30 August 2008

MRII Bandung: Expository Preaching

Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Bandung
mengadakan:
Reformed Evangelical Expository Preaching

oleh: Ev. Antonius Steven Un, M.Div.
(Master of Divinity–M.Div. dari Institut Reformed, Jakarta)



SURAT KOLOSE
Setiap hari minggu pk. 07.00 atau 09.30
Mulai 14 Sept. 2008

INJIL MARKUS
Setiap hari Rabu, pk. 19.00
Mulai 03 Sept. 2008

di MRII BandungRuko Paskal Hyper Square Blok C 35
Jl. Pasir Kaliki Bandung (022.86060699)

28 August 2008

PENGARUH FILSAFAT NEW AGE TERHADAP PENDIDIKAN DAN UPAYA PREVENSINYA (Denny Teguh Sutandio)

PENGARUH FILSAFAT NEW AGE TERHADAP PENDIDIKAN DAN UPAYA PREVENSINYA*

oleh: Denny Teguh Sutandio



Gerakan Zaman Baru
Ketika di zaman modern orang-orang mengilahkan rasio sebagai sumber kebenaran, maka di zaman postmodern orang-orang mengilahkan perasaan (feeling) sebagai sumber kebenaran. Pengilahan perasaan inilah akar dari Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) yang mulai berkembang sejak tahun 1970-80.1 Sumber wikipedia menyebutkan tidak ada definisi formal dari Gerakan Zaman Baru, tetapi beberapa orang mendefinisikan New Age sebagai suatu tindakan seseorang yang mencoba pengajaran-pengajaran dan praktik-praktik dari tradisi-tradisi arus utama dan tambahan, lalu membentuk suatu kepercayaan dan praktik berdasarkan pengalamannya sendiri. Dari definisi non-formil ini, kita mendapatkan gambaran singkat tentang spiritualitas Gerakan Zaman Baru, yaitu adanya penekanan pada pengalaman pribadi. Karena penekanan pada pengalaman pribadi, maka tidak heran spiritualitas Gerakan Zaman Baru sangat digandrungi khususnya oleh kaum muda. Sumber wikipedia menyebutkan sekarang ini, kira-kira 20% orang dewasa Amerika paling sedikit menganut kepercayaan Gerakan Zaman Baru.




Filsafat Gerakan Zaman Baru dan Pengaruhnya di dalam Dunia Pendidikan
Lalu, apa yang diajarkan Gerakan Zaman Baru? Karena Gerakan Zaman Baru merupakan formulasi kepercayaan dan praktik yang didasarkan pada pengalaman pribadi, maka ajaran-ajaran Gerakan Zaman Baru adalah campuran dari berbagai arus pengajaran baik dari agama, filsafat, maupun mistisisme. Prof. James W. Sire, Ph.D. di dalam bukunya Semesta Pikiran: Sebuah Katalog Wawasan Dunia Dasar menyebutkan, “Wawasan dunia Zaman Baru sangat sinkretis dan eklektik. Wawasan dunia ini meminjam dari setiap wawasan dunia utama.”2 Oleh karena itulah, kita akan menyelidiki apa yang diajarkan Gerakan Zaman Baru yang dipinjam dari beragam wawasan dunia.

Berikut adalah filsafat, kosmologi, dan pendekatan Gerakan Zaman Baru (GZB) terhadap agama dan sains yang dikutip dari beberapa sumber:
· Theisme: GZB memercayai adanya ide pantheistik akan Allah, yang ada di dalam semua jalan, termasuk melalui beragam ilah atau politheisme.3
Di titik pertama, GZB mengakui adanya Allah. Tetapi Allah yang dipercayai adalah ilah pantheistik, yaitu ilah-ilah yang banyak dan beraneka ragam serta pantheis. Artinya, para penganut GZB memercayai bahwa tidak ada 1 Allah yang absolut pada diri-Nya, tetapi “Allah” itu termanifestasi di dalam semua manusia. Dengan kata lain, manusia diidentikkan dengan “Allah.” Konsep ini ada yang dipaparkan secara jelas oleh para penganut GZB dan ada juga yang disamarkan. Ide dasarnya adalah kehebatan manusia karena di dalam diri manusia ada kekuatan besar yang sedang tidur dan kekuatan itu harus dibangunkan. Nah, cara membangunkan kekuatan besar itu adalah melalui training motivasi. Training motivasi di dunia postmodern ini sangat laris. Andrie Wongso (seorang Buddhist) terkenal dengan slogannya, “Success is My Right,” Tung Desem Waringin terkenal dengan slogannya, “Dahsyat,” dan Johan Yan (mengaku “Kristen”) terkenal dengan slogannya, “Poor is Sin.” Hampir semua para motivator yang ada baik di Indonesia maupun di luar negeri menganut prinsip tunggal yaitu pantheisme (baik yang dipaparkan secara jelas atau samar-samar). Ternyata, training motivasi ini tidak laku di perusahaan/kantor saja, tetapi juga merambah di dunia pendidikan. Saya sendiri mengamati di sebuah universitas “Kristen” terkenal di Surabaya, sang motivator yang terkenal dengan slogannya, “Success is My Right” diundang. Hal ini tidak usah mengherankan, karena universitas “Kristen” tersebut sudah menjadi atheis terselubung, sehingga GZB dengan leluasa bisa masuk dan memengaruhi semua mahasiswa, dosen, dan civitas akademika yang katanya mengaku “Kristen.” Akibatnya, para mahasiswa, dosen, dll yang ada di universitas tersebut tidak lagi menyadari pentingnya realita dosa, keselamatan, penebusan, dan hidup baru di dalam Kristus. Sehingga tidak heran, meskipun mengaku diri “Kristen,” mereka lebih percaya pada diri mereka sendiri yang hebat, pintar, bergelar akademis, dll, dan tidak lagi mau ditegur dosa atau kesalahan konsepnya jika konsepnya tidak sesuai dengan Alkitab.


· Kehidupan setelah mati: GZB memercayai bahwa kesadaran setelah manusia meninggal itu ada dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Kehidupan setelah kematian itu bisa berupa bentuk roh, reinkarnasi, dan/atau pengalaman dekat kematian (near-death experiences). Mungkin juga ada kepercayaan tentang neraka, tetapi itu berbeda total dari kepercayaan Kristen tentang neraka sebagai penghukuman kekal.4
Meskipun GZB memercayai adanya kehidupan setelah kematian, konsep mereka berbeda dari konsep Kekristenan. GZB memercayai kehidupan setelah kematian berbentuk roh atau seperti penganut Hinduisme dan Budhisme yaitu reinkarnasi. Reinkarnasi percaya bahwa manusia setelah meninggal, jiwa mereka akan kembali lagi ke dunia ini sebelum akhirnya dimurnikan kembali.5 Reinkarnasi bukan hanya berdampak pada dunia spiritualitas saja, tetapi juga di dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang memercayai paham reinkarnasi biasanya menghasilkan etos kerja yang tidak bertanggungjawab. Mengapa? Karena orang tersebut memercayai bahwa jiwa manusia itu terus berulang (siklis), sehingga kalau pun di dunia ini perbuatan baiknya (termasuk pekerjaan) masih kurang, di dunia akan datang, orang yang sama bisa lebih berbuat baik (bekerja lebih keras), sampai akhirnya jiwanya disempurnakan. Dan lagi, perbuatan/pekerjaan baik yang mereka lakukan pun pasti memiliki motivasi yang tidak baik, yaitu supaya nanti setelah mati, ia bisa lahir kembali dalam rupa yang lebih baik. Selain di dalam pekerjaan, reinkarnasi ini juga berpengaruh pada dunia pendidikan, di mana mahasiswa/siswa yang menganut konsep ini akan menjadi malas belajar, karena mereka percaya bahwa di dunia yang akan datang, mereka bisa belajar lebih giat lagi ketimbang sekarang. Tidak heran, di zaman postmodern ini, banyak mahasiswa (Kristen maupun non-Kristen) yang menganut GZB menjadi mahasiswa pragmatis dan utilitarian.


· Astrologi: GZB memercayai adanya astrologi, horoskop, dan zodiak.6
Kemudian, GZB juga memercayai alam mistis, di mana shio dan bintang memengaruhi kehidupan seseorang, baik pekerjaan, cinta, jodoh, bisnis, dll. Konsep ini diajarkan melalui dua media/sarana. Pertama, media cetak. Di sebuah majalah remaja/acara remaja di TV swasta, konsep GZB ini ditemukan dan konsep ini mau tidak mau akhirnya meracuni para remaja/pemuda untuk lebih memercayai ramalan bintang. Kedua, media verbal/lisan. Ramalan shio, bintang, hari, dll biasanya diajarkan oleh orangtua kuno (pendidikan first decree) pada anak-anaknya, misalnya, malam Jumat Kliwon, setan berkeliaran. Lalu, orangtua tersebut juga mengajar anaknya untuk tidak menikah dengan orang yang shionya Kelinci, karena orang yang shionya Kelinci itu keras, dll. Akibatnya, anak-anak seperti ini ketika bertumbuh menjadi dewasa memercayai hal itu dan akhirnya menerapkan konsep pengajaran itu kepada anak-anak mereka setelah mereka menikah. Dan hal itu terus berlanjut sampai ke cucu, cicit, dan keturunan-keturunannya (meskipun banyak dari mereka mengaku diri “Kristen”). Pendidikan dekrit pertama dari orangtua yang seharusnya mengajar anak-anak dengan pendidikan yang bertanggungjawab dan beriman, sekarang dirusak oleh setan dengan pendidikan mistik yang berpusat pada setan.


· Teleologi: GZB memercayai adanya tujuan dalam hidup. Ini mencakup kepercayaan akan sinkronisitas (synchronicity) yang memiliki makna spiritual, dan mengandung pelajaran spiritual yang mengajar bahwa segala sesuatu secara universal berhubungan dengan Allah, berpartisipasi di dalam energi yang sama. Itulah tujuan kosmis dan kepercayaan bahwa semua keberadaan (entity) bekerja sama menuju tujuan ini.7
Meskipun GZB memercayai adanya tujuan hidup, tujuan hidup tersebut bukan tujuan yang ditetapkan Allah, tetapi tujuan yang bekerja sama bersatu di dalam makro kosmos. Artinya, semua manusia ini adalah mikro kosmos yang pada akhirnya bersatu di dalam makro kosmos. Dengan kata lain, di dalam sebuah makro kosmos tersebut, terdapat beragam mikro kosmos yang berbeda (karena adanya perbedaan pribadi setiap manusia). Jika memang terdapat beragam mikro kosmos yang berbeda di dalam satu makro kosmos, bisakah mikro kosmos memiliki tujuan hidup sejati? Bukankah mikro kosmos ini memiliki tujuan hidup yang tidak jelas (ambigu) karena tidak adanya standar di dalam makro kosmos? Karena ambiguitas dan kekacauan di dalam tujuan hidup, akibatnya, orang-orang yang menganut paham GZB pun memiliki kekacauan arah dan tujuan hidup. Mereka menetapkan sendiri tujuan hidup yang “cocok” dengan kemauannya sendiri. Di dalam dunia pendidikan, hal ini semakin terlihat. Hampir tidak adanya satu guru/dosen Kristen yang mengarahkan anak didiknya untuk menggumulkan tujuan hidupnya menurut kehendak Tuhan, akibatnya anak didik dari kecil dibiarkan sesuka hatinya menetapkan tujuan hidupnya. Dan yang lebih parahnya, para anak didik menetapkan tujuan hidupnya menurut apa yang mereka mau atau apa yang “cocok” dengan selera mereka/orang-orang terdekat mereka baik akibat pengaruh orangtua, teman, saudara, pasangan hidup (pacar), atau penetapan diri sendiri.


· Spiritualitas eklektik: GZB memercayai bahwa setiap orang harus mengikuti jalannya sendiri menuju pada spiritualitas dan tidak mengikuti dogma. Agama-agama dan filsafat-filsafat yang berbeda dari seluruh dunia menawarkan praktik-praktik yang berbeda yang dapat diadopsi oleh orang-orang dalam pencariannya.8
Setelah manusia tidak memiliki tujuan hidup yang jelas, para penganut GZB diajarkan untuk menentukan tujuan hidup itu semakin kacau yaitu menurut jalannya sendiri dan mengabaikan dogma. Tujuan hidup yang semakin kacau diakibatkan oleh paham universalisme yang menganggap semua agama itu sama saja. Karena semua agama itu sama saja, maka tujuan hidup seseorang itu sama saja. Arti konsep ini ada dua:
Pertama, human-centered life. Penganut GZB diajarkan untuk menentukan tujuan hidup menurut jalannya sendiri, dengan kata lain, mereka diajarkan untuk menentukan tujuan hidupnya sendiri yang berpusat pada manusia. Akibatnya, jika ada orang lain yang mencoba mengusik kelemahan konsepnya ini, mereka akan marah dan mengatakan bahwa orang lain tersebut tidak usah mengurusi hidupnya sendiri (“My business is my business. Your business is your business. My business is not your business. Your business is not my business. So, let us do our own business.”). Tetapi herannya, ketika ada orang lain yang memiliki konsep tujuan hidup yang berbeda dari konsep tujuan hidup para penganut GZB yang self-centered ini, mereka akan ngamuk dan cenderung menghina dengan mengatakan bahwa hari begini tidak usah mengurusi masalah Tuhan segala, yang penting apa yang kita anggap baik, jalankan saja. Dengan kata lain, para penganut GZB tidak mau diusik konsep tujuan hidupnya oleh orang lain, tetapi secara kontradiksi, mereka suka mengusik dan menghina konsep tujuan hidup orang lain yang lebih tinggi. Inilah ketidakkonsistenan konsep GZB. Hal ini juga nampak dalam dunia pendidikan, di mana para anak didik diarahkan untuk terus memikirkan apa yang menjadi cita-cita mereka, bukan apa yang Tuhan kehendaki. Cita-cita mereka ini digenjot dengan training motivasi baik dari guru/dosennya atau mengundang para motivator untuk mengajarkan bahwa cita-cita mereka itu baik dan harus dikembangkan (bukan menurut apa yang Tuhan kehendaki). Hal ini tercermin di dalam falsafah pendidikan Maria Montessori di dalam Sekolah Baby Smile di Surabaya di mana mereka percaya bahwa setiap orang secara moral itu baik, maka pendidikan dimaksudkan untuk membuat anak didik semakin baik.

Kedua, mengabaikan dogma. Orang yang cuek dengan tujuan hidup adalah orang yang mengabaikan dogma. Dogma bagi mereka adalah dogma yang kaku, kolot, otoritatif, dan mengikat. Akibatnya, bagi mereka, ketika dogma dijalankan, mereka tidak bisa bebas lagi. Pengabaian dogma juga berdampak pada dunia pendidikan yang tidak mau diintegrasikan dengan dogma apalagi dogma Kristen. Di dalam dunia pendidikan, hal ini juga nampak. Tidak heran seorang dosen yang mengaku diri “Kristen” di sebuah universitas “Kristen” di Surabaya berani mengatakan bahwa sains dan agama tidak ada hubungannya.


· Anti-Patriarchy: GZB memercayai bentuk feminin dari spiritualitas, termasuk bentuk feminin dari ilah, misalnya Aeon Sophia di Gnostisisme.9
Konsep lain dari GZB adalah munculnya anti kepemimpinan pria atau yang lebih dikenal dengan Feminisme. Meskipun terdapat beragam variasi feminisme, ide dasarnya adalah penyamarataan pria dan wanita di dalam tugas dan kewajiban. Jika pria bisa menjadi presiden, wanita pun berhak menjadi presiden, dll. Hal ini dimulai dari ide Grika tentang adanya ilah yang feminin (dewi) yaitu adanya dewi Aeon Sophia. Gambaran ilah yang agung dijadikan feminin (kewanita-wanitaan), begitu pula hal ini berimplikasi di dalam dunia kita sekarang. Gambaran malaikat yang cowok sekarang digambarkan oleh banyak gereja dengan peran cewek yang feminin. Di dalam dunia pendidikan pun, para pria tidak diajar bagaimana menjadi seorang pria yang berintegritas, bertangungjawab, berbijaksana, dll, sedangkan para wanita diajar bagaimana menjadi wanita yang sopan, lembut, perhatian, dll, tetapi semuanya dikaburkan. Pria dan wanita diajarkan hal yang sama tanpa adanya perbedaan penekanan. Akibatnya, tidak heran, ada seorang wanita yang kelakuannya maskulin (tomboi): tidak sopan, tidak lembut, dll. Tetapi herannya, kalau di angkutan umum, para cewek minta diperhatikan/dikhususkan, misalnya para cowok harus memberikan tempat duduk kepada seorang wanita/ibu. Selain itu, banyak wanita yang menjadi wanita karier adalah wanita yang berintegritas, keras, tegas, dll, seperti layaknya seorang pria, lalu ketika wanita karier ini menjadi seorang istri, ia pun memperlakukan suaminya seperti seorang pegawai.


· Sains (ilmu pengetahuan): GZB memercayai bahwa sains Barat mengabaikan terapi alternatif, seperti parapsikologi, meditasi, dan kesehatan holistik. Bagaimanapun, sains dan spiritualitas akhirnya harmonis. Penemuan-penemuan baru di dalam sains, seperti evolusi dan mekanik quantum (quantum mechanics), ketika secara benar dimengerti, menunjuk pada prinsip-prinsip spiritual.10
Konsep terakhir GZB adalah dimunculkannya hal-hal mistik pada dunia sains/ilmu pasti. Mereka mengajar bahwa sains dan spiritualitas pada akhirnya harmonis dengan pengertian bahwa semua hal sains menuju pada prinsip-prinsip spiritual. Akibatnya, para anak didik di dalam dunia pendidikan tidak lagi memelajari sains yang murni/pasti, tetapi sains yang ambigu/tidak pasti, karena mengandung unsur-unsur spiritual. Tidak heran juga, game-game yang digandrungi oleh anak muda zaman sekarang adalah bergenre virtual reality (realita semu).




Prevensi Kristen terhadap Pengaruh Filsafat Gerakan Zaman Baru di dalam Dunia Pendidikan
Sebagai kritik dan pencegahan Kristen terhadap pengaruh filsafat GZB terhadap dunia pendidikan, saya mengusulkan dua hal yang menjadi doktrin Kristen dan aplikasinya dalam kehidupan Kristen khususnya dalam dunia pendidikan.
1. Allah adalah Pencipta
Kekristenan yang berdasarkan Alkitab percaya bahwa Allah adalah Pencipta dunia beserta segala isinya, termasuk manusia. Alkitab mencatat bahwa Allah menciptakan manusia: laki-laki dan perempuan. Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah sebagai makhluk ciptaan. Sebagai pribadi yang diciptakan, Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. memaparkan konsep yang menarik, yaitu manusia adalah makhluk yang memiliki “kehendak bebas” (manusia sebagai pribadi) sekaligus manusia yang harus bergantung dan taat mutlak pada Pencipta (yang diciptakan).11 Karena manusia memiliki “kemandirian yang relatif”, maka manusia berhak menentukan hidupnya sendiri termasuk bagi masyarakat. Tetapi ia harus ingat bahwa manusia tetap adalah ciptaan yang harus bergantung pada Allah. Dosa mengakibatkan manusia tidak lagi sadar bahwa dia hanya manusia, sehingga ia ingin menjadi seperti Allah. Itulah sebenarnya konsep GZB bahwa manusia = Allah. Konsep ini harus dicegah dengan cara para guru/dosen Kristen harus kembali mengajar ulang tentang doktrin Kreasionisme/Penciptaan dan Hamartologi/Dosa kepada para anak didik mereka, sehingga mereka tidak lagi berpikiran bahwa manusia = Allah.

Akibat kedua dari dosa tersebut adalah bingungnya identitas diri. Dosa mengakibatkan manusia sendiri bingung akan identitas/jati dirinya sebagai manusia. Manusia pria bingung tentang natur, tugas, dan kewajiban pria, begitu juga dengan wanita. Karena kebingungan ini, secara pragmatis, manusia postmodern segera menyamaratakan semua tugas dan kewajiban baik pria maupun wanita. Manusia menjadi bingung akan jati diri, mengapa? Karena dosa. Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. di dalam bukunya The Defense of the Faith memaparkan bahwa dosa berarti interpretasi manusia berdosa (yang mengambil alih posisi interpretasi Allah) terhadap dunia ini. Supaya manusia tidak lagi bingung akan jati dirinya, manusia harus disadarkan kembali akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai manusia pria dan wanita yang diciptakan sama namun berbeda dalam fungsi dan tanggung jawabnya di hadapan Tuhan. Sudah saatnya para pendidik Kristen mengajar dan mendidik para anak didiknya tentang konsep bahwa manusia pria dan wanita itu sama-sama diciptakan Allah dengan dua tugas, peran, dan tanggung jawab yang berbeda yang nantinya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.


2. Allah adalah Sumber Segala Sesuatu
Selain sebagai Pencipta, Allah adalah Sumber Segala Sesuatu. Saya membagikan Allah sebagai Sumber Segala Sesuatu ini menjadi 4 pengertian:
Pertama, Allah sebagai Sumber Kehidupan. Karena sebagai Pencipta, Ia tentu memiliki makna dan tujuan hidup yang sesungguhnya. Dengan kata lain, Ia adalah Kehidupan. Kehidupan itu telah dinafaskan kepada manusia sehingga manusia yang dari debu tanah menjadi makhluk yang hidup. Tetapi dosa merusakkan semuanya dan akibatnya, manusia yang hidup tidak lagi memiliki makna dan tujuan hidup. Puji Tuhan, Allah mengutus Putra-Nya yang Tunggal, Tuhan Yesus Kristus yang adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup (Yoh. 14:6) untuk memberikan kehidupan sejati yang Allah maksudkan kepada umat pilihan-Nya, sehingga setiap umat-Nya dapat hidup dan bahkan hidup berkelimpahan (bukan dalam pengertian materi) di dalam-Nya (Yoh. 10:10). Penebusan Kristus mengembalikan natur manusia kepada natur yang sesungguhnya yaitu gambar dan rupa Allah, sehingga manusia yang dahulu tak memiliki tujuan hidup akhirnya memiliki tujuan hidup yang pasti, lalu Roh Kudus menyempurnakan hal tersebut sampai kesudahannya. Sehingga tujuan hidup umat pilihan-Nya menjadi jelas dan pasti karena Allah yang telah mencipta, menebus, dan terus menyempurnakan umat-Nya itulah sebagai Sumber Kehidupan. Kehidupan di luar Allah Trinitas adalah kehidupan yang sia-sia, karena kehidupan itu tidak memiliki dasar, makna, dan tujuan hidup yang jelas.

Kedua, Allah sebagai Sumber Hikmat. Karena Ia telah menciptakan dunia ini, maka Ia tentu juga sebagai Sumber Hikmat yang mengatur dunia ini (pemeliharaan/providensi-Nya). Dengan kata lain, semua dunia ini dan pengetahuannya harus bersumber pada Allah sebagai Sumber Hikmat (Ams. 1:7). Semua pengetahuan di luar Hikmat Allah adalah pengetahuan yang sia-sia. Karena kita percaya bahwa takut akan Tuhan adalah permulaan segala pengetahuan, maka sudah seharusnya semua orang Kristen yang takut akan Tuhan harus mengintegrasikan setiap doktrin iman Kristen dengan setiap bidang pengetahuan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, bisnis, dll. Artinya, setiap doktrin iman Kristen menjadi sumber, penghakim, penuntun dari semua bidang pengetahuan untuk memuliakan Tuhan. Akibatnya, setiap sains atau bidang pengetahuan lain yang tidak sesuai dengan Alkitab (misalnya yang dipengaruhi GZB) harus dihakimi. Itulah tugas dan peran serta tanggung jawab para pendidik Kristen khususnya ketika mengajar sains (baik: Fisika, Matematika, maupun Kimia) yang dikaitkan dengan iman Kristen yang solid.

Ketiga, Allah sebagai Sumber Pengharapan. Selain Sumber Hikmat, Ia juga adalah satu-satunya Sumber Pengharapan kita. Pengharapan di sini berarti pengharapan di dalam hidup kita. Ketika GZB mencoba menawarkan shio, bintang, dll di dalam horoskop, dll, mereka sebenarnya sedang berusaha menuntun manusia untuk melupakan Tuhan sebagai Sumber Pengharapan lalu berbalik kepada setan dan ramalan manusia yang belum tentu benar. Nah, inilah tugas, peran, dan tanggung jawab para pendidik Kristen dalam mendidik dan mengajar para anak didik bahwa mereka harus berharap hanya kepada Tuhan di dalam seluruh hidupnya, baik jodoh, keuangan, pekerjaan, dll, karena di dalam Dia ada Pengharapan yang pasti, di mana Dia sendiri adalah Allah yang kekal (tidak berubah) yang patut dipercayai.

Keempat, Allah sebagai Sumber Keselamatan. Selain Ia sebagai Sumber Pengharapan, Ia juga sebagai Sumber Keselamatan kita yang pasti. Artinya, kita bisa memiliki pengharapan hidup yang pasti tatkala kita sudah diselamatkan oleh satu-satunya Sumber Keselamatan kita, yaitu Allah Trinitas. Allah Bapa merencanakan keselamatan bagi umat pilihan-Nya di dalam Kristus, Allah Anak (Tuhan Yesus) menggenapi apa yang telah direncanakan Allah Bapa, dan Allah Roh Kudus menyempurnakan apa yang telah dikerjakan Kristus. Semua karya keselamatan dari Allah Trinitas ini mengindikasikan bahwa Allah yang mencipta juga adalah Allah yang menyelamatkan dan memelihara keselamatan dan hidup umat-Nya, sehingga sebagai umat-Nya, kita tidak perlu kuatir akan kehilangan keselamatan kita. Ia yang memulai keselamatan, Ia pula lah yang pasti menyempurnakan dan mengakhirinya. Haleluya! Berarti, di dalam Kristus, kita memiliki kehidupan setelah kematian, yaitu hidup bersama-sama dengan Kristus di Surga (Yoh. 11:25). Inilah yang tidak dimiliki di dalam konsep GZB tentang kehidupan setelah kematian. GZB hanya memercayai adanya hidup setelah kematian di dalam pengertian siklis dan tidak pasti, bukan dalam pengertian linear dan pasti. Di sini, Kekristenan menjawab semua problematika GZB tentang kehidupan setelah kematian, karena GZB tidak memiliki pengertian totalitas akan kehidupan, sedangkan Kekristenan memilikinya (bdk. konsep Allah sebagai Sumber Kehidupan di poin atas). Nah, kembali, tugas para pendidik Kristen adalah memberitakan Injil di dalam pendidikan kepada para anak didik mereka sehingga dari kecil, mereka disadarkan akan pentingnya kehidupan, hikmat, pengharapan, dan keselamatan yang dikerjakan Allah Trinitas di dalam hidupnya. Sambil menginjili, para pendidik tetap harus berdoa agar Roh Kudus bekerja melahirbarukan dan mencerahkan hati dan pikiran para anak didik, sehingga mereka boleh bertobat sejak dini. Pendidikan Kristen jangan pernah dilepaskan dari penginjilan.




Biarlah, melalui dua prinsip utama prevensi Kristen terhadap pengaruh filsafat GZB di dalam dunia pendidikan boleh menyadarkan kita akan urgensinya peran, tugas, dan tanggung jawab para pendidik Kristen di era postmodern ini. Sudahkah kita siap menjawab tantangan zaman dan menantang zaman postmodern ini dengan kebenaran Alkitab? Amin. Soli Deo Gloria.




Catatan kaki:
1. http://en.wikipedia.org/wiki/New_Age
2. James W. Sire, Semesta Pikiran: Sebuah Katalog Wawasan Dunia Dasar, terj. Irwan Tjulianto (Surabaya: Penerbit Momentum, 2005), hlm. 188.
3. http://en.wikipedia.org/wiki/New_Age
4. Ibid.
5. Gerald O’Collins, S.J. dan Edward G. Farrugia, S.J., Kamus Teologi, terj. I. Suharyo, Pr. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), hlm. 276.
6.
http://en.wikipedia.org/wiki/New_Age
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, terj. Irwan Tjulianto (Surabaya: Momentum, 2003), hlm. 8-9.


