11 August 2008

Roma 10:1-3: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-7: Umat Pilihan Allah Sejati dan Konsep Pelayanan Sejati

Seri Eksposisi Surat Roma :
Doktrin Predestinasi-6


“Israel” Sejati atau Palsu-7 :
Umat Pilihan Allah Sejati dan Konsep Pelayanan Sejati


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 10:1-3


Setelah mempelajari tentang kegagalan bangsa Israel disebut sebagai kaum pilihan Allah di ayat 30 s/d 33, Paulus kembali melanjutkan pembahasannya tentang alasan konkrit mengapa mereka gagal dan harapan Paulus agar Israel juga diselamatkan di pasal 10 ayat 1 s/d 3.

Setelah menjelaskan bahwa Israel secara bangsa gagal disebut kaum pilihan Allah karena mereka mementingkan perbuatan baik untuk mencapai kebenaran, maka Paulus berharap agar mereka yang telah berdosa supaya diselamatkan. Pada pasal 10 ayat 1, Paulus mengungkapkan, “Saudara-saudara, keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah, supaya mereka diselamatkan.” Kata “saudara-saudara” dalam terjemahan King James Version (KJV), New King James Version (NKJV) dan American Standard Version (ASV) menggunakan kata brethren yang berarti saudara-saudara seiman (bukan hanya saudara-saudara sekeluarga). Brethren di sini menunjuk kepada saudara-saudara Yahudi. Kepada saudara-saudara seiman ini, Paulus mengharapkan agar bangsa Israel juga diselamatkan. Hal ini terlihat dari perkataan Paulus, “keinginan hatiku” dan “doaku”. Kata “keinginan hatiku” dalam KJV, NKJV, ASV, ESV, dan ISV diterjemahkan my heart’s desire (=keinginan hatiku). Kata desire dalam bahasa Yunani eudokia berarti kindness, wish, purpose (=kebaikan, pengharapan, tujuan). Ini berarti keinginan agar Israel diselamatkan berasal dari hatinya. Hati merupakan esensi/inti hidup, segala sesuatu berasal dari hati. Tuhan Yesus mengajarkan hal serupa di dalam Injil Matius 15:18, “Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.” Paulus adalah seorang hamba Tuhan yang setia dan baik hatinya, karena meskipun ia tahu bahwa tidak semua orang Israel adalah umat pilihan Allah, ia dengan hati yang tulus menginginkan mereka diselamatkan. Keinginan ini tidaklah salah, karena keinginan ini nantinya akan memotivasi seseorang untuk semakin giat mengabarkan Injil. Tetapi keinginan tidak boleh sampai memaksa Tuhan untuk menyelamatkan mereka yang tidak dipilih oleh-Nya sejak kekekalan. Adakah kita juga memiliki keinginan hati yang serupa dengan Paulus yaitu rindu agar bangsa ini (Indonesia) diselamatkan Tuhan, meskipun ada beberapa yang tidak dipilih Allah ? Bukan hanya keinginan hati Paulus yang menginginkan Israel diselamatkan, doa Paulus pun juga memohon kepada Tuhan agar Israel diselamatkan. Kata “doa” dalam KJV diterjemahkan prayer. Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menerjemahkan kata ini sebagai permohonan (halaman 852). Keinginan hati Paulus mengakibatkan ia berdoa dan memohon kepada Tuhan agar Israel diselamatkan. Doa merupakan sarana permohonan belas kasihan dari Tuhan agar Ia melawat umat-Nya. Paulus menggunakan doa sebagai sarana permohonan agar Tuhan berkenan menyelamatkan Israel, meskipun sekali lagi ia tahu bahwa Ia telah memilih beberapa orang untuk diselamatkan, dan menolak sisanya. Predestinasi Allah tidak menyurutkan doa Paulus bagi jiwa-jiwa Israel. Bagaimana dengan kita? Kita seringkali sudah malas memberitakan Injil, malas pula untuk mendoakan mereka yang terhilang dan tersesat dalam dosa. Predestinasi Allah seringkali malahan menyurutkan doa dan semangat kita dalam mengasihi jiwa-jiwa yang tersesat. Paulus adalah teladan yang Tuhan berikan kepada kita agar kita meneladani semangat dan doanya yang berapi-api demi mengasihi jiwa-jiwa yang tersesat akibat dosa. Keinginan hati Paulus ditambah doa yang dipanjatkannya merupakan bukti bahwa Paulus adalah hamba Tuhan yang setia dan tulus. Maukah kita meneladaninya? Mari kita mendoakan bangsa ini agar jiwa-jiwa yang tersesat boleh kembali kepada Kristus, dan kita pun juga harus memberitakan Injil.

Meskipun ia ingin dan berdoa agar Israel diselamatkan, ia tetap menyatakan bahwa tidak semua orang Israel diselamatkan. Mengapa ? Hal ini sudah dijelaskan di ayat sebelumnya (9:32) bahwa mereka mengejar perbuatan baik supaya diselamatkan. Lebih dalam lagi, Paulus menyatakan bahwa alasan tidak semua Israel diselamatkan yaitu karena “mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar.” (ayat 2) Kata “sungguh-sungguh giat” dalam KJV diterjemahkan “have a zeal of God” (=memiliki semangat yang berkobar-kobar bagi Allah). Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan, “bersemangat sekali mengabdi kepada Allah.” Kata ini bisa diterjemahkan bahwa bangsa Israel giat dan rajin beribadah, semangat melayani Tuhan, rajin berpuasa dan berdoa, dan dalam kegiatan-kegiatan religius lainnya. Dari Perjanjian Lama, kita banyak mendapatkan gambaran tersebut, mereka rajin berpuasa, berdoa, belajar Taurat, melayani Tuhan, dll, bahkan tidak pernah lupa untuk mempersembahkan korban bagi Tuhan. Tetapi apa motivasi mereka? Apakah mereka melakukan itu karena didasari oleh motivasi hati yang mencintai Tuhan? TIDAK! Justru, mereka melakukan itu BUKAN dengan motivasi hati yang mencintai Tuhan, tetapi dengan harapan agar Tuhan memberkati mereka dan Tuhan membenarkan mereka. Itulah sebabnya Paulus mengatakan bahwa mereka bersemangat bagi Allah tetapi “tanpa pengertian yang benar.” Pernyataan “tanpa pengertian yang benar” dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) kurang tepat. BIS menerjemahkan, “tidak berdasarkan pengetahuan yang dari Allah.” KJV, ESV, ASV dan NKJV menerjemahkan, “not according to knowledge.” Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menerjemahkannya, “tidak menurut pengetahuan (yang benar)” (halaman 852). Artinya, mereka rajin beribadah dan melayani Tuhan, tetapi sayangnya semangat mereka hanya semangat emosional tanpa didasari oleh motivasi hati yang sesuai dengan Kebenaran Allah. Semangat menggebu-gebu dalam melayani Tuhan dan beribadah TIDAKlah salah, tetapi akan sangat berbahaya jika tanpa didasarkan pada motivasi hati dan pengertian Kebenaran Allah. Hal ini sudah dibukakan oleh Tuhan sejak Perjanjian Lama. Di dalam Yesaya 29:13, Tuhan Allah berfirman, “Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,” Di dalam Amos 5:21-24, Tuhan bersabda, “"Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir."” Dari dua nats Perjanjian Lama, Tuhan membukakan inti ibadah sejati, yaitu bersumber dari motivasi hati dan pengertian yang benar akan Allah dan Firman-Nya. Bagaimana dengan kita ? Di zaman postmodern, kita diterpa oleh dua macam arus keKristenan yang ekstrim. Di satu sisi, golongan Kristen kontemporer sangat giat melayani Tuhan, berapi-api memberitakan Injil, dll, tetapi sayangnya mereka kurang belajar Firman Tuhan. Semangat mereka hanyalah emosional, menggebu-gebu, tetapi percayalah, semangat seperti itu hanya sementara saja. Ketika bahaya mengancam hidupnya, orang yang tadinya semangat melayani Tuhan akan menjadi kendor dan lebih parahnya, bisa menghujat Tuhan. Di sisi lain, golongan Kristen Reformed banyak belajar Firman Tuhan, mengerti banyak theologia, tetapi sayangnya mereka tidak bersemangat lagi memberitakan Injil. Mereka hanya pintar berdebat theologia, adu argumentasi, dll, tetapi hati dan semangat mereka kering dan statis. Kedua arus ekstrim ini tentu salah. Tuhan menginginkan kita seimbang. Paulus sendiri TIDAK melarang kita memiliki semangat yang berapi-api dalam melayani Tuhan, mengapa ? Karena Paulus pun yang sudah mengerti banyak doktrin Firman Allah tetap konsisten dan berapi-api melayani Tuhan. Tuhan melalui Paulus mengingatkan kita untuk belajar Firman Tuhan dahulu baru setelah itu kita mampu melayani Tuhan dengan semangat yang benar. Dengan kata lain, pelayanan sejati adalah pelayanan yang berdasarkan pengertian akan kebenaran Firman Tuhan yang mengarahkan dan memimpin semangat kita dalam melayani-Nya. Sehingga, meskipun ada penderitaan, godaan, fitnahan, dll datang menerpa kita, kita tidak akan goyah, malahan kita semakin kuat dan semakin bersemangat melayani Tuhan. Sekali lagi, Paulus adalah teladan kita. Ia mengerti kebenaran Kristus, ia juga giat dan berapi-api melayani Tuhan, sehingga meskipun ia harus menderita aniaya, mengalami karam kapal, dll, ia tidak goyah, malahan ia tetap bersukacita di dalam penjara (latar belakang penulisan Surat Filipi).

Selain itu, umat pilihan Allah sejati di dalam melayani-Nya siap menerima kritik dan pembentukan dari hamba Tuhan dan melalui Firman Tuhan. Dengan kata lain, melayani dengan pengertian yang sesuai dengan Firman Tuhan adalah melayani yang bertumbuh. Di dalam proses melayani, kita juga harus memperhatikan proses pertumbuhan iman dan karakter kita. Artinya, ketika kita melayani, kita harus siap menerima proses dari Tuhan baik melalui Firman-Nya maupun para hamba-Nya yang setia maupun orang-orang Kristen lain yang takut akan Tuhan. Contoh, ketika kita melayani, kita mungkin malas, tidak peduli, bahkan seenaknya sendiri, di saat demikian, ada rekan-rekan pelayanan kita yang menegur kita, atau mungkin hamba Tuhan yang setia menegur kita dan mengarahkan kita agar kita melayani-Nya dengan bertanggungjawab dan sukacita. Itulah yang disebut pelayanan yang bertumbuh. Di dalam proses pertumbuhan itu, kita dituntut untuk tetap mengintrospeksi diri, sehingga dapat dikatakan bahwa di dalam melayani, terdapat introspeksi diri. Kita tidak boleh cukup puas setelah atau pada saat kita melayani, kita harus terus mengintrospeksi diri kita apakah kita sudah benar-benar memuaskan hati Tuhan atau sebaliknya, mendukakan hati-Nya. Di dalam proses introspeksi diri, kita dituntut untuk siap ditegur dan diubah melalui Firman Tuhan.
Terakhir, pelayanan sejati adalah pelayanan yang integratif. Seringkali kita tidak menyadari bahwa banyaknya pelayanan di gereja yang kita ambil seringkali bukan memuliakan Tuhan, malahan mendukakan hati-Nya. Mengapa ? Karena pelayanan kita tidak integratif. Kapankah itu terjadi ? Ketika kita terlalu sibuk “melayani” Tuhan, sampai-sampai kita lupa berdoa, membaca Alkitab, dll. Orang-orang ini kalau disuruh belajar theologia atau membeli/membaca buku-buku theologia, mereka malas, tetapi kalau disuruh melayani, mereka luar biasa rajin. Yang penting bagi mereka adalah mereka “melayani” tanpa memperdulikan orang lain, apalagi bersekutu dengan Tuhan secara pribadi. Tuhan tidak menginginkan kita menjadi “pelayan” yang egois, tetapi kita dipanggil untuk menjadi pelayan yang berkorban (mengutip istilah dari Pdt. Dr. Stephen Tong). Pelayan yang berkorban adalah pelayan yang mau memperhatikan orang lain dengan memberitakan Injil kepada mereka, menguatkan iman mereka di dalam Kristus, mendoakan mereka. Selain itu, pelayan juga harus rendah hati, artinya pelayan yang TIDAK melupakan waktu bersekutu dengan Tuhan secara pribadi sebagai wujud tindakan patuhnya seorang hamba di hadapan Tuannya yaitu Allah.

Ketiga konsep pelayanan inilah yang harus dimiliki oleh anak-anak Tuhan sejati. Tetapi sayangnya banyak orang Israel tidak memilikinya. Mengapa ? Alasannya dijelaskan oleh Paulus di ayat 3, “...oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah.” Di dalam ayat ini, ada tiga kata “kebenaran” yang diulang dan sejujurnya kata inilah yang menjadi inti dari banyak orang Israel yang tidak diselamatkan, yaitu mereka tidak memiliki kebenaran Allah di dalam proses meskipun setiap hari mereka membaca Taurat. Dalam ayat ini, kita menjumpai ada 2 alasan mengapa mereka tidak memiliki konsep pelayanan yang beres, yaitu :

Pertama, mereka tidak mengenal/mengetahui kebenaran Allah. Kata “kebenaran” yang dipakai di sini dalam bahasa Yunani adalah dikaiosunē berarti righteousness (kebenaran keadilan). Lalu, kata “tidak mengenal” dalam terjemahan Yunani adalah agnoeō berarti tidak mengetahui atau mengabaikan. Dengan kata lain, artinya : mereka mengabaikan (tidak mengetahui) kebenaran keadilan Allah. Bukankah Israel telah menerima wahyu Allah melalui Taurat dan Perjanjian Lama ? Bukankah mereka dari kecil setiap hari mempelajari Taurat? Kembali, Yesaya 29:13 mengingatkan mereka bahwa mereka sebenarnya hanya menghafal Firman Tuhan tanpa mengerti artinya, sehingga yang mereka utamakan selalu perbuatan lahiriah saja, dan bukan hati. Dengan kata lain, mereka tetap dikatakan tidak mengenal kebenaran Allah, meskipun setiap hari belajar Taurat. Orang yang belajar Taurat tidak menjamin orang tersebut mengenal kebenaran Allah. Demikian juga, saat ini, orang yang sudah belajar Alkitab dan theologia sampai gelar Doktor sekalipun tidak menjamin mereka benar-benar mengetahui dan mengenal Firman Allah. Pdt. Dr. Stephen Tong yang menguasai theologia, filsafat, Alkitab, dll pun mengakui bahwa beliau kurang mengerti secara tuntas tentang Kristus. Inilah kerendahan hati seorang hamba Tuhan yang harus diteladani oleh kita. Gelar akademis theologia, pengertian yang komprehensif dan mendalam tidak menjamin kita benar-benar mengetahui kebenaran Allah. Jangan-jangan yang kita mengerti bukan kebenaran Allah, tetapi interpretasi manusia berdosa terhadap kebenaran Allah. Tidak heran, seorang “pendeta” GKI yang juga adalah dosen di STT Jakarta berani mengajarkan bahwa Kristus tidak bangkit, lalu ia menyesal (tidak bertobat) telah mengeluarkan pernyataan itu di dalam tulisannya di sebuah surat kabar. Jangan heran juga seorang “pendeta” gereja mainline yang bergelar Doktor sekalipun akhirnya berani meragukan otoritas Alkitab dan finalitas Kristus. Mereka tidak mengetahui kebenaran karena mereka tidak pernah menghidupi kebenaran itu dan lebih parahnya, mereka sebenarnya tidak pernah diselamatkan (tetapi mengaku diri “selamat” bahkan “pemimpin gereja”). Contoh konkritnya adalah Yudas Iskariot. Yudas Iskariot adalah salah seorang murid Tuhan Yesus yang akhirnya dibuang oleh-Nya. Di dalam kehidupan sehari-hari, para murid Kristus lainnya tidak mengetahui bahwa Yudas bukanlah murid sejati, karena perilaku Yudas hampir sama dengan perilaku para murid-Nya yang lain, tetapi ada satu yang tidak bisa dibohongi yaitu hati. Hati Yudas adalah hati yang busuk, hal ini hanya bisa diketahui oleh Tuhan Yesus di mana Yudas akan menjual-Nya dengan 30 keping perak. Di mata Tuhan, hati itulah yang terpenting dan itu yang tidak bisa menipu. Meskipun banyak orang “Kristen” mengaku diri “Kristen” apalagi para “pemimpin gereja” berani memakai kuasa “pendeta” untuk mengajar hal-hal yang tidak bertanggungjawab, tetapi di hadapan Tuhan, hati mereka tidak bisa menipu, Tuhan akan menghakimi mereka yang munafik. Dan akan jelas kelihatan pada waktunya bahwa mereka yang palsu adalah mereka yang tidak pernah mengetahui kebenaran Firman (meskipun bergelar Doktor “theologia”) dan mereka tersebut sebenarnya tidak pernah diselamatkan.

Kedua, mereka mendirikan kebenaran mereka sendiri. Bukan hanya tidak mengetahui kebenaran Allah, mereka pun nekat mendirikan kebenaran mereka sendiri. Saya teringat pada perkataan Paulus di dalam 2 Timotius 4:3b yang juga mengatakan hal yang serupa, “mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya.” Orang yang sudah tidak mengetahui kebenaran Allah, mereka secara otomatis akan melepaskan dirinya dari Allah dan mendirikan kebenaran sendiri. Bagi penulis Amsal, orang yang mendirikan kebenaran sendiri adalah orang tidak percaya kepada Tuhan (Amsal 3:5). Di Perjanjian Lama, banyak ahli Taurat dan orang Farisi adalah contoh konkrit dari orang-orang yang mendirikan kebenaran sendiri. Mereka masih tetap memegang dan mengajar Taurat dan Perjanjian Lama, tetapi hatinya jauh daripada Tuhan. Rasio mereka tidak sesuai dengan hati mereka, dan akibatnya mereka disebut oleh Tuhan Yesus sebagai orang yang munafik (Matius 23). Di Perjanjian Baru, kita menjumpai hal yang serupa, para ahli Taurat tidak henti-hentinya menipu keKristenan, mereka berani mengajar bahwa orang-orang Israel yang sudah Kristen harus tetap disunat. Mereka mau mendirikan kebenaran sendiri. Tetapi puji Tuhan, Ia memakai Paulus untuk menyadarkan kesalahan mereka dan mengajar orang-orang Kristen untuk kembali kepada iman sejati di dalam Kristus saja (Galatia 1:6-10). Di zaman postmodern, gejala ini tidak pernah berhenti. Atas nama hak asasi manusia dan demokrasi plus “mengasihi”, banyak orang “Kristen” bahkan “pemimpin gereja” siap mendirikan kebenaran sendiri. Caranya ? Mudah sekali, cukup meragukan otoritas Alkitab dan finalitas Kristus, mereka sudah siap melakukan aksinya. Bagi mereka yang percaya pada otoritas Alkitab, para penganut “theologia” liberal (baik yang jelas maupun yang terselubung—“theologia” religionum) akan mencapnya sebagai orang yang kurang “cinta kasih”, terlalu sombong dan egois, lalu mendirikan “kebenaran” mereka sendiri yang “mutlak” bahwa kebenaran dan keselamatan bisa didapat di agama lain (tidak hanya di dalam Kristus). Mereka tidak berani mengatakan bahwa Alkitab itu mutlak salah, Kristus bukan Tuhan, dll, tetapi mereka menyamarkan Injil Kristus sejati dengan dalih toleransi antar agama (inklusivisme agama). Berhati-hati lah dengan paham inklusivisme agama, mereka tidak menentang Kekristenan, tetapi esensi sebenarnya mereka menentang Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat. Mereka menggunakan istilah “keunikan Kristus” (inklusivisme agama) ketimbang finalitas Kristus. Padahal Tuhan Yesus sendiri berfirman bahwa Dia adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup, tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa jika tidak melalui Dia (Yohanes 14:6). Sangat jelas kelihatan, para penganut inklusivisme bukan Kristen sejati, tetapi “Kristen” palsu, mengapa ? Karena mereka bukan saja tidak mengetahui kebenaran Firman Allah, mereka lebih parah lagi mendirikan kebenaran sendiri yang terlepas dari Kebenaran Allah. Sekarang, pilihan ada di tangan Anda, maukah Anda kembali kepada Kristus yang adalah satu-satunya Jalan dan Kebenaran dan Hidup ataukah Anda kembali pada pandangan postmodern yang meracuni keKristenan : inklusivisme agama atau “theologia” religionum ? Selanjutnya, silahkan mempertanggungjawabkan apa yang sudah Anda pilih kelak di hadapan Allah !

Lalu, mereka yang tidak mengetahui kebenaran Allah dan mendirikan kebenaran sendiri, pada saat yang sama, mereka juga tidak takluk kepada Allah dan kebenaran-Nya. Kata “takluk” dalam bahasa Yunani hupotassō bisa berarti submit (=menomerduakan, menganggap kurang penting, mematuhi). Dengan kata lain, umat pilihan Allah sejati adalah mereka yang menaklukkan diri mereka di bawah Allah. Menaklukkan di sini berarti menganggap diri mereka kurang penting dan menomerduakan diri dan kepentingan diri lalu menomersatukan dan mementingkan Allah, Firman-Nya dan kehendak-Nya. Tindakan ini bisa terjadi ketika mereka sudah mengetahui kebenaran Allah dan mereka bisa mengetahui kebenaran Allah karena mereka telah dipilih oleh Allah sejak kekekalan. Dengan kata lain, pemilihan Allah mempengaruhi adanya iman dan Kebenaran Firman, lalu berakibat pada sikap tunduk dan taat. Orang yang tidak pernah dipilih Allah akan jelas kelihatan pada waktunya, yaitu meskipun mereka aktif “melayani” Tuhan, berdoa, dll, hidup mereka tidak pernah menTuhankan Kristus, tidak pernah merendahkan diri mereka di hadapan-Nya, dan yang lebih parah membawa ambisi mereka yang berdosa lalu diklaim sebagai beban, visi dari “Tuhan”. Orang yang terus menganggap diri “Kristen” (padahal palsu) adalah mereka yang terkesan aktif “melayani”, suka membawa orang ke gereja yang agak benar, dll, tetapi ketika disuruh berkorban demi Injil, contoh membeli buku-buku theologia yang cukup mahal, belajar theologia, dll, mereka beralasan bahwa itu kurang penting, membuang waktu dan uang. Inikah yang disebut “Kristen”?? Tanda tanya yang besar sekali ! Kalau disuruh baca koran, bukunya Robert T. Kiyosaki, mereka tidak usah disuruh pasti cepat membaca, tetapi kalau disuruh membaca Alkitab, buku-buku theologia yang agak berat, dll, jawaban mereka sungguh “logis”: tidak ada waktu, terlalu sulit, buang-buang uang, dll. Mereka sebenarnya tidak takluk kepada Allah, tetapi mereka menginginkan agar Allah yang harus “takluk” kepada mereka. Tidak heran, mereka berani mengoreksi Alkitab yang bahasanya kurang dapat dimengerti, tetapi mereka sendiri tidak pernah mengoreksi diri mereka yang jauh lebih brengsek. Itulah keanehan manusia berdosa. Orang Kristen mutlak harus bertobat dari sifat kekanak-kanakan ini!

Hari ini, melalui perenungan tiga ayat di dalam pasal 10 ini, sudahkah kita disadarkan tentang bahaya kekanak-kanakan di dalam Kekristenan? Maukah hari ini kita berkomitmen untuk tidak lagi menomersatukan kehendak dan ambisi kita, tetapi menomersatukan Tuhan dan kehendak-Nya di dalam kehidupan kita sehari-hari? Jangan jadikan komitmen ini sebagai komitmen secara rasio dan perkataan saja, tetapi realisasikanlah komitmen itu dan pertanggungjawabkanlah kelak di hadapan Allah. Jangan sekali-kali bermain-main dengan komitmen kita kepada Allah! Soli Deo Gloria. Amin.

No comments: