22 January 2010

AVATAR (Ir. Herlianto, M.Th.)

AVATAR

oleh: Ir. Herlianto, M.Th.




Ada yang mengatakan bahwa “film Avatar bagus karena merupakan gambaran modern tentang Yesus yang menjelma menjadi manusia dan menyelamatkan manusia.” Wah! Benarkah?

Avatar adalah film laris yang lagi diputar di bioskop-bioskop di Indonesia, dan dibalik daya tariknya yang besar karena menggunakan teknik sinematografi modern terkini ditambah penampilannya yang hidup (3D), film ini banyak menuai kritik, terutama dari kalangan berkulit gelap (coklat, kuning maupun hitam) bahkan juga dari Vatikan!

Ceritanya, kalangan pemodal besar kulit putih didukung peralatan militer yang canggih ingin memaksakan kehendak mereka dengan menggusur kawasan hutan di negeri antah-berantah di planet ‘Pandora’ yang diduduki pribumi berkulit gelap yang masih primitif dengan cara menggunakan mahluk jejadian yang diciptakan dengan kesadaran manusia tetapi dapat memasuki masyarakat pribumi itu dengan fisik seperti mereka.

Dikisahkan veteran marinir bernama Jake Sully dikirim untuk memerankan mahluk pribumi jejadian dan berfungsi sebagai ‘Avatar’ (mediator/perantara ) dengan maksud untuk membujuk pribumi Na’vi agar mau direlokalisasi. Alkisah, ia jatuh cinta kepada putri Rajanya. Usahanya tidak berhasil, malah akhirnya ia berpihak ke pihak Nav’i dan melawan teman-temannya sendiri yang datang sebagai agresor yang ingin meluluh lantakkan kekayaan alam flora & fauna di planet itu demi mengejar hasil bumi yang menggiurkan. Alhasil terjadilah serangan membabibuta yang dibalas dengan kekerasan pula oleh mahluk Na’vi. Semula di kalangan mereka jatuh banyak korban tetapi dengan semangat yang dibangun oleh mahluk jejadian Jake Sully kemudian mereka berhasil melawan dengan senjata yang ada dan terhindar dari penjajahan manusia. Namun Jake jejadian meninggal meninggalkan putri raja Na’vi yang meratapi kematiannya!

Esensi film itu yang pertama adalah supremasi ras kulit putih yang sekalipun sedikit tetapi memiliki modal dan senjata dengan strategi militerisme yang dahsyat yang memaksakan kehendak mereka atas pribumi Na’vi yang berkulit berwarna (putri raja Na’vi diperankan aktris Dominika berkulit berwarna). Gambaran ini memang kelihatannya sebagai metafora cerita ‘Poccahontas’ dimana orang Eropah merebut Tanah Indian di Amerika dimana salah satu dari orang Eropa itu jatuh cinta pada Poccahontas.

Memang Hollywood Amerika sudah mulai malu menonjolkan supremasi kolonialisme kulit putih atas kulit berwarna, itulah sebabnya ada yang membuat film ‘I Am Legend’ (Will Smith) dimana penyelamat dunia berkulit hitam, namun James Cameron yang berkulit putih kelihatannya masih menggunakan gambaran lama dengan menonjolkan cerita mengenai ‘Avatar’ dimana mediator penyelamat itu adalah orang kulit putih pula (Mungkin agar tidak terjadi putih membunuh sesamanya maka yang dijadikan pembunuh komandan penyerbu akhirnya adalah si putri raja). Gambaran rasialis demikian mencolok dalam film, dan memang dulu mewarnai beberapa film Hollywood seperti ‘Dances with Wolves’ (Kevin Costner) dan ‘The Last Samurai’ (Tom Cruise). Sampai sekarang stereotip supremasi putih atas hitam itu masih kuat bahkan bisa dilihat dalam figur Sinterklaas (yang berkulit putih) membawa budak berkulit hitam (Piet), tapi kelihatannya banyak orang Amerika sudah menyadari bahwa itu keliru dan masalalu, sehingga banyak diantara mereka memilih presiden berkulit hitam yang keturunan Afrika! (Santa Claus di Amerika tidak memiliki budak).

Esensi yang kedua adalah modernisme sekuler melawan premordialisme primitif yang bersifat mistik-magis. Film ini merupakan promosi semangat New Age (Gerakan Zaman Baru) yang ingin kembali kepada alam dan bahkan menyembahnya. Jelas terlihat dalam film itu keyakinan mistik/magis yang kuat dimana kesadaran semua mahluk adalah menyatu dengan alam (bumi, pepohonan dan binatang) dan bersumber ‘Eywa’ (Ibu Besar Alam) tokoh sesembahan yang menggambarkan sumber energi semesta (bandingkan konsep ‘Chi yang hadir dalam semua mahluk,’ dan bahwa ‘Atman perlu menyatu ke dalam Brahman’).

Esensi ketiga adalah ‘Dunia tanpa Tuhan’ (yang berpribadi). Film ini sama sekali tidak menonjolkan Tuhan yang berpribadi, malah beberapa kali nama ‘God dan Jesus’ disebutkan sembarangan dalam ucapan latah dan juga sumpah serapah. Semua permasalahan lebih menunjukkan kerakusan manusia untuk menguasai atau mempertahankan kekayaan sumber daya alam, dan semua itu diusahakan dengan kekuatan sendiri atau dengan pertolongan tuhan yang tidak berpribadi yaitu ‘kesadaran alam.’ Vatikan secara vokal mengkritik film ini dengan menyebut bahwa: “Film ini menyuarakan doktrin modern yang menonjolkan penyembahan alam (pantheisme) sebagai pengganti agama. … Alam bukan lagi ciptaan untuk dilestarikan melainkan untuk disembah.”

Esensi keempat yang meresapi film Avatar adalah kekerasan yang biasa mewarnai secara berat film-film new age seperti ‘Star Wars’ (ibarat perang Kurusetra dalam epik Ramayana). Pembantaian mahluk hidup sama sadisnya dengan pembantaian alam flora, dan pesan film ini adalah ‘gunakan kekerasan melawan kekerasan, teror melawan teror.’ Filsafat ‘mata-ganti-mata’ memang kegemaran banyak sutradara dan aktor Hollywood belakangan ini. Kita dapat memaklumi kondisi demikian karena keluar dari hati produsen film yang memang berjiwa new age dan sekuler yang tergambar dalam produksi film-film yang dihasilkan. Titanic yang duabelas tahun sebelumnya diproduksi oleh James Cameron (yang kawin cerai sampai 5 kali itu) menggambarkan kematian massal yang mengerikan.

Hal lain yang perlu dilihat di sini adalah sekalipun ditujunjukkan bahwa budaya modern yang kapitalistis dan militeristik gagal, tetapi kebudayaan premordial yang bersifat mistik-magis dianggap ideal dan akhirnya dimenangkan. Di sini film ini melupakan bahwa bagaimanapun Tuhan memberi kepada manusia akal budi agar manusia bangkit dari kehidupan dunia yang sudah rusak ini, namun film itu mengajarkan agar kita melestarikan budaya premordial yang mistis dan magis yang banyak kekurangannya itu. Jadi bukan jalan pemecahan terbaik yang ditempuh film ini melainkan dipilih salah satu dari dua alternatif yang sebenarnya sama-sama jelek.

Akhirnya mengapa ada yang memperbandingkannya dengan Yesus Sang Juruselamat? Jelas jauh berbeda, yang sama hanya pengertian dibalik istilah ‘Avatar’ yang secara etimologi berarti ‘mediator/perantara’ namun dalam konsep mistik ‘Avatar’ diartikan ‘Juruselamat perantara’ dimana semua tokoh agama termasuk Yesus, Buddha, LaoTzu maupun Muhammad itu sama-sama dipercayai sebagai avatar yang membawa manusia menuju tuhan (Yang SATU itu). Dari konsep ‘avatar’ demikianlah James Cameron memproduksi film ‘The Lost Tomb of Jesus’ yang mengharuskan Yesus mati sama halnya dengan para avatar lainnya.

Dalam Alkitab, Yesus (yang berkulit sama dengan manusia dalam konteks tanah kelahirannya) adalah ‘Anak Allah yang Tunggal’ yang mengorbankan dirinya dikayu salib demi keselamatan umat manusia, sedangkan ‘Jake sang avatar’ adalah stok cacat (lumpuh) tapi berkulit superior yang mencoba membujuk pribumi agar menyerah dan mengikuti kemauan sang majikan. Sebelum kenaikannya ke surga Yesus berjanji kepada para murid-Nya bahwa ‘Ia akan menyertai para murid sampai kesudahan alam,’ sedangkan Jake meninggalkan dunia kaum Na’vi untuk kembali ke dunianya merayakan ulang tahunnya. Misi Yesus adalah untuk mendamaikan Tuhan dengan manusia sedangkan ‘avatar’ bukan mendamaikan tetapi memaksakan kehendak pihak yang kuat dan berachir dengan pemusnahan dikedua pihak.

Kita tidak dapat melarang begitu saja anak-anak agar tidak menonton sekalipun diberi label Parental Guidance (PG-13) soalnya copy-an film ini sudah menyebar dan mudah dibeli di mal-mal sama mudahnya membeli kacang goreng. Yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah ‘tidak mengajak anak-anak nonton’ dan andaikan anak-anak sudah keburu menonton, berikanlah pengajaran sehat (Ams. 22:6) sebagai obat penawarnya. Orang tua juga perlu mendidik anak-anak agar tidak terpengaruh dunia mistik/magis New Age (Kol. 2:8) yang masikini dengan bertubi-tubi mengeroyok generasi muda kristen, sebab bila tidak, maka kita akan menyesal kemudian bila ketika menjadi besar anak-anak akan menjadi sekuler dan berjiwa mistik yang melupakan Tuhan tetapi mengagungkan alam dan manusia dengan kemampuan akal-budinya seperti ilmu pengetahuan. ***

Eksposisi 1 Korintus 2:10-16 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 2:10-16

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 2:10-16



Bagian ini merupakan penjelasan Paulus mengapa orang-orang yang dewasa dapat memahami dan menerima hikmat yang dia beritakan (ay. 6), sedangkan para penguasa dunia ini tidak dapat menerima hal itu (ay. 8). Kunci rahasia perbedaan respon ini terletak pada intervensi Roh Kudus dalam diri seseorang. Mereka yang memiliki Roh Kudus dapat memahami hikmat Allah, sedangkan yang tidak memiliki-Nya tidak bisa mengerti hal itu.

Alur berpikir Paulus di ayat 10-16 dapat digambarkan sebagai berikut:
Ayat 10-11 Rahasia perbedaan: intervensi Roh Kudus
Ayat 12 Tujuan menerima Roh Kudus
Ayat 13-16 Beberapa implikasi dari menerima Roh Kudus


Rahasia perbedaan: intervensi Roh Kudus (ay. 10-11)
Kata sambung “karena” di ayat 10a menjelaskan alasan mengapa orang yang mengasihi Allah dapat memahami hal yang sebelumnya tidak dilihat, didengar dan diinginkan (ay. 9). Rahasianya adalah “karena kepada kita Allah telah menyatakannya oleh Roh”. Peletakan kata “kita” di awal kalimat menunjukkan bahwa Paulus ingin memberikan penekanan (bdk. LAI:TB/ASV/NASB). Dia seakan-akan ingin menegaskan, “kepada kita, bukan yang lain, Allah telah menyatakannya oleh Roh”. Dia sedang membandingkan antara orangorang yang dewasa (ay. 6) dan mengasihi Allah (ay. 9) dengan para penguasa dunia ini (ay. 8).

Kepada kita Allah telah menyatakannya oleh Roh. Kata apokalypto dapat merujuk pada hal-hal yang tersembunyi kemudian dibuka (Mat. 11:27; 16:17) atau hal-hal yang akan datang (Rm. 8:18; 1Kor. 3:13). Sesuai konteks 1 Korintus 2:6-16, apokalypto di sini lebih merujuk pada makna yang pertama. Apa yang dulu tersembunyi (ay. 7), rahasia (ay. 7) dan tidak pernah terbayangkan oleh manusia (ay. 9), kini dapat diketahui.

Dalam teks asli, kata “menyatakan” di ayat 10a tidak memiliki objek (LAI:TB menambah kata “nya” sebagai objek). Apa yang dimaksud dengan “nya”? Dari konteks sudah jelas bahwa yang dimaksud Paulus adalah hikmat Allah di ayat 6-9. Inilah yang dinyatakan Allah oleh Roh. Bentuk lampau dari kata apokalypto dan objek tidak langsung “kepada kita” menyiratkan bahwa tindakan ini merujuk pada momen pertobatan kita. Saat itulah kita diyakinkan Roh Kudus tentang keberdosaan kita, penghakiman Allah dan pengharapan kita yang baru pada salib Kristus (bdk. Yoh. 16:8-11; Rm. 8:15-16; Gal. 4:6).

Paulus selanjutnya menjelaskan alasan mengapa Allah menyatakan hikmat itu oleh Roh (bdk. kata sambung “sebab” di ayat 10b), yaitu Roh menyelidiki segala sesuatu, termasuk hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah. Apa yang dikatakan Paulus di bagian ini merupakan adopsi dari konsep berpikir “like is known only by like”. Maksudnya, sesuatu daat diketahui oleh yang lain yang sama atau seperti itu. Allah hanya dapat diketahui oleh Roh yang sama-sama adalah Allah. Karena Roh adalah Allah, maka Dia mampu menyelidiki segala sesuatu. Yang dimaksud “segala sesuatu” di konteks ini adalah semua yang dinyatakan Allah, karena “segala sesuatu” dikontraskan dengan “hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah” (bdk. Ul. 29:29 “hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya”). Roh bukan hanya mengetahui apa yang dinyatakan, tetapi juga hal-hal yang tidak dinyatakan oleh Allah. Bentuk kata kerja present tense pada kata “menyelidiki” (erauna) mengindikasikan bahwa Roh terus-menerus menyelidiki dalam diri Allah. Apa yang dilakukan oleh Roh dalam ayat ini hanya dapat dilakukan oleh Pribadi yang juga adalah Allah, karena Alkitab beberapa kali menyatakan bahwa tidak ada manusia yang dapat mengetahui pikiran Allah (Yes. 55:8-9; Rm. 11:33-35).

Untuk memperjelas apa yang dia maksud di ayat 10b, Paulus memberikan sebuah ilustrasi (ay. 11). Sebagaimana yang dapat mengerti apa yang ada dalam diri manusia adalah roh manusia itu sendiri, demikian pula tidak ada yang dapat mengerti Allah kecuali Roh Allah. Selain memperjelas, ilustrasi ini juga berfungsi untuk menekankan. Pengulangan kata “selain” di ayat 11 menegaskan bahwa hanya Roh Allah yang dapat mengenal Allah. Hal ini perlu ditegaskan Paulus, karena ada roh lain yang justru menolak hikmat Allah, yaitu roh dunia (bdk. ayat 12a).

Pernyataan Paulus di ayat 10-11 merupakan teguran tidak langsung kepada jemaat Korintus yang terjebak pada kesombongan intelektual dan spiritual. Filsafat dunia yang mereka pelajari membuat mereka sombong dan menganggap salib sebagai kebodohan. Pengalaman-pengalaman spiritual yang “spektakuler” (misalnya bahasa roh) membuat mereka merasa diri lebih rohani daripada yang lain (bdk. 4:8; ps. 12-14). Apa yang dinyatakan di 1 Korintus 2:10-11 mengajarkan kepada mereka bahwa orang yang sungguh-sungguh memiliki Roh Kudus seharusnya menjadi orang yang mengetahui hikmat Allah.


Tujuan Menerima Roh Kudus (ay. 12)
Penempatan kata “kami” di awal ayat ini bersifat menekankan: kita – orang yang dewasa dan mengasihi Allah – tidak menerima roh dunia (ay. 12a). Penggunaan ungkapan “roh dunia” dalam kaitan dengan hikmat yang salah mengindikasikan keyakinan Paulus bahwa di balik keyakinan yang sesat ada intervensi dari roh jahat. Di 1Timotius 4:1 Paulus menyebut orang yang murtad sebagai para pengikut roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan. Yakobus menyatakan bahwa hikmat yang tidak benar “dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan (Yak. 3:15)”. Senada dengan hal itu, Yohanes menghubungkan kesesatan dengan roh antikristus atau roh dunia yang menyesatkan (1Yoh. 4:2-6). Sebagai orang yang tidak menerima roh dunia, jemaat Korintus seharusnya tidak memiliki pola pikir duniawi (bdk. 3:1, 3).

Orang percaya tidak menerima roh dunia, tetapi Roh dari Allah (ay. 12b). Kata “menerima” (lambano) sering dipakai dalam konteks menerima Roh Kudus atau karunia-karunia Roh (Kis. 2:38; 10:47; 19:2; 2Kor. 11:4; Gal. 3:2, 14; Rm. 8:15). Tujuan dari penerimaan Roh Kudus ini adalah supaya kita mengerti “apa yang dikaruniakan Allah kepada kita”. Dalam teks Yunani, kata “apa yang dikaruniakan” adalah ta charisthenta. Beberapa versi Inggris dengan tepat menerjemahkan kata ini dengan “apa yang diberikansecara cuma-cuma” (KJV/NASB/NIV). Kata ini sangat mungkin merujuk secara khusus pada karunia keselamatan: (1) bentuk kata kerja perfect tense pada kata charisthenta mengindikasikan tindakan di masa lampau yang memiliki hasil/akibat sampai sekarang; (2) akar kata charisma dipakai Paulus di Roma 6:23 untuk anugerah keselamatan; (3) hikmat yang dibicarakan Paulus di 1 Korintus 2:6-16 adalah berita salib (1:18, 24; 2:13-14).

Walaupun ta charisthenta terutama merujuk pada anugerah keselamatan, namun bentuk jamak pada kata ini menyiratkan bahwa Paulus juga memikirkan hal-hal lain yang berkaitan dengan keselamatan (bdk. Rm. 8:32). Di 1 Korintus 4:7 Paulus menegur jemaat Korintus yang merasa diri hebat dengan mengajarkan bahwa segala sesuatu merupakan pemberian dari Allah. Tidak ada satu pun yang mereka miliki yang tidak berasal dari Allah

Melalui Roh Allah kita mampu mengerti bahwa keselamatan kita diberikan Allah secara cuma-cuma. Tanpa intervensi Roh, kedagingan kita mendorong kita berpikir bahwa keselamatan adalah usaha manusia. Dalam konteks jemaat Korintus, mereka mungkin berpikir bahwa penerimaan keselamatan harus melalui usaha manusia, terutama menurut cara-cara hikmat duniawi. Bagi Paulus, keselamatan murni pekerjaan Allah (Ef. 2:8-9).


Beberapa Implikasi Menerima Roh Kudus (ay. 13-16)
Keyakinan Paulus di ayat 10-12 membawa beberapa implikasi penting. Pertama, pemberitaan salib harus dilakukan melalui perkataan Roh (ay. 13). Secara hurufiah, ayat 13 seharusnya diterjemahkan “dan yang kami katakan, bukan dalam perkataan-perkataan yang diajarkan hikmat manusiawi tetapi yang diajarkan roh, menjelaskan hal-hal rohani dalam perkataan-perkataan yang rohani”. Perdebatan para penafsir terpusat pada frase “menjelaskan hal-hal rohani dalam perkataan-perkataan yang rohani” (pneumatikois pneumatika sunkrinontes). Sebagian memahami pneumatikois sebagai rujukan pada orang yang mendengar injil (LAI:TB/RSV “kepada mereka yang memiliki Roh”), sedangkan yang lain menganggap pneumatikois merujuk pada media yang dipakai dalam pemberitaan injil (NASB/NIV “dengan perkataan-perkataan rohani”). Karena ayat 13a membicarakan tentang “perkataan-perkataan”, maka di ayat 13b sebaiknya dipahami dalam arti yang sama, sebagaimana dinyatakan dalam terjemahan NASB atau NIV. Apa yang disampaikan Paulus di sini sekaligus berfungsi sebagai penjelasan terhadap cara pekabaran injil yang dilakukan Paulus di ayat 1-5.

Kedua, orang yang tidak menerima Roh Allah tidak dapat mengenal hikmat Allah (ay. 14). Ungkapan “manusia duniawi” sebenarnya berarti “manusia alamiah” (psychikos anthropos; KJV/NASB), yaitu manusia yang tidak rohani (RSV) atau tidak memiliki Roh (NIV). Mereka bukan hanya terus-menerus tidak menerima (bentuk present ou dechetai), tetapi mereka juga tidak dapat mengetahui (ou dunatai gnonai). Hal ini berarti bahwa mereka tidak memiliki kemauan maupun kemampuan untuk menerima injil.

Mengapa mereka bersikap seperti ini? Ada dua alasan. Mereka menganggap salib sebagai kebodohan (ay. 14a; bdk. 1:18, 20, 21, 23; 3:19). Menurut pemikiran mereka yang sudah teracuni oleh filsafat dunia, seorang yang mati di atas kayu salib tidak mungkin menjadi Juru Selamat orang berdosa. Orang yang disalib adalah orang yang paling berdosa. Selain itu, Allah tidak mungkin menjadi manusia lalu mati dengan cara seperti itu. Alasan lain adalah karena hal itu hanya dapat dinilai secara rohani (ay. 14b). Cara berpikir alamiah atau duniawi pasti tidak ampu memahami hal-hal rohani.

Ketiga, hanya orang rohani yang dapat menilai hal-hal rohani dan mereka sendiri tidak dinilai oleh orang lain (ay. 15-16). Sebagai kontras terhadap manusia alamiah di ayat 14, manusia rohaniah dapat menilai segala sesuatu (ay. 15a). Bukan hanya itu, mereka juga tidak dinilai oleh siapapun juga (ay. 15b). Pernyataan ini merupakan sindiran terhadap sebagian jemaat Korintus yang duniawi dan menganggap orang lain yang menerima salib sebagai orang-orang bodoh.

Mengapa orang-orang yang rohani tidak dapat dinilai oleh mereka yang tidak rohani? Jawabannya ada di ayat 16a (bdk. kata sambung “sebab”). Bagian ini merupakan kutipan dari Yesaya 40:13 “siapa yang dapat mengatur Roh TUHAN atau memberi petunjuk kepada-Nya sebagai penasihat?”. Lebih spesifik, Paulus sebenarnya mengutip dari versi LXX yang secara hurufiah diterjemahkan “siapa yang mengetahui pikiran Tuhan dan siapa yang menjadi penasehat-Nya yang mengajar Dia”. Melalui kutipan ini Paulus mengajarkan bahwa orang yang memiliki Roh Allah dalam dirinya tidak membutuhkan nasehat atau penilaian dari orang-orang yang tidak memiliki Roh Allah, karena Roh Allah sendiri yang akan mengajar dan memberitahukan kita segala sesuatu (Yoh. 14:26; 1Yoh. 2:27). Dalam bagian lain Paulus menegur jemaat Korintus yang membutuhkan penilaian orang dunia untuk menyelesaikan persoalan di antara mereka (6:1).

Di akhir ayat 16, Paulus menegaskan bahwa kita memiliki pikiran Kristus. Penggunaan sebutan “Kristus” di sini sangat menarik. Konteks 1 Korintus 2:6-16 berbicara tentang pikiran Allah (ay. 10-11) yang hanya bisa diketahui melalui Roh Allah. Di ayat 16a Paulus mengutip versi LXX dari Yesaya 40:13 yang memakai sebutan “pikiran Tuhan”, sedangkan dalam teks Ibraninya dipakai sebutan “Roh Tuhan”. Beragam sebutan yang dipakai (Allah – Roh Allah – Tuhan - Kristus) dengan maksud yang sama seperti ini mengajarkan kesejajaran antara Allah Bapa, Roh Kudus dan Kristus. Hal ini semakin jelas apabila kita mempertimbangkan prinsip “like is known only by like” yang sudah disinggung di ayat 10. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 9 Maret 2008