* Makalah ini merupakan revisi dari Tugas Paper Sekolah Theologi Reformed Injili Surabaya (STRIS) Andhika Matakuliah “Pendidikan dan Pengaruh Filsafat Dunia: Suatu Tinjauan Iman Kristen” yang diajar oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. Makalah ini sudah dikoreksi oleh dosen matakuliah ini (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.).


“Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.”
(Kolose 2:8)

To search for wisdom apart from Christ means not simply foolhardiness, but utter vanity.
(Dr. John Calvin)

27 August 2008

Matius 11:1-6: KRISTUS SEBAGAI PUSAT HIDUP-1

Ringkasan Khotbah : 07 Mei 2006
Kristus sebagai Pusat Hidup (1)
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 11:1-6



Pendahuluan
Matius 11:1 merupakan ayat jembatan maka ayat ini dapat diletakkan di pasal 10 atau pasal 11. Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) meletakkannya di pasal 10 tapi Alkitab versi Inggris meletakkan di pasal 11. Namun secara keseluruhan tema dari Matius pasal 11 ini merupakan kelanjutan dari pasal 10 yang telah kita renungkan sebelumnya, yakni seorang pengikut Kristus itu seperti domba di tengah serigala. Perhatikan, Tuhan tidak pernah janji akan memberikan hidup aman, nyaman, tidak ada beban dan kesulitan pada para pengikut-Nya. Tidak! Namun demikian ketika kita menjadi murid Kristus bukan berarti kita akan selalu mengalami kesulitan dan aniaya. Tidak! Atau sebaliknya, menjadi pengikut Kristus, hidup kita selalu aman dan nyaman. Tidak! Melalui Injil Matius 11 ini, Tuhan ingin supaya kita memutar fokus hidup kita pada Kristus, melihat Kristus sebagai Raja maka disitu kita akan mendapat kekuatan dari Tuhan sehingga kita dapat menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan.
Dalam menafsirkan ayat harus dikaitkan dengan keseluruhan konteks dengan demikian kita tidak menjadi sesat. Mat. 11:1 jika diletakkan di pasal ke-10 maka orang hanya melihat Kristus sebatas pekerjaan-Nya saja, the work of Christ, yakni sebagai pengajar dan pemberita Injil. Orang terjebak dalam suatu rumusan belaka; orang hanya melihat dan memperdebatkan pengajaran atau doktrin yang diajarkan Kristus dan yang terpenting, yaitu pribadi Kristus justru dihilangkan dari ajaran-Nya. Iman Kristen bukan sekedar ritual atau praktek keagamaan tetapi iman Kristen adalah pribadi Kristus sekaligus semua pengajaran-Nya. Mat. 11:1 lebih tepat jika diletakkan di pasal 11. Dalam bagian ini pengajaran Kristus bukan disoroti ke pengajaran-Nya tetapi dari pekerjaan Kristus, Yohanes mengajak para murid untuk melihat kepada pribadi Kristus. Ketika Tuhan Yesus mengajar dari satu kota ke kota lain maka pada saat itu, Yohanes Pembaptis yang berada dalam penjara mengikuti semua yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Yohanes Pembaptis menyuruh para murid untuk bertanya pada Kristus: “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?“ Atau dengan kata lain Yohanes Pembaptis ingin para muridnya menanyakan pada Yesus, apakah Yesus seorang Mesias atau bukan? Pertanyaan Yohanes Pembaptis merupakan pertanyaan Mesianis. Hal ini sangat penting untuk kita pahami, yakni ajaran tidak boleh dilepaskan dari pribadi Kristus.
Di dunia tidak ada satu pun manusia yang sempurna termasuk para pendiri agama. Setiap manusia pasti mempunyai banyak kelemahan karena manusia telah berdosa maka manusia berdosa tidak dapat dijadikan teladan sempurna. Karena itulah, para tokoh pendiri agama lebih menekankan pada pengajarannya, bukan pribadinya bahkan mereka sendiri pun bertanya-tanya apakah mereka juga diselamatkan. Dan kalau para tokoh agama ini mau jujur, sesungguhnya ajaran mereka itupun mempunyai banyak kelemahan jika dibandingkan dengan kebenaran asasi yang menyangkut unsur kekekalan, universal, integritas dan moral. Ajaran dan pribadi Kristus tidak saling bertentangan, Kristus menjadi teladan sempurna dari seluruh ajaran yang Dia sendiri ajarkan. Kristus adalah Sang Kebenaran sejati, Akulah jalan, kebenaran dan hidup...(Yoh. 14:6) jadi, ajaran-Nya bukan sekedar teori tetapi kebenaran. Iman Kristen harus kembali pada Kristus, Raja atas segala raja sebagai pusat hidup dan warga Kerajaan Sorga, kita harus taat pada Sang Raja.
Yohanes Pembaptis meminta pada muridnya untuk menanyakan kepada Kristus: “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?“ Sepintas pertanyaan ini adalah pertanyaan biasa. Akan tetapi kalau kita yang mendapat pertanyaan seperti yang diajukan oleh Yohanes Pembaptis maka apakah jawabmu? Apakah kita akan menjawab: Ya, Yesus adalah Mesias ataukah kita akan menjawab: tidak, Dia bukan Mesias. Jawaban ini menuntut pertanggung jawaban total dari kita sebab dari jawaban kita dapatlah diketahui sampai sebatas manakah kita memahami iman Kristen. Pertanyaan sekarang adalah kenapa pertanyaan ini diajukan oleh Yohanes Pembaptis? Beberapa penafsiran menyatakan:
Pertama, Yohanes Pembaptis mengalami keragu-raguan dan kemungkinan juga, umurnya tidak panjang lagi sehingga ia butuh suatu kepastian tentang Mesias. Kalau kita melihat hanya sebatas satu ayat itu saja tanpa memperhatikan keseluruhan konteks maka penafsiran ini sangatlah logis. Inilah akibatnya kalau kita sembarang menafsir ayat. Sesungguhnya, Yohanes Pembaptis tahu persis kalau Kristus adalah Mesias. Yohanes Pembaptis bertemu Yesus bukan pada suatu waktu atau tempat yang tidak biasa. Tidak! Pertemuan antara Yesus dan Yohanes ini terjadi sangat wajar. Hari itu, seperti biasa Yohanes Pembaptis membaptiskan banyak orang lalu muncullah Seorang yang sangat sederhana, anak seorang tukang kayu atau dapat dikatakan “seorang gembel“ datang di tengah-tengah kerumunan orang banyak itu dan minta dibaptiskan. Berbeda halnya kalau yang datang hari itu adalah raja Herodes, datang dengan kereta kudanya yang megah dan dikawal dengan pasukan berjumlah banyak pastilah semua orang dapat mengenali dia sebagai orang penting.
Kedatangan Tuhan Yesus hari itu tidaklah demikian, semua terjadi seperti biasa, tidak ada tanda-tanda kebesaran apapun; Dia datang dengan pakaian sederhana, berjalan kaki dan seorang diri namun Yohanes Pembaptis langsung mengenal Dia sebagai Mesias. Ketika Tuhan Yesus meminta dibaptis olehnya, Yohanes Pembaptis langsung mencegah Dia dan berkata: “Akulah yang perlu dibaptiskan oleh-Mu....“ Tidak hanya itu, untuk membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak. Sejak awal, sebagai seorang nabi, Yohanes Pembaptis sudah tahu kalau Kristus adalah Mesias dan ia yang menjadi pembuka jalan, forerider. Bahkan tidak hanya di situ saja, Allah dari sorga langsung mengkonfirmasi: “Inilah Anak yang Ku-kasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.“ Kejadian seperti ini tidak pernah terjadi pada siapapun juga ketika orang lain dibaptis. Jadi, penafsiran yang menyatakan Yohanes Pembaptis meragukan pribadi Kristus itu kurang tepat.
Kedua, Yohanes Pembaptis mengalami penganiayaan yang sangat berat di penjara maka kemungkinan pikirannya sedikit terganggu sehingga dia perlu mempertanyakan kembali pernyataannya. Yohanes Pembaptis hidup di jaman kepemimpinan Raja Herodes yang sangat kejam, ia tidak segan-segan untuk membunuh orang yang melawan dia atau orang yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Hari itu, kalau dia dapat menjadi Raja Yahudi itupun didapatkan dengan cara licik karena seharusnya dia tidak berhak untuk menjadi raja atas orang Yahudi sebab dia bukan orang Yahudi asli. Tidak hanya kelakuannya saja yang bejat, moralnya pun sangat rusak dan hal inilah yang dikritik keras oleh Yohanes Pembaptis. Maka wajarlah kalau kemudian muncul penafsiran yang menyatakan bahwa Yohanes Pembaptis dianiaya dengan sangat berat karena sikap Yohanes Pembaptis yang selalu melawan Herodes. Penganiayaan yang berat tersebut mengakibatkan dia mengalami gangguan kejiwaan. Konklusi ini memang logis tapi itu bukan menjadi jawaban Alkitab. Orang dapat memaparkan kondisi sedemikian rupa namun hal itu tidak dapat kita jadikan sebagai kesimpulan. Kalau kita mau menelusur dengan teliti maka kita menjumpai Herodes yang sangat sedih ketika anak perempuannya meminta kepala Yohanes Pembaptis tetapi karena ia telah bersumpah maka ia pun menuruti apa yang menjadi permintaan dari anaknya tersebut (Mat. 14). Herodes sangat takut ketika ia harus menjalankan eksekusi tersebut, karena Herodes tahu, Yohanes Pembaptis bukan orang biasa, ia mempunyai ribuan pengikut. Dari sini, kita tahu sekarang kalau Herodes tidak akan berani menyentuh Yohanes Pembaptis. Dari Alkitab kita tahu, meski Yohanes di penjara, ia masih dapat bercakap-cakap dengan para murid-muridnya, ia dapat mengikuti seluruh apa yang dikerjakan oleh Tuhan Yesus, ia masih dapat mengajar dengan demikian hubungannya dengan murid-muridnya dapat terjaga dengan baik. Jadi, penafsiran kedua kurang tepat.
Ketiga, para Reformator menafsirkan kalau pertanyaan yang diajukan oleh Yohanes Pembaptis ini bukan untuk dirinya tetapi ditujukan untuk para muridnya, yaitu supaya para muridnya itu mendapat pernyataan langsung dari Kristus kalau Yesus adalah Mesias.
Ada tiga aspek yang Yohanes Pembaptis ingin para murid berubah:
1. Ke-Mesias-an Kristus. Yohanes Pembaptis menyuruh para murid untuk menyampaikan pertanyaan pada Kristus: “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?“ Pertanyaan ini membuat para murid harus bertemu langsung dengan Tuhan Yesus dan mereka mendapat jawaban langsung dari Tuhan Yesus tentang siapa diri-Nya yang sesungguhnya – Kristus adalah Mesias. Memang, tidak salah kalau kita “mengidolakan“ seseorang karena kita merasa dia telah berjasa dalam membangun iman tetapi merupakan suatu kesalahan fatal kalau iman berhenti pada batas manusia yang kita hormati tersebut sebab kalau orang yang kita hormati itu meninggal maka iman kitapun ikut mati. Yohanes Pembaptis menyadari akan gejala ini maka ia ingin supaya murid-murid-Nya mendengar dan memperoleh pernyataan langsung dari Kristus. Yohanes juga ingin supaya para muridnya memutar fokus imannya kepada Mesias yang sejati dan bukan pada dirinya. Biarlah iman kita tidak berhenti pada pribadi satu orang saja dan biarlah iman kita tidak berhenti di batas pengalaman-pengalaman tertentu tapi hendaklah Kristus yang menjadi pusat hidup kita dan hanya kepada-Nya saja, Raja di atas segala raja itu kita harus taat.
2. Tanda Kristus. Dari peristiwa ini kita melihat ada percakapan secara tidak langsung antara Tuhan Yesus dengan Yohanes Pembaptis dimana sebagai perantara media adalah murid-murid Yohanes Pembaptis. Tuhan Yesus tidak langsung menjawab pertanyaan Yohanes Pembaptis. Tuhan Yesus ingin membangun iman para murid Yohanes ini maka Yesus menjawab: “Pergi dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat:...(Yoh. 11:4-6). Artinya para murid telah melihat dan mendengar tentang semua hal yang dilakukan oleh Tuhan Yesus seperti: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin mendapat kabar baik maka dari sana mereka dapat menarik sebuah kesimpulan dan kesimpulan itulah yang harus mereka laporkan kepada Yohanes. Inilah iman, yaitu mereka mengalami sendiri dan membuktikan dengan mata kepala mereka sendiri bahwa Kristus Yesus adalah Mesias. Namun sangatlah disayangkan, hari ini ayat 5 ditafsirkan dengan sembrono karena orang melepaskan dari konteks keseluruhan. Orang menafsirkan kalau menjadi pengikut Kristus maka segala sakit penyakit akan disembuhkan. Penafsiran yang salah! Berhati-hatilah pada akhir jaman, banyak orang yang mengaku sebagai mesias. Pertanyaan yang diajukan Yohanes adalah dalam konteks mempertanyakan tentang siapa Kristus. Tanda diberikan supaya orang mengenal bahwa Kristus adalah Mesias namun orang tidak mengerti tanda tetapi orang mengikut Yesus karena mereka kenyang (Yoh. 6:25-29). Maka tidaklah heran setelah orang mengalami pengalaman iman yang spektakuler, mereka justru terjebak ke dalam pengalaman itu dan lupa kalau ada Kristus yang bekerja dibalik mujizat itu.
3. Pusat Iman. Setelah murid-murid Yohanes pergi, Kristus membukakan pada para murid-Nya tentang Yohanes Pembaptis (Yoh. 11:7-11). Tuhan Yesus menyetarakan Yohanes Pembaptis dengan nabi Elia. Dan hal ini pasti didengar oleh Yohanes. Bagi orang Yahudi, Elia adalah seorang tokoh sekaligus seorang nabi besar. Seorang diri, Elia berhasil mengalahkan 400 nabi Baal, selain itu, Elia adalah satu-satunya nabi yang tidak mati, ia diangkat ke sorga dengan kereta berapi. Dengan kata lain, Tuhan Yesus mau menegaskan kalau Yohanes Pembaptis adalah seorang nabi besar tidak beda dengan nabi Elia. Namun di ayat 11, Tuhan menyatakan: Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar daripada Yohanes Pembaptis, namun yang terkecil dalam Kerajaan Sorga lebih besar dari padanya. Gambaran kontras ini bukan untuk merendahkan Yohanes Pembaptis. Tidak! Tuhan Yesus membandingkan antara diri-Nya dengan Yohanes. Kata “yang terkecil“ disana adalah Tuhan Yesus. Yohanes tahu, dirinya bukanlah yang terbesar tetapi Kristuslah yang terbesar: “Lihatlah Dia, ecce hommo; Dia harus makin besar dan aku makin kecil, Dia harus makin bertambah, aku harus makin berkurang.“ Inilah jiwa seorang Yohanes Pembaptis, nabi besar. Sadarlah, ketika kita berpaling pada Kristus maka justru disanalah kita akan mendapat kekuatan sorgawi untuk menghadapi segala tantangan jaman.
Bukanlah hal yang mudah bagi orang untuk berpindah dari satu kepercayaan ke kepercayaan lain, kecuali ia tahu pasti kalau kepercayaan barunya itu jauh lebih agung dan lebih benar barulah ia berpindah. Begitu juga yang dialami oleh murid Yohanes bukan hal mudah untuk berpaling kepada Kristus. Biarlah kita dipakai menjadi saksi Kristus yang menyatakan kepada dunia bahwa kepercayaan kita kepada Kristus itu jauh lebih agung dibandingkan dengan kepercayaan lain yang ada di dunia sebab tidak hanya ajaran-Nya yang adalah kebenaran sejati tetapi pribadi Kristus itu sendiri adalah Sang Kebenaran; Dia adalah Raja di atas segala raja. Biarlah ketika kita berada dalam penderitaan aniaya, kita tahu semua yang kita lakukan itu tidak sia-sia karena kita memandang pada Kristus yang menjadi pusat iman kita. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 10:5-8: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-9: Sentralitas Kristus dan Pembenaran Melalui Iman

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-8


“Israel” Sejati atau Palsu-9:
Sentralitas Kristus dan Pembenaran Melalui Iman

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 10:5-8


Setelah mempelajari tentang Kristus sebagai kegenapan hukum Taurat dan pembenaran melalui iman di ayat 4, maka Paulus menjelaskan lebih dalam lagi tentang arti dibenarkan melalui iman di ayat 5 s/d 8.

