25 January 2009

Resensi Buku-64: AJARLAH KAMI BERGUMUL: Refleksi Atas Kitab Mazmur (Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D.--Cand.)

...Dapatkan segera...
Buku
AJARLAH KAMI BERGUMUL
(Refleksi Atas Kitab Mazmur)


oleh: Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D. (Cand.)

Penerbit: Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2008





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Hidup sebagai orang percaya adalah hidup yang terus-menerus dikuduskan oleh Roh Kudus agar taat kepada Kristus. Salah satu tanda hidup orang percaya yang dikuduskan adalah hidup yang bergumul. Hidup Kristen yang tak pernah bergumul adalah hidup Kristen yang sia-sia. Mengapa? Karena bergumul adalah tanda kita memiliki hubungan pribadi dengan Allah, bukan hanya mengenal Allah secara kognitif/theologi. Makin kita bergumul di hadapan Allah, kerohanian kita makin ditumbuhkan, karena kita semakin mengenal Allah kita secara eksistensial. Pergumulan itu ditandai dengan penyesalan dan kekaguman, keyakinan dan keraguan, jawaban dan pertanyaan, sorak-sorai dan ratapan, bahkan berdiam diri. Semua itu bukan bertujuan ingin mempertanyakan kedaulatan Allah lalu meninggalkan-Nya, tetapi semuanya bertujuan agar orang percaya makin mengenal Allah secara pribadi di dalam setiap jalan-jalan-Nya yang sering kali tidak kita pahami. Dengan bahasa yang sederhana dan mendalam, hamba-Nya, Pdt. Billy Kristanto menuntun kita untuk terus bergumul melalui refleksi singkat atas Kitab Mazmur yang penuh dengan pergumulan para penulisnya (termasuk Raja Daud) di hadapan Tuhan. Beberapa konsep dari buku ini telah mencerahkan dan mengoreksi hati dan pikiran saya yang sering kali lemah. Bukan hanya buku, secara pribadi, Pdt. Billy Kristanto adalah sosok hamba Tuhan yang cerdas, bijaksana, namun memiliki kerendahan hati dan tingkat spiritualitas yang matang. Mendengarkan banyak khotbah dan pengajaran dari beliau membuka wawasan iman saya dan mengoreksi spiritualitas saya. Biarlah Tuhan boleh memakai buku ini dan penulisnya menjadi berkat bagi pertumbuhan kerohanian kita agar makin memuliakan Tuhan. Soli Deo Gloria.





Profil Pdt. Billy Kristanto:
Pdt. Billy Kristanto, Dip.Mus., M.C.S., Ph.D. (Cand.) lahir pada tahun 1970 di Surabaya. Sejak di sekolah minggu mengambil bagian dalam pelayanan musik gerejawi. Setelah lulus SMA melanjutkan studi musik di Hochschule der Künste di Berlin majoring in harpsichord (Cembalo) di bawah Prof. Mitzi Meyerson (1990-96).
Setelah menamatkan studi musik di Hochschule der Künste di Berlin pada tahun 1996 Pdt. Billy Kristanto melanjutkan post-graduate study di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory). Beliau melayani sebagai Penginjil Musik di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Jakarta sejak Februari 1999 dan pada tahun yang sama memulai studi theologi di Institut Reformed dan lulus pada tahun 2002 dengan mendapatkan gelar Master of Christian Studies (M.C.S.) beliau menjabat sebagai Dekan School of Church Music di Institut Reformed Jakarta. Ditahbiskan menjadi pendeta sinode GRII di tahun 2005 beliau saat ini menggembalakan jemaat MRII Berlin, MRII Hamburg, PRII Munich, dan Persekutuan Reformed Stockholm. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi doktoral di bidang musikologi di Universitas Heidelberg, Jerman. Beliau menikah dengan Suzianty Herawati dan dikaruniai dua orang anak, Pristine Gottlob Kristanto dan Fidelle Gottlieb Kristanto.

Matius 12:38-42: TRUE RELIGIOUSITY (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 18 Februari 2007

True Religiousity
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 12:38-42


Hari ini kita masuk dalam suatu bagian pelik, yaitu pergunjingan antara Ketuhanan Kristus dan kereligiusitasan manusia. Khususnya setiap orang Kristen yang telah bertahun-tahun menjadi Kristen hendaklah berhati-hati jangan sampai terjebak dalam suatu bentuk keagamaan dan kita menjadi kehilangan makna. Betapa sia-sia seluruh ibadah dan pelayanan yang kita kerjakan selama bertahun-tahun kalau kita tidak kembali pada iman sejati sebab semua perjuangan kita akan berakhir dengan kebinasaan.
Peristiwa dimulai ketika orang-orang Farisi menuntut legitimasi Kristus. Para ahli Taurat dan golongan Farisi – orang yang katanya “beragama“ ini sekarang berjumpa dengan Kristus Yesus yang menjadi esensi iman. Seberapa jauhkah orang-orang yang mengaku “mengerti agama“ ini dapat beriman pada Kristus? Perdebatan antara orang Farisi dengan Kristus ini tidak berakhir memuaskan, yaitu pertobatan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Tidak! Adalah wajar kalau orang meminta legitimasi. Legitimasi ini juga yang diminta oleh Musa pada Allah. Tentang diri-Nya, Allah menyatakan: “I am that I am.“ Pertanyaannya bagaimana membangun legitimasi? Religiusitas tanpa legitimasi adalah religiusitas palsu. Religiusitas yang dibangun di atas iman yang fanatik itu membinasakan. Kalau kita tidak pernah memahami obyek yang kita percaya berarti kita telah masuk dalam suatu penipuan diri dan akibatnya adalah kehancuran. Karena itu, sebelum kita mempercayakan hidup kita maka kita harus mengujinya terlebih dahulu. Siapakah dia? Layakkah dia untuk dipercaya? Apakah setiap perkataannya merupakan kebenaran? Sesuaikah hidupnya dengan perkataannya? Ini menjadi pertanyaan legitimasi sebelum akhirnya kita memutuskan untuk mempercayakan hidup kita padanya. Iman sejati haruslah mempunyai obyek sejati.
Meminta legitimasi iman bukanlah hal yang salah, itulah sebabnya ketika orang Farisi meminta legitimasi pada Kristus, Tuhan Yesus tidak menolaknya. Yang menjadi pertanyaan adalah untuk apa mereka membutuhkan legitimasi? Kenapa legitimasi diberikan pada orang Farisi? Orang-orang Farisi adalah orang-orang terpandang tetapi mereka mempunyai sifat jahat. Perkataan keras dan tajam dikatakan Kristus pada mereka, yakni ular beludak dan mereka juga dikatakan sebagai angkatan yang jahat dan tidak setia (Mat. 12:39). Kata “tidak setia“ ini dalam bahasa aslinya mempunyai arti penzinah. Namun pada angkatan yang jahat ini, Tuhan Yesus tetap memberikan tanda yang mereka minta, yaitu tanda nabi Yunus. Tanda nabi Yunus ini bukanlah tanda yang sederhana.
1. Lordship of Christ or Humanistic Religiousity
Kalau kita tidak dapat memilah antara religiusitas humanistik dan the Lordship of Christ maka kita akan jatuh dalam kegagalan hidup beriman seperti yang terjadi pada orang Farisi. Tanda yang diminta oleh orang Farisi dari Kristus sesungguhnya adalah tanda yang sesuai dengan keinginannya. Orang Farisi mengasumsikan Kristus sama seperti guru yang lain yang perlu meminta legitimasi. Pertanyaannya adalah apakah Kristus menyetujui posisi itu? Tidak! Ketika orang Farisi mempunyai konsep berpikir maka konsep berpikir mereka langsung dikoreksi oleh Kristus dengan cara berpikir Kristus. Inilah iman sejati. Iman di dalam Kristus adalah iman yang kembali pada legitimasi Kristus bukan legitimasi manusia. Ini titik pertama dalam perdebatan antara legitimasi antara religiusitas humanistik dengan legitimasi Kristus sebagai Tuhan. Kristus memberikan legitimasi dan legitimasi yang diberikan oleh Kristus ini sangat dahsyat dan kuat tetapi legitimasi yang diminta oleh orang Farisi dan ahli Taurat tidak sama dengan yang diberikan oleh Kristus.
Kalau kita mau mencoba berandai-andai, seandainya tanda yang diberikan oleh Kristus sama persis seperti yang diminta oleh orang Farisi dan ahli Taurat maka pertanyaannya apakah hal ini akan menjadikan mereka bertobat? Seharusnya mereka bertobat tetapi Alkitab mencatat tidak. Pertanyaannya apakah Allah harus menyesuaikan tanda-Nya dengan tanda yang diinginkan oleh manusia? Tidak! Tanda yang Kristus berikan berbeda dengan yang diharapkan oleh golongan Farisi dan para ahli Taurat. Disinilah letak perbedaan religiusitas duniawi dengan Ketuhanan Kristus. Ironisnya, hari ini banyak orang yang mempunyai pemikiran sama persis dengan orang Farisi dan ahli Taurat. Orang berpendapat bahwa untuk menginjili maka kita harus menyesuaikan dengan keinginannya. Sebagai contoh, orang ingin musik rohani seperti layaknya musik dunia maka gereja menyediakannya dan kalau orang sudah bertobat barulah kita bawa ke musik yang benar. Mungkinkah hal itu terjadi? Alkitab menegaskan orang yang lahir baru berarti segala sesuatu yang lama harus dibuang dan diganti dengan hal yang baru maka kalau yang baru itu justru menuju ke yang lama, itu tidak akan menjadikan orang bertobat. Tanda membawa seseorang kembali pada legitimasi asli. Sebaliknya kalau tanda itu tidak kembali pada legitimasi asli tetapi mencocokkan dengan apa yang diinginkan oleh manusia pada umumnya maka itu bukan tanda asli tetapi pemalsuan tanda. Saya adalah saya dengan tanda-tanda yang ada pada saya tetapi ketika tanda saya bertemu dengan orang lain, saya tidak memberikan tanda saya, saya mengikuti apa yang menjadi keinginan orang lain berarti saya sedang mengorbankan identitas diri saya, dengan kata lain saya tidak menjadi diri saya sendiri. Pertanyaannya saya membuat orang lain mengenal saya ataukah saya sedang menipu orang lain tentang saya. Namun dunia tidak suka kebenaran, dunia hanya suka apa yang dia suka. Ia tidak peduli meski yang kita katakan atau berikan itu kebohongan sebab yang terpenting adalah dia suka. Inilah dunia berdosa. Apakah Kristus membuang identitas-Nya dan mencocokkan identitas-Nya seperti yang diharapkan oleh golongan Farisi dan para ahli Taurat? Tidak! Kristus menuntut setiap manusia untuk mengikut pada tanda-Nya sebab tanda Kristus itulah tanda sejati. Inilah bedanya tanda dengan mujizat. Mujizat tidak bisa menjadi tanda; setiap orang dapat membuat hal yang spektakuler. Tanda itu menunjukkan siapakah Kristus; tanda menunjukkan identitas murni.
Dunia hanya ingin keagamaan yang cocok dengan pemikiran mereka, yaitu: 1) keagamaan yang selalu menolong setiap mereka berada dalam kesulitan sebab dunia tahu bahwa hidup di dunia tidaklah mudah, banyak faktor X yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia maka kalau ada agama yang dapat menolong mereka lepas dari kesulitan, manusia akan sangat suka. Orang tidak suka dengan tanda Yunus sebab tiga hari di perut ikan merupakan gambaran kelemahan. Demikian juga dengan tanda Anak Manusia tiga hari berada dalam rahim bumi, 2) keagamaan yang dapat memberikan rasa aman dari aspek tuntutan dosa. Sesungguhnya, manusia sadar kalau dirinya berdosa dan dosa itu harus dihukum maka manusia ingin agama yang membuatnya tidak terikat dan ia masih bisa berbuat dosa dan kalaupun ia telah berdosa maka masih ada jalan untuk menyelesaikannya. Inilah yang dunia suka.
Manusia tidak suka disadarkan akan dosa. Tanda yang mereka harapkan adalah tanda yang menyenangkan seperti tanda 5 roti 2 ikan yang dapat memberi makan 5000 orang. Namun tanda yang diberikan oleh Kristus justru tanda pertobatan. Orang Farisi dan ahli Taurat sangat memahami mengapa Yunus harus masuk dalam perut ikan, yakni karena ia melawan Tuhan. Tiga hari Yunus di perut ikan implikasinya pada Tuhan Yesus harus mati menanggung dosa manusia. Mereka tidak dapat menerima tanda Kristus sebab tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh manusia. Disinilah letak perbedaan the Lorship of Christ; kalau benar kita men-Tuhankan Kristus maka kita harus kembali pada tanda sejati dan kita akan men-Tuhankan Kristus dalam seluruh hidup kita.
Biarlah dalam seluruh aspek hidup kita, kita memohon pada Tuhan kalau kita meminta tanda, hendaklah tanda yang kita minta itu sesuai dengan apa yang Tuhan pikir bukan sebaliknya, Tuhan yang harus mencocokkan dengan kita. Mentuhankan Kristus berarti kita taat pada tanda Kristus. Sangatlah disayangkan, orang justru dibawa pada Kristus palsu seperti yang dunia berdosa inginkan. Cobalah tengok cara atau konsep beragama termasuk Kekristenan yang ada hari ini; semua keputusan dibuat berdasar keinginan dan tuntutan manusia. Maka tidaklah heran kalau hari ini menjumpai banyak orang Kristen yang berpindah ke agama lain yang sifatnya humanistik sebab “iman Kristennya“ juga berbasis pada religius humanistik. Biarlah kita mengevaluasi diri sudahkan kita mengenal “siapakah Kristus sejati“? Sudahkah kita men-Tuhankan Kristus dalam seluruh aspek hidup kita? Kita yang harus mengubah seluruh konsep berpikir kita untuk menjadi serupa dengan Kristus. Ingat, Allah bukan budak kita yang harus menuruti semua keinginan kita. Tidak! Manusia yang harus taat pada perintah Allah maka itu menjadikan seluruh hidup kita indah.
2. Lordship of Christ or Supremacy of Culture
Manusia mudah sekali dibawa ke dalam konsep yang salah, hal ini tidak aneh sebab sebelumnya telah mempunyai konsep iman yang palsu, yakni iman yang berpijak pada “allah-alah idol.“ Allah yang menjadi obyek iman itu tidak lebih merupakan pencerminan dari egoisme dan humanisme manusia seperti yang diungkapkan oleh Feurbach. Dunia berpendapat bahwa agama itu tidak lebih sebagai hasil pemikiran budaya. Jauh sebelumnya, golongan Farisi dan para ahli Taurat juga mempunyai konsep yang sama. Richard Niebuhr dalam bukunya Christ and Culture mengemukakan orang Yahudi sangat membenci Kristus sebab tanda Kristus membentur keagamaan Yahudi dan menghantam budaya Yahudi. Orang Yahudi telah menempatkan budaya di posisi paling atas dan hasil budaya antara lain, seni, arsitektur, tradisi termasuk keagamaan. Salah! Budaya telah bercampur dengan tradisi dan agama. Merupakan suatu kesalahan fatal kalau kita menyembah agama sebagai produk budaya; orang tidak akan pernah bertemu dengan Allah sejati karena “allah“ yang kita sembah itu tidak lebih hasil pemikiran kita secara budaya. Inilah keagamaan humanistik yang hari ini dijalankan oleh hampir seluruh manusia di setiap tatanan hidup dan semua kultur manusia. Alkitab menegaskan Allah harus berada di atas budaya dan Allah yang harus membentuk budaya; budaya harus tunduk di bawah agama. Kristus adalah the Lord of Culture dan orang Yahudi tidak suka hal ini, itulah sebabnya mereka bersepakat untuk membunuh Yesus Kristus. Orang Yahudi tidak ingin iman sejati itu berada di atas budaya. Teologi Reformed menyadari bahwa culture mandate harus tunduk di bawah iman; budaya harus kembali pada Kristus, the Lordship of Culture sebab Dia satu-satunya sandaran mutlak bagi manusia.
3. Lordship of Christ or Humanistic Sign
Tuhan Yesus adalah absolute standar namun dunia berdosa tidak mau kembali pada standar mutlak. Dunia menetapkan agama itulah yang harus menjadi standar akibatnya agama menjadi pluralistik dan bersifat relatifistik. Maka tidaklah heran kalau orang mencari agama yang cocok dengan keinginan kita begitu pula di Kekristenan, orang mencari gereja yang sesuai dengan keinginannya. Esensi iman telah rusak. Perhatikan, iman bukan cocok dengan kita; iman bukan apa yang kita suka; iman tidak bersifat relatifistik. Iman mengandung unsur kemutlakan dan Allah yang dipercaya sebagai dasar iman harus bersifat mutlak. Orang tidak pernah mau mengakui bahwa iman itu bersifat mutlak tetapi di sisi lain, orang harus mempunyai iman yang mutlak. Jadi kalau ada orang yang mengaku beriman Kristen tetapi tidak mengakuinya kebenaran Alkitab maka dapatlah dipastikan ia bukan Kristen. Pertanyaan lebih lanjut, ia beriman pada apa? Banyak kemungkinan, bisa saja ia beriman pada materialisme, kalau Kristen dapat membuatnya menjadi kaya barulah ia menjadi Kristen; iman harus cocok dengan apa yang menjadi keinginannya. Adapula orang yang beriman pada segala sesuatu yang menurutnya baik – iman subyektif sebab sesungguhnya yang menjadi “allah“ dalam dirinya tidak lebih adalah dirinya sendiri. Di satu sisi mungkin ia anggota dari salah satu gereja Kristen tetapi ia bukan Kristen; antara identitas sorga dan identitas dunia tidak sama.
Iman sejati harus kembali pada Kristus karena iman sejati harus mengandung kemutlakkan. Pertanyaannnya sekarang adalah kenapa harus Kristus? Tanda Yunus 3 hari dalam perut ikan menjadi gambaran Kristus. Peristiwa Yunus tentulah tidak asing bagi golongan Farisi dan para ahli Taurat apalagi pekerjaan mereka sehari-hari adalah menyalin kitab Perjanjian Lama. Mereka sangat memahami bahwa kalau Niniwe bertobat itu karena Injil Pertobatan yang diberitakan oleh Yunus – utusan Allah. Alkitab mencatat tidak hanya seluruh penduduk Niniwe yang bertobat bahkan seluruh binatang pun ikut berkabung. Kedatangan Yunus sangat simple tetapi dengan tanda yang luar biasa - Allah Jehovah bukanlah allah yang dapat dipermainkan. Allah sangat marah pada Yunus karena Yunus memberontak maka hal ini membuat orang-orang Niniwe menjadi gentar dan takut pada Allah Jehovah. Dengan kata lain Tuhan Yesus mau menanyakan pada orang-orang Farisi dan para ahli Taurat, kalau orang-orang Niniwe bertemu dengan tanda Yunus langsung bertobat lalu bagaimana dengan sikap orang-orang Farisi dan para ahlit Taurat yang setiap hari bergelut dengan kitab Perjanjian Lama sekian lama, sudah bertobatkah mereka? Tidak!
Keagamaan humanisme selalu menuntut Tuhan yang mesti cocok dengan diri kita. Inilah sikap manusia berdosa dan gejala ini telah masuk dalam semua manusia bahkan hampir seluruh agama. Termasuk orang Kristen hanya mau ikut pada “Tuhan“ yang sesuai dengan keinginannya. Tuhan Yesus telah memberikan tanda seperti yang diminta oleh orang Farisi dan para ahli Taurat. Kota Niniwe didiami oleh orang-orang jahat itulah sebabnya, Yunus melarikan diri ketika ia diutus Allah untuk pergi memberitakan Injil Pertobatan, ia tidak rela kalau kota yang kejam dan jahat ini mendapat pengampunan dari Tuhan. Apalagi Kristus, Ia rela datang dan mengampuni setiap manusia berdosa yang tidak layak mendapat pengampunan dari Tuhan. Kalau Yunus saja tidak rela terlebih lagi Anak Allah seharusnya lebih tidak rela menyelamatkan manusia berdosa namun kalau Tuhan masih berkenan menyelamatkan kita maka itu merupakan suatu anugerah besar. Inilah tanda sejati yang Kristus berikan dan tunjukkan namun sangatlah disayangkan, dunia tidak dapat mengerti dan melihat tanda sejati. Mereka sangat bebal. Kalau Allah sudah sangat mencintai Niniwe, kota yang seharusnya dihukum apalagi pada kita, manusia berdosa, Tuhan sangat mencintai kita; Dia mengirim anak-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan manusia berdosa. Kristus ingin membawa kita kembali pada kebenaran sejati.
Tanda yang Kristus berikan mempunyai makna dan nilai yang jauh lebih besar daripada sekedar tanda yang diharapkan oleh orang Farisi dan ahli Taurat. Kristus juga memberikan tanda lain dengan menggunakan gambaran hikmat yang dimiliki oleh Salomo. Dengan kata lain, Tuhan Yesus mau menegaskan bahwa hikmat yang Ia berikan jauh lebih besar dari hikmat Salomo. Problematika yang sama masih terjadi di abad 21, manusia sulit menerima kebenaran sejati; manusia lebih suka diberikan sesuatu benda yang cocok dengan nafsunya. Biarlah kita melihat dan mengerti tanda Kristus yang sejati dan tanda itu semakin menguatkan iman kita; kita tidak mudah diguncangkan oleh berbagai-bagai ajaran sesat yang berkembang hari ini. Dunia tidak membutuhkan orang pandai, dunia membutuhkan orang bijaksana – orang yang dapat mempertim-bangkan semua aspek dengan matang lalu mengambil keputusan tepat seperti kehendak Allah. Bijaksana sejati itu bisa kita dapatkan dalam Kristus Yesus; Dia adalah satu-satunya sumber bijaksana sejati. Hendaklah kita menjadi bijaksana, kita dapat melihat tanda sejati yang Kristus berikan. Tidak ada apapun di dunia yang dapat melawan Ketuhanan Kristus. Biarlah kita mengevaluasi diri, apa yang telah kita perbuat bagi-Nya, sudahkah engkau giat bekerja bagi-Nya? Memohonlah pada Allah supaya kita diberikan kekuatan dan kebijaksanaan supaya kita dapat men-Tuhankan Kristus dalam seluruh aspek hidup kita. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 12:17-21: KASIH SEJATI-5: Kasih Persekutuan Menjadi Teladan-2

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-8


Kasih Sejati-5:
Kasih Persekutuan Menjadi Teladan-2


oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 12:17-21.


Setelah kita merenungkan prinsip utama di dalam kasih di antara tubuh Kristus di ayat 16, Paulus memaparkan beberapa konsep tentang kasih persekutuan itu mulai ayat 17 s/d 21, sebagai berikut:
Pertama, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan (ay. 17a, 19). Sebagai reaksi dari konsep sehati sepikir di dalam persekutuan tubuh Kristus (ay. 16), maka Paulus menasihatkan jemaat Roma untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Seorang yang memiliki hati dan pikiran yang terarah kepada Kristus tentu tidak akan memiliki satu detik pun untuk membalas kejahatan dengan kejahatan. Mengapa? Karena Allah adalah Kasih, maka Ia menginginkan umat-Nya untuk mengasihi sesama umat-Nya, sehingga wujud kasih umat-Nya adalah tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Jadi, kasih Allah adalah teladan dan sumber dari kasih umat-Nya yang nantinya dinyatakan kepada orang luar. Jika kita tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, lalu apa yang kita lakukan? NIV Spirit of the Reformation Study Bible memberikan referensi ayat ini dengan Amsal 20:22, “Janganlah engkau berkata: “Aku akan membalas kejahatan,” nantikanlah TUHAN, Ia akan menyelamatkan engkau.” Ketika kita diperintahkan Tuhan untuk tidak membalas kejahatan, kita diperintahkan selanjutnya untuk mengarahkan dan menyerahkannya kepada Tuhan yang akan menyelamatkan kita. Penulis Ibrani menyatakan hal yang sama juga, “Sebab kita mengenal Dia yang berkata: “Pembalasan adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan.” Dan lagi: “Tuhan akan menghakimi umat-Nya.”” (Ibr. 10:30; bdk. Rm. 12:19) Lalu, mengapa kita disuruh menyerahkan hak pembalasan kepada Tuhan? Karena “Hak-Kulah dendam dan pembalasan, pada waktu kaki mereka goyang, sebab hari bencana bagi mereka telah dekat, akan segera datang apa yang telah disediakan bagi mereka. Sebab TUHAN akan memberi keadilan kepada umat-Nya, dan akan merasa sayang kepada hamba-hamba-Nya; apabila dilihat-Nya, bahwa kekuatan mereka sudah lenyap, dan baik hamba maupun orang merdeka sudah tiada.” (Ul. 32:35-36) Di sini, Allah sendiri menyatakan kepada kita bahwa hanya Dia saja yang menyatakan hak pembalasan kepada orang-orang yang berani mengganggu umat-Nya. Ketika di dalam persekutuan tubuh Kristus, ada orang Kristen yang berani menganggu kita, kita tidak perlu membalas mereka dan kita menyerahkannya kepada Tuhan. Lihatlah, Ia akan bertindak menghajar dan menghukum mereka yang berani mengganggu umat-Nya. Hal ini juga membukakan kepada kita bahwa di dalam gereja Tuhan pun, ada antek-antek iblis yang menyamar sebagai malaikat terang. Bagaimana dengan kita? Ketika seorang Kristen menyakiti kita dengan menipu atau memfitnah kita, apakah kita membalas orang itu atau tidak membalasnya dan menyerahkannya kepada Tuhan? Ingatlah satu hal, Allah kita bukan Allah yang buta yang tidak peduli dengan kesengsaraan umat-Nya, tetapi Ia adalah Allah yang hidup yang peduli dengan kesengsaraan umat-Nya. Meskipun Ia mengizinkan umat-Nya melalui banyak penderitaan, Ia tidak membiarkan umat-Nya mengalaminya sendiri tanpa bantuan-Nya, melainkan Ia memberi kekuatan bahkan termasuk membalas semua kekejian yang dilakukan oleh orang-orang di luar Kristus kepada umat-Nya. Itulah providensi Allah bagi umat-Nya. Percayakah kita pada providensi Allah yang memelihara umat-Nya?


Kedua, berhati-hatilah melakukan apa yang baik di depan semua orang (ay. 17b). Sepintas jika kita membaca terjemahan LAI dalam ayat 17b, kita membaca seolah-olah kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan, lalu kita dituntut untuk melakukan apa yang baik di depan semua orang. Tetapi jika kita benar-benar memerhatikan dari terjemahan Inggris dan Yunani, kita mendapatkan gambaran berbeda di mana ayat 17a dan 17b tidak berkaitan (dalam arti bersambungan). Teks Yunani untuk ayat ini diterjemahkan, “perhatikanlah (hal-hal) yang baik menurut pandangan semua orang-orang;” (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 865) New International Version (NIV) menerjemahkan, “Be careful to do what is right in the eyes of everybody.” (=berhati-hatilah melakukan apa yang baik di depan semua orang). Artinya kita dituntut untuk berhati-hati melakukan apa yang baik di depan semua/setiap orang. Mengapa kita dituntut demikian? Karena apa yang kita lakukan di depan semua orang harus bersumber dari iman dan kasih kita kepada Allah. Seorang yang mengasihi Allah adalah orang yang mengasihi manusia/saudaranya (bdk. 1Yoh. 4:21). NIV Spirit of the Reformation Study Bible dan Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible mereferensikan 2Kor. 8:21 sebagai ayat yang mengajar bahwa kita harus menjalankan kasih baik di hadapan Allah dan manusia. Mari kita menyelidiki ayat ini. Di dalam 2Kor. 8:21, Paulus mengajar, “Karena kami memikirkan yang baik, bukan hanya di hadapan Tuhan, tetapi juga di hadapan manusia.” Konteks ayat ini adalah tentang pelayanan kasih dan tentang Titus yang diutus. Berarti, di dalam persekutuan tubuh Kristus, kasih diwujudnyatakan dengan melakukan apa yang baik di hadapan Allah dan manusia. Bagaimana dengan kondisi Kekristenan saat ini? Banyak orang Kristen hanya menunjukkan sikap mengasihi Allah, tetapi tidak menunjukkan kasih kepada sesama manusia terutama saudara seiman. Mereka gemar membaca buku-buku theologi dan ikut pembinaan iman, tetapi sayangnya mereka kurang bisa bersosialisasi dengan sesama jemaat dan memerhatikan mereka. Mereka hanya bisa mengisi otak mereka dengan pengetahuan theologi, sedangkan hati mereka kering dan semangat mereka loyo. Mengapa mereka bisa demikian? Karena mereka tidak mengasihi manusia sebagaimana mereka mengasihi Allah. Seorang yang mengasihi Allah adalah orang yang memerhatikan isi hati Allah dan menjalankannya, begitu pula dengan orang yang mengasihi manusia adalah orang yang memerhatikan sesama saudara seiman dan berusaha membantu mereka. Adakah semangat ini di dalam tubuh Kristus?


Ketiga, hidup berdamai (ay. 18). Seorang yang memiliki kasih Kristus di dalam persekutuan tubuh Kristus adalah mereka yang hidup berdamai dengan semua orang. King James Version (KJV) menerjemahkannya, “If it be possible, as much as lieth in you, live peaceably with all men.” (=Jika mungkin, sejauh itu bergantung padamu, hiduplah berdamai dengan semua orang.) Kata “berdamai” dalam ayat ini dalam bahasa Yunani menggunakan struktur kalimat aktif. Berarti, kita harus aktif berdamai dengan semua orang. Selain itu, kata ini juga menggunakan keterangan waktu present. Berarti, kata kerja ini (=hidup berdamai) dilakukan terus-menerus. Apa itu hidup berdamai? Dr. John Gill kembali di dalam tafsirannya memperluas makna ini menjadi: jadilah, carilah, kejarlah, dan peliharalah damai itu.
Bagaimana kita bisa menjadi damai? NIV Spirit of the Reformation Study Bible merujuk ke Markus 9:50, “Garam memang baik, tetapi jika garam menjadi hambar, dengan apakah kamu mengasinkannya? Hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain.”” Di sini, Tuhan Yesus mengaitkan bagaimana umat-Nya bisa menjadi damai ketika umat-Nya menggarami (memengaruhi) dunia. Tuhan tidak mau kita yang digarami/dipengaruhi, tetapi kita yang memengaruhi dunia. Kita bisa memengaruhi dunia ini tatkala kita kembali kepada Firman Tuhan. Berarti Firman Tuhan memengaruhi kita menjadi garam dan ketika kita menggarami dunia, di saat itu kita sedang menjadi agen damai Allah bagi dunia. Lalu, pertanyaan selanjutnya, apa yang perlu diperdamaikan? Pdt. Dr. Stephen Tong mengemukakan 5 relasi damai ini, yaitu damai antara Allah dan manusia, damai antara manusia dengan diri, damai antara manusia dengan sesama, mendamaikan manusia lain dengan Allah, dan mendamaikan sesama manusia. Pertama, menjadi agen damai harus dimulai dengan diperdamaikannya kita sebagai manusia berdosa dengan Allah yang Mahakudus di dalam penebusan Tuhan Yesus Kristus yang menyelamatkan. Setelah kita diperdamaikan, kita dituntut untuk memperdamaikan kita dengan diri kita sendiri. Orang yang terus tidak bisa mendamaikan diri dengan diri sendiri adalah orang yang lama-kelamaan stres, karena sering terjadinya konflik pribadi. Kemudian, kita juga dituntut untuk mendamaikan diri kita dengan sesama. Artinya, kita tidak perlu mencari konflik yang tidak perlu dan tidak penting. Setelah itu, kita dituntut untuk mendamaikan manusia lain dengan Allah. Inilah tugas penginjilan. Kita bukan hanya berdamai dengan semua orang saja, tetapi kita juga dituntut untuk mendamaikan orang lain dengan Allah melalui penginjilan. Mengapa ini perlu? Ini diperlukan supaya kita tidak berkompromi ketika kita mendamaikan diri dengan orang lain. Bukan menjadi rahasia umum, atas nama “damai”, manusia postmodern merelatifkan dan mengompromikan kebenaran, sehingga mereka terus mencari persamaan semua agama dan bukan mencari mana yang benar. Oleh karena itu, di dalam zaman postmodern, kita perlu memberitakan Injil untuk memperdamaikan orang lain dengan Allah. Kemudian, terakhir, kita juga menjadi agen yang mendamaikan manusia lain dengan sahabatnya yang bertengkar/berkelahi. Di sini, kita lebih dalam lagi, kita menjadi alat yang membawa damai bagi sesama kita sehingga sesama kita yang saling bertengkar lama-lama melihat perdamaian yang kita lakukan dan memuliakan Bapa di Surga. Setelah menjadi agen perdamaian, kita dituntut untuk terus mengejar kedamaian itu dan akhirnya, jangan lupa mempertahankan/memelihara kedamaian itu. Bagaimana dengan kita? Ketika kita atau sesama kita bertengkar, sudahkah kita menjadi agen perdamaian Allah bagi dunia ini, sehingga nama-Nya dipermuliakan? Atau malahan kita yang menyulut pertengkaran itu? Mari introspeksi diri kita masing-masing.


Keempat, berbuat baik bagi musuh kita yang membutuhkan (ay. 20). Kasih Kristus juga diwujudnyatakan dengan berbuat baik bagi mereka yang membutuhkan, yaitu memberi makan kepada musuh kita yang lapar dan memberi minum kepada mereka yang haus. Yang lebih unik lagi, di ayat ini, Paulus menambahkan kata “seteru” yang menandakan bahwa kasih Kristus adalah kasih yang diwujudnyatakan juga kepada musuh kita. Ketika musuh kita lapar, haus, dll, apa yang kita lakukan? Membiarkannya? Atau menolongnya? Kasih dari Kristus seharusnya memampukan kita mengampuni musuh kita dan menolongnya ketika mereka kesusahan. Bagaimana dengan kita? Ada orang Kristen yang ketika dirinya disakiti dan difitnah oleh sesama/saudaranya yang Kristen atau orang lain (bahkan hamba Tuhan), dia tidak mau lagi ke gereja, tidak mau menyapa sesama/saudaranya itu, dan tragisnya, cuek habis dengan kondisi mereka. Mengapa bisa demikian? Karena mereka sebagai orang Kristen hanya mau orang lain memerhatikan dia dan bukan sebaliknya. Di ayat ini, Paulus mencerahkan dan menegur kita bahwa meskipun kita harus dihina, difitnah, dll, sudahkah kita menunjukkan kasih kita kepadanya bukan hanya mengampuninya saja, tetapi juga menolongnya ketika ada masalah? Paulus yang mengajar ini adalah Paulus yang sudah mempraktikkannya. Paulus mengasihi orang dan kaisar Romawi dengan memberitakan Injil kepada Kaisar Romawi, yaitu Raja Agripa (baca: Kis. 26) meskipun negara ini telah menjajah negaranya, Israel. Itulah yang diteladankan Paulus bagi kita bagaimana mengasihi jiwa bahkan musuh kita sendiri. Sudahkah kita melakukannya?


Kelima, mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (ay. 21). Ayat ini menyambung penjelasan Paulus di ayat 17a dan 19. Tadi kita sudah diperintahkan untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, maka di ayat ini, Paulus menambahkan bahwa kita harus membalas dan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Bukan hanya menyerahkan pembalasan itu kepada Tuhan, kita pun dituntut mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Berarti bukan hanya Allah yang bertindak, kita pun harus bertindak. Bedanya, Allah bertindak membalas mereka yang berbuat jahat kepada kita, sementara kita melakukan apa yang baik bagi mereka yang berbuat jahat pada kita. Dunia tidak bisa melakukan hal ini, karena mereka tidak mengerti dan mengalami penebusan Kristus yang telah mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Hanya Kekristenan yang sanggup mengerti dan menjalankannya. Bagaimana dengan kita pribadi? Memang sulit mengalahkan kejahatan dengan kebaikan, tetapi tidak ada yang mustahil jika Roh Kudus yang memimpin kita melakukannya. Sudah siapkah kita dipakai menjadi agen pelaksana kebaikan yang mengalahkan kejahatan?


Setelah kita merenungkan kelima ayat ini, sudah siapkah kita dipakai Roh Kudus menjadi agen pewarta kasih, kedamaian, dan kebaikan dari Allah di tengah dunia berdosa ini? Biarlah kita dipakai Tuhan sehingga nama-Nya sajalah dipermuliakan dari dahulu, sekarang, dan selama-lamanya. Amin. Soli Deo Gloria.

18 January 2009

Resensi Buku-62: MENAPAKI HARI BERSAMA ALLAH (Pdt. Yohan Candawasa, S.Th.)

...Dapatkan segera...
Buku
MENAPAKI HARI BERSAMA ALLAH

oleh: Pdt. Yohan Candawasa, S.Th.

Penerbit: Pionir Jaya dan Unveilin GLORY, Bandung, 2006





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Waktu adalah anugerah yang Tuhan berikan kepada manusia. Khususnya sebagai anak-anak Tuhan, kita bukan hanya mengerti waktu adalah anugerah Tuhan, kita diperintahkan untuk menebus waktu kita demi kemuliaan-Nya (terjemahan Inggris dari Ef. 5:16). Menebus waktu itu bisa kita lakukan dengan mempergunakan setiap waktu kita untuk memuliakan Tuhan setiap hari. Mempergunakan setiap waktu untuk memuliakan Tuhan itu bisa dilakukan dengan berjalan bersama Allah di dalam setiap hari yang Tuhan beri. Lalu, bagaimana kita bisa berjalan bersama Allah di dalam setiap hari tersebut? Di dalam bukunya Menapaki Hari Bersama Allah, hamba-Nya, Pdt. Yohan Candawasa memaparkan prinsip-prinsip bagaimana kita bisa menjalani hari demi hari bersama dan di dalam Allah untuk menggenapi kehendak-Nya.

Buku ini dimulai dengan Bab 1 yang membentuk ulang paradigma Kristen kita tentang hidup. Di dalam bab ini, Pdt. Yohan Candawasa memaparkan bahwa hidup itu dilihat bukan dari awalnya, tetapi dari akhirnya, karena itu yang mencerminkan keaslian kita. Hal itu ditandai dengan obituari yang akan kita tuliskan kelak. Lalu, mungkin di dalam hidup yang kita jalani, kita menemukan banyak rintangan. Bagaimana mengatasinya? Di dalam Bab 2, dengan menguraikan Mazmur 73, Pdt. Yohan menguraikan alasan kita sering kali enggan menerima rintangan hidup, yaitu kita menyangka bahwa kita bisa barter dengan Allah. Kalau kita baik dan melayani Tuhan, maka Ia pasti tidak akan memberikan kecelakaan kepada kita. Agama timbal balik ini bukan Kekristenan, karena Kekristenan mengenal konsep anugerah. Anugerah ini memimpin hidup umat Tuhan untuk mengerti bahwa meskipun seolah-olah Allah itu tidak adil dengan membiarkan orang fasik itu hidup sukses, tetapi sesungguhnya kesuksesan orang fasik itu mengarah kepada kebinasaan. Sebaliknya, meskipun anak Tuhan mengalami penderitaan, tetapi Ia memberi kekuatan kepada kita, sehingga kita pasti mengalami kemenangan karena kemenangan Kristus. Kemudian, di Bab 3, beliau menguraikan lebih dalam lagi makna penderitaan di dalam perspektif Ilahi, di dalam tema, Kala Allah Tak Terpahami. Setelah memahami penderitaan, pembaca digiring untuk mulai masuk ke dalam setiap hari bersama Allah. Melalui Bab 4, Menapaki Hari Bersama Allah, Pdt. Yohan menguraikan melalui kisah Yusuf di dalam Kejadian 50:15-21, bahwa ketika kita menapaki hari bersama Allah, hendaknya orang Kristen tidak perlu menyesal akan masa lalu (“Kalau saja...”) dan tidak perlu kuatir akan masa depan (“Bagaimana kalau...”), sebaliknya kita harus: melihat ke atas (yaitu iman dan pengharapan) ketika menapaki hari-hari bersama Allah dan mengurus/bertanggung jawab atas apa yang Tuhan percayakan kepada kita hari ini.

Setelah kita mengerti bagaimana menapaki hari bersama Allah, kita digiring untuk mengerti tentang problematika hidup orang percaya. Hal ini dimulai di Bab 5, “Anda Meminta Allah Memberi”, di mana Pdt. Yohan memaparkan bahwa ketika kita meminta sesuatu, Allah memberikan sesuai dengan kehendak-Nya yang terbaik, sehingga jangan pernah memaksa Allah di dalam permintaan kita. Selain tentang permintaan, kita digiring ke dalam tema membayar harga. Di dalam Bab 6, Jika Allah Meminta, kita diingatkan bahwa bukan hanya kita yang terus meminta seperti pengemis, Tuhan pun bisa meminta kita. Apa tujuannya? Agar fokus hidup kita bukan pada pemberian Allah saja, tetapi kepada pribadi Allah, sehingga meskipun Allah meminta sesuatu dari kita, kita tidak akan kecewa. Beliau mengajarkan prinsip penting, “Penting sekali untuk hidup dua arah bersama Tuhan: melepas untuk menangkap, menggenggam untuk melepas; kosong untuk diisi, isi untuk dikosongkan; dari tiada kita mendapatkan, dan mendapatkan untuk memberi.” (hlm. 135) Setelah diajar mengenai Allah meminta sesuatu dari kita, kita dibawa masuk lebih dalam lagi oleh Pdt. Yohan Candawasa untuk bersyukur senantiasa. Dasar dari bersyukur adalah segala sesuatu yang kita miliki dan kerjakan berasal dari Allah. Setelah bersyukur, Pdt. Yohan memaparkan empat dampak dari bersyukur, yaitu: mengingatkan kita akan Pemberi (Allah) dan bukan hanya pemberiaan saja, melibatkan si Pemberi itu di dalam pemberian yang diberikan-Nya itu sehingga kita mampu mempertanggungjawabkan pemberiaan itu sesuai aturan main dari si Pemberi, menghindarkan kita dari banyak dosa: perzinahan, pencarian rezeki haram, iri hati, dan ketamakan, dan terakhir, membawa sukacita dalam hidup. Setelah bersyukur, kita diingatkan kembali di Bab 8, Akulah Kebangkitan dan Hidup, tentang kuasa Kristus yang memberikan hidup kekal dan kebangkitan kepada kita secara rohani, sehingga hidup yang kita jalani bukan hidup rutinitas, tetapi hidup yang berkelimpahan (Yoh. 10:10b). Mengapa? Karena kita telah, sedang, dan akan mencicipi taste of heaven (suasana sorga) di dalam hidup yang berjalan bersama Allah.

Melalui buku ini, kita disadarkan kembali tentang menapaki setiap hari kita bersama dan dari sudut pandang Allah, sehingga hidup kita memiliki makna sejati. Maukah kita berkomitmen menjalani hidup kita bersama dan dari sudut pandang Allah saja? Biarlah buku ini memberkati dan menguatkan kita untuk menjadi saksi Kristus di tengah dunia berdosa ini.




Kata Pengantar dari Para Pembaca lain:
Kumpulan khotbah Pdt. Yohan Candawasa, S.Th. ini lahir dari kepekaan terhadap kebutuhan umat Kristen untuk menemukan jawab di tengah kompleksnya realitas pergumulan iman orang percaya dengan Allahnya. Bagi Pdt. Yohan Candawasa, sisi-sisi gelap dan tak terduga dari kehidupan manusia tidak menutup kehadiran Allah dan karya keselamatan-Nya. Bahkan sering kali aspek kehidupan tersebut menjadi konteks kehadiran kasih karunia-Nya yang tak terhingga. Saya percaya kumpulan khotbah ini akan memperkaya iman setiap orang Kristen yang secara sungguh-sungguh merindukan kehidupan rohani yang lebih diperkenan Allah.
Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D.
Rektor Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII), Jakarta

Pdt. Yohan Candawasa mampu mengintegrasikan dua unsur penting dalam berkhotbah, yakni unsur Alkitabiah dan unsur praktis. Khotbah-khotbahnya didasarkan pada prinsip-prinsip Alkitabiah yang ketat, tetapi tidaklah menjadikan khotbah-khotbahnya hanya berbau akademis. Khotbah-khotbahnya adalah khotbah-khotbah yang praktis, tetapi khotbah-khotbahnya tidak sampai terjebak hanya untuk menyenangkan telinga para pendengarnya semata. Dalam membicarakan hal-hal yang praktis, Pdt. Yohan tetap mengajak kita untuk berefleksi dan berpikir sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. Saya mendapat banyak berkat melalui mendengar dan membaca khotbah-khotbahnya.
Pdt. Yohanes Adrie Hartopo, Ph.D.
Rektor Sekolah Tinggi Theologi Amanat Agung (STTAA), Jakarta

Membaca buku ini, selain membuka wawasan iman kita, sekaligus juga membuktikan bahwa penulis merupakan salah satu dari sedikit hamba Tuhan yang berkarunia dalam memimpin pikiran orang percaya di tengah pergumulan imannya melalui pengupasan dan penguraian firman Tuhan yang begitu mendalam, namun dengan cara penyampaian yang sederhana dan mudah dicerna.
Pdt. Jusak Wijaja
Pimpinan Radio Pelita Kasih (RPK)

Pdt. Yohan Candawasa adalah seorang hamba Tuhan yang setia, intelektual, bersemangat besar, dan mampu mengintegrasikan prinsip-prinsip kebenaran firman Allah dalam relevansi hidup manusia setiap hari.
Dr. James T. Riady
Pengusaha, salah satu pendiri Universitas Pelita Harapan (UPH), dan sedang mengambil studi theologi program gelar Master of Arts in Christian Ministry (M.A.C.M.) di STTRII Jakarta





Profil Pdt. Yohan Candawasa:
Pdt. Yohan Candawasa, S.Th. dilahirkan pada tanggal 11 Maret 1960. Selulus SMA, beliau melanjutkan studi di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang, sebagai jawaban atas panggilan Tuhan baginya.
Beliau mendalami studi Biblika dan Eklesiologi yang kemudian dituangkan dalam skripsinya.
Kerinduannya untuk membina jemaat Tuhan dinyatakan selama pelayanan di Gereja Kristen Abdiel Elyon, Surabaya (1985-1987) dan juga Gereja Kristen Immanuel Bandung (1988-1996). Selama pelayanan tersebut, beliau berkesempatan mengunjungi RRC dalam rangka perjalanan misi. Dalam kunjungan tersebut, beliau memperoleh beban pelayanan dari Tuhan untuk menggumuli penginjilan di RRC.
Beliau menikah dengan Stephanie, dan telah dikaruniai seorang putra bernama Yeiel Candawasa.
Tahun 1996-1997 beliau melayani sebagai Gembala Sidang di Mimbar Reformed Injili di Taipei. Kemudia tahun 1998-1999 beliau melayani di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Granada, Jakarta.
Mulai tahun 2000 beliau melayani di CCM (Care for China Ministry). Selain itu, beliau juga mengajar di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta.

Roma 12:16: KASIH SEJATI-4: Kasih Persekutuan Menjadi Teladan-1

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-7


Kasih Sejati-4:
Kasih Persekutuan Menjadi Teladan-1


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 12:16.


Pada bagian ketiga ini, kita akan menelusuri konsep kasih Kristen yang sejati di dalam persekutuan yang menjadi teladan bagi orang-orang di luar Kristen.

Sebelum mempraktikkan kehidupan Kristen, Paulus menjelaskan prinsip utama di dalam kasih di antara tubuh Kristus yaitu di ayat 16, “Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!” Ada dua bagian penting yang Paulus ingin singkapkan bagi kita sebagai pokok-pokok penting kasih persekutuan di dalam tubuh Kristus yang menjadi teladan bagi kasih kepada orang-orang di luar Kristen, yaitu:
Pertama, kerukunan di dalam satu pikiran/pendapat. Paulus mengajar kita, “Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama;” King James Version (KJV) menerjemahkannya, “Be of the same mind one toward another.” (=milikilah pikiran yang sama satu dengan yang lain) English Standard Version (ESV) dan New International Version (NIV) menerjemahkannya, “Live in harmony with one another.” (=rukunlah satu sama lain) Kata “pikiran” di sini dalam bahasa Yunani phroneō bisa berarti pikiran atau pendapat. Dengan kata lain, di dalam tubuh Kristus, kita harus memiliki kesamaan pendapat. LAI memperluasnya menjadi sehari sepikir. Inilah konsep penting pertama tentang kasih persaudaraan yang ingin Paulus tekankan. Di dalam kasih, ada kesamaan arah pikiran dan hati kita. Kesamaan ini bukan berarti kesamaan yang dipaksakan, tetapi kesamaan ini dibangun di atas dasar sesuatu yang kokoh. Apakah dasar itu? Yaitu kebenaran Firman. Jemaat Tuhan memiliki kesamaan hati dan pikiran ketika mereka bersama-sama tunduk di bawah otoritas Firman. Saat itu pula sesama jemaat Tuhan dapat hidup rukun. Mengapa jemaat Korintus bisa terpecah-pecah (1Kor. 1:11-12)? Karena mereka tidak hidup di bawah otoritas Firman, melainkan mengagungkan para pelayan Tuhan. Mereka mengagungkan Apolos lebih hebat dari Paulus, dll. Dalam hal ini, Paulus mengingatkan jemaat Korintus agar mereka sehati sepikir (1Kor. 1:10). Meskipun “sehati sepikir” di sini menggunakan kata Yunani yang berbeda dari Rm. 12:16 ini, tetapi kita mendapatkan konsep serupa dari Paulus, yaitu jemaat Tuhan harus memiliki kesamaan arah, tujuan, hati, dan pikiran yang tertuju kepada Kristus. Ketika jemaat Tuhan mengarahkan hati, tujuan, dan pikiran hanya kepada Kristus, maka mereka tidak lagi mempersoalkan hal-hal remeh di dalam gereja Tuhan. Paulus menegaskan hal ini bahwa dirinya, Apolos, Kefas adalah sama-sama pelayan Tuhan yang sama-sama melayani Tuhan dan hanya Tuhan yang patut ditinggikan (1Kor. 3:5-9). Bagaimana dengan kita? Apakah sebagai sesama jemaat Tuhan kita lebih senang mempersoalkan hal-hal remeh lalu mengakibatkan sesama jemaat Tuhan bermusuhan? Teguran Paulus ini mengingatkan kita agar kita boleh rukun dengan jemaat lain di dalam kebenaran Firman.

Pertanyaan berikutnya, apakah kalau rukun, berarti kita tidak boleh menegur jemaat lain yang berdosa? Tidak. Ingat, prinsipnya, kerukunan antar sesama jemaat dibangun di atas kesamaan arah, tujuan, hati, dan pikiran di bawah otoritas Firman. Ketika ada jemaat yang berdosa, kita yang mengasihinya wajib menegur dan mengingatkan serta mendorongnya untuk keluar dari dosa itu dan bertobat. Di saat kita menegur dia, di saat itu pula kita membangun terciptanya kerukunan antar jemaat Tuhan.


Kedua, ketidaksombongan. Kasih yang sehati sepikir/rukun di atas dapat diwujudnyatakan dengan tidak adanya kesombongan di dalam kasih persekutuan. Paulus memaparkannya, “janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana.” Ayat ini bisa disalahmengerti dan dipakai oleh banyak hamba Tuhan dari arus kontemporer lalu mengajar bahwa doktrin itu tidak penting, yang penting beriman saja. Kesalahtafsiran ini disebabkan oleh ketidakmengertian mereka di dalam menggali ayat ini dan ayat ini dalam terjemahan LAI memang kurang tepat (perhatikan kata-kata yang digarisbawahi antara terjemahan LAI dengan terjemahan Alkitab Inggris dan Yunani). KJV menerjemahkan, “Mind not high things, but condescend to men of low estate.” (=Janganlah pikirkan hal-hal yang tinggi, tetapi rendahkanlah dirimu kepada orang yang statusnya rendah) NIV menerjemahkan, “Do not be proud, but be willing to associate with people of low position.” (=Jangan sombong, tetapi berusahalah bergaullah dengan orang-orang yang statusnya rendah) International Standard Version (ISV) menerjemahkan, “Do not be arrogant, but associate with humble people.” (=Jangan arogan, tetapi bergaullah dengan orang sederhana). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) mengartikan ayat ini, “janganlah (hal-hal) yang tinggi memikirkan tetapi (kepada orang-orang/kepada hal-hal) yang (statusnya) rendah/sederhana bergaullah/disesuaikanlah” (=janganlah memikirkan hal-hal yang tinggi, tetapi bergaullah dengan orang-orang yang statusnya rendah) (hlm. 864-65). Dari beragam terjemahan Alkitab Inggris dan Yunani ini kita mendapatkan kesimpulan bahwa Paulus TIDAK sedang mengajar bahwa doktrin itu tidak penting, tetapi ia mengajarkan bahwa di dalam kasih tidak ada kesombongan. Dia mengajar bahwa kasih itu tidak sombong. Kasih yang tidak sombong ini diwujudkan dengan orang itu tidak merasa diri hebat, pintar, tetapi bersedia merendahkan diri dan bergaul dengan orang yang statusnya rendah atau sederhana. Orang yang statusnya rendah/sederhana ini menurut NIV Spirit of the Reformation Study Bible menunjuk kepada to do menial work (=berhubungan dengan pembantu rumah tangga). Orang yang merendahkan dirinya bagi orang yang statusnya rendah ini adalah orang yang benar-benar mengasihi orang yang statusnya rendah tersebut. Dr. John Gill di dalam John Gill’s Exposition of the Entire Bible menafsirkan bahwa orang yang statusnya rendah ini bisa berarti rendah statusnya secara jasmani (sosial) dan rohani. Artinya, orang ini bisa berarti orang miskin atau kurang terpelajar atau/dan orang-orang yang imannya kurang kuat. Di sini, Paulus mengingatkan kita untuk bersedia memahami kesulitan orang-orang “bawah.” Bagaimana dengan kita? Terus terang saya pribadi kuatir, banyak hamba Tuhan yang sudah sekolah theologi ketika berkhotbah di atas mimbar selalu menggunakan bahasa-bahasa “tingkat atas” yang penuh dengan muatan filosofis, theologis, dll, sehingga banyak jemaat yang kurang terpelajar kurang mengerti apa yang disampaikan. Di sini, memang jemaat perlu belajar tentang firman Tuhan dan istilah-istilah tersebut. Tetapi di sisi lain, si pengkhotbah merasa diri hebat apalagi berkhotbah dengan mengutip bahasa Yunaninya apalagi ditambah bahasa Inggris (yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia), padahal ada jemaat yang kurang terpelajar tidak mengerti bahasa Inggris. Di sini, kembali Paulus menegur kita, seberapa kita peka akan kondisi sesama jemaat lain yang secara status rendah baik kurang terpelajar atau mungkin kurang iman. Bagaimana sebuah khotbah itu mendalam, tegas, jelas, namun sederhana, itu yang harus dipergumulkan oleh seorang pengkhotbah (dan tentunya kita sebagai jemaat awam). Jemaat awam pun juga harus memerhatikan jemaat lain yang statusnya rendah tersebut mungkin dengan menguatkan imannya atau yang lain.

Ketidaksombongan ini juga diwujudkan dengan tindakan kedua, yaitu tidak merasa diri bijak. LAI menerjemahkan, “Janganlah menganggap dirimu pandai!” KJV menerjemahkan, “Be not wise in your own conceits.” (terjemahan bebas: Janganlah merasa diri bijak di dalam pemikiranmu). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. kembali menerjemahkan dari bahasa Yunani ayat ini, “Janganlah menjadi bijaksana dengan mengandalkan dirimu sendiri.” (idem, hlm. 865) Orang yang tidak sombong bukan hanya merendahkan diri dan mengerti kondisi orang “bawah” saja, tetapi juga tidak menganggap diri bijak. Ini adalah aspek negasi dari ketidaksombongan. Mengapa Paulus mengajar agar kita tidak merasa diri bijak dengan mengandalkan diri kita? Karena dengan mengandalkan diri kita, sebenarnya kita sedang memberhalakan diri kita (atau menjadikan kita “Tuhan”), padahal kita adalah manusia yang diciptakan, terbatas, dan berdosa (istilah Pdt. Dr. Stephen Tong: created, limited, and polluted). Perjanjian Lama mengajar kita tentang hal ini. Di dalam Amsal 3:5-7, Salomo mengajar kita, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;” Di sini, Salomo mengajar apa artinya percaya kepada Tuhan, yaitu: tidak bersandar kepada pengertian sendiri, mengakui Dia di dalam segala laku kita, tidak menganggap diri bijak, dan takut akan Tuhan. Dengan kata lain, Salomo (raja yang terkenal hikmatnya) hendak mengajarkan bahwa larangan Tuhan agar kita tidak menganggap diri sendiri bijak ini dikaitkan dengan kewajiban kita menundukkan diri kita mutlak di bawah Tuhan dengan percaya kepada (lebih tepatnya: di dalam) Tuhan yang Mahabijak. Ketika kita memandang kepada Tuhan yang Mahabijak, tentu di saat itu pula kita tidak menganggap diri hebat, karena Allah jauh lebih bijak dan pandai ketimbang diri manusia yang berdosa. Kalau Salomo yang hikmatnya terkenal saja rela menaklukkan dirinya di bawah hikmat Allah, bagaimana dengan kita? Apakah kita masih menganggap diri bijak bahkan lebih bijak daripada Tuhan? Bukankah sering kali ketika Alkitab mengajar bahwa Allah memilih manusia, lalu kita memberontak dengan berkata bahwa Allah itu tidak adil? Itulah bukti kekurangajaran dan kesombongan kita di hadapan/kepada Tuhan yang Mahabijak! Paulus keras mengajar ini dengan mengatakan bahwa manusia sehebat apa pun tidak mungkin bisa membantah/mengajar Allah tentang pemilihan Allah (predestinasi) ini (baca: Rm. 9:20). Ini berarti, jangan pernah menganggap diri bijak lalu mengajari Allah tentang konsep keadilan Allah.

Bukan hanya itu saja, di dalam persekutuan, kita juga merasa diri “bijak” atau/dan “pandai.” Bagaimana kita bisa mengetahui hal ini? Saya sudah menemukan contoh konkritnya di gereja saya. Setiap selesai kebaktian, ada seorang jemaat (suami istri) selalu memberikan “khotbah” tambahan kepada jemaat gereja tersebut. Bukan hanya itu saja, ketika mampir ke toko ayah saya pun, sang jemaat ini juga memberikan “khotbah.” Masalahnya adalah “khotbah” yang disampaikannya cenderung memaksa dan menganggap semua jawaban dari lawan bicaranya itu salah dan hanya jawaban dia saja yang paling benar. Di sini, dia seolah-olah hendak “menghakimi” semua jawaban orang lain dengan jawaban dia yang menurutnya “paling benar.” Bukankah cara ini adalah cara yang tidak tepat apalagi diucapkan persis setelah kebaktian gereja. Orang ini merasa diri lebih berbijak dan pandai ketimbang orang lain (apalagi orang ini mengklaim langsung bertanya kepada “Tuhan” ketika dia tidak mengerti ayat Alkitab yang dibacanya).



Saat ini, setelah kita merenungkan satu ayat ini, marilah kita berkomitmen menyatakan kasih persekutuan yang sehati sepikir dan tidak sombong sehingga itu mengakibatkan timbulnya kerukunan antar sesama tubuh Kristus dan kita menjadi berkat bagi orang-orang di luar Kristus. Maukah Anda melakukannya? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 12:22-28: KRISTUS: TUHAN ATAS PARA PENGUASA ANGKASA (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 3 Desember 2006

Kristus - Tuhan atas Para Penguasa Angkasa
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 12:22-28


Pendahuluan
Secara keseluruhan tema dari Injil Matius adalah Kerajaan Sorga dimana Kristus sebagai Raja. Konsep Kerajaan Sorga yang ditegakkan oleh Kristus memiliki konsep yang berbeda dengan pemikiran para pemimpin agama bahkan para murid dan para rasul yang berpikir bahwa Kerajaan Sorga bersifat duniawi atau materi. Kristus menegaskan Kerajaan Sorga tidak dibatasi pada materi, ruang dan waktu sebaliknya Kerajaan Allah bersifat kekal; Kerajaan Allah bersifat spiritual dimana orang yang hidup di dalam-Nya akan mendapatkan sukacita kekal. Sebagai warga Kerajaan Sorga, kita harus tunduk mutlak pada Kristus Yesus Raja; Dia adalah pemilik alam semesta ini; Dia adalah Tuhan atas hukum. Di dunia tidak ada hukum yang mempunyai kekuatan kecuali kita kembali pada Kritus Tuhan sebagai satu-satunya sumber hukum. Tentang Ketuhanan Kristus ini telah dinubuatkan jauh hari sebelumnya, hal ini membuktikan satu hal, yakni Allah berkuasa atas sejarah manusia. Kita telah memahami bahwa sejarah bukanlah fakta tetapi sejarah adalah interpretasi fakta secara subyektif; sejarah menjadi sejarah yang relatif. Sejarah sejati haruslah dilihat dari sudut pandang Kristus sebagai pemegang otoritas mutlak.
Matius membukakan pada kita bahwa orang yang secara fenomena bisu dan buta sesungguhnya di balik fenomena tersebut ada kuasa iblis yang membelenggu hidupnya. Dosa adalah akar segala kejahatan, kerusakan dan sakit penyakit. Penyebab dosa adalah manusia karena ia memberontak pada Allah. Sebelumnya Tuhan telah menekankan konsep dosa dengan menaruh pohon pengetahuan baik dan jahat dan memberikan hak pilih pada manusia – melawan perintah Tuhan maka ia mati sampai manusia melawan Tuhan barulah dosa itu riil. Sesungguhnya, hak pilih inilah yang menjadikan manusia hidup sebagai manusia yang sejati sebab tanpa hak pilih tersebut, manusia tidak ubahnya seperti binatang yang tidak mengerti makna dan tujuan hidup. Perhatikan, bukan pohonnya yang membuat manusia menjadi manusia sejati tetapi perintah Allah itulah yang menjadikan manusia sejati. Tuhan mencipta manusia berbeda dengan binatang; dengan akal budi, manusia dapat mempertimbangkan segala sesuatu secara rasional tentang yang baik dan jahat. Manusia adalah satu-satunya makhluk berakal budi yang mempunyai pertimbangan emosi dan rasional untuk mencapai suatu hidup yang bermoralitas dan berintegritas.
Seorang bijak akan mempertimbangkan segala hal termasuk akibatnya tentang hal yang baik dan buruk dan dari sudut pandang Tuhan, ia mengambil keputusan dengan tepat. Untuk mencapai suatu bijaksana sedikitnya harus ada dua pilihan supaya orang dapat mempertimbangkan apa yang baik dan buruk. Itulah tujuan Tuhan menempatkan pohon di tengah-tengah taman supaya manusia dengan akal budinya dapat mengambil keputusan yang tepat itulah yang dinamakan moralitas. Ingat, setiap keputusan ada resiko yang harus ditanggung karena itu kita harus bertindak bijaksana.
Seharusnya bukan hal yang berat bagi Adam untuk tidak makan buah pengetahuan baik dan jahat itu, sebab di antara sekian banyak pohon dalam taman Eden Tuhan hanya perintahkan satu pohon saja yang tidak boleh dimakan. Namun manusia berdosa menginterpretasi Firman salah; orang mempertanyakan kebaikan Allah dengan mengajukan pertanyaan: apakah Tuhan tahu kalau manusia jatuh dalam dosa? Lalu kenapa Tuhan tidak mencegahnya? Pertanyaan ini membuktikan bahwa manusia adalah manusia berdosa yang selalu berpikiran buruk. Manusia yang berdosa tapi melempar kesalahan itu pada orang lain, dalam hal ini Tuhan yang disalahkan. Adalah salah kalau orang berpendapat bahwa Tuhan adalah pengambil keputusan sebab pada saat yang sama, orang tidak suka ada pihak lain yang mengambil keputusan untuk kita. Tuhan tidak menjadikan kita robot yang harus dikendalikan sedemikian rupa. Tidak! Pilihan itu justru menjadikan kita seorang manusia sejati yang tahu harus bertanggung jawab.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mulia yang dapat berproses menuju pada kesempurnaan dan manusia harus membuktikan bahwa benar dia adalah makhluk mulia, yakni di saat kritis, manusia diuji apakah keputusan yang ia ambil tersebut bijaksana? Ingat, keputusan moral sangat mempengaruhi dan menentukan integritas kita. Adalah suatu sukacita kalau keputusan kita tepat berarti sudah naik tingkat semakin dekat menuju pada sempurna seperti yang Tuhan inginkan. Jadi, setiap langkah keputusan yang kita ambil sangat menentukan posisi kita – semakin menuju pada kemuliaan atau semakin menuju pada kehancuran. Ketika kita menyadari kalau kita telah salah langkah maka kita harus kembali pada posisi yang tepat. Hati-hati, iblis akan menggunakan segala cara untuk menghancurkan manusia, salah satunya dengan memutarbalikkan konsep berpikir manusia. Ketika dibawa seorang yang kerasukan setan, orang itu buta dan bisu, Tuhan Yesus langsung menyembuhkannya. Tuhan ingin menunjukkan ada kuasa lain yang lebih besar dari kuasa iblis. Tuhan Yesus menyembuhkan orang buta, tuli, bisu ini menjadi tanda bahwa Dia adalah Mesias. Sebagian orang langsung sadar dan langsung menyebut Kristus sebagai Anak Daud. Orang tidak berani menyebut Yesus langsung dengan sebutan Mesias karena hukumannya mati. Itulah sebabnya, kita banyak menjumpai banyak kiasan atau simbol-simbol untuk menyebut Mesias. Faktanya, Kristus menyembuhkan orang kerasukan setan. Lalu bagaimana orang melihat dan menafsir fakta tersebut? Sebagian orang langsung menafsirkan bahwa Kristus adalah Anak Daud tetapi di pihak lain, orang Farisi melihat fakta yang sama tetapi menafsir lain dengan mengatakan bahwa Kristus adalah penghulu setan. Inilah sejarah, sebuah fakta yang sama tetapi menghasilkan dua kesimpulan yang berbeda, tergantung dari interpretasi manusia. Jelaslah paradigma atau konsep berpikir manusia itu sangat menentukan sebuah fakta sejarah yang sedang terjadi. Sebuah fakta kecelakaan mobil namun kesimpulan yang didapat akan berbeda tergantung dari konsep berpikir orang; seorang ekonom langsung menganalisa dan memperhitungkan kerugian, seorang dokter menganalisa secara medis, seorang ahli hukum menganalisa dari sisi hukum dan langsung terpikir tentang pasal-pasal tertentu yang sesuai untuk dikenakan pada si pengendara maupun si korban. Setiap orang melihat suatu fakta yang sama, pertanyaannya kesimpulan siapa yang paling benar?
Hal ini seharusnya menyadarkan manusia bahwa:
1. Manusia adalah makhluk terbatas.
Manusia hanyalah makhluk relatif yang berpandangan subyektif; manusia tidak berhak memutlakkan satu hal dari dirinya sendiri. Pertanyaannya adalah siapakah manusia sehingga ia berani memutlakkan diri sebagai kebenaran? Adalah sifat manusia berdosa yang ingin menjadi “tuhan“ dan berotoritas. Tuhan memberikan pada kita suatu kapasitas otorisasi namun ketika otorisasi itu diberikan manusia telah melanggar dua aspek penting, yakni: 1) manusia tidak kembali pada kebenaran sejati, betapa mengerikan hari ini kita hidup berada di antara tingkatan otoritas tinggi dan medium, sebab ketika suatu keputusan diambil berdasar otoritas tertinggi maka orang yang berada di tingkat bawah menjadi korban dari hasil keputusan tersebut. Dalam suatu perusahaan, pengambil keputusan berada di tangan komisaris dan tentu saja, orang yang berada di bawahnya, yaitu direksi yang menjalankannya tetapi ketika keputusan itu bermasalah dengan hukum maka yang celaka adalah orang-orang yang berada di bawah, 2) otoritas dipakai untuk keuntungan diri, memperkaya diri, dan kenikmatan diri akibatnya, orang yang berada di bawah otoritas itu, hidupnya menjadi sangat sengsara.
Manusia bukan pemegang otoritas mutlak. Tuhan menegaskan manusia harus tunduk mutlak pada Kristus Sang kebenaran sejati; Kristuslah pemegang otoritas mutlak. Di dunia modern, semangat humanis-egois terus diajarkan, orang terus dipacu untuk mendapatkan otoritas mutlak dan semua keinginannya. Hati-hati jangan termakan dengan ajaran yang menyatakan bahwa manusia adalah manusia yang tidak terbatas, , manusia bisa berbuat apa saja dengan kapasitas yang ada sekarang. Caranya manusia dipaksa sedemikian rupa dibawa pada suatu titik atau posisi kritis maka orang dapat menjadi superman. Orang sengaja dimasukkan dalam situasi kritus sampai muncul suatu kekuatan dari dalam dirinya yang ia sendiri tidak tahu darimana muncul kekuatan tersebut. Mungkin kita pernah mendengar banyak kisah serupa, entah kekuatan darimana, seorang ibu tiba-tiba dapat membengkokkan terali besi demi menolong anaknya dari kebakaran. Konsep “superman“ ini sangat berbahaya sekali.
Di dunia, kita mengenal ada konsep kelelahan, fatique, orang tidak akan pernah mengalami pengalaman yang sama seperti yang dialami pertama kali yakni mempunyai kapasitas besar untuk berbuat hal yang di luar batas dan kalaupun bisa maka pengalaman kedua mempunyai kualitas lebih rendah dari yang pertama begitu seterusnya semakin lama semakin menurun sampai akhirnya manusia menjadi fatique. Manusia tidak bisa ditaruh pada situasi kritis terus menerus, manusia akan menjadi gila. Sangatlah disayangkan, banyak orang yang tidak menyadari bahayanya konsep ini, manusia berlomba-lomba ingin menjadi manusia super dan celakanya, anak yang dijadikan korban. Tentu saja banyak pihak diuntungkan, nama sekolah menjadi terkenal karena ada anak-anak yang “sengaja“ dijadikan super. Namun perhatikan, gejala ini tidaklah lama, kualitas anak makin lama akan makin turun. Gejala yang sama juga dapat kita lihat hari ini, orang buta disembuhkan, orang lumpuh berjalan tapi perhatikan, beberapa hari ia akan kembali ke keadaan semula. Manusia adalah makhluk relatif, makhluk yang dependent and limited karena itu, orang harus kembali pada Kristus kebenaran mutlak. Ketika kita melihat suatu realita, kita harus mengintepretasi dengan tepat, yakni dengan melihat dari kacamata Tuhan. Setiap momen yang terjadi dalam setiap aspek hidup kita, banyak interpretasi yang dapat kita buat tapi Tuhan ingin bukan kehendak kita yang jadi melainkan kehendak-Nya.
2. Memutarbalikkan Kebenaran.
Orang Farisi adalah orang yang paling mengerti theologi bahkan sebelum ia berada dalam kelompok Farisi, ia dituntut untuk menghafal dan mengerti hukum Taurat dengan baik. Itulah sebabnya, orang Farisi dianggap sebagai orang paling saleh dan pandai diantara golongan lain seperti Saduki maupun Herodian. Namun ironis, orang yang paling saleh dan pandai justru memberikan interpretasi salah terhadap fakta kesembuhan yang dilakukan Tuhan Yesus. Sangatlah mengenaskan kalau para ilmuwan, para profesor, para doktor justru membuat kerusakan dalam ilmu pengetahuan. Orang menafsirkan Alkitab dengan sembarangan dan sembrono justru dilakukan oleh para doktor theologi. Memang, ironis, orang yang belajar Alkitab malah menjadi penghujat Tuhan.
Puji Tuhan, Tuhan munculkan Marthin Luther dan John Calvin dalam waktu yang hampir bersamaan. Marthin Luther, seorang doktor theologi, ia merombak paradigma yang salah tentang keselamatan. Luther menegaskan dengan keras bahwa keselamatan bukan tergantung dari uang seperti yang diajarkan oleh Johan Tetzel pada hari itu. Namun Marthin Luther tidak membangun sistematik Kekristenan yang kokoh dan Tuhan munculkan seorang bernama John Calvin, seorang yang mempunyai latar belakang hukum tapi ia belajar Alkitab dengan baik, ia membangun pondasi iman Kekristenan. Seorang doktor theologi sangat diperlukan selama ia berpaut dan bersandar pada Tuhan tetapi apalah gunanya seorang doktor theologi kalau ia menyeleweng dari jalan Tuhan dan tidak memuliakan Tuhan.
Celakalah, hidup kita kalau kita tidak men-Tuhankan Kristus sebab kemungkinan besar kita akan salah dalam memahami kebenaran, twisting the truth. Hal inilah yang terjadi pada orang Farisi, orang yang paling banyak belajar Taurat tetapi malah mengeluarkan pernyataan salah dengan mengatakan Yesus adalah penghulu setan. Seorang teolog, Leon Morris berpendapat bahwa bukanlah menjadi kebiasaan Matius memaparkan suatu kejadian dengan panjang lebar. Biasanya, Matius mengambil inti dari suatu peristiwa yang terjadi, ia tidak terlalu mempedulikan data tetapi khusus, bagian ini Matius memaparkan dengan jelas. Matius ingin menegaskan bahwa otoritas Kristus merupakan otoritas mutlak yang berada diatas kuasa setan. Hati-hati, di tengah-tengah percaturan filsafat, agama, gereja, dunia sangat senang bermain dengan hal-hal yang sifatnya relatif, dunia suka memelintir kebenaran sejati dengan multi interpretation. Bukanlah hal yang mudah untuk men-Tuhankan Kristus tapi hanya dengan men-Tuhankan Kristuslah yang menjadi satu-satunya kemungkinan bagi kita untuk dapat menginterpretasi realita yang terjadi di dunia dengan tepat. Biarlah kita setia pada Firman dan kembali pada Kristus karena Dia berhak atas hidup kita.
3. Kuasa Kristus lebih besar dari kuasa iblis.
Kristus menyatakan kalau kuasa-Ku nyata melawan kuasa setan maka itu berarti Kerajaan-Ku hadir. Pernyataan Kristus ini menjadi pernyataan final dan penentu dari semua berita yang hari ini berkembang – menghujat Roh Kudus. Hat-hati dengan iblis yang seolah-olah mempunyai kuasa besar tetapi sesungguhnya, dia hanyalah seorang penipu besar, ia mempunyai kekuatan yang dipakai untuk menghancurkan. Perhatikan, itu bukan Allah sejati tetapi “allah palsu.“ Di tengah dunia ini ada dua kekuatan besar yang diletakkan secara paralel atau sejajar. Di dunia barat, ada konsep dualisme yang menekankan bahwa di alam semesta ini ada dua kekuatan yang sama kuat, yakni baik – jahat, hitam – putih dimana dua kekuatan ini selalu ada di sepanjang sejarah jaman. Di dunia timur juga dikenal konsep yang hampir sama, yakni konsep Yin Yang dimana di dalam baik ada jahat dan di dalam jahat ada baik; konsep semi dualisme monoistik ini lebih jahat dibanding konsep dualisme murni sebab tidak ada kebaikan yang benar-benar baik atau kejahatan yang benar-benar jahat. Dunia timur lebih kompromistik dibanding dunia barat. Konsep yang salah! Alkitab menegaskan kuasa jahat di bawah kuasa Tuhan; ketika kuasa Tuhan itu dinyatakan, kuasa iblis harus menyingkir. Kalau hari ini kita melihat fenomena sepertinya kuasa Tuhan dikalahkan maka perhatikan, kekalahan itu sifatnya sementara, yakni karena Tuhan memang mengijinkan namun sampai suatu titik tertentu Tuhan akan bertindak. Tuhan adalah Tuhan yang berdaulat atas alam semesta maka jangan bermain dengan kuasa apapun di dunia, jangan bermain dengan konsep Yin Yang sebab konsep itu tidak pernah terjadi dalam realita, kuasa yang kelihatan hebat itu hanyalah semu belaka.
Jangan takut, kalau kita adalah anak Tuhan yang sejati maka tidak ada kuasa apapun di dunia yang dapat menyentuh atau mempermainkan anak Tuhan sejati. Kuasa Tuhan lebih besar dari kuasa iblis. Kita mungkin pernah mendengar banyak kesaksian dari anak-anak Tuhan sejati dimana kuasa iblis tidak mampu menyentuh mereka. Hal yang sama juga terjadi pada suatu kebaktian kebangunan rohani yang dipimpin Pdt. Stephen Tong, orang mencoba bermain-main dengan kuasa iblis untuk dikenakan padanya tetapi kuasa Tuhan yang besar itu sungguh nyata, kuasa iblis dikalahkan. Sejarah membuktikan bahwa kekuatan Tuhan dan kekuatan iblis tidak berada pada posisi sejajar; kuasa Tuhan lebih besar dari kuasa iblis; kuasa iblis harus tunduk di bawah kuasa Tuhan. Biarlah kita mengevaluasi diri, sudahkah kita men-Tuhankan Kristus dalam seluruh aspek hidup kita? Sadarlah bahwa ketika kuasa Roh Allah dinyatakan di tengah-tengah dunia itu berarti Kerajaan Allah sudah datang kepadamu. Biarlah kita mau menyerahkan diri kepada Tuhan untuk disucikan maka Kerajaan Tuhan hadir di dalam hidup kita, bukan secara fisik tetapi secara rohani dan membiarkan Dia memerintah total atas hidup kita. Amin
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

11 January 2009

Roma 12:13-15: KASIH SEJATI-3: Kasih dalam Persekutuan-2

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-6


Kasih Sejati-3: Kasih dalam Persekutuan-2

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 12:13-15.


Pada bagian kedua ini, kita akan menelusuri konsep kasih Kristen yang sejati di dalam persekutuan yang berkaitan dengan belas kasihan.

Di ayat 13-15, Paulus mengemukakan 3 konsep tentang kasih di dalam persekutuan yang bertalian dengan belas kasihan, yaitu:
Pertama, kasih yang membantu. Di ayat 13, Paulus mengungkapkan, “Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan!” Konsep kasih pertama yang bertalian dengan belas kasihan yaitu kasih yang membantu. Apakah kasih yang membantu? Kasih yang membantu adalah kasih yang diwujudnyatakan dengan memberikan apa yang kita miliki kepada orang lain. Orang lain di sini tidak berarti semua orang, tetapi orang-orang percaya. Paulus mengunci kepada siapa kita memberi ini dengan pernyataan “orang-orang kudus.” New International Version (NIV) dan God’s Word menerjemahkannya, “God’s people” (orang-orang/umat-umat Allah) King James Version (KJV), New King James Version (NKJV), Modern King James Version (MKJV), dan Revised Version (RV) menerjemahkannya, “saints” (=orang-orang kudus) Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “orang-orang Kristen lain” Ketiga arti yang berlainan ini memiliki inti yang sama yaitu orang-orang Kristen/seiman sebagai objek kita membantu mereka. Bukan hanya Paulus, Yakobus juga mengajar tentang pentingnya membantu sesama umat Tuhan (baca: Yak. 2:1-26; perhatikan ayat 1 dan bandingkan dengan konteks penulisan Yakobus à Yak. 1:1). Mengapa para rasul memerintahkan kita untuk membantu sesama umat Tuhan (orang beriman/Kristen)? Karena itu sebagai bukti kita adalah anak-anak Tuhan yang mengasihi sesama anak Tuhan lain bukan dengan perkataan atau rasio/logika/doktrin, tetapi dengan perbuatan. Tetapi, apakah berarti kita tidak boleh membantu orang lain? Tidak. Kita boleh membantu orang lain, tetapi dahulukan membantu sesama umat Tuhan/orang Kristen, karena itu perintah Tuhan agar kita memerhatikan sesama umat Tuhan dahulu, baru orang lain.

Lalu, setelah kita mengerti siapa yang perlu kita bantu, bagaimana kita membantu mereka? Di ayat ini, Paulus membagi 2 cara membantu anak Tuhan lain, yaitu: Pertama, membantu yang membutuhkan. Kata “kekurangan” dalam ayat ini kurang tepat terjemahannya. Dari bahasa asli (Yunani)nya, kata ini bisa diterjemahkan, “dalam kebutuhan-kebutuhan/untuk kebutuhan-kebutuhan (orang-orang) kudus ambillah bagian/berilah sebagian” [atau: berilah sebagian/ambillah bagian bagi kebutuhan orang-orang kudus] (Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear, 2003, hlm. 864). KJV, International Standard Version (ISV), NIV, dan mayoritas terjemahan Inggris menerjemahkannya kebutuhan (necessities, in need, dll). Dari sini, kita baru mengerti bahwa kita bisa membantu sesama orang Kristen dengan memberikan kepada mereka sesuai kebutuhan-kebutuhan mereka. Kata “kekurangan” dalam terjemahan LAI bisa disalahmengerti, karena konsep “kurang” bagi manusia berdosa itu bisa berbahaya (konsep “kurang” menurut si X berbeda dengan konsep “kurang” menurut si Y). Tetapi ketika kita menggunakan kata “kebutuhan”, kita terlebih dahulu bisa mengerti apa yang mereka butuhkan. Misalnya, ketika ada sesama kita membutuhkan sesuatu yang primer, misalnya makanan atau pakaian, mungkin kita bisa memberikan kepada mereka pakaian kita yang layak pakai atau makanan, dll. Di sini, ada unsur solidaritas kepada sesama. Pertanyaan selanjutnya, mengapa Paulus memerintahkan kita untuk memberi sebagian bagi kebutuhan orang Kristen lain? Mengapa bukan seluruhnya? Sering kali para penganut “theologi” religionum atau Social “gospel” sangat menggemari ayat ini, apalagi Yak. 1:27, lalu mengajar bahwa kita harus membantu kebutuhan semua orang. Hal ini tidak salah, tetapi yang salah motivasi dan konsepnya. Paulus ingin agar di samping kita membantu sesama kita, kita juga mendidik mereka agar bisa bekerja keras sendiri demi hidupnya. Tuhan memerintahkan kita membantu orang lain, tetapi di sisi lain tanpa kontradiksi, Tuhan yang sama memerintahkan kita untuk bekerja keras. Di satu sisi, Tuhan mengasihi orang miskin dan kekurangan, tetapi di sisi lain tanpa kontradiksi, Ia juga mengajar agar jangan menjadi pembela orang miskin. Lho, kapan Tuhan mengajar agar jangan menjadi pembela orang miskin? Di dalam Keluaran 23:3, Allah sendiri berfirman, “Juga janganlah memihak kepada orang miskin dalam perkaranya.” Ayat ini pasti sengaja dilewatkan oleh para penganut Social “Gospel” karena ayat ini tidak cocok dengan pemikiran mereka yang berdosa: humanis, materialis, dan atheis. Kembali, Alkitab mengajarkan keseimbangan yaitu antara membantu mereka yang membutuhkan sambil mendidik mereka agar mereka yang dibantu bisa bekerja keras sendiri dan tidak terus mengharapkan bantuan dari kita/orang lain. Itu sebabnya mengapa Paulus mengajarkan bahwa kita memberikan sebagian (bukan semua) harta kita untuk membantu mereka yang membutuhkan. Dengan kata lain, kita membantu orang Kristen lain sambil mendidik mereka mungkin dengan mencarikan mereka pekerjaan atau kita membuka lapangan pekerjaan bagi mereka, dll.

Kedua, keramah tamahan kepada orang Kristen lain. Kalau di poin pertama, saya menyebut cara membantu itu adalah cara membantu yang kelihatan, maka di poin kedua, saya menyebut cara membantu ini adalah cara membantu yang tidak kelihatan secara langsung. Mengapa? Karena di poin kedua, Paulus hendak mengajar kita berlaku ramah kepada orang Kristen lain. Terjemahan LAI kurang tepat (meskipun bisa diterjemahan, “memberikan tumpangan”). Beberapa terjemahan Inggris, seperti NIV, KJV, ISV, dll menerjemahkannya sebagai keramah tamahan (hospitality) Apa artinya? Di dalam bahasa Yunani, kata ini adalah philoxenia yang berarti love of strangers (mencintai/kasih kepada tamu asing). NIV Spirit of the Reformation Study Bible memberikan referensi ayat mengenai hal ini yaitu di dalam Ibrani 13:2 dan 3 Yohanes 5-8 untuk mengajar kita tentang pentingnya keramah tamahan dalam hidup orang Kristen. Di dalam Ibrani 13:2, ketika kita membantu memberi tumpangan, beberapa orang secara tidak sadar sedang menjamu malaikat. Kata “memberi tumpangan” dalam Ibr. 13:2 menggunakan kata Yunani yang sama dengan Rm. 12:13 ini. Dengan kata lain, di dalam keramah tamahan kepada orang lain, kita bukan hanya aktif memberi bantuan, tetapi kita juga “pasif” menolong orang. Ketika ada orang bertamu di rumah kita, beranikah kita bersikap ramah kepada tamu itu? Ketika orang lain membutuhkan pertolongan kita, sudah kita ramah kepada orang lain itu sambil menolong?


Kedua, kasih yang mengampuni. Di dalam ayat 14, Paulus mengajar, “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!” Konsep kasih di dalam persekutuan yang berkaitan dengan belas kasihan yaitu kasih yang mengampuni. Jika di dalam persekutuan Kristen, kita masih menyimpan dendam, dll kepada orang Kristen lain, bertobatlah. Tuhan mau kita saling mengampuni. Bukan hanya mengampuni, Paulus bahkan mengajar agar kita memberkati (dan bukan mengutuk) orang yang telah menganiaya kita. Di sini, Paulus ingin mengajar kita tiga hal:
Pertama, konsep penderitaan. Pada ayat ini, Paulus mengingatkan jemaat Roma (dan juga kita) bahkan penderitaan itu pasti diterima oleh anak-anak Tuhan. Tuhan Yesus pun mengajar bahwa barangsiapa yang mau mengikut-Nya harus menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut-Nya (Mat. 16:24). Lalu, Ia juga berfirman bahwa barangsiapa yang tidak memikul salib dan mengikut-Nya, mereka tidak layak bagi-Nya (Mat. 10:38). Penderitaan bukan hanya datang dari orang luar, tetapi juga dari dalam. Penderitaan dari dalam yang dialami Paulus sendiri adalah jemaat Korintus yang Paulus layani ragu-ragu akan kerasulan Paulus. Bayangkan, jika sebagai seorang gembala/pendeta, Anda menggembalakan dan melayani jemaat, lalu jemaat Anda meragukan apakah Anda benar-benar seorang pendeta, bagaimana reaksi kita? Kalau keragu-raguan jemaat Anda adalah keraguan yang beralasan yang menguji setiap pengajaran yang kita ajarkan dengan Firman Tuhan itu adalah hal yang wajar, tetapi jika keragu-raguan jemaat Anda itu tidak beralasan dan terkesan dicari-cari agar kita dikeluarkan dari gereja tempat Anda melayani, kira-kira bagaimana respon Anda? Sering kali Anda marah, benci, dll. Di ayat ini, Paulus kembali mengingatkan kita bahwa jika kita sungguh-sungguh melayani Tuhan, ingatlah, kita pasti menerima penganiyaan dan penderitaan. Itu adalah harga yang harus kita bayar. Tanpa penderitaan, tidak mungkin kita bisa menang atas penderitaan, dan tentunya kita tidak bisa melayani Tuhan dengan motivasi yang beres.

Kedua, reaksi aktif terhadap penderitaan: mengampuni dan memberkati. Ketika kita menyadarinya adanya gangguan dan penderitaan di dalam pelayanan kita, selain kita harus menyadari penderitaan itu, kita pun harus keluar dari penderitaan itu, bagaimana caranya? Caranya adalah tidak membalas, tetapi justru mengampuni. Mengampuni seperti apa? Memberkati orang yang sudah menganiaya kita. Ini memang sulit. Tidak mudah bagi orang Kristen, mungkin termasuk saya, Anda, dll untuk mengampuni bahkan memberkati mereka yang sudah menganiaya kita. Tetapi firman Tuhan mengingatkan kita sekali lagi, berkatilah mereka yang menganiaya kita. Tuhan Yesus juga mengajar hal yang sama di dalam Mat. 5:44, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Memberkati mereka yang menganiaya kita adalah dengan mendoakan mereka. Ketika kita mendoakan mereka berarti kita mengasihi mereka agar pada suatu saat atas kehendak-Nya, mereka yang kita doakan segera bertobat dan kembali kepada-Nya. Doa membuat kita introspeksi diri seberapa banyak kah kasih yang kita miliki bagi orang lain bahkan yang telah menganiaya kita. Doakan mereka. Biarlah di dalam doa, Tuhan menyentuh hati kita dan membuat kita tidak mendendam kepada orang yang telah menganiaya kita.

Ketiga, reaksi “pasif” terhadap penderitaan: jangan mengutuk! Bukan hanya kita mendoakan mereka, kita dituntut agar kita TIDAK mengutuk mereka yang telah menganiaya kita. Ini sama sulitnya dengan poin kedua, karena di poin ini, kita disuruh menyangkal diri. Kedagingan kita memang sulit disangkal/diikat ketika berkaitan dengan harga diri yang diinjak atau kita yang dianiaya. Sering kali kita marah ketika kita dianiaya, diperlakukan tidak adil, dll. Itu reaksi wajar manusia kedagingan yang berdosa. Tetapi hal itu seharusnya tidak terjadi pada diri anak-anak Tuhan. Kita diajar untuk tidak boleh marah, apalagi mengutuk. Di sini, perintah Tuhan melalui Paulus agar kita jangan mengutuk mengajar kita untuk berani menyangkal diri ketika diri mengalami penderitaan. Orang baru bisa menyangkal diri di dalam penderitaan adalah orang yang sudah mengalami apa itu penderitaan dan apa itu penebusan Kristus yang mengalahkan penderitaan. Ketika menderita, Kristus tidak pernah satu kali pun mengucapkan kata-kata kutukan, sehingga setiap umat Tuhan yang mengalami karya penebusan Kristus melalui kelahiran baru yang Roh Kudus kerjakan, mereka pasti mengalami apa arti menyangkal diri di dalam penderitaan. Bagaimana dengan kita sendiri? Sudahkah kita tidak mengutuk kepada orang yang sudah mengutuki/menganiaya kita?


Ketiga, kasih yang simpatik. Pada ayat 15, Paulus mengajar, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” Konsep ketiga tentang kasih yang berkaitan dengan belas kasihan adalah kasih yang simpatik. Kasih yang simpatik ditunjukkan dengan ikut bersukacita dengan orang yang bersukacita dan menangis dengan orang yang menangis. Apakah ini berarti kita terbawa suasana psikologis orang lain? TIDAK! Lalu, apa bedanya? Di sini, kasih Kristen adalah kasih yang simpatik yang benar-benar mengerti kondisi orang lain. Bedanya dengan kondisi psikologis adalah kita pura-pura simpatik dengan orang lain, misalnya kepada orang yang lagi susah karena ditinggal orang yang dikasihinya, kita sering kali memberikan “kata-kata penghiburan.” Hal itu tidak salah, tetapi tindakan kita itu lebih merupakan penyesuaian kondisi psikologis kita dengan kondisi psikologis orang lain. Tuhan mau kita bersimpatik, yang artinya ikut merasakan penderitaan orang yang menderita dan tentunya ikut bersukacita sesuai dengan sukacita orang lain di dalam Tuhan. Tetapi lucunya, banyak orang Kristen melakukan hal yang terbalik. Kalau ada orang Kristen lain yang bersukacita, kita iri, sedangkan kalau ada orang Kristen lain yang menderita, kita cuek. Sikap ini perlu diubah. Orang Kristen harus bertobat. Kita harus bisa simpatik dengan orang lain. Ambil contoh, Paulus adalah salah satu rasul Kristus yang simpatik. Salah satu contohnya adalah surat yang sedang kita renungkan ini, yaitu Surat Roma yang ditulis Paulus dengan rasa simpati kepada jemaat Roma yang sedang mengalami penderitaan. Paulus tidak mengatakan hal-hal yang muluk-muluk kepada mereka yang menderita, misalnya, “Tuhan punya rencana yang indah”, dll. Paulus tetap bersimpatik kepada mereka (bahkan bagi mereka yang bergumul di dalam perjalanan kerohanian mereka—baca: Rm. 7) sambil tetap menguatkan mereka dengan Injil. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita bersimpatik dengan orang lain di dalam Tuhan? Sudahkah kita ikut merasakan dan mengalami apa yang orang Kristen lain rasakan dan alami? Itulah wujud belas kasihan kita di dalam persekutuan tubuh Kristus.


Melalui ketiga ayat ini, kita telah belajar 3 prinsip kasih yang berbelas kasihan di dalam lingkup persekutuan tubuh Kristus, maukah kita berkomitmen melakukannya untuk memuliakan-Nya?

Resensi Buku-61: SAAT COWOK KETEMU CEWEK (Rev. Joshua Harris)

....Dapatkan segera....
Buku
BOY Meets GIRL
(Saat Cowok Ketemu Cewek)


oleh: Rev. Joshua Harris

Penerbit: Lembaga Literatur Baptis (LLB), 2007

Penerjemah: Samuel E. Tandei.





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Halo kawula muda, Anda masih jomblo atau sedang dalam tahap PDKT (pendekatan) atau sudah punya gebetan (pasangan hidup)?? Bagaimana sich mencari pasangan hidup yang berkenan di hadapan Tuhan? Lalu, bagaimana caranya kita berbagi dengan pasangan hidup kita? Bagaimana pula pacaran yang romantis namun kudus dan memuliakan Tuhan? Di dalam buku Saat Cowok Ketemu Cewek, Rev. Joshua Harris (rekan Rev. Dr. John S. Piper) membagikan banyak prinsip tentang pasangan hidup dari tahap perkenalan, persahabatan, menjalin hubungan lawan jenis (pacaran), tunangan, sampai menikah.
Buku ini dibagi menjadi tiga bagian: Bagian 1 bisa dibilang sebagai tahap awal (menunggu sambil berkenalan), Bagian 2 bisa dibilang sebagai tahap pertengahan (memulai hubungan yang lebih dekat dengan lawan jenis), dan Bagian 3 bisa dibilang sebagai tahap akhir (menjelang pertunangan dan pernikahan). Di dalam tahap perkenalan, kita perlu ingat satu hal bahwa Tuhan mengetahui dengan siapa kita berpasangan, oleh karena itu, biarlah Tuhan memimpin kita di dalam tahap perkenalan itu melalui hikmat yang dikaruniakan-Nya melalui firman-Nya dan Roh Kudus. Di sini, Rev. Joshua Harris mengakui kedaulatan Allah di dalam hal pasangan hidup dan menggabungkannya dengan tanggung jawab manusia. Di Bagian 2, Rev. Joshua menjabarkan tahap menjalin hubungan lawan jenis di mana masing-masing pasangan harus bertumbuh dan menjaga: persahabatan, persekutuan, dan asmara. Selain itu, beliau juga memaparkan tentang berkomunikasi di masa menjalin hubungan tersebut. Lalu, ketika menjalin hubungan itu, Rev. Joshua Harris mengajarkan bahwa kita perlu melibatkan pendeta, orangtua, teman, dan saudara-saudara kita sebagai pribadi yang boleh memberikan saran kepada kita tentang pasangan kita dan kita sendiri, karena biasanya kalau kita sedang jatuh cinta, Rev. Joshua mengatakan bahwa kita bisa terbawa emosi dan melupakan realitas. Meskipun mereka boleh memberi saran dan pendapat, kita yang HARUS mengambil keputusan (bukan mereka). Di bab terakhir di Bagian 2 ini, Rev. Joshua memaparkan bahwa di dalam pacaran ini, kita bisa menunjukkan cinta kita kepada pasangan kita, tetapi harus tetap kudus. Artinya, kita tidak boleh melakukan hal-hal yang berdosa, seperti tidur berduaan, melakukan hubungan seks sebelum menikah, dan hal-hal lain yang mengakibatkan timbulnya dosa. Dan akhirnya, di Bagian 3, Rev. Joshua memaparkan tahap kesiapan dari cowok dan cewek untuk menuju ke pelaminan. Jika salah satu pasangan ini sudah pernah jatuh ke dalam dosa seksual, di awal babnya, Rev. Joshua menganjurkan agar salah satu pasangan ini berterus terang dahulu kepada pasangannya sebelum menikah, supaya tidak terjadi masalah di kemudian hari. Setelah itu, barulah kedua pasangan ini menyiapkan proses pertunangan dan pernikahan dengan mempertimbangkan dan menjawab 10 pertanyaan yang perlu diperhatikan (isinya, baca sendiri di buku). Pada bab terakhir di bagian 3, beliau memaparkan bahwa ketika mau menikah, hendaklah pasangan mempertimbangkan hidup dan mencintai di dalam proses kekekalan, sehingga cinta mereka bukan cinta fenomenal yang sesaat, tetapi kekal karena berkait dengan Allah yang adalah Kasih.
Uniknya, setiap bab di buku ini bukan hanya dipenuhi dengan teori-teori “ideal,” tetapi juga disertai dengan banyak pengalaman praktis pasangan hidup yang telah dan sedang menjalaninya baik itu dari pengalaman pribadi Rev. Joshua Harris maupun pengalaman teman-temannya dan orang lain. Bahasa yang dipergunakan di dalam buku terjemahan ini dirancang semudah mungkin dengan SEDIKIT menggunakan bahasa Indonesia gaul, supaya lebih sesuai dibaca oleh kaum muda. Semua prinsip yang dipaparkan Rev. Joshua Harris berpusat kepada Allah (Theosentris), bukan berdasarkan teori-teori psikologi modern!





Profil Rev. Joshua Harris:
Rev. Joshua Harris lahir pada tahun 1974 di Dayton, Ohio, U.S.A. dari orangtua: Gregg dan Sono Harris. Sejak tahun 2004, beliau menjadi Senior Pastor di Covenant Life Church, Gaithersburg, Maryland, U.S.A. Beliau juga adalah anggota dari Council on Biblical Manhood and Womanhood (CBMW) bersama Rev. John S. Piper, D.Theol., dkk. Beliau juga anggota dari the council of The Gospel Coalition. Pada tahun 1998, beliau menikah dengan Shannon dan dikaruniai 3 orang anak. Untuk memperoleh informasi tentang pekerjaan pelayanan Joshua, khotbah online, dan kisah-kisah dari para pembaca, kunjungilah website: www.joshharris.com.

Matius 12:15a-21: NUBUAT DAN SEJARAH ALLAH (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 26 November 2006

Nubuat & Sejarah Allah
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Matius 12:15a-21



Pendahuluan
Bukanlah hal yang mudah bagi orang Yahudi untuk mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan bahkan ketika Tuhan Yesus menyatakan Diri sebagai Tuhan atas Sabat sebab bagi mereka hukum Sabat itulah “Tuhan“ dan mereka menganggap dengan melakukan hukum Sabat, mereka telah mencapai kesalehan. Orang Yahudi juga memandang rendah dan hina pada Tuhan Yesus. Karena itulah, Matius mengutip kitab Yesaya dimana kitab Yesaya menjadi jembatan dengan demikian orang dapat melihat Ketuhanan Kristus dalam aspek hukum dan kehidupan. Pernyataan: “Inilah hamba-Ku yang Ku-pilih,...dan Ia akan memaklumkan hukum kepada bangsa-bangsa,“ pernyataan ini sangatlah dipahami oleh orang Yahudi sebab pernyataan itu mengingatkan mereka akan kedatangan Mesias yang diidamkan.
Tidaklah mudah bagi seseorang untuk membongkar konsep yang selama ini mereka anggap sebagai kebenaran, diperlukan suatu kerendahan hati dan ketaatan untuk seseorang dapat diubahkan dan kembali pada kebenaran sejati. Belajar dari sejarah merupakan salah satu langkah untuk kita dapat diubahkan namun Heigel mengungkapkan bahwa dalam kehidupan manusia, orang perlu belajar satu hal dari sejarah, yaitu: manusia tidak pernah mau belajar dari sejarah. Banyak faktor yang menyebabkan manusia tidak mau kembali pada sejarah salah satunya karena banyak peristiwa dalam sejarah itu telah diselewengkan. Sejarah bukan lagi sebuah rangkaian fakta yang bersifat obyektif tetapi sejarah adalah interpretasi terhadap fakta dan bersifat subyektifitas. Sebagai contoh, sejarah Indonesia akan menghasilkan fakta yang berbeda kalau ditulis oleh orang Indonesia atau orang Belanda. Masih hangat di ingatan ketika Habibie menuliskan sebuah buku tentang peristiwa Mei 1998 dan buku itu langsung menuai protes.

Ada dua sikap yang ditunjukkan oleh manusia karena ketidaksukaannya pada sejarah:
1. Melupakan sejarah dan mengacu pada kekinian dan masa depan.
Orang tidak suka jika dibawa pada masa lampau, orang hanya mau tahu kejadian hari ini atau kejadian masa depan; masa lalu itu dirasakan sangatlah menyakitkan. Orang berharap masa depan akan lebih baik, orang tidak sadar ia terjebak dalam kecelakaan yang lebih parah. Ingat, di dunia ini tidak ada satu pun manusia yang tahu apa yang terjadi di masa depan. Manusia mencoba menipu diri dengan mengatakan bahwa hari ini lebih baik dari kemarin, dunia semakin hari semakin maju. Benarkah dunia semakin maju? Sadarlah, dunia tidak bertambah maju tapi sebaliknya bertambah mundur dan rusak; moral semakin rusak, kualitas hidup semakin merosot.

Manusia telah jatuh ke dalam dosa maka tidaklah heran kalau orang lebih mudah terpengaruh dan diajak melakukan perbuatan dosa daripada melakukan hal yang benar, yang suci dan yang adil. Kerusakan moral turut mempengaruhi konsep berpikir dan banyak aspek hidup, antara lain: aspek ekonomi, sosial, hukum, relasi dengan manusia, dan lain-lain. Cara orang menilai keadilan menjadi kacau, orang melihat suatu keagungan seni juga menjadi rusak. Di dunia modern, siapa yang dapat menciptakan lagu yang agung dan indah seperti yang pernah digubah oleh G. F. Haendel, J.S. Bach, Mozart, Beethoven? Jawabnya: tidak ada. Ironis, hari ini justru orang lebih suka musik liar daripada musik yang agung dan indah. Dahulu, orang membangun dengan sangat teliti dan detail dan hasilnya bisa kita nikmati hari ini seperti Northedamn Church, St. Peter Cathedral karena semua itu didasari atas motivasi untuk kemuliaan Tuhan. Namun hari ini kita mendapati bangunan arsitektur yang kacau. Inilah gambaran dunia berdosa yang rusak moral, dunia semakin hari semakin hancur.

Kalau kita jujur, masa lalu itu lebih baik dari sekarang namun orang tidak mau melihat ke masa lalu, orang hanya mau melihat kekinian karena dengan itu, mereka merasa diri hebat, Sesungguhnya, mereka tidak sadar kalau kehebatan itudalam kebodohan mereka. Orang juga tidak mau belajar dari sejarah karena manusia seperti ditelanjangi kebobrokan dirinya seperti yang diungkapkan oleh Heigel akibatnya orang mencoba menipu diri dengan mengatakan bahwa hari ini lebih baik dari kemarin dan esok lebih baik dari hari ini. Kekristenan tidak mengajarkan kita untuk menipu diri. Tidak! Kekristenan mengajak kita untuk kembali melihat sejarah namun dari perspektif yang berbeda, yakni dari kacamata Tuhan. Sejarah adalah Tuhan yang bernubuat dan menyatakan apa terjadi dalam setiap momen sejarah, ini mau menunjukkan bahwa Dia adalah Allah yang berdaulat mengatur sejarah dimana kesementaraan berada di tangan kedaulatan-Nya.

2. Mereinterpretasi sejarah berdasarkan kebobrokan masa kini.
Orang menyadari bahwa fakta sejarah tidak mungkin dihilangkan maka cara supaya orang tidak kembali pada sejarah dengan menghancurkan sejarah dengan cara menginterpretasi sejarah dengan menggunakan konsep language game seperti yang diajarkan posmodern. Sebagai contoh, sebuah buku yang berjudul Sejarah Tuhan yang ditulis oleh Karen Armstrong, sejarah direinterpretasi dengan salah sehingga orang yang tidak memahami sejarah akan melihat gambaran Allah yang rusak dan dalam buku itu digambarkan agama tidak lebih hanyalah sebuah alat yang dipakai untuk kepentingan politik, egoisitas manusia, keuntungan diri maka gambaran sejarah masa lampau itu tidak ubahnya seperti gambaran bejat manusia pada hari ini. Perhatikan, itu bukan sejarah Tuhan tetapi sejarah iblis! Begitu juga dengan lukisan Last Supper yang dilukis oleh Leonardo Da Vinci telah diinterpretasi salah seolah-olah Kristus melakukan tindakan amoral meskipun Dan Brown si penulis buku itu telah membuat pernyataan bahwa semua itu hanya fiksi belaka namun cerita fiksi itu telah meracuni dan merusak manusia. Kita tidak tahu apa yang menjadi tujuan Dan Brown menuliskan hal ini, apakah dia ingin sekedar mencari uang dan mendapatkan keuntungan ataukah dia sengaja hendak mempermainkan sejarah Kristus yang agung dan anggun? Inilah gambaran dunia berdosa yang sangat mengerikan. Dengan merusak sejarah, dunia mendapatkan suatu kepuasan karena telah sukses merusak dan mempermainkan sejarah.
Sebuah fakta sejarah barulah dikatakan sah apabila sejarah kembali pada Tuhan Allah sang pemilik dan pengatur sejarah. Sejarah adalah apa yang Allah nyatakan di tengah dunia dan sejarah harus diinterpretasi dari sudut pandang Tuhan. Untuk mengerti sejarah, orang harus kembali pada Tuhan, orang harus menyadari keberdosaannya terlebih dahulu dan orang harus ditundukkan di bawah otoritas Tuhan Sang Pemilik Sejarah. Matius mengajak para pembaca untuk mundur ke belakang supaya orang dapat melihat bagaimana Tuhan bekerja dan bertindak dalam setiap momen – dari sana terbentanglah sejarah Kerajaan Allah dari Alfa sampai Omega. History is His story.

Iman Kristen melihat sejarah berbeda dengan dunia, yaitu:
1. Sejarah sejati adalah sejarah Kristus.
Dia menetapkan sejarah mulai dari titik awal, Alfa sampai titik akhir, Omega. Allah menegaskan bahwa orang percaya atau jemaat atau ekklesia adalah orang yang ditarik keluar, call out dari lumpur dosa dan dibawa masuk dan hidup dalam sejarah Kerajaan Sorga. Tuhan mempunyai misi bagi orang percaya dalam jalur Kerajaan Sorga. Dunia semakin hari semakin rusak tetapi Allah yang berdaulat atas sejarah mempunyai satu benang merah yang merupakan rangkaian karya Allah yang tentang His story. Sejarah adalah sejarah Kerajaan Sorga yang menggenapkan rencana Allah. Bak sutradara film, dalam hal ini ia berperan seperti “tuhan kecil“ yang membuat sebuah sejarah fiktif. Dia harus membuat dua alur cerita dimana satu alur utama dan satu alur figuran. Tentu saja, sejarah utama diperankan oleh peran utama akan selalu dijaga sedemikian rupa oleh sang sutradara dimana sang pemeran utama tidak akan mati sampai akhir cerita karena ia harus menyampaikan pesan dari sang sutradara sedangkan peran figuran hanya mendukung supaya sang pemeran utama tersebut dapat mencapai misi dari sang sutradara.
Tuhan membawa kita dalam sejarah yang riil, bukan layaknya sebuah film yang hanya khayalan belaka. Hidup orang percaya adalah hidup yang riil dan Tuhan mau menyatakan apa yang menjadi rencana-Nya; setiap orang yang Tuhan panggil keluar berarti ia dipanggil untuk menjalankan misi Tuhan. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah kita berada dalam garis benang merah yang Tuhan rancangkan ataukah kita hanya seorang figuran? Tuhan tidak menjadikan setiap anak-Nya seperti layaknya sebuah robot. Tidak! Tuhan ingin setiap anak Tuhan itu hidup dalam sejarah Kerajaan Allah dengan hidup taat. Tuhan kumpulkan sekelompok orang yang tersisa, remnant untuk menjalankan misi Tuhan dan Dia jagai sedemikian rupa supaya tetap berada dalam sejarah Tuhan. Biarlah kita menyadari kalau Tuhan panggil kita diantara sekian juta manusia itu menjadi sukacita tersendiri dalam hidup kita karena Tuhan berkenan memakai kita untuk menjalankan misi-Nya. Tuhan adalah Tuan dan kita hanyalah hamba-Nya itu berarti kita harus taat mutlak pada-Nya sebab Dia akan memimpin dan mengatur langkah hidup kita untuk tetap berada dalam sejarah Tuhan. Alkitab membentangkan sejarah dari beribu-ribu tahun yang lalu dan membuktikan bahwa sejarah itu berada dalam pemeliharaan dan kedaulatan Allah.

2. Tuhan adalah Tuhan yang berdaulat atas sejarah.
Alkitab menegaskan setiap nubuatan Allah pasti akan digenapi; tidak ada satu pun manusia yang dapat membatalkannya. Manusia tidak dapat menggagalkan kedaulatan Allah. Teologi Reformed sangat menekankan kedaulatan Allah dan hal ini tidaklah disuka. Orang berpendapat bahwa kalau dirinya yang menentukan maka segala sesuatu akan menjadi lebih baik. Pemikiran yang salah! Bayangkan, apa yang terjadi kalau kita mempunyai “tuhan“ yang plin plan, tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana akibatnya dunia menjadi kacau dan rusak. Orang akan memakai hukum survival of the fittest – yang kuat dia yang menang. Dunia modern pikir kalau Tuhan tidak ada maka dunia akan menjadi lebih baik. Sejarah membuktikan atheisme maupun dualisme tidak menjadikan hidup manusia bahagia. Tidak! Filosofi Jawa sangat memahami bahwa dualisme akan berakibat kematian, ha na ca ra ka/da ta sa wa la/ pa da ja ya nya/ma ga ba ta nga yang artinya di tengah dunia ini ada dua pihak saling berhadapan, keduanya sama kuat dan akhirnya kedua-duanya mati. Inilah fakta dunia berdosa. Betapa mengenaskan dan menyedihkan hidup orang yang lemah dan miskin jika berlaku hukum survival of the fittest sebab mereka pasti akan binasa. Dunia membutuhkan suatu otoritas yang berdaulat mutlak dimana manusia harus tunduk pada Dia yang berdaulat.

Sebagai contoh, seorang penjual es sangat menginginkan terik panas matahari sebaliknya seorang penjual jas hujan sangat berharap turunnya hujan maka kalau Tuhan tidak berdaulat dan mudah diatur oleh manusia pastilah akan kebingungan, tidak tahu harus mengabulkan keinginan siapa antara penjual es atau penjual jas hujan. Puji Tuhan, kita mempunyai Allah yang berdaulat, Dia mempunyai otoritas untuk memutuskan dan menjalankan apa yang menjadi kehendak-Nya saja. Hal ini menjadi kekuatan bagi kita untuk melangkah sehingga kita tidak takut ketika kita hidup di tengah dunia karena kita tahu kita mempunyai Tuhan yang menjadi sandaran hidup dan kita tahu kita berada dalam garis sejarah Tuhan. Namun ingat, sebagai anak Tuhan bukan berarti kita tidak mengalami kesulitan dan penderitaan. Tidak! Orang Kristen maupun non Kristen juga mengalami kesulitan dan penderitaan hanya bedanya, orang Kristen mempunyai kekuatan atau sandaran sehingga mengalami kesulitan tidak akan goyah karena Tuhan ada bersama dengan anak-Nya dan Dia adalah Allah yang berdaulat yang berkuasa atas sejarah. Ingat, kita hanyalah budak, Dia adalah Tuhan berarti kita harus taat mutlak pada perintah dan pimpinan-Nya.

3. Demonstrasi kemenangan keadilan Allah.
Banyak orang yang salah menginterpretasi Mat.12:20 sebab orang memutus sebagian ayat, yakni: “bulu yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya.“ Ayat ini diinterpretasi salah bahwa Allah pasti akan menolong orang-orang yang berada dalam kesulitan, tidak akan dibiarkan padam. Perhatikan, ayat ini tidak berhenti sampai disini tetapi masih ada kelanjutannya, yaitu: 1) sampai Ia menjadikan hukum itu menang, 2) dan pada-Nyalah bangsa-bangsa akan berharap. Yang dimaksud dengan buluh yang patah terkulai itu adalah orang-orang yang tertindas dalam kebenaran maka saat itu Tuhan akan menjadi Pembela atas mereka. Kalau kita berbuat dosa dan kita berada di luar jalur pemeliharaan Tuhan maka hidup kita sengsara dan itu memang patut kita terima karena semua itu adalah hasil dari perbuatan dosa yang kita lakukan.

Hati-hati, di tengah dunia ini kita berhadapan dengan suatu realita yang sangat ironis, dimana orang tidak lagi mempedulikan orang lain, demi mendapatkan keuntungan diri orang melakukan segala cara termasuk menipu dengan licik bahkan orang tidak peduli meski orang lain menjadi korban. Orang berpendapat bahwa orang lemah dan miskin akan merugikan maka mereka haruslah dikorbankan. Ingat, Tuhan yang mengasihi adalah Tuhan yang menyediakan neraka bagi mereka yang tidak berada dalam sejarah Kerajaan Sorga. Jangan pernah berpikir Tuhan dapat dipermainkan dimana orang yang hanya ingin berkat tapi ketika mengalami kesulitan, orang meninggalkan Tuhan.

Hanya mereka yang berada dalam jalan Tuhan dan setia pada kebenaran maka Tuhan akan menjaga dan membela dan kita akan peroleh kemenangan. Inilah pengharapan sejati. Percayalah kalau Tuhan sudah janji, Dia tidak akan pernah ingkar akan janji-Nya. Sudahkah kita men-Tuhankan Kristus dalam seluruh aspek hidup kita? Men-Tuhankan Kristus berarti bersandar mutlak pada kedaulatan Allah. Tuhan tidak menjadikan kita seperti robot. Tidak! Tuhan memberikan akal budi sehingga kita dapat memutuskan antara mengikut Tuhan berarti taat dan berada dalam sejarah Kerajaan Sorga ataukah keluar dari jalur Tuhan? Ingat, setiap keputusan kita akan mengakibatkan hasil dan kitalah sendiri yang menanggungnya. Firman Tuhan melalui Yosua telah mengingatkan pada kita: “Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah;...tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!“ (Yos. 24:15).

Kristus sebagai Tuhan janganlah dimengerti sebatas pengetahuan atau teori tetapi Kristus Tuhan berarti Dia memimpin setiap langkah hidup kita dan kita harus taat mutlak pada Allah yang berdaulat. Biarlah Firman Tuhan boleh menyadarkan kita untuk kembali pada kebenaran sejati karena di dalam Dialah ada pengharapan sejati; Dia tidak akan pernah membiarkan anak-anak-Nya yang sejati sampai terkulai;“buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya sampai Ia menjadikan hukum itu menang.“ Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: