23 June 2010

Eksposisi 1 Korintus 7:6-9 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:6-9

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:6-9



Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa jemaat Korintus memiliki sebuah konsep yang salah tentang kerohanian dan seks. Mereka menganggap bahwa kalau tidak melakukan hubungan seks dengan pasangan merupakan sesuatu yang baik bagi kerohanian (7:1b). Sebagai respons terhadap hal ini Paulus menasihatkan agar suami-istri tetap melakukan hubungan seks (7:2). Alasan yang dikemukakan Paulus berkaitan dengan hakekat dasar pernikahan. Dalam pernikahan terdapat kewajiban seksual (7:3) dan kepemilikan tubuh bersama (7:4). Walaupun nasihat di 7:2-4 merupakan sesuatu yang mengikat, namun Paulus masih memberi peluang tentang kemungkinan suami-istri tidak melakukan kewajiban seksual (kasus khusus), yaitu apabila dilakukan atas persetujuan bersama dan hanya untuk sementara waktu saja.

Di 7:6-9 Paulus masih melanjutkan pembahasan sebelumnya. Ia berusaha mempertegas bahwa kasus khusus di 7:5 bukanlah sebuah perintah, tetapi hanya kelonggaran belaka (7:6). Jemaat Korintus tidak boleh memanfaatkan kasus khusus ini untuk saling menjauhi antara suami-istri. Ia lalu menerangkan kasus lain ketika hubungan seks boleh diabaikan, yaitu apabila seseorang diberi karunia untuk selibat/membujang (7:7). Berdasarkan hal ini ia menasihati orang yang tidak kawin dan para janda untuk tetap hidup sendirian jika mereka mendapat karunia untuk selibat (7:8). Apabila mereka tidak mau mengekang hawa nafsu, maka mereka dinasihatkan untuk segera menikah (7:9).


Kasus Khusus di 7:5 Hanyalah Kelonggaran (ay. 6)
Para penafsir berbeda pendapat tentang kata “hal ini” (touto) di ayat ini. Sebagian menganggap kata touto merujuk balik pada pandangan Paulus di ayat 2b yang lebih memilih untuk menjauhi segala macam hubungan seks. Maksudnya, walaupun Paulus lebih cenderung pada selibat (1:2a), tetapi hal itu bukan bersifat perintah yang harus diikuti (7:6). Usulan seperti ini tampaknya kurang dapat diterima. Jarak antara ayat 1b dan ayat 6 terlalu jauh dan secara tata bahasa tidak ada kaitan secara langsung. Selain itu, seperti sudah diterangkan sebelumnya, ayat 1b bukanlah pandangan Paulus. Dalam bagian itu ia sekadar mengutip pernyataan jemaat Korintus (bdk. 7:1a) dan mengoreksi pernyataan ini (7:2-4).

Sebagian penafsir yang lain meyakini bahwa kata touto menunjuk pada semua penjelasan di ayat 2-5. Menurut mereka perintah untuk melakukan hubungan seks dengan pasangan merupakan kelonggaran, bukan sesuatu yang mengikat dan harus ditaati. Paulus sendiri tidak melakukan hal itu atas dasar alasan tertentu (7:7). Pandangan ini memiliki beberapa keberatan serius. Jika ayat 1b adalah sikap jemaat Korintus dan ayat 2-5 adalah koreksi Paulus terhadap sikap ini, maka sulit dimengerti mengapa Paulus menegaskan bahwa pandangan dan koreksinya bersifat tidak mengikat. Lebih jauh, nasihat di ayat 2-4 didasarkan pada kebenaran Alkitab (lihat pembahasan sebelumnya), sehingga sangat janggal apabila hal ini tidak bersifat mengikat (normatif).

Tafsiran yang lebih sederhana dan masuk akal adalah dengan melihat touto di ayat 6 sebagai rujukan untuk kasus khusus di ayat 5. Dengan kata lain, Paulus sedang menegaskan bahwa saling menjauhi di ayat 5 tidak boleh dianggap sebagai perintah yang harus dituruti. Ia menjaga agar jemaat Korintus tidak menyalahgunakan pandangannya. Bagi Paulus saling menjauhi secara seksual antara suami-istri harus didasarkan pada syarat-syarat tertentu (7:5) dan ini pun sebisa mungkin tidak dilakukan (7:6). Bagi jemaat Korintus, saling menjauhi merupakan keharusan dan berlaku untuk seterusnya. Dengan menegaskan bahwa ayat 5 bukanlah suatu perintah, Paulus secara tegas sedang membedakan dirinya dengan jemaat Korintus.

Penggunaan kata “kelonggaran” (sungnōmē) bukan hanya menunjukkan bahwa kasus khusus di ayat 5 bersifat tidak mengikat, tetapi juga menunjukkan usaha Paulus untuk memahami jemaat. Kata yang hanya muncul sekali dalam seluruh Alkitab ini terdiri dari dua kata: sun = bersama-sama dan gnōmē = penilaian (bdk. 7:25). Dengan demikian kata sungnōmē secara hurufiah memiliki arti “bersama-sama menilai” atau “merasakan bersama-sama”.

Dalam pemakaian di luar Alkitab kata sungnōmē menyiratkan usaha untuk memahami orang lain. Pemakaian kata ini di ayat 6 berfungsi untuk menunjukkan bahwa sekalipun Paulus sangat menentang (7:2-4) pandangan jemaat Korintus (7:1b), tetapi ia berusaha memberikan kemungkinan bagi suami-istri untuk tidak melakukan hubungan seks (7:5). Hal ini sekali lagi bukanlah perintah yang mengikat.


Hidup Selibat Adalah Karunia Allah (ay. 7)
Di ayat ini Paulus berusaha menjelaskan bahwa dia diberi karunia Tuhan untuk selibat. Mengapa dia perlu menjelaskan tentang hal ini? Ada beberapa kemungkinan: (1) pandangan Paulus di ayat 2-6 dapat disalahmengerti sebagai sikap yang terlalu menekankan seks (sexoriented) atau anti terhadap gaya hidup selibat, karena itu Paulus menerangkan bahwa dia sendiri pun tidak melakukan hubungan seks; (2) sebagian jemaat Korintus mungkin menjauhi seks akibat salah memahami gaya hidup Paulus yang selibat, sehingga di ayat 7 Paulus berusaha menjelaskan bahwa selibat hanyalah bagi yang menerima karunia ini; (3) gaya hidup Paulus yang selibat tetapi sekaligus menekankan pentingnya seks bagi suami-istri merupakan kombinasi yang seimbang dan efektif untuk mempengaruhi jemaat Korintus. Kalau Paulus yang mendapat karunia selibat saja ternyata tidak anti terhadap seks, mengapa jemaat Korintus yang sudah menikah justru menjauhi hal ini?

Paulus menyatakan bahwa alangkah baiknya kalau semua orang seperti dia (ay. 7a). Terjemahan “alangkah baiknya” (LAI:TB) berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, seolah-olah Paulus melihat dirinya terlalu hebat dan selibat adalah sikap hidup yang sangat terpuji. Makna seperti ini jelas bertentangan dengan apa yang dinyatakan Paulus di ayat ini. Sesuai bahasa Yunani yang dipakai, Paulus sebenarnya hanya berkata, “aku berharap semua orang untuk menjadi seperti aku” (semua versi Inggris). Paulus pasti tahu bahwa harapan ini tidak mungkin tercapai (KJV/ASV/NIV/RSV/NASB). Para rasul dan saudara-saudara Yesus menikah (9:5). Kepada orang-orang yang sudah kawin pun Paulus menasihatkan agar mereka tidak mengupayakan perceraian (7:10-16, 27-28).

Paulus tidak memaksakan gaya hidupnya karena ia tahu bahwa “setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas” (ay. 7b). Selibat adalah sebuah karunai ilahi. Jika ini adalah karunia, maka tidak setiap orang Kristen harus mengikuti gaya hidup selibat Paulus. Untuk hal-hal lain yang bukan karunia khusus (misalnya pertumbuhan karakter Kristiani), Paulus berani mengatakan, “jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (11:1), tetapi gaya hidup selibat Paulus tidak mengikat bagi setiap orang Kristen.