Pada ayat 4, Paulus menjelaskan bahwa Kristus lah yang menggenapi Hukum (Taurat) dan oleh karena itulah, umat pilihan-Nya yang percaya dibenarkan melalui tindakan Kristus yang telah menunaikan seluruh ketentuan Hukum (Taurat), karena mereka sendiri tidak mampu menunaikan seluruh ketentuan Hukum (Taurat). Hal ini bukanlah ajaran baru, karena di dalam Perjanjian Lama, Allah telah mengajarkannya melalui Musa. Hal ini ditunjukkan oleh Paulus di ayat 5 di mana, “Sebab Musa menulis tentang kebenaran karena hukum Taurat: "Orang yang melakukannya, akan hidup karenanya."” Apa yang Paulus kutip diambil dari Imamat 18:5 yang berbunyi, “Sesungguhnya kamu harus berpegang pada ketetapan-Ku dan peraturan-Ku. Orang yang melakukannya, akan hidup karenanya; Akulah TUHAN.” Ayat ini berada di dalam konteks ketika TUHAN mewahyukan hukum-Nya tentang perkawinan yang kudus. Sebelum ayat ini, di ayat 1-4, TUHAN sudah memberi peringatan kepada Israel untuk tidak menaati kebiasaan orang-orang Mesir dan Kanaan, tetapi Israel harus melakukan peraturan Allah dan harus berpegang pada ketetapan-Nya dengan hidup menurut semuanya itu. Ayat 4 ditegaskan kembali dengan ayat 5 sebagai alasan yaitu justru dengan berpegang pada ketetapan Allah dan peraturan-Nya, maka orang yang melakukannya akan hidup. Ayat ini sungguh menarik. Seolah-olah, Roma 10:5 bertentangan dengan ayat 4, karena di ayat 4, Paulus mengajarkan pembenaran oleh iman, sedangkan di ayat 5, seolah-olah mengajarkan pembenaran melalui perbuatan baik. Benarkah ada kontradiksi di dalam kedua ayat ini? TIDAK! Justru, kedua ayat ini saling menguatkan. Ketika seseorang beriman di dalam Kristus, ia memiliki jaminan keselamatan karena anugerah-Nya, dan setelah itu, umat-Nya harus menghidupi hidup sesuai dengan ketentuan Hukum Allah. Kita harus menaati hukum Allah karena kita telah dibenarkan oleh Kristus yang telah menggenapi seluruh ketentuan Taurat. Dengan kata lain, dibenarkan melalui iman tidak bisa dilepaskan dari hidup melaksanakan Hukum Allah. Seringkali beberapa orang Kristen diajar bahwa setelah kita diselamatkan, kita boleh berbuat apa saja, karena sekali selamat tetap selamat. Doktrin sekali selamat tetap selamat (Perseverance of the Saints) TIDAK boleh dijadikan acuan agar kita boleh hidup sembrono, justru membuat kita semakin setia dan taat kepada-Nya dengan menjalankan hukum-Nya. Ini bukan hanya diajarkan oleh Perjanjian Baru, sejak Perjanjian Lama pun, TUHAN sudah mengajarkan hal ini. TUHAN pertama kali memanggil Abraham dan Israel untuk menjadi umat pilihan-Nya, setelah itu IA mewahyukan firman-Nya sebagai hukum-Nya yang memimpin dan menuntun umat-Nya itu untuk hidup dan IA sendiri menjamin bahwa barangsiapa yang melakukan seluruh hukum-Nya, mereka akan hidup. Tetapi apakah ada yang sanggup melakukan seluruh hukum-Nya? TIDAK! Kalau pun manusia bisa melakukan hukum (Taurat), mereka tidak melakukannya secara keseluruhan, tetapi sebagian, karena mereka kadangkala tidak membunuh, tetapi mencuri. Tentang hal ini, Yakobus berkata, “Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya. Sebab Ia yang mengatakan: "Jangan berzinah", Ia mengatakan juga: "Jangan membunuh". Jadi jika kamu tidak berzinah tetapi membunuh, maka kamu menjadi pelanggar hukum juga.” (Yakobus 2:10-11) Jadi, jelaslah, tidak ada satu orang pun yang sanggup menunaikan seluruh hukum Taurat. Oleh karena itulah, Paulus di ayat 4 mengatakan bahwa Kristus itu lah yang telah menunaikan seluruh Taurat, sehingga kita sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus sanggup menunaikan Hukum Taurat karena Kristus. Jadi, ayat 4 dan 5 tidak bertentangan.

Karena kita dibenarkan hanya melalui iman (dan sama sekali bukan karena perbuatan baik), maka kita berani mengamini apa yang Kristus kerjakan. Hal ini dijelaskan Paulus di ayat 6 dan 7, “Tetapi kebenaran karena iman berkata demikian: "Jangan katakan di dalam hatimu: Siapakah akan naik ke sorga?", yaitu: untuk membawa Yesus turun, atau: "Siapakah akan turun ke jurang maut?", yaitu: untuk membawa Kristus naik dari antara orang mati.” Kedua ayat ini diambil dari Ulangan 30:12-13 yang berkata, “Tidak di langit tempatnya, sehingga engkau berkata: Siapakah yang akan naik ke langit untuk mengambilnya bagi kita dan memperdengarkannya kepada kita, supaya kita melakukannya? Juga tidak di seberang laut tempatnya, sehingga engkau berkata: Siapakah yang akan menyeberang ke seberang laut untuk mengambilnya bagi kita dan memperdengarkannya kepada kita, supaya kita melakukannya?” Kedua ayat ini berada di dalam konteks tentang penjelasan pentingnya Firman Tuhan yang tidak sukar, yaitu Firman Tuhan yang tidak jauh di atas, juga tidak jauh ke seberang. Di sini, Paulus menjelaskan arti firman Allah di dalam Ulangan ini. Ulangan 30:12 ditafsirkan Paulus sebagai “membawa Yesus turun” dan ayat 13 ditafsirkan Paulus sebagai “membawa Kristus naik dari antara orang mati”. Uniknya, kedua tafsiran Paulus atas dua ayat PL ini di dalam banyak terjemahan Inggris (King James Version—KJV, New King James Version­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­—­NKJV, Amerian Standard Version—ASV, International Standard Version—ISV, English Standard Version—ESV, Analytical-Literal Translation—ALT, English Majority Text Version—EMTV, Geneva Bible, Good News Bible—GNB, God’s Word—GW, Literal Translation of the Holy Bible) dan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) diberikan tanda kurung. Ini menunjukkan tafsiran dan penjabaran Paulus atas PL. Kedua ayat dalam PL ini ditafsirkan Paulus sebagai kaitan dengan peristiwa kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke Surga. Berarti kebenaran melalui iman bukanlah kebenaran yang sia-sia yang berasal dari diri sendiri, tetapi dari Allah yang telah mengutus Kristus sebagai sumber pembenaran kita oleh anugerah-Nya di dalam iman. Kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke Surga membuktikan kemenangan-Nya atas maut dan ditunaikannya seluruh tugas-Nya, sehingga Ia layak mendapatkan puji, hormat dan sembah dari umat-Nya dan semua orang. Di sini, kita kembali melihat bahwa tesis di ayat 4 yang mengatakan bahwa Kristus telah menggenapi Taurat dan umat-Nya mendapatkan status yang dibenarkan melalui iman di dalam-Nya mendapat legitimasi sah, yaitu melalui kematian, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga. Semua hal ini membuat kita sadar bahwa keselamatan dan status yang dibenarkan bukan didapat karena jasa baik kita, tetapi karena anugerah-Nya melalui iman, oleh karena itu, sudah sepatutnya kita bersyukur selalu dengan melakukan Hukum Allah dan memberitakan Injil kepada mereka yang belum percaya.

Bahkan kebenaran oleh iman bukan hanya berkisar tentang kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke Surga, tetapi juga berpusat pada Pribadi Kristus yang berinkarnasi itu sendiri (bdk. Roma 10:4), seperti dijelaskan Paulus di ayat 8, “Tetapi apakah katanya? Ini: "Firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu." Itulah firman iman, yang kami beritakan.” Ayat ini dikutip dari Ulangan 30:14, “Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan.” Firman yang sangat dekat kepadamu (di dalam konteks Ulangan, adalah Israel) yakni di dalam mulut dan hati umat Israel ditafsirkan oleh Paulus sebagai firman iman yang diberitakan Paulus, yaitu Kristus. Kristus adalah Firman Allah (tidak berarti DIA bukan Pribadi Allah) yang menjelma menjadi manusia (Yohanes 1:1, 14), sehingga manusia dapat mengenal Allah sejati. Di dalam theologia Reformed, inkarnasi Kristus merupakan wahyu khusus Allah secara tidak tertulis HANYA kepada umat pilihan-Nya. Melalui Kristus, manusia pilihan-Nya dapat mengenal Pribadi Allah yang benar dan sejati serta beribadah kepada-Nya dengan pengertian yang benar di dalam Kristus melalui Roh Kudus. Kalau di zaman PL, umat-Nya menantikan Mesias, maka kita yang hidup setelah Perjanjian Baru (PB) bersyukur karena kita telah melihat dengan iman dan percaya di dalam-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat, sehingga iman kita justru semakin dikuatkan dan pengharapan kita semakin jelas. Kehadiran Kristus sebagai Pusat iman dan pembenaran serta keselamatan kita membuat kita tidak henti-hentinya bersyukur dan terus-menerus menjadikan Dia sebagai Pusat dan Tuhan dalam hidup kita. Hidup Kristen bukan hidup yang sia-sia, sembrono, tanpa arah, tetapi hidup Kristen justru sangat berarti, mengapa? Karena Kristus lah yang memberikan arti hidup itu kepada umat-Nya, melalui penebusan dan karya Roh Kudus yang diutus-Nya untuk mendampingi kita di dalam perjalanan hidup. Hidup yang men-Tuhan-kan Kristus (mengutip perkataan Pdt. Sutjipto Subeno) itulah merupakan respon yang benar setelah kita diselamatkan dan dibenarkan melalui anugerah Allah di dalam iman.

Melalui perenungan keempat ayat ini, sudahkah kita hidup menjadikan Kristus sebagai Allah dan Tuhan dalam hidup kita sebagai respon ucapan syukur kita karena kita telah diselamatkan? Ingatlah, Allah telah menyatakan diri-Nya di dalam Kristus bagi umat-Nya, siapkah kita menyatakan Kristus itu melalui pemberitaan Injil dan kelakuan hidup kita sehari-hari? Kiranya Roh Kudus memimpin langkah kita setiap hari di dalam menunaikan apa yang Tuhan inginkan bagi kita. Amin. Soli Deo Gloria.

26 August 2008

Penginjilan kepada Roh-roh di dalam Penjara Menurut 1Ptr. 3:19 (Marthinus Yaroseray, Th.M.)

Penginjilan kepada Roh-roh di dalam Penjara
Menurut 1Ptr. 3:19*


oleh: Marthinus Yaroseray, Th.M.


Pertanyaan
Apakah maksudnya “Ia [yaitu Yesus Kristus–1Ptr. 3:18] pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara” dalam 1Ptr. 3:19?[1] Untuk menjawab pertanyaan ini, maka beberapa subpertanyaan dalam klausa ini perlu dimengerti terlebih dahulu. Pertama, kapankah pemberitaan oleh Tuhan Yesus itu terjadi? Apakah pada waktu Nuh di zaman Perjanjian Lama (bdk. ay. 20)? Atau pada saat Tuhan Yesus mati-sementara Ia tergantung di kayu salib, atau sementara di dalam kubur? Atau di antara saat kebangkitan-Nya dan kenaikan-Nya ke sorga (bdk. ay. 18)? Ataukah sementara Ia naik ke sorga?

Kedua, apakah yang dilakukan oleh Tuhan Yesus itu memang merupakan pemberitaan Injil-sebagaimana dipahami dalam Alkitab Terjemahan Baru (TB) dan TB 2? Ataukah Tuhan Yesus (hanya) menyatakan proklamasi, pengumuman, atau deklarasi atas karya keselamatan yang diraih-Nya, khususnya melalui kemenangan-Nya dari kubur dan maut?–sebagaimana dipahami dalam beberapa terjemahan lain seperti New American Standard Bible Updated (NASU) yang menerjemahkan ‘pemberitaan Injil’ dalam ay. 19 [Yunani: ekēruksen] sebagai made proclamation; New Revised Standard Version (NRSV): made a proclamation; atau New English Bible (NEB): (he went and) made his proclamation.

Ketiga, apakah atau siapakah “roh-roh” di dalam penjara yang kepadanya Tuhan Yesus pergi memberitakan Injil, atau seperti kecenderungan pemahaman modern, memproklamasikan kemenangan-Nya?[2] Apakah roh-roh ini ialah arwah-arwah atau roh-roh manusia atau makhluk-makhluk tak berjasad atau tak berdaging tak bertulang? Kalau roh-roh dalam teks ini berarti roh, arwah, atau makhluk (being) tak berjasad, apakah itu berarti Tuhan Yesus pergi memberitakan Injil kepada roh-roh manusia yang terpisah dari jasad ragawi? Kalau “Ya,” roh-roh siapakah itu? Apakah roh-roh dari orang-orang yang sudah mati, khususnya arwah-arwah dari zaman Nuh? Ataukah bahwa roh-roh yang dimaksudkan di sini ialah malaikat-malaikat? Jika Yesus pergi memberitakan Injil kepada malaikat, apakah malaikat, khususnya malaikat pemberontak, bisa bertobat? Apakah surat Petrus berbicara tentang adanya keselamatan bagi malaikat?

Keempat, apakah makna penjara dalam frasa “roh-roh yang di dalam penjara”? Apakah penjara yang surat Petrus atau Petrus[3] maksudkan ialah tempat dalam arti literal, yaitu lokasi pengurungan atau penahanan sesuatu atau seseorang (biasanya orang hukuman atau orang yang divonis bersalah)? Kalau demikian, apakah pemberitaan Injil oleh Tuhan Yesus itu dilakukan kepada roh-roh dalam suatu lokasi kurungan fisik tertentu? Di manakah lokasi penjara itu, dan bagaimanakah kondisinya, atau kondisi “roh-roh” di dalamnya?[4]


Jawaban Umum
Jawaban umum tentang makna pemberitaan Tuhan Yesus kepada roh-roh dalam penjara (1Ptr. 3:19) terdapat dalam buku atau referensi seperti Ensiklopedi Alkitab Masa Kini[5] atau New Bible Dictionary;[6] Hard Sayings of the Bible;[7] atau dalam “Alkitab Penuntun” atau “Study Bible.” The NIV Study Bible mengemukakan tiga kemungkinan interpretasi terhadap persoalan pemberitaan Tuhan Yesus kepada roh-roh di dalam penjara dalam 1Ptr. 3:19-20a.[8] Pandangan atau interpretasi pertama mengatakan bahwa Tuhan Yesus, sebelum berinkarnasi, pergi memberitakan (Injil) melalui Nuh kepada generasi yang jahat pada zaman Nuh. Pandangan pertama ini mengabaikan faktor kematian dan kebangkitan Yesus, sebagaimana dituntut oleh konteks 1Ptr. 3. Inilah kelemahan dari pandangan pertama.

Menurut pandangan kedua, dalam masa selang di antara kematian dan kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus pergi ke penjara di mana malaikat-malaikat pemberontak dikurung dan menyampaikan berita (mungkin deklarasi kemenangan Tuhan Yesus) kepada malaikat-malaikat itu yang telah jatuh dan kawin dengan anak-anak perempuan manusia pada zaman Nuh (bdk. Kej. 6:1-4; 2Ptr. 2:4; Yud. 6). Kelemahan utama dari pandangan ini ialah pendapat tentang adanya hubungan seks antara malaikat (yang berkeadaan ‘roh’) dengan manusia (perempuan).

Pandangan ketiga mengatakan bahwa di antara kematian dan kebangkitan-Nya Tuhan Yesus pergi ke dunia orang mati dan menyampaikan berita (mungkin berita Injil, atau mungkin berita kemenangan Tuhan Yesus serta hukuman bagi para pendengar-Nya), kepada roh-roh dari orang-orang jahat pada zaman Nuh. Kelemahan utama dari pandangan ketiga ialah bahwa istilah “roh-roh” – menurut NIV Study Bible – hanya dipakai oleh Alkitab untuk merujuk kepada makhluk-makhluk supranatural (kecuali jika istilah “roh” itu disertai keterangan tambahan).

Jawaban umum dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini atau New Bible Dictionary dapat diklasifikasi ke dalam dua golongan besar. Pertama, pendapat para bapa gereja, dan kedua, pendapat para sarjana modern. Bapa-bapa gereja (patristic exegesis) berpendapat bahwa “mereka yang dahulu … tidak taat” adalah khas contoh orang-orang berdosa dari zaman Nuh yang tidak berkesempatan mendengar Injil-dan tidak bertobat-sebelum inkarnasi TuhanYesus. Kesempatan untuk mendengar Injil tiba ketika dalam interval waktu di antara kematian dan kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus pergi ke penjara, atau, menurut terjemahan Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, “turun ke dunia orang mati dan menjanjikan keselamatan kepada mereka.” Secara khusus, pendapat seperti ini berkembang di Gereja Timur.

Pendapat modern memahami pemberitaan oleh Tuhan Yesus kepada roh-roh dalam penjara sebagai proklamasi atau pengumuman Tuhan Yesus tentang kemenangan-Nya di salib.[9] Proklamasi ini terjadi setelah penderitaan Yesus, khususnya pada saat kenaikan-Nya ke sorga (dengan atau tanpa menawarkan keselamatan), kepada malaikat-malaikat yang jatuh/berdosa. Yang biasanya dirujuk sebagai referensi pendukung terhadap pandangan ini ialah 2Ptr. 2:4, 5 (Allah menyerahkan malaikat-malaikat yang berdosa ke dalam neraka dan gua-gua yang gelap untuk menyimpan mereka sampai hari penghakiman), dan Yudas 6 (Tuhan menahan malaikat-malaikat yang tidak taat dengan belenggu abadi di dalam dunia kekelaman sampai penghakiman pada hari besar).


Jawaban Alternatif
Tulisan ini akan mengemukakan bahwa pemberitaan Injil–bukan deklarasi kemenangan–dilakukan oleh Tuhan Yesus melalui Roh-Nya di dalam diri dan melalui pelayanan para nabi Perjanjian Lama (1Ptr. 1:11). Pemberitaan ini ditujukan kepada
“roh-roh” di dalam penjara, yaitu kepada
“mereka [yaitu orang-orang] yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat” (ay. 20).

Tafsiran alternatif ini memandang kata “roh-roh” dalam 1Ptr. 3:20 dalam Alkitab Terjemahan Baru (1 dan 2) sebagai terjemahan berlebihan yang tidak perlu.[10] Dalam teks Yunani, kata benda “roh-roh” (Yun: pneumasin) hanya ada dalam ay. 19 dan tidak ada dalam ay. 20. Bentuk datif ‘participle’ apeithēsasin dalam ay. 20 memang merujuk kepada pneumasin dalam ay. 19,[11] namun ‘pneumasin’ dalam ay. 20 tidak secara otomatis berarti roh-roh manusia, atau “roh-roh mereka” seperti dalam Alkitab TB. Petrus memakai kata yang berasal dari kata dasar apeitheō juga dalam 2:8; 3:1 dan 4:17, dan semuanya merujuk kepada orang, dan bukan roh atau arwah, atau malaikat, yang tidak taat.

Kekayaan bahasa metaforis 1Ptr. (dan 2Ptr. ),[12] pemahaman tentang ketegasan modus pandang (worldview) Petrus serta ajarannya[13] menuntut bahwa kata “roh-roh” yang dimaksudkannya bukan berarti roh-roh manusia, melainkan manusia, yaitu orang-orang. Oleh karena itu, maka Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru dengan tepat menerjemahkan apeithēsasin sebagai orang-orang yang tidak taat, dan bukan roh-roh dari orang-orang yang tidak taat.[14] Pemahaman terhadap ketegasan ajaran Petrus, baik di surat Petrus maupun di Kisah Para Rasul[15] memustahilkan pelayanan pemberitaan Injil kepada roh-roh manusia dalam arti roh atau sosok tak berdaging tak bertulang, atau kepada arwah-arwah, atau kepada malaikat-malaikat.

Selain Petrus, istilah pneuma (roh) dalam arti manusia atau ‘orang-orang’ dipakai juga beberapa kali oleh rasul Paulus. Paulus dapat memakai kata pneuma dalam arti psuchē (‘jiwa’; Flp. 1:27), atau sarks (tubuh); atau bahkan manusia secara keseluruhan (2Kor. 2:13; 7:5).[16] Doa Paulus pada bagian penutup dari beberapa suratnya yang menyatakan agar Tuhan Yesus atau kasih karunia-Nya menyertai roh para penerima suratnya (Flp. 4:23; 2Tim. 4:22; Gal. 6:18) berarti bahwa Paulus berdoa agar Tuhan Yesus atau Roh Allah menyertai para penerima suratnya (dan bukan semata menyertai ‘roh’ mereka dalam kondisi terpisah dari tubuh jasmani). Pemakaian kata “roh” dalam arti “kamu” yaitu orang-orang yang menerima surat Paulus mungkin paling jelas terdapat dalam 2Tim. 4:22 (di mana “rohmu” sejajar maknanya dengan “kamu”):
Tuhan menyertai rohmu.
Kasih karunia-Nya menyertai kamu!

Serupa dengan masyarakat modern, termasuk masyarakat Kristen, yang seringkali merujuk manusia dengan istilah ‘jiwa,’[17] Petrus juga memakai psuchē dalam arti orang atau manusia. Delapan kali kata psuchē yang dipakai Petrus selalu merujuk kepada orang.[18] Kata ini dapat diterjemahkan “jiwa” (1:9; 2:25; 4:19), atau “diri” (1:22) dalam arti “orang” (3:20; 2Ptr. 2:14). Petrus tidak memakai psuchē dalam arti jiwa atau roh dalam keterpisahan dari tubuh jasmani. Kata “orang” dalam frasa “delapan orang” yang diselamatkan dari bencana air bah dalam 3:20 berasal dari kata psuchē. Dengan demikian maka berdasarkan pertimbangan terhadap konteks bahasan dan gaya penulisan Petrus (dalam 1Ptr. 3:18-4:6), dapat disimpulkan bahwa psuchē yang diterjemahkan sebagai “orang” dalam 3:20 berfungsi paralel (interchangeable) dengan pneuma dalam 3:19 dan (apeithēsasin) dalam ay. 20, yaitu “orang-orang” yang tidak taat.[19]

Bagi orang-orang yg tidak benar ini Kristus yang benar telah mati (18)
Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh di dalam penjara (19)
Yaitu mereka yg dahulu tidak taat, di mana hanya delapan orang diselamatkan (20)

Selanjutnya pendapat alternatif ini memahami “penjara” (dalam frasa “roh-roh yang di dalam penjara”), bukan dalam arti literal lokasi pengurungan atau penahanan, melainkan sebagai metafora tentang kondisi keterikatan dan kebinasaan dalam dosa dan hawa nafsu.[20] Kondisi ini dilukiskan oleh Petrus sebagai hidup dalam kesia-siaan (1:18), jatuh tersandung (2:8), berada dalam kegelapan (2:9; 2Ptr. 1:19; 2:17), hidup dalam kedagingan yang berperang melawan jiwa (1:11), kondisi kepicikan dalam kebodohan (1:15) dan kebutaan (2Ptr. 1:9), terseret dalam kesesatan (2:25; 2Ptr. 2:18; 3:17) dan kecemaran dunia (2Ptr. 1:20), tercelumpung dalam kubangan ketidaksenonohan (4:4), serta terikat dalam hawa nafsu yang menghukum dan membinasakan (2Ptr. 1:4; 2:3). Kepada “roh-roh” yang menjadi “slaves of corruption”[21] (budak-budak dalam proses pembusukan) inilah Yesus Kristus, melalui nabi Nuh, pergi memberitakan Injil dengan tujuan untuk memberi kebebasan (1:18; 2Ptr. 2:1), kelepasan (2Ptr. 1:18, 20) atau keluputan (2Ptr. 1:4).

Seperti halnya Tuhan Yesus post-existent,[22] melalui pelayanan rasul Petrus (dan para rasul sezamannya) memberitakan Injil dan membawa para penerima Injil, khususnya yang tersebar di daerah Asia Kecil (1:1), kepada Allah (3:18), maka demikian juga Yesus pre-existent, melalui Nuh dan pelayanannya, memberitakan Injil kepada orang-orang berdosa pada zaman Nuh (dan pada zaman Perjanjian Lama pada umumnya, secara umum lewat nabi-nabi Perjanjian Lama; bdk. 1:11) dan berusaha membawa mereka kepada Allah (3:19, 20).


Petrus Tidak Mengajarkan Pekabaran Injil Kepada Roh Orang Mati
Pendapat atau tafsiran alternatif di atas berimplikasi tegas setidaknya terhadap tiga hal. Pertama, bahwa kesaksian dan pekabaran Injil kepada manusia hanya dapat dilakukan kepada manusia dalam kesatuan tubuh-jiwa atau kesatuan tubuh-jiwa roh. Petrus tidak mengajarkan adanya pekabaran Injil terhadap roh-roh dalam keberadaannya yang terpisah dari kesatuan jasad ragawi. Karena penginjilan hanya dilakukan kepada manusia dalam kesatuan/kesadaran tubuh-jiwa-roh, maka tidak ada penginjilan kepada roh atau arwah manusia yang meninggalkan jasad ragawi setelah meninggal dunia. Dengan demikian, maka surat Petrus, seperti halnya bagian-bagian Alkitab yang lain, menunjukkan sikap yang jelas dan tegas terhadap nasib orang yang tidak percaya. Orang yang mati dalam keadaan belum percaya akan menghadapi penghakiman dan kebinasaan kekal.[23]

Implikasi turunan dari poin pertama ialah bahwa penginjilan hanya dilakukan kepada manusia sementara mereka masih hidup. Tidak ada data Alkitab yang menunjukkan penginjilan kepada roh-roh halus atau kepada arwah-arwah, atau kepada malaikai-malaikat. Surat Petrus menyatakan sikap Allah yang tegas terhadap manusia-manusia berdosa dan malaikat-malaikat pemberontak. Allah melemparkan malaikat-malaikat pemberontak ke dalam neraka (2Ptr. 2:4).[24] Sikap Allah kepada orang-orang yang tidak mau bertobat atau nasib dari “roh-roh” atau arwah-arwah orang mati pun jelas dalam surat Petrus. Kesempatan bagi manusia untuk percaya hanya ada sementara mereka masih hidup (1Ptr. 2:6-8). Penghakiman oleh Allah terjadi “tanpa memandang muka” kepada “semua orang” (1:17). “Dan jika orang benar hampir-hampir tidak diselamatkan, apakah yang akan terjadi dengan orang fasik dan orang berdosa?” (4:18). Dengan pengajaran palsu, maka nabi-nabi dan guru-guru palsu “segera mendatangkan kebinasaan” atas dirinya (2Ptr. 2:1, 3). Tuhan menyimpan orang-orang jahat untuk disiksa pada hari penghakiman (2Ptr. 2:9); mereka sama dengan binatang yang hanya dilahirkan untuk ditangkap dan dimusnahkan (ay. 12); mereka akan mengalami “nasib yang buruk” (ay. 13); bagi mereka “telah tersedia tempat dalam kegelapan yang paling gelap” (ay. 17). Pemusnahan dan pembinasaan dengan api yang Allah lakukan terhadap Sodom dan Gomora yang tidak bertobat bahkan dipakai oleh Petrus untuk menyatakan peringatan dari Allah “kepada mereka yang hidup fasik di kemudian hari” (ay. 7).


Tuhan Yesus Memberitakan Injil Melalui Orang Percaya
Implikasi kedua dari jawaban alternatif: Allah dan Tuhan Yesus sendiri terus bekerja, baik dalam zaman Perjanjian Lama maupun dalam zaman Perjanjian Baru untuk membawa manusia kepada diri-Nya sendiri.[25] Inilah sebabnya orang bisa bertobat lewat penampakan Tuhan Yesus melalui mimpi atau melalui tanda khusus. Walaupun Allah dalam Tuhan Yesus berintervensi langsung dalam kasus-kasus tertentu, namun secara normatif Allah dan Tuhan Yesus bekerja menginjili dunia dan manusia di dalam dan melalui orang-orang yang sudah percaya; secara khusus melalui pemberitaan Injil secara verbal.

Pemberitaan Injil melalui kesaksian verbal sering dianggap sebagai tugas yang hanya penuh dengan risiko. Oleh karena itu, orang percaya kadang-kadang merasa cukup bersaksi melalui pola hidup yang baik saja. Bagi Petrus dan para penerima suratnya, pemberitaan Injil memang perlu didukung oleh pola hidup baik (bdk. 3:1, 15b), namun mereka juga perlu “siap sedia pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang” yang meminta pertanggungan jawab atau kesaksian iman mereka.

Surat Petrus ditulis oleh Petrus yang pernah mengalami penjara (Kis 4:1, 3; 5:18), ancaman, intimidasi (4:7, 17, 18; 5:18, 27-28), hingga nyaris mengalami eksekusi (12:4). Dan ia menujukan suratnya kepada jemaat-jemaat yang sedang mengalami ujian dan penderitaan karena iman. Yohanes, teman Petrus dalam kelompok dua belas murid Yesus yang pernah bersama-sama mengalami penjara, ancaman dan intimidasi, secara eksplisit menyatakan bahwa ia aktif bersaksi tentang Tuhan Yesus Kristus supaya “sukacita kami menjadi sempurna” (1Yoh. 1:4). Sukacita seperti ini telah dialami sebelumnya oleh Yohanes, bersama Petrus, di tengah intimidasi dan aniaya (Kis. 5:40, 41). Kesaksian dan pekabaran Injil secara verbal oleh orang percaya bukan hanya mengandung risiko menimbulkan perlawanan dari Musuh dan musuh-musuh Yesus, melainkan juga menjadi sarana atau kesempatan bagi orang percaya untuk mengalami sukacita surgawi. Petrus percaya bahwa kesulitan dan penganiayaan yang dialami oleh karena pemberitaan Injil bukanlah penghambat sukacita dan kebahagiaan hidup. Pemberitaan Injil, bagi mereka yang telah mengalami sukacita Injil, adalah dinamika hidup, sekalipun di tengah penderitaan dan penganiayaan.

Alkitab lebih cenderung menampilkan pekabaran Injil sebagai dampak atau luapan wajar dari keselamatan yang dialami oleh manusia, dan bukan terutama sebagai ‘tugas’, atau ‘kewajiban.’ Orang yang mengalami dinamika keselamatan lewat kehadiran Roh Allah di dalam hidupnya ‘menginginkan’ agar orang lain turut mengalami dinamika keselamatan surgawi. Seperti yang dialami oleh Petrus dan Yohanes, maka sukacita orang percaya sendiri semakin sempurna melalui pekabaran Injil. Oleh karena itu, kesempatan ber-pekabaran Injil lebih merupakan privilese yang menambah sukacita alih-alih perintah yang menjadi beban.[26] Privilese untuk mengalami kuasa Allah, privilese untuk semakin menampilkan keunggulan nilai-nilai surgawi yang abadi, serta privilese untuk mengukuhkan eksistensi sebagai wakil dan umat Allah di dunia berdosa.[27]
Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat
baik? Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan
berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan
janganlah gentar. Saudara-saudara … janganlah kamu heran akan nyala api
siksaan yang datang kepadamu sebagai ujian, seolah-olah ada sesuatu yang luar
biasa terjadi atas kamu. Sebaliknya, bersukacitalah … Berbahagialah kamu, jika
kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada
padamu (3:13, 14; 4:12-14).


Sentralitas Kematian-Kebangkitan Tuhan Yesus
Implikasi ketiga, sentralitas dan finalitas kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus sebagai kunci untuk memahami soal keselamatan manusia di dalam Alkitab. Tafisran-tafsiran umum mengalami kesulitan memahami 1Ptr. 3:19, 20 oleh karena tafsiran-tafsiran tsb. melepaskan 1Ptr. 3:19, 20 dari konteks kalimat yang dimulai dari ayat 18-sehingga kehilangan perspektif salib untuk memahami ayat 19, 20. Menurut ayat 18, Tuhan Yesus mati sekali untuk segala macam dosa dari segala jenis manusia dari segala zaman. Artinya, kematian-kebangkitan Tuhan Yesus Kristus di bukit Golgota tahun 30 Masehi berlaku efektif, tidak hanya bagi manusia sezaman Tuhan Yesus, melainkan juga bagi manusia-manusia lain, baik yang hidup di zaman pra-inkarnasi Yesus maupun di zaman pascakematian-kebangkitan-Nya. Tuhan Yesus mati-bangkit bagi segala jenis dosa dari semua manusia dari segala zaman. Perbedaannya hanya bahwa mereka yang hidup sebelum Yesus mati-bangkit harus percaya kepada keselamatan yang akan tersedia (melalui kematian-kebangkitan-Nya), sedangkan manusia yang hidup di zaman setelah Yesus mati-bangkit harus percaya kepada keselamatan yang telah tersedia itu (melalui kematian-kebangkitan-Nya).




< ![endif]-->
< ![endif]-->

Dalam Alkitab TB, pengabaian hubungan antara ayat 18 dengan ayat 19-20 semakin diperkuat oleh penyisipan kata “kita” dalam klausa “Kristus telah mati untuk segala dosa kita.” Dari ribuan naskah Yunani, kata “kita” dalam frasa “segala dosa kita” hanya didukung oleh 326c.[28] Sebagai Anak Domba yang “telah dipilih sebelum dunia dijadikan” (1:20), Yesus tidak hanya mati untuk dosa-dosa “kita” dalam arti dosa Petrus dan dosa para penerima suratnya di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia dan Bitinia (1:1). Dapat saja dengan penambahan kata “kita,” Alkitab TB maksudkan bahwa Yesus mati untuk dosa-dosa ‘segala manusia’ (dari segala zaman: baik Petrus dan para penerima suratnya serta orang-orang dari zaman Perjanjian Lama). Namun dengan tidak dipakainya kata “kita” dalam teks Yunani, maka kemungkinan besar Petrus tidak bermaksud memberi penekanan pada manusia-nya (yang berdosa), melainkan pada segala dosa (dosa manusianya). Memang Yesus mati bagi manusia, namun Ia mati bagi manusia dalam-dosa: manusia berlumuran dosa.[29]

Kemungkinan penekanan manusia-dalam-dosa oleh Petrus terlihat melalui dua hal. Pertama, Petrus tidak memakai kata “kita” sehingga lebih menonjolkan kata “dosa” sebagai alasan kematian Yesus. Kedua, penonjolan ini diperkuat dengan bentuk genitif jamak “dosa-dosa” (hamartiōn).[30] Dalam kedua suratnya, Petrus berbicara tentang “dosa-dosa” manusia, atau manusia-dalam-dosa, daripada tentang manusianya per se. Dengan mengubah bentuk kuantitatif “dosa-dosa” menjadi bentuk kualitatif segala dosa, maka Alkitab TB (dan NEB) mengubah penekanan Petrus kepada dosa dalam arti berdosa-dosa dalam lumuran dan kubangan dosa (yang kotor, menyiksa-memenjarakan, dan yang akan berakhir dengan penghakiman) kepada dosa dalam arti generik (status umum dosa).


Kekeliruan Eksegesis-Hermenetik Terhadap 1Ptr. 3:19
Teks 1Ptr. 3:19, bahkan 1Ptr. 3:18-4:6, sering dipandang sebagai teks yang mengandung beberapa pertanyaan eksegesis-theologis yang sulit.[31] Namun kesulitan ini tampaknya disebabkan, atau semakin diperberat, bukan oleh Petrus, melainkan oleh penafsiran dengan pendekatan eksegesis dan metode hermenetika yang keliru.

Alih-alih menggumuli maksud Petrus (maksud penulis kitab atau maksud penulis dari bagian teks yang ditafsirkan) dalam konteks surat dan konteks ajaran Petrus sendiri,[32] tafsiran umum terhadap 1Ptr. 3:19 terjebak dalam kesalahan ganda exegetical fallacies. Yaitu kesalahan word-study fallacy (salah paham terhadap makna kata) dan logical fallacy (kesalahan logika).[33] Khususnya campuran antara kesalahan anakronisme semantik (semantic anachronism),[34] kesalahan pembatasan makna kata,[35] pengacauan hubungan antara makna (sense) dengan reference,[36] serta kekacauan world-view (kesalahan karena perbedaan modus-pandang [antara penulis-pembaca semula dari surat Petrus dengan pembaca atau penafsir non-Petrus]).

Oleh karena dalam dunia pembaca-penafsir non-Petrus non-abad pertama kata atau istilah “roh” bermakna sesuatu atau sesosok tak berjasad, dan “penjara” berarti tempat kurungan atau penahanan fisik, maka otomatis kata “roh” dan “penjara” yang dipakai Petrus pun ‘harus’ semakna dengan konsep kata tsb. sebagaimana dipakai dan dipahami oleh pembaca-penafsir non-Petrus non-abad pertama Masehi. Untuk memahami berita di sebuah harian nasional bahwa “Burung Merak Akan Baca Puisi”, maka pembaca harian tsb. perlu mengerti bahwa “Burung Merak” dalam dunia puisi Indonesia tidak berhubungan (langsung secara literal) dengan burung merak (pavo muticus) dalam dunia fauna. Burung Merak yang membaca puisi di Jakarta pada hari Kamis tanggal 4 Maret 2004 ialah budayawan dan penyair W. S. Rendara[37] dan bukan seekor burung yang kepalanya kecil, leher dan kakinya panjang, sayapnya pendek, yang bulunya indah dihiasi dengan lingkaran-lingkaran hijau biru dan bila dibentangkan menyerupai bentuk kipas setengah lingkaran. Yang menentukan makna kata dalam sebuah wacana, bukanlah terutama kamus kontemporer penafsir, melainkan konteks wacana sebagaimana dimaksudkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam wacana bersangkutan. “Darah dan daging perkara” yang, menurut artikel Satjipto Rahardjo di harian Kompas, tidak diperhitungkan dalam putusan kasasi kasus Akbar Tanjung, tidak berhubungan dengan darah dan daging yang mengalir di dalam tubuh makhluk atau manusia, melainkan dengan esensi hukum, yaitu rasa keadilan, yang tidak hanya menjadi urusan legal-positivistik atau yuridis-formal saat putusan dijatuhkan oleh para penegak hukum.[38] “Darah dan daging”-nya Prof. Satjipto Rahardjo mempunyai makna yang sama dengan makna kata “roh” atau “ruh” seperti yang dipakai oleh Muhammad Mihradi yang berbicara tentang ‘roh’ atau “ruh” dari konstitusi (dalam harian yang sama)[39] atau oleh orang lain yang berbicara, katakanlah, tentang roh sepakbola atau roh pendidikan, atau roh apa saja yang lain.

Kekeliruan metodologis dalam tafsiran terhadap 1Ptr. 3:19 terlihat paling mencolok dalam rujukan kepada surat non-Petrus, pada umumnya kepada surat Yudas (ay. 6) dan surat-surat Paulus (2 Korintus 2:14; Efesus 6:11-12; Kolose 2:15).[40] Hermenetika atau eksegesis yang menggumuli maksud penulis harus pertama-tama menelusuri makna teks dalam konteks tulisan atau ajaran penulis sendiri (yang teks atau tulisannya sedang ditafsirkan), sebelum membandingkan hasil tafsiran tsb. dengan makna, maksud atau ajaran penulis lain.[41] Di sinilah letak kekeliruan prosedur eksegesis yang menimbulkan kesulitan yang tidak perlu dalam memahami makna pemberitaan Injil oleh Yesus kepada roh-roh di dalam penjara dalam 1Ptr. 3- penafsir mencari jawab dari Petrus, namun yang ditanyai malah Yudas atau Paulus!


Perbedaan Makna Kērussō dalam 1Ptr. 3:19 Dengan Euanggelizō dalam 4:6?
Kekeliruan pendekatan eksegesis-hermenetik terhadap istilah “roh” dan “penjara” dalam 1Ptr. 3:19 berdampak pada pembedaan makna kata kērussō (3:19) dengan kata euanggelizō (4:6).[42] Kērussō dalam 3:19 diartikan sebagai “proklamasi” yang berbeda maknanya dengan euanggelizō yaitu “pekabaran Injil” dalam 4:6. Dengan demikian maka yang diberitakan oleh Tuhan Yesus kepada roh-roh dalam penjara (3:19) bukanlah kabar Injil (yang bertujuan penawaran keselamatan), melainkan proklamasi kemenangan (yang tak berisi penawaran keselamatan).

Akan tetapi pembedaan makna kērussō (3:19) dengan euanggelizō (4:6) dapat dilakukan dengan mengabaikan beberapa hal yang penting dalam menentukan makna suatu kata atau maksud suatu wacana. Secara khusus dalam upaya memahami maksud Petrus, pembedaan makna kata kērussō dengan euanggelizō dalam 1Ptr. 3 dan 4 mengabaikan dua hal. Pertama, kesamaan substitusional (interchangeability) istilah kērussō dengan euanggelizō serta istilah lain sejenisnya dalam surat Petrus; bahkan mengabaikan seluruh Perjanjian Baru di mana kērussō bermakna “memberitakan Injil” (to preach the gospel), dan bukan menyatakan proklamasi (make a proclamation) sebagaimana pemakaian atau makna kērussō dalam literatur sekuler.[43]

Interchangeabilitas antara kērussō dan euanggelizō dengan kata-kata lain yang sejenis maknanya (yaitu pemberitaan Firman Allah, penyampaikan kehendak Allah atau pemberitaan pekabaran Injil) telah dimulai dari pasal satu surat 1 Petrus. Berita atau ‘karya’ nubuat (prophēteuō) dari para nabi (yang menggumuli dan bersaksi tentang “segala penderitaan yang akan menimpa Kristus dan tentang segala kemuliaan yang menyusul sesudah itu”) dalam 1:10 dirujuk dalam ay. 12 sebagai pemberitaan (ananggellō) atau penyampaikan berita Injil (euanggelizō). Tindakan bernubuat, pemberitaan atau penyampaian berita Injil oleh para nabi ini dirujuk dalam 2Ptr. 1:21 sebagai suatu ‘pembicaraan’–oleh dorongan Roh Kudus orang-orang “berbicara” atas nama Allah.

Dalam modus pandang (worldview) Petrus, Allah memang dapat berbicara secara langsung (hingga suara-Nya audibel oleh telinga jasmani manusia).[44] Namun Petrus juga percaya bahwa Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus bekerja di dalam dan melalui orang-orang percaya. Oleh karena itu maka ia percaya bahwa sebagaimana Allah berbicara melalui nabi-nabi Perjanjian Lama, Ia juga berbicara dan bekerja melalui para rasul dan orang-orang percaya di zaman Perjanjian Baru.[45] Dengan keyakinan inilah Petrus menulis dan memberi nasihat kepada para penerima suratnya di wilayah laut Hitam di sekitar tahun 60-an Masehi:

Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah. Jika ada orang yang berbicara, baiklah ia berbicara sebagai orang yang menyampaikan firman Allah [yaitu ucapan-ucapan yang berasal dari Allah]; jika ada orang yang melayani, baiklah ia melakukannya dengan kekuatan yang dianugerahkan Allah, supaya Allah dimuliakan dalam segala sesuatu karena Yesus Kristus (4:9-11).

Dalam suratnya yang kedua, Petrus merujuk kepada rasul Paulus sebagai orang yang melaluinya Allah juga “berbicara” (laleō), sebagaimana Allah telah berbicara kepada nabi-nabi Perjanjian Lama. Petrus sedemikian mempercayai kenyataan ini sehingga “semua surat” Paulus pun diyakininya mengandung bobot dan wibawa setara dengan tulisan atau nubuat-nubuat Alkitab Firman Allah saat itu, yaitu Perjanjian Lama (2Ptr. 3:15, 16).

Bahwa verba kērussō dalam 3:19 bermakna pemberitaan Injil yang menawarkan keselamatan, dan bukan sekedar proklamasi yang belum tentu atau tidak menawarkan keselamatan kekal, diperkuat oleh sapaan terhadap Nuh dalam bentuk nomina kēruks (pemberita) kebenaran dalam 2Ptr. 2:5. Nuh sang kēruks adalah “pemberita” (TB 1 & 2) atau preacher[46]–yang secara spesifik memberitakan kebenaran Injil keselamatan seperti nabi-nabi Perjanjian Lama lainnya, dan bukan proklamator atau deklarator dalam arti umum.[47]

Kedua, pengabaian kepaduan konteks 1Ptr. 3:18 s/d. 4:6. Pembedaan kērussō (3:6) dengan euanggelizō (4:6) juga bertentangan dengan konteks ayat 19-22 (EDNT 2:291), bahkan dengan seluruh konteks 3:18-4:6. Dalam ayat 18, Petrus berbicara tentang orang percaya, kemudian dalam ayat 19 dan 20 ia mengontraskan orang-orang percaya tsb. dengan “mereka” yang tidak taat. Mereka yang percaya (sehingga mengalami kemerdekaan dari ‘penjara’ dosa lewat iman kepada Yesus) dibawa (oleh Yesus) kepada Allah; sedangkan mereka yang tidak taat (sehingga tetap dalam penjara dosa), tidak diselamatkan pada saat vonis dijatuhkan melalui air bah.

Kontras ini penting dalam surat Petrus, baik 1 Petrus maupun 2 Petrus, oleh karena tujuan penulisan dua kitab ini sama: memperingatkan para pembacanya (2Ptr. 3:1) untuk waspada dan tidak terjebak dalam ejekan dan penderitaan yang dialami oleh orang-orang beriman di tengah lingkungan yang tidak beriman (bdk. 1Ptr. 1:1-2; 2Ptr. 1:1-2). Peringatan ini dilakukan berkali-kali dengan memberi kontras antara keistimewaan penyelamatan oleh iman dalam Yesus Kristus dengan kesia-siaan hidup dalam kubangan dosa yang akan berakhir dalam penghakiman eskatologis.[48] Siapa pun mereka yang memfitnah orang percaya karena hidupnya yang benar di dalam Tuhan, akan “memberi pertanggungan jawab kepada Dia, yang telah siap sedia untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.” Maut dan kematian pun tidak meluputkan orang-orang fasik dan para pemfitnah dari tanggung jawab untuk berdiri di hadapan Sang Hakim, yang menghakimi dengan yang adil (1:17; 2:23). Itulah sebabnya maka Injil telah diberitakan juga dahulu (pada zaman Nuh, 3:19, 20) kepada orang-orang yang sekarang berkeadaan mati (4:5, 6).[49]


SINGKATAN ALKITAB
BIS: Alkitab dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari
TB: Alkitab Terjemahan Baru
TB2: Alkitab Terjemahan Baru Revisi
NASU: New American Standard Bible Updated
NIV: Holy Bible: The New International Version
NJKV: Holy Bible: New King James Version
RSV: The Bible: Revised Standard Version
NRSV: The Bible: New Revised Standard Version
NEB: New English Bible


BIBLIOGRAFI
Barker, Kenneth (Ed). The NIV Study Bible. Grand Rapids: Zondervan, 1985.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1995.
Blum, Edwin A. 1 Peter. The Expositor’s Bible Commentary vol 12. Ed. Frank E. Gaebelein. Grand Rapids: Zondervan, 1981.
Carson, D. A. Exegetical Fallacies. Second Edition. Grand Rapids: Baker dan Carlisle, Cumbria: Paternoster, 1996.
Kaiser Jr., Walter C. et all. Hard Sayings of the Bible. Downers Grove: InterVarsity Press, 1996: 714-16.
Merk, O, “khrugma, khrux, khrussw.” Exegetical Dictionary of the New Testament. Vol 2. Balz, Horst and Gerhard Schneider, eds. Trans. Grand Rapids: Eerdmans, 1991.
Metzger, Bruce M. A Textual Commentary On the Greek New Testament. Second Edition. Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft, 1994.
Metzger, Bruce M. and Murphy (eds). The New Oxford Annotated Bible. New Revised Standard Version. New York: Oxford University Press, 1991, 1994.
Schweizer, E., pneuma dalam Kittlel, Gerhard dan Gerhard Friedrich (eds). Theological Dictionary of the New Testament VI: 398-455. Terj. Geoffrey W. Bromiley. Eerdmans: Grand Rapids, 1968.
Silva, Moises. Biblical Words and Their Meaning. Grand Rapids: Zondervan, 1983.
Smalley, S.S.,”Spirits in Prison,” dalam I.H. Marshall, et al, eds. New Bible Dictionary Third Edition. Leicester, England dan Downers Grove, Illinois: Inter-Varsity Press, 1996: 1129-30.
Sutanto, Hasan. Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Pejanjian Baru (PBIK) Jilid I. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2003.
Zerwick, Max dan Mary Grosvenor. A Grammatical Analysis of the Greek New Testament. Roma: Pontificio Istituto Biblico, 1996.


________________________________________
*Bahan dasar artikel ini disampaikan di Warung Theologi GKI Cibunut (Jl. Van Deventer, Bandung) pada tanggal 7-3-2003; sebagian bahan ini diterbitkan dalam Lembar Bahasan Isu (No. 5 dan 7) Komisi Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Insani GPIB Imanuel Cimahi.



Catatan kaki

[1] 1Ptr. 3:19 Alkitab Terjemahan Baru (TB).
[2] Selain pernyataan proklamasi seperti dipahami dalam NASU, NRSV dan NEB, kecenderungan ini terlihat juga dalam terjemahan NIV (New International Version), RSV (Revised Standard Version) dan NJKV (New King James Version) yang menerjemahkan ekēruksen (hanya) sebagai preached (dan bukan misalnya secara spesifik preached the gospel: mengkhotbahkan/memberitakan Injil-seperti dalam Alkitab Terjemahan Baru-bagi pembaca non-Petrus non abad pertama Masehi).
[3] Selanjutnya surat Petrus dalam tulisan ini dirujuk sebagai “Petrus” saja.
[4] Empat subpertanyaan masih bisa dilanjutkan dengan pertanyaan tentang makna frasa “menurut Roh” (ayat 18). Apakah artinya Tuhan Yesus dibangkitkan “menurut Roh”? Apakah “menurut Roh” sebagaimana dipahami Alkitab TB, atau “secara rohani” (BIS), atau oleh Roh (by the Spirit: NIV, NKJV), atau di dalam roh (in the spirit: RSV, NASU)–dalam arti: secara rohani (bdk. BIS), dalam kontras terhadap kematian-Nya in the flesh “di dalam atau secara jasmani”? Tulisan ini tidak mungkin mengklaim pembahasan lengkap, apalagi exhaustive, terhadap semua persoalan eksegesis dalam 1Ptr. 3:19, 20. Yang diupayakan oleh tulisan ini ialah sebuah model pembahasan/eksegesis yang secara konsisten menggumuli maksud teks sesuai maksud penulis berdasarkan konteks dekat dari teks yang ditafsirkan dalam konteks kitab bersangkutan. Model ini diharapkan dapat mengurangi keraguan yang tidak perlu terhadap ajaran Alkitab, dan sebaliknya, meningkatkan keyakinan bahwa masing-masing kitab dalam Alkitab memadai untuk menolong pembaca/penafsir memahami maksud Allah sebagaimana telah disampaikan-Nya melalui penulis dari teks/kitab yang sedang dibaca/ditafsirkan.
[5] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II, terj., (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 1995), 317.
[6] S. S. Smalley, “Spirits in Prison,” dalam I. H. Marshall, et al., eds, New Bible Dictionary, 3rd Ed. (Leicester, England dan Downers Grove, Illinois: Inter-Varsity Press, 1996), 1129-30.
[7] Kaiser Jr. et all, Hard Sayings of the Bible (Downers Grove: InterVarsity Press, 1996), 714-16.
[8] Kenneth Barker (General Editor), The NIV Study Bible: New International Version (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1985).
[9] New Bible Dictionary atau Ensiklopedia Alkitab Masa Kini menyebut dua tokoh modern di sini, yaitu Bo Reicke dan W.J. Dalton. Pendapat kedua tokoh ini bisa dikatakan mewakili kecenderungan pandangan modern secara umum; sebagaimana terlihat dalam beberapa Alkitab bahasa Inggris yang disebutkan di atas (NASU; NRSV; NEB; NIV; RSV; NJKV).
[10] Bdk. Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru Jilid I (Jakarta: LAI, 2003), yang tidak mencatumkan kata “roh-roh” dalam 1Ptr. 3:20.
[11] Bdk. NRSV yang menerjemahkan apeithēsasin dalam ay. 20 sebagai spirits in prison (”roh-roh di dalam penjara”)-dan bukan: roh-roh mereka atau roh-roh orang yang di dalam penjara.
[12] Beberapa contoh bahasa metafora Petrus adalah sebagai berikut. Ketaatan atau iman dilukiskan sebagai “percikan darah” (1:1). Kesejatian dan keabadian pengharapan orang percaya dilukiskan sebagai sesuatu yang tidak dapat binasa, tidak dapat cemar, tidak dapat layu (1:4). Semua yang hidup adalah seperti rumput dan kemuliaanya seperti bunga rumput (1:24, mengutip Yesaya 40:6-8). Jadilah seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan rohani ((2:2). Datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu (2:4). Biarlah kamu dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani (2:5). Supaya para penerima surat Petrus menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang (berperang) melawan jiwa (2:11). Karena Kristus telah menderita, kamu pun harus mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian (4:1). Yesus telah memikul dosa di dalam tubuh-Nya di kayu salib (2:24). Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh (2:24). Kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang telah kembali kepada gembala (2:25) Mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar, telinga-Nya kepada permohonan mereka, tetapi wajah Tuhan menentang orang-orang jahat (3:12). Aku akan segera menanggalkan kemah (tubuhku) ini (2Ptr. 1:13, 14).
[13] Jawaban atau tafsiran umum terhadap 1Ptr. 3:19, 20 cenderung memberi kesan bahwa Petrus tidak mempunyai sikap/ajaran yang tegas bahwa penginjilan hanya dapat dilakukan kepada orang hidup atau sebaliknya, orang yang sudah mati, atau arwah-arwah orang mati, tidak dapat dikabari berita Injil.
[14] Terjemahan ay. 20 Alkitab TB bisa “dikoreksi” dengan cara menghilangkan salah satu dari dua kata dalam frasa “roh-roh mereka”. Kurang lebih sama dengan NRSV, Alkitab TB boleh menghilangkan kata “mereka” sehingga ay. 20 bermakna: Yesus pergi memberitakan Injil kepada “roh-roh” saja; atau menghilangkan “roh-roh” sehingga-hampir sama dengan Hasan Sutanto dalam PBIK: Yesus pergi memberitakan Injil kepada “mereka” … dimana hanya delapan “orang” diselamatkan.
[15] Selain dari surat 1, 2Ptr. , ajaran Petrus juga dapat dipelajari dari perkataan dan atau ‘khotbah-khotbah’ Petrus dalam Kisah Para Rasul (pasal 2, khotbah Petrus pada hari Pentakosta; pasal 3, sikap dan pernyataan-pernyataan Petrus di sekitar penyembuhan orang lumpuh di pintu gerbang Bait Allah; pasal 5, sikap Petrus terhadap kasus Ananias dan Safira; pasal 10, 11, khotbah dan pengajaran Petrus dalam kasus pertobatan dan pembaptisan keluarga Kornelius).
[16] E. Schweizer, “pneuma“ dalam Kittel, Gerhard dan Gerhard Friedrich (eds), Theological Dictionary of the New Testament, trans Geoffrey W. Bromiley (Eerdmans: Grand Rapids, 1968), VI:435.
[17] Bandingkan pertanyaan seperti: Menurut sensus tahun sekian, ada sekian jiwa (orang) di RT anu di kelurahan atau desa anu. Atau: Kita merencanakan untuk membuka pelayanan di lokasi ini atau itu oleh karena di sana ada sekian jiwa (anggota jemaat atau bakal anggota jemaat) yang perlu dilayani.
[18] 1Ptr. 1:9, 22; 2:11, 25; 3:20; 4:19; 2Ptr. 2:8, 14.
[19] Bdk. Dalam surat Petrus, malaikat disebut “malaikat” (anggelos: 1:12, 3:22; 2Ptr. 2:4, 11), bukan “roh” (pneuma).
[20] Bdk. kekayaan metafora Petrus pada catatan kaki no. 12.
[21] 2Ptr. 2:20 NRSV.
[22] Post-eksistensi Yesus yang dimaksudkan di sini ialah keberadaan dan karya Yesus pascakebangkitan-kenaikan-Nya ke sorga dan pascapencurahan Roh (Kisah Rasul 2). Alkitab mengemukakan bahwa Tuhan Yesus, yang mati-bangkit-dimuliakan, meneruskan pekerjaan penyelamatan di dunia, dan turut (lewat pelayanan orang percaya): memberitakan Injil, mengajar dan menyelamatkan manusia (Markus 16:20; Matius 28:20; Kisah Para Rasul 1:1 [GNT atau English Bible]).
[23] Teks yang sering dikutip dalam kaitan dengan penghakiman yang menyusuli kematian seseorang ialah Ibrani 9:27. Dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), Ibrani 9:27 berbunyi: Allah sudah menetapkan bahwa manusia mati satu kali saja dan sesudah itu dihakimi.
[24] 1Ptr. 1:9-12 mempunyai implikasi bahwa malaikat-malaikat tidak mengalami dan tidak dapat mengalami keselamatan sebagaimana yang dialami dan dapat dialami oleh manusia.
[25] Bdk. Melalui kematian-Nya, Tuhan Yesus membawa manusia kepada Allah (1Ptr. 3:18). Melalui Yesus, manusia percaya kepada Allah (1:21). Dalam Kristus, Allah memanggil manusia (5:10). Petrus dan para penerima suratnya memperoleh iman “oleh karena keadilan Allah dan Juruselamat kita, Yesus Kristus” (2Ptr. 1:1).
[26] Yang disebut Amanat Agung (Matius 28:19-20; Markus 16:15-16; Lukas 24:47-48; Yoh. 20:21-23) diberikan oleh Tuhan Yesus dengan latar belakang kuasa-Nya sendiri, baik di sorga mapun di bumi. Pekabaran Injil dilakukan dalam kuasa penyertaan-Nya sendiri. Dalam Kisah Rasul 1:8, orang menerima kuasa Roh Kudus dan (bukan ‘supaya’) menjadi saksi Yesus.
[27] Bdk. 1Ptr. 2:21, “Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita dan telah meniggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya”.
[28] Bruce M. Metzger, A Textual Commentary On The Greek New Testament. Second Edition. (Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft, 1994). Bdk. Kristus mati for sins (NIV, RSV, NKJV).
[29] Bdk. Keterlibatan kembali dalam kecemaran dunia (2Ptr. 1:20) dilukiskan sebagai anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya (ay. 22).
[30] Bdk. mis. NIV, NJKV, RSV: Yesus mati for sins.
[31] Edwin A. Blum, 1 Peter dalam The Expositor’s Bible Commentary vol 12:241; Metzger dan Murphy [eds.] dalam New Oxford Annotated Bible. Selain soal penginjilan oleh Tuhan Yesus kepada roh-roh dalam penjara, dua dari kesulitan umum dalam 1Ptr. 3:18-4:6 berhubungan dengan soal baptisan dan masalah “berhenti berbuat dosa.” Jika baptisan dalam 3:21 berarti baptisan air, apakah itu berarti baptisan air berfungsi memberi keselamatan kepada orang yang menerima baptisan air? Apakah orang yang percaya kepada Tuhan Yesus tidak diselamatkan jika tidak menerima baptisan air?
Apakah maksudnya “barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa”? (4:1). Apakah penderitaan badani (karena kebenaran atau demi nama Yesus) menghentikan perbuatan dosa? Kalau “ya,” bagaimana caranya? Mengapa (bisa) demikian? dst.
[32] Secara metodologis, tafsiran terhadap 1Ptr. 3:19 pertama-tama harus menggumuli konteks teks 1Ptr. 3:19 (minimal 3:18- 4:6), kemudian konteks kitab (keseluruhan 1Ptr. ) dan konteks kelompok kitab sepenulis/an (dalam hal ini, 1Ptr. dan 2Ptr. ). Kalaupun ada teks lain yang ikut diobservasi-analisis untuk menentukan makna yang Petrus maksudkan, maka terlebih dahulu harus diperiksa ajaran Petrus sendiri di teks lain (khususnya Kisah Para Rasul, bdk. catatan kaki nomor 15) sebelum akhirnya membandingkan ajaran Petrus dengan ajaran penulis/kitab lain atau kitab-kitab lain di (seluruh) Alkitab.
[33] Bdk. D. A. Carson, Exegetical Fallacies: Second Edition (Grand Rapids, Michigan: Baker; Carlisle, Cumbria UK: Paternoster, 1996), 27-64; 87-124.
[34] Kekeliruan di mana makna kontemporer dari sebuah kata dianggap sama dengan makna kata tsb. dalam zaman sebelumnya. Carson, Exegetical Fallacies, h. 33, memberi contoh kata episkopos. Karena telah berkembang kebiasaan untuk merujuk pemimpin gereja yang membawahi beberapa gereja dengan istilah atau gelar episkopos atau bishop, maka bapa-bapa gereja dari zaman awal gereja Yunani berpendapat bahwa kata episkopos di dalam Perjanjian Baru pun sama maknanya dengan istilah episkopos yang mereka pakai.
[35] Terlalu cepat membatasi makna kata; atau, dengan tidak mempertimbangkan berbagai makna sebuah kata dalam pelbagai konteks, maka tersingkirkan (tidak terpertimbangkan) sebuah kemungkinan makna yang semestinya ikut dipertimbangkan dalam menentukan makna. Bisa juga terjadi kesalahan sebaliknya di mana penafsir memasukkan semua kemungkinan makna dari sebuah kata ke dalam suatu konteks atau wacana (illegitimate totality transfer), padahal konteks atau wacana tsb. cukup mempunyai satu makna saja (dari sebuah kata atau istilah).
[36] Ilmu semantik membedakan simbol (bentuk fonetik atau bentuk tertulis dari sebuah kata), sense (isi yang timbul dalam benak seseorang ketika mendengar atau bertemu dengan sebuah kata), serta referent, yaitu benda atau sesuatu-extralinguistic thing-yang didenotasikan oleh kata tsb. Oleh karena itu, maka makna dari banyak kata dalam bahasa mesti ditentukan oleh relasi dari kata-kata tsb. secara individu terhadap kata-kata lain (Moises Silva, Biblical Words and Their Meaning, [Grand Rapids: Zondervan, 1983], 112). Dari sisi simbol, misalnya, kata “panas” bisa sekelompok dengan “nanas” (karena mempunyai bunyi yang mirip). Dari sisi makna, “panas” bisa sekelompok dengan “dingin” (karena keeratan hubungan semantik). Dari segi referent, “panas” sekelompok dengan “pantai,” “api,” atau “radiator” (entitas ekstralingustis yang menimbulkan asosiasi sejenis).
Singkatnya, makna semantik sebuah kata tidak (selalu) sama dengan makna kata secara individu. Secara semantik, tidak ada basic meaning” atau “inherent meaning” dalam kata. Makna ditentukan oleh konteks kata dalam hubungannya dengan frasa, paragraf, kalimat, wacana, genre, style; tidak hanya secara sintagmatic (relasi antarkata) melainkan juga paradigmatik (pilihan dan penempatan kata).
[37] Harian nasional Suara Pembaruan Minggu, 29 Februari 2004, hlm.16.
[38] Satjipto Rahardjo, “Kasus Akbar Tanjung Belum Selesai,” Kompas 27 Februari 2004, hlm. 4.
[39] R Muhammad Mihradi, “Masih Perlukah Konstitusi?,” Kompas 27 Februari 2004, hlm. 5).
[40] Bdk. Kaiser, Hard Sayings, 715.
[41] Alkitab Firman Allah itu utuh dan merupakan satu kesatuan; namun masing-masing kitab atau kelompok kitab lahir dalam konteks pergumulan dan keperluan-keperluan khusus yang hanya bisa dipahami, atau minimal didekati, dengan tepat, berdasarkan pemahaman yang lebih seksama terhadap konteks dan pergumulan khusus dari masing-masing penulis atau masing-masing kitab. Di sini penafsir perlu mengusahakan menjaga jarak, agar tidak terjadi kekacauan sudut pandang serta pergumulan dan kepentingannya sendiri dengan sudut pandang dan pergumulan penulis atau penerima semula dari teks atau kitab yang sedang ditafsirkan.
[42] Alkitab Terjemahan Baru tidak mengadakan pembedaan ini; baik kērussō (3:19) maupun euanggelizō (4:6) dipahami oleh Alkiab TB sebagai pemberitaan Injil. Pembedaan ini terutama dilakukan oleh Alkitab-Alkitab bahasa Inggris (bdk. catatan kaki 2 dan atau halaman 1)
[43] Max Zerwick & Mary Grosvenor, A Grammatical Analysis of the Greek New Testament (Roma: Pontificio Istituto Biblico, 1996), 711.
[44] 2Ptr. 1:17, 18 merujuk kepada pengalaman Petrus dan teman-temannya ketika menyaksikan pemuliaan Tuhan Yesus oleh Allah Bapa “di atas gunung yang kudus” di mana mereka mendengar “suara dari Yang Mahamulia” di sorga, yang mengatakan: Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.”
[45] Bdk. Paulus pada saat pertobatannya dalam perjalanan ke Damsyik. Atas pertanyaan Paulus tentang siapakah Tuhan yang sedang berbicara kepadanya, Tuhan menjawab, “Akulah Yesus yang kauaniaya itu” (Kis 9:5). Tidak ada catatan (di Alkitab) bahwa Saulus pernah menganiaya Tuhan Yesus secara fisik. Namun dengan menganiaya dan mengancam orang-orang percaya-yang melaluinya dan di dalamnya Tuhan Yesus hadir dan bekerja di tengah dunia -maka Saulus sedang menganiaya Tuhan Yesus.
[46] Alkitab-Alkitab bahasa Inggris yang menerjemahkan kērussō dalam 3:6 sebagai proklamasi toh menerjemahkan kēruks dalam 4:6 sebagai preacher (pemberita atau pengkhotbah), dan bukan proclamator, atau declarer, atau announcer.
[47] Bdk. O. Merk (Exegetical Dictionary of the New Testament Vol. 2), h. 288, 291.
[48] Kontras antara orang percaya dengan orang yang tidak percaya dalam surat Petrus. Orang percaya tidak dipermalukan, orang yang tidak percaya tersandung dan jatuh (1Ptr. 2:6-8). Orang percaya adalah umat Allah, mereka yang tidak percaya adalah non-umat (2:9-10). Orang percaya adalah hamba Allah yang dapat memakai kemerdekaannya dengan baik, orang tak percaya menyalahgunakan kemerdekaannya untuk menyelubungi kejahatan (2:13-17). Istri-istri yang percaya versus suami-suami yang tidak taat kepada Firman (3:1). Mata Tuhan tertuju kepada orang benar, wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat (3:12). Orang percaya perlu siap memberi jawab iman kepada orang-orang tak percaya yang meminta pertanggungan jawab iman (3:15). Jika penghakiman Allah dimulai dari rumah-Nya sendiri, yaitu orang percaya, “bagaimanakah kesudahannya dengan mereka yang tidak percaya pada Injil Allah? Dan jika orang benar hampir-hampir tidak diselamatkan, apakah yang akan terjadi dengan orang fasik dan orang berdosa?” (4:17, 18).
[49] 4:6 NIV: For this is the reason the gospel was preached even to those who are now dead. Sekalipun tidak ada kata now (”sekarang”) dalam bahasa Yunani di ayat ini, namun NIV (menurut NIV Study Bible) menambahkan kata “sekarang” untuk memperjelas bahwa this preaching was a past event (penginjilan ini dilakukan bukan kepada orang yang telah meninggal dunia, melainkan kepada orang hidup-selagi mereka masih hidup).




Sumber: http://www.tiranus.net/?cat=6



Bapak Marthinus Yaroseray, Th.M., Ph.D. Cand. (meninggal: 15 April 2008) adalah dosen tetap di Institut Alkitab Tiranus (IAT) Bandung sejak tahun 1990. Beliau menamatkan studi Sarjana Theologi (S.Th.) dan Master of Divinity (M.Div.) dari Institut Alkitab Tiranus; Master of Theology (Th.M.) dari Singapore Bible College.