18 January 2009

Roma 12:16: KASIH SEJATI-4: Kasih Persekutuan Menjadi Teladan-1

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-7


Kasih Sejati-4:
Kasih Persekutuan Menjadi Teladan-1


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 12:16.


Pada bagian ketiga ini, kita akan menelusuri konsep kasih Kristen yang sejati di dalam persekutuan yang menjadi teladan bagi orang-orang di luar Kristen.

Sebelum mempraktikkan kehidupan Kristen, Paulus menjelaskan prinsip utama di dalam kasih di antara tubuh Kristus yaitu di ayat 16, “Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!” Ada dua bagian penting yang Paulus ingin singkapkan bagi kita sebagai pokok-pokok penting kasih persekutuan di dalam tubuh Kristus yang menjadi teladan bagi kasih kepada orang-orang di luar Kristen, yaitu:
Pertama, kerukunan di dalam satu pikiran/pendapat. Paulus mengajar kita, “Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama;” King James Version (KJV) menerjemahkannya, “Be of the same mind one toward another.” (=milikilah pikiran yang sama satu dengan yang lain) English Standard Version (ESV) dan New International Version (NIV) menerjemahkannya, “Live in harmony with one another.” (=rukunlah satu sama lain) Kata “pikiran” di sini dalam bahasa Yunani phroneō bisa berarti pikiran atau pendapat. Dengan kata lain, di dalam tubuh Kristus, kita harus memiliki kesamaan pendapat. LAI memperluasnya menjadi sehari sepikir. Inilah konsep penting pertama tentang kasih persaudaraan yang ingin Paulus tekankan. Di dalam kasih, ada kesamaan arah pikiran dan hati kita. Kesamaan ini bukan berarti kesamaan yang dipaksakan, tetapi kesamaan ini dibangun di atas dasar sesuatu yang kokoh. Apakah dasar itu? Yaitu kebenaran Firman. Jemaat Tuhan memiliki kesamaan hati dan pikiran ketika mereka bersama-sama tunduk di bawah otoritas Firman. Saat itu pula sesama jemaat Tuhan dapat hidup rukun. Mengapa jemaat Korintus bisa terpecah-pecah (1Kor. 1:11-12)? Karena mereka tidak hidup di bawah otoritas Firman, melainkan mengagungkan para pelayan Tuhan. Mereka mengagungkan Apolos lebih hebat dari Paulus, dll. Dalam hal ini, Paulus mengingatkan jemaat Korintus agar mereka sehati sepikir (1Kor. 1:10). Meskipun “sehati sepikir” di sini menggunakan kata Yunani yang berbeda dari Rm. 12:16 ini, tetapi kita mendapatkan konsep serupa dari Paulus, yaitu jemaat Tuhan harus memiliki kesamaan arah, tujuan, hati, dan pikiran yang tertuju kepada Kristus. Ketika jemaat Tuhan mengarahkan hati, tujuan, dan pikiran hanya kepada Kristus, maka mereka tidak lagi mempersoalkan hal-hal remeh di dalam gereja Tuhan. Paulus menegaskan hal ini bahwa dirinya, Apolos, Kefas adalah sama-sama pelayan Tuhan yang sama-sama melayani Tuhan dan hanya Tuhan yang patut ditinggikan (1Kor. 3:5-9). Bagaimana dengan kita? Apakah sebagai sesama jemaat Tuhan kita lebih senang mempersoalkan hal-hal remeh lalu mengakibatkan sesama jemaat Tuhan bermusuhan? Teguran Paulus ini mengingatkan kita agar kita boleh rukun dengan jemaat lain di dalam kebenaran Firman.

Pertanyaan berikutnya, apakah kalau rukun, berarti kita tidak boleh menegur jemaat lain yang berdosa? Tidak. Ingat, prinsipnya, kerukunan antar sesama jemaat dibangun di atas kesamaan arah, tujuan, hati, dan pikiran di bawah otoritas Firman. Ketika ada jemaat yang berdosa, kita yang mengasihinya wajib menegur dan mengingatkan serta mendorongnya untuk keluar dari dosa itu dan bertobat. Di saat kita menegur dia, di saat itu pula kita membangun terciptanya kerukunan antar jemaat Tuhan.


Kedua, ketidaksombongan. Kasih yang sehati sepikir/rukun di atas dapat diwujudnyatakan dengan tidak adanya kesombongan di dalam kasih persekutuan. Paulus memaparkannya, “janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana.” Ayat ini bisa disalahmengerti dan dipakai oleh banyak hamba Tuhan dari arus kontemporer lalu mengajar bahwa doktrin itu tidak penting, yang penting beriman saja. Kesalahtafsiran ini disebabkan oleh ketidakmengertian mereka di dalam menggali ayat ini dan ayat ini dalam terjemahan LAI memang kurang tepat (perhatikan kata-kata yang digarisbawahi antara terjemahan LAI dengan terjemahan Alkitab Inggris dan Yunani). KJV menerjemahkan, “Mind not high things, but condescend to men of low estate.” (=Janganlah pikirkan hal-hal yang tinggi, tetapi rendahkanlah dirimu kepada orang yang statusnya rendah) NIV menerjemahkan, “Do not be proud, but be willing to associate with people of low position.” (=Jangan sombong, tetapi berusahalah bergaullah dengan orang-orang yang statusnya rendah) International Standard Version (ISV) menerjemahkan, “Do not be arrogant, but associate with humble people.” (=Jangan arogan, tetapi bergaullah dengan orang sederhana). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) mengartikan ayat ini, “janganlah (hal-hal) yang tinggi memikirkan tetapi (kepada orang-orang/kepada hal-hal) yang (statusnya) rendah/sederhana bergaullah/disesuaikanlah” (=janganlah memikirkan hal-hal yang tinggi, tetapi bergaullah dengan orang-orang yang statusnya rendah) (hlm. 864-65). Dari beragam terjemahan Alkitab Inggris dan Yunani ini kita mendapatkan kesimpulan bahwa Paulus TIDAK sedang mengajar bahwa doktrin itu tidak penting, tetapi ia mengajarkan bahwa di dalam kasih tidak ada kesombongan. Dia mengajar bahwa kasih itu tidak sombong. Kasih yang tidak sombong ini diwujudkan dengan orang itu tidak merasa diri hebat, pintar, tetapi bersedia merendahkan diri dan bergaul dengan orang yang statusnya rendah atau sederhana. Orang yang statusnya rendah/sederhana ini menurut NIV Spirit of the Reformation Study Bible menunjuk kepada to do menial work (=berhubungan dengan pembantu rumah tangga). Orang yang merendahkan dirinya bagi orang yang statusnya rendah ini adalah orang yang benar-benar mengasihi orang yang statusnya rendah tersebut. Dr. John Gill di dalam John Gill’s Exposition of the Entire Bible menafsirkan bahwa orang yang statusnya rendah ini bisa berarti rendah statusnya secara jasmani (sosial) dan rohani. Artinya, orang ini bisa berarti orang miskin atau kurang terpelajar atau/dan orang-orang yang imannya kurang kuat. Di sini, Paulus mengingatkan kita untuk bersedia memahami kesulitan orang-orang “bawah.” Bagaimana dengan kita? Terus terang saya pribadi kuatir, banyak hamba Tuhan yang sudah sekolah theologi ketika berkhotbah di atas mimbar selalu menggunakan bahasa-bahasa “tingkat atas” yang penuh dengan muatan filosofis, theologis, dll, sehingga banyak jemaat yang kurang terpelajar kurang mengerti apa yang disampaikan. Di sini, memang jemaat perlu belajar tentang firman Tuhan dan istilah-istilah tersebut. Tetapi di sisi lain, si pengkhotbah merasa diri hebat apalagi berkhotbah dengan mengutip bahasa Yunaninya apalagi ditambah bahasa Inggris (yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia), padahal ada jemaat yang kurang terpelajar tidak mengerti bahasa Inggris. Di sini, kembali Paulus menegur kita, seberapa kita peka akan kondisi sesama jemaat lain yang secara status rendah baik kurang terpelajar atau mungkin kurang iman. Bagaimana sebuah khotbah itu mendalam, tegas, jelas, namun sederhana, itu yang harus dipergumulkan oleh seorang pengkhotbah (dan tentunya kita sebagai jemaat awam). Jemaat awam pun juga harus memerhatikan jemaat lain yang statusnya rendah tersebut mungkin dengan menguatkan imannya atau yang lain.

