27 May 2012

Resensi Buku-169: KEHIDUPAN YANG BERDOA (Paul E. Miller, M.Div.)

Setiap orang Kristen pasti berdoa, namun apakah doa itu? Banyak orang Kristen mendefinisikan doa hanya sebagai rutinitas belaka di gereja atau di sisi lain sebagai mantra ajaib untuk memaksa Tuhan, sehingga makin mreka berdoa, mereka makin berdosa. Lalu, apa arti sebenarnya dari doa?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
KEHIDUPAN YANG BERDOA:
Berhubungan dengan Tuhan di Tengah Dunia yang Sibuk


oleh: Paul E. Miller, M.Div.

Prakata: David W. Powlison, Ph.D.

Penerjemah: Lily Endang Joeliani

Penerbit: OMID Publishing House, Jakarta, 2011



Di dalam bukunya, Paul E. Miller, M.Div. menjelaskan pentingnya doa dan aplikasi praktisnya. Hal ini dimulai dari sikap hati kita ketika kita berdoa yaitu berdoa seperti kanak-kanak yang datang kepada Bapa dengan hati yang tulus dan murni tanpa topeng, belajar untuk tidak berdaya di hadapan Bapa, dan terus mengarahkan hati kepada Bapa untuk mengalahkan kekuatiran di dalam hidup. Dengan berdoa, kita belajar bergantung dan berharap kepada Allah dengan tulus dan hal ini dibedakan oleh Paul Miller dengan prinsip dunia kita yang sekuler yang berpikir segala hal bisa terjadi dengan sendirinya tanpa Allah. Karena pikiran sekuler inilah, akibatnya beberapa orang Kristen (dan banyak orang dunia) enggan meminta kepada-Nya di dalam doa, karena mereka berpikir bahwa mereka bisa melakukannya sendiri. Dengan cara pikir demikian, mereka hidup terpisah dari Allah. Namun di sisi lain, ada kecenderungan beberapa (atau mungkin banyak) orang Kristen yang terlalu sering meminta kepada-Nya dengan memaksa Allah untuk mengabulkan doa-doanya. Di antara dua ekstrem demikian, Paul E. Miller mengajar kita bahwa kita boleh dan bahkan harus meminta kepada Allah di dalam doa karena ada janji-janji Yesus yang luar biasa tentang doa, tetapi kita harus mengerti bahwa ketika kita meminta kepada-Nya, kita harus berserah penuh kepada kedaulatan-Nya yang bekerja di dalam doa kita. Apa pun jawaban Allah terhadap doa kita biarlah itu menjadi pelajaran berharga buat kita, sehingga ketika Allah tidak mengabulkan doa kita, pasti ada maksud Allah tersembunyi yang hendak Ia ajarkan kepada kita, maka menurut Paul Miller, sudah saatnya kita memahami pola ceritanya.
Doa ternyata menurut Paul Miller sangat berkaitan erat dengan kehendak dan pimpinan Allah, sehingga beliau mengaitkan doa dalam kehidupan nyata. Beliau mencontohkan pentingnya kita menggunakan kartu doa untuk mendoakan orang-orang yang kita kasihi sesuai dengan firman Tuhan agar mereka hidup sesuai kehendak-Nya. Kita pun juga perlu mendengarkan suara-Nya di dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan firman Tuhan. Dan tentunya, kita pun harus melihat bagaimana sebuah kisah yang tak terselesaikan (=doa yang tak terjawab) dapat dipakai Allah untuk mendatangkan kemuliaan bagi-Nya sendiri dan berdampak bagi kita. Hampir di setiap bab dalam buku ini, Paul Miller menyertakan kesaksian dan pengalaman pribadi dan orang-orang di sekitarnya, sehingga materi yang diuraikannya di dalam setiap bab menjadi materi pelajaran yang hidup. Biarlah melalui buku ini, kita diajar tentang pentingnya berdoa yang sesuai dengan kehendak Allah.




Rekomendasi:
“Doa; konsep dan praktiknya; mengungkapkan keraguan dan kerinduan kita yang terdalam akan Allah. Paul Miller menangkap bahwa doa menjanjikan suatu karunia yang menghubungkan kita dengan hati Allah dan sebagai jalan untuk mengubah dunia. Paul Miller menuliskan pergumulannya dengan jujur untuk menjalani hidup yang dipenuhi oleh doa. Kesukaannya yang bagaikan kanak-kanak dalam mendengar hati Allah, mengajak kita untuk bersyukur dan membuat kita terpanggil untuk berbicara terbuka pada Allah kita. Buku ini akan membuat kita seolah merasakan hembusan nafas Allah di belakang kita. Biarkan hal itu mengangkat Anda kepada suatu harapan baru.”
Prof. Dan B. Allender, Ph.D.
(salah satu pendiri, mantan Presiden, dan Profesor Konseling di Mars Hill Graduate School dan penulis buku To Be Told dan Leading with a Limp; Master of Divinity—M.Div. dari Westminster Theological Seminary, dan Doctor of Philosophy—Ph.D. dalam bidang Psikologi Konseling dari Michigan State University)

“A Praying Life adalah kesaksian yang sangat menyentuh tentang kuasa Allah dalam doa. Paul Miller membagikan hidup dan hikmat-hikmat Firman Allah untuk menanamkan ke dalam diri kita, pembaca-pembacanya, ‘hati yang menjadi pabrik doa’—yaitu kesukaan untuk berbicara kepada Allah dengan jujur, sehingga hidup kita akan diubahkan, demikian juga orang-orang yang kita doakan.”
Prof. Tremper Longman III, Ph.D.
(Robert H. Gundry Professor of Biblical Studies di Westmont College, Santa Barbara, California dan penulis buku Reading the Bible with Heart and Mind dan Dictionary of the Old Testament: Wisdom, Poetry & Writings.; Bachelor of Arts—B.A. in Religion dari Ohio Wesleyan University; M.Div. dari Westminster Theological Seminary, U.S.A.; dan Master of Philosophy—M.Phil. dan Ph.D. dari Yale University)

“Jika Yesus, atau anugerah penyelamatan Yesus hanyalah suatu hal yang abstrak bagi Anda, Paul Miler akan sangat menolong Anda mengalami kasih Allah supaya menjadi sesuatu yang nyata di dalam hati Anda.”
Rev. Prof. Timothy J. Keller, D.Min.
(pendeta senior di Redeemer Presbyterian Church, New York, U.S.A., Adjunct Professor of Practical Theology di Westminster Theological Seminary, U.S.A., dan penulis buku laris menurut versi New York Times: The Reason for God; Bachelor of Arts—B.A. dari Bucknell University; M.Div. dari Gordon-Conwell Theological Seminary; dan Doctor of Ministry—D.Min. dari Westminster Theological Seminary, U.S.A.)

“Paul Miller menolak untuk memisahkan kehidupan rohani dari kehidupan sehari-hari kita. Dalam buku A Praying Life, ia menunjukkan bagaimana komunikasi yang terus-menerus dengan Kristus dapat membuat perbedaan dalam pengalaman hidup kita, khususnya dalam kehidupan keluarga kita. Buku ini akan menolong Anda menjadikan doa sebagai suatu bagian yang lebih penting lagi dalam kisah hidup Anda dengan menyatukannya ke dalam rutinitas hidup sehari-hari.”
Rev. Philip Graham Ryken, D.Phil.
(Pendeta senior di Tenth Presbyterian Church, Philadelphia, Pennsylvania dan penulis buku The Message of Salvation; B.A. dari Wheaton College, Illinois, U.S.A.; M.Div. dari Westminster Theological Seminary, Philadelphia, U.S.A.; dan Doctor of Philosophy—D.Phil. dari University of Oxford, U.K.)

“Buku ini lebih dari sekadar sebuah buku yang bagus tentang doa. Ini adalah sebuah kisah pergumulan sejati dalam menghidupi iman bahwa Bapa Sorgawi sungguh mengasihi kita. Jika demikian iman kita, maka tidak akan ada yang dapat menghalangi kita untuk berkomitmen berdoa dengan sungguh-sungguh setiap harinya. Paul Miller memaparkan pergumulan-pergumulan yang dialami secara meyakinkan, menyadarkan, dan memberi semangat. Ini adalah sebuah buku tentang doa yang benar-benar membuat Anda ingin berdoa!”
Rev. Prof. Paul David Tripp, D.Min.
(Pendeta di Tenth Presbyterian Church di Philadelphia, Pennsylvania, Professor of Pastoral Life and Care di Redeemer Seminary {dari Westminster Theological Seminary} di Dallas, Texas, dan Presiden dari Paul Tripp Ministries; B.A. dari Columbia Bible College; M.Div. dari Reformed Episcopal Seminary {sekarang: Philadelphia Theological Seminary} di Philadelphia, U.S.A. dan D.Min. dalam bidang Biblical Counseling dari Westminster Theological Seminary, Philadelphia, U.S.A.)

“Di perpustakaan pribadi saya, mungkin ada lebih dari dua puluh judul buku tentang doa, tetapi tidak satu pun yang menawan hati saya dan mendorong saya kepada suatu persekutuan yang menyegarkan dengan Bapa kita, sebesar buku A Praying Life. Akhirnya, ada juga sebuah buku yang menerapkan dampak radikal dari Injil kasih karunia Allah ke dalam doa! Dengan kekaguman yang bagaikan kanak-kanak, hikmat orang bijak, dan ketulusan yang murni, Paul menunjukkan kepada kita bahwa berdoa adalah melihat Yesus secara lebih jelas dan agar kita bertemu Dia secara lebih teratur dalam setiap aspek dan momen yang terjadi dalam hidup kita hari itu. Terima kasih, temanku, untuk mengingatkanku akan hal yang benar-benar penting.”
Rev. Scott W. (Scotty) Smith, M.A.R., D.Min. (Cand.)
(Pendeta dalam bidang Preaching, Teaching and Worship di Christ Community Church, Franklin, Tennessee, U.S.A. dan Adjunt Professor of Practical Theology di Covenant Theological Seminary, U.S.A.; Bachelor of Arts—A.B. dari University of North Carolina, U.S.A.; Master of Arts in Religion—M.A.R. dari Westminster Theological Seminary, U.S.A.; dan kandidat Doctor of Ministry—D.Min. di Covenant Theological Seminary, U.S.A.)

“Kata-kata dan tulisan Paul Miller telah membawa dampak besar bagi saya, tepat pada waktunya. Kini dengan buku A Praying Life, lagi-lagi hadir sebuah karya yang pas pada saat dibutuhkan! Buku ini mengungkapkan bahwa rahasia hidup yang dipenuhi oleh doa adalah memahami benar kisah kehidupan seperti apa yang sedang Anda jalani. Dalam setiap kisah, ada doa; dalam setiap doa, ada kisahnya.”
Charlie Peacock
(Penyanyi dan penulis lagu, wakil sutradara Art House America, dan penulis buku New Way to be Human)

“Seperti orang Kristen lainnya, saya juga berjuang untuk memiliki kehidupan doa yang berarti. Sering kali doa saya terburu-buru, dangkal, dan asal-asalan. Lewat buku A Praying Life, Paul Miller membagikan sebuah cara yang menginspirasi dan dapat menolong kita semua yang ingin dapat berdoa dengan lebih baik lagi. Kisah-kisah di dalamnya begitu menggugah, disertai referensi kitab suci yang kuat, dan prinsip-prinsip Alkitabiah yang membuka wawasan; dengan menjelaskan terlebih dahulu mengenai perihal berdoa, kemudian memberikan saran-saran praktis tentang cara berdoa. Anda akan menikmati membaca buku ini, dan kemudian, saya rasa, akan menjadi takjub menyadari betapa jauh lebih berartinya kehidupan doa Anda sekarang.”
Bob Russell
(Pendeta senior yang telah pensiun di Southeast Christian Church, Louisville, Kentucky dan penulis buku When God Build a Church; alumni Cincinnati Bible Seminary)

“Charles Spurgeon menulis: ‘Doa tidak serta merta membuat kita mampu melakukan sebuah pekerjaan yang lebih besar; pekerjaan yang lebih besarnya, ya doa itu sendiri.’ Buku Paul Miller yang istimewa ini mengajak kita kembali kepada ‘pekerjaan yang lebih besar’, juga mengingatkan kita akan sukacita yang akan kita temukan di dalam hadirat Tuhan dan memperlengkapi kita dengan hal-hal yang praktis mengenai bagaimana cara menangkap kembali keintiman dan kuasa kehidupan yang berdoa.”
Ken Sande
(Presiden dari Peacemaker Ministry)

“Buku yang menyegarkan! Jika Anda bosan dengan permainan doa yang agamawi dan doa hafalan yang berhenti di langit-langit rumah, atau jika Anda curiga bahwa Allah sedang berlibur di suatu tempat, buku ini akan mengubah hidup Anda. Dan jika Anda berpikir unutk menyerah dan berhenti berdoa, jangan lakukan itu! Setidaknya, tundalah sampai Anda membaca buku ini. Jika Anda sudah membacanya, Anda akan berterima kasih kepada saya karena telah menyarankannya bagi Anda.”
Prof. Steve Brown, Litt.D.
(Adjunct Professor of Preaching di Reformed Theological Seminary, U.S.A. dan pernah menggembalakan selama 17 tahun di Key Biscayne Presbyterian Church; B.A. dari High Point College; Bachelor of Sacred Theology—S.T.B. dari Boston University School of Theology; dan Doctor of Letters—Litt.D. dari King College)

“Jujur, realistis, matang, bijaksana, mendalam. Direkomendasikan dengan tulus.”
Prof. J. I. Packer, D.Phil.
(Emerius Professor of Theology di Regent College, Canada; B.A., Master of Arts—M.A., dan D.Phil. dari Corpus Christi College, University of Oxford, U.K.)




Profil Paul E. Miller:
Paul E. Miller, M.Div. adalah direktur dari seeJesus.net, suatu organisasi yang mengembangkan bahan-bahan penelaahan Alkitab interaktif bagi kelompok-kelompok kecil. Beliau menamatkan studi Master of Divinity (M.Div.) di Biblical Theological Seminary, U.S.A. Beliau menulis buku di antaranya: Love Walked Among Us (NavPress), The Prayer Life Study, dan The Person of Jesus Study, suatu bahan pendalaman Alkitab interaktif tentang keajaiban Yesus dan kasih-Nya. Beliau juga banyak bepergian dan mengajar dalam Jesus Weekends, seminar-seminar Person of Jesus, dan seminar-seminar Prayer Life. Paul dan istrinya, Jill memiliki enam anak (Courtney and Ashley yang adalah seorang ibu muda yang sibuk, dua anak laki-laki: John dan Andrew yang telah menikah; anak keempat, Kim mengalami autism; dan anak bungsu, Emily yang sedang studi keperawatan) dan 7 orang cucu.

20 May 2012

Resensi Buku-168: KRISTEN SEJATI: VOLUME III: DOA BAPA KAMI (Prof. James I. Packer, D.Phil.)

Apa arti Kristen? Kristen sejati berarti pengikut Kristus. Bagaimana cara kita sebagai orang Kristen dapat hidup mengikut Kristus? Caranya adalah dengan mengenal Allah dan menaati firman-Nya di dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu cara mengenal Allah dan menaati firman-Nya adalah melalui doa yang memuliakan Allah. Bagaimana caranya?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
KRISTEN SEJATI:
VOLUME III: DOA BAPA KAMI


oleh: Prof. James Innell Packer, D.Phil.

Penerbit: Momentum Christian Literature, Surabaya, 2005

Prakata: Pdt. DR. STEPHEN TONG

Penerjemah:
Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. dan Ev. Susiana Jacob Subeno, B.Th.



Dalam buku ini, Prof. J. I. Packer, D.Phil. memaparkan secara detail isi dari Doa Bapa Kami yang diajarkan Tuhan Yesus sendiri. Setiap isi Doa Bapa Kami diuraikan secara tuntas namun dengan bahasa sederhana oleh Dr. Packer beserta aplikasi praktisnya dalam kehidupan Kristen. Setelah memuliakan Allah melalui frasa “Bapa kami yang ada di Sorga”, Dr. Packer menjelaskan bahwa kita mengajukan 3 permohonan yang berpusat kepada Allah: “dikuduskanlah nama-Mu”, “datanglah kerajaan-Mu”, dan “jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” Setelah itu, permohonan yang berpusat kepada Allah menuntun kita untuk mengajukan 3 permohonan yang berpusat pada manusia, yaitu: “berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”, “ampunilah kami akan kesalahan kami…”, dan “janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami daripada yang jahat.” Setelah 2 macam permohonan itu dinaikkan, maka Doa Bapa Kami kembali ditutup sebuah doksologi (pujian kemuliaan) bagi Allah. Biarlah melalui uraian sederhana dari Dr. J. I. Packer tentang isi Doa Bapa Kami, kita dimampukan melihat doa dari perspektif iman Kristen yang beres.



Profil Dr. J. I. Packer:
Prof. James Innell Packer, B.A., M.A., D.Phil. yang lahir di Gloucester, Inggris, 22 Juli 1926 adalah Board of Governors’ Professor of Theology at Regent College di Vancouver, Canada. Beliau juga adalah kontributor dan editor eksekutif majalah Christianity Today. Beliau juga terlibat sebagai salah satu yang menandatangani Chicago Statement on Biblical Inerrancy yang menegaskan ketidakbersalahan Alkitab. Selain itu, beliau juga melayani sebagai editor umum Alkitab English Standard Version (ESV). Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.); Master of Arts (M.A.); dan Doctor of Philosophy (D.Phil.) di Corpus Christi College, Oxford University, U.K. Buku-buku yang pernah beliau tulis, di antaranya:
•    Fundamentalism and the Word of God (1958; reprinted 1984)
•    Keep In Step With The Spirit: Finding Fullness In Our Walk With God (1984, dicetak ulang 2005)
•    Knowing God (1973, dicetak ulang 1993) ISBN 0-8308-1650-X
•    Evangelism and the Sovereignty of God (1961 by Inter-Varsity Fellowship) (dicetak ulang 1991)
•    A Quest for Godliness: The Puritan Vision of the Christian Life (1994)
•    Concise Theology: A Guide to Historic Christian Beliefs (2001)
•    One Faith: The Evangelical Consensus bersama Thomas Oden (2004)
•    Collected Shorter Writings in four volumes
•    The Redemption and Restoration of Man in the Thought of Richard Baxter (2003, berdasarkan disertasi beliau di Oxford pada tahun 1954)
•    Christianity: The True Humanism bersama Thomas Howard (1985)

17 May 2012

Bagian 3: Alkitab: Cukup dan Jelas (Denny Teguh Sutandio)


APAKAH ALKITAB ITU?
Bagian 3: Alkitab: Cukup dan Jelas

oleh: Denny Teguh Sutandio



Karena Alkitab diwahyukan Allah dan berotoritas, maka secara otomatis, sebagai orang Kristen yang sungguh-sungguh, maka Alkitab itu sudah cukup dan jelas sebagai standar iman dan praktik hidup Kristen. Di sini, kita belajar sifat Alkitab ketiga, yaitu kecukupan dan kejelasan Alkitab.
A.           Alkitab: Cukup
Karena Alkitab diwahyukan Allah dan berotoritas, maka sifat Alkitab yang perlu kita perhatikan adalah Alkitab itu cukup menjadi sumber kebenaran. Kecukupan Alkitab ini berarti:
1.             Hanya Alkitab
Salah satu semboyan dari reformator, Dr. Martin Luther adalah: Sola Scriptura (hanya Alkitab). Artinya, Alkitab sajalah yang harus menjadi pedoman dan sumber kebenaran iman Kristen. Ketika kita ingin membangun doktrin Kristen, kembalilah kepada Alkitab, jangan kepada filsafat, psikologi, dll. Ketika kita ingin membangun etika Kristen yang sehat, kembalilah kepada Alkitab. Biarlah Alkitab sebagai sumber sekaligus penghakim bagi iman, praktik, dan seluruh aspek kehidupan orang Kristen.

2.             Tidak Perlu Sumber-sumber Lain
“Hanya Alkitab” mengarahkan kita untuk mengambil langkah kedua yaitu tidak perlu sumber-sumber lain untuk melengkapi iman Kristen. Jangan salah mengerti bagian ini. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak boleh belajar banyak hal. Kita tentu saja boleh belajar banyak hal, tetapi hal-hal yang kita pelajari hendaklah TIDAK boleh melengkapi iman Kristen yang dibangun di atas dasar Alkitab. Misalnya, apakah kita boleh mempelajari kitab-kitab Kong Hu Cu? Tentu saja boleh. Saya mengoleksi kumpulan kitab filsafat baik dari Kong Hu Cu maupun Lao Tze. Saya sendiri membeli 2 buku dalam bahasa Inggris dan Indonesia yang membahas agama Budha. Saya adalah seorang yang senang belajar agama-agama lain di luar Kekristenan, namun hal-hal tersebut tetap menjadi wacana studi saja, jangan sampai hal-hal tersebut menjadi pelengkap iman Kristen atau bahkan perombak iman Kristen.

3.             Alkitab Di Atas Tradisi, Pengalaman, Dogma, Ilmu, Agama, Filsafat, dll
Kita boleh mempelajari filsafat, agama, tradisi, ilmu, bahkan dogma gereja di mana kita berbakti, namun hendaklah hal-hal tersebut tidak mengikat kita atau menggantikan otoritas Alkitab dalam iman Kristen. Di sini, kita menyimpulkan bahwa otoritas Alkitab harus berada di atas semua hal yang kita pelajari. Artinya, Alkitab menjadi pemimpin sekaligus penghakimi hal-hal yang kita pelajari. Jika hal-hal yang kita pelajari melawan prinsip Alkitab, kita harus berani membuangnya, meskipun hal tersebut laris di dunia ini,[1] namun jika hal-hal yang kita pelajari sesuai dengan prinsip Alkitab, kita harus mempelajarinya.
Di sinilah perbedaan antara paham Sola Scriptura dengan Solo Scriptura. Orang Kristen yang berpaham Sola Scriptura adalah mereka yang menjadikan Alkitab sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang melebihi semua tradisi, ilmu, pengalaman, agama, filsafat, dogma, dll. Ini berarti mereka bukan anti tradisi, pengalaman, dogma, ilmu, filsafat, agama, dll, tetapi mereka menempatkan Alkitab di atas semua hal tersebut. Hal ini bisa kita perhatikan dari para reformator mulai dari Dr. Martin Luther dan Dr. John Calvin. Sebagai penerus Luther, Dr. John Calvin mengutip pendapat-pendapat dari para bapa gereja seperti Augustinus, dll di dalam bukunya yang terkenal: Institutes of the Christian Religion. Tidak ada salahnya kita mengikrarkan Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, Pengakuan Iman Chalcedon; berpegang pada: Pengakuan Iman Westminster, Katekismus Heidelberg, dll, namun semuanya itu harus berada di bawah Alkitab. Alangkah lucunya jika ada orang Kristen yang hafal Pengakuan Iman Westminster, namun tidak mengerti isi dari Yohanes 14:6.
Sedangkan orang Kristen yang berpandangan Solo Scriptura memiliki pandangan ekstrem bahwa karena hanya Alkitab saja menjadi sumber kebenaran, lalu mereka tidak mau belajar pengakuan iman, sejarah gereja, buku-buku theologi, buku-buku sekuler, dll, sehingga mereka terjebak ke dalam fundamentalisme naif.

B.            Alkitab: Jelas
Mengapa kita percaya bahwa Alkitab sudah cukup menjadi standar kebenaran? Karena kita percaya bahwa Alkitab itu jelas isinya menyatakan karya sekaligus kehendak Allah bagi umat-Nya. Apa artinya?
1.             Kejelasan Alkitab Mengakibatkan Orang-orang Kristen Biasa Mampu Menangkap Apa yang Alkitab Katakan
Karena Alkitab jelas mengajar karya dan kehendak Allah bagi umat-Nya, maka siapa pun akan mengerti firman Allah di dalam Kejadian 1:1 berikut ini, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Tidak perlu eksegesis PL dan bahasa Ibrani yang rumit untuk mendapatkan pengertian Kejadian 1:1 ini, karena terjemahan LAI saja sudah jelas mengajar orang-orang Kristen awam yang tak berpendidikan tinggi bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah. Demikian juga firman Kristus di Yohanes 3:16 ini, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Kedua nats PL dan PB ini sudah jelas mengatakan karya dan kehendak Allah bagi kita.
Karena kejelasan Alkitab ini mengakibatkan orang awam pun bisa memahaminya, maka tidak heran, Alkitab PL dan PB mengatakan agar umat-Nya mengajarkan firman-Nya kepada anak-anak mereka.[2] Di PL, Allah sendiri berfirman,
4Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!
5Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.
6Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan,
7haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.
Dari empat ayat di atas, kita belajar bahwa orang Israel dan kita juga harus memiliki pengakuan iman yang beres (ay. 4) yang disusul dengan aplikasi praktisnya yaitu mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi (ay. 5). Pengakuan iman dan aplikasi praktis ini harus diperhatikan dan diajarkan oleh orangtua Israel kepada anak-anak mereka secara berulang-ulang. Caranya? Dengan membicarakannya ketika anak-anak mereka sedang duduk di rumah, dalam perjalanan, berbaring, dan bangun (ay. 7).
Perintah ini diulangi lagi oleh Rasul Paulus di dalam Efesus 6:4, “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.
Selain untuk dimengerti dan diajarkan kepada anak-anak, firman Tuhan juga perlu direnungkan siang dan malam. Pemazmur mengajar kita,
1Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh,
2tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.
Karena firman Tuhan jelas dimengerti, di dalam PB pun, Kristus berulang kali mengutip kitab-kitab PL, misalnya, “Kata Yesus kepada mereka: "Belum pernahkah kamu baca dalam Kitab Suci: Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru: hal itu terjadi dari pihak Tuhan, suatu perbuatan ajaib di mata kita.” (Mat. 21:42) Dokter Lukas mencatat firman Kristus lainnya, “Sebab Aku berkata kepada kamu, bahwa nas Kitab Suci ini harus digenapi pada-Ku: Ia akan terhitung di antara pemberontak-pemberontak. Sebab apa yang tertulis tentang Aku sedang digenapi."” (Luk. 22:37)

2.             Kejelasan Alkitab Tidak Berarti Semuanya Pasti Jelas
Meskipun Alkitab itu jelas isinya dan semua orang bahkan orang non-Kristen pun dapat membacanya, namun perlu diperhatikan bahwa kejelasan Alkitab tidak berarti semuanya pasti jelas. Artinya, Alkitab itu jelas dimengerti dengan bahasa manusia oleh semua manusia, namun Alkitab jelas dimengerti dan kemudian diimani hanya oleh umat pilihan-Nya. Di sini, kita belajar bahwa meskipun Alkitab jelas dimengerti oleh semua orang tanpa kecuali, namun hanya umat pilihan-Nya yang sanggup mengerti dan mengimani isi Alkitab yang jelas tersebut. Pertanyaan selanjutnya, mengapa? Apakah karena umat pilihan-Nya lebih pandai dari mereka yang bukan termasuk umat pilihan? Tidak. Mengerti dan mengimani kejelasan Alkitab bukan sekadar masalah intelektualitas, tetapi masalah kerohanian. Rasul Paulus mengatakan hal ini di dalam 1 Korintus 2:14-15,
14Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani.
15Tetapi manusia rohani menilai segala sesuatu, tetapi ia sendiri tidak dinilai oleh orang lain.
Dengan kata lain, mereka yang bukan termasuk umat pilihan atau istilah Paulus: “manusia duniawi” hanya mampu memahami isi Alkitab dengan pengertian manusia yang berdosa, sehingga jangan heran, mereka menghina salib Kristus. Mengapa? Paulus menjawabnya, “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, …” (1Kor. 1:18) Dari prinsip ini, kita belajar bahwa kejeniusan seseorang tidak menjamin bahwa ia dapat memahami kejelasan Alkitab secara menyeluruh, karena orang yang jenius mungkin saja jenius dalam hal-hal duniawi, namun tidak dalam hal-hal rohani. Jangan heran, ketika orang-orang non-Kristen mencaci maki Alkitab dengan menuduh Alkitab, khususnya Injil, itu palsu, dll melalui berbagai argumentasi yang terlihat “logis” dengan mengutip ayat-ayat Alkitab, sebenarnya mereka tidak pernah mengerti Alkitab secara tuntas, karena mereka hanya mengerti Alkitab hanya sebatas tulisan.
Selain masalah kerohanian, banyak orang non-Kristen tidak mampu menangkap isi Alkitab yang jelas ini disebabkan karena mereka sebenarnya tidak mau mengerti Alkitab dengan perspektif Alkitab. Artinya, orang-orang non-Kristen hanya mau mengerti Alkitab melalui perspektif mereka yang non-Kristen, sehingga jangan heran, mereka mengajukan kembali pertanyaan-pertanyaan “klise” yang sudah ditanyakan berpuluh-puluh tahun dan sudah dijawab, misalnya, “Di Alkitab, ayat mana yang mengatakan bahwa Yesus adalah Tuhan?”, “naskah Injil di dalam Alkitab itu palsu”, dll. Di dalam pola pikir mereka, Alkitab harus dipahami dalam perspektif agama mereka. Namun fakta mengatakan bahwa ketika mereka mendekati Alkitab dengan pola pikir agama mereka (yang tentunya di luar konteks Alkitab), tafsiran mereka benar-benar aneh. Mereka mencomot satu ayat dari Alkitab entah itu PL maupun PB, lalu menafsirkannya sesuai dengan perspektif agama mereka, tanpa memperhatikan konteks aslinya.
Hal ini mirip seperti orang Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat. Karena baru beberapa hari tinggal di Amerika, orang Indonesia ini tidak terlalu menguasai hukum atau peraturan lalu lintas di Amerika, sehingga ketika ia melanggar lalu lintas misalnya dengan melawan arus jalan (jalan yang harus dilalui satu arah, tetapi si pengendara mengendarainya dari arah berlawanan) dan ia ditilang oleh polisi setempat, maka ia akan memberontak dan melawan polisi, seolah-olah polisi Amerika disamakan dengan polisi di Indonesia. Makin ia marah-marah dengan polisi Amerika, ia makin diperkarakan di meja hijau. Persis seperti itulah orang non-Kristen yang memperlakukan Alkitab. Mereka tidak mengerti bagaimana cara menafsirkan Alkitab, tetapi sok tahu menafsirkan Alkitab dengan perspektif agama non-Kristen. Bukankah ini suatu keanehan cara berpikir?

3.             Kejelasan Alkitab dan Pentingnya Penafsiran Alkitab
Dari poin 2 di atas, maka kita menyimpulkan bahwa alasan beberapa orang non-Kristen tidak mengerti isi Alkitab yang jelas adalah alasan rohani sekaligus alasan presuposisi. Jika karena alasan rohani, saya bisa memaklumi alasan orang non-Kristen tidak mengerti Alkitab, namun jika karena alasan presuposisi yang terlalu dipaksakan, bagi saya, orang seperti itu bukan tidak mengerti, tetapi TIDAK MAU mengerti, karena modal “logika” yang dipunyainya adalah “pokoknya.” Orang model ini tidak ada bedanya dengan anak kecil yang ketika jatuh tersandung meja, di mana tentu saja meja yang disalahkan si anak ini. Meja di mana tetap meja, kebenaran Alkitab tetap kebenaran Alkitab, manusia yang salah, ya logika sehatnya adalah manusia yang disalahkan, tetapi yang terjadi: Alkitab yang disalahkan karena tidak sesuai dengan manusia. Suatu kelucuan dan keanehan cara berpikir dari orang yang mengaku diri “pandai” dan “memiliki rasio.”
Dari prinsip di atas, kita belajar bahwa meskipun isi Alkitab jelas, namun Alkitab juga bisa disalah tafsirkan. Oleh karena itu, kita perlu mengerti bagaimana menafsirkan Alkitab yang tepat, sehingga kita sebagai orang Kristen tidak ikut-ikutan konyol seperti orang non-Kristen di atas. Kita perlu belajar cara menafsirkan Alkitab bukan supaya kita terlihat lebih pandai, tetapi agar kita makin mengerti kehendak Allah bagi iman dan hidup kita sehari-hari.



[1] Jangan salah mengerti bagian ini. Ketika saya mengatakan bahwa kita harus membuang bagian yang melawan Alkitab, hal ini TIDAK berarti kita tidak perlu belajar hal-hal yang tidak beres. Maksud saya adalah kita perlu belajar hal-hal yang tidak beres, namun kita jangan mengimaninya atau menjadikannya dasar bagi iman Kristen. Dengan kita belajar hal-hal yang tidak beres, kita mengetahui lubang dari ketidak beresan hal-hal tersebut, agar nantinya kita bisa mengkritisinya dari perspektif Alkitab.
[2] Wayne Grudem, Systematic Theology, 105-106.

13 May 2012

Resensi Buku-167: PENGANTAR TEOLOGIA KRISTEN-1 (Pdt. Daniel Lucas Lukito, D.Th.)

Theologi Kristen adalah satu-satunya theologi yang berbeda total dengan iman dalam agama lain. Mengapa? Karena hanya theologi Kristen yang jelas mendasarkan imannya dari awal hingga akhir pada kedaulatan Allah yang berpribadi yang mutlak. Namun di dalam theologi Kristen sendiri, terdapat variasi pengajaran. Apa saja? Bagaimana theologi Kristen yang sehat mengkritisi berbagai penyimpangan arus theologi tersebut?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
PENGANTAR TEOLOGIA KRISTEN-1

oleh: Pdt. Daniel Lucas Lukito, D.Th.

Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 2002



Di dalam Bagian 1 dalam bukunya, Pdt. Dr. Daniel Lucas Lukito memaparkan hakikat theologi yang meliputi: definisi theologi yang disusul dengan sumber-sumber theologi dan pentingnya sebuah theologi bersistem (theologi sistematika). Selain itu, theologi juga harus berhubungan dengan berbagai macam disiplin lain (misalnya: ilmu dan filsafat). Di Bagian 2, Pdt. Daniel menjelaskan 4 metode bertheologi dari 4 macam theolog baik yang orthodoks maupun dari Neo-Orthodoks: Charles Hodge, Karl Barth, Thomas F. Torrance, dan Paul Tillich. Dan di bagian terakhir bagian 2 ini, beliau menjelaskan bahwa theologi sistematika harus dibangun di atas dasar penyelidikan Alkitab yang akurat dan analistis. Di Bagian 3, beliau menjelaskan tentang materi penelitian theologi yang mencakup perihal wahyu dan rasio: wahyu dalam agama-agama lain, wahyu dan rasio, wahyu umum, dan wahyu khusus. Dan di Bagian 4, beliau menguraikan tuntas tentang Alkitab yang berotoritas dan diinspirasikan. Pengakuan akan otoritas Alkitab harus didahului oleh kepercayaan bahwa Alkitab itu diinspirasikan oleh Allah secara penuh. Keyakinan akan inspirasi Alkitab menjamin kita mempercayai bahwa Alkitab itu tidak bersalah dalam hal-hal sejarah, dll (ineransi). Di dalam iman orthodoks (sesuai ajaran yang benar), Kekristenan Injili menerima Full Inerrancy yang berarti Alkitab tidak bersalah dalam hal sejarah, sains, dll, meskipun maksud ditulisnya Alkitab bukan sebagai buku sejarah, sains, dll.



Profil Pdt. Dr. Daniel Lucas Lukito:
Pdt. Daniel Lucas Lukito, S.Th., M.Th., D.Th. yang lahir di Jakarta tahun 1960 saat ini menjadi Rektor sekaligus dosen Theologi Sistematika dan Theologi Kontemporer di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di SAAT Malang; Master of Theology (M.Th.) di Calvin Theological Seminary, U.S.A.; dan Doctor of Theology (D.Th.) di South East Asia Graduate School of Theology (SEAGST), Filipina.

10 May 2012

Bagian 2: Alkitab Berotoritas (Denny Teguh Sutandio)


APAKAH ALKITAB ITU?
Bagian 2: Alkitab Berotoritas

oleh: Denny Teguh Sutandio



Karena diwahyukan oleh Allah, maka dengan sendirinya, Alkitab itu berotoritas. Artinya, Alkitab itu memiliki otoritas atau wibawa penting dalam iman dan praktik hidup Kristen. Dari mana otoritas Alkitab itu? Apa signifikansi otoritas Alkitab tersebut? Mari kita membahasnya.
A.           Sumber Otoritas Alkitab: Allah
Alkitab itu berotoritas bukan karena Alkitab yang memiliki otoritas di dalam dirinya sendiri, tetapi karena Allah yang mewahyukan Alkitab itulah menjadi sumber otoritas Alkitab. Oleh karena Allah itu berotoritas, maka otomatis firman-Nya yaitu Alkitab juga berotoritas. Oleh karena Allah itu Sumber Kebenaran, Keadilan, dan Kejujuran, maka apa yang difirman-Nya di dalam Alkitab pasti berisi kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Di sini, kita melihat kaitan erat antara Alkitab dan Allah. Ketika kita berani menuduh Alkitab salah, maka itu artinya kita menuduh Allah yang mewahyukan Alkitab itu salah. Jika Allah itu salah, maka logikanya kita sebagai manusia benar. Pertanyaan selanjutnya, apa hak kita sebagai manusia yang telah berdosa ini menganggap diri “benar” dan menuduh Allah salah? Jika kita berani menuduh Allah itu salah, beranikah kita menggantikan Allah sebagai Pencipta sekaligus Pemelihara alam semesta ini? Jangankan mencipta alam, kita sebagai manusia lebih sering merusak alam atau ekstrem lain menyembah alam. Kita sendiri tidak becus bersentuhan dengan alam, lalu dengan hak apa kita bermimpi mau menggantikan Allah?
Prof. Wayne Grudem, Ph.D., D.D. mengemukakan,
Semua kata di dalam Alkitab adalah kata-kata Allah. Oleh sebab itu, tidak mempercayai atau menaatinya sama dengan tidak mempercayai atau menaati Allah sendiri.[1]
Lebih jelas lagi, Prof. Wayne Grudem, Ph.D., D.D. mengungkapkan poin penting berikut ini,
Jika Alkitab mengiyakan sesuatu yang bertentangan dengan fakta, maka Alkitab tidak dapat dipercaya. Dan jika Alkitab tidak dapat dipercaya, maka Allah sendiri juga tidak dapat dipercaya. Mempercayai bahwa Alkitab menegaskan suatu yang salah sama dengan tidak mempercayai Allah sendiri. Tidak mempercayai Allah sendiri berarti menempatkan diri Anda sebagai otoritas yang lebih tinggi dengan pengertian yang lebih dalam terhadap topik itu daripada Allah sendiri.[2]

B.            Signifikansi Otoritas Alkitab
Jika Alkitab berotoritas karena sumber otoritas itu berasal dari Allah, maka apa signifikansinya bagi kita?
1.             Alkitab: Otoritas dalam Menafsirkan Alkitab
Karena sumber otoritas Alkitab adalah Allah, maka biarkanlah Allah menjelaskan arti firman-Nya di dalam Alkitab. Bagaimana caranya? Selain kita harus meminta Roh Kudus menerangi hati dan pikiran kita ketika kita membaca Alkitab, kita perlu menggunakan Alkitab itu sebagai otoritas mutlak dalam menafsirkan Alkitab. Artinya, biarkan Alkitab menjelaskan dirinya sendiri. Caranya adalah dengan kita memperhatikan dengan saksama apa maksud penulis Alkitab menulis hal tersebut, apa konteks historisnya, dll. Jika kita kurang mengerti maksud pengajaran tertentu di dalam suatu kitab karena si penulis Alkitab kurang lengkap membahas pengajaran tersebut di dalam suatu kitab, maka di kitab lainnya, penulis yang sama atau penulis yang berbeda akan membahasnya secara lebih jelas.
Semua hal tersebut ada di dalam prinsip-prinsip dasar maupun khusus dalam menafsirkan Alkitab. Prinsip-prinsip menafsirkan Alkitab TIDAK dimaksudkan membatasi firman-Nya, tetapi sebagai dasar kita dapat mengerti maksud asli penulis sesuai dengan konteks historis yang sebenarnya.

2.             Alkitab: Otoritas dalam Membangun Doktrin dan Praktik Hidup Kristen yang Beres
Selain sebagai otoritas dalam menafsirkan Alkitab, maka Alkitab juga menjadi otoritas mutlak dalam membangun semua pengajaran iman Kristen yang beres. Oleh karena itu, doktrin Alkitab (Bibliologi) merupakan doktrin terpenting di dalam seluruh theologi sistematika.[3] Di dalam Bab 1, halaman 1, paragraf 1 dalam bukunya “Kebenaran yang Memerdekakan”, Prof. Wayne Grudem, Ph.D., D.D. mengungkapkan,
Pandangan apa pun yang bisa dipertanggungjawabkan mengenai suatu keyakinan Kristen seharusnya didasarkan pada apa yang Allah katakan tentang keyakinan tersebut. Dengan demikian ketika kita mulai membahas tentang serangkaian keyakinan dasar Kristen, sangatlah tepat jika kita memulainya dengan membahas dasar dari kepercayaan-kepercayaan ini – firman Allah atau Alkitab.[4]
Di dalam buku “Systematic Theology: An Introduction to Biblical Doctrine”, Dr. Wayne Grudem menempatkan doktrin Alkitab mendahului doktrin Allah sebagai pembahasannya.
Dari pola pikir ini, maka kita berani menyimpulkan bahwa kesalahan banyak orang Kristen dalam membangun iman dan praktik hidup Kristen terletak pada kesalahan cara pandang terhadap Alkitab. Mungkin sekali, mereka memandang Alkitab tidak berotoritas atau meskipun mereka mempercayai Alkitab sebagai firman Allah yang berotoritas, iman mereka hanya berhenti di tataran pengakuan mulut, namun tidak diaplikasikan.
Oleh karena itu, sangat penting bagi orang Kristen untuk menempatkan Alkitab sebagai satu-satunya sumber bagi doktrin dan praktik hidup Kristen. Lalu, bagaimana caranya menempatkan Alkitab sebagai satu-satunya sumber bagi doktrin dan praktik hidup Kristen?
a)            Otoritas Alkitab dalam Membangun Doktrin Kristen
Karena Alkitab adalah satu-satunya sumber iman Kristen, maka dari Alkitab lah, kita harus membangun ajaran Kristen yang bertanggung jawab. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan menyelidiki Alkitab dari PL hingga PB secara tuntas dan komprehensif. Dengan penyelidikan Alkitab secara akurat, maka kita dapat membangun sebuah doktrin Kristen yang utuh dan tidak terpecah-pecah. Sebuah doktrin Kristen yang terpecah-pecah dikarenakan doktrin tersebut dibangun di atas dasar bagian Alkitab tertentu, namun mengabaikan bagian-bagian Alkitab yang lain, akibatnya orang Kristen tersebut menekankan satu doktrin tertentu, lalu mengabaikan doktrin yang lain.
Misalnya, iman Kristen orthodoks percaya bahwa Allah itu 3 pribadi di dalam 1 esensi Allah atau yang disebut Allah Tritunggal. Doktrin ini bukan doktrin yang sembarangan dicetuskan oleh para bapa gereja, tetapi dibangun di atas dasar Alkitab yang jelas. Di dalam PL, konsep ini memang samar-samar, tetapi di dalam PB, konsep ini cukup jelas, meskipun tidak mengeluarkan istilah “Tritunggal.” Di dalam PB, kita membaca firman Kristus sendiri tentang amanat agung,
19Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,
20dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Mat. 28:19-20)
Ketika kita membaca ayat 19 di atas khusus yang digaris bawahi, kita mendapatkan frase “nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” Kata “nama” dalam ayat ini dalam teks Yunaninya: νομα (onoma) merupakan kata benda yang berfungsi sebagai objek langsung (akusatif) dan berbentuk tunggal. Kemudian, penyebutan “Bapa dan Anak dan Roh Kudus” dalam teks Yunaninya:
το πατρς κα το υο κα το γου πνεματος
(tou patros kai tou huiou kai tou hagiou pneumatos).
Kata Yunani το (tou) berarti kata sandang Sang (Ing.: the), lalu kata κα (kai) berarti dan. Sehingga dari teks Yunani, dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Sang Bapa dan Sang Anak dan Sang Roh Kudus. Penempatan kata Sang di depan masing-masing Pribadi: Bapa, Anak, dan Roh Kudus menunjukkan bahwa ketiga pribadi ini berbeda. Oleh karena itu, sudah sangat jelas, penyebutan ketiga pribadi Allah menunjukkan bahwa pribadi Allah bukan satu, tetapi tiga.
Konsep ini diulang kembali oleh Rasul Paulus di dalam suratnya yang kedua kepada jemaat Korintus, Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian. (2Kor. 13:13) Teks Yunani versi GNT (Greek New Testament) berbunyi demikian:
χρις το κυρου ησο Χριστο κα γπη το θεο κα κοινωνα το γου πνεματος μετ πντων μν.
(Hē kharis tou kuriou Iēsou Khristou kai hē agapē tou Theou kai hē koinōnia tou hagiou pneumatos meta pantōn hymōn)
Kembali, kata Yunani το (tou) muncul kembali di depan masing-masing ketiga pribadi Allah, namun di ayat ini, urutannya terbalik dari Matius 28:19.
Rasul Petrus menyebut 3 pribadi Allah ini untuk menjelaskan siapakah orang Kristen sebenarnya, yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah atas kamu. (1Ptr. 1:2)
Dari tiga bagian Alkitab PB ini, maka tidaklah salah ketika kita mengambil kesimpulan bahwa Allah Tritunggal yaitu 3 pribadi Allah yang berbeda namun satu hakikat adalah ajaran Alkitab yang menyeluruh.

b)            Otoritas Alkitab dalam Membangun Praktik Hidup Kristen
Selain untuk membangun doktrin Kristen, Alkitab juga berotoritas dalam membangun praktik hidup Kristen. Artinya, segala sesuatu berkenaan dengan praktik hidup Kristen entah itu kerohanian, etika, kehidupan sosial, pendidikan, politik, ekonomi, hukum, dll harus dibangun di atas dasar Alkitab yang berotoritas. Di sini, kita belajar poin penting bahwa iman Kristen bukanlah iman yang hanya berkonsentrasi pada doktrin, tetapi juga berimplikasi pada kehidupan manusia sehari-hari. Poin ini juga mengajar kita pentingnya integrasi antara iman Kristen dengan semua aspek kehidupan, sehingga kita menjadi anak-anak Tuhan yang hidup berintegritas dan berintegrasi antara iman dan aspek kehidupan.
Bagaimana cara menempatkan otoritas Alkitab dalam membangun praktik hidup Kristen? Sebelumnya, kita harus memperhatikan prinsip penting terlebih dahulu: Alkitab memang menjadi pedoman bagi tingkah laku Kristen yang sehat, namun Alkitab TIDAK mengatur seluruh aspek kehidupan kita hingga detail, misalnya, apakah kita boleh berbisnis MLM (Multi Level Marketing), dll, karena budaya kita berbeda dari budaya Alkitab. Dari prinsip ini, kita belajar bahwa berkenaan dengan aspek kehidupan praktis Kristen, Alkitab hanya memberikan prinsip-prinsip dasar dan penting, selanjutnya sebagai aplikasi praktis, orang Kristen dapat menarik implikasinya masing-masing sesuai dengan prinsip dasar Alkitab tersebut. Perbedaan cara pandang terhadap implikasi dari prinsip dasar Alkitab itu tidak menjadi masalah dan bisa didiskusikan. Oleh karena itu, perbedaan pandangan apakah wanita boleh ditahbiskan menjadi pendeta atau tidak seharusnya tidak perlu menjadi bahan perdebatan, sehingga antar gereja saling berselisih hanya gara-gara masalah tersebut. Berhentilah berdebat hanya karena masalah sekunder bahkan tersier!


[1] Wayne Grudem, Kebenaran yang Memerdekakan, 1.
[2] Ibid., 5.
[3] Di dalam beberapa buku theologi sistematika, ada yang menempatkan doktrin Allah sebagai doktrin terpenting, baru kemudian menyusul doktrin Alkitab. Namun bagi saya, doktrin Alkitab adalah doktrin yang terpenting, karena dari Alkitab, kita baru dapat mengenal Allah secara khusus.
[4] Wayne Grudem, Kebenaran yang Memerdekakan, 1.