Fokus Iman-1
Dibenarkan Melalui Iman-1
oleh : Denny Teguh Sutandio
Nats : Roma 4:1-5.
Setelah Paulus memaparkan tentang hubungan iman dan perbuatan yang sebenarnya, maka pada pasal 4, ia mulai menjelaskan aplikasinya di dalam contoh tokoh iman yaitu Abraham.
Pada ayat 1-2, Paulus mengungkapkan, “Jadi apakah akan kita katakan tentang Abraham, bapa leluhur jasmani kita? Sebab jikalau Abraham dibenarkan karena perbuatannya, maka ia beroleh dasar untuk bermegah, tetapi tidak di hadapan Allah.” Di sepanjang sejarah umat manusia, khususnya di dalam Perjanjian Lama, tidak ada satu orang pun yang disebut bapa orang beriman kecuali Abraham. Melalui contoh ini, Paulus ingin menyadarkan orang Yahudi satu konsep bahwa seseorang dibenarkan bukan melakukan serangkaian hukum Taurat, tetapi melalui iman. Kalau benar, manusia dibenarkan karena perbuatan, maka Abraham adalah satu-satunya orang yang harus masuk neraka, karena ia tak memiliki Taurat apalagi menjalankannya. Bukan hanya itu saja, di ayat 2, Paulus juga mengungkapkan bahwa kalau Abraham dibenarkan melalui perbuatan, maka ia memiliki dasar untuk memegahkan diri di hadapan manusia, bukan di hadapan Allah. Kata “bermegah” bisa berarti membanggakan diri. Hal ini benar, karena jika seseorang dibenarkan melalui perbuatan, maka orang itu terus membanggakan diri sebagai orang yang berbuat baik dan cenderung menolak Allah. Para ahli Taurat dan orang Farisi di zaman Tuhan Yesus menunjukkan gejala ini. Mereka adalah para ahli yang membaca, mempelajari dan mengerti Taurat, tetapi herannya makin mengerti Taurat, mereka tidak datang kepada Kristus yang dinubuatkan di dalam Taurat, mengapa? Karena bagi mereka, perbuatan baik sudah cukup dan juga mereka mendambakan Mesias politis yang mampu membebaskan mereka dari penjajahan Romawi. Contoh ini membuktikan bahwa di dalam keberagamaan, tepatlah seperti yang dikatakan oleh Rev. Dr. John R. W. Stott yang dikutip oleh Pdt. Dr. Stephen Tong, manusia tidak sedang mencari Allah, tetapi melarikan diri dari Allah. Sungguh suatu ironis yang mengasihankan. Paulus dahulu juga seperti demikian. Saulus (artinya : si besar), nama Paulus yang terdahulu, adalah orang yang belajar Taurat di bawah bimbingan Gamaliel. Ia adalah orang yang terobsesi ingin membunuh habis orang-orang yang percaya kepada Kristus. Semangat keberagamaan yang ekstrim bisa mengakibatkan orang yang sudah belajar banyak tentang agama bisa bertindak anarkis, misalnya membunuh, dll, dengan dalih “untuk ‘Allah’”. Tetapi, puji Tuhan, Saulus diselamatkan dari obsesinya yang gila itu dan ia diganti namanya menjadi Paulus (si kecil) untuk menjadi saksi Kristus. Di dunia postmodern ini, kita juga menjumpai banyak orang mengaku diri beragama, tetapi benarkah mereka beragama ? TIDAK. Saya akan memberikan ilustrasi. Ketika seorang pria ingin menemui pasangannya dan beberapa waktu berikutnya pasangannya muncul di hadapannya, bagaimana respon si pria ini ? Tentu bahagia, bukan ? Tetapi jika pria ini malahan lari dan marah-marah, lalu memutuskan pasangannya, bagaimana respon orang yang mengetahui hal ini ? Pasti pria ini disebut gila, bukan ? Sama persis dengan realita hidup banyak orang yang mengaku diri beragama. Mereka mengklaim bahwa mereka sedang mencari “Allah”, tetapi herannya ketika Allah mengunjungi ciptaan dan menyatakan diri-Nya di dalam Kristus, mereka tidak datang kepada-Nya, malahan menghina dan bahkan menyalibkan-Nya di Golgota. Itukah orang beragama ? Tahukah kita di Indonesia, orang-orang yang “gemar” melakukan terorisme, membakar gereja, dll BUKAN orang ateis, tetapi orang yang mengaku diri beragama? Tidak usah heran, setiap agama yang terus menekankan perbuatan sebagai syarat untuk dibenarkan/diselamatkan, agama itu pasti tidak baik. Mengapa ? Seperti yang diungkapkan Paulus di ayat 2, agama itu hanya membanggakan diri di hadapan manusia sebagai orang “baik”, tetapi di hadapan Allah, orang itu sama sekali tidak baik. Inilah perbedaan standart ukuran baik dan tidak baik antara Allah dan manusia. Allah selalu melihat esensi (hati), sedangkan manusia dunia selalu melihat fenomena yang pasti bisa salah.
Karena manusia dibenarkan BUKAN melalui perbuatan, maka di ayat 3, Paulus mulai mengajarkan, “Sebab apakah dikatakan nas Kitab Suci? "Lalu percayalah Abraham kepada Tuhan, dan Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran."” Ayat ini dikutip Paulus dari Kejadian 15:6, ketika Abram mempercayai janji Allah yang akan memberikannya keturunan yang banyak seperti bintang-bintang di langit. Ayat ini juga muncul di dalam Galatia 3:6 ketika Paulus juga membicarakan tentang dibenarkan melalui iman. Lalu, bagaimanakah dengan Yakobus 2:21 yang mengatakan bahwa Abraham dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, apakah ini benar ? Kembali, kalau kita mengerti Alkitab, jangan hanya melihat satu ayat saja, tetapi keseluruhan ayat sehingga kita menemukan keserasian dan pengertian yang menyeluruh. Ayat 21 tidak bisa dipisahkan dari ayat 22-23, di mana ayat 22 sedang berbicara mengenai iman yang menghasilkan perbuatan dan ditutup pada ayat 23 yang tetap mengatakan bahwa Abraham dibenarkan melalui iman. Dengan kata lain, kepercayaan Abraham bukan hanya diucapkan di mulut saja, tetapi dilakukan dengan iman yang teguh. Hal ini akan dibahas pada ayat berikutnya. Kembali, kata “percayalah” di dalam ayat 3 ini sama artinya dengan entrust (=mempercayakan diri). Dengan kata lain, Abraham mempercayakan diri kepada/di dalam Tuhan dan Allah memperhitungkannya sebagai kebenaran. Ketika kita membaca terjemahan Inggris (khususnya KJV), pada ayat ini tidak ada kata kerja yang berbeda waktu, tetapi dua-duanya memakai waktu yang sama yaitu bentuk lampau (past tense). Perhatikan terjemahan KJV di dalam ayat ini, “For what saith the scripture? Abraham believed God, and it was counted unto him for righteousness.” Dalam hal ini, terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) salah menerjemahkan ayat ini, “Dalam Alkitab tertulis, "Abraham percaya kepada Allah, dan karena kepercayaannya ini ia diterima oleh Allah sebagai orang yang menyenangkan hati Allah."” Kata “karena” tidak seharusnya muncul, karena kata ini bisa mengakibatkan salah interpretasi. Kalau kita hanya memperhatikan terjemahan BIS, maka kita memiliki asumsi bahwa iman manusia yang penting yang membuat Allah membenarkan manusia itu. Sepintas asumsi ini benar, karena manusia dibenarkan melalui iman, tetapi di dalam theologia Reformed, kita pun belajar bahwa iman adalah pemberian (anugerah) Allah melalui Roh Kudus. Lebih lanjut, iman di dalam bahasa Yunani bisa berarti reliance upon Christ (bergantung kepada Kristus). Sehingga, iman tidak bisa diartikan kepercayaan manusia dengan inisiatifnya sendiri, tetapi anugerah Allah ! Melalui iman yang bergantung sepenuhnya kepada/di dalam Kristus, Allah membenarkan kita atau menjadikan kita benar. Kata “benar” di sini di dalam bahasa Yunani dikaiosunē yang bisa berarti kebenaran keadilan atau equity (=hak menurut keadilan, kewajaran, keadilan). Apa artinya dibenarkan melalui iman ? Matthew Henry di dalam tafsirannya, Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible mengatakan, “he had not whereof to glory before God, it being purely of free grace that it was so imputed, and having not in itself any of the formal nature of a righteousness, further than as God himself was graciously pleased so to count it to him.” Hal ini juga diungkapkan oleh John Gill dengan mengatakan bahwa bukan Abraham yang berjasa terhadap Allah, tetapi Allah mengimputasikan kebenaran di dalam Abraham sehingga ia bisa beriman dan melakukan apa yang diperintahkan-Nya. Umat pilihan-Nya di dalam Kristus juga mengalami anugerah ini. Kita bisa beriman semata-mata karena Allah telah menganugerahkan iman itu melalui tindakan Roh Kudus yang mengefektifkan iman di dalam hati umat pilihan-Nya. Ketika kita bisa beriman di dalam Kristus, ingatlah, itu bukan hasil usaha kita, tetapi murni dari Allah, karena hanya Allah saja yang memulai proses keselamatan kita dan akan menyempurnakannya kelak (Efesus 2:1-5,8-9 ; Yohanes 6:40,44 ; 10:27-29). Inilah definisi iman dengan pengertian yang menyeluruh dari Alkitab yang dapat dipelajari di dalam formulasi iman Reformed/Calvinisme. Di sini pula kita melihat betapa melimpahnya anugerah Allah di dalam hidup kita bahkan ketika kita beriman di dalam Kristus sekalipun kita dahulu berdosa dan terpisah dari Allah dan hal ini mengakibatkan Allah saja yang patut dipuji dan disembah atas segala karunia-Nya bagi kita, umat pilihan-Nya yang percaya.
Lebih dalam lagi, Paulus mulai memberikan sedikit ilustrasi di ayat 4-5, “Kalau ada orang yang bekerja, upahnya tidak diperhitungkan sebagai hadiah, tetapi sebagai haknya. Tetapi kalau ada orang yang tidak bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya diperhitungkan menjadi kebenaran.” Di sini, Paulus mulai membandingkan dua macam orang. Orang pertama adalah orang yang bekerja dan secara otomatis mendapatkan upah, upah ini bukan hadiah, tetapi hak yang harus diterima karena ia sudah menunaikan kewajiban. Sungguh sulit kita menemukan orang-orang Indonesia bisa seperti ini, mau bekerja atau menunaikan kewajiban terlebih dahulu baru menuntut hak. Yang ada justru sebaliknya, menuntut hak dan mengabaikan kewajiban. Kembali, orang yang bekerja dan mendapatkan upah adalah hal yang biasa/lazim, karena upah seseorang diterima sebagai hasil kerja keras yang telah dilakukannya. Ini adalah gambaran orang-orang beragama yang terus menekankan perbuatan baik sebagai syarat diselamatkan. Bagi Paulus, ini adalah sesuatu yang lazim, upah bagi mereka yang telah bekerja adalah hak, bukan hadiah/anugerah (Inggris : grace ; Yunani : charis). Tetapi orang model kedua adalah orang yang tidak bekerja sama sekali dan hanya percaya kepada/di dalam Allah yang membenarkan manusia berdosa, maka iman/kepercayaannya itu diperhitungkan menjadi kebenaran. Di sini, selain kita mendapatkan imputasi kebenaran dari Allah, kita juga belajar konsep kedua dari iman yaitu anugerah bagi kita yang tidak mungkin bisa berusaha. Hal ini memang sudah dijelaskan pada ayat 3, tetapi di ayat 5 ini, Paulus ingin mempertegaskan dan memperdalam ajarannya bahwa orang yang tidak bekerja itu adalah umat pilihan-Nya yang tidak mampu berbuat baik untuk memperkenan Allah, lalu orang yang tidak bekerja itu mempercayakan diri kepada Allah yang membenarkan manusia berdosa, maka iman inilah yang diperhitungkan sebagai kebenaran, mengapa ? Karena iman tidak berdasarkan perbuatan/jasa baik manusia (karena memang tidak layak), tetapi iman ini didasarkan pada kebergantungan total kepada Allah. Di dalam Amsal 3:5, Raja Salomo mengajarkan, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.” Percaya kepada/di dalam Tuhan berarti ada kebergantungan total hanya kepada-Nya dan tidak kepada diri sendiri yang sendiri tidak mungkin bisa diandalkan. Untuk memperoleh pembenaran di dalam Kristus, Paulus tidak berjuang, tetapi ia hanya menerima anugerah dan anugerah itu baru nyata di dalam kehidupannya ketika Tuhan Yesus menemui Paulus di tengah-tengah jalan menuju Damsyik. Petrus dan para rasul Kristus lainnya tidak berjuang agar Tuhan memilih mereka. TIDAK ! Mereka dipilih oleh-Nya murni sesuai dengan kehendak-Nya bukan karena Ia melihat jasa baik mereka di hadapan-Nya. Di sini, kita juga belajar konsep iman ketiga yaitu iman jauh melampaui pemikiran manusia. Mengapa ? Karena iman kita di dalam Kristus tidak berfokus pada perbuatan yang selalu menjadi fokus agama-agama/filsafat-filsafat dunia, tetapi pada anugerah dan karya Allah. Kalau memang iman berfokus pada perbuatan, maka kita semua pasti mati semua karena kita telah berdosa dengan melawan Allah (salah satunya dengan mengatakan bahwa manusia dibenarkan melalui perbuatan yang tanpa iman). Percayalah, iman yang hanya berfokus pada Kristus ini tidak bisa dijumpai pada agama atau filsafat manapun di dunia ini, karena hanya keKristenan berasal dari Allah khususnya dari wahyu khusus Allah ! Ingatlah satu prinsip : agama yang sejati yang berasal dari Allah yang sejati adalah agama yang berfokus kepada karya dan anugerah Allah, bukan pada karya dan kehebatan diri, agama sejati itulah keKristenan yang harus berfokus kepada Kristus ! KeKristenan yang tidak berfokus kepada Kristus tidak ada bedanya dengan agama-agama dunia yang humanis atheis (meskipun mengaku diri ber”tuhan”)! Setelah kita beriman, kita memperoleh kebenaran atau dibenarkan oleh Allah. Pembenaran yang diterima oleh orang model pertama berbeda dengan orang model kedua. Orang model kedua menerima pembenaran/upah bukan sebagai hak, karena memang orang model kedua ini tidak bekerja, tetapi sebagai hadiah/anugerah. Mengapa anugerah ? Karena orang model kedua ini tidak bekerja dan sebenarnya memang tidak mampu bekerja dengan baik (berbuat baik secara sempurna). Orang model kedua itulah gambaran semua umat pilihan-Nya yang sudah berdosa tetapi sudah dilayakkan menerima anugerah pembenaran melalui iman di dalam Kristus. Apa yang telah Allah anugerahkan ini seharusnya mengakibatkan kita sebagai anak-anak-Nya bersyukur senantiasa dan mengerjakan anugerah keselamatan ini di dalam hidup kita untuk memuliakan-Nya.
Di mana kah iman kita berlabuh ? Di dalam diri sendiri ataukah di dalam agama-agama di luar Kristus ? Iman kita menentukan semua pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Ingatlah, iman yang tidak berfokus pada karya Allah akan mengakibatkan seluruh tatanan dunia kita semakin rusak. Hanya ada satu jalan, kembalilah kepada Allah di dalam Kristus, dan berimanlah di dalam-Nya, maka niscaya kita menemukan makna iman dan hidup serta pengharapan sejati yang akan mempengaruhi seluruh pikiran, perkataan dan perbuatan demi kemuliaan-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.
No comments:
Post a Comment