Pandangan Paulus bahwa selibat adalah karunia didasarkan pada ajaran Yesus (Mat. 19:11-12). Dalam bagian ini Yesus menjelaskan bahwa ada orang-orang tertentu yang diberi karunia untuk tidak menikah; bahkan untuk memahami hal ini pun diperlukan karunia. Dari penjelasan yang diberikan Yesus terlihat bahwa karunia ini dapat direalisasikan melalui banyak cara: faktor sejak lahir, dijadikan demikian oleh orang lain dan atas dasar kemauan sendiri demi Kerajaan Allah. Apa pun sarana yang dipakai Allah untuk menunjukkan karunai ini pada diri seseorang, pada akhirnya orang itu harus memiliki tiga karakteristik sebagaimana yang disinggung di 1 Korintus 7:37: (1) merasa tidak dipaksa; (2) yakin dalam hatinya; (3) benar-benar mampu menguasai kemauannya (1Kor. 7:37). Jika tiga hal ini tidak ada pada diri seseorang, maka walaupun orang itu tidak menikah tetapi ia sebenarnya tidak bisa mensyukuri keadaannya. Akibatnya ia akan menjadi orang yang sangat sensitif, membenci lawan jenis dan menganggap semua kemesraan sebagai tipu muslihat belaka. Orang yang sampai pada tiga karakteristik ini – tidak peduli apakah ia tidak kawin akibat faktor bawaan sejak lahir, dijadikan orang lain atau keinginan sendiri – orang ini akan mampu menikmati kesendiriannya bersama Tuhan.

Konsep tentang selibat sebagai karunia akan membawa banyak implikasi lain bagi orang Kristen. Jika selibat adalah karunia, maka hal ini bukan masalah preferensi (pilihan) pribadi. Kita tidak boleh memilih untuk selibat jika kita tidak menerima karunia ini. Beberapa penulis Yahudi mengajarkan bahwa selibat adalah sesuatu yang perlu diusahakan setiap orang karena menunjukkan kerohanian. Pandangan ini jelas bertentangan dengan konsep selibat sebagai karunia. Jika selibat adalah karunia, maka kemampuan untuk menjalaninya bukan berasal dari manusia tetapi Allah. Disiplin rohani yang kita lakukan memang diperlukan untuk mengekang hawa nafsu, namun yang paling penting adalah karunia Allah yang memampukan kita melakukan hal itu (Flp. 2:13). Gaya hidup asketisisme yang terlihat di abad permulaan menjadi saksi bagaimana orang-orang Kristen mudah terjebak untuk mengagungkan kemampuan dan cara sendiri dalam mengatasi godaan seksual. Jika selibat adalah karunia, maka gaya hidup ini harus dipakai untuk melayani Tuhan. Setiap karunia pasti diberikan untuk kepentingan bersama (12:7). Demikian pula dengan karunia selibat. Orang yang tidak menikah seharusnya bisa lebih fokus dalam melayani Tuhan (7:34).

Paulus tidak hanya menyebut karunia selibat. Ungkapan “yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu” (ay. 7c) menyiratkan bahwa Paulus sedang memikirkan karunia yang lain. Yang dimaksud Paulus pasti bukan daftar karunia roh di 12:1-11, karena semua itu tidak berkaitan dengan topik yang ia sedang bahas. Para penafsir meyakini bahwa karunia lain ini adalah menikah. Sebagaimana selibat adalah karunia, demikian pula pernikahan merupakan karunia dari Allah. Kisah penciptaan ketika Allah menciptakan dan memberikan Hawa kepada Adam merupakan bukti yang sangat jelas bahwa pernikahan adalah karunia.

Jika menikah adalah karunia, maka ini berarti bahwa tidak setiap orang Kristen harus menikah. Sebelum kita menggumulkan siapa pasangan hidup kita, kita harus bergumul apakah kita diberi karunia untuk menikah. Bagi orang percaya, menikah bukanlah sesuatu yang alamiah maupun sekadar tuntutan sosial. Menikah adalah karunia, karena itu harus membuat kita lebih bisa melayani Tuhan. Pernikahan seharusnya membuat suami-istri lebih bertumbuh di dalam Tuhan dan lebih efektif bagi pelebaran Kerajaan Allah.


Nasihat Untuk Orang yang Tidak Kawin dan Janda (ay. 8-9)
Berdasarkan konsep di ayat 8, Paulus selanjutnya mengaplikasikan prinsip ini pada suatu situasi khusus, yaitu orang yang tidak kawin dan janda (ay. 8). Siapa yang dimaksud “orang yang tidak kawin” (agamos) di sini? Kita biasanya memahami agamos sebagai para bujangan atau para gadis yang belum menikah. Pandangan ini ternyata salah. Walaupun kata agamos dapat memiliki arti luas dan merujuk pada siapa saja yang tidak dalam keadaan menikah, namun dalam konteks ini artinya adalah para duda.

Ada banyak argumen yang mendukung arti ini: (1) konteks 1 Korintus 7:1b-7 adalah tentang hubungan suami-istri, sehingga agamos di ayat 8 kemungkinan besar merujuk pada mereka yang sudah pernah kawin; (2) tentang para bujangan dan gadis akan dibahas Paulus secara khusus di 7:25-38; (3) di 7:14 kata agamos dibedakan dengan para gadis; (4) di 7:11 perempuan yang bercerai dengan suaminya disebut sebagai agamos; (5) jika agamos di 7:8 merujuk pada para bujangan dan gadis, maka Paulus tidak membahas para duda sama sekali. Hal ini sedikit janggal, karena konteks 7:1b-6 (terutama ay. 3-4) adalah tentang hubungan timbal-balik antara suami-istri.

Kepada para duda dan janda Paulus menasihatkan “adalah baik untuk tetap dalam keadaan seperti aku” (ay. 8b, KJV/ASV/NASB/NIV). “Baik” (kalos) dalam konteks ini tidak boleh dipahami secara spiritual atau moral, seakan-akan tetap menjadi duda atau janda memiliki nilai kerohanian/moral yang lebih baik daripada yang menikah. Kalos berkaitan dengan kebaikan untuk orang lain (pelayanan). Orang yang tidak kawin tidak memusingkan diri dengan perkara duniawi dan dengan demikian dapat melayani Tuhan secara lebih terfokus (7:32-34; bdk. 1Tim 5:5). Inilah yang dimaksud “baik” oleh Paulus.
Walaupun “tidak kawin” merupakan pilihan terbaik bagi para duda dan janda, tetapi Paulus menyadari bahwa tidak semua orang akan bertahan dalam keadaan seperti ini. Semua bergantung pada karunia Allah yang memampukan seseorang untuk tetap hidup sendirian. Sebagian orang jelas tidak menerima karunia selibat. Hal ini ditunjukkan dengan “tidak dapat menguasai diri” (ay. 9a, LAI:TB/KJV/RSV/NIV). Terjemahan “tidak dapat” sebenarnya tidak tepat. Dalam bahasa Yunani hanya disebutkan “tidak menguasai diri”. Beberapa versi memilih “tidak memiliki penguasaan diri” (ASV/NASB), namun yang paling tepat adalah “tidak mempraktekkan penguasaan diri” (NRSV). Jadi, inti persoalan bukan terletak pada “mampu atau tidak”, tetapi “mau atau tidak”. Ada duda atau janda tertentu dalam jemaat Korintus yang tidak mau menahan diri, tetapi tetap bersikeras menjauhi pasangan secara seksual. Akibatnya mereka dengan mudah jatuh ke dalam perzinahan (bdk. 6:15-16; 7:2a). Untuk orang-orang yang seperti ini Paulus menasihatkan agar menikah.

Pernyataan Paulus di ayat 9a tidak berarti bahwa ia memiliki pendangan yang rendah terhadap pernikahan (hanya sebagai solusi bagi dosa seksual). Tanpa dibandingkan dengan dosa percabulan pun pernikahan merupakan sesuatu yang baik (7:38). Jika dibandingkan, maka pernikahan menjadi “lebih baik” daripada hangus karena hawa nafsu (7:9).

Dalam bahasa asli sebenarnya tidak ada kata “karena hawa nafsu” (KJV/ASV/NASB77). Paulus hanya memakai kata “hangus” (puroomai). Hangus karena apa? Beberapa penafsir mencoba mengaitkan hal ini dengan api penghakiman di akhir jaman (3:12-15), namun usulan ini tidak terlalu meyakinkan. Tidak ada ide tentang penghukuman ilahi di 1 Korintus 7. Lebih jauh, jarak antara pasal 3 dan 7 terlalu jauh untuk dihubungkan.

Sebagian besar penafsir lebih cenderung memilih “karena hawa nafsu” (NIV/NASB95/RSV/NRSV/NKJV). Pendapat ini didasarkan pada 2 Korintus 11:29. Dalam ayat ini kata kerja puroomai (LAI:TB “hancur”) dikaitkan dengan sesuatu yang ada dalam diri Paulus (LAI:TB “oleh dukacita”). Jika puroomai memang berhubungan dengan sesuatu dalam diri manusia, maka menerjemahkan puroomai di 1 Korintus 7:9 dengan “hangus karena hawa nafsu” bukanlah pilihan yang salah. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 8 Maret 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2006-09.pdf

No comments: