30 June 2010

Eksposisi 1 Korintus 7:10-11 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:10-11

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:10-11



Perintah dari Tuhan Sendiri (ay. 10a)
Perhatian Paulus terhadap isu perceraian di sini harus dilihat dalam kaitan dengan problem utama yang sebelumnya sudah dibahas (7:1b). Konsep theologis yang salah dari jemaat Korintus tentang kerohanian membuat mereka menghindari hubungan seksual antara suami-istri. Apa yang mereka sedang lakukan bukan hanya untuk sementara waktu seperti yang dinasehatkan Paulus di ayat 5, tetapi mereka bahkan berpikir untuk bercerai. Kepada mereka, Paulus memberikan nasehat di ayat 10-11.

Paulus menujukan nasehat ini “kepada orang-orang yang sudah kawin” (tois gegamēkosin, ay. 10). Sekilas ungkapan ini tampaknya tidak diperlukan. Kalau mereka belum kawin, tentu Paulus tidak perlu repot-repot memberi nasehat agar jangan jangan bercerai. Paulus ternyata memikirkan kelompok jemaat tertentu pada saat ia menyebut “orang-orang yang sudah kawin”.

Maksud dari sebutan di atas adalah “orang-orang Kristen yang kawin dengan orang Kristen juga”. Dengan kata lain, nasehat ini ditujukan pada pasangan Kristen. Ada beberapa argument yang mendukung bagian ini. Pertama, kelompok jemaat di ayat 10-11 dikontraskan dengan jemaat tertentu di ayat 12-16 yang memiliki pasangan non-Kristen. Di ayat 12 LAI:TB secara kurang tepat menerjemahkan “kepada orang-orang lain”. Semua versi Inggris menerjemahkan “kepada yang lainnya/sisanya” (tois loipois). Yang dimaksud loipoi di ayat ini adalah orang-orang yang berbeda dengan di ayat 10-11. Kedua kelompok ini sama-sama sudah kawin, tetapi kelompok pertama adalah pasangan Kristen, sedangkan yang lainnya bukan dengan orang Kristen.

Kedua, di ayat 2-5 Paulus sudah membahas tentang pasangan Kristen. Hal ini kita ketahui dari ungkapan “supaya kamu dapat berdoa” (ay. 5). Jika salah satu pasangan bukan orang Kristen maka Paulus tidak akan menyinggung tentang doa.

Pembedaan kelompok ini perlu ditekankan, karena Paulus memberikan perintah yang agak berbeda untuk dua kelompok itu. Bagi pasangan Kristen, perceraian dan kawin lagi merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi (ay. 10-11). Bagi pasangan campuran, perceraian tetap dimungkinkan, meskipun harus memperhatikan beberapa syarat dan pertimbangan tertentu (ay. 12-16).

Kepada kelompok pertama Paulus menyatakan bahwa Tuhan sendiri (bukan dia) memerintahkan (ay. 10). Pemilihan kata “memerintahkan” (parangellō) di ayat ini merupakan sesuatu yang menarik dan menyiratkan penekanan. Paulus biasanya hanya memakai ungkapan yang – sekalipun tetap berotoritas – tetapi setegas di ayat ini, misalnya “kelonggaran, bukan perintah” (ay. 6), “aku anjurkan” (ay. 8), “baiklah/adalah baik” (ay. 8, 26), “aku katakan” (ay. 12), “aku memberikan pendapatku” (ay. 25).

Ungkapan “aku, tidak, bukan aku, tetapi Tuhan” (ay. 10) telah mendorong beberapa penafsir untuk menduga bahwa Paulus mengoreksi apa yang sudah terlanjur ia tuliskan. Dugaan ini sama sekali tidak dapat dibenarkan. Di samping alasan doktrinal bahwa Roh Kudus mengilhami dia sehingga tidak mungkin melakukan kesalahan apa pun, dugaan tersebut juga tidak sesuai dengan konteks. Di ayat 12 Paulus menggunakan ungkapan yang sama, sekalipun kali ini ia mengubah susunannya: “aku, bukan Tuhan katakan...”. Berdasarkan hal ini kita seharusnya menyimpulkan bahwa Paulus memang dari semula bermaksud menyatakan dengan ungkapan seperti di ayat 10 dan 12.

Paulus pasti tidak akan berpikir bahwa pernyataannya di ayat 10 memiliki otoritas yang lebih tinggi dan mengikat dibandingkan yang di ayat 12. Di bagian selanjutnya ia menegaskan bahwa ia memberikan pendapat “sebagai orang yang dapat dipercayai karena rahmat yang diterimanya dari Allah” (ay. 25). Dia juga adalah orang “yang mempunyai Roh Allah” (ay. 40). Lebih jauh, setiap bagian dari kitab suci adalah diilhamkan Allah sendiri (2Tim 3:16), walaupun yang menuliskan secara langsung adalah manusia pilihan Allah (2Pet 1:20-21).

Apa maksud dari ungkapan di ayat 10a? Paulus sebenarnya sedang menjelaskan sumber dari pernyataannya. Perintah di ayat 10 memang langsung berasal dari Tuhan Yesus (bdk. Mat. 5:32//Luk. 16:16; Mat. 19:9//Mrk. 10:11), sedangkan perintah di ayat 12 merupakan pandangan Paulus sendiri. Tuhan Yesus tidak pernah memberikan perintah berkaitan dengan pasangan campuran, karena isu ini pada jaman-Nya bukanlah isu yang mendesak. Setelah injil menjangkau orang-orang tidak beriman dari bangsa lain, isu ini menjadi mendesak karena sebagian orang non-Kristen tersebut pasangannya akhirnya menjadi percaya. Dari sini terlihat bahwa Paulus sangat berhati-hati dengan tradisi yang di aterima. Kalau itu memang langsung dari Tuhan (bdk. 1Kor. 9:14; 11:23), dia akan menyatakan hal itu. Kalau itu adalah penafsiran dia, maka ia juga memberitahukan hal tersebut.

Maksud lain dari ungkapan ayat 10 berkaitan dengan situasi konkrit yang dialami jemaat. Pada waktu itu mereka menganggap diri rohani dan menerima “pewahyuan Roh Kudus” (bdk. 7:40), sehingga mereka mengklaim bahwa praktik selibasi atau asketisisme yang mereka sedang lakukan adalah dari “Roh Kudus”. Kepada orang-orang seperti ini Paulus menegaskan bahwa ucapan Tuhan Yesus merupakan otoritas tertinggi. Tidak ada pewahyuan dari Ro Kudus yang bertentangan dengan ajaran Yesus. Tradisi ajaran yang berasal dari Tuhan Yesus dan diajarkan oleh para rasul harus lebih ditaati daripada “wahyu” spektakuler yang sebenarnya bukan dari Roh Kudus (bdk. Kol. 2:7, 18).

Perintah di ayat 10-11 ditujukan pertama kali kepada para istri. Dalam budaya Yahudi hal ini sepertinya tidak akan ditemukan, karena wanita memang tidak memiliki hak untuk menceraikan suaminya. Dalam budaya Yunani-Romawi, baik suami maupun istri bisa mengajukan perceraian. Ketika Paulus menyinggung para istri lebih dahulu, hal ini mungkin tidak lebih daripada sekadar kebiasaan pada waktu itu. Di tempat lain Paulus juga memberikan perintah/nasehat kepada pihak yang lebih lemah/rendah, setelah baru yang lebih kuat/tinggi (Ef. 5:226:9; Kol. 3:18-4:1). Jika kita mengamati pembahasan Paulus di 1 Korintus 7, maka kita akan menemukan bahwa Paulus tidak selalu menyinggung pihak yang lebih rendah lebih dahulu. Ia kadang menasehati suami dulu (ay. 2, 3, 12-13), kadangkala istri (ay. 4, 10-11, 16). Variasi seperti ini memang menyiratkan bahwa Paulus bertindak adil terhadap suami-istri, namun ada kemungkinan lain bahwa sumber masalah di tiap nasehat memang berganti-ganti.

Dalam kasus di ayat 10-11, para penafsir berpendapat bahwa istrilah yang menjadi sumber masalah. Dengan kata lain, istrilah yang menuntut atau mengusahakan perceraian. Beberapa argumen yang dikemukakan antara lain: (1) istri disinggung pertama kali; (2) porsi pembahasan untuk istri jauh lebih banyak (ay. 10-11a) daripada suami (ay. 11b); (3) istri diperintahkan untuk kembali kepada suami (ay. 11a); ini menyiratkan bahwa upaya menceraikan diri berasal dari istri; (4) sikap para wanita yang tidak tertib dalam ibadah (11:1-16) memberi indikasi pada gerakan feminisme kuno; (5) bapa Eusebius mencatat adanya para wanita spiritual/nabiah dalam gerakan bidat Montanisme abad ke-2 M yang meninggalkan suami mereka. Walaupun kisah ini terlalu jauh dari masa hidup jemaat Korintus (pertengahan abad ke-1 M) dan tidak relevan, namun contoh ini tetap menyiratkan bahwa ada kemungkinan konsep spiritualitas yang salah bisa medorong wanita untuk bercerai dari suaminya.


Isi Perintah (ay. 10b-11)
Paulus memberikan dua perintah yang saling berkaitan. Perintah ini tetap berlaku untuk suami-istri, walaupun nasehat untuk suami hanya disebut secara sambil lalu saja oleh Paulus (ay. 11b).

Jangan bercerai (ay. 10b)
Paulus melarang para istri untuk menceraikan (chōrizō) suami mereka. Secara hurufiah kata ini memiliki arti “meninggalkan” (KJV/NASB) atau “memisahkan diri” (NIV/RSV).

Berdasarkan hal ini, beberapa penafsir mencoba membedakan antara kata cwrizw di ayat 10b dengan kata afihmi di ayat 11b. Chōrizō dianggap perceraian tidak resmi (sekadar pisah rumah), sedangkan afihmi disertai dokumen resmi.

Pembedaan di atas tampaknya terlalu dipaksakan. Kata afihmi juga dipakai Paulus untuk istri (ay. 13). Di ayat 15 kata chōrizō dikenakan pada suami maupun istri (bdk. Mat. 19:6//Mrk. 10:9). Selain itu, proses perceraian dalam budaya kuno tidak seformal sekarang. Dalam beberapa konteks, tidak bersetubuh dengan pasangan sudah dianggap “bercerai” sekalipun tidak disertai dengan proses hukum maupun dokumen resmi.

Dalam bagian ini Paulus tidak memberikan alasan apa pun di balik larangan untuk bercerai. Ketidakadaan keterangan ini mengasumsikan bahwa jemaat Korintus sudah mengetahui alasan di baliknya. Hal ini pasti merujuk ada suatu kebenaran yang sudah sangat populer. Paulus sangat mungkin memikirkan ajaran Yesus (Mat. 19:1-12//Mrk. 10:1-12) yang juga sudah dikenal dengan baik oleh jemaat Korintus. Dalam teks ini Yesus menyandarkan larangan perceraian pada rencana awal Allah untuk perkawinan. Perkawinan dirancang supaya dua menjadi satu (Kej 2:24). Allah dari dahulu tidak pernah berkompromi dengan perceraian (Mal. 2:16a). Kalaupun Allah memerintahkan Musa untuk memberikan surat cerai, hal itu dilakukan karena ketegaran hati bangsa Yahudi (Mat. 19:8//Mrk. 10:5).

Jika dilihat dari situasi konkrit jemaat Korintus, larangan untuk bercerai ini merupakan larangan yang luar biasa keras. Alasan yang dipakai oleh jemaat Korintus adalah “kerohanian”. Walaupun mereka memiliki konsep spiritualitas yang salah, tetapi mereka berani bercerai untuk mencapai “tingkat kerohanian yang lebih tinggi”. Kalau untuk alasan “rohani” saja Paulus melarang perceraian, apalagi untuk sekadar alasan-alasan klise seperti tidak cocok, tidak bisa menafkahi, dsb. Kalau untuk saling menjauhi dalam waktu yang tidak tertentu saja dilarang (1Kor. 7:5), apalagi bercerai.

Jangan kawin lagi (ay. 11)
Apakah kata “jikalau” di awal ayat 11 menunjukkan suatu tindakan yang mungkin terjadi atau tidak? Dari tata bahasa Yunani yang dipakai, tindakan yang diasumsikan bisa saja terjadi. Dari sisi konteks, hal ini tampaknya juga sangat mungkin terjadi. Perceraian adalah rencana ideal Allah, namun orang percaya sering kali gagal menaatinya. Jika beberapa orang sudah terlanjur melakukan hal itu, Paulus memberikan nasehat khusus agar situasi mereka tidak menjadi lebih buruk. Pola seperti ini mirip dengan pada jaman Musa. Sekalipun dilarang bercerai, bangsa Israel tetap melakukan hal itu. Supaya para mantan istri tidak diperlakukan lebih sengsara lagi (status mereka terkatung-katung), mereka harus diberikan surat cerai. Jadi, 1 Korintus 7:11 bukanlah bentuk kompromi, tetapi cara pencegahan terhadap dosa lainnya lagi.

Kepada mereka yang bercerai, Paulus memberikan dua alternatif: tetap sendiri atau rujuk dengan suami. Alternatif pertama jelas didasarkan pada pertimbangan dosa perzinahan. Jika seseorang menikah dengan orang yang bercerai, maka keduanya melakukan perzinahan (bdk. Mat. 19:9//Mrk. 10:11-12). Dalam kasus jemaat Korintus, keputusan untuk bercerai sudah merupakan dosa, karena itu mereka tidak boleh menambahi lagi dengan dosa yang lain. Jika dilihat dari larangan Paulus kepada jemaat untuk saling menjauhkan diri (ay. 2-5) maupun bercerai (ay. 10), perintah untuk tetap hidup sendiri ini merupakan sesuai yang menarik. Hdup sendiri untuk kepentingan “kerohanian” adalah dilarang, sebaliknya hidup sendiri setelah perceraian adalah keharusan.

Menariknya, Paulus memberikan alternatif untuk rujuk dengan mantan suami. Hal ini tidak dikategorikan sebagai perzinahan. Mengapa? Di mata Paulus, pernikahan merupakan komitmen seumur hidup sampai salah satu meninggal dunia. Selama keduanya masih hidup maka pernikahan masih mengikat (Rm. 7:1-3). Dengan dasar pertimbangan ini, menikah kembali dengan mantan suami bukanlah perzinahan, karena keduanya memang disatukan untuk seumur hidup.

Walaupun dua alternatif di atas sekilas tampak berupa pilihan eksklusif (pilih satu atau yang lainnya), namun bukan itu maksud Paulus. Keduanya saling berkaitan. Perintah untuk tidak kawin dimaksudkan agar keduanya masih memiliki kesempatan untuk rujuk kembali. Jika salah satu sudah menikah lagi dengan orang lain, maka rujuk menjadi tidak mungkin. Dalam tradisi Yahudi, seorang istri yang sudah kawin atau berzinah dengan laki-laki lain tidak boleh kembali pada suaminya lagi. Ulangan 24:4 “maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN”. Salah satu contoh tentang budaya ini adalah istri-istri Daud yang sudah dicemari oleh Absalom (2Sam. 16:21-22). Daud tidak lagi bersetubuh dengan mereka. Mereka diperlakukan ibarat janda (2Sam. 20:3).

Dari dua alternatif yang diberikan Paulus tampaknya mengantisipasi kalau para istri sadar terhadap konsep mereka yang salah dan kembali lagi kepada suami mereka. Dengan kata lain, Paulus mengharapkan pertobatan mereka. Dia juga mengantisipasi dalam kesendirian mereka, mereka rentan terhadap dosa percabulan (bdk. ay. 2, 5).

Di akhir ayat 11 Paulus mengaplikasikan perintah di ayat 10-11a kepada suami, tetapi kali ini tidak secara panjang lebar. Hal ini menyiratkan bahwa pihak suami bukanlah sumber perceraian. Hal ini juga membuktikan bahwa sekalipun perceraian merupakan hal yang umum dalam masyarakat Yahudi maupun Yunani, dalam kehidupan gereja hal tersebut merupakan hal yang tidak biasa. Perceraian dilarang, apalagi kawin lagi. Betapa Alkitab sangat menekankan keutuhan keluarga Kristiani! Amin. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 26 April 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2010-11.pdf

23 June 2010

Eksposisi 1 Korintus 7:6-9 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:6-9

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:6-9



Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa jemaat Korintus memiliki sebuah konsep yang salah tentang kerohanian dan seks. Mereka menganggap bahwa kalau tidak melakukan hubungan seks dengan pasangan merupakan sesuatu yang baik bagi kerohanian (7:1b). Sebagai respons terhadap hal ini Paulus menasihatkan agar suami-istri tetap melakukan hubungan seks (7:2). Alasan yang dikemukakan Paulus berkaitan dengan hakekat dasar pernikahan. Dalam pernikahan terdapat kewajiban seksual (7:3) dan kepemilikan tubuh bersama (7:4). Walaupun nasihat di 7:2-4 merupakan sesuatu yang mengikat, namun Paulus masih memberi peluang tentang kemungkinan suami-istri tidak melakukan kewajiban seksual (kasus khusus), yaitu apabila dilakukan atas persetujuan bersama dan hanya untuk sementara waktu saja.

Di 7:6-9 Paulus masih melanjutkan pembahasan sebelumnya. Ia berusaha mempertegas bahwa kasus khusus di 7:5 bukanlah sebuah perintah, tetapi hanya kelonggaran belaka (7:6). Jemaat Korintus tidak boleh memanfaatkan kasus khusus ini untuk saling menjauhi antara suami-istri. Ia lalu menerangkan kasus lain ketika hubungan seks boleh diabaikan, yaitu apabila seseorang diberi karunia untuk selibat/membujang (7:7). Berdasarkan hal ini ia menasihati orang yang tidak kawin dan para janda untuk tetap hidup sendirian jika mereka mendapat karunia untuk selibat (7:8). Apabila mereka tidak mau mengekang hawa nafsu, maka mereka dinasihatkan untuk segera menikah (7:9).


Kasus Khusus di 7:5 Hanyalah Kelonggaran (ay. 6)
Para penafsir berbeda pendapat tentang kata “hal ini” (touto) di ayat ini. Sebagian menganggap kata touto merujuk balik pada pandangan Paulus di ayat 2b yang lebih memilih untuk menjauhi segala macam hubungan seks. Maksudnya, walaupun Paulus lebih cenderung pada selibat (1:2a), tetapi hal itu bukan bersifat perintah yang harus diikuti (7:6). Usulan seperti ini tampaknya kurang dapat diterima. Jarak antara ayat 1b dan ayat 6 terlalu jauh dan secara tata bahasa tidak ada kaitan secara langsung. Selain itu, seperti sudah diterangkan sebelumnya, ayat 1b bukanlah pandangan Paulus. Dalam bagian itu ia sekadar mengutip pernyataan jemaat Korintus (bdk. 7:1a) dan mengoreksi pernyataan ini (7:2-4).

Sebagian penafsir yang lain meyakini bahwa kata touto menunjuk pada semua penjelasan di ayat 2-5. Menurut mereka perintah untuk melakukan hubungan seks dengan pasangan merupakan kelonggaran, bukan sesuatu yang mengikat dan harus ditaati. Paulus sendiri tidak melakukan hal itu atas dasar alasan tertentu (7:7). Pandangan ini memiliki beberapa keberatan serius. Jika ayat 1b adalah sikap jemaat Korintus dan ayat 2-5 adalah koreksi Paulus terhadap sikap ini, maka sulit dimengerti mengapa Paulus menegaskan bahwa pandangan dan koreksinya bersifat tidak mengikat. Lebih jauh, nasihat di ayat 2-4 didasarkan pada kebenaran Alkitab (lihat pembahasan sebelumnya), sehingga sangat janggal apabila hal ini tidak bersifat mengikat (normatif).

Tafsiran yang lebih sederhana dan masuk akal adalah dengan melihat touto di ayat 6 sebagai rujukan untuk kasus khusus di ayat 5. Dengan kata lain, Paulus sedang menegaskan bahwa saling menjauhi di ayat 5 tidak boleh dianggap sebagai perintah yang harus dituruti. Ia menjaga agar jemaat Korintus tidak menyalahgunakan pandangannya. Bagi Paulus saling menjauhi secara seksual antara suami-istri harus didasarkan pada syarat-syarat tertentu (7:5) dan ini pun sebisa mungkin tidak dilakukan (7:6). Bagi jemaat Korintus, saling menjauhi merupakan keharusan dan berlaku untuk seterusnya. Dengan menegaskan bahwa ayat 5 bukanlah suatu perintah, Paulus secara tegas sedang membedakan dirinya dengan jemaat Korintus.

Penggunaan kata “kelonggaran” (sungnōmē) bukan hanya menunjukkan bahwa kasus khusus di ayat 5 bersifat tidak mengikat, tetapi juga menunjukkan usaha Paulus untuk memahami jemaat. Kata yang hanya muncul sekali dalam seluruh Alkitab ini terdiri dari dua kata: sun = bersama-sama dan gnōmē = penilaian (bdk. 7:25). Dengan demikian kata sungnōmē secara hurufiah memiliki arti “bersama-sama menilai” atau “merasakan bersama-sama”.

Dalam pemakaian di luar Alkitab kata sungnōmē menyiratkan usaha untuk memahami orang lain. Pemakaian kata ini di ayat 6 berfungsi untuk menunjukkan bahwa sekalipun Paulus sangat menentang (7:2-4) pandangan jemaat Korintus (7:1b), tetapi ia berusaha memberikan kemungkinan bagi suami-istri untuk tidak melakukan hubungan seks (7:5). Hal ini sekali lagi bukanlah perintah yang mengikat.


Hidup Selibat Adalah Karunia Allah (ay. 7)
Di ayat ini Paulus berusaha menjelaskan bahwa dia diberi karunia Tuhan untuk selibat. Mengapa dia perlu menjelaskan tentang hal ini? Ada beberapa kemungkinan: (1) pandangan Paulus di ayat 2-6 dapat disalahmengerti sebagai sikap yang terlalu menekankan seks (sexoriented) atau anti terhadap gaya hidup selibat, karena itu Paulus menerangkan bahwa dia sendiri pun tidak melakukan hubungan seks; (2) sebagian jemaat Korintus mungkin menjauhi seks akibat salah memahami gaya hidup Paulus yang selibat, sehingga di ayat 7 Paulus berusaha menjelaskan bahwa selibat hanyalah bagi yang menerima karunia ini; (3) gaya hidup Paulus yang selibat tetapi sekaligus menekankan pentingnya seks bagi suami-istri merupakan kombinasi yang seimbang dan efektif untuk mempengaruhi jemaat Korintus. Kalau Paulus yang mendapat karunia selibat saja ternyata tidak anti terhadap seks, mengapa jemaat Korintus yang sudah menikah justru menjauhi hal ini?

Paulus menyatakan bahwa alangkah baiknya kalau semua orang seperti dia (ay. 7a). Terjemahan “alangkah baiknya” (LAI:TB) berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, seolah-olah Paulus melihat dirinya terlalu hebat dan selibat adalah sikap hidup yang sangat terpuji. Makna seperti ini jelas bertentangan dengan apa yang dinyatakan Paulus di ayat ini. Sesuai bahasa Yunani yang dipakai, Paulus sebenarnya hanya berkata, “aku berharap semua orang untuk menjadi seperti aku” (semua versi Inggris). Paulus pasti tahu bahwa harapan ini tidak mungkin tercapai (KJV/ASV/NIV/RSV/NASB). Para rasul dan saudara-saudara Yesus menikah (9:5). Kepada orang-orang yang sudah kawin pun Paulus menasihatkan agar mereka tidak mengupayakan perceraian (7:10-16, 27-28).

Paulus tidak memaksakan gaya hidupnya karena ia tahu bahwa “setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas” (ay. 7b). Selibat adalah sebuah karunai ilahi. Jika ini adalah karunia, maka tidak setiap orang Kristen harus mengikuti gaya hidup selibat Paulus. Untuk hal-hal lain yang bukan karunia khusus (misalnya pertumbuhan karakter Kristiani), Paulus berani mengatakan, “jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (11:1), tetapi gaya hidup selibat Paulus tidak mengikat bagi setiap orang Kristen.

Pandangan Paulus bahwa selibat adalah karunia didasarkan pada ajaran Yesus (Mat. 19:11-12). Dalam bagian ini Yesus menjelaskan bahwa ada orang-orang tertentu yang diberi karunia untuk tidak menikah; bahkan untuk memahami hal ini pun diperlukan karunia. Dari penjelasan yang diberikan Yesus terlihat bahwa karunia ini dapat direalisasikan melalui banyak cara: faktor sejak lahir, dijadikan demikian oleh orang lain dan atas dasar kemauan sendiri demi Kerajaan Allah. Apa pun sarana yang dipakai Allah untuk menunjukkan karunai ini pada diri seseorang, pada akhirnya orang itu harus memiliki tiga karakteristik sebagaimana yang disinggung di 1 Korintus 7:37: (1) merasa tidak dipaksa; (2) yakin dalam hatinya; (3) benar-benar mampu menguasai kemauannya (1Kor. 7:37). Jika tiga hal ini tidak ada pada diri seseorang, maka walaupun orang itu tidak menikah tetapi ia sebenarnya tidak bisa mensyukuri keadaannya. Akibatnya ia akan menjadi orang yang sangat sensitif, membenci lawan jenis dan menganggap semua kemesraan sebagai tipu muslihat belaka. Orang yang sampai pada tiga karakteristik ini – tidak peduli apakah ia tidak kawin akibat faktor bawaan sejak lahir, dijadikan orang lain atau keinginan sendiri – orang ini akan mampu menikmati kesendiriannya bersama Tuhan.

Konsep tentang selibat sebagai karunia akan membawa banyak implikasi lain bagi orang Kristen. Jika selibat adalah karunia, maka hal ini bukan masalah preferensi (pilihan) pribadi. Kita tidak boleh memilih untuk selibat jika kita tidak menerima karunia ini. Beberapa penulis Yahudi mengajarkan bahwa selibat adalah sesuatu yang perlu diusahakan setiap orang karena menunjukkan kerohanian. Pandangan ini jelas bertentangan dengan konsep selibat sebagai karunia. Jika selibat adalah karunia, maka kemampuan untuk menjalaninya bukan berasal dari manusia tetapi Allah. Disiplin rohani yang kita lakukan memang diperlukan untuk mengekang hawa nafsu, namun yang paling penting adalah karunia Allah yang memampukan kita melakukan hal itu (Flp. 2:13). Gaya hidup asketisisme yang terlihat di abad permulaan menjadi saksi bagaimana orang-orang Kristen mudah terjebak untuk mengagungkan kemampuan dan cara sendiri dalam mengatasi godaan seksual. Jika selibat adalah karunia, maka gaya hidup ini harus dipakai untuk melayani Tuhan. Setiap karunia pasti diberikan untuk kepentingan bersama (12:7). Demikian pula dengan karunia selibat. Orang yang tidak menikah seharusnya bisa lebih fokus dalam melayani Tuhan (7:34).

Paulus tidak hanya menyebut karunia selibat. Ungkapan “yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu” (ay. 7c) menyiratkan bahwa Paulus sedang memikirkan karunia yang lain. Yang dimaksud Paulus pasti bukan daftar karunia roh di 12:1-11, karena semua itu tidak berkaitan dengan topik yang ia sedang bahas. Para penafsir meyakini bahwa karunia lain ini adalah menikah. Sebagaimana selibat adalah karunia, demikian pula pernikahan merupakan karunia dari Allah. Kisah penciptaan ketika Allah menciptakan dan memberikan Hawa kepada Adam merupakan bukti yang sangat jelas bahwa pernikahan adalah karunia.

Jika menikah adalah karunia, maka ini berarti bahwa tidak setiap orang Kristen harus menikah. Sebelum kita menggumulkan siapa pasangan hidup kita, kita harus bergumul apakah kita diberi karunia untuk menikah. Bagi orang percaya, menikah bukanlah sesuatu yang alamiah maupun sekadar tuntutan sosial. Menikah adalah karunia, karena itu harus membuat kita lebih bisa melayani Tuhan. Pernikahan seharusnya membuat suami-istri lebih bertumbuh di dalam Tuhan dan lebih efektif bagi pelebaran Kerajaan Allah.


