25 October 2009

Renungan Reformasi 2009: REFORMASI: Dulu dan Sekarang (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Reformasi 2009




REFORMASI: Dulu dan Sekarang
(Signifikansi Gerakan Reformasi dan Reformed di Era Postmodern)


oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: 2 Korintus 2:17; 2 Timotius 4:2-4



“Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan di hadapan-Nya.”
(2Kor. 2:17)




I. PENDAHULUAN
Surat Paulus kepada jemaat di Korintus yang kedua ini ditulis kira-kira pada tahun 55 Masehi. Ia menulis surat ini dari Makedonia untuk mengungkapkan rasa syukurnya atas pertobatan dan ketaatan yang diperbarui dari jemaat Korintus (7:5-16). NIV Spirit of the Reformation Study Bible memberikan catatan bahwa surat 2 Korintus ini adalah surat yang dipenuhi oleh ekspresi emosi yang mendalam dari Paulus. Misalnya, penghiburan dan kekuatan Tuhan di tengah penderitaan dan masalah (1:1-7:16; lihat khususnya 1:3-7; 7:4, 7, 13) dan kekuatan Tuhan yang dinyatakan di dalam kelemahan manusia (10:1-13:14; lihat khususnya 12:9-10).[1]

Seperti kebanyakan suratnya, Paulus memulai surat 2 Korintus ini dengan mengucap syukur (1:3-11). Kemudian, dilanjutkan perubahan rencana perjalanan Paulus di ayat 12-2:4. Perubahan rencana Paulus ini, yang unik, diawali dengan ayat 12, “Inilah yang kami megahkan, yaitu bahwa suara hati kami memberi kesaksian kepada kami, bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah bukan oleh hikmat duniawi, tetapi oleh kekuatan kasih karunia Allah.” Di awal suratnya, ia menegaskan bahwa motivasi pelayanannya, khususnya untuk jemaat di Korintus dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah yang didapat dari kekuatan kasih karunia Allah. King James Version menerjemahkan “ketulusan dan kemurnian” sebagai simplicity and godly sincerity (kesederhanaan dan ketulusan ilahi). New International Version (NIV) menerjemahkannya, the holiness and sincerity that are from God (kekudusan dan ketulusan yang dari Allah). Kata Yunani yang dipakai untuk kemurnian (NIV dan New American Standard Bible memakai kata kekudusan) adalah hagiotes (kekudusan/kesucian). Teks Yunani yang lain ada yang menggunakan kata haplotes yang bisa berarti ketulusan/kemurnian (sincerity, simplicity, etc). Ayat 12 ini menjelaskan kepada kita tentang motivasi murni pelayanan Paulus, yaitu dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah (bdk. Rm. 11:36). Ayat 12 ini menuntun kita untuk menyelidki lebih tajam motivasi pelayanan Paulus yaitu di pasal 2 ayat 17, “Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan di hadapan-Nya.” Kemurnian motivasi pelayanan Paulus ditandai dengan keengganannya untuk memperdagangkan firman Allah. “Mencari keuntungan” di ayat ini di dalam KJV diterjemahkan corrupt (merusak). NASB dan NIV menerjemahkannya peddling (menjajakan). Kata Yunani yang dipakai adalah kapēleuō bisa berarti to be a retailer (menjadi pedagang) atau peddle (menjajakan/menjual barang dari suatu tempat ke tempat lain). Berarti, mencari keuntungan dari firman Allah identik dengan menjajakan firman Allah. Dengan kata lain, kebalikannya, seorang hamba Tuhan palsu adalah mereka yang memberitakan firman Allah dengan motivasi palsu, yaitu demi keuntungan diri sendiri. Sebaliknya, hamba Tuhan asli, seperti Paulus adalah seorang pemberita firman yang murni sesuai dengan maksud Allah dan di hadapan-Nya. Berarti, pemberita firman sejati adalah mereka yang sungguh-sungguh memberitakan firman Allah sesuai dengan maksud asali dari Allah dan mereka melakukannya dengan sungguh-sungguh di hadapan-Nya.

Dari renungan singkat ini, kita belajar bahwa ujian apakah seorang hamba Tuhan itu sejati atau palsu adalah ujian motivasi. Apakah si hamba Tuhan ini benar-benar melayani Tuhan atau pura-pura melayani Tuhan demi mencari keuntungan pribadi?






II. GERAKAN REFORMASI DAN PEMBERITAAN KEBENARAN FIRMAN TUHAN
Pemberitaan kebenaran firman Tuhan sangat penting bagi Paulus. Paulus dengan berani mengutuk siapa pun yang memberitakan “injil” lain di luar Injil yang ia beritakan (Gal. 1:6-9). Ia juga memperingatkan Timotius, anak rohaninya untuk tetap memberitakan firman dalam segala situasi dan kondisi, mengingat bahaya penipuan di akhir zaman melalui para guru palsu yang akan menipu jemaat (2Tim. 4:2-4). Semangat Paulus inilah yang diteruskan oleh para bapa gereja, khususnya Augustinus. Namun, sayang, semangat mulia ini pelan-pelan dikikis zaman. Pemberitaan firman Tuhan mulai digeser dan diganti oleh tradisi gereja. Bukan hanya diganti oleh tradisi gereja, Kekristenan sudah mulai menjadi sekuler. Hal ini ditandai pada Abad Pertengahan, ketika dibuatnya Surat Pengampunan Dosa (Indulgensia) demi menyokong dana pembangunan untuk Gereja Basilea St. Petrus. Surat ini diperuntukkan bagi jemaat gereja pada waktu itu. Surat ini berfungsi sebagai tiket masuk Surga bagi mereka yang membelinya baik untuk dirinya maupun anggota keluarganya. Gereja semakin menjauh dari Kebenaran firman Tuhan. Di tengah penyelewengan itu, seorang rahib ordo Augustinian, Dr. Martin Luther (1483-1546) dipanggil Tuhan untuk mengadakan reformasi gereja. Pada tanggal 31 Oktober 1517, Dr. Luther menempelkan 95 dalilnya melawan Gereja Katolik Roma. Empat semboyannya yang terkenal sampai sekarang adalah: Sola Scriptura (hanya Alkitab), Sola Gratia (hanya melalui anugerah), Sola Fide (hanya melalui iman), dan Soli Deo Gloria (kemuliaan hanya bagi Allah). Gerakan Reformasi ini mendapat tantangan yang sangat keras dari pihak Kepausan, bahkan Dr. Luther dikejar-kejar mau dibunuh mati oleh Paus. Suatu tragedi yang menyedihkan yang dilakukan oleh pemimpin gereja yang mengklaim sebagai penerus Petrus. Bukan hanya dari Kepausan, Reformasi juga mendapat hambatan dari Reformasi Radikal (Radical Reformation) yang mau mereformasi gereja dengan lebih ekstrim. Gerakan ini kemudian menghasilkan gerakan Anabaptis yang menolak baptisan anak.

Selain 4 semboyan di atas, Dr. Luther juga memiliki inti theologi, yaitu theologi salib. Artinya, pusat pemberitaan firman yang ditekankan Luther adalah salib dan signifikansi pentingnya. Pertama, tidak ada kemuliaan tanpa salib. Berarti salib mendahului kemuliaan akan datang. Atau dengan kata lain, salib menjamin kemuliaan akan datang. Penderitaan sebesar apa pun tidak menjadi masalah bagi umat-Nya, karena umat-Nya beriman akan pemeliharaan Allah dan kemuliaan kelak bagi mereka yang tetap setia mengasihi-Nya.

Kedua, paradoks salib. Salib di mata manusia adalah suatu kehinaan, kebodohan, dan kelemahan, namun di mata Allah dan umat-Nya, salib adalah lambang kemuliaan, kebijaksanaan, dan kekuatan Allah. Prof. Mark Shaw, Th.D. di dalam bukunya Sepuluh Pemikiran Besar dari Sejarah Gereja memaparkan, “Salib meninggikan Sang Raja ilahi yang telah bertindak bodoh agar dapat mengakhiri kebodohan dosa dan kematian.”[2] Ya, dunia menganggap Allah itu bodoh sekali dengan mengutus Anak-Nya untuk disalib, namun “kebodohan” Allah sebenarnya merupakan kebodohan manusia yang TIDAK mengerti rencana agung Allah untuk mengakhiri kebodohan dosa dan kematian itu. Jika Allah tidak menebus manusia melalui salib, dengan cara bagaimana lagi dosa manusia diselesaikan? Ini yang tidak pernah dipikirkan manusia. Oleh karena itu, hanya umat pilihan-Nya sajalah yang bisa mengerti signifikansi penting dan keagungan salib.

Ketiga, mengenal Allah melalui salib. Salib bukan hanya sebuah paradoks dalam Kekristenan, namun juga sebagai sarana mengenal Allah. Tanpa salib, tak mungkin manusia mengenal Allah. Mengapa? Karena Kristus yang tersalib itu membukakan jalan bagi umat-Nya untuk mengenal Allah yang rela mati menebus dosa manusia. Kristus yang tersalib itu pula yang menyadarkan manusia akan kerusakan total manusia yang pasti mati jika tidak diselamatkan. Kembali, Dr. Mark Shaw memaparkan di dalam bukunya, “Mengenal Allah melalui kelemahan dan kebodohan salib akan menjadikan kita rendah hati, karena kelemahan, kebodohan, dan kehinaan kitalah yang sesungguhnya ditanggung oleh Allah ketika Ia naik ke atas kayu salib… Mengenal Allah melalui salib-Nya berarti mengenal dosa kita beserta kasih penebusan-Nya.”[3] Biarlah ketika kita terus memandang salib, kita melihat betapa jorok, kotor, dan rusaknya kita di hadapan-Nya sambil menatap cahaya kemuliaan anugerah Allah itu agar kita diselamatkan-Nya sesuai panggilan-Nya.

Dari sejarah singkat ini, kita belajar beberapa hal, yaitu
A. Tuhan Membangkitkan Hamba-Nya untuk Memberitakan Firman Tuhan
Ketika Kekristenan tertidur karena arus zaman yang begitu mengenakkan dan menguntungkan, Tuhan TIDAK tinggal diam meninggalkan umat-Nya. Dr. Martin Luther dibangkitkan untuk membangkitkan dan menyadarkan zamannya. Semua ini dilakukan-Nya karena Ia mengasihi umat-Nya dan menginginkan umat-Nya terus hidup di dalam Dia dan firman-Nya. Bagaimana dengan kita? Tuhan sudah membangkitkan Luther di Abad Pertengahan yang sudah tertidur rohani dan menjadi sekuler, maka Tuhan yang sama akan terus membangkitkan kita dan hamba-hamba-Nya yang setia untuk memberitakan kebenaran firman Tuhan tanpa kompromi di tengah arus zaman sekarang yang juga sama-sama tertidur dan menjadi atheis praktis. Bersediakah kita dipanggil-Nya menjadi hamba-Nya yang melayani-Nya di zaman kita? Kiranya Ia yang telah memanggil kita kepada Kristus dan untuk melayani-Nya, Ia jugalah yang akan memelihara panggilan kita dan memimpin kita terus-menerus untuk berada di jalan-Nya.




B. Tantangan/Kesulitan Dalam Memberitakan Firman Tuhan
Hal kedua yang bisa kita pelajari adalah panggilan Tuhan kepada hamba-Nya untuk memberitakan firman Tuhan pasti mendapat banyak tantangan/kesulitan. Panggilan Tuhan TIDAK mungkin tanpa kesulitan. Mengapa? Karena: Pertama, Ia memanggil hamba-Nya melayani-Nya di tengah dunia yang rusak. Status hamba-Nya adalah status kudus (karena telah ditebus Kristus dan disucikan Roh Kudus), meskipun secara kondisi perlu terus-menerus dikuduskan oleh Roh Kudus; sedangkan status dunia berdosa adalah berdosa dan rusak total. Perbedaan tajam secara status ini mengakibatkan hamba Tuhan pasti menemui banyak kesulitan, misalnya godaan, dll. Kedua, Ia memanggil hamba-Nya untuk menjadi garam dan terang bagi dunia. Menjadi garam dan terang dunia berarti kita memancarkan sinar kasih dan kemuliaan Kristus di tengah dunia. Dengan kata lain, kita dituntut BERBEDA dari konsep dunia. Atau lebih tajam, kita dituntut untuk berperang melawan dunia dengan segala konsepnya yang diracuni iblis. Ketika kita dituntut untuk berperang, maka kita pasti harus melawan dunia. Dan ketika kita melawan dunia, maka dunia pasti memusuhi kita dan kita pasti dicap, “eksklusif”, “sombong”, “sok alim”, dll.

Meskipun hamba-Nya harus mengalami banyak tantangan, Tuhan tetap memelihara hamba-Nya. Ia pasti memberikan mahkota kemuliaan bagi hamba-Nya yang setia mengikut-Nya meskipun harus menanggung banyak kesulitan. Ia yang memanggil hamba-Nya, Ia jugalah yang akan memelihara hamba-Nya sampai akhir. Inilah kekuatan dan penghiburan Allah bagi hamba-Nya. Bagaimana dengan kita? Sudah siapkah kita dipanggil untuk menjadi hamba-Nya mengikut dan melayani-Nya dengan sepenuh hati walaupun harus menanggung banyak kesulitan? Biarlah Tuhan menguatkan komitmen hati kita dalam melayani-Nya.






III. GERAKAN REFORMED: PENEGAKAN DAN PEMBERITAAN KEBENARAN FIRMAN TUHAN
Gerakan Reformasi Luther mempengaruhi Philip Melanchton, Ulrich Zwingli, dan tentunya Dr. John Calvin. Di antara para reformator gereja, Dr. John Calvin yang paling berpengaruh dan dianggap penerus Reformasi Luther. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengajar bahwa Luther dipakai Tuhan untuk merobohkan ajaran yang salah dan Calvin dipakai Tuhan untuk membangun ajaran yang benar. Mari kita mengenal sosok Calvin, ajaran-ajarannya, dan signifikansinya bagi kita.

Dr. John Calvin (nama Latinnya: Jean Cauvin
[4]) lahir di Noyon, Prancis pada tanggal 10 Juli 1509 dari seorang ayah, Gérard Cauvin dan ibu, Jeanne la France dari Cambrai. Karena ibunya meninggal di usia yang sangat muda (saat itu Calvin masih berusia 5 tahun), maka ayah Calvinlah yang sangat dominan dalam awal kehidupan dan pendidikan Calvin. John Calvin adalah anak tengah dari sebuah keluarga dengan lima anak (tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan). Ayahnya adalah asisten administrasi di kompleks katedral dekat rumah.[5] Sumber Wikipedia menyebutkan kedua anak perempuan Gérard dan Jeanne telah meninggal pada waktu lahir, sehingga Gérard mengasuh tiga anak laki-lakinya: Charles, Jean, dan Antoine.[6] Rev. David W. Hall, Ph.D. di dalam bukunya Warisan John Calvin: Pengaruhnya Di Dunia Modern mengutip Prof. Theodore Beza, rekan dan penulis biografi Calvin yang pertama, menggambarkan sosok Calvin sebagai “orang yang berperawakan sedang, bermuka pucat, dan bermata tajam. Tatapannya yang hidup menyatakan bahwa ia memiliki otak yang luar biasa cerdas."[7]

Pada usia 12 tahun, Calvin sudah dipekerjakan oleh bishop setempat sebagai koster gereja (clerk). Calvin mendapat bantuan dari seorang keluarga yang berpengaruh, the Montmors. Melalui bantuannya, Calvin dapat mengenyam pendidikan di Collège de la Marche di Paris, di mana dia diajar bahasa Latin oleh salah satu guru Latin terbesar,
Mathurin Cordier. Kemudian, dia meneruskan studinya di bidang philosophia arts di College de Montaigu di Paris.[8] Di tempat itu, Calvin belajar retorika, logika, dan seni (topik-topik umum pada zaman itu) dan menerima pendidikan klasik. Asumsi-asumsi theologis utamanya mengikuti pandangan Augustinus mengenai natur manusia, dosa asal, dan penolakan akan keselamatan karena perbuatan baik.

Karena ayahnya menginginkan anaknya untuk mendapatkan keuntungan lebih besar melalui karier sekular
[9], maka pada tahun 1525 atau 1526, Gérard menarik anaknya dari Montaigu dan mendaftarkan anaknya di University of Orléans untuk belajar hukum. Setelah beberapa tahun masa studi yang tenang, Calvin melanjutkan studi di University of Bourges pada tahun 1529 ketika ia mengetahui bahwa pengacara humanis Andreas Alciati ada di sana. Calvin tinggal di Bourges selama 1.5 tahun (18 bulan) dan selama dia tinggal di sana, dia mendapat banyak pengaruh khususnya di tempat tersebut, dia belajar bahasa Yunani sebagai komponen ilmiah yang penting dalam studi Perjanjian Baru.[10] Selama studi di tempat ini, Calvin bertobat dan menerima iman Reformasi. Pada tahun 1532, dia telah menghasilkan karya pertamanya yaitu tafsiran atas karya Seneca, De Clementia yang menegaskan gagasan radikal bahwa “Pangeran tidak berada di atas hukum, tetapi hukum berada di atas pangeran.”[11]

Pada Oktober 1533, Calvin kembali ke Paris. Pada waktu itu, University of Paris mengalami ketegangan antara humanis/reformator di
Collège Royal (kemudian berubah menjadi Collège de France) dan anggota staf pengajar senior yang konservatif. Salah satu reformator, Nicolas Cop adalah teman dekat Calvin. Cop dipilih pada musim gugur waktu itu sebagai rektor universitas dan pada tanggal 1 November 1533 pada upacara inagurasi/pelantikannya, Cop menyampaikan pidato yang berisikan perlunya reformasi dan pembaruan di dalam gereja. Hal ini menimbulkan reaksi yang keras dari staf pengajar dan mereka mencela pidato tersebut sebagai bidat. Cop dipaksa melarikan diri ke Basel. Pada tahun berikutnya, Calvin juga pergi ke Basel untuk bersembunyi. Di Basel, mereka bertemu. Sebagian besar dari masa 1534-1535 didedikasikan untuk mencari suatu lingkungan di mana Reformasi akan diterima. Sejak tahun 1535, Calvin telah mengadakan hubungan dengan Jenewa. Setelah tahun 1536, Calvin tidak memandang dirinya warga Paris. Kemudian, dia berkelana di Jerman untuk menghindari perhatian public. Dalam waktu-waktu yang berbeda, Calvin terpaksa menggunakan alias-alias, termasuk: Charles d’Espeville, Martianus Lucanius, Carolus Passelius, Alcuin, Depercan, dan Calpurnius. Dia sempat tinggal di Basel. Di Basel lah, Calvin memulai edisi pertama dari karyanya yang terkenal, Institutio Christianae Religionis (Institutes of the Christian Religion) pada Maret 1536 yang hanya terdiri dari 6 bab.[12]

Segera setelah penerbitan buku pertamanya, Calvin meninggalkan Basel dan pergi ke
Ferrara di Italia di mana dia melayani sebagai sekretaris dari Ratu Renée of France. Dia tidak tinggal lama di sana dan pada bulan Juni dia kembali ke Paris dengan saudaranya, Antoine yang sedang mengurus urusan ayahnya. Mengikuti Edict of Coucy yang memberikan waktu maksimal 6 bulan bagi kaum bidat untuk berdamai dengan iman Katolik, Calvin memutuskan bahwa tidak ada masa depan baginya di Prancis. Pada bulan Agustus, Calvin memulai perjalanannya ke Strasbourg, kota kerajaan yang bebas dari Kekaisaran Roma (the Holy Roman Empire) dan tempat perlindungan bagi para reformator. Karena manuver militer dari kekaisaran dan kekuatan militer Prancis, Calvin dipaksa untuk memutar jalannya ke selatan dan ini membawanya ke Jenewa. Pada mulanya, Calvin hanya bermaksud tinggal di Jenewa satu malam, namun William Farel, rekan reformator dari Prancis yang tinggal di kota itu, meminta Calvin untuk melayani di Jenewa. Pada waktu itu, Calvin menolaknya. Sebagai reaksi atas tolakan Calvin, Farel langsung mengeluarkan kata-kata kutukan yang mengatakan bahwa Allah akan mengutuk Calvin jika Calvin tidak pergi ke Jenewa. Pada saat kata-kata Farel itu disampaikan, Calvin merasa seolah-olah Allah dari Sorga telah meletakkan tangan-Nya yang berkuasa ke atasnya untuk menangkapnya.[13]

Di Jenewa, Calvin melayani selama 2 tahun dan kemudian, ia diusir oleh pemerintah setempat yang pada waktu itu terdapat kombinasi kekuasaan dari beberapa keluarga bangsawan, sisa simpatisan Katolik, dan tekanan politik internal di Jenewa. Para pejabat di Jenewa tersebut tidak terlalu bersemangat tentang Reformasi, bahkan beberapa orang secara terbuka menentang usaha-usaha bersama Calvin dan Farel. Setelah perubahan administrasi, Calvin dan banyak orang Jenewa menemukan diri mereka berselisih dengan beberapa faksi (kelompok-kelompok kecil yang tidak akur) dan pemimpin di Jenewa. Karena terjadinya pertikaian yang luar biasa di antara orang-orang di kota Jenewa, maka Calvin menolak untuk memberikan Perjamuan Kudus kepada rakyat yang berseteru. Akibatnya, dua hari kemudian, pada tanggal 18 April 1538, Dewan Kota mengasingkan keduanya dengan tuduhan pembangkangan terhadap pemerintah. Kemudian, ia pindah ke Strasbourg. Pada tahun 1538-1541, ia melayani sebagai pendeta di gereja yang terdiri dari 400-500 orang pengungsi Protestan di Strasbourg. Di Strasbourg, Calvin mendapat bimbingan dan teladan dari para pendidik Reformasi yang terkemuka, seperti: Johann Sturm (1507-89) dan Martin Bucer. Ia menemani Bucer dalam misi-misi diplomatik, mengajar di Akademi Sturm yang baru saja didirikan. Akademi ini nantinya menjadi model bagi Akademi Jenewa yang Calvin dirikan. Pada tahun 1539, Calvin merevisi buku Institutesnya sehingga bukunya 3 kali lebih panjang dari edisi pertamanya.
[14] Selama di Strasbourg, dua tindakan penting yang dilakukan Calvin. Pertama, menulis dan menerbitkan Commentary on Romans (tafsiran Surat Roma, tafsiran Alkitab pertamanya) pada bulan Maret 1540. Kedua, menikah dengan Idellette de Bure pada tahun 1940.[15]

Ketika segala sesuatu berjalan lancar, Martin Bucer tiba-tiba memanggil Calvin untuk mereformasi gereja di Jenewa, namun Calvin sempat menolak. Maka, Bucer persis melakukan seperti yang Farel lakukan, yaitu mengingatkan akan kutukan Allah. Usaha memohon Calvin kembali ke Jenewa juga dilakukan oleh pejabat utama di Jenewa, Louis Dufour yang menyampaikan undangan yang ditandatangani bersama oleh tiga Dewan Jenewa yang terpilih. Bahkan Dufour pergi ke Strasbourg untuk membujuk Calvin yang dibuang. Sebagai tambahan, dewan berjanji akan membayar biaya-biaya perpindahan Calvin, penghargaan, gaji, dan sebuah rumah dekat Gereja St. Pierre. Akhirnya, Calvin menyanggupinya (tentu bukan karena alasan gaji dan iming-iming kedudukan sosial lainnya—tambahan penulis) dan pada tanggal 13 September 1541, Calvin kembali ke Jenewa. Pada tanggal 20 November 1541, Calvin membuat proposal untuk mereformasi Jenewa: Ordonnances ecclésiastiques (Ecclesiastical Ordinances). Di dalam proposal tersebut, Calvin mengklasifikasikan empat urutan pelayan di gereja: pendeta untuk berkhotbah dan menjalankan sakramen; doctor untuk mengajar orang-orang percaya di dalam iman; tua-tua untuk menetapkan atau memberikan disiplin gereja; dan diaken untuk mempedulikan orang yang miskin dan membutuhkan. Pada tahun 1542, Calvin ditugaskan dalam sebuah komisi untuk merevisi Maklumat-maklumat Jenewa (Genevan Edicts). Sebagai hadiahnya, Philip Schaff, seperti dikutip oleh Rev. David W. Hall, Ph.D., mencatat bahwa Calvin dihadiahi satu tong anggur tua sebagai pembayaran untuk usaha-usahanya dalam merevisi undang-undang kota itu.
[16] Pada tanggal 28 Juli 1542, anak laki-laki Calvin, Jacques, lahir, namun sayangnya hidup hanya 2 minggu. Pada 1542, Calvin juga mengadapsi buku kebaktian yang digunakan di Strasbourg dan dia menerbitkan La Forme des Prières et Chants Ecclésiastiques (The Form of Prayers and Church Hymns). Calvin mengakui kekuatan musik dan dia bermaksud bahwa musik ini digunakan untuk mendukung pembacaan Alkitab.[17] Pada tahun 1543, Calvin merevisi kembali buku Institutes-nya dan menambahkan satu bab mengenai Pengakuan Iman Rasuli (the Apostles' Creed).

Agar gagasan-gagasannya tersebar luas, maka Calvin menggunakan metode khotbah sebagai metode yang paling luas dalam menyampaikan gagasan-gagasannya kepada masyarakat pada masanya. Di dalam khotbahnya, Calvin menggunakan bahasa yang jelas dan kuat dalam menjangkau pikiran-pikiran orang-orang terkemuka pada zamannya. Dan lagi yang lebih mengagetkan kita adalah khotbah-khotbah Calvin jauh dari kesan membosankan atau tidak menarik, melainkan menarik pendengar-pendengar yang tersebar luas dan konsisten. Bahkan Rev. Dr. David W. Hall mengutip surat Prof. Theodore Beza kepada William Farel yang menyebutkan bahwa ceramah-ceramah Calvin didengar oleh lebih dari 1000 orang – suatu prestasi yang tinggi untuk zamannya. Di dalam berkhotbah, ia menyukai gaya khotbah tanpa catatan (extempore). Untuk itulah, pada tahun 1549, terutama atas dorongan para pengungsi Prancis di Jenewa, diangkatlah seorang sekretaris untuk mencatat khotbah-khotbah Calvin.
[18]

Selama masa tinggalnya yang terakhir di Jenewa, Calvin secara teratur mengkhotbahkan eksposisi-eksposisi dalam tiga ibadah Minggu. Pada tahun 1549, khotbah-khotbah itu begitu terkenal, sehingga khotbah-khotbah itu meningkat menjadi eksposisi-eksposisi sehari-hari. Rotasi Calvin mengizinkan dia berkhotbah dua kali pada hari Minggu dan setiap hari dalam minggu yang berselang-seling. Pada tahun itu jugalah, istrinya, Idellete de Bure meninggal.

Pada tahun 1558, Calvin mendirikan Akademi Jenewa di mana Calvin dan Beza adalah pemimpin fakultas theologinya. Ibadah peresmiannya dilakukan pada tanggal 5 Juni 1559 di mana 600 orang hadir di Katedral St. Pierre. Akademi yang berdekatan dengan Katedral St. Pierre tersebut memiliki dua level kurikulum: satu untuk pendidikan umum bagi para pemuda Jenewa (kolese atau schola private) dan sebuah seminari untuk mendidik para hamba Tuhan (schola publica). Pendidikan di Akademi ini menyiapkan banyak mahasiswa untuk pelayanan professional, termasuk pekerjaan-pekerjaan dalam bidang hukum, kedokteran, politik, pendidikan, dan pelayanan.
[19] Melihat usaha Calvin mereformasi Jenewa, maka John Knox, seorang reformator, menyebut Jenewa sebagai, “sekolah Kristus yang paling sempurna yang pernah ada semenjak zaman para rasul.”[20]

Pada tahun 1559, Calvin terakhir merevisi dan menyelesaikan edisi terakhir dari buku Institutes-nya, sehingga bukunya terdiri dari 4 buku yang terbagi menjadi 80 bab dan setiap buku diberi judul sesuai pernyataan kredo: Buku 1 diberi judul God the Creator (Allah, Pencipta), Buku 2 diberi judul the Redeemer in Christ (Penebus di dalam Kristus), Buku 3 diberi judul receiving the Grace of Christ through the Holy Spirit (Menerima Anugerah Kristus melalui Roh Kudus), dan Buku 4 diberi judul the Society of Christ or the church (Perkumpulan Kristus atau gereja).
[21]

Dari sejarah Gerakan Reformed yang ditegakkan oleh Dr. John Calvin, kita belajar beberapa hal:
A. Gerakan Reformed: Menegakkan Kebenaran Firman Tuhan
Pertama, gerakan Reformed dari Dr. John Calvin dipanggil pertama-tama untuk menegakkan kebenaran firman Tuhan. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa Tuhan memakai Dr. Martin Luther untuk merobohkan ajaran yang salah dan memakai Dr. John Calvin untuk membangun ajaran yang benar. Berarti, Tuhan memakai Calvin untuk membangun ulang atau menegakkan Kekristenan yang bersumber pada Alkitab. Melalui bukunya Institutes of the Christian Religion yang menurut Calvin tidak boleh dipisahkan dari tafsiran-tafsiran Alkitab yang ditulisnya, Calvin menegakkan prinsip-prinsip iman Kristen yang berdasarkan Alkitab tentang: Allah, Pemeliharaan Allah, Pemilihan Allah, Anugerah, Kristus, Roh Kudus, Manusia, Gereja, dll. Penegakan kebenaran firman Tuhan ini memberikan dasar dan arah yang jelas bagi Kekristenan pada zamannya dan juga pada zaman sesudah Calvin. Ketika arus modernisme melanda dunia dan Kekristenan, bahkan meracuni beberapa seminari theologi Reformed, seperti Princeton Theological Seminary, maka para theolog Reformed yang setia kembali menegakkan kebenaran firman Tuhan dan mendirikan seminari theologi Reformed yang lebih setia. Pada saat itu, Dr. J. Gresham Machen, Dr. Robert D. Wilson, Dr. Oswald T. Allis; dkk keluar dari Princeton Theological Seminary yang sudah mulai liberal dan mendirikan Westminster Theological Seminary.
[22] Abad modern sudah berganti dan menjadi abad postmodern dengan ide postmodernisme dan merasuk ke berbagai bidang kehidupan (postmodernitas). Ketiga istilah ini saya pinjam dari penjelasan pembedaan yang dikemukakan oleh Ev. Jimmy Setiawan pada acara Seminar Ibadah di GKA Elyon Pregolan, Surabaya pada tanggal 22 Juni 2009. Di tengah abad yang tidak mengakui kebenaran universal/metanarasi, mementingkan pengalaman subyektif, dan toleran terhadap berbagai perbedaan, maka theologi Reformed kembali menegakkan kebenaran firman Tuhan bahwa ada Kebenaran obyektif dan universal yang harus ditaati oleh semua manusia. Perbedaan tidak menjadi masalah, asalkan dibangun di atas dasar Alkitab dan doktrin Kristen orthodoks.




B. Gerakan Reformed: Memberitakan Kebenaran Firman Tuhan
Bukan hanya menegakkan Kebenaran Firman Tuhan, gerakan Reformed juga dipanggil untuk memberitakan Kebenaran Firman Tuhan. Berarti, gerakan Reformed dipanggil bukan untuk pasif menerima dan menegakkan doktrin yang benar, namun juga dipanggil aktif menyuarakan kebenaran itu kepada semua orang. Memberitakan Kebenaran Firman Tuhan ini saya bagi menjadi dua: memberitakan ajaran yang benar sesuai dengan Alkitab beserta aplikasinya di dalam kehidupan sehari-hari dan memberitakan Injil Kristus kepada mereka yang belum mendengar Injil. Apa yang Calvin lakukan pada zamannya yaitu mereformasi Strasbourg dan khususnya Jenewa yang terkenal itu merupakan bentuk pemberitaan Kebenaran Firman Tuhan kepada orang-orang di zamannya sebagai wujud pemberitaan ajaran yang benar sesuai Alkitab beserta aplikasinya di dalam kehidupan sehari-hari, yaitu di bidang politik, hukum, seni, pendidikan, dll (mandat doktrin dan mandat budaya). Begitu juga yang dilakukan oleh para theolog Reformed di sepanjang zaman. Hal ini juga seharusnya menjadi perhatian dan panggilan kita sebagai anak-anak-Nya dan hamba-hamba-Nya penuh waktu untuk memberitakan ajaran yang benar sesuai dengan Alkitab. Di tengah arus pemberitaan ajaran yang tidak bertanggungjawab, maka kita perlu mendengarkan nasihat Rasul Paulus kepada Timotius, anak rohaninya, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.” (2Tim. 4:2)

Memberitakan Kebenaran Firman Tuhan juga bisa berupa memberitakan Injil Kristus kepada mereka yang belum mendengar Injil. Tidak sering kita mengetahui misi penginjilan yang Calvin lakukan. Namun Rev. Dr. David W. Hall mengemukakan bahwa Akademi Jenewa mengekspor lebih dari 100 misionaris ke Prancis, Brazil, Italia, Belanda, dan Inggris sebelum tahun 1562.
[23] Inilah bukti Calvin tidak mengesampingkan mandat penginjilan.






IV. GERAKAN REFORMED DI ZAMAN SEKARANG DAN PANGGILAN UNTUK MENEGAKKAN DAN MEMBERITAKAN KEBENARAN FIRMAN TUHAN DENGAN BIJAKSANA
Setelah kita membaca riwayat gerakan Reformasi dan Reformed di abad lalu, maka mari kita merefleksi realitas Gerakan Reformasi dan Reformed di zaman sekarang dan apa yang harus kita lakukan untuk menegakkan dan memberitakan Kebenaran Firman Tuhan.

A. Realitas Gerakan Reformed Di Zaman Sekarang
Jika gerakan Reformasi dan Reformed di zaman dahulu memiliki motivasi dan panggilan yang murni yaitu ingin menegakkan Kebenaran dan memberitakan Kebenaran Firman Tuhan tersebut, maka benarkah spirit yang sama ini menjiwai para penerusnya? Ternyata kita menjumpai adanya kejanggalan ekstrim di kubu Reformasi dan Reformed sendiri. Saya mengamati ada dua realitas ekstrim Gerakan Reformed di zaman sekarang:
1. Terlalu Kompromi
Realitas ekstrim gerakan Reformasi/Reformed di zaman sekarang yang pertama adalah terlalu kompromi. Artinya, gerakan Reformed tidak lagi setia menegakkan Kebenaran dan memberitakan Kebenaran, namun sudah menyeleweng, bahkan sampai menyeleweng terlalu jauh. Sebenarnya tindakan kompromi ini bisa dilihat dari bibit liberalisme yang mulai meracuni kubu Princeton Theological Seminary, U.S.A. Prof. John M. Frame, D.D. di dalam bukunya Cornelius Van Til: Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya menjelaskan bahwa Dr. Cornelius Van Til telah mengajar di Princeton Seminary sejak tahun 1928-1929. Princeton Seminary menawarkan posisi di bidang apologetika kepada Dr. Van Til di akhir periode, namun Dr. Van Til menolak, karena Dr. Van Til tidak berhasrat untuk ikut dalam reorganisasi Princeton Seminary yang dimandatkan dari General Assembly of the Presbyterian Church, U.S.A. Mengapa Dr. Van Til menolak? Dr. John M. Frame memberikan alasannya yang begitu mengerikan,
“Reorganisasi ini bertujuan untuk menyingkirkan pendirian historis Calvinisme orthodoks yang dipegang seminari tersebut dan menjadikannya lebih representatif bagi “semua pandangan yang ditemukan di dalam gereja.” Pandangan-pandangan ini mencakup sekitar 1300 hamba Tuhan yang pada tahun 1924 menandatangani Auburn Affirmation yang terkenal buruk itu, yang menyatakan bahwa doktrin-doktrin seperti pengilhaman Alkitab, kelahiran Kristus dari perawan, penebusan-Nya yang menggantikan, kebangkitan Kristus secara badan, dan kedatangan-Nya yang kedua kali dalam pengertian literal, merupakan “teori-teori” buatan manusia sendiri dan tidak diwajibkan sebagai keyakinan bagi calon hamba Tuhan.”
[24]
Jika calon hamba Tuhan saja sudah tidak lagi mengakui dasar-dasar doktrin orthodoks, bagaimana hamba Tuhan tersebut nantinya bisa mengajar jemaat di dalam khotbah? Jika demikian, apa yang para hamba Tuhan khotbahkan di atas mimbar? Tidak heran, gejala kompromi di dalam kubu Princeton Seminary ini telah merusak dan meracuni Kekristenan khususnya mayoritas gereja Kristen/Protestan arus utama di zaman sekarang. Jangan heran, di beberapa (atau mungkin mayoritas?) gereja-gereja Protestan arus utama yang mengklaim diri beriman (lebih tepatnya: bertradisi) Reformasi/Reformed/Calvinis, kita mendapati khotbah-khotbah yang disampaikan pada waktu hari Natal dan Paskah TIDAK lagi membicarakan Kristus, namun hal-hal yang kurang penting, misalnya bencana alam, aksi sosial, dll. Coba Anda baca surat kabar, misalnya Jawa Pos, khususnya renungan-renungan di hari Natal, Paskah, dll. Lalu, perhatikan, siapa penulis renungan itu. Kalau si penulis dari kalangan Protestan arus utama, sudah bisa ditebak, apa yang mereka utarakan tidak lagi bersumber pada Kristus, namun pada hal-hal sosial, dll. Tidak salah jika kita menyinggung hal-hal sosial, namun fokusnya bukan hal-hal tersebut. Yang lebih parah lagi, sudah bukan barang baru, jika di sebuah surat kabar, kita membaca tulisan seorang “pendeta” yang berasal dari gereja yang mengklaim bertradisi Reformasi/Reformed yang meragukan kebangkitan Kristus. Lalu, si “pendeta” ditegur oleh sinode gereja di tempat dia melayani dan “terpaksa” sang “pendeta” mengakui kesalahannya. Inilah produk-produk gerakan Reformed yang mulai berkompromi.

Di sisi lain, gerakan Reformasi/Reformed diterpa oleh angin spiritualitas yang tanpa dasar, yaitu munculnya gerakan Pentakosta dan Karismatik. Gerakan yang dimulai oleh seorang yang bernama Agnes Ozman tepat pada tanggal 1 Januari 1901 di Azusa Street yang mengutamakan pentingnya karunia-karunia Roh mulai merembes ke dalam gereja-gereja Protestan yang mengklaim bertradisi Reformed. Gerakan Karismatik tidak hanya dibatasi oleh gerakan gelombang ketiga (third wave movement) yang mengajarkan word-of-faith movement (gerakan kata-kata iman) dari Dr. C. Peter Wagner yang nantinya memengaruhi gerakan Toronto Blessing yang terjadi di Toronto, Canada sekitar tahun 1994 (saat ini gejala Toronto Blessing sudah reda), namun juga meluas sampai tidak bisa dibedakan jelas dengan gerakan Injili. Tidak heran, beberapa gereja Injili yang lemah doktrinnya bisa dengan mudahnya menerima gerakan dan theologi Karismatik. Sebuah fenomena yang cukup lama beredar, yaitu gerakan Doa Yabes dari Dr. Bruce H. Wilkinson telah menarik banyak gereja termasuk salah satunya adalah sebuah gereja Injili Tionghoa di Surabaya yang mengklaim diri Presbyterian/Reformed. Gereja ini juga ikut-ikutan mendukung gerakan Doa Yabes tersebut. Doa Yabes mulai surut dan digantikan oleh gerakan The Purpose Driven, mulai dari The Purpose Driven Church, The Purpose Driven Life, dll. Gereja-gereja Reformasi/Reformed dengan mudahnya ikut arus. Seorang rekan pendeta mengatakan kepada saya bahwa ada seorang hamba Tuhan di sebuah gereja Protestan yang bertradisi Reformed rela menghabiskan uang demi mengadakan pembinaan bagi jemaatnya dengan memakai buku The Purpose Driven Life.

Itulah sekilas gambaran pudarnya semangat Reformasi/Reformed yang menegakkan Kebenaran Firman Tuhan dan memberitakannya. Namun, kita juga menghadapi realitas keekstriman model kedua dari gerakan Reformasi/Reformed di zaman sekarang.


2. Terlalu Kaku
Realitas keekstriman kedua dari gerakan Reformasi/Reformed zaman sekarang adalah terlalu kaku! Hal ini kebalikan dari realitas pertama. Jika di poin pertama, gerakan Reformed ada yang mulai berkompromi, maka di poin kedua ini, gerakan Reformed ada yang benar-benar ekstrim, yaitu terlalu kaku. Kekakuan ini dimulai dari sosok hamba Tuhannya. Hamba Tuhan ini kurang mengerti totalitas pengertian theologi Reformed, namun dengan beraninya berkoar-koar di atas mimbar, lalu menuding ajaran yang berbeda sedikit dari theologi Reformed sebagai bidat. Saya pernah mendengar hamba Tuhan ini berkhotbah di atas mimbar, lalu mengajar bahwa gereja yang tidak menjalankan baptisan anak itu sesat. Saya sampai terheran-heran mendengar pernyataan ini. Sebegitu beraninya si pendeta mengeluarkan pernyataan yang kurang bertanggungjawab ini? Saya menantang si pendeta yang mengaku Reformed, adakah ajaran Alkitab satu kali pun yang memutlakkan baptisan anak lalu mengutuk mereka yang tidak menjalankan baptisan anak itu bidat? Alkitab TIDAK pernah satu kali pun melarang baptisan anak dan juga TIDAK pernah satu kali pun memutlakkan baptisan anak. Dengan kata lain, baptisan anak itu doktrin sekunder yang tidak perlu diperdebatkan sampai dicap bidat.

Corak hamba Tuhan kaku yang saya sebutkan di atas ternyata memengaruhi banyak jemaatnya, khususnya para pemuda yang selalu mendengar khotbah dan pengajarannya. Saya sendiri menjumpai seorang pemudi yang benar-benar sangat mengagumi si pendeta ini, lalu apa yang dikatakan si pendeta ini ditelannya mentah-mentah sebagai “kebenaran”. Saya juga pernah bertemu dengan seorang pemudi di gereja yang sama yang saya dapati terlalu ekstrim. Pada waktu itu, saya baru selesai membaca buku When God Writes Your Love Story dari Eric dan Leslie Ludy, kemudian saya sharing buku tersebut kepada salah seorang rekan pemuda di gereja tersebut dan betapa kagetnya saya, ketika dia bertanya kepada saya, “Apa buku itu Reformed?” Dieng… Saya langsung kaget, ternyata didikan dari si hamba Tuhan kaku tersebut telah mengindoktrinasi pemudi ini, sehingga dalam alam pikiran si pemudi ini, di luar buku-buku Reformed, dia tidak mau membaca buku apa pun. Akibatnya, Reformed TIDAK lagi berpedoman Sola Scriptura (hanya Alkitab saja), tetapi mengarah kepada Sola Reformed, atau yang lebih parah lagi: Sola Pendeta X, seolah-olah jika pendeta X yang berkhotbah dan mengajar Alkitab, maka itu adalah kebenaran, padahal si pendeta X kadang-kadang pernah salah dalam mengajar Alkitab (meskipun kesalahan ini termasuk kesalahan paling sekunder). Reformed tidak lagi kritis dan menyukai kebenaran seperti pada zaman Reformasi, Reformed Calvin, dan Puritan, namun beberapa Reformed secara tidak sadar telah kembali kepada semangat Katolik Roma yang mengaminkan semua perkataan Paus.

Reformed yang terlalu kaku mengakibatkan para penganut Reformed TIDAK lagi kritis dan bahayanya bisa mengakibatkan penganutnya menjadi: FANATIK. Tidak heran, beberapa orang Kristen dan hamba Tuhan non-Reformed mencap Reformed sebagai Fundamentalisme
[25]. Reformed SEBENARNYA memang TIDAK sama dengan Fundamentalisme, namun melihat beberapa (atau bahkan banyak) orang Reformed yang hanya menyetujui semua khotbah di mimbar tanpa benar-benar belajar dari banyak buku dan KRITIS mengakibatkan Reformed dicap Fundamentalisme! Nah, panggilan Reformed BUKAN untuk menjadi Reformed yang serba kompromi sini sana, namun juga BUKAN untuk kaku dan kolot lalu mencap theologi non-Reformed atau bahkan yang tidak sejalan dengan pendeta Reformed tertentu sebagai bidat! Jika ada orang atau bahkan hamba Tuhan Reformed masih bersikap demikian, maafkan, saya mengatakan bahwa orang atau hamba Tuhan Reformed tersebut masih kekanak-kanakan (childish)! Rev. Prof. Joseph Tong, Ph.D. di dalam Seminar di Universitas Pelita Harapan, Surabaya pernah mengatakan bahwa Kekristenan harus kritis, namun jangan terlalu kritis! Dr. Joseph Tong mengemukakan bahwa orang Kristen yang terlalu kritis itu persis seperti anak kecil yang tidak mau melihat orang lain berbeda darinya. Melihat orang lain berbeda sedikit darinya, anak kecil langsung marah dan menangis. Yang lebih celakanya, jika konsep ini diimpor di dalam dunia theologi. Akibatnya, theologi tidak menjadi theologi yang dewasa, namun theologi yang kekanak-kanakan! Biarlah orang Reformed bertobat dari kebiasaan buruk ini! Ada hal-hal prinsipil yang harus kita tegakkan dan beritakan, namun ada hal-hal sekunder yang tidak perlu kita pertahankan dengan kaku. Hal ini akan saya bahas pada bagian C.




B. Penyebabnya
Lalu, apa yang menyebabkan gerakan Reformed dewasa ini seekstrim di atas? Saya mengamati ada dua penyebab utama:
1. Modernisme dan Postmodernisme
Gerakan Reformed ada yang sampai ekstrim mengkompromikan semua doktrin penting dari theologi Reformed karena adanya faktor filsafat dunia di dalamnya. Saya menyoroti adanya pengaruh dua filsafat dunia tersebut, yaitu: modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah suatu filsafat yang menekankan pentingnya rasio dan pengetahuan manusia sebagai dasar kebenaran. Segala sesuatu harus diuji berdasarkan rasio manusia. Modernisme ini nantinya meracuni Kekristenan dengan munculnya “theologi” liberal yang mempengaruhi metode kritik Alkitab. Metode Kritik Alkitab adalah cara yang dipakai oleh para “theolog” liberal yang menekankan superioritas rasio dan penyelidikan ilmiah/historis di atas segalanya, bahkan termasuk di atas Alkitab. “Iman” mereka dibangun di atas rasio dan pengalaman empiris manusia berdosa. Tidak heran, kalau kita kembali melihat sejarah mengapa Dr. J. Gresham Machen, dkk keluar dari Princeton Theological Seminary dan mendirikan Westminster Theological Seminary yang lebih setia kepada Alkitab adalah karena Princeton Seminary sudah diracuni oleh “theologi” liberal.


Zaman modern sudah berhenti dan diganti dengan zaman postmodern. Pdt. Dr. Stephen Tong mengajarkan bahwa setiap zaman memiliki semangat zaman (Jerman: zeitgeist; Inggris: spirit of the age). Nah, zaman postmodern pun memiliki semangat zaman postmodern yang berbeda bahkan melawan semangat zaman modern. Jika modernisme menitikberatkan pada superioritas rasio, maka postmodernisme tampil melawan modernisme. Apa yang postmodernisme ajarkan? Saya meringkaskan dan menjabarkan ide-ide postmodernisme dari buku Prof. Stanley J. Grenz, Th.D., A Primer on Postmodernism: Pengantar untuk Memahami Postmodernisme dan Peluang Penginjilan Atasnya
[26]:
a) Makna tidak terdapat di dalam teks, tetapi di dalam para penafsir.
Ide utama postmodernisme adalah ide dekonstruksi. Ide ini sebenarnya berkebalikan dari ide strukturalisme. Strukturalisme mengajarkan, “bahasa adalah sebuah produk sosial dan manusia mengembangkan tulisan-tulisan – teks – sebagai usaha menyusun struktur makna yang dapat menolong memberikan makna dalam pengalaman mereka yang tidak bermakna.” Selain itu, strukturalisme juga mengajarkan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan memiliki sebuah struktur yang sama. Nah, postmodernisme dengan ide dekonstruksi mengajarkan bahwa makna TIDAK terletak pada teks, tetapi pada penafsir. Dengan kata lain, “makna sebuah teks bergantung kepada sudut pandang setiap penafsir yang berbeda-beda, maka maknanya juga berbeda-beda dan beraneka ragam.” Pikiran ini diperkuat oleh pemikiran Jacques Derrida yang mengajak manusia untuk melenyapkan: onto-teologi (usaha untuk mencari hakikat/esensi realitas) dan metafisika kehadiran (konsep mengenai adanya sesuatu yang transenden dalam realitas). Karena tidak ada sesuatu yang transenden, maka manusia lebih mudah menafsirkan segala sesuatu sesuai dengan pandangannya sendiri. Kita mengenal istilahnya: the death of the author (kematian si penulis). Tidak heran, akibatnya, di zaman postmodern, penafsiran (hermeneutika) menjadi tidak karuan dan kacau balau. Banyak orang seenaknya sendiri menafsirkan teks atau perkataan orang lain dengan sudut pandangnya sendiri, tanpa mau melihat makna asli dari teks atau perkataan orang lain tersebut. Di situlah sebenarnya masalah munculnya misunderstanding di dalam sebuah komunikasi dan tafsiran.

b) Pesimis akan pengetahuan
Jika orang modern lebih optimis mengatakan bahwa pengetahuan itu baik, maka orang postmodern tidak lagi percaya akan hal itu. Dengan kata lain, orang postmodern pesimis bahwa pengetahuan itu baik. Mereka sendiri percaya bahwa dunia bukan lebih baik, tetapi lebih buruk. Oleh karena itu, jika ingin bertahan di dalamnya, maka manusia harus bekerja sama, bukan saling menaklukkan. Konsep postmodernisme ini sedikit mengandung kebenaran, yaitu mengajarkan bahwa dunia bukan semakin lebih baik, tetapi makin buruk. Kekristenan yang Alkitabiah jauh lebih dahulu mengajar hal demikian. Namun, kelemahan konsep postmodernisme ini adalah kehilangan harapan dan arah tujuan hidup di dalam dunia yang makin buruk ini, sedangkan Kekristenan menyediakan jalan keluarnya yaitu melalui Tuhan Yesus Kristus: kematian, kebangkitan, dan kenaikan-Nya ke Sorga.

c) Penekanan pada keutuhan
Jika orang modern HANYA mengandalkan fungsi rasio sebagai jalan menuju pengetahuan, maka orang postmodern mengajarkan bahwa selain rasio, jalan menuju pengetahuan bisa berupa emosi dan intuisi. Tidak heran, kita sering mendengar istilah-istilah seperti: SQ, EQ, dll, selain IQ. Hal ini ada benarnya, yaitu menyadarkan kita bahwa pintar itu bukan hanya masalah otak saja, tetapi juga masalah emosi, spiritual, dll.

d) Pengetahuan itu TIDAK obyektif
Jika orang modern percaya bahwa pengetahuan itu obyektif, maka orang postmodern percaya bahwa pengetahuan itu TIDAK obyektif karena dunia ini bagi mereka: historis, relatif, tidak tetap, dan personal. Konsep ini memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya adalah memang benar bahwa dunia kita ini relatif dan tidak tetap karena dunia kita adalah dunia berdosa. Oleh karena itu jangan terlalu berpaut pada dunia ini. Namun, sisi negatif konsep ini adalah ketidakpercayaan orang-orang postmodern akan pengetahuan obyektif. Meskipun dunia kita ini historis dan tidak tetap, kita harus tetap percaya akan pengetahuan obyektif entah itu berasal dari Allah maupun manusia. Setiap kita pasti memiliki pengetahuan obyektif, misalnya: 1+1=2. Jika orang postmodern menyangkali pengetahuan obyektif, bagaimana mereka menjawab pertanyaan 1+1? Lebih tajam lagi, jika orang postmodern menyangkali pengetahuan obyektif, maka saya yang adalah seorang Kristen TIDAK perlu memercayai orang-orang postmodern dan pandangannya, karena pandangannya itu hanya bersifat subyektif dan berlaku benar bagi mereka sendiri. Jika demikian, untuk apa mereka mengajar orang bahwa pengetahuan itu tidak obyektif, jika mereka sendiri tidak mengakui adanya kebenaran/pengetahuan obyektif? Inilah kekontradiksian konsep postmodernisme ini.

e) Karya para ilmuwan terbatas pada sejarah dan budaya
Jika orang modern yang dipengaruhi oleh Abad Pencerahan memercayai bahwa ada seorang pengamat yang otonom dan tidak dipengaruhi oleh apa dan siapa pun, maka orang postmodern menyangkal ide tersebut dan mengatakan bahwa hasil karya para ilmuwan bersifat terbatas oleh sejarah dan budaya, sehingga pengetahuan kita selalu bersifat tidak lengkap (incomplete). Konsep postmodernisme ini ada benarnya. Sains/ilmu pengetahuan meskipun diberi nama ilmu pasti, tetapi tetap saja TIDAK pernah pasti, karena sains tetap adalah produk manusia berdosa. Oleh karena itu, setiap produk sains itu tidak pernah lengkap karena terbatas oleh sejarah dan budaya. Jika teori sains di zaman dahulu dibuktikan benar, maka teori sains di zaman sekarang membuktikan bahwa teori sains zaman dahulu itu salah. Begitu juga dengan peran budaya dalam membatasi sains. Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. pernah mengatakan bahwa ada penemuan yang mengatakan bahwa minum kopi itu berbahaya, namun penemuan berikutnya mengatakan hal yang sebaliknya yaitu minum kopi itu baik bagi kesehatan. Inilah keterbatasan sains, selalu berubah-ubah. Oleh karena itu, jangan pernah menaruh iman Anda pada sains karena sains itu terbatas.

f) Komunitas sebagai dasar pemahaman kebenaran.
Terakhir, dunia postmodern ditandai dengan semangat komunitas. Bagi orang postmodern, komunitas adalah dasar pemahaman kebenaran. Apa yang kita anggap benar dan cara kita mengatakan kebenaran tersebut sangat bergantung pada komunitas kita. Atau kalau boleh, saya meminjam istilah gaulnya: geng. Kita memiliki geng sendiri untuk melampiaskan apa yang kita percayai sebagai “kebenaran.” Jika kita terus berjuang bagi geng kita, maka kita berpikiran sempit dan tidak bisa menjadi berkat bagi orang di luar geng kita. Kekristenan dipanggil BUKAN untuk membentuk geng sendiri dengan ciri khas yang berbeda total dari dunia lalu mengasingkan diri dari dunia, namun Kekristenan dipanggil untuk menjadi garam dan terang bagi dunia dengan prinsip-prinsip Kebenaran Allah. Dengan kata lain, mengutip perkataan Ev. Ivan Kristiono, M.Div. di dalam Seminar: Panggilan, Waktu Luang, dan Gaya Hidup di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Ngagel, Surabaya, Kekristenan seharusnya GAUL!


2. Traumatik
Realitas ekstrim kedua dari gerakan Reformed di zaman sekarang yang terlalu kaku tersebut disebabkan oleh gejala traumatik. Saya menyebut hal ini sebagai traumatik, karena orang-orang ini benar-benar trauma dengan dunia berdosa dan filsafatnya, lalu orang-orang ini menyuruh orang lain untuk tidak membaca buku-buku dunia, sebaliknya orang-orang ini mengajarkan pengikutnya/orang lain untuk hanya mendengar tafsiran si pendeta tentang buku-buku dunia. Mengapa mereka bisa trauma? Karena diinspirasi dari Roma 12:1-2 yang mengajarkan bahwa ibadah Kristen mencakup pembaharuan akal budi. Maka rasio Kristen harus benar-benar diperbaharui sesuai kehendak-Nya dan tidak menuruti konsep dunia. Konsep Roma 12:1-2 itu TIDAK salah, karena itu konsep dasar yang penting dan mutlak. Namun jika ada orang Kristen/Reformed yang mengEKSRIMkan Roma 12:1-2 lalu mengajar bahwa jangan melihat film ini itu, jangan membaca buku X, dll, maka orang Kristen/Reformed lama-kelamaan akan menjadi orang Kristen fanatik yang percaya 100% pada perkataan si pendeta dan tafsirannya baik tafsiran akan Alkitab maupun tafsiran akan hal-hal duniawi (yang belum tentu 100% bisa dipertanggungjawabkan secara akademis)!

Bukan hanya menyangkut dunia, untuk urusan Kekristenan pun, orang-orang Reformed yang kaku ini juga melakukan hal yang sama. Apalagi kalau orang Reformed itu pendeta, bahkan gembala sidang, ia akan dengan ketat bahkan dapat dikatakan EKSTRIM mengindoktrinasi dan mengimun jemaatnya (eksplisit maupun implisit) agar tidak pergi ke gereja lain (bahkan ke gereja yang bertheologi Reformed namun tidak berplang/bernama Reformed). Pergi ke gereja lain dianggap murtad, dll. Bahkan ada seorang pendeta Reformed yang memblacklist sebuah sekolah theologi awam yang juga bertheologi Reformed dikarenakan pimpinan sekolah theologi awam itu mengundang pembicara dari golongan Orthodoks Syria yang dianggap oleh si pendeta sebagai bidat. Saya pribadi menyelidiki tokoh Orthodoks Syria ini ketika orang ini diundang di Universitas Kristen Petra, Surabaya dan saya menemukan bahwa tokoh Orthodoks Syria ini TIDAK SESAT secara doktrin dasar Kristen (meskipun saya tetap tidak setuju dengan beberapa konsepnya tentang metode penginjilan kepada orang non-Kristen—ini bukan hal mutlak/esensial). Bukankah gejala-gejala ini kalau diperhatikan mirip dengan idenya Katolik Roma dahulu? Dahulu, Dr. Martin Luther dikejar-kejar oleh paus dan mau dibunuh mati karena mengadakan reformasi, nah, sekarang, hal serupa bakal terjadi, namun tidak secara langsung. Di dalam kubu Reformed, kalau ada orang yang mereformasi, nanti orang ini dicap pengacau, pemfitnah, dan orang yang tidak mengerti visi, dll. Mengapa beberapa (atau mungkin banyak?) Reformed yang melawan Katolik Roma, akhirnya terakhir mengadopsi pandangan Katolik Roma? Mengapa Reformed jadi kekanak-kanakan seperti ini? Ah, sungguh mengerikan jika Reformed seperti ini. Reformed tidak lagi berjuang menegakkan dan memberitakan Kebenaran sesuai misi dan visi John Calvin dan Puritan yang berdasarkan Alkitab, namun sudah menyeleweng jadi menegakkan dan memberitakan misi dan visi si gembala sidang yang dibalut dengan bungkus “Reformed” di dalamnya.



C. Gerakan Reformed: Panggilan Untuk Menegakkan dan Memberitakan Kebenaran Firman Tuhan Dengan Bijaksana
Jika gerakan Reformed di zaman ini sudah bergerak ke arah ekstrim
di atas, maka bagaimana kita bersikap sebagai orang Reformed yang bijaksana dalam menegakkan dan memberitakan Kebenaran Firman Tuhan bagi zaman kita?
1. Menegakkan Kebenaran Firman Tuhan Dengan Bijaksana
Orang Reformed dipanggil pertama-tama untuk menegakkan Kebenaran Firman Tuhan dengan bijaksana. Saya menggabungkan dua pernyataan, “menegakkan Kebenaran Firman Tuhan” dan “dengan bijaksana.” Apa maksudnya? Maksudnya adalah kita harus menegakkan Kebenaran Firman Tuhan karena kita adalah orang yang beriman kepada Kristus dengan sungguh-sungguh. Iman Kristen tanpa dibangun di atas dasar doktrin/pengajaran yang benar mengakibatkan iman Kristen itu akan luntur diterpa oleh arus zaman. Namun, kita juga harus menegakkan Kebenaran Firman Tuhan DENGAN BIJAKSANA. Artinya, di dalam menegakkan Kebenaran Firman Tuhan, kita harus bijaksana menegakkannya sesuai dengan maksud asli Firman Tuhan, tanpa ditambah-tambahi. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengajar satu prinsip bagus: apa yang mutlak jangan direlatifkan dan apa yang relatif jangan dimutlakkan! Kecenderungan beberapa Reformed yang terlalu kaku seperti yang telah saya kemukakan di atas adalah menambahi ajaran Alkitab dan bahkan memutlakkannya (bahkan mencap bidat bagi mereka yang tidak berkeyakinan Reformed atau tidak melakukan apa yang dilakukan oleh Reformed), seperti doktrin baptisan anak. Alkitab TIDAK pernah satu kali pun melarang baptisan anak dan juga TIDAK pernah satu kali pun memutlakkan baptisan anak. Doktrin baptisan anak di dalam theologi Reformed didasarkan pada theologi kovenan/perjanjian yang ditandai dengan sunat di dalam Perjanjian Lama dan baptisan di dalam Perjanjian Baru. Dengan kata lain, doktrin ini dibangun di atas theologi sistematika, bukan di atas dasar penggalian Alkitab yang eksplisit dan teliti! Dengan demikian, baptisan anak BUKAN hal mutlak! Memutlakkan sesuatu yang TIDAK MUTLAK, bagi saya, adalah tindakan yang tidak bijaksana!


2. Memberitakan Kebenaran Firman Tuhan Dengan Bijaksana
a) Definisi Memberitakan Kebenaran Firman Tuhan
Kita bukan hanya dipanggil menegakkan Kebenaran Firman Tuhan, namun juga memberitakan Kebenaran Firman Tuhan tersebut. Saya mendefinisikan memberitakan Kebenaran Firman Tuhan itu sebagai tindakan menyatakan doktrin yang telah kita tegakkan kepada orang lain melalui perkataan dan perbuatan. Berarti, memberitakan Kebenaran adalah reaksi/aplikasi dari tindakan menegakkan Kebenaran. Menegakkan Kebenaran tanpa mau memberitakan Kebenaran adalah tindakan sia-sia dan konyol, karena Kebenaran itu meskipun ditegakkan tidak berdampak apa pun! Oleh karena itu, Reformed dipanggil juga untuk memberitakan Kebenaran Firman Tuhan.

b) Isi Pemberitaan Kebenaran Firman Tuhan
Lalu, apa yang kita beritakan?
(1) Ajaran Alkitab yang terintegrasi
Isi berita yang kita sampaikan adalah tentunya ajaran Alkitab yang terintegrasi. Kita dipanggil untuk memberitakan Firman Tuhan secara utuh, bukan sebagian (parsial). Pemberitaan firman Tuhan secara utuh dilakukan dengan mengajar Alkitab ayat per ayat, pasal per pasal, beserta aplikasinya di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, khotbah eksposisi lah yang tepat menunjukkan deskripsi di atas. Khotbah eksposisi adalah ciri khas Reformed dimulai dari Dr. John Calvin. Melalui khotbah eksposisi, jemaat dituntut untuk mengerti Alkitab secara menyeluruh. Khotbah eksposisi dilakukan dengan menafsirkan Alkitab secara eksegese (dari dalam ke luar). Dengan kata lain, khotbah eksposisi tidak bisa dilepaskan dari eksegese. Namun, ada juga pendeta Reformed yang ikut-ikutan mempopulerkan khotbah eksposisi, tetapi menggunakan pendekatan filsafat. Meskipun ini hanya menyangkut metode berkhotbah, namun jelas metode seperti itu tidak konsisten dengan makna aslinya (yaitu EKSPOSISI; artinya: penjelasan/menjelaskan). Jika khotbah itu eksposisi, maka tugas si pengkhotbah adalah benar-benar menggali kedalaman ayat Alkitab secara eksegese, bukan dengan pendekatan filsafat apalagi pendekatan melankolis, heheheJ. Saya pribadi menemukan adanya perbedaan pendekatan khotbah eksposisi antara pendekatan Biblika/eksegese dengan pendekatan filsafat. Jika khotbah eksposisi didekati dengan metode filsafat, percayalah, khotbah eksposisi itu pasti membosankan, karena yang ditekankan selalu hal-hal yang sudah dikatakan si pengkhotbah beberapa waktu lalu. Atau dengan kata lain, repetisi/pengulangan pasti muncul di dalam khotbah eksposisi dengan pendekatan filsafat. Namun jika khotbah eksposisi dengan pendekatan eksegese yang teliti dan cermat mungkin mengakibatkan si jemaat pertama-tama bosan, namun jika jemaat itu adalah jemaat yang rajin belajar Alkitab, maka jemaat itu akan menemukan kelimpahan firman Tuhan yang tidak habis untuk digali.

(2) Ajaran primer/mutlak vs ajaran sekunder/relatif
Kedua, kita perlu membedakan mana ajaran yang primer dan sekunder yang perlu kita beritakan. Ajaran yang primer/mutlak harus kita beritakan dengan bertanggungjawab, tegas, dan jelas, tanpa kompromi. Misalnya, Allah Tritunggal, finalitas karya Kristus sebagai Juruselamat, kelahiran, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Kristus ke Sorga, otoritas Alkitab, dll. Semua doktrin dasar ini harus kita beritakan dengan tegas dan tanpa kompromi. Namun, jika menyangkut doktrin/ajaran sekunder/relatif, kita tetap memberitakannya dengan jelas, namun tidak boleh terlalu tegas! Artinya, kita boleh memberitakan ajaran sekunder itu dengan jelas dengan penguraian ayat Alkitab, namun kita harus tetap menghormati mereka yang pandangannya berbeda dari kita. Misalnya, sebagai seorang Reformed, kita memegang mayoritas doktrin akhir zaman: Amillenialisme (meskipun ada juga orang Reformed yang memercayai Premillenialisme dan Postmillenialisme). Nah, kalau kita memegang doktrin Amillenialisme, maka kita tetap perlu menjelaskan doktrin tersebut disertai ayat-ayat Alkitab, namun kita TIDAK perlu mencap bidat bagi mereka yang berkeyakinan Premillenialisme dan Postmillenialisme. Meskipun kita menemukan kelemahan-kelemahan pada ajaran Premillenialisme, Postmillenialisme, bahkan Dispensasionalisme, kita tetap harus menghormati pandangan mereka TANPA mencap mereka sebagai bidat.

c) Unsur-unsur Pemberitaan Kebenaran Firman Tuhan
Lalu, apa saja unsur-unsur yang ada di dalam pemberitaan firman Tuhan tersebut?
(1) Didactive (mengajar)
Pemberitaan Kebenaran Firman Tuhan harus mengajar/didactive. Artinya, di dalam memberitakan Firman Tuhan, kita harus mengajar Firman Tuhan itu. Mari kita perhatikan nasihat Rasul Paulus kepada Timotius ini, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.” (2Tim. 4:2) Bagi Paulus, memberitakan Firman dibarengi dengan tindakan mengajar dan secara otomatis menegur. Mengapa? Karena di dalam pemberitaan firman, si pemberita/pengkhotbah mendapat mandat dari Tuhan untuk mengajar jemaat akan Allah dan firman-Nya. Misalnya, ketika si pengkhotbah memberitakan murka Allah bagi dosa manusia, maka di saat yang sama, si pengkhotbah mengajar jemaatnya tentang murka Allah.

(2) Applicative and affective
Selain mengajar, di dalam pemberitaan Firman Tuhan juga harus ada unsur aplikatif dan afektif. Saya pikir, beberapa Reformed kurang menekankan hal ini. Saya menjumpai ada pendeta Reformed yang berkhotbah selalu ujung-ujungnya filsafat, antitesis Kristen vs dunia, dll, namun sayang KURANG menekankan sisi aplikasi yang praktis dan afektif. Bagi si pendeta, khotbah yang terlalu menekankan aplikasi praktis akan berbahaya bagi jemaat. Hal ini memang BENAR, tetapi hal ini TIDAK boleh diekstrimkan. Hal-hal praktis jika ditekankan terlalu berlebihan memang berbahaya, tetapi tidak berarti tidak perlu ada hal-hal praktisnya. Alkitab sendiri penuh dengan konsep-konsep yang jelas, namun juga penuh dengan aplikasi praktisnya, khususnya dari Tuhan Yesus dan para rasul Kristus. Justru dari hal-hal praktis yang keluar sebagai reaksi/aplikasi dari doktrin/konsep tertentu memberikan teladan bagi si pendengar/penerima untuk mencontoh hal-hal praktis tersebut.

Selain itu, pemberitaan Kebenaran Firman Tuhan juga mengandung unsur afektif. Berarti, pemberitaan Firman Tuhan menyentuh afeksi manusia. Pdt. Billy Kristanto, Ph.D. (Cand.) menjelaskan afeksi sebagai suatu “perasaan” yang berlangsung lama. Afeksi lebih berkaitan dengan urusan hati. Pdt. Joshua Lie, Ph.D. (Cand.) di dalam khotbahnya Jonathan Edwards and John Calvin: TRUE AFFECTIONS and EMBODIED DOCTRINE memaparkan bahwa salah satu ciri khas khotbah Calvin adalah afektif, di mana Firman membawa hati manusia kepada Allah. Berarti, Firman menyentuh kedalaman hati manusia dan membawanya kepada Allah untuk terus-menerus dimurnikan. Khotbah-khotbah seperti ini JARANG kita temui di dalam khotbah-khotbah para hamba Tuhan Reformed (khususnya di Indonesia). Mengapa? Karena yang sering kita jumpai di dalam khotbah Reformed adalah khotbah-khotbah doktrinal yang sering melupakan aspek afeksi. Tidak heran, banyak orang Reformed menjadi sombong dan tidak mau dikoreksi kesalahannya. Atau mungkin sekali kita menemukan khotbah Reformed yang seolah-olah afektif, namun sayangnya, si pengkhotbah sendiri (“Reformed”) TIDAK menjalankan apa yang dikhotbahkan bahkan si pengkhotbah (“Reformed”) dengan berani mengatakan, “Siapa yang berani menegur saya?” Semua ini TIDAK sesuai dengan spirit John Calvin. Kembali, khotbah-khotbah afektif ini (yang mengikuti jejak Calvin) saya jumpai ada pada dua orang hamba Tuhan Reformed: Pdt. Yohan Candawasa, S.Th. dan Pdt. Billy Kristanto, Ph.D. (Cand.)

d) Cara Pemberitaan Kebenaran Firman Tuhan
Terakhir, jika kita sudah mengerti definisi, isi, dan unsur pemberitaan Kebenaran Firman Tuhan, maka kita perlu mengerti caranya memberitakan kebenaran tersebut dengan benar:
(1) Tulus
Cara pertama memberitakan Firman Tuhan adalah tulus. Tulus artinya tidak berpura-pura. Di dalam seluruh motivasi, cara, dan tujuan, si pemberita Firman harus benar-benar tulus, benar-benar ingin memberitakan Firman, bukan dengan maksud lain, misalnya ada perasaan khusus (menaksir) terhadap seseorang yang kita injili/beritakan Firman. Tulus juga harus secara cara kita menyampaikan Firman Tuhan tersebut. Ketika kita memberitakan Firman, benarkah cara kita tulus? Ataukah cara kita busuk dengan mendiskreditkan gereja/aliran lain demi menonjolkan superioritas aliran kita sendiri? Secara tujuan pun kita harus tulus. Apa yang kita mau capai melalui pemberitaan Firman Tuhan? Untuk kepentingan diri atau memuliakan Tuhan? Biarlah kita mengintrospeksi diri kita masing-masing baik kita sebagai orang Kristen Reformed maupun hamba Tuhan Reformed.

(2) Jujur
Selain tulus, kita dituntut untuk jujur di dalam memberitakan Firman. Jujur berarti terus terang, tidak ada tedeng aling-aling. Biasakanlah diri kita memberitakan Firman dengan sejujur mungkin, tanpa menggunakan topeng tertentu untuk berkompromi dengan orang lain. Pdt. Thomy Job Matakupan, M.Div. mengaitkan kompromi dengan ketaatan. Jika taat adalah 100% kebenaran, maka kompromi adalah separuh kebenaran. Saya mengaitkan kompromi dengan kejujuran. Seorang yang jujur adalah seorang yang terus terang dan tentunya tidak berkompromi sedikit pun untuk hal-hal penting/mutlak. Misalnya, ketika hendak mengeksposisi Alkitab dan pas pada waktu hari Minggu itu, nats Alkitab yang dikhotbahkan adalah berkaitan dengan predestinasi, maka si pengkhotbah Reformed harus jujur/terus terang mengungkapkan doktrin predestinasi dengan jelas. Bedanya dengan pengkhotbah yang tidak bertanggungjawab adalah pengkhotbah yang tidak bertanggungjawab tidak berani mengeksposisi Alkitab dan ketika menjumpai ayat-ayat Alkitab yang jelas mengajarkan predestinasi, mereka akan melewatinya untuk “menghindari konflik” atau istilahnya: “mencari aman” agar tidak menyinggung golongan Kristen lain yang tidak memercayai predestinasi. Itulah jiwa ekumenisme (oikumene) “Kristen” yang sedang didengungkan di zaman postmodern ini dan itulah jiwa kompromi yang bertolak belakang dengan kejujuran yang telah saya paparkan di atas.

(3) Kasih
Terakhir, tulus dan jujur mengarahkan kita untuk memberitakan Firman dengan kasih. Kejujuran HARUS disertai dengan kasih. Kita memang harus berterus terang di dalam memberitakan Firman, tetapi sampai di mana batas kita berterus terang? Apakah kita berterus terang sampai kita menyinggung orang lain? Jelas TIDAK! Kita perlu berterus terang sejauh itu dilandasi KASIH! Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. di dalam salah satu khotbahnya yang pernah saya dengar ketika mengeksposisi 1 Korintus 8:1-3 di Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya pernah menyatakan bahwa orang Reformed terlalu banyak menekankan pengetahuan dan kurang menekankan kasih. Saya mengaminkan pernyataan ini. Sering kali orang Reformed ribut berdebat dan mengkritik ajaran yang salah, namun sayang tidak didasari oleh kasih, tetapi kebencian terselubung. Baginya, orang non-Reformed dianggap “musuh” yang harus disikat bahkan dikalahkan. Model Reformed seperti ini, saya percaya, bukan spiritnya John Calvin dan Puritan. Lalu, bagaimana sikap kita seharusnya? Kita harus mengasihi orang lain, namun kasih ini harus didasarkan pada Kebenaran Firman. Kepada orang yang berpandangan Arminian, Baptis, Methodis, Pentakosta, Karismatik, dan bahkan Katolik, kita harus mengasihi saudara seiman kita di dalam Kristus, meskipun berbeda pandangan. Wujud kasih kita itu ditandai BUKAN dengan mengkompromikan iman kita, tetapi justru dengan memberitakan kebenaran Firman Tuhan agar mereka juga boleh dicerahkan hati dan pikirannya seperti kita. Inilah yang saya terus jalankan. Ketika kita mau berbagi pandangan doktrin dengan orang-orang non-Reformed, pandanglah orang non-Reformed itu sebagai saudara seiman kita yang perlu dikasihi, bukan sebagai “musuh.”

Bagaimana dengan kita yang mengaku diri Reformed? Apakah kita masih memiliki kasih di dalam memberitakan Firman Tuhan? Ataukah kasih kita telah menjadi pudar karena kesombongan pengetahuan doktrinal yang kita pelajari? Berhati-hatilah, jangan sampai iblis memakai pengetahuan yang kita miliki untuk menyombongkan diri!


Setelah kita merenungkan gerakan Reformasi dan Reformed baik di zaman dahulu maupun di zaman sekarang, apa yang menjadi respons kita? Apakah kita mengikuti jejak Reformed di zaman dahulu yang setia kepada Kebenaran ataukah kita mengikuti jejak beberapa “Reformed” di zaman sekarang yang terlalu ekstrim: kompromi dan kaku? Biarlah Tuhan sendiri mencerahkan hati dan pikiran kita agar kita makin mencintai firman-Nya sungguh-sungguh lebih dari mencintai golongan/theologi apa pun. Amin. Soli Deo Gloria.


Ecclesia Reformata Semper Reformanda
(gereja-gereja Reformed harus terus-menerus di-Reformed-kan)



Catatan kaki:
[1] New International Version Spirit of the Reformation Study Bible (U.S.A.: Zondervan, 2003), hlm. 1870.
[2] Mark Shaw, Sepuluh Pemikiran Besar dari Sejarah Gereja, terj. The Boen Giok (Surabaya: Momentum, 2003), hlm. 25
[3] Ibid., hlm. 24.
[4] http://en.wikipedia.org/wiki/John_Calvin
[5] David W. Hall, Warisan John Calvin: Pengaruhnya Di Dunia Modern, terj. Lanna Wahyuni (Surabaya: Momentum, 2009), hlm. 43-44.
[6] http://en.wikipedia.org/wiki/John_Calvin
[7] David W. Hall, Warisan John Calvin: …, hlm. 44.
[8] http://en.wikipedia.org/wiki/John_Calvin
[9] David W. Hall, Warisan John Calvin: …, hlm. 46.
[10] http://en.wikipedia.org/wiki/John_Calvin
[11] David W. Hall, Warisan John Calvin: …, hlm. 45.
[12] http://en.wikipedia.org/wiki/John_Calvin
[13] http://en.wikipedia.org/wiki/John_Calvin dan David W. Hall, Warisan John Calvin: …, hlm. 51.
[14] http://en.wikipedia.org/wiki/John_Calvin
[15] Mark Shaw, Sepuluh Pemikiran Besar dari Sejarah Gereja, hlm. 51-52 dan David W. Hall, Warisan John Calvin: …, hlm. ix, 53-54, 56.
[16] David W. Hall, Warisan John Calvin: …, hlm. 61.
[17] http://en.wikipedia.org/wiki/John_Calvin dan David W. Hall, Warisan John Calvin: …, hlm. ix, 54.
[18] David W. Hall, Warisan John Calvin: …, hlm. 63.
[19] Ibid., hlm. 4-5, 66.
[20] Mark Shaw, Sepuluh Pemikiran Besar dari Sejarah Gereja, hlm. 52.
[21] http://en.wikipedia.org/wiki/John_Calvin
[22] John M. Frame, Cornelius Van Til: Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya (Surabaya: Momentum, 2002), hlm. 24-25.
[23] David W. Hall, Warisan John Calvin: …, hlm. 66.
[24] John M. Frame, Cornelius Van Til: …, hlm. 24-25.
[25] Fundamentalisme sebagai sebuah gejala historis adalah suatu ekspresi Kekristenan secara unik pada abad ke-20 di Amerika sebagai reaksi terhadap serangan “theologi” liberal yang meracuni Kekristenan pada waktu itu dan juga ilmu pengetahuan (yaitu teori evolusi dari Charles Darwin). Keunikan Fundamentalisme ini adalah kesatuan Kekristenan dari berbagai aliran theologi, yaitu: Calvinis, Arminian, Baptis, dan Presbyterian dalam memerangi “theologi” liberal dengan menetapkan dasar-dasar iman Kristen melalui satu seri buku yang terdiri dari 12 jilid yang berjudul The Fundamentals pada tahun 1909. Dasar-dasar iman Kristen yang ditekankan tersebut di antaranya: inspirasi Alkitab dari Roh Kudus (dan ketidakbersalahan Alkitab), kelahiran Kristus dari anak dara Maria, kematian Kristus adalah penebusan bagi dosa, kebangkitan Kristus secara badani, realitas historis dari mukjizat-mukjizat Kristus. Prof. Harvie M. Conn, Litt.D. memaparkan kelemahan Fundamentalisme di antaranya: berakibat pada gerakan pietistik baru (dan menuntut perfeksionis), pengaruh Dispensasionalisme (ajaran Akhir Zaman yang mengajarkan adanya pengangkatan gereja secara rahasia sebelum masa kesusahan besar di akhir zaman dan Kerajaan 1000 Tahun itu sungguh-sungguh terjadi selama 1000 tahun setelah kedatangan Kristus kedua kalinya, di mana pada saat itu, iblis baru dikalahkan), dan kekurangtepatan menetapkan formulasi yang tepat bagi iman Kristen yang berdasarkan Alkitab. (Harvie M. Conn, Teologia Kontemporer, terj. Lynne Newell {Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2008}, hlm. 178-180 dan http://en.wikipedia.org/wiki/Fundamentalism)
[26] Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism: Pengantar untuk Memahami Postmodernisme dan Peluang Penginjilan Atasnya, terj. Wilson Suwanto (Yogyakarta: ANDI, 2001), hlm. 14-17.

Resensi Buku-81: WHO MADE GOD? (editor: Ravi Zacharias, D.D., LL.D. dan Prof. Norman L. Geisler, Ph.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
WHO MADE GOD?
(SIAPA YANG MENCIPTA ALLAH):
Jawaban-jawaban untuk Pertanyaan-pertanyaan Sulit tentang Iman


editor: Ravi Zacharias, D.D., LL.D. dan Prof. Norman L. Geisler, Ph.D.

Penerbit: Pionir Jaya, 2009

Penerjemah: Handy Hermanto





Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio:
Iman adalah hal yang sangat esensial di dalam hidup manusia. Iman menentukan pola pikir, perasaan, perkataan, dan tingkah laku. Lalu, iman seperti apakah yang beres dan berkenan di hadapan-Nya? Di dunia postmodern yang kita hidupi ini, kita menjumpai beraneka ragam model iman. Tugas kita khususnya sebagai orang Kristen adalah memilih iman yang bertanggungjawab dan beres di hadapan-Nya. Lalu, kita wajib mempertahankan iman yang bertanggungjawab tersebut di tengah dunia. Nah, iman yang beres dan bertanggungjawab seharusnya adalah iman yang datang dari Allah si Pemberi iman. Iman apakah itu? Iman Kristen. Bagaimana kita tahu bahwa iman Kristen satu-satunya iman yang bertanggungjawab yang datang dari Allah? Di dalam bukunya Who Made God? di bagian pertama para kontributor (Prof. Norman L. Geisler, Ph.D.; Prof. Ronald Rhodes, Ph.D.; Prof. William Lane Craig, Ph.D., D.Theol.; dan Rev. Lee Strobel) memaparkan pertanyaan dan jawaban berkaitan dengan keunikan dan finalitas iman Kristen: keberadaan Allah, Allah Tritunggal, Allah dan kejahatan, asal usul alam semesta, hari-hari Penciptaan di dalam kitab Kejadian, pribadi dan karya Tuhan Yesus, dan ketidakbersalahan Alkitab.

Lalu, bagaimana iman Kristen memandang iman kepercayaan lain? Di dalam bagian dua, melalui dua bab terakhir, L. T. Jeyachandran memaparkan beraneka ragam iman kepercayaan lain (yang mayoritas dari dunia Timur), seperti Hinduisme, Buddhisme, Meditasi Transendental, Yoga, Reinkarnasi, Mormonisme, Gerakan Zaman Baru, dll.






Profil Editor dan Para Kontributor:
Ravi Zacharias, D.D., LL.D. lahir di Madras, India tahun 1946. Beliau dikenal sebagai seorang apologetika Kristen dari Kanada, Amerika. Beliau dan keluarganya pindah ke Toronto, Kanada, ketika beliau masih sebagai seorang remaja, tetapi sekarang beliau berada di Atlanta, Georgia. Beliau terlahir dari keluarga pandita Hindu (kasta Nambudiri Brahmin), kemudian beliau bertobat kepada Tuhan Yesus dan menyerahkan diri menjadi hamba-Nya yang setia. Beliau pindah ke Kanada pada tahun 1966. Beliau mendapatkan gelar Master of Divinity (M.Div.) dari Trinity International University di Deerfield, Illinois. Beliau menguasai banyak disiplin ilmu, di antaranya perbandingan agama, aliran agama, dan filsafat, dan oleh karena itu beliau memimpin departemen Penginjilan dan Pemikiran Kontemporer di Alliance Theological Seminary selama 3,5 tahun. Beliau mendapatkan anugerah gelar Doctor of Divinity (D.D.) baik dari Houghton College, NY maupun dari Tyndale College and Seminary, Toronto. Beliau juga dianugerahi gelar Doctor of Laws (LL.D.) dari Asbury College di Kentucky. Beliau juga melakukan studi khusus mengenai para pujangga Inggris aliran Romantisme di Cambridge University, U.K. Beliau sekarang menjadi dosen tamu di Wycliffe Hall, Oxford University di Oxford, England.
Beliau juga menjadi pembicara utama pada the
National Day of Prayer di Washington, D.C. dan the Annual Prayer Breakfast for the United Nations di New York City. Beliau telah menulis beberapa buku tentang Kekristenan, di antaranya, Can Man Live Without God? (1994), The Lotus and the Cross: Jesus Talks with Buddha (2001), and Sense and Sensuality: Jesus Talks with Oscar Wilde (2002), Cries of the Heart, Recapture The Wonder, dan Deliver Us From Evil. Selain itu, beliau juga adalah Presiden Direktur dari Ravi Zacharias International Ministries yang berpusat di Norcross, Georgia. Pada tahun 2009 ini, pelayanan beliau telah mencapai lebih dari 36 tahun. Beliau telah berceramah lebih dari 50 negara, termasuk di universitas-universitas terkemuka, seperti: Harvard dan Princeton. Program mingguannya di radio Let My People Think disiarkan di lebih dari 550 stasiun radio di seluruh dunia.
Pada undangan dari Billy Graham, beliau menjadi pembicara pleno di dalam International Conference for Itinerant Evangelists di Amsterdam pada tahun 1983, 1986, dan 2000. Beliau bersama istri, Margie, memiliki tiga orang anak, yaitu; Sarah, yang menikah dengan Jeremy, Naomi, dan Nathan.

Prof. Norman L. Geisler, Ph.D. adalah Presiden dari Southern Evangelical Seminary. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) dan Master of Arts (M.A.) dari
Wheaton College; Bachelor of Theology (Th.B.) dari William Tyndale College; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam bidang filsafat dari Loyola University. Beliau adalah salah satu penandatangan 1978 Chicago Statement on Biblical Inerrancy. Beliau juga menulis banyak buku yang berkaitan dengan apologetika.

Prof. William Lane Craig, Ph.D., D.Theol. adalah Research Professor of Philosophy di Talbot School of Theology, La Mirada, California, U.S.A. Beliau menyelesaikan studi B.A. di Wheaton College; M.A. di Trinity Evangelical Divinity School; Ph.D. di the University of Birmingham, England; dan Doctor of Theology (D.Theol.) di University of Munich, Germany. Beliau menulis dan menjadi editor lebih dari 30 buku, termasuk: he Kalam Cosmological Argument; Assessing the New Testament Evidence for the Historicity of the Resurrection of Jesus; dll.

Prof. Ronald Rhodes, Th.D. adalah Presiden dari Reasoning from the Scriptures Ministries (pelayanan non-profit) dan mengajar cult dan apologetics di Veritas Evangelical Seminary (Murrieta, California), Dallas Theological Seminary, Talbot Seminary, Biola University (La Mirada, California), dan seminari terkenal lainnya. Beliau menyelesaikan studi B.A. di Houston Baptist University; Master of Theology (Th.M.) dan Doctor of Theology (Th.D.) di Dallas Theological Seminary, U.S.A.

Lawrence Theodore Jeyachandran berasal dari Tamil Nadu, South India. Sejak Januari 2001, beliau menjabat sebagai Direktur Eksekutif dari Ravi Zacharias International Ministries (Asia-Pasifik). Beliau juga dosen di Oxford Center for Christian Apologetics. Beliau adalah alumni dari PSG College of Technology yang berafiliasi dengan University of Madras (Chennai) dan kemudian menyelesaikan studi Master of Technology dalam bidang Structural Engineering dari Indian Institute of Technology (IIT) di Chennai. Beliau pernah bekerja selama 28 tahun sebagai Senior Civil Engineer dengan Pemerintahan Pusat (Federal).

Rev. Lee Strobel adalah mantan atheis dan menyelesaikan studi Master of Studies in Law di Yale Law School. Saat ini beliau adalah teaching pastor di Saddleback Valley Community Church, Orange County, CA dan dewan pendiri dari the Willow Creek Association. Beliau telah menulis banyak buku, termasuk the Gold Medallion winners
The Case for Christ and The Case for Faith, God’s Outrageous Claims and What Jesus Would Say, Experiencing the Passion of Jesus: A Discussion Guide on History's Most Important Event, dll. Beliau juga menjadi pemandu acara Defining Moments, sebuah jurnal radio untuk para pemimpin Kristen.

18 October 2009

Roma 16:13: SALAM KEPADA SAUDARA SEIMAN-6: Rufus

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-12


Salam Kepada Saudara Seiman-6: Rufus

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 16:13



Sebagai tiga ayat terakhir mengenai salam dari Paulus ini, pada saat ini, kita hanya akan mencoba menelusuri sosok Rufus di ayat 13. Paulus menjelaskan bahwa Rufus ini adalah, “orang pilihan dalam Tuhan” Siapa Rufus sebenarnya? Menurut Vincent’s Word Studies (VWS), nama Rufus berarti red (merah). Beberapa tafsiran Alkitab yang saya baca mengidentikkan Rufus ini sebagai anak dari Simon dari Kirene yang membantu Tuhan Yesus memikul salib (bdk. Mrk. 15:21). VWS dan NIV Spirit of the Reformation Study Bible menafsirkan bahwa mungkin sekali Injil Markus ditulis dari Roma, sehingga ada korelasi antara Rufus dengan Simon Kirene tersebut. Lalu, ia disebut Paulus sebagai orang pilihan dalam Tuhan (King James Version dan New International Version menerjemahkannya chosen in the Lord; artinya: dipilih di dalam Tuhan). Apa arti sebutan ini? Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible menafsirkan bahwa Rufus adalah seorang percaya yang terpilih di dalam Kristus atau orang Kristen yang sangat baik/luar biasa (excellent Christian). Apa yang menjadi kriteria sehingga Rufus disebut sebagai orang Kristen yang sangat baik? Matthew Henry di dalam tafsirannya Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible menjelaskannya, “He was one of a thousand for integrity and holiness.” (=Dia adalah salah satu dari ribuan orang yang memiliki integritas dan kekudusan.) Integritas dan kekudusan adalah kriteria Rufus dikatakan sebagai orang percaya pilihan. Apakah berarti ada orang percaya yang tidak dipilih? Pilihan di sini menunjukkan kemenonjolan seorang percaya di dalam hidup kesehariannya. Mengikuti alur pikiran Dr. John Gill di dalam tafsirannya tersebut, semua orang percaya tentu adalah umat pilihan Allah yang memiliki beraneka ragam tingkatan iman, ada yang memiliki iman yang kuat, lemah, dll. Nah, Rufus dinilai Paulus sebagai orang percaya pilihan/khusus karena integritas dan kekudusannya. Dari sini, kita belajar dua hal:

Pertama, pribadi Rufus. Rufus disebut sebagai seorang memiliki integritas dan kesucian/kekudusan. Integritas adalah suatu kata yang sangat asing didengar oleh orang Kristen dewasa ini. Mengapa? Karena banyak orang Kristen dewasa ini sudah tidak lagi memiliki integritas. Tidak sedikit kita menjumpai banyak orang Kristen yang rela berkompromi demi uang/harta, takhta/kedudukan sosial, dan wanita/lawan. Kompromi itu bisa meliputi kompromi iman, kompromi karakter, kompromi sikap, dll. Kedaulatan Allah tidak lagi dihargai dan dijunjung tinggi oleh banyak orang Kristen. Ini membuktikan orang Kristen zaman ini sudah banyak yang kurang bahkan tidak memerdulikan integritas sebagai pengikut Kristus. Dengan kata lain, kita sedang menghadapi krisis integritas. Maka kita perlu mempelajari pribadi Rufus yang memiliki integritas. Rufus yang adalah orang Roma tentu mengalami banyak tantangan karena imannya, namun ia memiliki integritas yang murni di hadapan Tuhan, sehingga Paulus menghormatinya. Kedua, kekudusan. Bukan hanya integritas, Rufus dikatakan sebagai orang yang suci/kudus. Suci di sini tentu bukan hanya secara status, tetapi juga secara kondisi. Selain berintegritas, Rufus memiliki kesucian hidup. Tidak banyak orang di zamannya mungkin yang bisa seperti Rufus, apalagi dibandingkan dengan banyak orang Kristen zaman sekarang. Ia bukan hanya tidak berkompromi dan memiliki ketegasan, tetapi juga ketegasan dan ketidakkompromiannya itu ditambahi dengan kekudusan hidup yang ia pertahankan di hadapan Tuhan. Sosok Rufus mengajar kita bagaimana menjadi orang Kristen yang beres dan berkenan di hadapan Tuhan. Sebagai pengikut Kristus, kita dituntut berintegritas dan hidup kudus. Berintegritas berarti kita membangun suatu karakter dan sikap hati yang memuliakan Allah di dalam setiap aspek kehidupan, yaitu: tegas, jujur, bisa dipercaya, hidup utuh/menyeluruh (tidak terbagi-bagi), tulus, dll. Hidup yang berintegritas akan mengakibatkan orang lain yang melihat hidup kita akan memuliakan Allah. Selain berintegritas, kita dituntut hidup kudus. Berarti, integritas harus diimbangi dengan kekudusan. Mengapa harus ditambahi/diimbangi dengan kekudusan? Karena tanpa kekudusan, orang dunia pun bisa melakukan semua hal yang termasuk integritas tersebut. Jangankan orang Kristen, orang dunia pun ada yang mampu melakukan hal-hal yang termasuk integritas tersebut atau menjadi orang berintegritas (meskipun tidak bisa 100% sempurna). Namun, orang dunia yang berintegritas tak bisa benar-benar berintegritas murni, mengapa? Karena integritas yang mereka bangun tidak didasarkan pada dasar iman yang benar. Inilah superioritas Kekristenan. Kekristenan mendasarkan integritas bukan pada kehebatan manusia, tetapi kesucian Allah. Seorang Kristen sejati yang dipenuhi kesucian Allah akan mampu melakukan hidup berintegritas dengan kesucian. Ia tidak akan bermain-main atau hanya sekadar gagah-gagahan berintegritas supaya dilihat orang banyak, tetapi ia berintegritas demi kesucian dan kemuliaan Allah saja. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita hidup berintegritas didasarkan pada dan bertujuan demi kesucian Allah? Biarlah pribadi Rufus menjadi pelajaran bagi kita saat ini.

Kedua, penilaian Paulus terhadap Rufus. Paulus menilai Rufus sebagai seorang pilihan dalam Tuhan. Saya percaya bahwa penilaian ini tidak disampaikan Paulus secara gegabah, tetapi dengan penilaian yang tajam dari seorang rasul Kristus. Di sini, kita belajar kriteria penilaian Paulus. Ia menilai seorang yang melayani Tuhan bukan dengan penilaian manusiawi biasa, tetapi dengan penilaian sorgawi/dari sudut pandang Allah. Paulus tidak menyebut Rufus sebagai seorang pilihan dalam Tuhan karena keaktifan Rufus melayani Tuhan atau kehebatan Rufus dalam menguasai theologi. TIDAK! Paulus menilai Rufus dari iman, kerohanian, karakter, dan sikap hidup Rufus. Dengan kata lain, sebelum Paulus menilai Rufus dan menyebutnya sebagai seorang pilihan dalam Tuhan, Paulus telah banyak berinteraksi dengan Rufus. Itulah hamba Tuhan sejati, apalagi sebagai gembala jemaat yang seharusnya mempedulikan jemaat-jemaat. Sayang sekali, banyak gereja Kristen sudah melupakan fungsi penggembalaan. Ada gereja Kristen yang sibuk mengajar doktrin, tetapi lupa menggembalakan, lalu gembala sidangnya berdalih bahwa ia tidak bisa menggembalakan atau dalihnya bahwa jika jemaat terlalu diperhatikan, nanti bisa manja. Ada juga gereja Kristen yang sibuk mengadakan kebaktian-kebaktian sini sana, tetapi lupa mengajar doktrin dan menggembalakan, sehingga jemaat-jemaatnya lebih mementingkan ikut dalam kebaktian sini sana ketimbang belajar firman apalagi bersekutu dengan saudara seiman lainnya. Penilaian Paulus ini seharusnya menjadi pelajaran bagi para gembala sidang yang seharusnya bertugas menggembalakan jemaat, bukan hanya mengajar jemaat. Gereja yang sehat adalah gereja yang mengintegrasikan pengajaran doktrin, pekabaran Injil, dan penggembalaan. Saya melihat hal ini secara konsep (dan praktik) sudah, sedang, dan akan ditegakkan oleh Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. yang menggembalakan Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya dengan semboyannya, “Care, Teaching, Mission” Ev. Yakub Tri Handoko pernah berkata kepada saya bahwa penggembalaan bukan hanya di mimbar khotbah, tetapi juga di dalam lingkungan keluarga, sehingga antara teori dan praktik berjalan secara menyeluruh, bukan parsial/sebagian. Tidak heran, Ev. Yakub Tri Handoko sebagai gembala sidang banyak mengetahui pribadi jemaat-jemaat maupun partisipan gerejanya. Bahkan beliau juga mengetahui karakter dan tingkat kerohanian masing-masing jemaatnya. Bagaimana dengan Anda sebagai gembala sidang? Apakah Anda sibuk dengan organisasi gereja yang Anda layani/urus lalu meninggalkan tugas penggembalaan yang harus Anda lakukan sebagai gembala sidang? Biarlah ini menyadarkan Anda.

Bukan hanya terhadap Rufus, Paulus juga begitu memperdulikan ibu Rufus, sampai-sampai Paulus mengatakan bahwa ibu Rufus adalah ibu bagi Paulus. Terjemahan Indonesia kurang enak dibaca. International Standard Version (ISV) dan New International Version (NIV) menerjemahkannya, “and his mother, who has been a mother to me, too.” (=dan ibunya, yang telah menjadi ibu bagi saya, juga.) NIV Spirit of the Reformation Study Bible menafsirkan bahwa pernyataan Paulus ini menginsyaratkan bahwa Paulus mengekspresikan afeksi yang mendalam bagi keluarga Rufus. Berarti ada ikatan batin antara Paulus dan keluarga Rufus. Dari sini, kita juga belajar hal lain tentang sosok Paulus. Paulus bukan hanya dikenal sebagai theolog dan penginjil, namun juga sebagai seorang gembala yang memperhatikan kehidupan jemaat yang digembalakannya. Sebagai gembala, ia memperhatikan jemaatnya bahkan sampai kehidupan keluarganya. Hal ini jarang kita jumpai di banyak gereja Kristen saat ini. Beberapa atau mungkin banyak hamba Tuhan (termasuk gembala sidang) lebih suka mengajar doktrin dan/atau memberitakan Injil ketimbang menggembalakan. Mereka gemar berdebat theologi dengan orang lain, namun sebagai gembala, mereka tidak tahu-menahu jemaatnya apalagi kehidupan keluarga dari jemaatnya. Kembali, hal ini mengingatkan Anda sebagai gembala sidang. Apakah tugas Anda sebagai gembala yang seharusnya menggembalakan jemaat sudah Anda lakukan dengan baik? Ataukah Anda berdalih bahwa Anda tidak bisa menggembalakan, lalu menggunakan argumentasi “logis” bahwa jemaat yang terlalu banyak diperhatikan nanti bisa manja?


Biarlah ayat 13 tentang sosok Rufus dan penilaian Paulus terhadap Rufus ini menjadi renungan bagi kita sebagai orang Kristen dan Anda sebagai gembala sidang/jemaat. Kiranya Tuhan memampukan kita dengan kuasa-Nya di dalam melayani-Nya lebih bertanggungjawab dan sungguh-sungguh demi hormat dan kemuliaan nama-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.