Ketidaksombongan ini juga diwujudkan dengan tindakan kedua, yaitu tidak merasa diri bijak. LAI menerjemahkan, “Janganlah menganggap dirimu pandai!” KJV menerjemahkan, “Be not wise in your own conceits.” (terjemahan bebas: Janganlah merasa diri bijak di dalam pemikiranmu). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. kembali menerjemahkan dari bahasa Yunani ayat ini, “Janganlah menjadi bijaksana dengan mengandalkan dirimu sendiri.” (idem, hlm. 865) Orang yang tidak sombong bukan hanya merendahkan diri dan mengerti kondisi orang “bawah” saja, tetapi juga tidak menganggap diri bijak. Ini adalah aspek negasi dari ketidaksombongan. Mengapa Paulus mengajar agar kita tidak merasa diri bijak dengan mengandalkan diri kita? Karena dengan mengandalkan diri kita, sebenarnya kita sedang memberhalakan diri kita (atau menjadikan kita “Tuhan”), padahal kita adalah manusia yang diciptakan, terbatas, dan berdosa (istilah Pdt. Dr. Stephen Tong: created, limited, and polluted). Perjanjian Lama mengajar kita tentang hal ini. Di dalam Amsal 3:5-7, Salomo mengajar kita, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;” Di sini, Salomo mengajar apa artinya percaya kepada Tuhan, yaitu: tidak bersandar kepada pengertian sendiri, mengakui Dia di dalam segala laku kita, tidak menganggap diri bijak, dan takut akan Tuhan. Dengan kata lain, Salomo (raja yang terkenal hikmatnya) hendak mengajarkan bahwa larangan Tuhan agar kita tidak menganggap diri sendiri bijak ini dikaitkan dengan kewajiban kita menundukkan diri kita mutlak di bawah Tuhan dengan percaya kepada (lebih tepatnya: di dalam) Tuhan yang Mahabijak. Ketika kita memandang kepada Tuhan yang Mahabijak, tentu di saat itu pula kita tidak menganggap diri hebat, karena Allah jauh lebih bijak dan pandai ketimbang diri manusia yang berdosa. Kalau Salomo yang hikmatnya terkenal saja rela menaklukkan dirinya di bawah hikmat Allah, bagaimana dengan kita? Apakah kita masih menganggap diri bijak bahkan lebih bijak daripada Tuhan? Bukankah sering kali ketika Alkitab mengajar bahwa Allah memilih manusia, lalu kita memberontak dengan berkata bahwa Allah itu tidak adil? Itulah bukti kekurangajaran dan kesombongan kita di hadapan/kepada Tuhan yang Mahabijak! Paulus keras mengajar ini dengan mengatakan bahwa manusia sehebat apa pun tidak mungkin bisa membantah/mengajar Allah tentang pemilihan Allah (predestinasi) ini (baca: Rm. 9:20). Ini berarti, jangan pernah menganggap diri bijak lalu mengajari Allah tentang konsep keadilan Allah.

Bukan hanya itu saja, di dalam persekutuan, kita juga merasa diri “bijak” atau/dan “pandai.” Bagaimana kita bisa mengetahui hal ini? Saya sudah menemukan contoh konkritnya di gereja saya. Setiap selesai kebaktian, ada seorang jemaat (suami istri) selalu memberikan “khotbah” tambahan kepada jemaat gereja tersebut. Bukan hanya itu saja, ketika mampir ke toko ayah saya pun, sang jemaat ini juga memberikan “khotbah.” Masalahnya adalah “khotbah” yang disampaikannya cenderung memaksa dan menganggap semua jawaban dari lawan bicaranya itu salah dan hanya jawaban dia saja yang paling benar. Di sini, dia seolah-olah hendak “menghakimi” semua jawaban orang lain dengan jawaban dia yang menurutnya “paling benar.” Bukankah cara ini adalah cara yang tidak tepat apalagi diucapkan persis setelah kebaktian gereja. Orang ini merasa diri lebih berbijak dan pandai ketimbang orang lain (apalagi orang ini mengklaim langsung bertanya kepada “Tuhan” ketika dia tidak mengerti ayat Alkitab yang dibacanya).



Saat ini, setelah kita merenungkan satu ayat ini, marilah kita berkomitmen menyatakan kasih persekutuan yang sehati sepikir dan tidak sombong sehingga itu mengakibatkan timbulnya kerukunan antar sesama tubuh Kristus dan kita menjadi berkat bagi orang-orang di luar Kristus. Maukah Anda melakukannya? Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: