangkan pasangannya yang tidak beriman.

Di antara dua pendapat di atas, yang pertama jauh lebih kuat karena didukung oleh beragam argumen. (1) di ayat 25-35 Paulus sudah menjelaskan bahwa pernikahan – sekalipun antar orang Kristen – akan membawa kesusahan tambahan yang berpotensi mengganggu fokus hidup eskhatologis orang percaya. Dengan konsep seperti ini, sangat tidak masuk akal apabila Paulus memberi izin kepada seorang Kristen untuk kawin dengan non-Kristen yang berpotensi untuk bersikap tidak simpatik terhadap iman Kristiani dan dengan demikian akan semakin menambah kesusahan tersebut; (2) nasehat Paulus untuk mempertahankan perkawinan campur dan menggunakan itu sebagai media penginjilan di ayat 12-16 harus dipahami dalam konteks bahwa pernikahan tersebut sudah terlanjur terjadi. Pada waktu menikah keduanya dahulu sama-sama bukan orang percaya; (3) pembatasan pernikahan hanya pada pasangan yang sama-sama Kristen selaras dengan beragam nasehat di Alkitab (Ul. 7:3; Yos. 23:12; Neh. 13:23-25; Mal. 2:11, 14-15; bdk. 2Kor. 6:14-15); (4) konsep “Kristen” (Kis. 11:26; 26:28; 1Ptr. 4:16) diungkapkan Paulus melalui beberapa cara; penggunaan frase “di dalam Tuhan” merupakan salah satu di antaranya (Rm. 16:11 “yang ada di dalam Tuhan”).

Pilihan untuk tetap hidup sendiri (ay. 40a)
Nasehat Paulus di bagian ini sesuai dengan sikap Paulus yang menganggap hidup selibat sebagai sesuatu yang lebih baik daripada menikah (7:7, 38). Sama seperti di ayat 25, di ayat 40a Paulus juga mengungkapkan bahwa sikap itu adalah pendapatnya secara pribadi; dengan demikian ini bukanlah sebuah perintah yang normatif. Pendapat ini bukanlah pembatasan pada kebebasan yang dimiliki seorang janda (bdk. ay. 39b), walaupun kebebasan tidak berarti bebas untuk digunakan (8:9; 9:19). Ada hal lain yang lebih penting daripada menggunakan kebebasan kita.

Berbeda dengan bagian sebelumnya, kali ini Paulus tidak memakai kata “lebih baik” (kreisson, ayat 38) tetapi “lebih berbahagia” (makariōtera). Beberapa penafsir memandang “bahagia” di sini secara theologis (baca: “diberkati”, bdk. Mat. 5:3-11; Rm. 4:7-8; 14:22). Makna “bahagia” ini tidak terlalu berkaitan dengan perasaan seseorang (secara objektif seseorang sedang diberkati oleh Tuhan tetapi orang itu mungkin tidak merasa bahagia). Di sisi lain, sebagian penafsir menolak makna theologis tersebut. Bagi mereka, kebahagiaan ini berkaitan dengan kesejahteraan hidup belaka. Sesuai dengan konteks 1 Korintus 7, Paulus sudah menjelaskan mengapa hidup selibat lebih baik daripada menikah: menghindari kesusahan badani (ay. 28) dan melayani Tuhan tanpa gangguan (ay. 35). Hidup selibat akan mengurangi kekuatiran hidup dan berguna untuk memfokuskan hidup pada perkara Tuhan. Jadi, kata makariwtera tidak hanya mencakup makna theologis, sekalipun makna theologis adalah yang paling dominan. Lebih diberkati bukan berarti lebih rohani. Dalam konteks penantian kedatangan Tuhan, hamba yang diberkati adalah mereka yang didapati Tuannya dalam keadaan siap melayani (Luk. 12:37). Penggunaan kata “lebih berbahagia” menyiratkan bahwa pernikahan sendiri merupakan suatu kebahagiaan, walaupun tidak sebesar hidup selibat. Hal ini menunjukkan sikap Paulus terhadap pernikahan yang bukan hanya netral (tidak berdosa, ayat 28, 36), tetapi positif. Pernikahan adalah baik (kalws) dan bahagia (makarios). Itulah sebabnya Paulus tidak segan-segan memakai gambaran pernikahan untuk mengungkapkan mistri yang sangat besar tentang hubungan Kristus dan jemaat (Ef. 5:31-32).


Penegasan tentang Otoritas Paulus (ay. 40b)
Apa yang disampaikan oleh Paulus memang adalah pendapat pribadi dan bukan berupa perintah yang normatif (ay. 40a), tetapi bukan berarti bahwa hal tersebut dapat dipandang remeh. Sebelumnya ia sudah mengungkapkan bahwa ia adalah orang yang dipercaya oleh Allah karena telah diberi rahmat ilahi (ay. 25b). Sekarang ia menegaskan bahwa dia memiliki Roh Allah (ay. 40b).

Penggunaan kata kagw (“aku juga”) di bagian ini mendorong kita untuk menduga bahwa ada orang lain yang membuat pernyataan yang sama. Ungkapan ini sangat ungkin merupakan sindiran bagi sebagian jemaat Korintus yang merasa mendapat pengetahuan mistis dari Roh Allah. Jika ini benar maka dapat disimpulkan bahwa konsep asketisisme yang dianut mereka (7:1b) diyakini berasal dari ilham Roh. Dugaan ini tidak terlalu berlebihan karena jemaat Korintus memang adalah jemaat yang penuh dengan berbagai karunia roh (1:5-7) dan cenderung menyukai hal-hal seperti itu (pasal 12-14).

Melalui pernyataan di ayat 40 Paulus sekaligus mengajarkan konsep yang benar tentang pengilhaman Roh Kudus. Banyak orang menganggap diri memiliki pengetahuan khusus dari Roh Kudus, tetapi tidak berarti bahwa semua klaim itu dapat dibenarkan. Salah satu petunjuknya adalah ketaatan pada ajaran para rasul atau para nabi (ay. 40b; 2Tes. 2:1-12; 2Ptr. 1:19-21). Sama seperti jemaat mula-mula yang tetap bertekun dalam pengajaran para rasul (Kis. 2:42) sekalipun mereka baru saja mengalami pekerjaan Roh Kudus yang luar biasa pada Hari Pentakosta (Kis. 2:1-11), demikian pula jemaat Korintus seharusnya lebih memperhatikan ajaran Paulus (bdk. 1:1; 9:1-2; 2Kor. 12:12) daripada berkanjang pada hal-hal mistis yang sering kali justru bertentangan dengan kebenaran firman Allah. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 27 September 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2039-40.pdf