Nasihat Untuk Orang yang Tidak Kawin dan Janda (ay. 8-9)
Berdasarkan konsep di ayat 8, Paulus selanjutnya mengaplikasikan prinsip ini pada suatu situasi khusus, yaitu orang yang tidak kawin dan janda (ay. 8). Siapa yang dimaksud “orang yang tidak kawin” (agamos) di sini? Kita biasanya memahami agamos sebagai para bujangan atau para gadis yang belum menikah. Pandangan ini ternyata salah. Walaupun kata agamos dapat memiliki arti luas dan merujuk pada siapa saja yang tidak dalam keadaan menikah, namun dalam konteks ini artinya adalah para duda.

Ada banyak argumen yang mendukung arti ini: (1) konteks 1 Korintus 7:1b-7 adalah tentang hubungan suami-istri, sehingga agamos di ayat 8 kemungkinan besar merujuk pada mereka yang sudah pernah kawin; (2) tentang para bujangan dan gadis akan dibahas Paulus secara khusus di 7:25-38; (3) di 7:14 kata agamos dibedakan dengan para gadis; (4) di 7:11 perempuan yang bercerai dengan suaminya disebut sebagai agamos; (5) jika agamos di 7:8 merujuk pada para bujangan dan gadis, maka Paulus tidak membahas para duda sama sekali. Hal ini sedikit janggal, karena konteks 7:1b-6 (terutama ay. 3-4) adalah tentang hubungan timbal-balik antara suami-istri.

Kepada para duda dan janda Paulus menasihatkan “adalah baik untuk tetap dalam keadaan seperti aku” (ay. 8b, KJV/ASV/NASB/NIV). “Baik” (kalos) dalam konteks ini tidak boleh dipahami secara spiritual atau moral, seakan-akan tetap menjadi duda atau janda memiliki nilai kerohanian/moral yang lebih baik daripada yang menikah. Kalos berkaitan dengan kebaikan untuk orang lain (pelayanan). Orang yang tidak kawin tidak memusingkan diri dengan perkara duniawi dan dengan demikian dapat melayani Tuhan secara lebih terfokus (7:32-34; bdk. 1Tim 5:5). Inilah yang dimaksud “baik” oleh Paulus.
Walaupun “tidak kawin” merupakan pilihan terbaik bagi para duda dan janda, tetapi Paulus menyadari bahwa tidak semua orang akan bertahan dalam keadaan seperti ini. Semua bergantung pada karunia Allah yang memampukan seseorang untuk tetap hidup sendirian. Sebagian orang jelas tidak menerima karunia selibat. Hal ini ditunjukkan dengan “tidak dapat menguasai diri” (ay. 9a, LAI:TB/KJV/RSV/NIV). Terjemahan “tidak dapat” sebenarnya tidak tepat. Dalam bahasa Yunani hanya disebutkan “tidak menguasai diri”. Beberapa versi memilih “tidak memiliki penguasaan diri” (ASV/NASB), namun yang paling tepat adalah “tidak mempraktekkan penguasaan diri” (NRSV). Jadi, inti persoalan bukan terletak pada “mampu atau tidak”, tetapi “mau atau tidak”. Ada duda atau janda tertentu dalam jemaat Korintus yang tidak mau menahan diri, tetapi tetap bersikeras menjauhi pasangan secara seksual. Akibatnya mereka dengan mudah jatuh ke dalam perzinahan (bdk. 6:15-16; 7:2a). Untuk orang-orang yang seperti ini Paulus menasihatkan agar menikah.

Pernyataan Paulus di ayat 9a tidak berarti bahwa ia memiliki pendangan yang rendah terhadap pernikahan (hanya sebagai solusi bagi dosa seksual). Tanpa dibandingkan dengan dosa percabulan pun pernikahan merupakan sesuatu yang baik (7:38). Jika dibandingkan, maka pernikahan menjadi “lebih baik” daripada hangus karena hawa nafsu (7:9).

Dalam bahasa asli sebenarnya tidak ada kata “karena hawa nafsu” (KJV/ASV/NASB77). Paulus hanya memakai kata “hangus” (puroomai). Hangus karena apa? Beberapa penafsir mencoba mengaitkan hal ini dengan api penghakiman di akhir jaman (3:12-15), namun usulan ini tidak terlalu meyakinkan. Tidak ada ide tentang penghukuman ilahi di 1 Korintus 7. Lebih jauh, jarak antara pasal 3 dan 7 terlalu jauh untuk dihubungkan.

Sebagian besar penafsir lebih cenderung memilih “karena hawa nafsu” (NIV/NASB95/RSV/NRSV/NKJV). Pendapat ini didasarkan pada 2 Korintus 11:29. Dalam ayat ini kata kerja puroomai (LAI:TB “hancur”) dikaitkan dengan sesuatu yang ada dalam diri Paulus (LAI:TB “oleh dukacita”). Jika puroomai memang berhubungan dengan sesuatu dalam diri manusia, maka menerjemahkan puroomai di 1 Korintus 7:9 dengan “hangus karena hawa nafsu” bukanlah pilihan yang salah. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 8 Maret 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2006-09.pdf

20 June 2010

GIBOL: BOLEHKAH? (Denny Teguh Sutandio)


GIBOL: BOLEHKAH?
Sebuah Tinjauan dan Refleksi Iman Kristen terhadap Gejala Gila Bola


oleh: Denny Teguh Sutandio





FIFA World Cup: Pendahuluan
Sejak 11 Juni-11 Juli 2010, dunia sedang asyik-asyiknya merayakan Fédération Internationale de Football Association (FIFA) World Cup XIX, ajang sepakbola kelas dunia di Afrika Selatan. Ini merupakan kesempatan pertama kalinya FIFA World Cup diadakan di negara Afrika. Siaran langsung ini disiarkan di banyak negara, termasuk Indonesia. Banyak orang yang menggandrungi bola rela ngelembur untuk menonton tim sepak bola favorit mereka melawan musuhnya. Penontonnya tidak terbatas oleh usia, jenis kelamin, status sosial, agama, status ekonomi, dll.


FIFA World Cup dan Dampaknya
FIFA World Cup yang diadakan di Afrika Selatan ini memiliki dampak positif dan negatifnya. Dampak positifnya adalah diizinkannya siaran ini di tempat-tempat publik di Iran yang dahulu tidak diizinkan pada FIFA tahun 2006.1 Meskipun ada beberapa dampak positif lainnya, namun kita harus mengakui banyak dampak negatif yang dihasilkan melalui FIFA World Cup ini yaitu:
Pertama, pelarangan menonton FIFA World Cup. Kelompok militan radikal dari agama tertentu di Somalia melarang warganya menonton pertandingan FIFA World Cup dan mengancam barangsiapa yang menontonnya dengan hukuman cambuk di depan umum. Alasan mereka adalah FIFA World Cup adalah pertandingan yang membuang waktu dan sumber daya ditambah tidak sesuai dengan agama mereka.2

Kedua, meningkatnya angka kejahatan. Di Afrika Selatan, tempat berlangsungnya FIFA World Cup, turis dari China, Portugal, Spanyol, Korea Selatan, Jepang, dan Kolombia menjadi korban kejahatan. Tiga orang dari tim nasional Yunani melaporkan bahwa uang mereka sebesar £1,300 telah dicuri di ruangan (hotel) mereka.3

Ketiga, kerugian biaya listrik. Menurut informasi dari radio Suara Surabaya FM yang menayangkan siaran 5 menit dari FIFA World Cup ini, banyak perusahaan di beberapa negara merugi karena listrik mereka dipakai oleh para karyawannya untuk menonton pertandingan FIFA World Cup melalui komputer.

Keempat, ketidakharmonisan keluarga. Dampak ini saya dapatkan dari sharing teman saya melalui updated status di Facebook yang mengatakan bahwa karena suaminya seorang gibol (gila bola), maka dia sebagai istri merasa bosan karena pada hari Sabtu, dirinya tidak diajak jalan-jalan. Ya, untung saja, teman saya ini orang yang termasuk cukup sabar dengan suaminya yang gibol ini.

Kelima, kecanduan. Dampak terakhir yang bisa berbahaya dari gibol adalah kecanduan. Sadar atau tidak sadar, pertandingan FIFA yang berlangsung satu bulan ini mengakibatkan para penontonnya menjadi kecanduan. Coba bayangkan, ada orang yang rela tidur sebentar untuk nantinya pada dini hari dapat puas menonton bola. Para penggila bola rela (hampir) setiap hari ngelembur, sehingga besok paginya ketika bekerja, mereka menjadi ngantuk. Akibatnya, efektivitas kerja menurun dan perusahaan/kantor/toko tempat mereka bekerja rugi. Seorang gibol rela membatalkan janji dengan teman bahkan mengacuhkan istrinya hanya demi pertandingan bola ini.


Iman Kristen dan Gibol
Lalu, bagaimana iman Kristen menyoroti gibol ini? Apakah kita sama seperti agama seberang yang melarang umatnya untuk menonton pertandingan FIFA ini dengan alasan tidak sesuai dengan agamanya? Ingatlah prinsip penting dalam iman Kristen: iman Kristen TIDAK pernah legalistik kaku. Artinya, iman Kristen bukanlah iman yang terlalu kaku memberlakukan suatu hukum pada para penganutnya. Iman Kristen adalah iman yang dinamis namun ketat. Inilah paradoksikal iman Kristen. Iman Kristen adalah iman hubungan. Artinya, iman Kristen adalah iman yang didasarkan pada hubungan seseorang dengan Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Semakin dekat hubungan seorang Kristen dengan Kristus, maka ia dengan haus dan rela menaati apa yang Kristus firmankan di dalam Alkitab. Dengan kata lain, semua perintah dan kehendak-Nya ditaati bukan dengan ancaman dan hukuman, namun dari hati yang mengasihi.

Dari presuposisi dasar iman Kristen ini, bagaimana kita memandang seorang yang demen nonton bola atau bahkan seorang gibol? Saya menyebut orang yang suka nonton bola itu adalah orang yang hobinya sepak bola. Iman Kristen menghargai hobi seseorang asalkan hobi itu tidak berdosa, seperti: berzinah, main pelacur, dll. Hobi seseorang itu merupakan salah satu bentuk refreshing dari hidupnya yang mungkin sibuk di kantor atau sibuk dengan urusan rumah tangga. Meskipun saya tidak menyenangi sepak bola, namun bagi saya, tidak ada masalahnya dengan hobi nonton bola. Namun, ada beberapa yang harus diperhatikan:
Pertama, nonton bola jangan menjadi candu. Meskipun kita memang hobi nonton bola, namun jangan sampai hobi kita ini menjadi candu bahkan kita berhalakan secara tidak sadar, sehingga ketika kita nonton bola di TV, tidak ada orang yang boleh mengganggu bahkan istri/suami dan anak sendiri. Ketika kita sampai berlaku ekstrem demikian, berarti sadar atau tidak sadar kita menjadikan sepak bola menjadi berhala dalam hidup kita. Jika sepak bola menjadi berhala dalam hidup kita, ingatlah firman Tuhan mengajar kita, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.” (Kel. 20:3) Ilah lain tidak harus berupa patung yang kelihatan, namun ilah lain bisa berupa sesuatu yang kita agung-agungkan melebihi Allah yang harus kita agungkan selama-lamanya.

Kedua, orientasi waktu. Ketika kita menonton bola, perhatikan waktu kita. Jangan sampai kita menghabiskan terlalu banyak waktu hanya untuk menonton bola, lalu kita meninggalkan hal-hal lain yang lebih penting, misalnya: kebaktian di gereja, pelayanan di gereja, bekerja, mengurus rumah tangga, dll. Sebuah nasihat bijak yang saya dengar dari Sdri. Ira Natanael, seorang penyiar radio Bahtera Yudha FM kemarin malam (Sabtu, 19 Juni 2010 sekitar Pkl. 21.00 WIB): kita boleh suka nonton bola, namun jangan sampai kita lupa untuk ibadah besoknya. Ini sebuah nasihat bijak yang perlu kita dengarkan. Ada orang Kristen yang benar-benar suka nonton bola, sampai besok paginya lupa ke gereja dengan beragam alasan, misalnya: telat bangun, dll, padahal alasan utamanya karena begadang nonton bola. Aturlah waktu kita dengan mengklasifikasikannya menjadi: hal-hal penting dan hal-hal yang kurang penting. Jika sesuatu termasuk hal penting, lakukan itu terlebih dahulu, baru kemudian melakukan hal-hal yang kurang penting. Misalnya, menonton bola termasuk hal yang kurang penting, maka jika ada sesuatu yang lebih penting (misalnya: kebaktian dan pelayanan di gereja, bekerja, mengurus rumah tangga, dll) yang harus dikerjakan, kerjakanlah itu terlebih dahulu, baru setelah itu, jika ada waktu luang, pergunakanlah itu untuk menonton bola.

Sebagai refleksi iman Kristen, gejala gibol menyadarkan kita beberapa hal:
Pertama, rela. Tidak ada seorang gibol yang tidak rela menghabiskan waktunya untuk menonton sepak bola, apalagi yang main waktu itu tim kesayangannya. Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen yang katanya cinta Tuhan? Benarkah kita benar-benar rela menghabiskan waktu kita demi melayani Tuhan dan mencintai (plus menaati) firman-Nya? Melayani Tuhan TIDAK harus di gereja, melayani Tuhan itu bisa melalui aktivitas kita sehari-hari yang mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan. Sering kali ketika ke gereja, kita terpaksa, malas, dan bosan (ingin kebaktian cepat selesai), namun ketika menonton bola, kita rela begadang. Masih layakkah kita disebut orang Kristen? Mari kita introspeksi diri masing-masing.

Kedua, hasrat. Seorang gibol adalah seorang yang memiliki hasrat tinggi untuk nonton bola berjam-jam bahkan (hampir) setiap hari. Ia ingin melihat kemenangan tim favoritnya melawan musuh. Adakah hasrat yang sama kita miliki di dalam iman Kristen kita? Ketika firman Tuhan melalui khotbah yang bertanggungjawab disampaikan, adakah kita berhasrat mendengarkannya dengan hati dan telinga yang terbuka? Ataukah kita malah tidur di gereja pada waktu khotbah disampaikan? (Jika yang salah memang si pengkhotbah, mungkin karena kurang persiapan, ya pengkhotbah yang harus bertobat, namun jika si pengkhotbah sudah persiapan, ya yang bertobat adalah jemaatnya yang suka tidur di gereja)

Ketiga, semangat. Seorang gibol adalah seorang yang bersemangat apalagi ketika melihat tim favoritnya menang melawan musuhnya. Semangat itu ditandai dengan teriakan kemenangan, misalnya: “GOOOOOL!” ketika salah seorang anggota tim favoritnya mencetak gol. Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Adakah semangat yang sama menjiwai iman kita? Ketika firman Tuhan melalui khotbah yang bertanggungjawab disampaikan, adakah kita bersemangat mendengarkan dan tentunya menaatinya? Adakah kita bersemangat melakukan firman Tuhan di dalam hidup kita dan berkata, “Puji Tuhan” ketika kita bisa mengalahkan godaan hidup kita? Ataukah kita malah terperosok ke dalam tipu daya iblis?


Kesimpulan dan Tantangan
Bagaimana dengan kita? Apakah hobi kita menjadi candu bagi kita? Ataukah hobi kita bisa kita seimbangkan dengan hal-hal lain yang lebih penting? Apakah hobi kita menginspirasi kita untuk berbuat lebih dahsyat bagi Kerajaan Allah ketimbang untuk urusan-urusan tidak penting? Biarlah renungan singkat ini menyadarkan kita agar hidup kita makin memuliakan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan kita. Amin. Soli Deo Gloria.



Catatan Kaki:
1. http://en.wikipedia.org/wiki/2010_FIFA_World_Cup
2. Ibid.
3. Ibid.

18 June 2010

DANGDUT, KARL MARX, DAN KEKRISTENAN (Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.)

DANGDUT, KARL MARX, DAN KEKRISTENAN

oleh: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.


Apa kaitan antara dangdut, Karl Marx dan Kekristenan? Rasanya kok terlalu mengada-ada ya! Tetapi nama Karl Marx, mbah komunisme itulah yang muncul dalam benak saya ketika menyaksikan pentas musik dangdut di televisi. Supaya tidak salah paham, bukan goyang ngebor atau patah-patah dari artisnya yang ingin kita bicarakan di sini, tetapi goyang lepas dari sebagian penontonnya itulah yang menarik untuk dipikirkan.

Mengapa dipikirkan? Terus terang saya jarang melihat jenis musik lain di Indonesia yang bisa membuat sebagian penontonnya lepas baju alias ote-ote, menari, dan berjoget di atas pundak orang lain selama pentas musik berlangsung. Wow…wajah mereka tampak tanpa beban, dan goyangan mereka selaras mengikuti irama. Betapa dahsyatnya kenikmatan psikologis yang dialami sebagian penikmat dangdut, apalagi jika artisnya manis dan genit seperti Dewi Persik.

Jadi apa dong kaitan dangdut, Karl Marx dengan Kekristenan? Mudah saja! Tanpa bermaksud menilai bagus tidaknya musik dangdut (karena saya bukan pakar musik), saya melihat jelas bahwa musik dangdut “berjasa” dalam menjadi semacam “opium/candu” yang membius sebagian penontonnya sehingga mereka bisa melepaskan beban kehidupan mereka untuk sementara waktu. Dalam aksi joget ria, lepas…bebas, masalah gaji yang rendah, kemarin dimaki-maki atasan, atau besok makan apa atau siapa… semuanya bisa ditinggalkan di rumah dulu. Yang penting joget dulu! Orgasme psikologis kan tidak dilarang! Kira-kira itulah penafsiran saya terhadap ekspresi SEBAGIAN penonton pentas dangdut. Tentu saja tidak semua penonton benar-benar lepas seperti itu, tetapi sebagian dari mereka jelas sekali menghayati dangdut sebagai musik “pelepasan beban psikologis”. Pengalaman pribadi penulis sebagai wong ndeso yang punya teman-teman hobi dangdut-an, mengkonfirmasi pendapat ini.

Nah, sampai di sini kaitan dangdut dengan Karl Marx, mungkin sudah mulai terbaca. Karl Marx (1818-1883) memiliki teori tentang agama sebagai candu bagi masyarakat. Bagi pemikir ateis yang amat berpengaruh ini, agama bersifat membius karena agama menimbulkan fantasi yang tidak nyata! Melalui agama, kepedihan dan penderitaan yang dialami masyarakat yang miskin (kaum buruh) dapat diringankan dengan fantasi tentang sorga, sebuah tempat di mana tidak ada lagi penderitaan dan penindasan. Agama bersifat membius kesadaran orang khususnya si miskin, agar tidak iri kepada orang kaya, agar puas dengan pendapatannya yang minim, karena ada harta di sorga, kelak! Ya, agama membius mirip seperti dangdut membius. Kedua-duanya bisa membuat orang lupa daratan dan realitas. Bedanya, agama membius masyarakat dengan fantasi sorga, tetapi dangdut membius sebagian penonton dengan goyangan seksi dan mungkin fantasi porno!

Konsep Marxisme tentang agama ini tentu saja salah dan tidak terbukti dalam beberapa aspek yang paling mendasar. Sebagai orang kristen kita menolak tuduhan Marx bahwa Allah adalah hasil imajinasi manusia. Kita juga menolak keyakinan bahwa sorga adalah fantasi yang diciptakan manusia untuk meringankan beban wong cilik agar tidak melakukan pemberontakan terhadap golongan berduit. Kita harus maklum karena sebenarnya Marx memang bukan ahli agama, sehingga tampaknya ia tidak tahu bahwa tidak semua agama mengajarkan fantasi sorga. Bagi sebagian agama Yunani/Romawi kuno, hanya kaum penguasa dan ksatria yang memiliki keabadian jiwa; rakyat biasa hanya menjadi bayang-bayang (hantu). Marx juga salah ketika percaya bahwa agama akan lenyap ketika jurang antara si kaya dan si miskin bisa diatasi. Kita meragukan Marx yang percaya bahwa jika semua orang sudah makmur, maka masyarakat tidak memerlukan Allah dan agama. Ateisme dari Marx harus kita tolak secara tegas! Alkitab berkata “…Orang bebal berkata dalam hatinya: "Tidak ada Allah." Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik” (Mzm. 14:1). Marx termasuk orang bebal, bukan sekedar bodoh secara intelektual.

Tetapi, kontribusi positif Marx bagi umat beragama jelas! Marx menjadi lampu kuning bagi kita agar tidak menjadikan agama sekedar obat bius! Bagi kita, Marx menolong kita berefleksi “Apakah Kekristenan kita adalah candu yang membiuskan atau apa?”

Pengamatan menyedihkan yang saya temukan kadang-kadang mendukung pandangan Marx secara parsial. Sebagian orang Kristen memang punya mentalitas yang menjadikan agama sebagai candu yang membius. Sering kali dalam ibadah-ibadah Kristiani yang diharapkan adalah khotbah yang menghibur, menguatkan, menyegarkan, dan tentu lebih asyik lagi jika ada gelak tawa. Agak jarang, doa sebelum firman Tuhan diberitakan memohon kotbah yang menegur, membentuk karakter dan menyatakan kebenaran. Pergi kebaktian juga sering kali menjadi sarana pelepasan bagi kepenatan jiwa. Sumpek…yuk kebaktian aja! Kebaktian kadangkala jadi mirip pentas dangdut yang membius sebagian penonton dan candu yang meringankan beban hidup persis seperti pemikiran Marx! Lihat saja lagu-lagu yang laris dinyanyikan. Nuansanya terus menghibur kita dengan menggunakan konsep-konsep kepedulian dan kebaikan Allah. Ujung-ujungnya selalu kita yang untung dalam relasi dengan Allah. Kan…Allah peduli, rancangannya indah-buat KITA! Makin lama makin jarang, lagu-lagu yang agung, yang memuji kebesaran, keagungan, dan kekuasaan-Nya tanpa harus dikaitkan-kaitkan dengan keuntungannya bagi kita. Buku yang laris juga yang bicara tentang Heaven …tuh! Yah, di dunia kan susah, jadi paling enak bicara tentang sorga, membuat kita jadi lega!

Jika orang Kristen larut dalam pola-pola seperti ini, tidak mengherankan jika Kekristenan menjadi mandul, orang Kristen menjadi cengeng dan kebaktian menjadi tempat dugem spiritual. Daripada melampiaskan kelelahan hidup di tempat-tempat yang nggak genah, lebih baik kebaktian aja! Duh…sedihnya!

Akhir kata, semoga kita bukan bagian dari orang yang bisa dikritik Karl Marx, yaitu mereka yang menjadikan agama sebagai candu yang membius! Mari kita buktikan bahwa Kekristenan kita adalah bahan bakar yang menghidupkan karya di dunia, mempengaruhi masyarakat sekitar (bdk. konsep Weber), sambil tetap menanti Heaven yang memang real!



Sumber: e-mail yang dikirim langsung dari penulis



Profil Penulis:
Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau mendapat sertifikat dari Ravi Zacharias International Ministry, Academy of Apologetics, India.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

17 June 2010

Resensi Buku-98: THE FAITH (Charles Colson dan Harold Fickett)

...Dapatkan segera...




Buku
THE FAITH:
Apa yang Dipercayai Orang Kristen, Mengapa Mereka Mempercayainya, dan Mengapa Hal Itu Penting


oleh: Charles W. Colson dan Harold Fickett

Penerbit: Pionir Jaya





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Iman adalah sesuatu yang sangat penting di dalam hidup keberagamaan, karena iman merupakan suatu dasar yang membuat kita percaya. Demikian juga dengan iman Kristen. Banyak orang beragama Kristen, namun benarkah mereka beriman Kristen? Dengan bahasa yang mudah dimengerti, Charles Colson dan Harold Fickett di dalam bukunya The Faith menjelaskan kepada kita signifikansi penting iman Kristen yang berdasarkan doktrin yang kokoh, yaitu: doktrin Allah (Kebenaran, Wahyu, dan Trinitas), doktrin Alkitab, Dosa, Keselamatan, Gereja, dan Akhir Zaman) dan diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Buku The Faith ini telah mendapat apresiasi (rekomendasi) dari 56 orang baik dari kalangan Kristen Protestan maupun Kristen Katolik.




Rekomendasi (dari 56 perekomendasi diambil 16 baik dari Injili, Reformed, maupun Katolik):
“Kekristenan yang sejati dan Alkitabiah sering kali salah dicirikan oleh media, salah digunakan oleh politikus, dan salah diajarkan oleh kalangan akademis sehingga jadi salah dipahami oleh kebanyakan orang Amerika Serikat. Karenanya, setiap orang akan mendapat manfaat dengan membaca buku ini—entah Anda orang skeptis, pencari kebenaran, orang percaya baru, atau orang ynag sudah lama mengikut Kristus. Paduan pikiran cemerlang Chuck Colson dan prosa Harold Fickett yang memikat memberi kita ikhtisar yang jelas, ringkas, dan menggugah tentang apa yang sebetulnya dipercayai oleh para pengikut Yesus.”
Rev. Richard Duanne (Rick) Warren, D.Min.
(Pendiri dan Pendeta Senior di Saddleback Church, California, U.S.A.; Bachelor of Arts—B.A. dari California Baptist University, Riverside, California, U.S.A.; Master of Divinity—M.Div. dari Southwestern Baptist Theological Seminary, Fort Worth, Texas, U.S.A.; dan Doctor of Ministry—D.Min. dari Fuller Theological Seminary, Pasadena, California, U.S.A.)

“Buku ini terbaca seperti novel dan berisi pukulan godam yang keras. Saya kira ini boleh jadi buku terpenting yang pernah ditulis Chuck.”
Rev. William (Bill) Hybels, D.D.
(Pendeta Senior dan Pendiri dari Willow Creek Community Church, South Barrington, Illinois, U.S.A.; Bachelor in Biblical Studies dari Trinity International University dan dianugerahi gelar Doctor of Divinity—D.D. dari Trinity Evangelical Divinity School, U.S.A.)

“Chuck Colson bukan saja mampu menjelaskan isu-isu moral besar masa kini dengan cara yang hanya bisa dilakukan sedikit orang, tetapi secara fasih dan meyakinkan ia juga mampu menunjuk kepada satu-satunya obat sejati bagi budaya kita yang sakit: pengetahuan yang menyelamatkan tentang Yesus Kristus. Selama bertahun-tahun Allah telah memakai pria baik ini secara luar biasa, dan saya merasa terhormat untuk menyebut dia sahabat dan saudara saya yang hebat.”
Prof. James Clayton (Jim) Dobson, Ph.D.
(Pendiri dan Ketua Focus on the Family; Doctor of Philosophy—Ph.D. dalam bidang child development dari University of Southern California, U.S.A.; mendapat anugerah gelar: Doctor of Laws—LL.D. dari Pepperdine University; Doctor of Humanities—D.Hum. dari Franciscan University of Steubenville, Ohio; Doctor of Humane Letters—L.H.D. dari Seattle Pacific University; L.H.D. dari Asbury Theological Seminary; L.H.D. dari MidAmerica Nazarene College; Doctor of Letters—Litt.D. dari Liberty University; L.H.D. dari Campbell University; L.H.D. dari Point Loma Nazarene College; Doctor of Literature dari Biola University; D.Hum. dari Abilene Christian University; L.H.D. dari Huntington College; Doctor of Public Service dari Greenville College; L.H.D. dari William Tyndale College; Doctor of Humanities dari Harding University; Doctor of Humanities dari Olivet Nazarene University; L.H.D. dari Indiana Wesleyan University; dan D.D. dari Southern Evangelical Seminary)

“Ini karya mutu tinggi dari Charles Colson—diterangkan dengan hati-hati dan diargumenkan dengan bersemangat. Bab yang menceritakan bagaimana Injil sampai kepada para tahanan, dengan sendirinya, cukup untuk merentangkan angan Anda dan membuat hati Anda menyanyi.” Rev. John Ortberg, Jr., Ph.D.
(Pendeta di Menlo Park Presbyterian Church Menlo Park, California, U.S.A. sejak tahun 2003 dan anggota the Board of Trustees di Fuller Seminary, U.S.A.; Bachelor of Arts—B.A. dalam bidang Psikologi dari Wheaton College; Master of Divinity—M.Div. dan Ph.D. dalam bidang Psikologi Klinis dari Fuller Seminary, U.S.A.; dan studi post-graduate di University of Aberdeen, Scotland)

“Buku ini sangat disambut! Wawasan tajam dari seorang pemikir jernih yang menafsirkan doktrin-doktrin inti iman Kristen. Volume ini adalah persembahan lain dari Chuck Colson bagi perkara Kristus.”
Rev. Max Lucado, M.A.
(senior minister di Oak Hills Church, Texas, U.S.A.; B.A. dalam bidang Komunikasi Massa dari Abilene Christian University, Abilene, Texas, U.S.A. dan M.A. dalam bidang Biblical and Related Studies dari Abilene Christian University, Abilene, Texas, U.S.A.)

