11 August 2008

Roma 10:1-3: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-7: Umat Pilihan Allah Sejati dan Konsep Pelayanan Sejati

Seri Eksposisi Surat Roma :
Doktrin Predestinasi-6


“Israel” Sejati atau Palsu-7 :
Umat Pilihan Allah Sejati dan Konsep Pelayanan Sejati


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 10:1-3


Setelah mempelajari tentang kegagalan bangsa Israel disebut sebagai kaum pilihan Allah di ayat 30 s/d 33, Paulus kembali melanjutkan pembahasannya tentang alasan konkrit mengapa mereka gagal dan harapan Paulus agar Israel juga diselamatkan di pasal 10 ayat 1 s/d 3.

Setelah menjelaskan bahwa Israel secara bangsa gagal disebut kaum pilihan Allah karena mereka mementingkan perbuatan baik untuk mencapai kebenaran, maka Paulus berharap agar mereka yang telah berdosa supaya diselamatkan. Pada pasal 10 ayat 1, Paulus mengungkapkan, “Saudara-saudara, keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah, supaya mereka diselamatkan.” Kata “saudara-saudara” dalam terjemahan King James Version (KJV), New King James Version (NKJV) dan American Standard Version (ASV) menggunakan kata brethren yang berarti saudara-saudara seiman (bukan hanya saudara-saudara sekeluarga). Brethren di sini menunjuk kepada saudara-saudara Yahudi. Kepada saudara-saudara seiman ini, Paulus mengharapkan agar bangsa Israel juga diselamatkan. Hal ini terlihat dari perkataan Paulus, “keinginan hatiku” dan “doaku”. Kata “keinginan hatiku” dalam KJV, NKJV, ASV, ESV, dan ISV diterjemahkan my heart’s desire (=keinginan hatiku). Kata desire dalam bahasa Yunani eudokia berarti kindness, wish, purpose (=kebaikan, pengharapan, tujuan). Ini berarti keinginan agar Israel diselamatkan berasal dari hatinya. Hati merupakan esensi/inti hidup, segala sesuatu berasal dari hati. Tuhan Yesus mengajarkan hal serupa di dalam Injil Matius 15:18, “Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.” Paulus adalah seorang hamba Tuhan yang setia dan baik hatinya, karena meskipun ia tahu bahwa tidak semua orang Israel adalah umat pilihan Allah, ia dengan hati yang tulus menginginkan mereka diselamatkan. Keinginan ini tidaklah salah, karena keinginan ini nantinya akan memotivasi seseorang untuk semakin giat mengabarkan Injil. Tetapi keinginan tidak boleh sampai memaksa Tuhan untuk menyelamatkan mereka yang tidak dipilih oleh-Nya sejak kekekalan. Adakah kita juga memiliki keinginan hati yang serupa dengan Paulus yaitu rindu agar bangsa ini (Indonesia) diselamatkan Tuhan, meskipun ada beberapa yang tidak dipilih Allah ? Bukan hanya keinginan hati Paulus yang menginginkan Israel diselamatkan, doa Paulus pun juga memohon kepada Tuhan agar Israel diselamatkan. Kata “doa” dalam KJV diterjemahkan prayer. Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menerjemahkan kata ini sebagai permohonan (halaman 852). Keinginan hati Paulus mengakibatkan ia berdoa dan memohon kepada Tuhan agar Israel diselamatkan. Doa merupakan sarana permohonan belas kasihan dari Tuhan agar Ia melawat umat-Nya. Paulus menggunakan doa sebagai sarana permohonan agar Tuhan berkenan menyelamatkan Israel, meskipun sekali lagi ia tahu bahwa Ia telah memilih beberapa orang untuk diselamatkan, dan menolak sisanya. Predestinasi Allah tidak menyurutkan doa Paulus bagi jiwa-jiwa Israel. Bagaimana dengan kita? Kita seringkali sudah malas memberitakan Injil, malas pula untuk mendoakan mereka yang terhilang dan tersesat dalam dosa. Predestinasi Allah seringkali malahan menyurutkan doa dan semangat kita dalam mengasihi jiwa-jiwa yang tersesat. Paulus adalah teladan yang Tuhan berikan kepada kita agar kita meneladani semangat dan doanya yang berapi-api demi mengasihi jiwa-jiwa yang tersesat akibat dosa. Keinginan hati Paulus ditambah doa yang dipanjatkannya merupakan bukti bahwa Paulus adalah hamba Tuhan yang setia dan tulus. Maukah kita meneladaninya? Mari kita mendoakan bangsa ini agar jiwa-jiwa yang tersesat boleh kembali kepada Kristus, dan kita pun juga harus memberitakan Injil.

