07 June 2009

Roma 15:20-21: KONSEP PELAYANAN SEJATI-3: Pemberitaan Injil dan Sentralitas Kristus

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-3


Konsep Pelayanan Sejati-3: Pemberitaan Injil dan Sentralitas Kristus

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 15:20-21



Konsep pelayanan yang kedua dari Paulus adalah pelayanan sejati adalah pelayanan yang berpusat kepada Kristus melalui pemberitaan Injil yang ia lakukan. Hal ini dipaparkan Paulus di ayat 20 s/d 21.


Selain oleh kuasa Roh Kudus, Paulus tetap memberitakan Injil dengan berfokus kepada Kristus sebagai inti berita utama Injil. Di ayat 20, ia mengatakan hal ini, “Dan dalam pemberitaan itu aku menganggap sebagai kehormatanku, bahwa aku tidak melakukannya di tempat-tempat, di mana nama Kristus telah dikenal orang, supaya aku jangan membangun di atas dasar, yang telah diletakkan orang lain,” Mungkin jika kita membaca terjemahan bahasa Indonesia, kita akan kebingungan dengan struktur kalimat dan artinya. Ada baiknya kita membaca terjemahan bahasa Inggris. International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “My one ambition is to proclaim the gospel where the name of Christ is not known, lest I build on someone else's foundation.” (satu ambisiku adalah untuk memberitakan Injil di mana nama Kristus tidak/belum dikenal, supaya aku jangan membangun di atas dasar orang lain) Di ayat ini, Paulus hendak mengajar kita beberapa hal penting tentang pelayanan penginjilan yang ia lakukan:
Pertama, Paulus berambisi memberitakan Injil. Di dalam bahasa Yunani, kata ini adalah philotimeomai yang bisa diterjemahkan strive (berusaha keras) atau bisa diterjemahkan kehormatan. Ia bukan hanya bergantung pada kuasa Roh Kudus di dalam pelayanannya, ia sendiri berusaha keras memberitakan Injil. Atau dengan kata lain ia berambisi memberitakan Injil. Luar biasa, ia “BERAMBISI” memberitakan Injil. Dunia kita adalah dunia postmodern yang sarat dengan semangat relativisme, humanisme, dan pragmatisme. Tidak heran yang didengungkan adalah kemauan dan kehebatan diri atau menggunakan istilah kerennya “AMBISI.” Ambisi menjadi tren dan gaya hidup zaman kita, bahkan beberapa (atau bahkan banyak?) orang Kristen pun sudah mulai diracuni dengan gaya hidup ini. Mereka suka berambisi melakukan apa pun demi kepuasan diri, meskipun secara KTP, mereka mengaku diri “Kristen.” Tetapi herannya, kalau untuk pekerjaan Tuhan, mereka malas bahkan tidak berambisi sama sekali. Mengapa? Karena ambisinya sudah diserahkan untuk hal-hal yang sementara. Patutkah mereka disebut “Kristen”? TIDAK! Mereka secara KTP mengaku diri “Kristen”, tetapi secara esensi dan hati, mereka tidak ada bedanya dengan orang dunia yang berambisi melakukan apa yang mereka sukai. Berbeda dari konsep manusia postmodern, Paulus yang meneladani Kristus TIDAK pernah berambisi memperluas kerajaan atau pengaruhnya, tetapi berambisi memberitakan Injil. Di dalam penginjilan, ia mengutamakan berita tentang Kristus (hanya Kristus/Solus Christus). Inilah jiwa seorang hamba Tuhan sejati. Hamba Tuhan sejati TIDAK berambisi memperluas gerejanya dengan alasan pertumbuhan gereja (church growth) tetapi dengan pengajaran yang sembrono dan tidak berdasar. Hamba Tuhan sejati TIDAK berambisi mengeduk keuntungan pribadi dari jemaat dengan memanipulasi berita di mimbar. Hamba Tuhan sejati TIDAK berambisi menyamarkan (atau menghilangkan) inti berita Injil, lalu mengatakan bahwa semua agama itu sama. Hamba Tuhan sejati HARUS memiliki AMBISI yang kudus yang berpusat kepada Allah dan pekerjaan-Nya, yaitu pemberitaan Injil. Bagaimana dengan kita yang melayani Tuhan di rumah Tuhan? Sudahkah kita memiliki ambisi memberitakan Injil? Sungguh ironis jika ada hamba Tuhan yang tidak berambisi untuk memberitakan Injil, tetapi berambisi untuk hal-hal duniawi? Marilah kita bertobat dan kembalilah kepada Kristus dan panggilan kita mula-mula sebagai hamba-Nya yang setia!

Kedua, Paulus berambisi memberitakan Injil di tempat di mana Kristus belum diberitakan. Paulus bukan hanya berambisi memberitakan Injil, tetapi ia berambisi memberitakan Injil di tempat di mana Kristus belum diberitakan. Apa signifikansi tambahan “di tempat di mana Kristus belum diberitakan”? Apa alasannya? Pada kalimat berikutnya, ia mengatakan alasannya yaitu agar dia tidak membangun di atas dasar yang telah diletakkan orang lain. Orang lain di dalam ayat ini berarti para rasul Kristus lain yang telah memberitakan Injil di suatu daerah. Misalnya, Petrus sudah memberitakan Injil di X, maka Paulus TIDAK akan memberitakan Injil di kota X itu, tetapi dia akan menginjili di daerah Y. Mengapa? Karena ia tidak mau membangun di atas dasar yang telah diletakkan orang lain. Dengan kata lain, yang menjadi ambisinya di dalam pelayanan penginjilan adalah Kristus saja, bukan diri dan pengaruhnya. Di dalam pelayanan penginjilan yang kita lakukan, siapa yang paling kita banggakan? Kristus atau diri kita? Berapa banyak kita yang memberitakan Injil, yang kita banggakan justru kita yang pintar beradu argumentasi dan logika dengan orang yang kita injili, tetapi tidak pernah membawa mereka kepada Kristus? Kita mengatakan bahwa kita memberitakan Injil, tetapi yang kita terus-menerus beritakan adalah kesaksian dan kehebatan kita. Itu bukan penginjilan! Sudah saatnya, orang Kristen dan hamba Tuhan sejati memberitakan Injil dengan berpusat kepada Kristus, bukan kehebatan diri dan pengaruh yang meluas. Jika Tuhan memberkati pelayanan kita melalui jangkauan pelayanan kita yang luas, itu adalah anugerah Tuhan dan jangan pernah membanggakan diri, serta jangan merebut kemuliaan Tuhan! Teladanilah Paulus (bdk. 2Kor. 10:15-16).


Apa yang mendasari Paulus memiliki ambisi memberitakan Injil? Dorongan orang lain atau keuntungan pribadi? TIDAK! Ia berambisi memberitakan Injil didasari oleh kasih kepada manusia berdosa yang belum mendengar Injil. Hal ini dipaparkannya di dalam ayat 21, “tetapi sesuai dengan yang ada tertulis: "Mereka, yang belum pernah menerima berita tentang Dia, akan melihat Dia, dan mereka, yang tidak pernah mendengarnya, akan mengertinya."” Ayat ini dikutip dari Yesaya 52:15 yang menunjuk kepada penggenapannya di dalam Kristus. Kasih bagi manusia berdosa yang belum mendengar Injil inilah yang mendorongnya memberitakan Injil bukan hanya untuk orang Yahudi, tetapi untuk orang-orang non-Yahudi. Orang-orang Yahudi ini disebut Paulus sebagai orang yang belum pernah menerima berita tentang Kristus dan tidak pernah mendengarnya. Kepada orang-orang inilah, ia memberitakan Injil, untuk apa? Agar mereka yang belum pernah menerima berita tentang Kristus dapat melihat Dia. “Melihat” di sini bukan secara harfiah, tetapi secara rohani. Meskipun orang-orang non-Yahudi belum pernah menerima berita tentang Kristus, tetapi setidaknya di Injil disebutkan bahwa ada salah seorang perwira Romawi yang datang kepada Kristus untuk meminta agar hambanya disembuhkan. (Mat. 8:5) Seperti Kristus telah menjangkau orang non-Yahudi, Paulus pun juga terbeban menjangkau lebih banyak orang non-Yahudi demi Injil Kristus. Oleh karena itu, ia mau agar mereka yang belum pernah menerima berita tentang Kristus, akan melihat-Nya secara rohani. Kedua, ia juga terbeban membawa orang-orang non-Yahudi yang tidak pernah mendengarnya akan mengerti Injil Kristus. Paulus tidak ingin orang-orang non-Yahudi hanya melihat Dia secara rohani, tetapi juga mendengar Injil dan mengertinya. Mengapa kata “mengerti” ini menjadi signifikan? Karena kata ini dikenakan pada orang-orang non-Yahudi (khususnya Yunani) yang menekankan pentingnya logika. Kekristenan dan pemberitaan Injil bukan hanya memberitakan Injil Kristus saja, tetapi juga menantang logika orang yang diinjili agar pikiran mereka ditundukkan di bawah Kristus. Sayang sekali, penginjilan zaman sekarang adalah penginjilan yang dangkal yang tidak sanggup menaklukkan pikiran orang-orang pandai di bawah Kristus dengan bahasa yang sederhana namun mendalam. Hamba-Nya yang setia, Pdt. Dr. Stephen Tong telah, sedang, dan akan melakukan hal ini di dalam setiap kebaktian penginjilan yang beliau adakan. Tujuannya agar Injil Kristus jangan dihina oleh para intelektual sebagai sesuatu yang dangkal. Paulus sudah membuktikan bahwa Injil juga mampu menguasai dan menaklukkan pikiran manusia yang paling pintar. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita terbeban memberitakan Injil kepada guru, dosen, profesor, dan para intelektual lainnya? Sebagaimana Tuhan telah memakai Paulus, Agustinus, Dr. Martin Luther, Dr. John Calvin, Pdt. Dr. Stephen Tong, dll untuk memberitakan Injil yang menaklukkan rasio manusia berdosa di bawah Kristus, Allah yang sama yang mengutus mereka juga mengutus kita untuk menunaikan mandat Injil yang sama, siapkah kita?


Biarlah perenungan dua ayat yang singkat ini mendorong dan membakar semangat Anda dalam memberitakan Injil Kristus. Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 15:21-28: THE GREAT FAITH (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 30 September 2007

The Great Faith
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Matius 15:21-28



Tema utama dari Injil Matius pasalnya yang ke-15 ialah the Lordship of Christ. Iman sejati harus kembali pada obyek sejati, yaitu Kristus Tuhan. Kristus haruslah menjadi yang pertama dan terutama; Dia harus menjadi Tuan di atas segala tuan dalam seluruh aspek hidup kita. Tentu saja, hal ini menimbulkan konflik di tengah orang Farisi yang katanya ”orang beragama dan saleh” namun sesungguhnya, mereka tidak lebih hanyalah orang munafik. Tuhan Yesus menegur mereka dengan keras akan konsep pemikiran mereka namun ironis, para murid malah melihat kebenaran sejati sebagai batu sandungan. Para murid tidak melihat signifikansi kebenaran sejati tetapi pemikiran mereka justru tidak ubahnya dengan pemikiran orang berdosa. Inilah sifat manusia berdosa, merasa senasib sepenanggungan sebagai sesama orang berdosa.
Kesalehan yang diperlihatkan oleh orang Farisi tidak lebih hanyalah kepalsuan belaka. Kebenaran sejati yang dibukakan tidak menjadikan mereka bertobat, mereka malah berbalik melawan Tuhan Yesus. Religiusitas tidak menjadikan orang makin beriman tetapi orang malah menjadi sombong dan jahat. Agama sejati seharusnya merubah seseorang kembali pada Tuhan namun, orang justru menjadi marah ketika ditegur akan dosanya. Sesungguhnya, penyebab kemarahan itu karena ego yang terganggu, kenyamanan yang terusik atau diri dirugikan. Orang yang marah karena dirinya yang terusik menunjukkan betapa kerdil orang tersebut, small man. Tuhan Yesus tidak pernah marah ketika diri-Nya dihinakan atau dirugikan sebaliknya, Tuhan Yesus marah ketika kebenaran dipermainkan, nama Allah dilecehkan, rumah Bapa-Nya dilecehkan dan keadilan diinjak-injak. Inilah kemarahan yang suci. Di dunia ini tidak banyak orang yang mempunyai keanggunan dan keagungan seperti Tuhan Yesus. Orang Farisi yang katanya orang rohani tetapi realita membuktikan, mereka tidak lebih hanyalah orang kerdil. Jelaslah, iman sejati membentuk karakter sejati; iman sejati menghasilkan suatu respon yang berbeda.
Injil Matius mengontraskan dua macam orang yang katanya beriman tetapi memiliki respon yang berbeda. Di satu sisi, orang Farisi, seorang pemimpin agama namun beriman palsu sedang di sisi lain ada seorang perempuan kafir dari Kanaan, kaum marginal yang direndahkan tetapi beriman sejati dan ia mendapat pujian dari Tuhan Yesus. Hanya dua orang kafir yang mendapat pujian dari Tuhan Yesus karena imannya, yakni perwira Roma dan perempuan Kanaan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah iman sejati?
Setelah berdebat panjang dengan orang Farisi, Tuhan Yesus pun menyingkir ke daerah Tirus dan Sidon, kurang lebih 30 km sebelah utara Galilea. Perjalanan yang ditempuh bukanlah perjalanan yang singkat mengingat hari itu, perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki. Dan selama perjalanan, Matius mencatat ada satu peristiwa yang sangat dahsyat di tengah perjalanan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Suatu peristiwa yang kontras dengan peristiwa sebelumnya yang membukakan konsep pemikiran manusia akan perbedaan antara orang beragama dengan orang kafir. Mereka memanipulasi Kristus untuk kepentingan diri berbeda halnya dengan iman yang ditunjukkan oleh perempuan Kanaan. Iman bukan memaksa Tuhan untuk menuruti apa yang menjadi keinginan kita. Iman bukanlah didasarkan pada adat istiadat atau tradisi atau filsafat dunia. Tidak! Iman adalah kembalinya kita pada Ketuhanan Kristus.
Umumnya orang berdosa, perempuan Kanaan ini datang kepada Tuhan Yesus untuk kepentingan diri, yakni ia ingin supaya Tuhan Yesus menyembuhkan anak perempuannya yang sedang kerasukan setan. Namun pertemuannya dengan Tuhan Yesus mengubah seluruh konsep berpikirnya, terjadi pergeseran iman yang sangat signifikan dari purpose bergeser menjadi being. Semula ia hanya melihat hal-hal yang sifatnya duniawi belaka namun setelah bertemu dengan Tuhan Yesus, ia tahu harus seperti apa dan bagaimana menjadi seperti apa yang Tuhan inginkan menjadi. Inilah konsep iman sejati. Iman sejati bukanlah pada tujuan, faith is for that purpose. Alkitab menegaskan faith is being not purpose. Banyak orang Kristen hari ini yang mau percaya Tuhan kalau tujuan yang ia inginkan tercapai seperti ingin kesembuhan, kaya, dan masih banyak lagi tujuan yang menjadi egois itu sampai akhir. Itu bukanlah iman sejati. Iman sejati berarti mengutamakan Kristus di dalam seluruh aspek hidupnya. Perempuan Kanaan ini di satu pihak mempunyai suatu kebutuhan, yakni anak perempuannya yang kerasukan setan disembuhkan tetapi di lain pihak, ia mempunyai hati yang siap untuk men-Tuhankan Kristus. Andaikata, perempuan ini tidak mempunyai hati itu maka di titik pertama seluruh kisah ini akan berubah menjadi tragedi yang mengenaskan; seorang anak tetap kerasukan dan menderita ditambah lagi dengan seorang ibu yang binasa karena ia menolak Kristus. Kisah ini bukanlah tentang seorang anak yang disembuhkan. Tidak! Tetapi tentang seorang yang beriman dan mempunyai kepercayaan kepada Kristus Yesus. Ketika perempuan ini memusatkan seluruh hidupnya kepada Tuhan, Kristus berada di titik ultimate, paling utama maka pada saat yang sama hidupnya berubah total. Faith is putting Christ in the first and ultimate position. Kalau ada orang yang mengatakan ia beriman tetapi tidak menjadikan Kristus di posisi utama berarti ia sedang memanipulasi Tuhan untuk kepentingan pribadinya. Perhatikan, Tuhan tidak akan peduli ketika kita hanya ingin mendapat keuntungan dari Dia dan pada saat itu, iblis akan mengambil keuntungan dan menawarkan jalan keluar pada kita yang sedang mengalami kesulitan dan penderitaan seperti yang ia pernah lakukan pada Tuhan Yesus sepertinya, iblis memberikan solusi yang begitu mudah, cepat dan legal namun semua itu akan berakhir dengan kebinasaan.
Ada beberapa aspek yang perlu kita perhatikan tentang iman sejati:
1. Mengakui Kristus sebagai Tuhan.
Iman sejati dimulai dengan suatu kerendahan hati dan kerelaan mengakui Kristus sebagai Tuan di atas segala tuan. Tidak banyak orang Israel yang memanggil Kristus sebagai Tuhan namun perempuan Kanaan ini sejak dari pertama, ia memanggil Yesus dengan sebutan Tuhan (Mat. 15:22). Adalah kegagalan iman kalau kita sebagai orang Kristen tidak menyadari siapakah Kristus yang adalah Tuan di dalam hidup kita, Dia adalah yang utama dalam seluruh aspek hidup kita. Hari ini banyak orang mengakui diri sebagai beriman tetapi semua itu tidak lebih hanya sekedar slogan sebab sesungguhnya, dibalik iman tersebut orang hanya ingin apa yang menjadi keinginannya saja. Iman sejati berarti hancurnya seluruh hati di titik yang paling rendah. Iman bukan menjadikan kita menjadi sombong, iman bukan pemaksaan tetapi iman adalah perendahan seluruh hidup kita di hadapan Tuhan. Konsep iman seperti ini tidak ada di seluruh agama di dunia, konsep ini hanya ada di Kekristenan. Iman sejati adalah merendahkan diri sampai di titik yang paling rendah demi supaya Kristus berkuasa atas hidup kita.
Perhatikan, perempuan Kanaan ini terus berteriak meminta tolong, dia tidak henti-henti mengikut Tuhan Yesus demi mendapatkan pertolongan dari Tuhan Yesus. Dan kalaupun Tuhan Yesus bertindak untuk menolong perempuan Kanaan tersebut, itu bukan karena Tuhan tergerak oleh semangat atau kegigihannya. Tidak! Alkitab mencatat Tuhan Yesus sama sekali tidak menggubris perempuan itu malahan para muridlah yang merasa terganggu. Para murid justru mau bertindak lebih cepat dari Tuhan. Inti permasalahan bukan terletak pada kegigihan atau semangat perempuan sebab apa gunanya kegigihan kalau apa yang kita perjuangkan tersebut salah. Ketika perempuan itu terus berteriak, Tuhan Yesus memberikan jawab: “Aku diutus hanya kepada dimba-domba yang hilang dari umat Israel.“ Dunia yang mendengar jawaban Tuhan Yesus pastilah sangat marah dan menganggap Tuhan Yesus sangat diskriminatif, rasis, dan anti kesamarataan. Orang akan pergi dari Tuhan Yesus dan selamanya ia akan binasa. Inilah manusia berdosa. Namun apa yang dilakukan perempuan Kanaan ini sungguh luar biasa meskipun ia “dikasari“ oleh Tuhan Yesus, ia tidak menjadi marah atau protes atau sakit hati sebaliknya ia malah merendahkan dirinya lebih rendah lagi. Inilah iman yang sejati.
2. Hati yang remuk di hadapan Tuhan
Perempuan ini datang kepada Tuhan Yesus dan menyembah; semakin dihina ia justru semakin merendah di hadapan Tuhan. Dia kembali memohon belas pengasihan Tuhan. Penghinaan itu belumlah cukup, kembali Tuhan mengeluarkan suatu kalimat yang bagi dunia sangatlah menyakitkan: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.“ Bagi dunia, istilah anjing ini pastilah sangatlah menyakitkan. Dan kalau kita yang berada di posisi perempuan tersebut masih bisakah kita beriman? Manusia harusnya sadar, inilah iman sejati. Kalau orang mau sombong, merasa diri hebat maka itulah titik kehancurannya. Tuhan Yesus menuntut hati yang hancur dan remuk di hadapan Tuhan. Kita melihat bagaimana reaksi perempuan ini, ia tidak protes atau meminta penjelasan pada Tuhan Yesus kenapa Tuhan mengatai dirinya sebagai anjing? Tidak! Bahkan dalam bagian ini, ia membenarkan pernyataan Tuhan Yesus: “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.“ Sungguh sangatlah mengharukan dan luar biasa iman perempuan ini, ia menurunkan posisinya di tempat yang paling rendah, ia tidak protes bahkan ia menyamakan dirinya seperti anjing.
Hari ini, kita tidak menjumpai iman sejati bahkan di tengah-tengah Kekristenan. Banyak orang mengaku beriman Kristen tetapi iman yang mereka miliki tidak lebih hanya iman palsu belaka. Bagaimana dengan sikap hidup kita? Ingat, kita hanyalah manusia rendah dan hina, kita bukanlah siapa-siapa, karena itu, kita hanyalah manusia hina, kita hanyalah sampah, kita tidak lebih seperti layaknya anjing karena itu, kita membutuhkan Tuhan Yesus untuk mengampuni dosa kita. Beriman berarti remuknya hati di hadapan Tuhan dan memohon Tuhan untuk membentuk diri kita. Tuhan ingin kita menjadi seperti tanah liat yang hancur lalu dibentuk menjadi ciptaan baru yang indah. Beriman berarti kerelaan hati untuk menundukkan diri di hadapan Tuhan.
Sayang, banyak orang yang tidak mengerti konsep ini, mereka merasa diri hebat dan mempunyai harga diri sehingga tidak mau tunduk dan diubahkan oleh Tuhan maka itu titik awal kehancurannya. Hal ini justru membuktikan bahwa ia tidak lebih hanyalah seorang yang hina, small man. Perempuan ini sadar betul siapa dirinya dan pada saat yang paling hancur, Tuhan Yesus mengangkat dia, Tuhan Yesus memuji dia dan berkata: “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kau kehendaki.“ Terkadang, Tuhan memang sengaja menghancurkan kita di titik yang paling rendah dan setelah itu, Ia mengangkat kita namun manusia tidak menyadari akan hal ini, manusia hanya bisa protes dan marah kepada Tuhan; orang menuduh Tuhan tidak adil, jahat dan berbagai macam tuduhan yang lain.
Lihatlah, kisah tentang perempuan kafir yang dipuji oleh Tuhan Yesus karena imannya yang besar ini dicatat di Alkitab dan dibaca oleh seluruh orang di dunia di sepanjang jaman. Rendahkah dia sekarang? Justru ketika ia sadar, ia rendah maka itulah waktu-Nya Tuhan memberikan posisi yang layak untuknya. Inlah iman dan hidup di dalam Tuhan. Kita seringkali tidak mempunyai hati seperti perempuan ini tetapi kita seringkali sok beriman. Hendaklah kita mengevaluasi diri, benarkah kita memiliki iman sejati ataukah kita hanya beriman demi tujuan, purpose. Seandainya, perempuan ini tidak memiliki kerendahan hati yang demikian luar biasa maka kisah ini tidak lebih hanya menjadi sebuah tragedi yang menyedihkan, masih ada anak perempuan yang menderita karena dirasuk setan dan seorang ibu yang berakhir dengan kebinasaan.
3. Menjadi seperti apa yang Tuhan inginkan.
Tuhan merubah manusia di atas semua result yang pernah kita pikirkan. Perempuan ini datang kepada Tuhan Yesus hanya ingin supaya anak perempuannya disembuhkan tetapi Tuhan mengubahkan apa yang menjadi tujuannya. Tujuan itu tidaklah bernilai kekal sebab orang yang sakit disembuhkan maka suatu hari, ia akan sakit kembali, orang yang kaya suatu hari akan bangkrut maka semua hal yang sifatnya materi dan jasmani tidaklah bernilai kekal. Tuhan ingin memberikan kita lebih daripada sekedar sesuatu yang sifatnya sementara. Tuhan ingin memberikan pada kita hidup ynag bernilai kekal. Iman sejati berubah hidup yang tadinya purpose berubah menjadi being. Saat itulah perempuan ini diubahkan, tidak hanya kesembuhan yang diterima tetapi jiwanya diselamatkan.
Ibu dan anak ini kini mempunyai hidup yang bernilai karena iman sejati yang ditanamkan oleh Kristus Yesus. Iman sejati bukan sekedar mendapat apa yang menjadi keinginan kita tetapi iman sejati merubah seluruh hidup kita menjadi hidup yang bersandar dan taat mutlak dibentuk oleh Tuhan. Iman yang sejati adalah iman yang menggarap totalitas seluruh hidup kita dipimpin oleh Tuhan. Sebagai anak Tuhan sejati, hendaklah kita mempunyai sikap seorang hamba di hadapan Tuhan. Berbeda dengan dunia yang mengajar percaya maka engkau akan mendapat maka sebaliknya, Tuhan mengajarkan hal yang berbeda percaya adalah hancurnya hati kita dan berubahnya kita menjadi seperti apa yang Tuhan inginkan. Percaya bukan mendapat apa yang saya inginkan tetapi percaya mendapatkan apa yang Tuhan beri. Ini merupakan perubahan drastis konsep iman yang sejati.
Hendaklah hidup kita diubahkan menjadi seperti perempuan Kanaan bukan seperti orang Farisi yang sombong. Di hadapan Tuhan, kita tidak lebih hanyalah orang buangan, kita orang binasa tetapi dalam kondisi demikian, Tuhan ingin berubah hidp kita. Dia datang dari sorga mulia ke tengah dunia demi manusia berdosa seperti kita, Dia mau berubah hidup kita supaya kita kembali pada Kebenaran sejati; Dia mati demi supaya kita diselamatkan. Biarlah kita mengevaluasi diri, iman seperti apakah yang kita miliki? Sudahkah kita memiliki iman sejati? Sudahkah Kristus bertahta dan menjadi Tuhan dalam seluruh aspek hidup kita? Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)



Sumber:
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2007/20070930.htm