“Panduan yang sangat diperlukan, berkuasa, dan amat mudah dibaca untuk memahami dunia dari sudut pandang kekekalan.”
Rev. John C. Maxwell, D.Min.
(Pendiri INJOY Stewardship Services dan EQUIP; Bachelor dari Ohio Christian University; M.Div. dari Azusa Pacific University; dan D.Min. dari Fuller Theological Seminary)

“Memahami kebenaran-kebenaran dasar iman Kristen dengan baik adalah penting bagi kedewasaan Kristen… Sekarang Charles Colson dan Harold Fickett telah memberi kita ikhtisar dari kebenaran-kebenaran dasar itu dalam bahasa yang mudah dibaca dan mudah dipahami. Buku ini akan terbukti berharga dalam menolong orang Kristen biasa memahami iman yang mereka percayai.”
Dr. Jerry T. Bridges
(anggota staf di The Navigators dan penulis lebih dari buku-buku, di antaranya The Pursuit of Holiness yang telah terjual lebih dari satu juta kopi)

“Charles Colson telah menulis satu buku lagi dengan kecerdasan yang hebat, iman yang kuat, dan kejelasan yang murni. The Faith (Iman) mempunyai segala ciri karya klasik.”
Rev. Prof. Cornelius Plantinga, Jr., Ph.D.
(Presiden di Calvin Theological Seminary dan Pendeta yang ditahbiskan di Christian Reformed Church, North America; B.A. dari Calvin College; studi di Yale University; Bachelor of Divinity—B.D. dari Calvin Theological Seminary; dan Ph.D. magna cum laude dari Princeton Theological Seminary, U.S.A.)

“Colson dan Fickett berada dalam kondisi terbaik ketika mereka menyoroti titik-titik luhur dari kepercayaan, perilaku, dan kebahagiaan Kristen berlawanan dengan latar gelap kemerosotan kita yang tak terkendali. Syukur kepada Allah atas orang-orang seperti ini dan atas buku seperti ini.”
Prof. James Innell (J. I.) Packer, D.Phil.
(the Board of Governors' Professor of Theology di Regent College, Vancouver, British Columbia, Canada; B.A., M.A., dan Doctor of Philosophy—D.Phil. dari Corpus Christi College, Oxford University, U.K.)

“Masih buku terbaiknya. Panjangnya pas dan sangat seimbang karena menarik dan mudah dibaca serta bijaksana dan informatif.”
Prof. James Porter (J. P.) Moreland, Ph.D.
(Distinguished Professor of Philosophy di Talbot School of Theology di Biola University, La Mirada, California, U.S.A.; Bachelor of Science—B.S. dari University of Missouri, U.S.A; M.A. dari University of California, Riverside, U.S.A.; Master of Theology—Th.M. dari Dallas Theological Seminary, U.S.A.; dan Ph.D. dalam bidang Filsafat dari University of Southern California, U.S.A.)

“Chuck Colson adalah saksi paling menggugah bagi iman Kristen yang saya kenal, dan kekuatan keyakinannya ditandingi oleh kredibilitas hidupnya. Ia telah memberi kita pernyataan kontemporer tentang iman yang rasuli—jelas, meyakinkan, dan menawan. Sebuah buku hikmat bagi orang percaya dan bagi para pencari kebenaran.”
Prof. Timothy George, Th.D.
(Dekan dan Professor of Divinity di Beeson Divinity School, Samford University dan editor eksekutif untuk Christianity Today; Bachelor of Arts—A.B. dari University of Tennessee at Chattanooga; M.Div. dari Harvard Divinity School; dan Doctor of Theology—Th.D. dari Harvard University)

“The Faith (Iman) adalah sajian yang amat mudah dibaca tentang makna dan praktik iman Kristen tradisional di zaman kita yang sangat susah.”
Prof. James W. Sire, Ph.D.
(mantan editor senior di InterVarsity Press dan dosen tamu di berbagai perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Eropa, serta dosen bagi InterVarsity Christian Fellowship; Ph.D. dari University of Missouri)

“Selama bertahun-tahun saya telah memberikan copy buku Mere Christianity karya C. S. Lewis kepada mereka yang serius untuk menyelidiki klaim-klaim Yesus Kristus. Sekarang saya juga akan memberikan copy buku The Faith (Iman) karya Chuck Colson, yang dalam banyak hal merupakan pernyataan segar di abad ke-20 tentang iman kita yang bersejarah.”
Rev. Dr. John A. Huffman, Jr.
(Pendeta di St. Andrews Presbyterian Church, Newport Beach, California, U.S.A. dan melayani di: the National Council of the Churches of Christ in the U.S.A., Gordon-Conwell Theological Seminary, and Christianity Today, Inc.)

“Bacaan yang luar biasa menarik! The Faith (Iman) menggugah dan diperlukan dalam waktu genting ini di hadapan keadaan buta doktrin serta pluralisme yang ada… Buku ini adalah bacaan wajib bagi semua orang ynag peduli dengan apa yang terjadi di dunia kita hari ini.”
Prof. Walter C. Kaiser, Jr., Ph.D.
(mantan Colman M. Mockler Distinguished Professor of Old Testament dan mantan Presiden di Gordon-Conwell Theological Seminary, U.S.A.; A.B. dari Wheaton College; B.D. dari Wheaton Graduate School; M.A. dan Ph.D. dalam bidang Mediterranean studies dari Brandeis University)

“Buku penuh wawasan ini mengembangkan dasar sejati bagi pandangan dunia Kristen—suatu pemahaman yang akurat secara Alkitabiah dan relevan secara budaya tentang kebenaran-kebenaran dasar iman.”
Kenneth Boa, Ph.D., D.Phil.
(Presiden dari Reflection Ministries {http://www.reflectionsministries.org} dan Trinity House Publishers; B.S. dari Case Institute of Technology; Th.M. dari Dallas Theological Seminary; Ph.D. dari New York University; dan D.Phil. dari the University of Oxford, England; Website beliau: www.KenBoa.org)

“Paus Yohanes Paulus II membuka surat edarannya tentang kesatuan Gereja dengan menunjuk kepada campuran darah begitu banyak martir Kristen masa kini yang bersatu dalam kesaksian mereka tentang realitas dan kuasa darah Yesus Kristus yang menyelamatkan. Buku ini adalah pernyataan yang murah hati dan jujur tentang dasar-dasar bersama yang dipegang semua martir itu. Buku ini dapat memberi kita informasi dan juga mengilhami kita untuk bersaksi bagi Kristus dan saling memperkaya selagi kita bekerja sama dengan gerakan Roh Kudus yang membawa kita kepada kesatuan yang didoakan Tuhan kita.”
Fr. Francis Martin, B.A., S.T.L., S.S.L., S.S.D.
(Professor of Sacred Scripture at Sacred Heart Major Seminary, imam dari Archdiocese of Washington, D.C. di mana beliau melayani di the Mother of God Community, dan Profesor Studi Biblika di the John Paul II Institute for Studies on Marriage and Family; Licentiate in Sacred Theology—S.T.L. dari Pontifical University of St. Thomas Aquinas in Rome, (Theology); Licentiate in Sacred Scripture—S.S.L. dari Pontifical Biblical Institute; dan Doctorate in Sacred Scripture—S.S.D. dari Pontifical Biblical Institute)






Profil Charles W. Colson dan Harold Fickett:
Charles “Chuck” Wendell Colson, J.D. yang lahir pada tanggal 16 Oktober 1931 adalah seorang pemimpin dalam gerakan hak asasi Kristen, komentator budaya, dan penulis paling sedikit 20 buku, termasuk beberapa di antaranya diakui oleh ECPA Christian Book Awards. Beliau pernah menjadi penasihat khusus dari Presiden U.S.A. Richard Nixon dari 1969 sampai 1973. Beliau juga mendirikan pelayanan penjara yang dinamakan: Prison Fellowship dan mendirikan dan mengetuai: Wilberforce Forum. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) di Brown University dan Juris Doctor (J.D.) di George Washington University in 1959.Beliau dianugerahi 15 gelar doktor dan pada tahun 1993 dianugerahi Templeton Prize.

Harold Fickett adalah pengarang sejumlah artikel dan buku, termasuk sebuah novel terkenal tentang pengalaman Injili, The Holy Fool. Sebagai pendiri rekanan Image: Art, Faith, Mystery, sebuah jurnal yang mengupas titik temu antara seni dan agama, dan sebagai penyunting rekanan dari majalah web GodSpy (www.godspy.com), Fickett telah membantu proyek-proyek Colson selama dua puluh lima tahun.

Eksposisi 1 Korintus 7:3-5 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:3-5

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:3-5



Dalam pembahasan sebelumnya kita sudah melihat bahwa jemaat Korintus memiliki konsep yang salah tentang hubungan seksual (ay. 1). Mereka menganggap bahwa tidak berhubungan seks (lit. “tidak menyentuh wanita”) adalah baik bagi kerohanian. Mereka bahkan menerapkan ini pada hubungan suami-istri dalam pernikahan. Terhadap kesalahpahaman ini Paulus menasehati jemaat agar berhubungan seks dengan suami atau istri mereka sendiri (ay. 2). Nasihat ini menjadi lebih penting untuk dilakukan mengingat ada bahaya percabulan yang mengancam (ay. 2a; bdk. 6:15-16).

Di ayat 3-4 Paulus memberikan penjelasan mengapa suami-istri harus tetap melakukan hubungan seksual. Dia menjelaskan bahwa relasi suami-istri menuntut kewajiban secara seksual yang harus dipenuhi (ay. 3). Relasi suami-istri juga menyangkut masalah kepemilikan tubuh masing-masing pasangan (ay. 4). Seseorang tidak boleh menggunakan tubuhnya menurut apa yang dia pandang baik dan melupakan suatu kebenaran bahwa pasangannya juga memiliki tubuhnya.

Di ayat 5 Paulus membicarakan perkecualian terhadap nasihat di ayat 2. Suami-istri memang boleh tidak melakukan hubungan seks, namun mereka harus memperhatikan syarat-syarat tertentu. Sikap Paulus ini sangat berbeda dengan jemaat Korintus yang tidak mau berhubungan seks sama sekali dengan pasangan mereka.


Alasan 1: Ada Kewajiban Seksual Dalam Pernikahan (ay. 3)
Dalam ayat ini frase “terhadap istrinya” muncul di bagian awal, seakan-akan Paulus ingin menandaskan “terhadap istrinya, ya, terhadap istrinya seorang suami harus memenuhi kewajibannya.” Pada waktu memberi nasihat kepada para istri di ayat 3b, Paulus tidak meletakkan “terhadap suaminya” di awal kalimat. Hal ini sangat mungkin menyiratkan bahwa problem utama terletak pada pihak suami yang tidak mau berhubungan seks dengan istri (bdk. ay. 1 “adalah baik bagi laki-laki jika ia tidak kawin”). Alasan lain karena telah terjadi dosa perzinahan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan pelacur (6:15-16).

Kata “memenuhi” (apodidotō) memakai present tense, sehingga menyiratkan perintah yang harus dilakukan terus-menerus. Pemilihan tense ini bukan tanpa alasan. Beberapa orang telah melupakan hubungan seks dengan pasangan, jadi mereka perlu dinasehati untuk berhenti melakukan hal itu dan sebaliknya melakukan hal itu secara kontinyu dengan pasangannya. Bahkan ketika Paulus memberikan perkecualian di ayat 5 untuk berpisah sementara itu, ia menegaskan bahwa pendapatnya itu bukan perintah tetapi kelonggaran (ay. 6). Artinya, dalam keadaan yang normal suami-istri harus terus-menerus melakukan hubungan seks.

Yang harus dipenuhi adalah “kewajiban” (opheilē). Kata ini dalam PB memiliki arti “utang” (Mrk. 18:32) atau “sesuatu yang harus dibayar” (Rm. 13:7). Dalam bagian lain kata ofeilh sering dipakai sebagai ungkapan halus (eufimisme) untuk berhubungan seks.

Penggunaan kata ofeilh yang memiliki makna “utang” atau “sesuatu yang harus dibayar” menunjukkan penghargaan Paulus yang tinggi terhadap seks dalam pernikahan. Bagi dia berhubungan seks bukan sekadar masalah pilihan atau keinginan, tetapi keharusan. Paulus sangat mungkin dipengaruhi oleh tradisi Yahudi yang mengajarkan bahwa kebutuhan seks merupakan salah satu kewajiban suami terhadap istri selain masalah pakaian dan makanan (Kel. 21:10).

Sikap di atas berbeda dengan konsep umum di kalangan orang Yahudi. Mereka biasanya melihat seks hanya sebagai sarana untuk prokreasi (memiliki anak). Beberapa penulis Yahudi bahkan menganggap hubungan seks yang tidak ditujukan untuk memiliki anak merupakan tindakan yang tercela dan bahkan disamakan dengan binatang. Bagi Paulus hubungan seks bukan hanya masalah prokreasi, tetapi rekreasi dan obligasi. Tuhan menciptakan keagungan seks dan itu harus dinikmati serta dirayakan oleh manusia.


Alasan 2: Ada Kepemilikan Tubuh Bersama Dalam Pernikahan (ay. 4)
Di ayat ini Paulus mengajarkan bahwa suami/istri tidak berkuasa (exousiazō) atas tubuhnya sendiri. Terjemahan “kuasa” (LAI:TB/KJV/ASV) kurang begitu tepat. Kata exousiazō sebaiknya diterjemahkan memiliki otoritas (NASB/NRSV). Bentuk pasif dari kata ini sebelumnya sudah dipakai di pasal 6:12 dengan arti “diperhamba.” Di tempat lain kata ini dipakai untuk pemerintah yang memerintah atas rakyatnya (Luk. 22:25).

Penggunaan istilah ini menyiratkan bahwa jemaat Korintus cenderung terjebak pada konsep “kebebasan” atau “hak” yang keliru. Mereka lupa bahwa kebebasan tetap harus memperhatikan kepentingan orang lain, apalagi dalam konteks pernikahan istri memang memiliki otoritas tubuh suaminya, begitu pula sebaliknya. Inti yang mau disampaikan Paulus bukan “aku memiliki tubuhmu”, tetapi “kamu memiliki tubuhku sehingga aku tidak bisa menggunakannya semauku sendiri.” Paulus tidak mengajarkan eksploitasi tubuh orang lain, tetapi penghormatan terhadap hak orang lain.

Konsep kepemilikan tubuh bersama di atas didasarkan pada dua pemikiran. Yang paling penting, relasi suami-istri memang menyangkut proses menjadi satu daging (Kej. 2:24). Dalam Kidung Agung kedekatan relasi suami-istri berkali-kali digambarkan dengan ungkapan “kekasihku kepunyaanku dan aku kepunyaan dia” (2:16; 6:3; 7:10). Jangankan dengan suami-istri sendiri, perzinahan dengan pelacur pun sudah menciptakan kesatuan yang lebih serius daripada sekadar kontak fisik. Perzinahan membuat seseorang menjadi satu tubuh dengan yang dia ajak berzinah (6:16).

Dasar yang lain adalah prinsip kasih. Orang yang menikah harus mulai memikirkan kepentingan atau urusan pasangannya (7:33-34). Salah satu wujud kasih adalah “tidak mencari kepentingan sendiri tetapi orang lain” (13:7). Setiap orang Kristen harus menunjukkan kasih dalam bentuk tidak mau melakukan sesuatu yang menjadi batu sandungan bagi orang lain,s ekalipun ia mungkin memiliki alasan atau hak untuk melakukan hal tersebut (8:9, 13; 10:24, 33).


Kasus Khusus (ay. 5)
Bentuk present tense dalam larangan “jangan menjauhi” (mē apostereite) lebih bermakna “berhentilah menjauhi.” Makna ini sesuai dengan apa yang memang sudah terjadi dalam jemaat Korintus. Mereka bukan sekadar memiliki konsep yang salah, tetapi mereka sungguh-sungguh sudah mempraktikkan konsep tersebut. Paulus memberi nasihat agar mereka berhenti melakukan kesalahan ini.

Penggunaan kata dasar “apostereō” di ayat ini merupakan ungkapan yang menarik, sayangnya penerjemah LAI:TB gagal menangkap makna yang sebenarnya dari kata ini. Semua versi Inggris menerjemahkan dengan kata “menghilangkan” (KJV/ASV “defraud”, NIV/NASB/NRSV “deprive”). Terjemahan mayoritas ini sangat tepat karena kata apostereō sudah dipakai Paulus sebelumnya dengan arti “merugikan” (6:7-8; bdk. Yak. 5:4). Makna ini juga sesuai dengan kata “kewajiban/utang” (opheilē) yang sudah dipakai di ayat 3. Dari penggunaan ini terlihat bahwa ketika mereka tidak mau melakukan hubungan seksual, mereka sebenarnya sedang menghilangkan sesuatu, yaitu hak atau otoritas dari pasangan mereka masing-masing.

Walaupun dalam keadaan normal suami-istri harus terus melakukan hubungan seksual, namun Paulus tetap memberi sebuah kelonggaran (bdk. ay. 6) Dalam kasus yang khusus suami-istri boleh tidak melakukan kewajibannya. Syarat yang diberikan adalah “atas persetujuan bersama” (ek sumphōnou). Sikap jemaat Korintus yang meninggalkan persetubuhan dengan pasangan merupakan tindakan yang sepihak dan tidak menghargai kepentingan orang lain. Mereka tidak peduli apakah pasangannya akan menyetujui tindakan itu atau tidak, karena itu Paulus menempatkan syarat “atas persetujuan bersama” sebagai syarat pertama.

Selanjutnya ia menambahkan “untuk sementara waktu” (pros kairon). Jika tindakan menjauhi seks yang dilakukan jemaat Korintus didasarkan pada pertimbangan teologis untuk menunjukkan kerohanian yang tinggi, maka kemungkinan besar tindakan ini akan berlangsung lama atau bahkan permanen. Mereka akan berpikir bahwa semakin lama bertarak akan semakin baik bagi kerohanian. Tentang hal ini Paulus memberi syarat yang jelas, yaitu “untuk sementara waktu.”

Di bagian akhir ayat 5 Paulus memakai tiga kata kerja subjunctive untuk menunjukkan tujuan. Kita perlu memperhatikan bahwa tujuan di sini bukan menerangkan “kecuali atas persetujuan bersama”, tetapi “untuk sementara waktu.” Mengapa perlu dibatasi waktunya?

Pertama, supaya dapat berdoa. Sebagian penafsir menganggap bahwa doa di sini tidak merujuk pada doa pribadi pada setiap waktu yang kita maui, tetapi lebih berkaitan dengan persiapan untuk momen-momen khusus tertentu. Orang-orang Yahudi sudah terbiasa untuk menjauhi beberapa hal sebagai persiapan merayakan hari raya atau berjumpa secara khusus dengan Allah (Kel. 19:15; Im. 15:18; 1Sam. 21:4-6). Dari sini terlihat bahwa kita tidak boleh mengeksploitasi waktu doa seenaknya demi menjauhi hubungan seks. Walaupun doa merupakan sesuatu yang rohani dan penting bagi orang Kristen, namun hal ini tidak bisa meniadakan kewajiban suami-istri dalam hal seksual. Ini berarti bahwa di mata Paulus, berdoa dan melakukan hubungan seks dengan pasangan sama-sama merupakan perkara yang rohani.

Kedua, supaya kembali hidup bersama. Penerjemah LAI:TB memberikan titik setelah frase “supaya kamu dapat berdoa” dan menganggap frase palin epi to auto ēte sebagai kalimat perintah (lihat juga NIV). Terjemahan ini tidak tepat, karena kata kerja hte berbentuk subjunctive, sehingga masih memberikan keterangan lanjutan tentang tujuan. Jemaat Korintus diperboleh menjauhi pasangan untuk sementara waktu supaya mereka dapat kembali bersama.

Ketiga, supaya tidak dicobai iblis. Situasi dalam kehidupan jemaat Korintus yang rawan dengan percabulan (6:15-16; 7:2a) merupakan senjata ampuh bagi iblis untuk menjatuhkan mereka. Masalah ini semakin diperparah dengan keadaan beberapa jemaat yang memang tidak tahan bertarak (7:5, 9). Bagi mereka yang tidak memiliki karunia untuk membujang (bdk. 7:7-8), maka godaan dalam bidang seksual yang mereka hadapi adalah lebih besar daripada mereka yang memiliki karunia itu. Berpijak dari pertimbangan ini, maka tindakan jemaat yang meninggalkan hubungan seksual dengan pasangan dalam waktu yang lama merupakan tindakan yang bodoh, karena memberi kesempatan kepada iblis. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 22 Februari 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2003-05.pdf

13 June 2010

BERGUMUL MENCARI PASANGAN HIDUP (Denny Teguh Sutandio)

BERGUMUL MENCARI PASANGAN HIDUP

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”
(2Kor. 6:14)




Dunia anak muda adalah dunia yang penuh warna, mulai dari bergaul, kuliah, bekerja, hang-out, bahkan sampai memilih pasangan hidup. Khusus mengenai pasangan hidup, banyak anak muda zaman sekarang (tidak terkecuali banyak yang “Kristen”) seenaknya sendiri memilih pasangannya dengan alasan “cocok” (meskipun hal ini tidak salah 100%), dll. Mencari dan menemukan pasangan hidup TIDAKlah mudah, yang harus dilakukan oleh generasi muda Kristen adalah bergumul mencari pasangan hidup. Mengapa untuk mencari pasangan hidup harus bergumul? Apa definisi bergumul? Siapakah pasangan hidup yang Tuhan inginkan bagi anak-anak-Nya? Bagaimana mencarinya? Sebelum membahas bergumul mencari pasangan hidup, kita akan mencoba mengerti dua kata: bergumul dan pasangan hidup, setelah itu kita akan menggabungkan keduanya.


BERGUMUL
BERGUMUL adalah sebuah kata agung yang diajarkan Alkitab dan Kekristenan, namun sayangnya, hari-hari ini kata yang begitu agung ini dipakai secara tidak bertanggungjawab oleh beberapa orang Kristen untuk dipakai pada sesuatu yang “sampah”. Ambil contoh, seorang anak aktivis sebuah gereja di Surabaya menggunakan istilah bergumul untuk mencari pasangan hidup yang tidak seiman dan bahkan telah membina hubungan dengan lawan jenis yang tidak seiman, namun dikabarkan dia sedang mengalami masalah dan kembali orang ini menggunakan kata “bergumul”. Apa sebenarnya arti bergumul? Bergumul sebenarnya adalah sebuah kata yang dipakai hanya oleh umat pilihan-Nya di dalam berjuang menggenapkan kehendak Allah. Dengan kata lain, di dalam bergumul, ada tarik-menarik yang kuat antara kehendak Allah dan kehendak pribadi yang berdosa, namun hasrat umat-Nya ini jelas yaitu ingin taat pada kehendak Allah. Rasul Paulus mengungkapkan hal ini sebanyak 2 kali di dalam Roma 7: “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat.” (ay. 15) dan “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku.” (ay. 19-20) Perhatikan apa yang Paulus katakan di dalam 2 ayat ini. Paulus sadar bahwa yang dia kehendaki itu adalah sesuatu yang jahat yang dia benci. Berarti, di dalam diri Paulus, dia berhasrat menyenangkan Allah, namun dosa tetap merongrong hidup dan pelayanannya. Hal ini diungkapkannya pada 5 ayat terakhir di Roma 7, “Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku. Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Jadi dengan akal budiku aku melayani hukum Allah, tetapi dengan tubuh insaniku aku melayani hukum dosa.” (ay. 22-26)

Namun, kata “bergumul” yang kerap kali didengungkan oleh beberapa orang “Kristen” berarti TIDAK ada hasrat untuk menyenangkan Allah dan taat akan firman-Nya. Kembali ke contoh, anak aktivis gereja ini jelas mengetahui bahwa lawan jenis yang dipilihnya (dan yang sekarang telah menjadi pacarnya) adalah orang yang berbeda iman, namun mengapa ia masih memilih lawan jenis yang tidak seiman untuk menjadi pasangan hidupnya? Ia tahu yang dilakukannya itu salah (karena gembala sidangnya telah mengingatkannya secara implisit pada waktu khotbah mimbar), namun yang ia tahu tidak pernah diaplikasikannya (tahu secara kognitif). Dengan kata lain, kata “bergumul” yang ia pakai untuk memilih lawan jenis yang tidak seiman JELAS bukan bergumul yang Allah inginkan. Sebenarnya ia bukan lagi bergumul, karena jelas-jelas ia tidak taat akan firman, sehingga istilah yang tepat untuk menggantikan kata “bergumul” yaitu bernafsu. Saya memperingatkan kepada Anda, khususnya banyak generasi muda Kristen hari-hari ini BERHENTILAH memakai kata-kata yang agung dari Alkitab untuk hal-hal “sampah” yang justru mendukakan hati-Nya.


PASANGAN HIDUP
Apakah dan siapakah pasangan hidup itu? Saya mendefinisikan pasangan hidup (soulmate) adalah seorang lawan jenis yang Tuhan ciptakan dan pimpin untuk melengkapi hidup kita sampai maut memisahkan kita dan orang tersebut. So, dari definisi ini, kita akan belajar 4 prinsip tentang pasangan hidup:
Pertama, pasangan hidup adalah lawan jenis kita. Zaman sekarang adalah zaman postmodern di mana banyak manusia postmodern dengan ide postmodernisme ingin berpikir dan bertindak semau gue yang memenuhi hawa nafsu mereka. Tidak heran, di zaman ini, bukanlah hal baru jika seorang cowok suka dengan cowok (homoseksual) dan cewek suka dengan cewek (lesbian), kemudian mereka menikah bersama. Homoseksual dan lesbian sebenarnya bukan hal baru di zaman postmodern, di zaman Alkitab, Paulus telah mengungkapkan hal ini (Rm. 1:27). Alkitab mengajar kita bahwa pasangan hidup kita haruslah lawan jenis, artinya: cowok dengan cewek, tidak ada alternatif lain! Tuhan mengutuk pernikahan sesama jenis atau pernikahan cowok dengan banci/waria (lady-boy/she-male/transsexual)!

Kedua, pasangan hidup kita diciptakan dan dipimpin Tuhan. Pasangan hidup sejati bagi umat pilihan-Nya diciptakan dan dipimpin langsung dari Tuhan. Berarti, bagi umat pilihan-Nya, pasangan hidup berasal dari Tuhan. Apa artinya? Pertama, pasangan hidup itu diciptakan Tuhan sebagai pribadi yang unik, sehingga satu orang TIDAK mungkin sama dengan orang lain. Inilah yang Tuhan inginkan di dalam pernikahan, laki-laki dan perempuan bersatu dengan keunikan masing-masing. Yang lebih unik, setelah Tuhan mencipta Hawa dan Adam menyadari siapa Hawa, maka Tuhan berfirman, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej. 2:24) Kedua, setelah pasangan hidup kita diciptakan Tuhan, Ia jugalah yang akan memimpin kita mencari pasangan hidup yang telah Tuhan ciptakan itu. Dari poin ini, saya menyimpulkan bahwa sebenarnya pasangan hidup kita ada di dalam tangan-Nya yang berdaulat dan kita sebagai anak-Nya dipimpin-Nya mencari dan menemukan pasangan hidup tersebut. Di sini, saya menggabungkan dua prinsip tentang siapa pasangan hidup kita: ditetapkan Tuhan dan dipimpin Tuhan. Tuhan tentu mengetahui siapa pasangan hidup kita yang cocok dengan kita, karena Ia yang menciptakan kita dan pasangan hidup kita, maka tentu Ia yang mengetahui detailnya. Namun hal ini TIDAK berarti karena Ia telah mengetahui siapa pasangan hidup kita, kemudian kita tidak bergumul mencari pasangan hidup kita atau kita hanya menunggu Tuhan langsung memberikan pasangan hidup kita tepat di depan mata kita. Tuhan yang mengetahui siapa pasangan hidup kita adalah Tuhan yang memimpin umat-Nya untuk mencari pasangan hidup tersebut. Ketiga, pasangan hidup kita harus sesuai dengan apa yang Tuhan mau: SEIMAN! Setelah dicipta dan dipimpin Tuhan, maka poin terakhir yang harus kita pelajari yaitu pasangan hidup kita haruslah sesuai dengan apa yang Tuhan mau di dalam Alkitab yaitu SEIMAN. Artinya, karena Ia yang mencipta, mengetahui, dan memimpin kita mencari pasangan hidup kita, maka Tuhan menginginkan kita taat mutlak untuk mencari pasangan hidup yang Ia mau yang hidupnya berpusat pada Kristus. Adalah suatu kekonyolan bahwa jika kita mengetahui dari khotbah mimbar seorang hamba Tuhan bahwa pasangan hidup kita dicipta dan dipimpin Tuhan, namun yang kita ketahui itu hanya sekadar mengisi otak (kognitif), namun di dalam aplikasinya, kita masih memakai hawa nafsu kita untuk mencari pasangan hidup yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan yaitu tidak seiman (dengan alasan “cocok”)! Kembali, apa arti seiman di dalam mencari pasangan hidup? SEIMAN apakah berarti seagama atau bahkan segereja? TIDAK! Seiman berarti sama-sama beriman pada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Seagama dan bahkan segereja TIDAK menjamin SEIMAN, karena ada banyak orang “Kristen” yang pergi ke gereja hanya sebagai rutinitas, namun imannya masih pada diri sendiri. Kalau kita kembali ke contoh anak aktivis ini, anak aktivis ini adalah seorang yang aktif pergi ke gereja setiap hari Minggu dan katanya “terbeban” melayani Tuhan, namun sayangnya prinsipnya dalam mencari pasangan hidup jelas-jelas bertentangan dengan firman Tuhan. Inikah namanya beriman pada Kristus? Atau sebenarnya beriman pada diri (baca: nafsu diri), namun kedoknya ini ditutupi dengan berpura-pura “melayani Tuhan”? Saya terus terang “takut” dengan model banyak orang “Kristen” zaman ini yang gembar-gembor “melayani Tuhan”, namun iman, konsep, dan prinsip hidupnya bertentangan dengan Alkitab! Hal ini tidak berarti ketika iman, konsep, dan prinsip hidup kita sesuai dengan Alkitab kemudian kita tidak mau melayani Tuhan. Itu juga salah. Yang benar adalah ketika iman, konsep, dan prinsip hidup kita sesuai dengan Alkitab, maka kita makin berapi-api melayani Tuhan secara bertanggungjawab!

Ketiga, saling melengkapi. Pasangan hidup kita selain lawan jenis dan berasal dari Tuhan, maka ia harus seorang yang bisa melengkapi kita dan kita melengkapi lawan jenis/pasangan hidup kita. Melengkapi di sini berarti: saling menegur, mengerti, dan juga memberi. Di sini harus ada hubungan timbal balik. Agar hubungan timbal balik ini bisa terjadi, maka syarat penting seorang pasangan hidup kita kelak adalah seorang yang rendah hati dan dapat diajar (teachable). Orang yang rendah hati dan dapat diajar ditandai dengan kerelaan orang ini untuk ditegur jika ia bersalah atau bahkan berdosa. Rendah hati yang ditandai dengan rela ditegur, bagi saya, merupakan salah satu ciri kedewasaan Kristen yang Alkitabiah. Jika kita aplikasikan di dalam hubungan lawan jenis. Maka, jika si cowok mendapati si cewek berbuat salah, maka si cowok dengan kasih namun tegas menegur si cewek, demikian juga sebaliknya jika si cewek mendapati si cowok ngawur, si cewek harus dengan kasih dan tegas menegur si cowok. Jika masing-masing individu baik cowok maupun cewek rela ditegur, maka mungkin sekali Tuhan menetapkan mereka untuk bersatu kelak di dalam pernikahan kudus. Terus terang, makin lama saya makin memperhatikan banyak orang postmodern (tidak terkecuali orang “Kristen”) adalah orang-orang yang keras kepala, sok tahu, dan tidak mau diajar. Ada orang “Kristen” bahkan hamba Tuhan kalau berkhotbah/mengajar salah atau bertindak salah, orang ini TIDAK mau ditegur dengan alasan “rohani” yaitu kita harus altruistik (memberi bagi orang lain). Orang-orang model ini hanya mau melengkapi pasangan hidupnya, namun pasangan hidupnya TIDAK mau melengkapi dirinya, karena falsafah hidupnya adalah dia hanya mau berbagi/memberi dengan/bagi orang lain (altruistik). Orang yang terus menekankan altruistik (saya setuju bahwa orang Kristen harus altruis, namun TIDAK berarti kita semata-mata hanya altruis) biasanya adalah seorang yang egois, karena orang itu hanya mau memberi, tanpa mau “menerima” (ditegur).

Keempat, pasangan hidup kita harus dijaga sampai maut memisahkan kita. Terakhir, pasangan hidup yang Tuhan mau bagi kita haruslah kita jaga dengan setia sampai pernikahan bahkan sampai maut memisahkan kita. Di sini, kesetiaan sangat dibutuhkan di dalam mempertahankan pasangan hidup. Ada orang bilang bahwa mencari lebih mudah daripada mempertahankan. Mungkin hal ini benar, karena biasanya setelah kita mencari sesuatu atau seorang pasangan hidup dengan sulit, lalu kita biasanya kurang bisa mempertahankannya, sehingga sesuatu atau pasangan hidup kita “digondol” oleh orang lain. Kembali, bagaimana kita bisa setia? Kita bisa setia terhadap pasangan hidup kita dengan berserah total kepada Allah yang telah mencipta dan menentukan pasangan hidup kita ini. Allah adalah Allah yang setia dan sangat mengerti setiap detail hidup kita bahkan pasangan hidup kita, maka kita harus menyerahkan kesetiaan kita (yang telah dipolusi oleh dosa) kepada Allah yang selalu setia.


BERGUMUL MENCARI PASANGAN HIDUP
Setelah memahami kata bergumul dan pasangan hidup, maka sekarang kita akan masuk ke dalam pembahasan bagaimana bergumul mencari pasangan hidup. Saya menulis poin ini BUKAN karena saya telah berhasil mencarinya, namun ini juga pergumulan pribadi saya yang sedang saya jalani. Ada beberapa langkah gimana kita bergumul mencari pasangan hidup:
Pertama, belajar dari Alkitab tentang prinsip mencari pasangan hidup. Orang Kristen adalah mereka yang mengikut Kristus atau istilahnya, “Kristus-kristus kecil”. Di dalam mengikut Kristus, orang Kristen tentunya harus menaati apa yang Ia firmankan dan ajarkan, tentunya semua firman dan pengajaran-Nya ada di dalam Alkitab. Orang Kristen baru layak/pantas disebut orang Kristen jika imannya berpusat kepada Kristus ditambah taat mutlak kepada Alkitab, khususnya berkenaan dengan mencari pasangan hidup. Apa yang Alkitab ajarkan tentang mencari pasangan hidup? Di dalam 2 Korintus 6:14, Tuhan melalui Rasul Paulus mengajar kita, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” Memang secara konteks, kata “pasangan” di dalam ayat ini jelas menunjuk kepada pasangan/rekan dalam pelayanan (baca seluruh pasal 6 dari ayat 1-13). Kata “pasangan” di sini di dalam teks Yunaninya heterozugeo yang bisa diterjemahkan bersatu dengan yang tidak sama atau berbeda. Kalimat, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang” di dalam struktur bahasa Yunaninya menggunakan bentuk aktif. Dengan kata lain, Paulus hendak mengajar kita agar kita jangan berusaha bersatu dengan orang-orang yang tidak seimbang. Namun jika diaplikasikan, kata “pasangan” ini juga bisa menunjuk kepada pasangan hidup. Jelas-jelas, ayat ini mengajar kita bahwa hendaklah kita mencari pasangan (hidup) yang seiman, karena jika tidak seiman/seimbang, maka itu seperti kebenaran (Yunani: dikaiosunē; Inggris: righteousness) dan kedurhakaan (Yunani: anomia bisa diterjemahkan sebagai kondisi tanpa hukum atau penyimpangan hukum) bersatu atau terang dan gelap yang bersatu. Mungkinkah kebenaran-keadilan dan kedurhakaan bersatu? Mungkinkah terang dan gelap bersatu? Pertanyaan ini termasuk pertanyaan retoris yang tentu dijawab: TIDAK. Dengan kata lain, pasangan hidup kita harus sama-sama berada di dalam terang Allah dan juga melakukan kebenaran-keadilan (righteousness). Itulah sebenarnya makna seiman.

Kedua, taat mutlak kepada Alkitab. Setelah belajar dari Alkitab bahwa kita harus mencari pasangan hidup yang seiman (dan tentunya lawan jenis), maka kita harus mengambil langkah aktif yaitu taat mutlak kepada Alkitab! Sayang sekali, banyak anak muda “Kristen” yang tahu bahwa Alkitab memerintahkan orang Kristen untuk mencari pasangan hidup yang seiman, namun pengetahuan itu hanya sekadar pengetahuan kognitif yang tidak pernah mau diaplikasikan. Tidak heran, saya mengamati seorang pemudi Kristen dari gereja Protestan arus utama di Surabaya berpacaran dengan seorang Buddha. Seorang pemuda Kristen mendekati seorang cewek yang beragama Taoisme, meskipun si pemuda ini membawa cewek yang didekatinya ini ke gereja (sisi positifnya). Kembali, bagaimana caranya kita taat mutlak kepada Alkitab?
1. Tanyakan Iman Lawan Jenis Kita
Ketika kita berkenalan dengan lawan jenis atau kita dikenalkan teman kita kepada lawan jenis, pertama-tama tanyalah imannya. Jika lawan jenis kita BUKAN seorang Kristen, saran saya, segera tinggalkan dia, meskipun dia secantik bidadari kayangan, hehehe… Karena jika di titik pertama, kita sudah mengompromikan prinsip mutlak ini, saya berani menjamin, hubungan Anda sampai ke tingkat pacaran dan pernikahan akan kacau balau, karena tidak dibangun di atas dasar pijak yang sama, yaitu Alkitab. Lebih lagi, menurut Pdt. Sutjipto Subeno, pacaran kita pun nanti tidak akan menjadi pacaran yang indah, karena berada di dalam dasar pijak yang berbeda. Namun ada pemuda “Kristen” yang tidak mempermasalahkan pacar beda agama lalu berkelit, “Nanti kan bisa diinjili?” Sepintas, pernyataan ini “benar”, namun saya menangkap motivasi yang tidak beres. Orang yang mengatakan, “nanti kan bisa diinjili”, motivasinya: Pertama, ia mau mengompromikan imannya demi menjalin hubungan dengan lawan jenis yang berbeda iman. Dia pikir, orang yang berbeda iman bisa dengan mudahnya diinjili dan bisa bertobat sungguh-sungguh. Kenyataan berkata lain. Orang yang berbeda iman setelah menikah mungkin “bertobat”, namun sayang “pertobatan”nya biasanya tidak sungguh-sungguh alias hidupnya masih berpusat pada diri. Atau kemungkinan kedua, Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) 2010: Rahasia Kemenangan dalam Cinta dan Seks Menuju Pernikahan bercerita bahwa mungkin sekali si cewek/lawan jenis ini akan mengiyakan bahwa dia akan menjadi Kristen nanti setelah menikah, namun si cewek ini kemudian memutuskan bahwa dia akan ikut si cowok ke gereja pada hari Minggu dan kemudian menuntut si cowok untuk ikut dia ke klenteng/vihara pada minggu depannya. Kalau kejadiannya sudah seperti gini, apa yang si cowok lakukan hayo???
Kedua, orang yang bilang seperti ini biasanya orang yang TIDAK menjalankan apa yang dikatakannya, dengan kata lain dia hanya mengatakan hal ini secara lip service (bahasa Jawa: mbasahi lambe). Coba cek, apakah orang yang berkata bahwa dia akan menginjili lawan jenisnya adalah orang yang benar-benar menginjili, atau dia akan beralasan bahwa dia tidak tahu bagaimana cara menginjili atau bahkan dia malas menginjili.
Selain, bertanya tentang apakah dia seorang Kristen atau tidak, bertanyalah, lawan jenis kita dari gereja mana? Apakah dia dari gereja yang mengajar bahwa ikut Kristus pasti kaya, sukses, berkelimpahan, sehat, dan bahkan tidak pernah digigit nyamuk? Jika dia dari gereja model demikian, saya menyarankan untuk meninggalkan lawan jenis kita ini, karena jika di gereja dia diajarkan (lebih tepatnya: diindoktrinasi) ajaran ngaco seperti ini, dijamin, dia tidak akan bisa diajar untuk menderita. Oh, kalau begitu, apakah berarti orang yang dari gereja Injili/Reformed yang beres menandakan orang itu akan mampu menderita? Belum tentu. Itu semua kembali kepada masing-masing individu. Kita harus menyelami jenis iman seperti apa yang dimiliki lawan jenis kita?

2. Berusaha Menggali Tingkat Kerohanian Lawan Jenis Kita
Setelah seiman, Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. di dalam salah satu khotbah mimbar pernah mengajar bahwa kita harus mencari pasangan hidup yang rohani. Artinya, sampai di mana lawan jenis kita mementingkan hal-hal rohani lebih daripada segalanya. Misalnya, ketika memutuskan segala sesuatu, apakah yang diputuskannya itu dipergumulkannya di hadapan Tuhan atau dia langsung memutuskan sendiri seolah-olah tidak ada Tuhan? Bagaimana dengan kesehariannya, apakah lawan jenis kita seorang yang menikmati hadirat Tuhan setiap hari melalui doa dan saat teduh? Ataukah dia seorang yang hanya aktif pergi ke gereja dan membuka Alkitab di gereja saja, sedangkan Senin s/d Sabtu, dia membuka buku pengembangan diri yang melawan Alkitab?

3. Berkomunikasilah Sebanyak Mungkin Untuk Mengetahui Prinsip dan Gaya Hidup Lawan Jenis Kita
Terakhir, setelah seiman dan rohani, kita perlu mengetahui prinsip dan gaya hidup lawan jenis kita. Prinsip dan gaya hidup berkaitan dengan aplikasi praktis iman Kristen di dalam kehidupan sehari-hari seseorang. Apakah orang yang telah ditebus Kristus masih memiliki gaya hidup hedonis yang bersenang-senang demi kepuasaan sesaat? Apakah lawan jenis kita termasuk orang yang doyan belanja seminggu sekali di mall? Apakah dia seorang yang matre yang mengukur segala sesuatu dari uang, kekayaan, dll? Bagaimana dengan prinsip hidupnya? Apakah berpusat pada Tuhan atau berpusat pada orangtua atau mungkin pada diri? Semua itu bisa kita lakukan melalui banyak berkomunikasi dengan lawan jenis kita.

Ketiga, menetapkan standar tertentu yang dinamis/tidak kaku. Setelah seiman dan rohani, kita perlu menetapkan standar tertentu bagi lawan jenis kita, namun standar ini tidak boleh terlalu kaku. Artinya, standar kita harus dibedakan antara primer/mutlak dengan sekunder apalagi tersier. Standar mutlak haruslah tetap mutlak dan jangan direlatifkan (mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong), sedangkan standar relatif haruslah tetap relatif, jangan dimutlakkan. Standar mutlak sudah saya paparkan di atas yaitu seiman dan rohani. Apa saja yang termasuk standar relatif? Saya akan mengurutkan dari hal yang paling penting sampai kepada hal yang paling tidak penting.
1. Karakter dan Sikap
Setelah iman dan prinsip hidup, hal penting yang harus dilihat dari lawan jenis kita adalah karakter. Apa definisi karakter? Baik Rev. Bill Hybels, D.D. maupun Rev. Joshua Eugene Harris (yang mengutip Rev. Dr. Randy Alcorn) sama-sama mendefinisikan karakter sebagai sesuatu yang ada di dalam diri kita tatkala tidak ada seorang pun yang melihat kita. Berarti, karakter berbicara tentang sifat kita yang termurni (tanpa topeng). Bagi Rev. Joshua E. Harris di dalam bukunya I Kissed Dating Goodbye, karakter seseorang dinilai dari hubungan dia dengan Tuhan, memperlakukan orang lain, dan mendisiplin diri sendiri. Hubungan seseorang dengan Tuhan baik mengakibatkan dia dengan orang lain dan diri sendiri juga baik, karena orang tersebut mendasarkan dan memusatkan hidupnya bagi Tuhan, sehingga ia mampu menempatkan orang lain dan diri sendiri dengan tepat dan benar serta berada di bawah Allah.
Selain karakter, sikap juga perlu diperhatikan. Cowok dan cewek adalah dua pribadi manusia yang Tuhan ciptakan unik dan berbeda. Pdt. Sutjipto Subeno pernah berujar bahwa cowok minta dihargai, sedangkan cewek minta diperhatikan dan disayangi. Sudah biasa jika cowok yang mencintai cewek, maka cowok itu akan memperhatikan dan menyayangi cewek, namun bagaimana dengan cewek? Saya menjumpai banyak cewek mau menangnya sendiri, minta diperhatikan, dimanja, dll, tetapi begitu si cowok tidak memenuhi keinginannya, si cowok ditendang dan dihina, padahal penghinaan itu sangat tidak disukai oleh si cowok! Kalau ada cewek yang tidak menghargai si cowok, di dalam masa PDKT (pendekatan), hendaklah si cowok harus memikirkan dua kali (atau kalau mungkin, langsung menjauhi/membatalkan rencana PDKT itu) untuk menjadikan si cewek itu pacar bahkan istrinya, karena saya menilai cewek yang tidak menghargai cowok (meskipun si cowok sudah banyak berkorban) adalah cewek yang hanya mau memanfaatkan si cowok. Sudah bukan lagi sesuatu yang mengagetkan, jika banyak cewek postmodern ahli dalam memanfaatkan cowok demi kepentingannya sendiri. Cowok dijadikan sopir, ATM berjalan, bodyguard dadakan, dll, tetapi kalau si cowok sudah tidak kaya lagi, maka si cowok ditendang dan dibuang seperti sampah.

2. Pengaruh Pendidikan Keluarga
Selain karakter, kita tetap harus mempertimbangkan pengaruh pendidikan keluarga pada diri seorang lawan jenis. Mengapa? Karena mau tidak mau, sedikitnya lawan jenis kita pasti telah diindoktrinasi oleh pendidikan keluarga yang mungkin saja berbeda dari kita. Ada anak yang dari kecil sudah diindoktrinasi bahwa pilihan dan perkataan orangtua adalah yang paling benar (ketidakbersalahan orangtua/infallibility and inerrancy of the parent), sehingga setiap keputusan bahkan keputusan terkecil (misalnya ganti nomer HP) harus disetujui orangtua. Ini bukan teori, saya sudah menemukan faktanya. Untuk memilih pasangan hidup pun, ada anak yang sangat takut, sehingga jika orangtua “menyarankan” anaknya untuk tidak berhubungan dengan lawan jenis tertentu dengan alasan fenomenal yang konyol, yaitu kulitnya agak hitam, maka si anak akan manut tanpa kompromi, padahal semestinya si anak bisa berdiskusi logis. Yang paling parah, jika lawan jenis seperti ini yang kita dekati dan nanti kita pacaran dan menikah dengannya, bersiap-siaplah, Anda sebagai cowok tidak akan dihargai sebagai pacar atau suami kelak, karena segala sesuatu tergantung pada keputusan orangtuanya. Kalau Anda rela diperlakukan seperti itu (tidak dihargai), ya, silahkan saja, tetapi sebagai cowok normal sich, saya ogah deh, maleseeeee. Namun ada juga anak yang diindoktrinasi seperti demikian, namun setelah bertumbuh dewasa, dia akan menghargai cowoknya sebagai pacar dan kelak suaminya. Nah, kalau kasusnya seperti itu, ya, kita bisa mempertimbangkan apakah kita mau menjadikannya pacar dan kelak istri kita. Semua tergantung pada pribadi masing-masing, apakah lawan jenis kita termasuk lawan jenis yang childish yang semua hal tergantung pada keputusan orangtua (bahkan pergi jalan-jalan dengan siapa pun harus disetujui orangtua) ataukah lawan jenis kita cukup dewasa.

3. Suku Bangsa/Ras
Selain karakter, suku bangsa atau ras tetap perlu diperhatikan. Meskipun hal ini bukan hal mutlak, tetapi hal ini tetap perlu dipertimbangkan. Jika seorang keturunan Tionghoa berpacaran atau menikah dengan seorang keturunan Jawa atau Batak, bagaimana dua orang yang berasal dari ras yang berbeda bisa bersatu? Setiap tradisi kebudayaan memiliki keunikan masing-masing. Orang dari budaya Tionghoa terkenal rajin dan hemat (meskipun juga tidak sedikit yang pelit, hehehe), sedangkan orang dari budaya Jawa terkenal dengan ramah tamahnya (dan tentunya: kemalasan dan keborosannya, hehehe) dan orang dari budaya Batak terkenal dengan gaya bicaranya yang keras. Jika orang dari budaya Tionghoa yang rajin dan hemat menikah dengan orang dari budaya Jawa yang malesnya amit-amit (filosofi hidupnya: alon-alon asal kelakon/pelan-pelan asal terlaksana) dan boros pula, apa jadinya keluarga yang dibinanya? Mungkin saja, ada orang dari budaya Jawa yang rajin dan hemat, sehingga bisa bersatu dengan orang dari budaya Tionghoa, namun persentasenya sangat sedikit. Semua itu perlu dipertimbangkan. Jika memang Anda berpikir dan telah mempertimbangkan bahwa Anda bisa bersatu dengan orang Kristen namun berbeda budaya, ya, silahkan saja, itu kebebasan Anda yang harus dipertanggungjawabkan. Ini bukan hal yang mutlak, namun hanya saran saja.

4. Hal-hal Fenomenal (Wajah, Tinggi Badan, Berat Badan, dll)
Terakhir, hal-hal fenomenal lah yang harusnya menjadi hal terakhir bagi kriteria relatif dalam menentukan siapa lawan jenis kita yang pantas menjadi pasangan hidup kita. Hal-hal fenomenal menyangkut: wajah, tinggi badan, berat badan, dll. Memang seperti yang dikatakan Pdt. Dr. Stephen Tong, alangkah idealnya jika kita memilih lawan jenis/cewek yang rohani, baik, dan cantik pula. Namun beliau mengingatkan, karena dosa, hal ideal itu jarang terjadi. Beliau mengingatkan juga, jangan mencari cewek hanya cantik doang, itu bahaya, karena banyak cewek cantik, biasanya otaknya gak ada isinya, soalnya kebanyakan bersolek di depan kaca. Saya mengaminkan apa yang beliau katakan. Namun saya juga mengamati, banyak cewek yang rohani dan baik, wajah selalu amburadul, hehehe. Ya, menurut saran Pdt. Stephen Tong, carilah cewek yang secara kelihatan luar gak usah terlalu cantik seperti bidadari atau gak usah juga terlalu parah puol, yang sedang-sedang saja lah. Juga kalau kita sebagai cowok yang sedang-sedang saja (tidak gentong dan lumayan tinggi) jangan mencari cewek yang badannya gentong kayak kingkong, masalahnya kalau kita mencari kingkong untuk jadi istri kita kelak, pasti tidak sedap dipandang mata, hehehe…Standar saya pribadi selain rohani dan baik, saya juga tetap memperhatikan hal-hal fenomenal, misalnya: wajah lumayan (tidak mengecewakan), tinggi badan proporsional, dan tentunya bukan kingkong. Jangan menjadi orang Kristen yang terlalu idealis yang mengatakan, “Yang penting esensi, hal-hal fenomenal gak penting.” Itu munafik namanya! Jadilah orang Kristen realistis yang berkata bahwa memang hal-hal esensial terpenting, namun bukan berarti hal-hal fenomenal tidak perlu, karena kita masih hidup di dunia yang ada fenomenanya. Kalau kita disuruh memilih antara: cewek cantik tapi atheis vs cewek yang tidak seberapa cantik tapi cinta Tuhan, mana yang harus kita pilih? Bagi saya, saya lebih memilih cewek kedua, karena menurut ko Cun-cun (Ev. Bedjo Lie, M.Div.): cantik itu relatif, tapi jelek itu mutlak, wkwkwk… Gak nyambung, mode: ON, hehehe

Keempat, bertanyalah tentang lawan jenis kita kepada teman-teman dekat atau/dan saudara lawan jenis kita. Karena banyak manusia sangat ahli bermuka dua/bertopeng, adalah bijaksana jika kita bertanya tentang lawan jenis kita ini kepada teman-teman dekat atau/dan saudaranya, supaya kita bisa mendapat gambaran agak jelas tentang siapa lawan jenis kita, sehingga kita tidak ditipu oleh “indah”nya penampilan luar sang lawan jenis. Saya pribadi yang memberikan prinsip ini juga telah, sedang, dan akan terus menjalankan prinsip ini, supaya kita makin mengenal sisi positif dan negatif lawan jenis kita. Meskipun kita tetap harus berbijaksana untuk TIDAK terlalu percaya dengan perkataan teman dekat atau/saudara si lawan jenis, namun setidaknya mereka bisa memberikan sedikit input bagi kita.


KESIMPULAN
Akhir kata, mencari dan menemukan pasangan hidup TIDAKlah mudah, karena saya menyadari banyak orang postmodern sangat ahli bermuka dua, khususnya banyak cewek hari-hari ini (tidak terkecuali banyak “Kristen” di dalamnya). Adalah suatu hal yang bijaksana jika kita mencari dan menemukan pasangan hidup kita di hadapan Tuhan. Artinya, kita menggumulkan terlebih dahulu kehendak Tuhan bagi kita dalam segala hal, termasuk dalam hal pasangan hidup. Dan lagi di dalam proses mencari dan menemukan pasangan hidup yang Tuhan mau, hendaklah kita bersabar. Dahulu saya seorang yang ngebet mencari pasangan hidup, namun sekarang, setelah membaca buku I Kissed Dating Goodbye dari Rev. Joshua E. Harris, saya agak bersabar. Mengapa? Karena menurut nasihat bijak Rev. Joshua E. Harris, pergunakanlah waktu jomblo Anda untuk makin giat melayani Tuhan, karena semakin kita giat melayani Tuhan, hidup kita makin memuliakan-Nya, dan Tuhan suatu hari kelak akan memberikan seorang lawan jenis yang memiliki kerinduan yang sama. Bagaimana dengan kita? Sudahkah cara kita dalam mencari dan menentukan pasangan hidup kita berkenan di hadapan-Nya atau kita menjadi orang “Kristen” yang hidup seolah-olah Tuhan itu tidak ada (“Kristen” Atheis—begitulah definisi Rev. Craig Groschel, M.Div. di dalam bukunya The Christian Atheist: Believing in God but Living as If He Doesn’t Exist)? Mari kita mengintrospeksi diri kita masing-masing. Amin. Kiranya Tuhan memberkati. Soli DEO Gloria.