26 August 2008

Penginjilan kepada Roh-roh di dalam Penjara Menurut 1Ptr. 3:19 (Marthinus Yaroseray, Th.M.)

Penginjilan kepada Roh-roh di dalam Penjara
Menurut 1Ptr. 3:19*


oleh: Marthinus Yaroseray, Th.M.


Pertanyaan
Apakah maksudnya “Ia [yaitu Yesus Kristus–1Ptr. 3:18] pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara” dalam 1Ptr. 3:19?[1] Untuk menjawab pertanyaan ini, maka beberapa subpertanyaan dalam klausa ini perlu dimengerti terlebih dahulu. Pertama, kapankah pemberitaan oleh Tuhan Yesus itu terjadi? Apakah pada waktu Nuh di zaman Perjanjian Lama (bdk. ay. 20)? Atau pada saat Tuhan Yesus mati-sementara Ia tergantung di kayu salib, atau sementara di dalam kubur? Atau di antara saat kebangkitan-Nya dan kenaikan-Nya ke sorga (bdk. ay. 18)? Ataukah sementara Ia naik ke sorga?

Kedua, apakah yang dilakukan oleh Tuhan Yesus itu memang merupakan pemberitaan Injil-sebagaimana dipahami dalam Alkitab Terjemahan Baru (TB) dan TB 2? Ataukah Tuhan Yesus (hanya) menyatakan proklamasi, pengumuman, atau deklarasi atas karya keselamatan yang diraih-Nya, khususnya melalui kemenangan-Nya dari kubur dan maut?–sebagaimana dipahami dalam beberapa terjemahan lain seperti New American Standard Bible Updated (NASU) yang menerjemahkan ‘pemberitaan Injil’ dalam ay. 19 [Yunani: ekēruksen] sebagai made proclamation; New Revised Standard Version (NRSV): made a proclamation; atau New English Bible (NEB): (he went and) made his proclamation.

Ketiga, apakah atau siapakah “roh-roh” di dalam penjara yang kepadanya Tuhan Yesus pergi memberitakan Injil, atau seperti kecenderungan pemahaman modern, memproklamasikan kemenangan-Nya?[2] Apakah roh-roh ini ialah arwah-arwah atau roh-roh manusia atau makhluk-makhluk tak berjasad atau tak berdaging tak bertulang? Kalau roh-roh dalam teks ini berarti roh, arwah, atau makhluk (being) tak berjasad, apakah itu berarti Tuhan Yesus pergi memberitakan Injil kepada roh-roh manusia yang terpisah dari jasad ragawi? Kalau “Ya,” roh-roh siapakah itu? Apakah roh-roh dari orang-orang yang sudah mati, khususnya arwah-arwah dari zaman Nuh? Ataukah bahwa roh-roh yang dimaksudkan di sini ialah malaikat-malaikat? Jika Yesus pergi memberitakan Injil kepada malaikat, apakah malaikat, khususnya malaikat pemberontak, bisa bertobat? Apakah surat Petrus berbicara tentang adanya keselamatan bagi malaikat?

Keempat, apakah makna penjara dalam frasa “roh-roh yang di dalam penjara”? Apakah penjara yang surat Petrus atau Petrus[3] maksudkan ialah tempat dalam arti literal, yaitu lokasi pengurungan atau penahanan sesuatu atau seseorang (biasanya orang hukuman atau orang yang divonis bersalah)? Kalau demikian, apakah pemberitaan Injil oleh Tuhan Yesus itu dilakukan kepada roh-roh dalam suatu lokasi kurungan fisik tertentu? Di manakah lokasi penjara itu, dan bagaimanakah kondisinya, atau kondisi “roh-roh” di dalamnya?[4]


Jawaban Umum
Jawaban umum tentang makna pemberitaan Tuhan Yesus kepada roh-roh dalam penjara (1Ptr. 3:19) terdapat dalam buku atau referensi seperti Ensiklopedi Alkitab Masa Kini[5] atau New Bible Dictionary;[6] Hard Sayings of the Bible;[7] atau dalam “Alkitab Penuntun” atau “Study Bible.” The NIV Study Bible mengemukakan tiga kemungkinan interpretasi terhadap persoalan pemberitaan Tuhan Yesus kepada roh-roh di dalam penjara dalam 1Ptr. 3:19-20a.[8] Pandangan atau interpretasi pertama mengatakan bahwa Tuhan Yesus, sebelum berinkarnasi, pergi memberitakan (Injil) melalui Nuh kepada generasi yang jahat pada zaman Nuh. Pandangan pertama ini mengabaikan faktor kematian dan kebangkitan Yesus, sebagaimana dituntut oleh konteks 1Ptr. 3. Inilah kelemahan dari pandangan pertama.

Menurut pandangan kedua, dalam masa selang di antara kematian dan kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus pergi ke penjara di mana malaikat-malaikat pemberontak dikurung dan menyampaikan berita (mungkin deklarasi kemenangan Tuhan Yesus) kepada malaikat-malaikat itu yang telah jatuh dan kawin dengan anak-anak perempuan manusia pada zaman Nuh (bdk. Kej. 6:1-4; 2Ptr. 2:4; Yud. 6). Kelemahan utama dari pandangan ini ialah pendapat tentang adanya hubungan seks antara malaikat (yang berkeadaan ‘roh’) dengan manusia (perempuan).

Pandangan ketiga mengatakan bahwa di antara kematian dan kebangkitan-Nya Tuhan Yesus pergi ke dunia orang mati dan menyampaikan berita (mungkin berita Injil, atau mungkin berita kemenangan Tuhan Yesus serta hukuman bagi para pendengar-Nya), kepada roh-roh dari orang-orang jahat pada zaman Nuh. Kelemahan utama dari pandangan ketiga ialah bahwa istilah “roh-roh” – menurut NIV Study Bible – hanya dipakai oleh Alkitab untuk merujuk kepada makhluk-makhluk supranatural (kecuali jika istilah “roh” itu disertai keterangan tambahan).

Jawaban umum dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini atau New Bible Dictionary dapat diklasifikasi ke dalam dua golongan besar. Pertama, pendapat para bapa gereja, dan kedua, pendapat para sarjana modern. Bapa-bapa gereja (patristic exegesis) berpendapat bahwa “mereka yang dahulu … tidak taat” adalah khas contoh orang-orang berdosa dari zaman Nuh yang tidak berkesempatan mendengar Injil-dan tidak bertobat-sebelum inkarnasi TuhanYesus. Kesempatan untuk mendengar Injil tiba ketika dalam interval waktu di antara kematian dan kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus pergi ke penjara, atau, menurut terjemahan Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, “turun ke dunia orang mati dan menjanjikan keselamatan kepada mereka.” Secara khusus, pendapat seperti ini berkembang di Gereja Timur.

Pendapat modern memahami pemberitaan oleh Tuhan Yesus kepada roh-roh dalam penjara sebagai proklamasi atau pengumuman Tuhan Yesus tentang kemenangan-Nya di salib.[9] Proklamasi ini terjadi setelah penderitaan Yesus, khususnya pada saat kenaikan-Nya ke sorga (dengan atau tanpa menawarkan keselamatan), kepada malaikat-malaikat yang jatuh/berdosa. Yang biasanya dirujuk sebagai referensi pendukung terhadap pandangan ini ialah 2Ptr. 2:4, 5 (Allah menyerahkan malaikat-malaikat yang berdosa ke dalam neraka dan gua-gua yang gelap untuk menyimpan mereka sampai hari penghakiman), dan Yudas 6 (Tuhan menahan malaikat-malaikat yang tidak taat dengan belenggu abadi di dalam dunia kekelaman sampai penghakiman pada hari besar).


Jawaban Alternatif
Tulisan ini akan mengemukakan bahwa pemberitaan Injil–bukan deklarasi kemenangan–dilakukan oleh Tuhan Yesus melalui Roh-Nya di dalam diri dan melalui pelayanan para nabi Perjanjian Lama (1Ptr. 1:11). Pemberitaan ini ditujukan kepada
“roh-roh” di dalam penjara, yaitu kepada
“mereka [yaitu orang-orang] yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat” (ay. 20).

Tafsiran alternatif ini memandang kata “roh-roh” dalam 1Ptr. 3:20 dalam Alkitab Terjemahan Baru (1 dan 2) sebagai terjemahan berlebihan yang tidak perlu.[10] Dalam teks Yunani, kata benda “roh-roh” (Yun: pneumasin) hanya ada dalam ay. 19 dan tidak ada dalam ay. 20. Bentuk datif ‘participle’ apeithēsasin dalam ay. 20 memang merujuk kepada pneumasin dalam ay. 19,[11] namun ‘pneumasin’ dalam ay. 20 tidak secara otomatis berarti roh-roh manusia, atau “roh-roh mereka” seperti dalam Alkitab TB. Petrus memakai kata yang berasal dari kata dasar apeitheō juga dalam 2:8; 3:1 dan 4:17, dan semuanya merujuk kepada orang, dan bukan roh atau arwah, atau malaikat, yang tidak taat.

Kekayaan bahasa metaforis 1Ptr. (dan 2Ptr. ),[12] pemahaman tentang ketegasan modus pandang (worldview) Petrus serta ajarannya[13] menuntut bahwa kata “roh-roh” yang dimaksudkannya bukan berarti roh-roh manusia, melainkan manusia, yaitu orang-orang. Oleh karena itu, maka Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru dengan tepat menerjemahkan apeithēsasin sebagai orang-orang yang tidak taat, dan bukan roh-roh dari orang-orang yang tidak taat.[14] Pemahaman terhadap ketegasan ajaran Petrus, baik di surat Petrus maupun di Kisah Para Rasul[15] memustahilkan pelayanan pemberitaan Injil kepada roh-roh manusia dalam arti roh atau sosok tak berdaging tak bertulang, atau kepada arwah-arwah, atau kepada malaikat-malaikat.

Selain Petrus, istilah pneuma (roh) dalam arti manusia atau ‘orang-orang’ dipakai juga beberapa kali oleh rasul Paulus. Paulus dapat memakai kata pneuma dalam arti psuchē (‘jiwa’; Flp. 1:27), atau sarks (tubuh); atau bahkan manusia secara keseluruhan (2Kor. 2:13; 7:5).[16] Doa Paulus pada bagian penutup dari beberapa suratnya yang menyatakan agar Tuhan Yesus atau kasih karunia-Nya menyertai roh para penerima suratnya (Flp. 4:23; 2Tim. 4:22; Gal. 6:18) berarti bahwa Paulus berdoa agar Tuhan Yesus atau Roh Allah menyertai para penerima suratnya (dan bukan semata menyertai ‘roh’ mereka dalam kondisi terpisah dari tubuh jasmani). Pemakaian kata “roh” dalam arti “kamu” yaitu orang-orang yang menerima surat Paulus mungkin paling jelas terdapat dalam 2Tim. 4:22 (di mana “rohmu” sejajar maknanya dengan “kamu”):
Tuhan menyertai rohmu.
Kasih karunia-Nya menyertai kamu!

Serupa dengan masyarakat modern, termasuk masyarakat Kristen, yang seringkali merujuk manusia dengan istilah ‘jiwa,’[17] Petrus juga memakai psuchē dalam arti orang atau manusia. Delapan kali kata psuchē yang dipakai Petrus selalu merujuk kepada orang.[18] Kata ini dapat diterjemahkan “jiwa” (1:9; 2:25; 4:19), atau “diri” (1:22) dalam arti “orang” (3:20; 2Ptr. 2:14). Petrus tidak memakai psuchē dalam arti jiwa atau roh dalam keterpisahan dari tubuh jasmani. Kata “orang” dalam frasa “delapan orang” yang diselamatkan dari bencana air bah dalam 3:20 berasal dari kata psuchē. Dengan demikian maka berdasarkan pertimbangan terhadap konteks bahasan dan gaya penulisan Petrus (dalam 1Ptr. 3:18-4:6), dapat disimpulkan bahwa psuchē yang diterjemahkan sebagai “orang” dalam 3:20 berfungsi paralel (interchangeable) dengan pneuma dalam 3:19 dan (apeithēsasin) dalam ay. 20, yaitu “orang-orang” yang tidak taat.[19]

Bagi orang-orang yg tidak benar ini Kristus yang benar telah mati (18)
Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh di dalam penjara (19)
Yaitu mereka yg dahulu tidak taat, di mana hanya delapan orang diselamatkan (20)

Selanjutnya pendapat alternatif ini memahami “penjara” (dalam frasa “roh-roh yang di dalam penjara”), bukan dalam arti literal lokasi pengurungan atau penahanan, melainkan sebagai metafora tentang kondisi keterikatan dan kebinasaan dalam dosa dan hawa nafsu.[20] Kondisi ini dilukiskan oleh Petrus sebagai hidup dalam kesia-siaan (1:18), jatuh tersandung (2:8), berada dalam kegelapan (2:9; 2Ptr. 1:19; 2:17), hidup dalam kedagingan yang berperang melawan jiwa (1:11), kondisi kepicikan dalam kebodohan (1:15) dan kebutaan (2Ptr. 1:9), terseret dalam kesesatan (2:25; 2Ptr. 2:18; 3:17) dan kecemaran dunia (2Ptr. 1:20), tercelumpung dalam kubangan ketidaksenonohan (4:4), serta terikat dalam hawa nafsu yang menghukum dan membinasakan (2Ptr. 1:4; 2:3). Kepada “roh-roh” yang menjadi “slaves of corruption”[21] (budak-budak dalam proses pembusukan) inilah Yesus Kristus, melalui nabi Nuh, pergi memberitakan Injil dengan tujuan untuk memberi kebebasan (1:18; 2Ptr. 2:1), kelepasan (2Ptr. 1:18, 20) atau keluputan (2Ptr. 1:4).

Seperti halnya Tuhan Yesus post-existent,[22] melalui pelayanan rasul Petrus (dan para rasul sezamannya) memberitakan Injil dan membawa para penerima Injil, khususnya yang tersebar di daerah Asia Kecil (1:1), kepada Allah (3:18), maka demikian juga Yesus pre-existent, melalui Nuh dan pelayanannya, memberitakan Injil kepada orang-orang berdosa pada zaman Nuh (dan pada zaman Perjanjian Lama pada umumnya, secara umum lewat nabi-nabi Perjanjian Lama; bdk. 1:11) dan berusaha membawa mereka kepada Allah (3:19, 20).


Petrus Tidak Mengajarkan Pekabaran Injil Kepada Roh Orang Mati
Pendapat atau tafsiran alternatif di atas berimplikasi tegas setidaknya terhadap tiga hal. Pertama, bahwa kesaksian dan pekabaran Injil kepada manusia hanya dapat dilakukan kepada manusia dalam kesatuan tubuh-jiwa atau kesatuan tubuh-jiwa roh. Petrus tidak mengajarkan adanya pekabaran Injil terhadap roh-roh dalam keberadaannya yang terpisah dari kesatuan jasad ragawi. Karena penginjilan hanya dilakukan kepada manusia dalam kesatuan/kesadaran tubuh-jiwa-roh, maka tidak ada penginjilan kepada roh atau arwah manusia yang meninggalkan jasad ragawi setelah meninggal dunia. Dengan demikian, maka surat Petrus, seperti halnya bagian-bagian Alkitab yang lain, menunjukkan sikap yang jelas dan tegas terhadap nasib orang yang tidak percaya. Orang yang mati dalam keadaan belum percaya akan menghadapi penghakiman dan kebinasaan kekal.[23]

Implikasi turunan dari poin pertama ialah bahwa penginjilan hanya dilakukan kepada manusia sementara mereka masih hidup. Tidak ada data Alkitab yang menunjukkan penginjilan kepada roh-roh halus atau kepada arwah-arwah, atau kepada malaikai-malaikat. Surat Petrus menyatakan sikap Allah yang tegas terhadap manusia-manusia berdosa dan malaikat-malaikat pemberontak. Allah melemparkan malaikat-malaikat pemberontak ke dalam neraka (2Ptr. 2:4).[24] Sikap Allah kepada orang-orang yang tidak mau bertobat atau nasib dari “roh-roh” atau arwah-arwah orang mati pun jelas dalam surat Petrus. Kesempatan bagi manusia untuk percaya hanya ada sementara mereka masih hidup (1Ptr. 2:6-8). Penghakiman oleh Allah terjadi “tanpa memandang muka” kepada “semua orang” (1:17). “Dan jika orang benar hampir-hampir tidak diselamatkan, apakah yang akan terjadi dengan orang fasik dan orang berdosa?” (4:18). Dengan pengajaran palsu, maka nabi-nabi dan guru-guru palsu “segera mendatangkan kebinasaan” atas dirinya (2Ptr. 2:1, 3). Tuhan menyimpan orang-orang jahat untuk disiksa pada hari penghakiman (2Ptr. 2:9); mereka sama dengan binatang yang hanya dilahirkan untuk ditangkap dan dimusnahkan (ay. 12); mereka akan mengalami “nasib yang buruk” (ay. 13); bagi mereka “telah tersedia tempat dalam kegelapan yang paling gelap” (ay. 17). Pemusnahan dan pembinasaan dengan api yang Allah lakukan terhadap Sodom dan Gomora yang tidak bertobat bahkan dipakai oleh Petrus untuk menyatakan peringatan dari Allah “kepada mereka yang hidup fasik di kemudian hari” (ay. 7).


Tuhan Yesus Memberitakan Injil Melalui Orang Percaya
Implikasi kedua dari jawaban alternatif: Allah dan Tuhan Yesus sendiri terus bekerja, baik dalam zaman Perjanjian Lama maupun dalam zaman Perjanjian Baru untuk membawa manusia kepada diri-Nya sendiri.[25] Inilah sebabnya orang bisa bertobat lewat penampakan Tuhan Yesus melalui mimpi atau melalui tanda khusus. Walaupun Allah dalam Tuhan Yesus berintervensi langsung dalam kasus-kasus tertentu, namun secara normatif Allah dan Tuhan Yesus bekerja menginjili dunia dan manusia di dalam dan melalui orang-orang yang sudah percaya; secara khusus melalui pemberitaan Injil secara verbal.

Pemberitaan Injil melalui kesaksian verbal sering dianggap sebagai tugas yang hanya penuh dengan risiko. Oleh karena itu, orang percaya kadang-kadang merasa cukup bersaksi melalui pola hidup yang baik saja. Bagi Petrus dan para penerima suratnya, pemberitaan Injil memang perlu didukung oleh pola hidup baik (bdk. 3:1, 15b), namun mereka juga perlu “siap sedia pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang” yang meminta pertanggungan jawab atau kesaksian iman mereka.

Surat Petrus ditulis oleh Petrus yang pernah mengalami penjara (Kis 4:1, 3; 5:18), ancaman, intimidasi (4:7, 17, 18; 5:18, 27-28), hingga nyaris mengalami eksekusi (12:4). Dan ia menujukan suratnya kepada jemaat-jemaat yang sedang mengalami ujian dan penderitaan karena iman. Yohanes, teman Petrus dalam kelompok dua belas murid Yesus yang pernah bersama-sama mengalami penjara, ancaman dan intimidasi, secara eksplisit menyatakan bahwa ia aktif bersaksi tentang Tuhan Yesus Kristus supaya “sukacita kami menjadi sempurna” (1Yoh. 1:4). Sukacita seperti ini telah dialami sebelumnya oleh Yohanes, bersama Petrus, di tengah intimidasi dan aniaya (Kis. 5:40, 41). Kesaksian dan pekabaran Injil secara verbal oleh orang percaya bukan hanya mengandung risiko menimbulkan perlawanan dari Musuh dan musuh-musuh Yesus, melainkan juga menjadi sarana atau kesempatan bagi orang percaya untuk mengalami sukacita surgawi. Petrus percaya bahwa kesulitan dan penganiayaan yang dialami oleh karena pemberitaan Injil bukanlah penghambat sukacita dan kebahagiaan hidup. Pemberitaan Injil, bagi mereka yang telah mengalami sukacita Injil, adalah dinamika hidup, sekalipun di tengah penderitaan dan penganiayaan.

Alkitab lebih cenderung menampilkan pekabaran Injil sebagai dampak atau luapan wajar dari keselamatan yang dialami oleh manusia, dan bukan terutama sebagai ‘tugas’, atau ‘kewajiban.’ Orang yang mengalami dinamika keselamatan lewat kehadiran Roh Allah di dalam hidupnya ‘menginginkan’ agar orang lain turut mengalami dinamika keselamatan surgawi. Seperti yang dialami oleh Petrus dan Yohanes, maka sukacita orang percaya sendiri semakin sempurna melalui pekabaran Injil. Oleh karena itu, kesempatan ber-pekabaran Injil lebih merupakan privilese yang menambah sukacita alih-alih perintah yang menjadi beban.[26] Privilese untuk mengalami kuasa Allah, privilese untuk semakin menampilkan keunggulan nilai-nilai surgawi yang abadi, serta privilese untuk mengukuhkan eksistensi sebagai wakil dan umat Allah di dunia berdosa.[27]
Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat
baik? Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan
berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan
janganlah gentar. Saudara-saudara … janganlah kamu heran akan nyala api
siksaan yang datang kepadamu sebagai ujian, seolah-olah ada sesuatu yang luar
biasa terjadi atas kamu. Sebaliknya, bersukacitalah … Berbahagialah kamu, jika
kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada
padamu (3:13, 14; 4:12-14).


Sentralitas Kematian-Kebangkitan Tuhan Yesus
Implikasi ketiga, sentralitas dan finalitas kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus sebagai kunci untuk memahami soal keselamatan manusia di dalam Alkitab. Tafisran-tafsiran umum mengalami kesulitan memahami 1Ptr. 3:19, 20 oleh karena tafsiran-tafsiran tsb. melepaskan 1Ptr. 3:19, 20 dari konteks kalimat yang dimulai dari ayat 18-sehingga kehilangan perspektif salib untuk memahami ayat 19, 20. Menurut ayat 18, Tuhan Yesus mati sekali untuk segala macam dosa dari segala jenis manusia dari segala zaman. Artinya, kematian-kebangkitan Tuhan Yesus Kristus di bukit Golgota tahun 30 Masehi berlaku efektif, tidak hanya bagi manusia sezaman Tuhan Yesus, melainkan juga bagi manusia-manusia lain, baik yang hidup di zaman pra-inkarnasi Yesus maupun di zaman pascakematian-kebangkitan-Nya. Tuhan Yesus mati-bangkit bagi segala jenis dosa dari semua manusia dari segala zaman. Perbedaannya hanya bahwa mereka yang hidup sebelum Yesus mati-bangkit harus percaya kepada keselamatan yang akan tersedia (melalui kematian-kebangkitan-Nya), sedangkan manusia yang hidup di zaman setelah Yesus mati-bangkit harus percaya kepada keselamatan yang telah tersedia itu (melalui kematian-kebangkitan-Nya).




< ![endif]-->
< ![endif]-->

Dalam Alkitab TB, pengabaian hubungan antara ayat 18 dengan ayat 19-20 semakin diperkuat oleh penyisipan kata “kita” dalam klausa “Kristus telah mati untuk segala dosa kita.” Dari ribuan naskah Yunani, kata “kita” dalam frasa “segala dosa kita” hanya didukung oleh 326c.[28] Sebagai Anak Domba yang “telah dipilih sebelum dunia dijadikan” (1:20), Yesus tidak hanya mati untuk dosa-dosa “kita” dalam arti dosa Petrus dan dosa para penerima suratnya di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia dan Bitinia (1:1). Dapat saja dengan penambahan kata “kita,” Alkitab TB maksudkan bahwa Yesus mati untuk dosa-dosa ‘segala manusia’ (dari segala zaman: baik Petrus dan para penerima suratnya serta orang-orang dari zaman Perjanjian Lama). Namun dengan tidak dipakainya kata “kita” dalam teks Yunani, maka kemungkinan besar Petrus tidak bermaksud memberi penekanan pada manusia-nya (yang berdosa), melainkan pada segala dosa (dosa manusianya). Memang Yesus mati bagi manusia, namun Ia mati bagi manusia dalam-dosa: manusia berlumuran dosa.[29]

Kemungkinan penekanan manusia-dalam-dosa oleh Petrus terlihat melalui dua hal. Pertama, Petrus tidak memakai kata “kita” sehingga lebih menonjolkan kata “dosa” sebagai alasan kematian Yesus. Kedua, penonjolan ini diperkuat dengan bentuk genitif jamak “dosa-dosa” (hamartiōn).[30] Dalam kedua suratnya, Petrus berbicara tentang “dosa-dosa” manusia, atau manusia-dalam-dosa, daripada tentang manusianya per se. Dengan mengubah bentuk kuantitatif “dosa-dosa” menjadi bentuk kualitatif segala dosa, maka Alkitab TB (dan NEB) mengubah penekanan Petrus kepada dosa dalam arti berdosa-dosa dalam lumuran dan kubangan dosa (yang kotor, menyiksa-memenjarakan, dan yang akan berakhir dengan penghakiman) kepada dosa dalam arti generik (status umum dosa).


Kekeliruan Eksegesis-Hermenetik Terhadap 1Ptr. 3:19
Teks 1Ptr. 3:19, bahkan 1Ptr. 3:18-4:6, sering dipandang sebagai teks yang mengandung beberapa pertanyaan eksegesis-theologis yang sulit.[31] Namun kesulitan ini tampaknya disebabkan, atau semakin diperberat, bukan oleh Petrus, melainkan oleh penafsiran dengan pendekatan eksegesis dan metode hermenetika yang keliru.

Alih-alih menggumuli maksud Petrus (maksud penulis kitab atau maksud penulis dari bagian teks yang ditafsirkan) dalam konteks surat dan konteks ajaran Petrus sendiri,[32] tafsiran umum terhadap 1Ptr. 3:19 terjebak dalam kesalahan ganda exegetical fallacies. Yaitu kesalahan word-study fallacy (salah paham terhadap makna kata) dan logical fallacy (kesalahan logika).[33] Khususnya campuran antara kesalahan anakronisme semantik (semantic anachronism),[34] kesalahan pembatasan makna kata,[35] pengacauan hubungan antara makna (sense) dengan reference,[36] serta kekacauan world-view (kesalahan karena perbedaan modus-pandang [antara penulis-pembaca semula dari surat Petrus dengan pembaca atau penafsir non-Petrus]).

Oleh karena dalam dunia pembaca-penafsir non-Petrus non-abad pertama kata atau istilah “roh” bermakna sesuatu atau sesosok tak berjasad, dan “penjara” berarti tempat kurungan atau penahanan fisik, maka otomatis kata “roh” dan “penjara” yang dipakai Petrus pun ‘harus’ semakna dengan konsep kata tsb. sebagaimana dipakai dan dipahami oleh pembaca-penafsir non-Petrus non-abad pertama Masehi. Untuk memahami berita di sebuah harian nasional bahwa “Burung Merak Akan Baca Puisi”, maka pembaca harian tsb. perlu mengerti bahwa “Burung Merak” dalam dunia puisi Indonesia tidak berhubungan (langsung secara literal) dengan burung merak (pavo muticus) dalam dunia fauna. Burung Merak yang membaca puisi di Jakarta pada hari Kamis tanggal 4 Maret 2004 ialah budayawan dan penyair W. S. Rendara[37] dan bukan seekor burung yang kepalanya kecil, leher dan kakinya panjang, sayapnya pendek, yang bulunya indah dihiasi dengan lingkaran-lingkaran hijau biru dan bila dibentangkan menyerupai bentuk kipas setengah lingkaran. Yang menentukan makna kata dalam sebuah wacana, bukanlah terutama kamus kontemporer penafsir, melainkan konteks wacana sebagaimana dimaksudkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam wacana bersangkutan. “Darah dan daging perkara” yang, menurut artikel Satjipto Rahardjo di harian Kompas, tidak diperhitungkan dalam putusan kasasi kasus Akbar Tanjung, tidak berhubungan dengan darah dan daging yang mengalir di dalam tubuh makhluk atau manusia, melainkan dengan esensi hukum, yaitu rasa keadilan, yang tidak hanya menjadi urusan legal-positivistik atau yuridis-formal saat putusan dijatuhkan oleh para penegak hukum.[38] “Darah dan daging”-nya Prof. Satjipto Rahardjo mempunyai makna yang sama dengan makna kata “roh” atau “ruh” seperti yang dipakai oleh Muhammad Mihradi yang berbicara tentang ‘roh’ atau “ruh” dari konstitusi (dalam harian yang sama)[39] atau oleh orang lain yang berbicara, katakanlah, tentang roh sepakbola atau roh pendidikan, atau roh apa saja yang lain.

Kekeliruan metodologis dalam tafsiran terhadap 1Ptr. 3:19 terlihat paling mencolok dalam rujukan kepada surat non-Petrus, pada umumnya kepada surat Yudas (ay. 6) dan surat-surat Paulus (2 Korintus 2:14; Efesus 6:11-12; Kolose 2:15).[40] Hermenetika atau eksegesis yang menggumuli maksud penulis harus pertama-tama menelusuri makna teks dalam konteks tulisan atau ajaran penulis sendiri (yang teks atau tulisannya sedang ditafsirkan), sebelum membandingkan hasil tafsiran tsb. dengan makna, maksud atau ajaran penulis lain.[41] Di sinilah letak kekeliruan prosedur eksegesis yang menimbulkan kesulitan yang tidak perlu dalam memahami makna pemberitaan Injil oleh Yesus kepada roh-roh di dalam penjara dalam 1Ptr. 3- penafsir mencari jawab dari Petrus, namun yang ditanyai malah Yudas atau Paulus!


Perbedaan Makna Kērussō dalam 1Ptr. 3:19 Dengan Euanggelizō dalam 4:6?
Kekeliruan pendekatan eksegesis-hermenetik terhadap istilah “roh” dan “penjara” dalam 1Ptr. 3:19 berdampak pada pembedaan makna kata kērussō (3:19) dengan kata euanggelizō (4:6).[42] Kērussō dalam 3:19 diartikan sebagai “proklamasi” yang berbeda maknanya dengan euanggelizō yaitu “pekabaran Injil” dalam 4:6. Dengan demikian maka yang diberitakan oleh Tuhan Yesus kepada roh-roh dalam penjara (3:19) bukanlah kabar Injil (yang bertujuan penawaran keselamatan), melainkan proklamasi kemenangan (yang tak berisi penawaran keselamatan).

Akan tetapi pembedaan makna kērussō (3:19) dengan euanggelizō (4:6) dapat dilakukan dengan mengabaikan beberapa hal yang penting dalam menentukan makna suatu kata atau maksud suatu wacana. Secara khusus dalam upaya memahami maksud Petrus, pembedaan makna kata kērussō dengan euanggelizō dalam 1Ptr. 3 dan 4 mengabaikan dua hal. Pertama, kesamaan substitusional (interchangeability) istilah kērussō dengan euanggelizō serta istilah lain sejenisnya dalam surat Petrus; bahkan mengabaikan seluruh Perjanjian Baru di mana kērussō bermakna “memberitakan Injil” (to preach the gospel), dan bukan menyatakan proklamasi (make a proclamation) sebagaimana pemakaian atau makna kērussō dalam literatur sekuler.[43]

Interchangeabilitas antara kērussō dan euanggelizō dengan kata-kata lain yang sejenis maknanya (yaitu pemberitaan Firman Allah, penyampaikan kehendak Allah atau pemberitaan pekabaran Injil) telah dimulai dari pasal satu surat 1 Petrus. Berita atau ‘karya’ nubuat (prophēteuō) dari para nabi (yang menggumuli dan bersaksi tentang “segala penderitaan yang akan menimpa Kristus dan tentang segala kemuliaan yang menyusul sesudah itu”) dalam 1:10 dirujuk dalam ay. 12 sebagai pemberitaan (ananggellō) atau penyampaikan berita Injil (euanggelizō). Tindakan bernubuat, pemberitaan atau penyampaian berita Injil oleh para nabi ini dirujuk dalam 2Ptr. 1:21 sebagai suatu ‘pembicaraan’–oleh dorongan Roh Kudus orang-orang “berbicara” atas nama Allah.

Dalam modus pandang (worldview) Petrus, Allah memang dapat berbicara secara langsung (hingga suara-Nya audibel oleh telinga jasmani manusia).[44] Namun Petrus juga percaya bahwa Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus bekerja di dalam dan melalui orang-orang percaya. Oleh karena itu maka ia percaya bahwa sebagaimana Allah berbicara melalui nabi-nabi Perjanjian Lama, Ia juga berbicara dan bekerja melalui para rasul dan orang-orang percaya di zaman Perjanjian Baru.[45] Dengan keyakinan inilah Petrus menulis dan memberi nasihat kepada para penerima suratnya di wilayah laut Hitam di sekitar tahun 60-an Masehi:

Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah. Jika ada orang yang berbicara, baiklah ia berbicara sebagai orang yang menyampaikan firman Allah [yaitu ucapan-ucapan yang berasal dari Allah]; jika ada orang yang melayani, baiklah ia melakukannya dengan kekuatan yang dianugerahkan Allah, supaya Allah dimuliakan dalam segala sesuatu karena Yesus Kristus (4:9-11).

Dalam suratnya yang kedua, Petrus merujuk kepada rasul Paulus sebagai orang yang melaluinya Allah juga “berbicara” (laleō), sebagaimana Allah telah berbicara kepada nabi-nabi Perjanjian Lama. Petrus sedemikian mempercayai kenyataan ini sehingga “semua surat” Paulus pun diyakininya mengandung bobot dan wibawa setara dengan tulisan atau nubuat-nubuat Alkitab Firman Allah saat itu, yaitu Perjanjian Lama (2Ptr. 3:15, 16).

Bahwa verba kērussō dalam 3:19 bermakna pemberitaan Injil yang menawarkan keselamatan, dan bukan sekedar proklamasi yang belum tentu atau tidak menawarkan keselamatan kekal, diperkuat oleh sapaan terhadap Nuh dalam bentuk nomina kēruks (pemberita) kebenaran dalam 2Ptr. 2:5. Nuh sang kēruks adalah “pemberita” (TB 1 & 2) atau preacher[46]–yang secara spesifik memberitakan kebenaran Injil keselamatan seperti nabi-nabi Perjanjian Lama lainnya, dan bukan proklamator atau deklarator dalam arti umum.[47]

Kedua, pengabaian kepaduan konteks 1Ptr. 3:18 s/d. 4:6. Pembedaan kērussō (3:6) dengan euanggelizō (4:6) juga bertentangan dengan konteks ayat 19-22 (EDNT 2:291), bahkan dengan seluruh konteks 3:18-4:6. Dalam ayat 18, Petrus berbicara tentang orang percaya, kemudian dalam ayat 19 dan 20 ia mengontraskan orang-orang percaya tsb. dengan “mereka” yang tidak taat. Mereka yang percaya (sehingga mengalami kemerdekaan dari ‘penjara’ dosa lewat iman kepada Yesus) dibawa (oleh Yesus) kepada Allah; sedangkan mereka yang tidak taat (sehingga tetap dalam penjara dosa), tidak diselamatkan pada saat vonis dijatuhkan melalui air bah.

Kontras ini penting dalam surat Petrus, baik 1 Petrus maupun 2 Petrus, oleh karena tujuan penulisan dua kitab ini sama: memperingatkan para pembacanya (2Ptr. 3:1) untuk waspada dan tidak terjebak dalam ejekan dan penderitaan yang dialami oleh orang-orang beriman di tengah lingkungan yang tidak beriman (bdk. 1Ptr. 1:1-2; 2Ptr. 1:1-2). Peringatan ini dilakukan berkali-kali dengan memberi kontras antara keistimewaan penyelamatan oleh iman dalam Yesus Kristus dengan kesia-siaan hidup dalam kubangan dosa yang akan berakhir dalam penghakiman eskatologis.[48] Siapa pun mereka yang memfitnah orang percaya karena hidupnya yang benar di dalam Tuhan, akan “memberi pertanggungan jawab kepada Dia, yang telah siap sedia untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.” Maut dan kematian pun tidak meluputkan orang-orang fasik dan para pemfitnah dari tanggung jawab untuk berdiri di hadapan Sang Hakim, yang menghakimi dengan yang adil (1:17; 2:23). Itulah sebabnya maka Injil telah diberitakan juga dahulu (pada zaman Nuh, 3:19, 20) kepada orang-orang yang sekarang berkeadaan mati (4:5, 6).[49]


SINGKATAN ALKITAB
BIS: Alkitab dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari
TB: Alkitab Terjemahan Baru
TB2: Alkitab Terjemahan Baru Revisi
NASU: New American Standard Bible Updated
NIV: Holy Bible: The New International Version
NJKV: Holy Bible: New King James Version
RSV: The Bible: Revised Standard Version
NRSV: The Bible: New Revised Standard Version
NEB: New English Bible


BIBLIOGRAFI
Barker, Kenneth (Ed). The NIV Study Bible. Grand Rapids: Zondervan, 1985.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1995.
Blum, Edwin A. 1 Peter. The Expositor’s Bible Commentary vol 12. Ed. Frank E. Gaebelein. Grand Rapids: Zondervan, 1981.
Carson, D. A. Exegetical Fallacies. Second Edition. Grand Rapids: Baker dan Carlisle, Cumbria: Paternoster, 1996.
Kaiser Jr., Walter C. et all. Hard Sayings of the Bible. Downers Grove: InterVarsity Press, 1996: 714-16.
Merk, O, “khrugma, khrux, khrussw.” Exegetical Dictionary of the New Testament. Vol 2. Balz, Horst and Gerhard Schneider, eds. Trans. Grand Rapids: Eerdmans, 1991.
Metzger, Bruce M. A Textual Commentary On the Greek New Testament. Second Edition. Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft, 1994.
Metzger, Bruce M. and Murphy (eds). The New Oxford Annotated Bible. New Revised Standard Version. New York: Oxford University Press, 1991, 1994.
Schweizer, E., pneuma dalam Kittlel, Gerhard dan Gerhard Friedrich (eds). Theological Dictionary of the New Testament VI: 398-455. Terj. Geoffrey W. Bromiley. Eerdmans: Grand Rapids, 1968.
Silva, Moises. Biblical Words and Their Meaning. Grand Rapids: Zondervan, 1983.
Smalley, S.S.,”Spirits in Prison,” dalam I.H. Marshall, et al, eds. New Bible Dictionary Third Edition. Leicester, England dan Downers Grove, Illinois: Inter-Varsity Press, 1996: 1129-30.
Sutanto, Hasan. Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Pejanjian Baru (PBIK) Jilid I. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2003.
Zerwick, Max dan Mary Grosvenor. A Grammatical Analysis of the Greek New Testament. Roma: Pontificio Istituto Biblico, 1996.


________________________________________
*Bahan dasar artikel ini disampaikan di Warung Theologi GKI Cibunut (Jl. Van Deventer, Bandung) pada tanggal 7-3-2003; sebagian bahan ini diterbitkan dalam Lembar Bahasan Isu (No. 5 dan 7) Komisi Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Insani GPIB Imanuel Cimahi.



Catatan kaki

[1] 1Ptr. 3:19 Alkitab Terjemahan Baru (TB).
[2] Selain pernyataan proklamasi seperti dipahami dalam NASU, NRSV dan NEB, kecenderungan ini terlihat juga dalam terjemahan NIV (New International Version), RSV (Revised Standard Version) dan NJKV (New King James Version) yang menerjemahkan ekēruksen (hanya) sebagai preached (dan bukan misalnya secara spesifik preached the gospel: mengkhotbahkan/memberitakan Injil-seperti dalam Alkitab Terjemahan Baru-bagi pembaca non-Petrus non abad pertama Masehi).
[3] Selanjutnya surat Petrus dalam tulisan ini dirujuk sebagai “Petrus” saja.
[4] Empat subpertanyaan masih bisa dilanjutkan dengan pertanyaan tentang makna frasa “menurut Roh” (ayat 18). Apakah artinya Tuhan Yesus dibangkitkan “menurut Roh”? Apakah “menurut Roh” sebagaimana dipahami Alkitab TB, atau “secara rohani” (BIS), atau oleh Roh (by the Spirit: NIV, NKJV), atau di dalam roh (in the spirit: RSV, NASU)–dalam arti: secara rohani (bdk. BIS), dalam kontras terhadap kematian-Nya in the flesh “di dalam atau secara jasmani”? Tulisan ini tidak mungkin mengklaim pembahasan lengkap, apalagi exhaustive, terhadap semua persoalan eksegesis dalam 1Ptr. 3:19, 20. Yang diupayakan oleh tulisan ini ialah sebuah model pembahasan/eksegesis yang secara konsisten menggumuli maksud teks sesuai maksud penulis berdasarkan konteks dekat dari teks yang ditafsirkan dalam konteks kitab bersangkutan. Model ini diharapkan dapat mengurangi keraguan yang tidak perlu terhadap ajaran Alkitab, dan sebaliknya, meningkatkan keyakinan bahwa masing-masing kitab dalam Alkitab memadai untuk menolong pembaca/penafsir memahami maksud Allah sebagaimana telah disampaikan-Nya melalui penulis dari teks/kitab yang sedang dibaca/ditafsirkan.
[5] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II, terj., (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 1995), 317.
[6] S. S. Smalley, “Spirits in Prison,” dalam I. H. Marshall, et al., eds, New Bible Dictionary, 3rd Ed. (Leicester, England dan Downers Grove, Illinois: Inter-Varsity Press, 1996), 1129-30.
[7] Kaiser Jr. et all, Hard Sayings of the Bible (Downers Grove: InterVarsity Press, 1996), 714-16.
[8] Kenneth Barker (General Editor), The NIV Study Bible: New International Version (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1985).
[9] New Bible Dictionary atau Ensiklopedia Alkitab Masa Kini menyebut dua tokoh modern di sini, yaitu Bo Reicke dan W.J. Dalton. Pendapat kedua tokoh ini bisa dikatakan mewakili kecenderungan pandangan modern secara umum; sebagaimana terlihat dalam beberapa Alkitab bahasa Inggris yang disebutkan di atas (NASU; NRSV; NEB; NIV; RSV; NJKV).
[10] Bdk. Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru Jilid I (Jakarta: LAI, 2003), yang tidak mencatumkan kata “roh-roh” dalam 1Ptr. 3:20.
[11] Bdk. NRSV yang menerjemahkan apeithēsasin dalam ay. 20 sebagai spirits in prison (”roh-roh di dalam penjara”)-dan bukan: roh-roh mereka atau roh-roh orang yang di dalam penjara.
[12] Beberapa contoh bahasa metafora Petrus adalah sebagai berikut. Ketaatan atau iman dilukiskan sebagai “percikan darah” (1:1). Kesejatian dan keabadian pengharapan orang percaya dilukiskan sebagai sesuatu yang tidak dapat binasa, tidak dapat cemar, tidak dapat layu (1:4). Semua yang hidup adalah seperti rumput dan kemuliaanya seperti bunga rumput (1:24, mengutip Yesaya 40:6-8). Jadilah seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan rohani ((2:2). Datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu (2:4). Biarlah kamu dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani (2:5). Supaya para penerima surat Petrus menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang (berperang) melawan jiwa (2:11). Karena Kristus telah menderita, kamu pun harus mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian (4:1). Yesus telah memikul dosa di dalam tubuh-Nya di kayu salib (2:24). Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh (2:24). Kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang telah kembali kepada gembala (2:25) Mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar, telinga-Nya kepada permohonan mereka, tetapi wajah Tuhan menentang orang-orang jahat (3:12). Aku akan segera menanggalkan kemah (tubuhku) ini (2Ptr. 1:13, 14).
[13] Jawaban atau tafsiran umum terhadap 1Ptr. 3:19, 20 cenderung memberi kesan bahwa Petrus tidak mempunyai sikap/ajaran yang tegas bahwa penginjilan hanya dapat dilakukan kepada orang hidup atau sebaliknya, orang yang sudah mati, atau arwah-arwah orang mati, tidak dapat dikabari berita Injil.
[14] Terjemahan ay. 20 Alkitab TB bisa “dikoreksi” dengan cara menghilangkan salah satu dari dua kata dalam frasa “roh-roh mereka”. Kurang lebih sama dengan NRSV, Alkitab TB boleh menghilangkan kata “mereka” sehingga ay. 20 bermakna: Yesus pergi memberitakan Injil kepada “roh-roh” saja; atau menghilangkan “roh-roh” sehingga-hampir sama dengan Hasan Sutanto dalam PBIK: Yesus pergi memberitakan Injil kepada “mereka” … dimana hanya delapan “orang” diselamatkan.
[15] Selain dari surat 1, 2Ptr. , ajaran Petrus juga dapat dipelajari dari perkataan dan atau ‘khotbah-khotbah’ Petrus dalam Kisah Para Rasul (pasal 2, khotbah Petrus pada hari Pentakosta; pasal 3, sikap dan pernyataan-pernyataan Petrus di sekitar penyembuhan orang lumpuh di pintu gerbang Bait Allah; pasal 5, sikap Petrus terhadap kasus Ananias dan Safira; pasal 10, 11, khotbah dan pengajaran Petrus dalam kasus pertobatan dan pembaptisan keluarga Kornelius).
[16] E. Schweizer, “pneuma“ dalam Kittel, Gerhard dan Gerhard Friedrich (eds), Theological Dictionary of the New Testament, trans Geoffrey W. Bromiley (Eerdmans: Grand Rapids, 1968), VI:435.
[17] Bandingkan pertanyaan seperti: Menurut sensus tahun sekian, ada sekian jiwa (orang) di RT anu di kelurahan atau desa anu. Atau: Kita merencanakan untuk membuka pelayanan di lokasi ini atau itu oleh karena di sana ada sekian jiwa (anggota jemaat atau bakal anggota jemaat) yang perlu dilayani.
[18] 1Ptr. 1:9, 22; 2:11, 25; 3:20; 4:19; 2Ptr. 2:8, 14.
[19] Bdk. Dalam surat Petrus, malaikat disebut “malaikat” (anggelos: 1:12, 3:22; 2Ptr. 2:4, 11), bukan “roh” (pneuma).
[20] Bdk. kekayaan metafora Petrus pada catatan kaki no. 12.
[21] 2Ptr. 2:20 NRSV.
[22] Post-eksistensi Yesus yang dimaksudkan di sini ialah keberadaan dan karya Yesus pascakebangkitan-kenaikan-Nya ke sorga dan pascapencurahan Roh (Kisah Rasul 2). Alkitab mengemukakan bahwa Tuhan Yesus, yang mati-bangkit-dimuliakan, meneruskan pekerjaan penyelamatan di dunia, dan turut (lewat pelayanan orang percaya): memberitakan Injil, mengajar dan menyelamatkan manusia (Markus 16:20; Matius 28:20; Kisah Para Rasul 1:1 [GNT atau English Bible]).
[23] Teks yang sering dikutip dalam kaitan dengan penghakiman yang menyusuli kematian seseorang ialah Ibrani 9:27. Dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), Ibrani 9:27 berbunyi: Allah sudah menetapkan bahwa manusia mati satu kali saja dan sesudah itu dihakimi.
[24] 1Ptr. 1:9-12 mempunyai implikasi bahwa malaikat-malaikat tidak mengalami dan tidak dapat mengalami keselamatan sebagaimana yang dialami dan dapat dialami oleh manusia.
[25] Bdk. Melalui kematian-Nya, Tuhan Yesus membawa manusia kepada Allah (1Ptr. 3:18). Melalui Yesus, manusia percaya kepada Allah (1:21). Dalam Kristus, Allah memanggil manusia (5:10). Petrus dan para penerima suratnya memperoleh iman “oleh karena keadilan Allah dan Juruselamat kita, Yesus Kristus” (2Ptr. 1:1).
[26] Yang disebut Amanat Agung (Matius 28:19-20; Markus 16:15-16; Lukas 24:47-48; Yoh. 20:21-23) diberikan oleh Tuhan Yesus dengan latar belakang kuasa-Nya sendiri, baik di sorga mapun di bumi. Pekabaran Injil dilakukan dalam kuasa penyertaan-Nya sendiri. Dalam Kisah Rasul 1:8, orang menerima kuasa Roh Kudus dan (bukan ‘supaya’) menjadi saksi Yesus.
[27] Bdk. 1Ptr. 2:21, “Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita dan telah meniggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya”.
[28] Bruce M. Metzger, A Textual Commentary On The Greek New Testament. Second Edition. (Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft, 1994). Bdk. Kristus mati for sins (NIV, RSV, NKJV).
[29] Bdk. Keterlibatan kembali dalam kecemaran dunia (2Ptr. 1:20) dilukiskan sebagai anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya (ay. 22).
[30] Bdk. mis. NIV, NJKV, RSV: Yesus mati for sins.
[31] Edwin A. Blum, 1 Peter dalam The Expositor’s Bible Commentary vol 12:241; Metzger dan Murphy [eds.] dalam New Oxford Annotated Bible. Selain soal penginjilan oleh Tuhan Yesus kepada roh-roh dalam penjara, dua dari kesulitan umum dalam 1Ptr. 3:18-4:6 berhubungan dengan soal baptisan dan masalah “berhenti berbuat dosa.” Jika baptisan dalam 3:21 berarti baptisan air, apakah itu berarti baptisan air berfungsi memberi keselamatan kepada orang yang menerima baptisan air? Apakah orang yang percaya kepada Tuhan Yesus tidak diselamatkan jika tidak menerima baptisan air?
Apakah maksudnya “barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa”? (4:1). Apakah penderitaan badani (karena kebenaran atau demi nama Yesus) menghentikan perbuatan dosa? Kalau “ya,” bagaimana caranya? Mengapa (bisa) demikian? dst.
[32] Secara metodologis, tafsiran terhadap 1Ptr. 3:19 pertama-tama harus menggumuli konteks teks 1Ptr. 3:19 (minimal 3:18- 4:6), kemudian konteks kitab (keseluruhan 1Ptr. ) dan konteks kelompok kitab sepenulis/an (dalam hal ini, 1Ptr. dan 2Ptr. ). Kalaupun ada teks lain yang ikut diobservasi-analisis untuk menentukan makna yang Petrus maksudkan, maka terlebih dahulu harus diperiksa ajaran Petrus sendiri di teks lain (khususnya Kisah Para Rasul, bdk. catatan kaki nomor 15) sebelum akhirnya membandingkan ajaran Petrus dengan ajaran penulis/kitab lain atau kitab-kitab lain di (seluruh) Alkitab.
[33] Bdk. D. A. Carson, Exegetical Fallacies: Second Edition (Grand Rapids, Michigan: Baker; Carlisle, Cumbria UK: Paternoster, 1996), 27-64; 87-124.
[34] Kekeliruan di mana makna kontemporer dari sebuah kata dianggap sama dengan makna kata tsb. dalam zaman sebelumnya. Carson, Exegetical Fallacies, h. 33, memberi contoh kata episkopos. Karena telah berkembang kebiasaan untuk merujuk pemimpin gereja yang membawahi beberapa gereja dengan istilah atau gelar episkopos atau bishop, maka bapa-bapa gereja dari zaman awal gereja Yunani berpendapat bahwa kata episkopos di dalam Perjanjian Baru pun sama maknanya dengan istilah episkopos yang mereka pakai.
[35] Terlalu cepat membatasi makna kata; atau, dengan tidak mempertimbangkan berbagai makna sebuah kata dalam pelbagai konteks, maka tersingkirkan (tidak terpertimbangkan) sebuah kemungkinan makna yang semestinya ikut dipertimbangkan dalam menentukan makna. Bisa juga terjadi kesalahan sebaliknya di mana penafsir memasukkan semua kemungkinan makna dari sebuah kata ke dalam suatu konteks atau wacana (illegitimate totality transfer), padahal konteks atau wacana tsb. cukup mempunyai satu makna saja (dari sebuah kata atau istilah).
[36] Ilmu semantik membedakan simbol (bentuk fonetik atau bentuk tertulis dari sebuah kata), sense (isi yang timbul dalam benak seseorang ketika mendengar atau bertemu dengan sebuah kata), serta referent, yaitu benda atau sesuatu-extralinguistic thing-yang didenotasikan oleh kata tsb. Oleh karena itu, maka makna dari banyak kata dalam bahasa mesti ditentukan oleh relasi dari kata-kata tsb. secara individu terhadap kata-kata lain (Moises Silva, Biblical Words and Their Meaning, [Grand Rapids: Zondervan, 1983], 112). Dari sisi simbol, misalnya, kata “panas” bisa sekelompok dengan “nanas” (karena mempunyai bunyi yang mirip). Dari sisi makna, “panas” bisa sekelompok dengan “dingin” (karena keeratan hubungan semantik). Dari segi referent, “panas” sekelompok dengan “pantai,” “api,” atau “radiator” (entitas ekstralingustis yang menimbulkan asosiasi sejenis).
Singkatnya, makna semantik sebuah kata tidak (selalu) sama dengan makna kata secara individu. Secara semantik, tidak ada basic meaning” atau “inherent meaning” dalam kata. Makna ditentukan oleh konteks kata dalam hubungannya dengan frasa, paragraf, kalimat, wacana, genre, style; tidak hanya secara sintagmatic (relasi antarkata) melainkan juga paradigmatik (pilihan dan penempatan kata).
[37] Harian nasional Suara Pembaruan Minggu, 29 Februari 2004, hlm.16.
[38] Satjipto Rahardjo, “Kasus Akbar Tanjung Belum Selesai,” Kompas 27 Februari 2004, hlm. 4.
[39] R Muhammad Mihradi, “Masih Perlukah Konstitusi?,” Kompas 27 Februari 2004, hlm. 5).
[40] Bdk. Kaiser, Hard Sayings, 715.
[41] Alkitab Firman Allah itu utuh dan merupakan satu kesatuan; namun masing-masing kitab atau kelompok kitab lahir dalam konteks pergumulan dan keperluan-keperluan khusus yang hanya bisa dipahami, atau minimal didekati, dengan tepat, berdasarkan pemahaman yang lebih seksama terhadap konteks dan pergumulan khusus dari masing-masing penulis atau masing-masing kitab. Di sini penafsir perlu mengusahakan menjaga jarak, agar tidak terjadi kekacauan sudut pandang serta pergumulan dan kepentingannya sendiri dengan sudut pandang dan pergumulan penulis atau penerima semula dari teks atau kitab yang sedang ditafsirkan.
[42] Alkitab Terjemahan Baru tidak mengadakan pembedaan ini; baik kērussō (3:19) maupun euanggelizō (4:6) dipahami oleh Alkiab TB sebagai pemberitaan Injil. Pembedaan ini terutama dilakukan oleh Alkitab-Alkitab bahasa Inggris (bdk. catatan kaki 2 dan atau halaman 1)
[43] Max Zerwick & Mary Grosvenor, A Grammatical Analysis of the Greek New Testament (Roma: Pontificio Istituto Biblico, 1996), 711.
[44] 2Ptr. 1:17, 18 merujuk kepada pengalaman Petrus dan teman-temannya ketika menyaksikan pemuliaan Tuhan Yesus oleh Allah Bapa “di atas gunung yang kudus” di mana mereka mendengar “suara dari Yang Mahamulia” di sorga, yang mengatakan: Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.”
[45] Bdk. Paulus pada saat pertobatannya dalam perjalanan ke Damsyik. Atas pertanyaan Paulus tentang siapakah Tuhan yang sedang berbicara kepadanya, Tuhan menjawab, “Akulah Yesus yang kauaniaya itu” (Kis 9:5). Tidak ada catatan (di Alkitab) bahwa Saulus pernah menganiaya Tuhan Yesus secara fisik. Namun dengan menganiaya dan mengancam orang-orang percaya-yang melaluinya dan di dalamnya Tuhan Yesus hadir dan bekerja di tengah dunia -maka Saulus sedang menganiaya Tuhan Yesus.
[46] Alkitab-Alkitab bahasa Inggris yang menerjemahkan kērussō dalam 3:6 sebagai proklamasi toh menerjemahkan kēruks dalam 4:6 sebagai preacher (pemberita atau pengkhotbah), dan bukan proclamator, atau declarer, atau announcer.
[47] Bdk. O. Merk (Exegetical Dictionary of the New Testament Vol. 2), h. 288, 291.
[48] Kontras antara orang percaya dengan orang yang tidak percaya dalam surat Petrus. Orang percaya tidak dipermalukan, orang yang tidak percaya tersandung dan jatuh (1Ptr. 2:6-8). Orang percaya adalah umat Allah, mereka yang tidak percaya adalah non-umat (2:9-10). Orang percaya adalah hamba Allah yang dapat memakai kemerdekaannya dengan baik, orang tak percaya menyalahgunakan kemerdekaannya untuk menyelubungi kejahatan (2:13-17). Istri-istri yang percaya versus suami-suami yang tidak taat kepada Firman (3:1). Mata Tuhan tertuju kepada orang benar, wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat (3:12). Orang percaya perlu siap memberi jawab iman kepada orang-orang tak percaya yang meminta pertanggungan jawab iman (3:15). Jika penghakiman Allah dimulai dari rumah-Nya sendiri, yaitu orang percaya, “bagaimanakah kesudahannya dengan mereka yang tidak percaya pada Injil Allah? Dan jika orang benar hampir-hampir tidak diselamatkan, apakah yang akan terjadi dengan orang fasik dan orang berdosa?” (4:17, 18).
[49] 4:6 NIV: For this is the reason the gospel was preached even to those who are now dead. Sekalipun tidak ada kata now (”sekarang”) dalam bahasa Yunani di ayat ini, namun NIV (menurut NIV Study Bible) menambahkan kata “sekarang” untuk memperjelas bahwa this preaching was a past event (penginjilan ini dilakukan bukan kepada orang yang telah meninggal dunia, melainkan kepada orang hidup-selagi mereka masih hidup).




Sumber: http://www.tiranus.net/?cat=6



Bapak Marthinus Yaroseray, Th.M., Ph.D. Cand. (meninggal: 15 April 2008) adalah dosen tetap di Institut Alkitab Tiranus (IAT) Bandung sejak tahun 1990. Beliau menamatkan studi Sarjana Theologi (S.Th.) dan Master of Divinity (M.Div.) dari Institut Alkitab Tiranus; Master of Theology (Th.M.) dari Singapore Bible College.