Meskipun ia ingin dan berdoa agar Israel diselamatkan, ia tetap menyatakan bahwa tidak semua orang Israel diselamatkan. Mengapa ? Hal ini sudah dijelaskan di ayat sebelumnya (9:32) bahwa mereka mengejar perbuatan baik supaya diselamatkan. Lebih dalam lagi, Paulus menyatakan bahwa alasan tidak semua Israel diselamatkan yaitu karena “mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar.” (ayat 2) Kata “sungguh-sungguh giat” dalam KJV diterjemahkan “have a zeal of God” (=memiliki semangat yang berkobar-kobar bagi Allah). Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan, “bersemangat sekali mengabdi kepada Allah.” Kata ini bisa diterjemahkan bahwa bangsa Israel giat dan rajin beribadah, semangat melayani Tuhan, rajin berpuasa dan berdoa, dan dalam kegiatan-kegiatan religius lainnya. Dari Perjanjian Lama, kita banyak mendapatkan gambaran tersebut, mereka rajin berpuasa, berdoa, belajar Taurat, melayani Tuhan, dll, bahkan tidak pernah lupa untuk mempersembahkan korban bagi Tuhan. Tetapi apa motivasi mereka? Apakah mereka melakukan itu karena didasari oleh motivasi hati yang mencintai Tuhan? TIDAK! Justru, mereka melakukan itu BUKAN dengan motivasi hati yang mencintai Tuhan, tetapi dengan harapan agar Tuhan memberkati mereka dan Tuhan membenarkan mereka. Itulah sebabnya Paulus mengatakan bahwa mereka bersemangat bagi Allah tetapi “tanpa pengertian yang benar.” Pernyataan “tanpa pengertian yang benar” dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) kurang tepat. BIS menerjemahkan, “tidak berdasarkan pengetahuan yang dari Allah.” KJV, ESV, ASV dan NKJV menerjemahkan, “not according to knowledge.” Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menerjemahkannya, “tidak menurut pengetahuan (yang benar)” (halaman 852). Artinya, mereka rajin beribadah dan melayani Tuhan, tetapi sayangnya semangat mereka hanya semangat emosional tanpa didasari oleh motivasi hati yang sesuai dengan Kebenaran Allah. Semangat menggebu-gebu dalam melayani Tuhan dan beribadah TIDAKlah salah, tetapi akan sangat berbahaya jika tanpa didasarkan pada motivasi hati dan pengertian Kebenaran Allah. Hal ini sudah dibukakan oleh Tuhan sejak Perjanjian Lama. Di dalam Yesaya 29:13, Tuhan Allah berfirman, “Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,” Di dalam Amos 5:21-24, Tuhan bersabda, “"Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir."” Dari dua nats Perjanjian Lama, Tuhan membukakan inti ibadah sejati, yaitu bersumber dari motivasi hati dan pengertian yang benar akan Allah dan Firman-Nya. Bagaimana dengan kita ? Di zaman postmodern, kita diterpa oleh dua macam arus keKristenan yang ekstrim. Di satu sisi, golongan Kristen kontemporer sangat giat melayani Tuhan, berapi-api memberitakan Injil, dll, tetapi sayangnya mereka kurang belajar Firman Tuhan. Semangat mereka hanyalah emosional, menggebu-gebu, tetapi percayalah, semangat seperti itu hanya sementara saja. Ketika bahaya mengancam hidupnya, orang yang tadinya semangat melayani Tuhan akan menjadi kendor dan lebih parahnya, bisa menghujat Tuhan. Di sisi lain, golongan Kristen Reformed banyak belajar Firman Tuhan, mengerti banyak theologia, tetapi sayangnya mereka tidak bersemangat lagi memberitakan Injil. Mereka hanya pintar berdebat theologia, adu argumentasi, dll, tetapi hati dan semangat mereka kering dan statis. Kedua arus ekstrim ini tentu salah. Tuhan menginginkan kita seimbang. Paulus sendiri TIDAK melarang kita memiliki semangat yang berapi-api dalam melayani Tuhan, mengapa ? Karena Paulus pun yang sudah mengerti banyak doktrin Firman Allah tetap konsisten dan berapi-api melayani Tuhan. Tuhan melalui Paulus mengingatkan kita untuk belajar Firman Tuhan dahulu baru setelah itu kita mampu melayani Tuhan dengan semangat yang benar. Dengan kata lain, pelayanan sejati adalah pelayanan yang berdasarkan pengertian akan kebenaran Firman Tuhan yang mengarahkan dan memimpin semangat kita dalam melayani-Nya. Sehingga, meskipun ada penderitaan, godaan, fitnahan, dll datang menerpa kita, kita tidak akan goyah, malahan kita semakin kuat dan semakin bersemangat melayani Tuhan. Sekali lagi, Paulus adalah teladan kita. Ia mengerti kebenaran Kristus, ia juga giat dan berapi-api melayani Tuhan, sehingga meskipun ia harus menderita aniaya, mengalami karam kapal, dll, ia tidak goyah, malahan ia tetap bersukacita di dalam penjara (latar belakang penulisan Surat Filipi).

Selain itu, umat pilihan Allah sejati di dalam melayani-Nya siap menerima kritik dan pembentukan dari hamba Tuhan dan melalui Firman Tuhan. Dengan kata lain, melayani dengan pengertian yang sesuai dengan Firman Tuhan adalah melayani yang bertumbuh. Di dalam proses melayani, kita juga harus memperhatikan proses pertumbuhan iman dan karakter kita. Artinya, ketika kita melayani, kita harus siap menerima proses dari Tuhan baik melalui Firman-Nya maupun para hamba-Nya yang setia maupun orang-orang Kristen lain yang takut akan Tuhan. Contoh, ketika kita melayani, kita mungkin malas, tidak peduli, bahkan seenaknya sendiri, di saat demikian, ada rekan-rekan pelayanan kita yang menegur kita, atau mungkin hamba Tuhan yang setia menegur kita dan mengarahkan kita agar kita melayani-Nya dengan bertanggungjawab dan sukacita. Itulah yang disebut pelayanan yang bertumbuh. Di dalam proses pertumbuhan itu, kita dituntut untuk tetap mengintrospeksi diri, sehingga dapat dikatakan bahwa di dalam melayani, terdapat introspeksi diri. Kita tidak boleh cukup puas setelah atau pada saat kita melayani, kita harus terus mengintrospeksi diri kita apakah kita sudah benar-benar memuaskan hati Tuhan atau sebaliknya, mendukakan hati-Nya. Di dalam proses introspeksi diri, kita dituntut untuk siap ditegur dan diubah melalui Firman Tuhan.
Terakhir, pelayanan sejati adalah pelayanan yang integratif. Seringkali kita tidak menyadari bahwa banyaknya pelayanan di gereja yang kita ambil seringkali bukan memuliakan Tuhan, malahan mendukakan hati-Nya. Mengapa ? Karena pelayanan kita tidak integratif. Kapankah itu terjadi ? Ketika kita terlalu sibuk “melayani” Tuhan, sampai-sampai kita lupa berdoa, membaca Alkitab, dll. Orang-orang ini kalau disuruh belajar theologia atau membeli/membaca buku-buku theologia, mereka malas, tetapi kalau disuruh melayani, mereka luar biasa rajin. Yang penting bagi mereka adalah mereka “melayani” tanpa memperdulikan orang lain, apalagi bersekutu dengan Tuhan secara pribadi. Tuhan tidak menginginkan kita menjadi “pelayan” yang egois, tetapi kita dipanggil untuk menjadi pelayan yang berkorban (mengutip istilah dari Pdt. Dr. Stephen Tong). Pelayan yang berkorban adalah pelayan yang mau memperhatikan orang lain dengan memberitakan Injil kepada mereka, menguatkan iman mereka di dalam Kristus, mendoakan mereka. Selain itu, pelayan juga harus rendah hati, artinya pelayan yang TIDAK melupakan waktu bersekutu dengan Tuhan secara pribadi sebagai wujud tindakan patuhnya seorang hamba di hadapan Tuannya yaitu Allah.

Ketiga konsep pelayanan inilah yang harus dimiliki oleh anak-anak Tuhan sejati. Tetapi sayangnya banyak orang Israel tidak memilikinya. Mengapa ? Alasannya dijelaskan oleh Paulus di ayat 3, “...oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah.” Di dalam ayat ini, ada tiga kata “kebenaran” yang diulang dan sejujurnya kata inilah yang menjadi inti dari banyak orang Israel yang tidak diselamatkan, yaitu mereka tidak memiliki kebenaran Allah di dalam proses meskipun setiap hari mereka membaca Taurat. Dalam ayat ini, kita menjumpai ada 2 alasan mengapa mereka tidak memiliki konsep pelayanan yang beres, yaitu :

Pertama, mereka tidak mengenal/mengetahui kebenaran Allah. Kata “kebenaran” yang dipakai di sini dalam bahasa Yunani adalah dikaiosunē berarti righteousness (kebenaran keadilan). Lalu, kata “tidak mengenal” dalam terjemahan Yunani adalah agnoeō berarti tidak mengetahui atau mengabaikan. Dengan kata lain, artinya : mereka mengabaikan (tidak mengetahui) kebenaran keadilan Allah. Bukankah Israel telah menerima wahyu Allah melalui Taurat dan Perjanjian Lama ? Bukankah mereka dari kecil setiap hari mempelajari Taurat? Kembali, Yesaya 29:13 mengingatkan mereka bahwa mereka sebenarnya hanya menghafal Firman Tuhan tanpa mengerti artinya, sehingga yang mereka utamakan selalu perbuatan lahiriah saja, dan bukan hati. Dengan kata lain, mereka tetap dikatakan tidak mengenal kebenaran Allah, meskipun setiap hari belajar Taurat. Orang yang belajar Taurat tidak menjamin orang tersebut mengenal kebenaran Allah. Demikian juga, saat ini, orang yang sudah belajar Alkitab dan theologia sampai gelar Doktor sekalipun tidak menjamin mereka benar-benar mengetahui dan mengenal Firman Allah. Pdt. Dr. Stephen Tong yang menguasai theologia, filsafat, Alkitab, dll pun mengakui bahwa beliau kurang mengerti secara tuntas tentang Kristus. Inilah kerendahan hati seorang hamba Tuhan yang harus diteladani oleh kita. Gelar akademis theologia, pengertian yang komprehensif dan mendalam tidak menjamin kita benar-benar mengetahui kebenaran Allah. Jangan-jangan yang kita mengerti bukan kebenaran Allah, tetapi interpretasi manusia berdosa terhadap kebenaran Allah. Tidak heran, seorang “pendeta” GKI yang juga adalah dosen di STT Jakarta berani mengajarkan bahwa Kristus tidak bangkit, lalu ia menyesal (tidak bertobat) telah mengeluarkan pernyataan itu di dalam tulisannya di sebuah surat kabar. Jangan heran juga seorang “pendeta” gereja mainline yang bergelar Doktor sekalipun akhirnya berani meragukan otoritas Alkitab dan finalitas Kristus. Mereka tidak mengetahui kebenaran karena mereka tidak pernah menghidupi kebenaran itu dan lebih parahnya, mereka sebenarnya tidak pernah diselamatkan (tetapi mengaku diri “selamat” bahkan “pemimpin gereja”). Contoh konkritnya adalah Yudas Iskariot. Yudas Iskariot adalah salah seorang murid Tuhan Yesus yang akhirnya dibuang oleh-Nya. Di dalam kehidupan sehari-hari, para murid Kristus lainnya tidak mengetahui bahwa Yudas bukanlah murid sejati, karena perilaku Yudas hampir sama dengan perilaku para murid-Nya yang lain, tetapi ada satu yang tidak bisa dibohongi yaitu hati. Hati Yudas adalah hati yang busuk, hal ini hanya bisa diketahui oleh Tuhan Yesus di mana Yudas akan menjual-Nya dengan 30 keping perak. Di mata Tuhan, hati itulah yang terpenting dan itu yang tidak bisa menipu. Meskipun banyak orang “Kristen” mengaku diri “Kristen” apalagi para “pemimpin gereja” berani memakai kuasa “pendeta” untuk mengajar hal-hal yang tidak bertanggungjawab, tetapi di hadapan Tuhan, hati mereka tidak bisa menipu, Tuhan akan menghakimi mereka yang munafik. Dan akan jelas kelihatan pada waktunya bahwa mereka yang palsu adalah mereka yang tidak pernah mengetahui kebenaran Firman (meskipun bergelar Doktor “theologia”) dan mereka tersebut sebenarnya tidak pernah diselamatkan.

Kedua, mereka mendirikan kebenaran mereka sendiri. Bukan hanya tidak mengetahui kebenaran Allah, mereka pun nekat mendirikan kebenaran mereka sendiri. Saya teringat pada perkataan Paulus di dalam 2 Timotius 4:3b yang juga mengatakan hal yang serupa, “mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya.” Orang yang sudah tidak mengetahui kebenaran Allah, mereka secara otomatis akan melepaskan dirinya dari Allah dan mendirikan kebenaran sendiri. Bagi penulis Amsal, orang yang mendirikan kebenaran sendiri adalah orang tidak percaya kepada Tuhan (Amsal 3:5). Di Perjanjian Lama, banyak ahli Taurat dan orang Farisi adalah contoh konkrit dari orang-orang yang mendirikan kebenaran sendiri. Mereka masih tetap memegang dan mengajar Taurat dan Perjanjian Lama, tetapi hatinya jauh daripada Tuhan. Rasio mereka tidak sesuai dengan hati mereka, dan akibatnya mereka disebut oleh Tuhan Yesus sebagai orang yang munafik (Matius 23). Di Perjanjian Baru, kita menjumpai hal yang serupa, para ahli Taurat tidak henti-hentinya menipu keKristenan, mereka berani mengajar bahwa orang-orang Israel yang sudah Kristen harus tetap disunat. Mereka mau mendirikan kebenaran sendiri. Tetapi puji Tuhan, Ia memakai Paulus untuk menyadarkan kesalahan mereka dan mengajar orang-orang Kristen untuk kembali kepada iman sejati di dalam Kristus saja (Galatia 1:6-10). Di zaman postmodern, gejala ini tidak pernah berhenti. Atas nama hak asasi manusia dan demokrasi plus “mengasihi”, banyak orang “Kristen” bahkan “pemimpin gereja” siap mendirikan kebenaran sendiri. Caranya ? Mudah sekali, cukup meragukan otoritas Alkitab dan finalitas Kristus, mereka sudah siap melakukan aksinya. Bagi mereka yang percaya pada otoritas Alkitab, para penganut “theologia” liberal (baik yang jelas maupun yang terselubung—“theologia” religionum) akan mencapnya sebagai orang yang kurang “cinta kasih”, terlalu sombong dan egois, lalu mendirikan “kebenaran” mereka sendiri yang “mutlak” bahwa kebenaran dan keselamatan bisa didapat di agama lain (tidak hanya di dalam Kristus). Mereka tidak berani mengatakan bahwa Alkitab itu mutlak salah, Kristus bukan Tuhan, dll, tetapi mereka menyamarkan Injil Kristus sejati dengan dalih toleransi antar agama (inklusivisme agama). Berhati-hati lah dengan paham inklusivisme agama, mereka tidak menentang Kekristenan, tetapi esensi sebenarnya mereka menentang Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat. Mereka menggunakan istilah “keunikan Kristus” (inklusivisme agama) ketimbang finalitas Kristus. Padahal Tuhan Yesus sendiri berfirman bahwa Dia adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup, tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa jika tidak melalui Dia (Yohanes 14:6). Sangat jelas kelihatan, para penganut inklusivisme bukan Kristen sejati, tetapi “Kristen” palsu, mengapa ? Karena mereka bukan saja tidak mengetahui kebenaran Firman Allah, mereka lebih parah lagi mendirikan kebenaran sendiri yang terlepas dari Kebenaran Allah. Sekarang, pilihan ada di tangan Anda, maukah Anda kembali kepada Kristus yang adalah satu-satunya Jalan dan Kebenaran dan Hidup ataukah Anda kembali pada pandangan postmodern yang meracuni keKristenan : inklusivisme agama atau “theologia” religionum ? Selanjutnya, silahkan mempertanggungjawabkan apa yang sudah Anda pilih kelak di hadapan Allah !

Lalu, mereka yang tidak mengetahui kebenaran Allah dan mendirikan kebenaran sendiri, pada saat yang sama, mereka juga tidak takluk kepada Allah dan kebenaran-Nya. Kata “takluk” dalam bahasa Yunani hupotassō bisa berarti submit (=menomerduakan, menganggap kurang penting, mematuhi). Dengan kata lain, umat pilihan Allah sejati adalah mereka yang menaklukkan diri mereka di bawah Allah. Menaklukkan di sini berarti menganggap diri mereka kurang penting dan menomerduakan diri dan kepentingan diri lalu menomersatukan dan mementingkan Allah, Firman-Nya dan kehendak-Nya. Tindakan ini bisa terjadi ketika mereka sudah mengetahui kebenaran Allah dan mereka bisa mengetahui kebenaran Allah karena mereka telah dipilih oleh Allah sejak kekekalan. Dengan kata lain, pemilihan Allah mempengaruhi adanya iman dan Kebenaran Firman, lalu berakibat pada sikap tunduk dan taat. Orang yang tidak pernah dipilih Allah akan jelas kelihatan pada waktunya, yaitu meskipun mereka aktif “melayani” Tuhan, berdoa, dll, hidup mereka tidak pernah menTuhankan Kristus, tidak pernah merendahkan diri mereka di hadapan-Nya, dan yang lebih parah membawa ambisi mereka yang berdosa lalu diklaim sebagai beban, visi dari “Tuhan”. Orang yang terus menganggap diri “Kristen” (padahal palsu) adalah mereka yang terkesan aktif “melayani”, suka membawa orang ke gereja yang agak benar, dll, tetapi ketika disuruh berkorban demi Injil, contoh membeli buku-buku theologia yang cukup mahal, belajar theologia, dll, mereka beralasan bahwa itu kurang penting, membuang waktu dan uang. Inikah yang disebut “Kristen”?? Tanda tanya yang besar sekali ! Kalau disuruh baca koran, bukunya Robert T. Kiyosaki, mereka tidak usah disuruh pasti cepat membaca, tetapi kalau disuruh membaca Alkitab, buku-buku theologia yang agak berat, dll, jawaban mereka sungguh “logis”: tidak ada waktu, terlalu sulit, buang-buang uang, dll. Mereka sebenarnya tidak takluk kepada Allah, tetapi mereka menginginkan agar Allah yang harus “takluk” kepada mereka. Tidak heran, mereka berani mengoreksi Alkitab yang bahasanya kurang dapat dimengerti, tetapi mereka sendiri tidak pernah mengoreksi diri mereka yang jauh lebih brengsek. Itulah keanehan manusia berdosa. Orang Kristen mutlak harus bertobat dari sifat kekanak-kanakan ini!

Hari ini, melalui perenungan tiga ayat di dalam pasal 10 ini, sudahkah kita disadarkan tentang bahaya kekanak-kanakan di dalam Kekristenan? Maukah hari ini kita berkomitmen untuk tidak lagi menomersatukan kehendak dan ambisi kita, tetapi menomersatukan Tuhan dan kehendak-Nya di dalam kehidupan kita sehari-hari? Jangan jadikan komitmen ini sebagai komitmen secara rasio dan perkataan saja, tetapi realisasikanlah komitmen itu dan pertanggungjawabkanlah kelak di hadapan Allah. Jangan sekali-kali bermain-main dengan komitmen kita kepada Allah! Soli Deo Gloria. Amin.

Matius 10:34-38: CHRISTIANITY AND PERSECUTION: The Priority

Ringkasan Khotbah: 2 April 2006

Christianity & Persecution: The Priority
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 10:34-38



Pendahuluan
Tuhan membukakan telah membukakan suatu realita bahwa anak Tuhan sejati itu seperti domba di tengah serigala, hal ini berarti banyak tantangan dan kesulitan yang harus dihadapi maka di tengah-tengah tantangan itu wajarlah kalau kita menjadi takut. Namun Tuhan tidak ingin ketakutan yang Tuhan tanam itu diterapkan secara salah. Ketakutan itu haruslah diletakkan pada posisi yang tepat, yakni takut hanya pada Tuhan. Takut akan Tuhan itu menjadi dasar hidup kita, hidup akan terjaga dengan baik sebab seluruh pandangan terarah pada Tuhan. Hari ini muncul pendapat yang keliru, yakni dengan menjadi pengikut Kristus maka hidup akan damai sejahtera. Pendapat ini tidak salah namun perhatikan, damai sejahtera yang diberikan oleh Kristus adalah damai sejahtera yang tetap mempunyai rasa takut akan Tuhan. Takut akan Tuhan dan damai sejahtera haruslah berjalan sinkron namun dunia tidak memahami akan hal ini. Dunia pikir dengan menghilangkan rasa takut maka ia akan merasa damai. Salah! Dalam rasa takut akan Tuhan itulah kita akan mendapatkan damai yang sejati. Hari ini kita akan merenungkan kaitan antara takut akan Tuhan, ordo atau urutan, otoritas, dan prioritas.

I. Order and Priority
Kristus datang tidak membawa damai tetapi Dia datang membawa pedang (Mat. 10:34); Kristus adalah kebenaran sejati maka konsep prioritas itu menjadi sangat penting dan absolut. Segala hal yang terikat dalam ruang dan waktu tidak dapat mencapai segala sesuatu pada waktu dan tempat yang sama di dalam otorisasi yang sama sebab kita tidak berada dalam wilayah kekekalan dimana segala sesuatu tidak mengalami perubahan. Tidak! Kita berada dalam wilayah kesementaraan maka pada detik itu dan di tempat yang sama kita hanya dapat melakukan satu hal saja dan kita harus menyingkirkan yang lain. Ini merupakan suatu keharusan mutlak yang tidak dapat diganggu gugat karena itu, kita harus menentukan prioritas saat kita mau melangkah dan mengambil suatu keputusan.

Pertanyaannya sekarang adalah apa yang menjadi standar dari prioritas kita? Pada detik yang sama, kenapa kita melakukan A dan menggeser B? Manusia dibatasi oleh ruang dan waktu maka untuk menentukan prioritas kita harus mengerti ordo atau urutan. Sebagian urutan mungkin dapat dibolak-balik namun urutan yang sifatnya struktural tidak boleh dibolak-balik. Sebagai contoh, jenjang sekolah harus dimulai dari tingkat TK, SD, SMP, SMU kemudian universitas begitu juga dengan hidup manusia harus dimulai dari bayi, bertumbuh menjadi dewasa lalu mati dan tingkatan ini tidak boleh dibolak-balik. Orang berdosa sangat benci dengan ordo karena ordo menyadarkan manusia kalau manusia tidak lebih hanyalah orang-orang terbuang yang seharusnya berada di neraka. Dalam menata suatu urutan maka ada prioritas sehingga kita tahu mana yang diletakkan di urutan pertama, kedua, dan seterusnya. Ingat, Tuhan Yesus datang bukan membawa damai, melainkan pedang maka kalau kita salah menentukan prioritas, pedang itu akan turun atas kita. Orang seringkali tidak sadar apa yang menjadi ordo dan prioritas dalam hidupnya maka tidaklah heran kalau setiap hal yang menjadi keputusannya tidaklah bernilai kekekalan.

Segala hal yang kita kerjakan tak terkecuali hal yang paling kita anggap sepele sekalipun itu tidaklah lepas dari ordo dan prioritas. Sebagai contoh, dalam hal menyapu ruangan itupun harus memperhatikan urutan. Bayangkan, berapa banyak waktu dan tenaga yang terbuang percuma jika menyapu dikerjakan secara sembarangan namun hati-hati, setan dengan segala cara setan berusaha merusak seluruh tatanan, yakni supaya manusia tidak memikirkan prioritas pertama sebab ketika manusia memikirkan prioritas pertama berarti manusia harus kembali pada Tuhan. Tidak ada seorang pun yang dapat men-sahkan apakah sesuatu itu benar atau salah, baik atau jahat, bernilai atau tidak bernilai maka seluruh struktur atau tatanan di dunia ini harus direferensikan kepada Tuhan; semua verifikasi, penentuan dan penilaian tertinggi haruslah dari Tuhan, the true absolute verification sehingga semua keburukan itu akan terbuka di depan mata. Ironisnya, dunia tidak suka akan kebenaran justru sebaliknya hal-hal yang tidak benar dan hina itulah yang dijadikan sebagai standar penilaian. Dunia modern mengukur iman bukan berdasarkan kualitas tapi kuantitas iman. Orang tidak sadar kalau hal ini menjadi suatu kefatalan dari demokrasi kuantitatif. Jumlah banyak tidak dapat dijadikan sebagai standar untuk menentukan kualitas. Perhatikan, demokrasi yang kuantitatif dimana didalamnya mengerahkan massa dalam jumlah banyak maka orang banyak yang mudah dipengaruhi adalah orang yang tidak berkualitas sebaliknya orang yang berkualitas jumlahnya selalu minoritas. Orang lebih suka berada dalam mayoritas karena disana ia merasa damai, orang tidak peduli meski demi kedamaian palsu itu ia berada dalam posisi rendah dan hina bahkan untuk damai palsu itu orang mulai berkompromi dengan dosa. Hendaklah kita mengevaluasi diri sudahkah kita menata ordo dimana ordo itu menjadi penentu dari prioritas hidup kita?

II. Fear, Obedience and Priority
Setelah kita menentukan apa yang terutama dalam hidup kita maka pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang paling kita takuti? Ketakutan merupakan tempat otorisasi ketaatan itu dijalankan; orang yang takut pada Tuhan akan taat sepenuhnya pada Tuhan maka segala sesuatu yang dipikirkan, dikerjakan demi untuk menyenangkan Tuhan semata. Ketakutan membangun ketaatan, pada siapa kita takut maka pada dialah kita akan taat dan apa yang kita takuti akan menjadi prioritas hidup kita. Tuhanlah yang seharusnya menjadi sumber ketakutan dan kepada Dialah kita harus takut dan taat maka Dialah yang harus menjadi prioritas utama hidup kita. Kalau kita mau jujur mengevaluasi diri kita, sesungguhnya kita menyembah pada siapa, siapakah titik tertinggi di dalam iman kita? Hal ini dapat kita lihat dari apa yang menjadi prioritas kita. Ingat, Tuhan datang membawa pedang, Dia menuntut pertanggung jawaban.

Dunia modern telah mengajarkan konsep salah, yakni hidup adalah mengejar damai sejahtera. Perhatikan, damai sejahtera bukan tujuan hidup tapi damai sejahtera yang Tuhan berikan berbeda dengan damai sejahtera yang diberikan oleh dunia. Tuhan Yesus sangat mengasihi umat manusia namun cara Dia mengasihi bukanlah seperti yang dunia ajarkan. Seorang bapa yang baik yang mengasihi anaknya ia akan mendidik anaknya sedemikian rupa demi supaya si anak kembali pada kebenaran bahkan tak sega-segan ia akan menggunakan rotan. Ketakutan tidak diarahkan pada posisi yang sejati akan merusak konsep disiplin dalam diri manusia. Maka dapatlah disimpulkan bahwa ketakutan, ketaatan dan prioritas ini saling berkait erat dimana ketiganya tidak dapat dipisahkan.

Kristus datang ke dunia bukan untuk membawa damai. Hari ini banyak orang yang mengajarkan bahwa Yesus datang ke dunia untuk membawa damai bagi manusia. Tidak! Hal ini ditegaskan oleh Tuhan Yesus sendiri sebanyak dua kali dalam satu kalimat. Tuhan datang ke dunia membawa suatu kebenaran sejati dan Ia mau supaya anak-anak-Nya mengerti siapa otoritas tertinggi dan hanya kepada Dia sajalah orang seharusnya takut. Hari ini, banyak orang yang terjebak dalam konsep duniawi, orang tidak takut pada otoritas sejati, yaitu Kristus Tuhan tapi orang lebih takut pada otoritas yang ada di dunia atau lebih tepatnya orang lebih takut pada iblis daripada takut kepada Tuhan. Ingat, takutlah kepada Dia yang dapat membinasakan tubuh dan roh di neraka. Di satu sisi, iblis memang dapat menganggu dan menyakiti anak-anak Tuhan yang sejati namun perhatikan, iblis tidak akan dapat berbuat sesuatu hal yang berada di luar rencana Tuhan.

Damai yang dirasakan oleh dunia itu sesungguhnya adalah kedamaian yang palsu, yaitu damai karena dosanya tidak dikutak-atik oleh orang lain, damai karena keinginan kita dipenuhi, yakni keinginan tidak ada pertentangan, damai adalah ketika kesulitan datang, kita tidak mengalami kesulitan, damai ketika tidak ada tantangan, damai ketika tidak ada permusuhan. Kedamaian yang ada di tengah dunia ini adalah kedamaian palsu, kedamaian yang sifatnya hanya menyelesaikan nafsu dosa belaka. Ketika orang takut pada otoritas yang salah dan orang taat padanya dengan harapan supaya tidak menimbulkan permusuhan sehingga menimbulkan kedamaian. Di dalam dunia mungkin kita merasa aman dan nyaman tetapi di mata Tuhan kita tidak lebih hanyalah orang-orang terbuang yang di taruh ke dalam neraka. Sebaliknya damai sejati yang Tuhan berikan adalah ketika kita berada di tengah badai gelombang dan tantangan dunia namun disana kita merasakan damai; damai itu kita rasakan pada saat kita menanggalkan dosa, damai itu kita rasakan ketika pada saat kita berkorban demi kemuliaan untuk nama Tuhan. Inilah damai sejati yang Tuhan berikan.

III. One Line Order
Ordo tertinggi dan prioritas utama hidup kita adalah Allah; hanya kepada Dialah kita harus takut dan taat. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah kalau kita harus taat pada Allah apakah itu berarti kita harus melawan orang-orang yang ada di sekeliling kita? Tidak! Pengertian taat kepada Allah disini adalah Allah haruslah berada pada posisi pertama. Ordo harus tertata secara garis lurus dengan Allah di posisi pertama. Ini merupakan prinsip kebenaran sejati, yakni otorisasi tunggal dan otorisasi lain haruslah ditata berdasarkan urutan satu garis. Urutan kebenaran harus berada satu garis linier bukan multiple line. One line order ditunjukkan dan dijalankan di dalam satu kesaksian oleh Allah Tritunggal. Konsep Allah Tritunggal adalah Allah yang tiga dan satu; tiga dapat membentuk garis dan satu – menyebabkan garis itu menjadi satu garis. Alkitab menyatakan Allah Bapa adalah sumber otoritas tertinggi, Dia adalah sumber kebenaran yang menyatakan semua apa yang menjadi arahan, Allah Anak taat pada Allah Bapa, tidak ada apapun yang dikerjakan di diri-Nya sendiri kecuali yang Allah Bapa perintahkan maka tidak ada garis yang menyimpang, Allah Roh Kudus taat pada Allah Bapa dan Allah Anak dan Dia tidak akan melakukan apapun yang dari diri-Nya kecuali apa yang Allah Anak perintahkan. Konsep monoteisme, Allah yang satu maka tidak akan dapat membentuk garis sebab untuk membangun sebuah garis minimum dibutuhkan dua titik. Konsep politeisme, menyembah banyak dewa dimana dalam konsep politeime itu antara dewa A dan dewa B saling bertentangan dan setiap orang bebas memilih dewa mana yang menjadi junjungannya sehingga one line order tidak mungkin terbentuk justru terbentuk multiple lines order.

Kristus adalah Allah, Roh Kudus adalah Allah; Allah Anak dan Allah Roh Kudus masing-masing mempunyai kehendak dan hak namun demi untuk menjalankan one line order, Allah Anak taat pada Allah Bapa dan Allah Roh Kudus taat pada Allah Anak. Lalu bagaimana dengan manusia? Manusia adalah urutan lanjutan daripada one line order yang dinyatakan oleh Allah Tritunggal. Sebagai Anak Allah, kita harus taat pada Allah dan dipimpin oleh Roh Kudus sehingga perjalanan kita taat berada dalam satu garis yang setara selanjutnya anak kita harus taat pada kita sejauh kita taat pada Roh Kudus – Roh Kudus taat pada Anak – Anak taat pada Bapa. Dalam hal ini tidak boleh ada satu garis pun yang menyimpang, semua harus tetap berada dalam urutan dan membentuk satu garis lurus, yakni: Bapa – Anak – Roh Kudus – saya – anak. Ketika saya melawan Allah berarti keluar dari garis ordo maka si anak tidak boleh mengikut pada jalan ayahnya yang telah menyimpang. Si anak harus tetap mempertahankan satu garis lurus itu maka ia harus tetap taat pada Allah Tritunggal. Demi untuk mempertahankan one line order yang adalah garis kebenaran maka ia harus melawan ayahnya. Orang tua yang tidak lagi berada dalam garis ordo kebenaran berhak untuk kita lawan sebab seorang anak haruslah taat pada Tuhan. Karena itu, Tuhan menyatakan Aku datang membawa pedang, Aku memisahkan anak dari ayahnya.

Konsep konfusianisme mengajarkan setiap orang yang lebih tua dari kita mutlak benar dan harus ditaati maka ini merusak tatanan ordo sebab di dalamnya banyak kesalahan yang dianulir. Di dunia kita harus taat pada mereka yang menjadi atasan kita karena ordonya di atas kita namun perhatikan, kita hanya taat padanya sejauh ia taat pada kebenaran Firman, kalau ia mulai menyeleweng dari Tuhan maka janganlah ditaati. Anak Tuhan yang sangat takut pada orang tuanya bahkan karena takutnya ia berani berbuat dosa dan melawan Tuhan maka Tuhan tidak segan menghukum dia. Tuhan merupakan otoritas tertinggi maka hanya kepada-Nya kita harus taat. Sebagai orang tua, pastilah kita tidak akan suka apabila anak kita lebih taat pada pembantu daripada taat pada kita yang adalah orang tuanya, bukan? Konsep ordo yang diajarkan oleh Alkitab ini tidaklah mudah dipahami oleh dunia kecuali kita kembali pada kebenaran Tuhan yang sejati barulah kita dapat memahami kebenaran sejati. Barangsiapa tidak memikul salib-Nya dan mengikut Aku, ia tidak layak; barangsiapa mengasihi ayahnya atau ibunya lebih dari Tuhan maka ia tidak layak bagi-Ku. Hari ini orang mungkin merasa diri rohani, kita telah melayani Tuhan, kita merasa diri layak di hadapan Tuhan maka apa jadinya kalau kalimat “engkau tidak layak bagi-Ku“ dikenakan atas kita? Bukankah itu semua kalimat final yang membuat kita tahu efek dari kalimat tersebut. Biarlah kita mau membongkar seluruh pemikiran konsep duniawi kita dan kembali pada Kristus yang menjadi prioritas utama hidup kita dengan demikian seluruh tatanan hidup dapat tertata dengan indah dan terbentuk satu garis yang terintegrasi. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: