22 November 2007

Matius 7:28-29 : THE LAW OF THE KINGDOM

Ringkasan Khotbah : 07 November 2004
The Law of the Kingdom
oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 7:28-29



Kita sudah memahami bahwa tema dari injil Matius adalah King and the Kingdom, Raja dari Kerajaan Surga itu menghadirkan kerajaan-Nya di tengah dunia; Kingdom of Heaven dibawa masuk ke dalam sejarah dan Dia memproklamirkan dengan: “Bertobatlah sebab Kerajaan Sorga sudah dekat“. Berita inilah yang ingin dipaparkan oleh Matius, yaitu bagaimana Kerajaan Sorga itu ditata oleh Sang Raja di tengah dunia dengan memanggil murid-murid dan siapa saja yang Ia memilih untuk menjadi bagian sebagai warga sekaligus pekerja Kerajaan Sorga. Bagian ini telah kita pahami beberapa minggu lalu dan kini kita hendak melihat hukum atau Undang-undang Dasar Kerajaan Sorga yang dicatat oleh Matius di pasal 5 sampai 7.
Matius pasal lima sampai tujuh merupakan kumpulan dari beberapa khotbah Yesus yang berbeda tempat maupun waktunya namun mempunyai pengajaran dan pemikiran total sehingga Matius menjadikannya sebagai satu kesatuan utuh, yaitu bagaimana tatanan atau konsep dari Kerajaan Sorga dan apa yang harus kita lakukan sebagai warga Kerajaan Sorga. Kalau kita hendak memahami khotbah Tuhan Yesus secara kronologis waktu maka sebaiknya kita membacanya dari injil Lukas. Namun Matius melihat pengajaran Tuhan Yesus tersebut sebagai dasar hukum Kerajaan Sorga atau yang sekarang kita kenal dengan Khotbah di Atas Bukit. Sama halnya seperti orang yang hendak memutuskan menjadi warga negara Indonesia, misalnya maka ia harus tunduk pada semua hukum yang berlaku di negara Indonesia. Orang yang tidak mematuhi hukum yang berlaku di negara tersebut maka ia harus menerima akibatnya, yaitu di deportasi atau di penjara. Orang yang melawan undang-undang dasar negara maka itu berarti ia tidak mau menjadi warga negara. Begitu juga sebagai warga Kerajaan Sorga maka kita pun harus memahami dan mematuhi semua hukum atau undang-undang dasar Kerajaan Sorga.
I. Visi Kerajaan Sorga
Prinsip Kerajaan Sorga yang agung dan berbeda dengan ajaran dunia ini diakui sendiri oleh dunia. Mereka mengakui ajaran Kristus sebagai the golden rule, hukum emas. Sebagai orang Kristen yang menjadi bagian dari warga Kerajaan Sorga sudah menjadi kewajiban kita untuk menaati seluruh ketetapan hukum Kerajaan Sorga. Sangatlah disayangkan, hari ini banyak orang yang mengaku diri Kristen tapi tidak mau mematuhi hukum Kerajaan Sorga akibatnya ia tidak tahu bagaimana seharusnya hidup. Matius membukakan inti totalitas dari visi misi Kerajaan Sorga dan bagaimana seharusnya citra Kerajaan Sorga (Mat. 5:1-12). Orang yang menjadi bagian dari Kerajaan Sorga akan merasakan kebahagiaan karena kita termasuk orang yang diberkati, Blessed be those who. Berbahagialah (bhs. Indonesia) dan diberkatilah (bhs. Inggris) akan kita dapatkan kalau mempunyai sifat-sifat Kerajaan Sorga seperti yang diajarkan Kristus.
Konsep bahagia yang diajarkan Tuhan Yesus berbeda bahkan berbalik dengan konsep bahagia yang dipikirkan manusia. Tuhan Yesus mengajarkan berbahagialah orang yang miskin, orang yang dianiaya, orang yang berdukacita namun dunia justru mengajarkan berbahagialah yang kaya. Kalau kita perhatikan, khotbah tentang ucapan bahagia ini sebenarnya bersifat positif dan negatif, dalam hal ini Matius hanya mengambil bagian positifnya saja, kalau kita hendak memahami secara keseluruhan baik positif maupun negatif maka kita dapat membacanya dalam Injil Lukas 6 yang menegaskan dengan jelas perbandingan antara positif dan negatif. Inilah fungsi dari hukum Kerajaan Sorga yang dipaparkan Kristus pada dunia dengan demikian dunia dapat melihat bahwa orang yang telah menjadi warga Kerajaan Sorga maka ia pasti akan mempunyai visi yang sama seperti pengharapan Kristus sebagai Raja yang membuat seluruh tatanan hukum sehingga barangsiapa yang ada di dalamnya maka ia akan diberkati dan merasakan kebahagiaan. Menjalani hidup sesuai dengan visi Tuhan membuat kita mempunyai perjuangan dan semangat hidup dengan demikian kita tidak jadi salah arah karena kita tahu apa yang menjadi tujuan hidup kita, yaitu to glorify Him and enjoyed Him. Setiap orang yang mau menjadi warga Kerajaan Sorga harus tahu visi Kristus yang Ia bukakan sendiri. Ketika Kristus membukakan visi-Nya, Ia tidak membukakan sisi negatifnya karena maksud dan arahnya adalah menuju pada sisi yang positif, yaitu melihat konsep hidup seperti yang Tuhan inginkan. Hal ini tidaklah mudah sebab manusia telah jatuh ke dalam dosa maka konsep dunia selalu berlawanan dengan yang Firman ajarkan. Namun kalau kita dapat berpikir dengan bijak maka kita akan melihat bahwa kebenaran Firman lebih agung dibanding dengan konsep manusia berdosa. Manusia menganggap bahwa kebahagiaan bisa diperoleh kalau hidup kaya namun Tuhan justru menegaskan bahwa yang miskinlah yang akan merasakan kebahagiaan (Luk. 6). Ayat ini diberikan kepada orang Yahudi yang materialis tapi orang harus mengakui bahwa kebenaran Firman yang Kristus ajarkan membawa kita pada kebenaran dan hidup menjadi indah. Inilah yang menjadi visi Kerajaan Sorga.

II. Misi Kerajaan Sorga
Setelah kita mengerti visi lalu apa yang harus kita lakukan dan bagaimana mengerjakannya; visi harus diikuti dengan misi, yaitu jadilah garam dan jadilah terang (Mat. 5:13-16). Garam dan terang merupakan suatu entity, keberadaan yang esensi. Garam bersifat penetrasi, saat garam bereaksi maka secara materi ia akan menghilang namun secara eksistensi ia masih tetap ada. Garam yang berwarna putih tidak menjadikan masakan kita berubah warna namun rasanya dapat kita rasakan. Inilah yang menjadi misi orang Kristen, yaitu keberadaan kita dapat dirasakan oleh orang lain dan mempengaruhi orang lain sehingga menghalangi perbuatan dosa yang hendak mereka lakukan. Dan tugas yang lain adalah menjadi terang yang bersifat radiasi. Cahaya bukanlah sebuah materi dan sampai sekarang masih menjadi perdebatan, termasuk benda padat ataukah benda gas. Sinar adalah entity, tapi gelap bukanlah entity sebab kalau gelap itu berarti tidak adanya terang. Jadi, gelap bukanlah suatu eksistensi tapi hilangnya eksistensi. Gelap tidak bisa mengusir terang sebaliknya justru kalau terang itu datang maka tidak ada lagi gelap. Berbeda dengan filsafat timur yang melihat terang dan gelap sebagai suatu entity yang berlawanan. Tidak! Meskipun ditaruh dalam ruang hampa, terang tetap akan menerobos masuk. Terang dapat juga dihalangi sehingga sekitarnya menjadi gelap namun ketika terang itu dihalangi maka benda yang menghalanginya akan menjadi sangat terang. Lalu sampai seberapa lama dan kuatkah ia mampu menghalangi terang itu? Karena suatu saat ketika benda itu tidak mampu lagi menghalangi terang sehingga terang itu akan menerobos dan gelap pun menjadi hilang. Adalah tugas orang Kristen untuk menjadi terang dan memancarkan terang, menyinari dunia yang gelap. Jadi, untuk menjadi warga Kerajaan Sorga maka kita harus memahami apa yang menjadi visi Sang Raja dengan menjalankan misi dan tugas panggilan warga Kerajaan Sorga, yaitu menjadi garam dan terang dunia.

III. Motivasi Kerajaan Sorga
Alkitab sudah menuliskan The Principal of the Law, hukum yang membuat kita tahu bagaimana caranya menjadi garam dan terang. Hukum Taurat diberikan pada kita supaya kita dapat menjalankan misi itu namun masalahnya ahli-ahli Taurat sudah memberikan interpretasi sebelumnya, hukum tidak dimengerti secara esensi akibatnya pengertian hukum Taurat menjadi menyeleweng. Apa yang ada dalam hukum Taurat dijelaskan dengan lebih tajam dalam visi Kristus. Mengerti aspek hukum berbeda dengan kita mengerti bahasa hukum. Mengerti aspek hukum adalah mengerti esensi motivasi hukum. Kini, dunia modern banyak sekali mempermainkan hukum dengan menginterpretasikan bahasa hukum akibatnya dengan mudahnya hukum dapat dipelintir sedemikian rupa sehingga memungkinkan seseorang untuk lolos dari hukuman. Membunuh dimengerti kalau ia telah menghilangkan nyawa orang lain namun Tuhan menegaskan jika kita membenci orang itu berarti kamu sudah membunuh. Jangan terpaku dengan kalimat, kita harus mengerti secara hakekat hidup di dalam kaitan visi dan misi. Dengan memahami visi misi Kerajaan Sorga barulah kita mengerti tatanan hukum Kerajaan Sorga (Mat. 5:17-48). Seorang Kristen harus berbeda dengan dunia. Kalau dunia mengajarkan keadilan dunia dengan mata ganti mata, gigi ganti gigi namun Kristus mengajarkan kalau seseorang menampar pipi kananmu maka berikanlah pipi kirimu. Kita harus menjalankan visi misi Kerajaan Sorga dengan kasih dan keadilan yang tidak hanya kita mengerti sebatas kalimat tetapi harus kita mengerti secara motivasi dengan demikian dunia akan merasakan garam dan melihat terang kita bercahaya. Hal inilah yang menjadi esensi penting dari Matius pasal 5 tentang khotbah di bukit.

IV. Implikasi Kerajaan Sorga
Matius 6:1–7:11 merupakan implikasi atau penerapan dari hukum Taurat yang menjadi hukum dasar Kerajaan Sorga (Mat. 5) dengan demikian kita tidak hanya sekedar mengerti iman di dalam prinsip-prinsip keagamaan sejati (religius principal) tapi kita juga harus tahu bagaimana menjalankan prinsip tersebut dalam kehidupan sehari-hari (religius action). Kalau kita dapat memahami hal ini maka hal memberi sedekah menjadi berbeda karena saat memberi kita mempunyai visi ingin melihat kebahagiaan seperti Tuhan katakan, kita mempunyai misi menjadi garam dan terang, kita mempunyai prinsip menyatakan motivasi keadilan dan kebenaran. Begitu juga kalau dalam hal berdoa kalau kita lakukan karena kita tahu apa yang menjadi visi, misi dan motivasi maka cara doa kita berbeda dengan dunia dan semua hal yang kita lakukan juga menjadi berbeda, termasuk hal mengumpulkan harta, hal berpuasa, dan lain-lain. Adalah salah kalau kita menerapkan hal berdoa, hal berpuasa, dan hal-hal lain tanpa dikaitkan dengan visi, misi dan motivasi Kerajaan Sorga di Matius 5. Begitu juga dengan doa Bapa Kami tidak boleh dilepaskan dari visi, misi dan motivasi.
Cara Matius menuliskan tentang visi, misi dan motivasi Kerajaan Sorga berbeda dengan Lukas. Matius tidak langsung memberikan perbandingan seperti halnya Lukas, namun perbandingan itu barulah diberikan oleh Matius pada bagian belakang, yaitu setelah ia membicarakan tentang visi, misi dan motivasi, yaitu: 1) pintu besar – pintu kecil (Mat. 7:12-14), 2) nabi sejati – nabi palsu (Mat. 7:15-23), 3) bangunan iman seperti rumah yang dibangun di atas pasir – rumah yang dibangun di atas batu (Mat. 7:24-27). Iman tidak bisa dipaksakan pada seseorang mungkin ada orang yang mau beriman karena diancam akan tetapi hatinya pasti tidak akan pernah mau menerima iman tersebut bahkan seumur hidup ia akan membenci dan tidak mau beriman lagi. Berbeda dengan orang yang beriman sejati karena ia melalui berbagai pergumulan dan pertimbangan barulah ia memutuskan untuk beriman. Tuhan tidak menginginkan orang yang mau beriman pada-Nya karena paksaan atau tipuan karena itu Kristus membukakan fakta dan prinsip Kerajaan Sorga sejak awal supaya orang dapat melihat dan akhirnya memutuskan apakah ia mau beriman atau tidak?

V. Otorisasi Kerajaan Sorga
Sebelumnya kita lebih dulu masuk dalam terminologi supaya tidak salah menafsirkan kalimat “setelah Yesus mengakhiri perkataan-Nya“. Kalau sepintas kita membaca kalimat ini maka orang bisa mempunyai interpretasi: 1) Matius pasal 5 sampai 7 merupakan satu kesatuan khotbah, Yesus hanya mengajar pada tempat dan waktu itu saja. Inilah bahayanya kalau kita berpikir logis karena pikiran kita telah tercemar dengan interpretasi sehingga apabila kita tidak mengkritisi logika kita sendiri maka kita akan terjebak di dalamnya. Yang menjadi pertanyaan adalah kalau kalimat “dan setelah Yesus mengakhiri perkataan-Nya“ dihilangkan, apakah berpengaruh dengan pengajaran Yesus? Kalau memang pengajaran Yesus merupakan satu rangkaian maka tidak adanya kalimat “dan setelah Yesus mengakhiri perkataan-Nya“ sudah menunjukkan kalau pengajaran-Nya memang sudah berakhir sehingga kalimat tersebut bisa dihilangkan. Hati-hati, pernyataan tersebut dapat merusak iman kita karena itu berarti Firman Tuhan tidak berotoritas. Salah! Alkitab adalah Firman Tuhan dan tidak bersalah. Jadi, setiap kata seharusnya memacu kita untuk mempelajari dan menyelidikinya. Kalau kita perhatikan, frasa “Yesus mengakhiri perkataan-Nya itu“ ternyata dipakai berulang kali. Signifikansi ini membuat kita mengerti kalau Matius pasal 5 sampai 7 merupakan kumpulan khotbah. Frasa ini digunakan oleh Matius untuk menandai bahwa ia telah selesai mengumpulkan khotbah Yesus yang merupakan satu pengajaran total dimana satu paket pengajaran ini mempunyai satu pemikiran total. Jadi, kita tahu betapa pentingnya keberadaan frasa ini dengan demikian orang tidak dapat menambahkan kata apapun. Matius juga ingin si pembaca merasa takjub seperti orang-orang pada waktu itu yang takjub mendengar perkataan Yesus. Ajaran Kristus sangatlah agung dan bersifat aktif, yaitu apa yang kau ingin orang lain lakukan terhadapmu lakukanlah itu terlebih dahulu pada orang lain. Bukanlah hal yang mudah bagi seseorang untuk takjub ketika mendengar perkataan Kristus karena pikiran kita telah dibodohkan oleh jaman. Adalah anugerah kalau kita dapat mengerti Firman. Biarlah pengajaran Yesus membuat kita takjub dengan demikian merubah hidup kita dan membawa masuk dalam visi, misi dan motivasi seperti yang Tuhan inginkan sehingga kita menjadi bagian Kerajaan Sorga yang menyatakan kebenaran di tengah dunia. Amin.
(Ringkasan Khotbah ini belum diperiksa oleh Pengkhotbah)
Sumber :

Roma 4:1-5 : DIBENARKAN MELALUI IMAN-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Fokus Iman-1


Dibenarkan Melalui Iman-1

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 4:1-5.

Setelah Paulus memaparkan tentang hubungan iman dan perbuatan yang sebenarnya, maka pada pasal 4, ia mulai menjelaskan aplikasinya di dalam contoh tokoh iman yaitu Abraham.

Pada ayat 1-2, Paulus mengungkapkan, “Jadi apakah akan kita katakan tentang Abraham, bapa leluhur jasmani kita? Sebab jikalau Abraham dibenarkan karena perbuatannya, maka ia beroleh dasar untuk bermegah, tetapi tidak di hadapan Allah.” Di sepanjang sejarah umat manusia, khususnya di dalam Perjanjian Lama, tidak ada satu orang pun yang disebut bapa orang beriman kecuali Abraham. Melalui contoh ini, Paulus ingin menyadarkan orang Yahudi satu konsep bahwa seseorang dibenarkan bukan melakukan serangkaian hukum Taurat, tetapi melalui iman. Kalau benar, manusia dibenarkan karena perbuatan, maka Abraham adalah satu-satunya orang yang harus masuk neraka, karena ia tak memiliki Taurat apalagi menjalankannya. Bukan hanya itu saja, di ayat 2, Paulus juga mengungkapkan bahwa kalau Abraham dibenarkan melalui perbuatan, maka ia memiliki dasar untuk memegahkan diri di hadapan manusia, bukan di hadapan Allah. Kata “bermegah” bisa berarti membanggakan diri. Hal ini benar, karena jika seseorang dibenarkan melalui perbuatan, maka orang itu terus membanggakan diri sebagai orang yang berbuat baik dan cenderung menolak Allah. Para ahli Taurat dan orang Farisi di zaman Tuhan Yesus menunjukkan gejala ini. Mereka adalah para ahli yang membaca, mempelajari dan mengerti Taurat, tetapi herannya makin mengerti Taurat, mereka tidak datang kepada Kristus yang dinubuatkan di dalam Taurat, mengapa? Karena bagi mereka, perbuatan baik sudah cukup dan juga mereka mendambakan Mesias politis yang mampu membebaskan mereka dari penjajahan Romawi. Contoh ini membuktikan bahwa di dalam keberagamaan, tepatlah seperti yang dikatakan oleh Rev. Dr. John R. W. Stott yang dikutip oleh Pdt. Dr. Stephen Tong, manusia tidak sedang mencari Allah, tetapi melarikan diri dari Allah. Sungguh suatu ironis yang mengasihankan. Paulus dahulu juga seperti demikian. Saulus (artinya : si besar), nama Paulus yang terdahulu, adalah orang yang belajar Taurat di bawah bimbingan Gamaliel. Ia adalah orang yang terobsesi ingin membunuh habis orang-orang yang percaya kepada Kristus. Semangat keberagamaan yang ekstrim bisa mengakibatkan orang yang sudah belajar banyak tentang agama bisa bertindak anarkis, misalnya membunuh, dll, dengan dalih “untuk ‘Allah’”. Tetapi, puji Tuhan, Saulus diselamatkan dari obsesinya yang gila itu dan ia diganti namanya menjadi Paulus (si kecil) untuk menjadi saksi Kristus. Di dunia postmodern ini, kita juga menjumpai banyak orang mengaku diri beragama, tetapi benarkah mereka beragama ? TIDAK. Saya akan memberikan ilustrasi. Ketika seorang pria ingin menemui pasangannya dan beberapa waktu berikutnya pasangannya muncul di hadapannya, bagaimana respon si pria ini ? Tentu bahagia, bukan ? Tetapi jika pria ini malahan lari dan marah-marah, lalu memutuskan pasangannya, bagaimana respon orang yang mengetahui hal ini ? Pasti pria ini disebut gila, bukan ? Sama persis dengan realita hidup banyak orang yang mengaku diri beragama. Mereka mengklaim bahwa mereka sedang mencari “Allah”, tetapi herannya ketika Allah mengunjungi ciptaan dan menyatakan diri-Nya di dalam Kristus, mereka tidak datang kepada-Nya, malahan menghina dan bahkan menyalibkan-Nya di Golgota. Itukah orang beragama ? Tahukah kita di Indonesia, orang-orang yang “gemar” melakukan terorisme, membakar gereja, dll BUKAN orang ateis, tetapi orang yang mengaku diri beragama? Tidak usah heran, setiap agama yang terus menekankan perbuatan sebagai syarat untuk dibenarkan/diselamatkan, agama itu pasti tidak baik. Mengapa ? Seperti yang diungkapkan Paulus di ayat 2, agama itu hanya membanggakan diri di hadapan manusia sebagai orang “baik”, tetapi di hadapan Allah, orang itu sama sekali tidak baik. Inilah perbedaan standart ukuran baik dan tidak baik antara Allah dan manusia. Allah selalu melihat esensi (hati), sedangkan manusia dunia selalu melihat fenomena yang pasti bisa salah.

Karena manusia dibenarkan BUKAN melalui perbuatan, maka di ayat 3, Paulus mulai mengajarkan, “Sebab apakah dikatakan nas Kitab Suci? "Lalu percayalah Abraham kepada Tuhan, dan Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran."” Ayat ini dikutip Paulus dari Kejadian 15:6, ketika Abram mempercayai janji Allah yang akan memberikannya keturunan yang banyak seperti bintang-bintang di langit. Ayat ini juga muncul di dalam Galatia 3:6 ketika Paulus juga membicarakan tentang dibenarkan melalui iman. Lalu, bagaimanakah dengan Yakobus 2:21 yang mengatakan bahwa Abraham dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, apakah ini benar ? Kembali, kalau kita mengerti Alkitab, jangan hanya melihat satu ayat saja, tetapi keseluruhan ayat sehingga kita menemukan keserasian dan pengertian yang menyeluruh. Ayat 21 tidak bisa dipisahkan dari ayat 22-23, di mana ayat 22 sedang berbicara mengenai iman yang menghasilkan perbuatan dan ditutup pada ayat 23 yang tetap mengatakan bahwa Abraham dibenarkan melalui iman. Dengan kata lain, kepercayaan Abraham bukan hanya diucapkan di mulut saja, tetapi dilakukan dengan iman yang teguh. Hal ini akan dibahas pada ayat berikutnya. Kembali, kata “percayalah” di dalam ayat 3 ini sama artinya dengan entrust (=mempercayakan diri). Dengan kata lain, Abraham mempercayakan diri kepada/di dalam Tuhan dan Allah memperhitungkannya sebagai kebenaran. Ketika kita membaca terjemahan Inggris (khususnya KJV), pada ayat ini tidak ada kata kerja yang berbeda waktu, tetapi dua-duanya memakai waktu yang sama yaitu bentuk lampau (past tense). Perhatikan terjemahan KJV di dalam ayat ini, “For what saith the scripture? Abraham believed God, and it was counted unto him for righteousness.” Dalam hal ini, terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) salah menerjemahkan ayat ini, “Dalam Alkitab tertulis, "Abraham percaya kepada Allah, dan karena kepercayaannya ini ia diterima oleh Allah sebagai orang yang menyenangkan hati Allah."” Kata “karena” tidak seharusnya muncul, karena kata ini bisa mengakibatkan salah interpretasi. Kalau kita hanya memperhatikan terjemahan BIS, maka kita memiliki asumsi bahwa iman manusia yang penting yang membuat Allah membenarkan manusia itu. Sepintas asumsi ini benar, karena manusia dibenarkan melalui iman, tetapi di dalam theologia Reformed, kita pun belajar bahwa iman adalah pemberian (anugerah) Allah melalui Roh Kudus. Lebih lanjut, iman di dalam bahasa Yunani bisa berarti reliance upon Christ (bergantung kepada Kristus). Sehingga, iman tidak bisa diartikan kepercayaan manusia dengan inisiatifnya sendiri, tetapi anugerah Allah ! Melalui iman yang bergantung sepenuhnya kepada/di dalam Kristus, Allah membenarkan kita atau menjadikan kita benar. Kata “benar” di sini di dalam bahasa Yunani dikaiosunē yang bisa berarti kebenaran keadilan atau equity (=hak menurut keadilan, kewajaran, keadilan). Apa artinya dibenarkan melalui iman ? Matthew Henry di dalam tafsirannya, Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible mengatakan, “he had not whereof to glory before God, it being purely of free grace that it was so imputed, and having not in itself any of the formal nature of a righteousness, further than as God himself was graciously pleased so to count it to him.” Hal ini juga diungkapkan oleh John Gill dengan mengatakan bahwa bukan Abraham yang berjasa terhadap Allah, tetapi Allah mengimputasikan kebenaran di dalam Abraham sehingga ia bisa beriman dan melakukan apa yang diperintahkan-Nya. Umat pilihan-Nya di dalam Kristus juga mengalami anugerah ini. Kita bisa beriman semata-mata karena Allah telah menganugerahkan iman itu melalui tindakan Roh Kudus yang mengefektifkan iman di dalam hati umat pilihan-Nya. Ketika kita bisa beriman di dalam Kristus, ingatlah, itu bukan hasil usaha kita, tetapi murni dari Allah, karena hanya Allah saja yang memulai proses keselamatan kita dan akan menyempurnakannya kelak (Efesus 2:1-5,8-9 ; Yohanes 6:40,44 ; 10:27-29). Inilah definisi iman dengan pengertian yang menyeluruh dari Alkitab yang dapat dipelajari di dalam formulasi iman Reformed/Calvinisme. Di sini pula kita melihat betapa melimpahnya anugerah Allah di dalam hidup kita bahkan ketika kita beriman di dalam Kristus sekalipun kita dahulu berdosa dan terpisah dari Allah dan hal ini mengakibatkan Allah saja yang patut dipuji dan disembah atas segala karunia-Nya bagi kita, umat pilihan-Nya yang percaya.

Lebih dalam lagi, Paulus mulai memberikan sedikit ilustrasi di ayat 4-5, “Kalau ada orang yang bekerja, upahnya tidak diperhitungkan sebagai hadiah, tetapi sebagai haknya. Tetapi kalau ada orang yang tidak bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya diperhitungkan menjadi kebenaran.” Di sini, Paulus mulai membandingkan dua macam orang. Orang pertama adalah orang yang bekerja dan secara otomatis mendapatkan upah, upah ini bukan hadiah, tetapi hak yang harus diterima karena ia sudah menunaikan kewajiban. Sungguh sulit kita menemukan orang-orang Indonesia bisa seperti ini, mau bekerja atau menunaikan kewajiban terlebih dahulu baru menuntut hak. Yang ada justru sebaliknya, menuntut hak dan mengabaikan kewajiban. Kembali, orang yang bekerja dan mendapatkan upah adalah hal yang biasa/lazim, karena upah seseorang diterima sebagai hasil kerja keras yang telah dilakukannya. Ini adalah gambaran orang-orang beragama yang terus menekankan perbuatan baik sebagai syarat diselamatkan. Bagi Paulus, ini adalah sesuatu yang lazim, upah bagi mereka yang telah bekerja adalah hak, bukan hadiah/anugerah (Inggris : grace ; Yunani : charis). Tetapi orang model kedua adalah orang yang tidak bekerja sama sekali dan hanya percaya kepada/di dalam Allah yang membenarkan manusia berdosa, maka iman/kepercayaannya itu diperhitungkan menjadi kebenaran. Di sini, selain kita mendapatkan imputasi kebenaran dari Allah, kita juga belajar konsep kedua dari iman yaitu anugerah bagi kita yang tidak mungkin bisa berusaha. Hal ini memang sudah dijelaskan pada ayat 3, tetapi di ayat 5 ini, Paulus ingin mempertegaskan dan memperdalam ajarannya bahwa orang yang tidak bekerja itu adalah umat pilihan-Nya yang tidak mampu berbuat baik untuk memperkenan Allah, lalu orang yang tidak bekerja itu mempercayakan diri kepada Allah yang membenarkan manusia berdosa, maka iman inilah yang diperhitungkan sebagai kebenaran, mengapa ? Karena iman tidak berdasarkan perbuatan/jasa baik manusia (karena memang tidak layak), tetapi iman ini didasarkan pada kebergantungan total kepada Allah. Di dalam Amsal 3:5, Raja Salomo mengajarkan, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.” Percaya kepada/di dalam Tuhan berarti ada kebergantungan total hanya kepada-Nya dan tidak kepada diri sendiri yang sendiri tidak mungkin bisa diandalkan. Untuk memperoleh pembenaran di dalam Kristus, Paulus tidak berjuang, tetapi ia hanya menerima anugerah dan anugerah itu baru nyata di dalam kehidupannya ketika Tuhan Yesus menemui Paulus di tengah-tengah jalan menuju Damsyik. Petrus dan para rasul Kristus lainnya tidak berjuang agar Tuhan memilih mereka. TIDAK ! Mereka dipilih oleh-Nya murni sesuai dengan kehendak-Nya bukan karena Ia melihat jasa baik mereka di hadapan-Nya. Di sini, kita juga belajar konsep iman ketiga yaitu iman jauh melampaui pemikiran manusia. Mengapa ? Karena iman kita di dalam Kristus tidak berfokus pada perbuatan yang selalu menjadi fokus agama-agama/filsafat-filsafat dunia, tetapi pada anugerah dan karya Allah. Kalau memang iman berfokus pada perbuatan, maka kita semua pasti mati semua karena kita telah berdosa dengan melawan Allah (salah satunya dengan mengatakan bahwa manusia dibenarkan melalui perbuatan yang tanpa iman). Percayalah, iman yang hanya berfokus pada Kristus ini tidak bisa dijumpai pada agama atau filsafat manapun di dunia ini, karena hanya keKristenan berasal dari Allah khususnya dari wahyu khusus Allah ! Ingatlah satu prinsip : agama yang sejati yang berasal dari Allah yang sejati adalah agama yang berfokus kepada karya dan anugerah Allah, bukan pada karya dan kehebatan diri, agama sejati itulah keKristenan yang harus berfokus kepada Kristus ! KeKristenan yang tidak berfokus kepada Kristus tidak ada bedanya dengan agama-agama dunia yang humanis atheis (meskipun mengaku diri ber”tuhan”)! Setelah kita beriman, kita memperoleh kebenaran atau dibenarkan oleh Allah. Pembenaran yang diterima oleh orang model pertama berbeda dengan orang model kedua. Orang model kedua menerima pembenaran/upah bukan sebagai hak, karena memang orang model kedua ini tidak bekerja, tetapi sebagai hadiah/anugerah. Mengapa anugerah ? Karena orang model kedua ini tidak bekerja dan sebenarnya memang tidak mampu bekerja dengan baik (berbuat baik secara sempurna). Orang model kedua itulah gambaran semua umat pilihan-Nya yang sudah berdosa tetapi sudah dilayakkan menerima anugerah pembenaran melalui iman di dalam Kristus. Apa yang telah Allah anugerahkan ini seharusnya mengakibatkan kita sebagai anak-anak-Nya bersyukur senantiasa dan mengerjakan anugerah keselamatan ini di dalam hidup kita untuk memuliakan-Nya.

Di mana kah iman kita berlabuh ? Di dalam diri sendiri ataukah di dalam agama-agama di luar Kristus ? Iman kita menentukan semua pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Ingatlah, iman yang tidak berfokus pada karya Allah akan mengakibatkan seluruh tatanan dunia kita semakin rusak. Hanya ada satu jalan, kembalilah kepada Allah di dalam Kristus, dan berimanlah di dalam-Nya, maka niscaya kita menemukan makna iman dan hidup serta pengharapan sejati yang akan mempengaruhi seluruh pikiran, perkataan dan perbuatan demi kemuliaan-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.


Resensi Buku-31 : PENGHIBURAN BAGI ORANG PERCAYA (Arthur Walkington Pink)

...Dapatkan segera...
Buku
COMFORT FOR CHRISTIANS
(PENGHIBURAN BAGI ORANG PERCAYA)

oleh : Arthur Walkington Pink

Penerbit : Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2005

Penerjemah : Ellen Hanafi.





Allah menghendaki agar kita, umat yang dikasihi-Nya, senantiasa bersukacita, namun dunia berdosa yang penuh tantangan dan cobaan ini begitu menekan dan mendukakan. Selain itu, pergumulan rohani kita sebagai orang percaya juga sering menyeret kita ke dalam kebimbangan dan kesedihan. Oleh karena itulah, penghiburan ilahi sangat diperlukan bagi kehidupan dan pertumbuhan iman kita.

Dalam Penghiburan bagi Orang Percaya, A. W. Pink menguraikan dengan jelas dan sederhana dasar bagi penghiburan kita di dalam Allah, yaitu “Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan,” dan panggilan kita untuk menghibur orang lain dengan penghiburan yang kita terima dari Allah sendiri. Pink juga menyoroti berbagai peristiwa dalam kehidupan yang menyulitkan kita dan mengarahkan kita untuk melihat penghiburan Allah sserta rencana-Nya yang indah di balik semua peristiwa tersebut.





Profil A. W. Pink :
Arthur Walkington Pink lahir di Inggris pada tahun 1886, bermigrasi ke Amerika Serikat untuk menjalani studi di Moody Bible Institute. Ia menggembalakan jemaat di Colorado, California, Kentucky, dan South Carolina sebelum menjadi penginjil keliling pada tahun 1919. Ia kembali ke Inggris pada tahun 1934 dan menetap di Pulau Lewis, Skotlandia, mulai 1940 sampai ia meninggal dua belas tahun kemudian. Sebagian besar tulisannya pertama kali diterbitkan sebagai artikel dalam Studies in the Scriptures yang beredar dari tahun 1922 sampai 1952.