03 July 2009

Renungan Memperingati 500 tahun Dr. John Calvin: REFORMED or REFORMING? (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Memperingati 500 Tahun Dr. John Calvin



REFORMED or REFORMING?:
Theologi Reformed dan Sola Scriptura


oleh: Denny Teguh Sutandio




“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”
(Rm. 11:36)

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.”
(2Tim. 3:16)



Roma 11:36 merupakan konklusi terakhir dari seluruh penjelasan doktrinal Rasul Paulus tentang konsep dosa, keselamatan, dan anugerah Allah dari pasal 1 s/d 11. Konklusi ini bukan sekadar konklusi biasa, namun konklusi yang dahsyat dan terpenting di dalam iman Kristen yang menunjukkan bahwa Kekristenan didasarkan bukan pada iman yang berpusat kepada diri, tetapi kepada PRIBADI Allah yang menciptakan, memelihara, dan menyempurnakan segala sesuatu demi hormat dan kemuliaan nama-Nya sendiri. Agama, iman, dan theologi yang berpusat kepada Allah mengakibatkan seluruh pola pikir, kerohanian, karakter, perkataan, dan sikap hidupnya BERBEDA dari konsep dunia berdosa. Lalu, bagaimana caranya kita memiliki agama, iman, dan theologi yang hanya berpusat kepada Allah? Pertama, tidak ada jalan lain, HANYA melalui anugerah Allah, kita dimampukan untuk beriman dan membangun dasar iman dan theologi yang berpusat kepada Allah. Anugerah Allah yang memampukan itu juga menggunakan sarana tertulis sebagai pedoman bagi kita untuk beriman dan memusatkan iman kita HANYA pada Allah saja. Sarana tertulis itu adalah Alkitab. Di dalam Perjanjian Lama, hal itu ditunjukkan melalui diwahyukannya Taurat Musa dan Kitab Para Nabi. Dan Tuhan Yesus sendiri mengakui otoritas Perjanjian Lama tersebut (Mat. 5:17-48). Setelah itu, Roh Kudus mengilhami para rasul Kristus untuk menuliskan wahyu Allah (2Tim. 3:16; 2Ptr. 1:20-21). Wahyu tersebut dikanonisasikan menjadi 27 kitab di dalam Perjanjian Baru. Setelah PL dan PB ini selesai dikanosisasikan, maka Allah berfirman, “Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini.” (Why. 22:18-19) Ada yang menafsirkan bahwa kedua ayat ini hanya berlaku untuk kitab Wahyu. Memang secara konteks, kedua ayat ini berlaku untuk Kitab Wahyu, namun jika kita mempercayai integrasi Alkitab, maka kita percaya bahwa kedua ayat ini juga berlaku untuk seluruh Alkitab. Dengan kata lain, selesai Kitab Wahyu ditulis sebagai akhir dari keseluruhan Alkitab baik PL maupun PB, maka sebagai orang Kristen yang BERES, kita TIDAK lagi mempercayai adanya “wahyu baru” dari “Allah.” Itu sebabnya, TIDAK ada satu otoritas pribadi, theologi, atau apa pun juga yang LAYAK menggantikan otoritas Alkitab.


Ini yang ditegaskan sejak zaman reformator Dr. Martin Luther dengan semboyannya Sola Scriptura (hanya Alkitab). Kemudian semangat ini diteruskan oleh para penerusnya, Ulrich Zwingli, Philip Melanchton, Dr. John Calvin, Dr. Theodore Beza, dll. Khususnya melalui Dr. John Calvin, semangat ini diteruskan dengan begitu ketat melalui bukunya Institutes of the Christian Religion. Pdt. Dr. Stephen Tong memaparkan bahwa di dalam buku ini, Dr. Calvin mengutip kira-kira 6000 ayat Alkitab dengan prinsip terintegrasi antara PL dan PB. Ini sebenarnya jiwa Reformasi yang sebenarnya, bukan hanya slogan mati semata! Jiwa Calvin mengakibatkan semua penerusnya memegang teguh Alkitab sebagai satu-satunya fondasi kebenaran yang mutlak dan final. Hal ini bisa terlihat melalui 3 hal. Pertama, kesungguhan kaum Puritan yang dipengaruhi Calvinisme/Reformed dalam menyelidiki Alkitab. Kedua, pengakuan iman gereja Reformed baik Katekismus Heidelberg, Pengakuan Iman Westminster, Pengakuan Iman Belgia, dll yang menegaskan otoritas Alkitab. Selain itu, hal ini juga terlihat dengan kegigihan para theolog, apologet, dan hamba Tuhan Reformed menegakkan Kekristenan orthodoks (BUKAN aliran Orthodoks Syria!) di tengah kondisi zamannya yang dipengaruhi oleh filsafat Rasionalisme ala Abad Pencerahan. Dr. Francis A. Schaeffer, Dr. J. Gresham Machen, Dr. Cornelius Van Til, dll dibangkitkan oleh Tuhan sebagai para pembela kebenaran Alkitab di tengah dunia mereka yang sudah dikuasai iblis. Namun sayang, Reformed yang dulu yang memegang teguh Sola Scriptura telah luntur dimakan oleh arus zaman. Gereja-gereja Reformed yang dulu kuat memegang teguh Sola Scriptura kemudian merosot. Hal ini ditandai dengan dua hal. Pertama, munculnya Karl Barth dengan theologi Neo-Orthodoksnya. Barth melalui buku tafsiran Surat Roma yang ditulisnya pada tahun 1919 mengikis habis otoritas Alkitab dengan pengajaran ide bahwa Alkitab baru menjadi firman Allah jika itu menyentuh (perasaan) kita. Meskipun ada beberapa konsep Barth yang cukup baik untuk kita pelajari, namun konsep ini sebenarnya memiliki bahaya yang sangat fatal. Barth tidak menyetujui liberalisme dari guru-guru mereka, tetapi secara berkontradiksi, Barth sebenarnya menegakkan model baru dari liberalisme (saya menyebutnya: half-liberalism). Konsep Barthianisme ini berkembang bukan hanya di gereja (yang berTRADISI) Reformed yang makin lama makin meninggalkan otoritas Alkitab, namun juga di gereja-gereja non-Reformed. Di sebuah milis Kristen, saya berkenalan dengan seorang pemimpin gereja dari gereja Protestan arus utama (gereja ini mengklaim berTRADISI Reformed), namun ia marah-marah ketika saya melabeli Barth dengan Neo-Orthodoks. Sepanjang diskusi dengan si pemimpin gereja ini, dia pernah mengatakan bahwa otoritas utamanya bukan lagi Alkitab, tetapi Kristus. Bagi si pemimpin gereja ini, segala sesuatu harus berpusat kepada Kristus. Hal ini tidak salah, namun ada keanehan dan kekontradiksian konsep ini. Dari konsep ini, saya menemukan dua kelemahan, yaitu:
Pertama, secara tidak langsung (atau bahkan langsung), dia sudah mendualismekan Alkitab dan Kristus. Bagi dia, Alkitab tidak sempurna dan Kristus lebih sempurna. Memang benar bahwa Kristus lebih sempurna dari Alkitab (Alkitab TIDAK mungkin sempurna menggambarkan keagungan Kristus), tetapi saya menangkap ada kejanggalan presuposisi. Dia mengatakan hal ini didasarkan pada konsep/iman bahwa Alkitab bukan firman Allah! Benarkah Alkitab sendiri mengajarkan bahwa Alkitab bukan firman Allah? Bagaimana dengan 2 Timotius 3:16 dan 2 Petrus 1:20-21? Bagaimana pula dengan legitimasi Tuhan Yesus terhadap otoritas kanonisasi Perjanjian Lama? Apakah itu bukan firman Allah? Jika demikian, siapa yang lebih berotoritas menetapkan mana yang merupakan firman Allah: Roh Kudus sebagai Pengwahyu atau si pemimpin gereja ini?!
Kedua, jika otoritas utamanya adalah Kristus, tolong tanya, dari mana dia bisa mengenal Pribadi dan karya Kristus jika bukan dari Alkitab? Memang kita bisa menyebut dan mengaku Kristus sebagai Tuhan adalah karena pekerjaan Roh Kudus, namun untuk mengenal lebih dalam lagi akan pribadi dan karya Kristus, kita membutuhkan wahyu-Nya, Alkitab. Melalui Alkitab, kita mengamini akan perkataan Kristus bahwa Ia adalah satu-satunya jalan dan kebenaran dan hidup, tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa jika tidak melalui-Nya (Yoh. 14:6). Melalui Alkitab, kita juga mengenal Kristus sebagai Pribadi Allah kedua dari Trinitas yang mengadakan mukjizat-mukjizat, memberitakan Injil, dan mengusir setan. Jika bukan dari Alkitab, bisakah kita mengenal pribadi dan karya Kristus dengan lengkap? Atau sudah pintarkah kita dari Alkitab dalam mengenal pribadi dan karya Kristus? Sebagai refleksi, hal ini sekaligus membedakan dua jenis orang (meskipun mengklaim “pemimpin gereja”): orang pertama adalah orang yang rendah hati dan taat mau dibentuk oleh firman Tuhan (2Tim. 3:16). Orang pertama ini seharusnya menjadi sikap hati dan hidup orang-orang yang telah ditebus oleh Kristus. Namun orang kedua adalah orang yang merasa dirinya pintar dan berani mengkritisi firman-Nya. Orang model kedua ini tentu bukanlah ciri anak Tuhan sejati, karena di titik pertama, ia sudah menjadi penghakim bagi firman-Nya. Dengan kata lain, ia lebih berotoritas bahkan dari Allah sekalipun.

Konsep Barthianisme ini juga mempengaruhi gereja-gereja non-Reformed, yaitu mayoritas gereja kontemporer pop zaman ini yang membedakan logos dengan rhema (padahal kedua kata Yunani ini sama artinya dan penggunaannya dipakai secara silih berganti di Alkitab) dan lebih mementingkan rhema. Tidak heran, sebagian besar mereka yang memutlakkan rhema ketimbang logos lebih mementingkan pengalaman pribadi dekat dengan Tuhan ketimbang harus belajar menggali Alkitab. Meskipun konsep ini ada kelemahannya, yaitu pengalaman TIDAK bisa dijadikan standar mengukur kebenaran dan iman seseorang, namun sebenarnya konsep ini pun menjadi teguran bagi kita khususnya yang bertheologi Reformed. Orang non-Reformed meskipun tidak mengerti Reformed sesungguhnya tetap dipakai Tuhan untuk menyadarkan kita bahwa pengetahuan akan Allah bukan semata-mata kognitif saja, tetapi juga menyentuh ke segala bidang, bahkan termasuk pengalaman rohani dan sikap yang mau taat. Mari kita kembali kepada semangat bapak pendiri theologi Reformed, yaitu Dr. John Calvin. Dr. John Calvin sendiri di dalam bukunya Institutes of the Christian Religion memaparkan satu pernyataan yang bagi saya sangat penting, “Knowledge of God involves trust and reverence” (=Pengetahuan akan Allah melibatkan ketaatan dan penundukan) (I.II.2, hlm. 41) Pada halaman sebelumnya, Dr. Calvin juga mengatakan hal yang lebih penting lagi, “Piety is requisite for the knowledge of God” (=Kesalehan adalah perlu bagi pengetahuan akan Allah) (hlm. 39) Kedua kutipan Calvin ini TIDAK ada satu pun yang menginsyaratkan bahwa pengetahuan akan Allah mencakup perdebatan theologi dengan segudang argumentasi akademis dan rincian ayat-ayat Alkitab. Calvin TIDAK mementingkan hal-hal tersebut, tetapi bagi Calvin, pengetahuan akan Allah melibatkan sikap hati yang sungguh-sungguh mau taat akan firman dan kehendak-Nya. Bagaimana dengan kita? Sungguhkah kita telah menyerahkan hati kita kepada Allah dengan taat dan tunduk mutlak kepada firman dan kehendak-Nya? Ataukah kita masih suka hidup mendualisme: percaya doktrin kedaulatan Allah dan ketidakbersalahan Alkitab, namun praktik hidup kita mengatakan kedaulatan kita atau pemimpin gereja kita? Biarlah ini menjadi refleksi bagi kita masing-masing.

Menanggapi Barthianisme, theolog-theolog Reformed yang setia mengkritisi Barth dan mengembalikan gereja kembali kepada Alkitab. Hal ini baik, namun sayangnya, akibatnya, di sisi lain, Reformed menjadi kaku dan suka menjadi pengkritik theologi lain. Theologi dan gereja Reformed bukan lagi menjadi suatu semangat yang berkobar-kobar, tetapi menjadi theologi yang akademis, dingin, kaku, dan mau mati.


Di tengah kelesuan Kekristenan dan kesimpangsiuran arus zaman khususnya di zaman postmodern, Tuhan membangkitkan hamba-Nya yang setia, Pdt. Dr. Stephen Tong melalui Gerakan Reformed Injili. Melalui Gerakan Reformed Injili, beliau membangunkan orang Kristen dari kelesuan dan kecuekan zaman dengan mengajar kembali apa yang Alkitab ajarkan dan memberitakan Injil sebanyak mungkin kepada banyak orang. Gerakan ini telah mempengaruhi cukup banyak orang baik melalui institusi Institut Reformed, Momentum Christian Literature, Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII), dan gereja-gereja Reformed di luar GRII. Beliau dan Pdt. Billy Kristanto, M.C.S. pernah mengatakan satu hal penting bahwa Gerakan Reformed Injili BUKAN dimonopoli oleh GRII, tetapi untuk semua gereja. Berarti beliau TIDAK membatasi gerakan Reformed Injili HANYA untuk GRII SAJA, tetapi untuk semua gereja yang mau kembali kepada Alkitab. Prinsipnya bukan Reformed-isme, tetapi Alkitab! Dengan semangat kembali kepada Alkitab, beliau TIDAK segan-segan mengkritik kelemahan Reformed sendiri di dalam aspek penginjilan dan semangat pelayanan. Dengan semangat ini pula, beliau berani mengatakan bahwa apa yang mutlak jangan direlatifkan dan apa yang relatif jangan dimutlakkan. Pernyataan ini sangat penting bagi theologi dan gerakan Reformed. Mengutip Bapa Gereja Augustinus, beliau juga pernah mengatakan bahwa jika ada ajaran beliau yang tidak sesuai dengan Alkitab, buang ajaran beliau dan kembalilah kepada Alkitab. Di sini, saya TIDAK sedang memberhalakan Pdt. Stephen Tong, lalu mengatakan semua ajaran beliau 100% benar. Tetapi yang saya maksudkan adalah misi, visi, dan panggilan Pdt. Stephen Tong yaitu kembali kepada Alkitab! Namun sayang, semangat mulia dari Pdt. Dr. Stephen Tong disalahtafsirkan oleh banyak orang bahkan oleh seorang hamba Tuhan yang melayani di Gereja Reformed. Jika Pdt. Stephen Tong menegakkan bahwa apa yang relatif jangan dimutlakkan, maka ada seorang hamba Tuhan yang melayani di sebuah Gereja Reformed mengutip perkataan Pdt. Stephen Tong secara perkataan dan doktrin, namun TIDAK pernah dia aplikasikan. Di satu sisi, si pendeta ini mengutip Pdt. Stephen Tong bahwa yang relatif jangan dimutlakkan, namun secara berkontradiksi, di sisi lain, si pendeta ini pada waktu acara baptisan di gereja dengan berani mengatakan bahwa gereja yang tidak menjalankan baptisan anak itu sesat. Pada waktu saya mendengar perkataan si pendeta ini, saya hanya tersenyum mendengar khotbah yang kurang bertanggungjawab tersebut, karena saya percaya di dalam sejarah theologi Reformed, doktrin baptisan anak dijalankan dengan pola pikir theologi sistematika yang berdasar pada ciri khas Reformed yaitu theologi kovenan. Saya percaya akan baptisan anak (infant baptism), tetapi saya TIDAK memutlakkannya, karena Alkitab jika diteliti secara Biblika TIDAK ada satu ayat pun memutlakkan pengajaran baptisan anak dan sebaliknya, TIDAK melarang baptisan anak. Jika demikian, dengan argumentasi Biblika sebelah mana si pendeta ini dengan berani mengatakan bahwa gereja yang tidak menjalankan baptisan anak itu sesat? Ataukah dia mengajar hal ini karena didorong oleh emosinya yang menggebu-gebu, padahal secara berkontradiksi pula, dia juga pernah mengatakan bahwa pikiran harus menguasai emosi? Hehehe J Jika demikian presuposisinya, sesuaikah logika ini dengan Pdt. Stephen Tong yang menggerakkan kita kembali kepada Alkitab (bukan kepada GRII)?!




Apa yang bisa kita pelajari dari pembahasan saya di atas?
1. Theologi Reformed bukan Kebenaran (Alkitab adalah Kebenaran: Sola Scriptura)
Prinsip penting yang harus kita pegang adalah theologi Reformed BUKAN Kebenaran! Artinya, mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong, jangan pernah menyamakan theologi Reformed dengan Alkitab. Theologi Reformed adalah theologi yang berusaha seketat mungkin menginterpretasi (menafsir) Alkitab. Oleh karena itu, semboyan Reformed yang cukup terkenal adalah: Ecclesia Reformata Semper Reformanda (gereja Reformed mau diReformedkan terus-menerus). Namun sayangnya, semboyan ini dimanipulasi oleh mereka yang sebenarnya tidak beriman Reformed sungguh-sungguh, lalu semboyan ini dipelintir artinya, sehingga secara implisit menjadi: gereja-gereja Reformed harus diReformedkan terus-menerus, supaya sesuai dengan konteks zaman. Tidak heran, di zaman postmodern ini, ada nama arus “theologi” yang aneh-aneh, misalnya: “theologi” Asia, dll. Mereka menggunakan nama tersebut dengan tujuan agar theologi Kristen bisa diaplikasikan di dalam konteks budaya. Theolog Asia memakai istilah theologi Asia. Theolog Afrika menggunakan istilah theologi Afrika. Semangat mereka sebenarnya tidak salah, yaitu agar kita tidak terlalu memberhalakan theologi Barat, tetapi semangat mereka kurang bisa dipertanggungjawabkan. Mengapa? Pdt. Billy Kristanto pernah mengatakan bahwa mereka yang menciptakan istilah theologi Asia, dll sebenarnya lupa satu hal bahwa Rasul Paulus memberitakan Injil bukan ke Sidoarjo atau Banyuwangi, tetapi ke Roma, Galatia, dll. Kelemahan kedua, apakah isi theologi Asia yang mereka gembar-gemborkan masih sesuai dengan Alkitab ataukah isi Alkitab sudah direduksi sedemikian rupa sehingga isi Alkitab yang melawan konteks Asia dihilangkan (istilahnya: teks tunduk kepada konteks)? Jika isi theologi Asia sudah tidak lagi sesuai dengan inti berita Alkitab, masih layakkah theologi Asia disebut theologi (theologi artinya ilmu yang mempelajari keTuhanan)? Seharusnya, mengutip perkataan Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M., theologi lokal/kontekstual seharusnya menundukkan konteks di bawah teks. Atau dengan kata lain, theologi kontekstual seharusnya berarti mengaplikasikan teks Alkitab ke dalam konteks zaman kita TANPA menghilangkan arti asli teks Alkitab (theologi kontekstual tidak bisa dipisahkan dari bidang-bidang theologi lain, seperti: theologi sistematika, theologi Biblika, theologi historika, theologi filosofika, dan theologi praktika)! Dari kasus tadi, kita belajar bahwa liberalisme terselubung telah meracuni gereja-gereja Reformed dengan mengambil alih semboyan Reformed yang agung lalu ditambahi muatan-muatan filsafat manusia berdosa. Sungguh mengerikan. Mari kita kembali kepada semboyan mula-mula dari Reformasi di zaman Luther bahwa hanya Alkitab saja satu-satunya otoritas bagi iman dan kehidupan Kristen kita. Mengutip perkataan Pdt. Billy Kristanto, Reformed sejati bukan Reformed statis/tidak bisa diubah (Reformed), tetapi always Reforming (selalu mau diReformedkan terus-menerus sesuai dengan Alkitab). Kita mengagumi dan mempelajari pengakuan-pengakuan iman Reformed, seperti Canons of Dort, Katekismus Heidelberg, Pengakuan Iman Westminster, Katekismus Westminster, Pengakuan Iman Belgia, dll, tetapi kekaguman kita jangan sampai menggantikan kekaguman dan ketundukan kita hanya kepada Alkitab!


2. Theologi Reformed = Hati
Jika kita sudah mengerti bahwa Alkitab adalah satu-satunya standar kebenaran bagi iman dan kehidupan Kristen kita, lalu apa yang menjadi respons kita? Tidak ada respons lain yang lebih bertanggungjawab selain TAAT mutlak. TAAT di sini lebih merupakan masalah HATI. HATI adalah sesuatu yang paling penting di mata Allah. Ketika hendak memilih raja menggantikan Saul, Allah berfirman kepada Samuel, “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1Sam. 16:7b) Ayat ini juga menjadi peringatan bagi kita bahwa iman bukan urusan pengalaman pribadi atau belajar theologi, namun urusan HATI! Tidak berarti theologi dan pengalaman itu tidak penting. Dua hal tersebut itu penting, tetapi yang terpenting adalah hati. Ketika kita telah menyerahkan HATI kita kepada Allah untuk dibentuk-Nya sesuai kehendak-Nya, maka secara otomatis kita memiliki kerinduan untuk makin mengenal Allah dan mengalami-Nya melalui firman-Nya. Hal ini sangat disadari oleh bapak pendiri theologi Reformed yaitu Dr. John Calvin. Perkataannya yang terkenal adalah bahwa ia menyerahkan hatinya kepada Allah dengan tulus dan murni. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita dengan tulus dan murni menyerahkan hati kita kepada-Nya untuk dibentuk-Nya? Jangan hanya pintar mengkhotbahkan perkataan Calvin ini, tetapi tidak pernah mengaplikasikannya!

Bagaimana memiliki hati yang tulus dan murni? Kita bisa memiliki hati yang tulus dan murni dengan menjaga kemurnian hati kita dengan firman Tuhan. Menjaga kemurnian hati kita dengan firman Tuhan ditunjukkan dengan cara terus mengintrospeksi diri kita sesuai dengan firman Tuhan. Belajarlah bertanya kepada diri: sebelum saya mengkritik/menuntut orang lain, sudahkah saya menjalankannya? Tuhan TIDAK memerintahkan kita pintar menuntut orang lain untuk belajar Kebenaran, tetapi Ia memerintahkan kita menuntut diri sendiri TERLEBIH DAHULU untuk belajar Kebenaran, baru setelah itu mengajar orang lain (bdk. Mat. 7:1-5). Saya pribadi sebagai jemaat GRII harus mengakui bahwa beberapa hamba Tuhan di Gereja Reformed kurang memiliki jiwa introspeksi diri (self-introspection), padahal itulah yang Tuhan Yesus ajarkan! Saya pribadi sedih melihat beberapa hamba Tuhan Gereja Reformed menjadi pengkritik filsafat dunia berdosa, tetapi di sisi lain, secara tidak sadar mereka sedang mengimpor beberapa filsafat tersebut di dalam sikap hidupnya. Orang-orang Reformed harus BERTOBAT!


Sosok Dr. John Calvin memang adalah sosok theolog yang dipakai Tuhan luar biasa baik dari segi semangat, doktrin, kesalehan, dan kehidupan pribadinya. Namun satu hal yang penting yang harus kita sadari adalah meskipun Calvin adalah sosok theologi yang agung, ia tetap seorang manusia biasa. Oleh karena itu, meskipun kita banyak belajar melalui Calvin, kita tetap harus kritis terhadap ajaran Calvin dan tetap berpegang pada Alkitab. Seorang rekan saya yang dulu menjadi teman saya sewaktu bekerja di Momentum Christian Literature menyadarkan saya bahwa kita jangan terlalu mengagung-agungkan Calvin lebih dari Allah! Orang-orang Reformed harus peka akan nasihat bijak ini.


Biarlah melalui renungan memperingati 500 tahun Dr. John Calvin, kita benar-benar meneladani dan mengaplikasikan semangat, doktrin, kesalehan, dan kehidupan praktis dari Dr. John Calvin di dalam hidup kita yaitu: kembali kepada Alkitab dan hiduplah terintegrasi sesuai dengan Alkitab! Amin. Soli Deo Gloria.





“…the true light of wisdom, sound virtue, full abundance of every good, and purity of righteousness rest in the Lord alone.”
(Dr. John Calvin; Institutes of the Christian Religion, I.I.1, hlm. 36)