11 February 2010

Roma 16:25-27: INJIL ADALAH KEMULIAAN ALLAH

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-18


INJIL ADALAH KEMULIAAN ALLAH

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 16:25-27



Setelah memberikan salam kepada rekan-rekan pelayanan Paulus, maka ia menutup seluruh surat Roma ini dengan tiga ayat terakhir yaitu ayat 25 s/d 27. New International Version (NIV) Spirit of the Reformation Study Bible menafsirkan bahwa tiga ayat terakhir ini adalah Apostolic Doxology (Doksologi Rasuli). Saya menyebut 3 ayat terakhir ini sebagai penjelasan Paulus tentang Injil yang adalah kemuliaan Allah. Bagian penutup surat Roma ini mengulang kembali penegasan bagian awal surat Roma di pasal 1:16-17 dengan penegasan penting. Jika di pasal 1:16-17, Paulus menjelaskan bahwa Injil adalah kekuatan Allah, maka di tiga ayat terakhir di surat Roma ini, ia menjelaskan bahwa Injil adalah kemuliaan Allah. Di dalam Injil yang adalah kemuliaan Allah terkandung beberapa prinsip:
Pertama, di dalam Injil terkandung makna bahwa Allah menguatkan umat-Nya (ay. 25a). King James Version (KJV) dan New American Standard Bible (NASB) menerjemahkan “menguatkan” sebagai establish. International Standard Version (ISV) menerjemahkannya strengthen (=menguatkan). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia (2003) menerjemahkannya sebagai menguatkan (hlm. 882). Dunia agama-agama mengajarkan bahwa kemuliaan Tuhan adalah suatu keberadaan di mana Tuhan jauh terpisah dari ciptaan-Nya. Namun, di bagian ini, kita belajar dari bagian ini bahwa kemuliaan Allah diwujudnyatakan melalui tindakan Allah menguatkan umat-Nya. Bagaimana cara Allah menguatkan umat-Nya? Paulus menjelaskannya, “menurut Injil yang kumasyhurkan dan pemberitaan tentang Yesus Kristus,” Di sini, terkandung dua hal di dalam satu inti. Paulus mengajarkan bahwa Allah menguatkan umat-Nya melalui Injil dan pemberitaan Kristus. Intinya adalah Injil dan Injil tersebut berkaitan dengan pemberitaan Kristus. Berarti di dalam Injil itulah, Allah menguatkan umat-Nya. Namun yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya, menguatkan umat-Nya dalam hal apa? Allah menguatkan umat-Nya melalui Injil dengan membukakan kepada umat-Nya tentang jalan keluar dari dosa, iblis, dan maut yaitu melalui Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus yang diutus Bapa untuk menebus dosa umat-Nya. Dengan kata lain, Injil berkaitan erat dengan pribadi dan karya Kristus. Injil yang tidak lagi memberitakan Kristus adalah “injil” palsu. Rasul Paulus di dalam Galatia 1:6-9 mengajar jemaat Galatia dan kita juga, “Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu injil lain, yang sebenarnya bukan Injil. Hanya ada orang yang mengacaukan kamu dan yang bermaksud untuk memutarbalikkan Injil Kristus. Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia. Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia.” Injil yang tidak memberitakan pribadi dan karya Kristus disebut Paulus sebagai “injil” lain. KJV menerjemahkan “injil” lain sebagai another gospel, sedangkan English Standard Version (ESV) dan International Standard Version (ISV) menerjemahkannya sebagai different gospel (“injil” yang berbeda). Apakah “injil” lain yang Paulus maksudkan? Tentu yang dimaksud Paulus dengan “injil” lain adalah Kristus + sesuatu. Nah, menurut konteks penulisannya, Paulus sedang merujuk kepada Yudaisme yang menambahi Injil dengan mengajar bahwa orang Kristen selain percaya kepada Kristus harus disunat juga. Itulah yang Paulus sebut sebagai “injil” lain. Setiap zaman, Kekristenan diterpa oleh berbagai “injil” lain tersebut. Di era postmodern, “injil” lain muncul dalam 2 versi: “injil” sosial yang menolak penginjilan secara verbal dan memutlakkan penginjilan melalui aksi sosial dan kedua, “injil” kemakmuran yang menekankan bahwa ikut Tuhan pasti kaya, sukses, dll. Kedua versi “injil” ini begitu laris menyedot pangsa pasar, khususnya versi kedua “injil” lain. Mengapa? Karena orang dunia (bahkan tidak sedikit orang “Kristen”) lebih menyukai “injil” lain ketimbang Injil Kristus karena beritanya enak didengar dan itulah yang sedang digandrungi oleh banyak orang “Kristen” postmodern (bdk. 2Tim. 4:3-4). Meskipun kedua versi “injil” lain ini juga memberitakan Kristus, tetapi Kristus yang diberitakan bukanlah Kristus versi Alkitab yang sesungguhnya, namun “Kristus” versi mereka: “Kristus” pemberi belas kasihan yang tidak memedulikan dosa dan pertobatan atau “Kristus” yang hanya bisa memberkati dan memberi kekayaan, namun tidak pernah memberi penderitaan sebagai ujian iman.

Selain enak didengar, kedua versi “injil” lain ini membuktikan satu hal: banyak orang Kristen sudah mulai bosan dengan Injil Kristus sejati. Mereka berpikir bahwa Injil Kristus sejati sudah usang, maka mereka mulai “memperbaharui” Injil supaya lebih “hidup.” Namun, secara tidak sadar, mereka bukan “memperbaharui” Injil, namun menambahi Injil sejati yang bisa meracuni Kekristenan yang sehat. Akibat kreativitas mereka yang tidak bertanggungjawab tersebut, banyak orang Kristen lebih tertarik dengan tambahan-tambahan “injil” tersebut, ketimbang pribadi dan karya Kristus yang begitu agung. Bagaimana dengna kita? Masihkah kita tertarik hanya kepada pribadi dan karya Kristus yang diberitakan oleh Injil? Ataukah kita lebih tertarik dengan tambahan-tambahan “injil” lain yang begitu mempesona? Biarlah kita menguji diri kita masing-masing.


Kedua, Injil adalah penyataan Allah (ay. 25b-26). Selain melalui Injil, Allah menguatkan umat-Nya, maka melalui Injil pula, Allah menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya. Mari kita membaca kembali pernyataan Paulus, “sesuai dengan pernyataan rahasia, yang didiamkan berabad-abad lamanya, tetapi yang sekarang telah dinyatakan dan yang menurut perintah Allah yang abadi, telah diberitakan oleh kitab-kitab para nabi kepada segala bangsa untuk membimbing mereka kepada ketaatan iman--” ESV menerjemahkan, “according to the revelation of the mystery that was kept secret for long ages but has now been disclosed and through the prophetic writings has been made known to all nations, according to the command of the eternal God, to bring about the obedience of faith--” (=menurut penyataan/pewahyuan misteri yang dirahasiakan selama berabad-abad namun telah disingkapkan dan melalui tulisan-tulisan nabi telah diberitakan kepada semua bangsa, menurut perintah dari Allah yang kekal, untuk menghasilkan ketaatan iman) Dari bagian ini, kita belajar bahwa Injil sebenarnya adalah penyingkapan diri Allah kepada umat-Nya yang dahulu dirahasiakan selama berabad-abad melalui tulisan para nabi. Berarti, sebenarnya, melalui tulisan para nabi, Injil sudah ada, namun Allah belum saatnya menyingkapkannya. Mengapa Allah belum mau menyingkapkannya? Karena belum waktunya. Kapan waktunya Allah menyingkapkan semuanya itu? Ketika Allah mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus, pada saat itulah, diri Allah disingkapkan dengan jelas. Di dalam Galatia 4:4, Rasul Paulus menyatakan hal ini, “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat.” Dari sini, kita bisa mendapat pengajaran implisit dari Paulus bahwa Perjanjian Lama harus ditafsirkan menurut Perjanjian Baru, karena Perjanjian Baru yang menerangi Perjanjian Lama (meskipun TIDAK berarti Perjanjian Baru lebih berotoritas daripada Perjanjian Lama). Misalnya tentang Kejadian 3:15. Pada saat ini, kita mengerti bahwa Kejadian 3:15 adalah proto-evangelium atau Injil mula-mula yang menubuatkan kedatangan Kristus (disimbolkan keturunan Hawa) yang menghancurkan kepala si setan (disimbolkan ular). Tafsiran demikian adalah tafsiran Perjanjian Baru terhadap Perjanjian Lama. Demikian juga kitab-kitab para nabi lainnya menubuatkan kedatangan Kristus yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang sudah percaya Kristus dan mempelajari Perjanjian Baru yang berkaitan dengan Perjanjian Lama.

Kepada siapa diri Allah disingkapkan melalui Injil? Terjemahan Indonesia dan Inggris hanya menyatakan bahwa Injil disingkapkan kepada semua bangsa (all nations). Padahal teks Yunaninya menyatakan hal lebih khusus. Kata Yunani yang dipakai adalah ethnos yang menunjuk kepada orang-orang/bangsa-bangsa non-Yahudi atau orang kafir (Gentiles). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. juga menerjemahkannya sebagai “bangsa-bangsa bukan Yahudi.” (hlm. 882) Mengapa Paulus membatasi hanya kepada bangsa-bangsa non-Yahudi? Pertama, kalau kita membaca kembali Roma 9-11, kita pasti mengerti alasannya, yaitu bahwa Allah ingin mempermalukan orang-orang Yahudi secara fisik dengan memilih beberapa orang non-Yahudi untuk menjadi umat-Nya. Kedua, karena orang-orang non-Yahudi belum mengetahui, mengerti, dan mempelajari Taurat, sehingga mereka perlu dimengertikan. Sedangkan orang-orang Yahudi yang seharusnya mengerti namun mata rohani kebanyakan dari mereka telah dibutakan. Ini menjadi pelajaran tersendiri bagi kita. Kita sering kali dengan mudahnya menghina orang-orang yang belum mendengar Injil sebagai orang yang tidak diselamatkan. Memang benar jika orang belum mendengar Injil pasti orang tersebut tidak dibenarkan. Namun yang menjadi permasalahannya adalah kesombongan kita menghina orang yang belum mendengar Injil itulah yang mengakibatkan kita seolah-olah merasa paling benar sendiri, lalu tidak mau menginjili mereka. Berhati-hatilah terhadap kesombongan kita dan jangan mengira karena kita adalah orang Kristen, kita tentu adalah umat-Nya. Jangan sembarangan menyebut orang Kristen sebagai anak-anak Tuhan, karena Alkitab mengajar kita bahwa TIDAK semua orang yang mengaku Kristus benar-benar disebut anak-anak Allah. Camkan perkataan Tuhan Yesus di dalam Matius 7:21-23, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!"” Berarti orang Kristen sejati (=anak-anak Allah) Vs orang “Kristen” palsu (=anak setan yang sedang indekos di gereja) dapat dibedakan dari buahnya yang keluar dari imannya. Hal ini tidak berarti kita lebih mementingkan buah ketimbang esensi. Buah di sini berarti hasil yang memuliakan Tuhan, bukan sekadar buah yang kelihatan mata (fenomena). Buah tersebut adalah melakukan kehendak Bapa dan otomatis itu memuliakan Tuhan.

Apa tujuan Allah menyatakan diri-Nya melalui Injil? Paulus menjawab, “untuk membimbing mereka kepada ketaatan iman” NIV menerjemahkannya, “believe and obey him” Mayoritas terjemahan Inggris menerjemahkannya: obedience of faith (=ketaatan iman), hanya NIV dan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) enerjemahkannya, “percaya dan taat kepada Allah.” Kata Yunaninya adalah hupakoē yang bisa diterjemahkan ketaatan atau kepatuhan. Jadi yang ditekankan di sini adalah ketaatan kepada Allah, bukan masalah iman, meskipun keduanya saling terkait erat. Mengapa Paulus menyoroti masalah ketaatan dan bukan (hanya) iman? Karena Paulus sendiri percaya bahwa semua bangsa pasti memiliki iman kepada Allah (entah itu asli atau palsu), maka ia perlu menegaskan kembali tentang iman kepada pribadi Allah yang beres dan tentu disertai ketaatan sebagai buah iman. Dengan kata lain, Injil bukan hanya membimbing umat-Nya pada iman yang beres kepada Allah yang beres, namun juga untuk menaati apa yang difirmankan-Nya. Bagaimana dengan kita? Sering kali kita mengamini semua firman Tuhan (meskipun banyak dari kita mengamini firman-Nya yang cocok dengan kita), tetapi benarkah kita menaati apa yang difirmankan-Nya? Ataukah kita hanya mengisi otak kita dengan segudang pengertian firman Tuhan tanpa mau menaatinya? Ketaatan memang bukan proyek singkat, namun sebuah proyek panjang dan dibutuhkan proses. Proses untuk taat itulah yang disebut bergumul. Saya mendefinisikan bergumul sebagai suatu tindakan anak-anak Tuhan yang mengetahui dan mengerti firman Tuhan dan tentu mengetahui risiko di dalamnya, namun terus-menerus berusaha untuk taat kepada firman Tuhan itu. Berarti, ada daya upaya untuk mau berjuang terus-menerus mengalahkan si iblis dan kroni-kroninya dan lebih menaati Tuhan dan firman-Nya. Namun, sayangnya, istilah agung ini sudah dimuati oleh arti-arti yang tidak bertanggungjawab bahkan oleh seorang anak aktivitas gereja. Istilah agung ini menjadi sebuah istilah menjijikkan yang berarti sebuah proses untuk mengiyakan memiliki lawan jenis yang tidak seiman demi kecocokan dengannya, bukan kecocokan dengan Tuhan. Dengan kata lain, “bergumul” menjadi semacam rasionalisasi “rohani” dari manusia berdosa untuk memenuhi nafsunya yang berdosa. Biarlah kita dengan bertanggungjawab dan SADAR mengerti definisi bergumul dan menjalankannya dengan kegentaran di hadapan-Nya, bukan mempermainkan istilah demi kepuasan sendiri.


Ketiga, di dalam Injil, nama Allah senantiasa dipermuliakan selama-lamanya (ay. 27). Di dalam Injil yang adalah kemuliaan Allah, maka tentu saja nama Allah senantiasa dipermuliakan selama-lamanya. NIV menerjemahkan ayat 27, “to the only wise God be glory forever through Jesus Christ! Amen.” (=bagi satu-satunya Allah yang bijaksana segala kemuliaan selama-lamanya melalui Yesus Kristus! Amin.) Di sini, kemuliaan Allah langsung dikaitkan dengan kebijaksanaan-Nya. Berarti, tidak ada satu langkah pun dari Allah yang bodoh atau tidak bijaksana. Itulah kemuliaan-Nya. Hal ini tentu berbeda dengan manusia yang sering kali salah arah bahkan tidak bijaksana. Itulah akibat kemuliaan Allah yang telah dirusak oleh dosa dan sedang diperbaharui oleh Allah melalui penebusan Kristus yang diefektifkan oleh Roh Kudus di dalam hati umat pilihan-Nya (bdk. Rm. 3:23-24). Kembali, kemuliaan-Nya berkaitan erat dengan kebijaksanaan-Nya dan kebijaksanaan-Nya berkaitan erat dengan Kristus Yesus. Berarti, Tuhan Yesus Kristus adalah Sumber Hikmat Allah. Di dalam 1 Korintus 1:18-31, Rasul Paulus menjabarkan dengan jelas Pribadi Kristus sebagai Sumber Hikmat Allah bagi orang Yahudi yang menghendaki tanda dan orang Yunani yang mencari hikmat. Dan bagian tersebut ditutup dengan dua kesimpulan penting, yaitu: di ayat 25, “Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia.” dan di ayat 30-31, “Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita. Karena itu seperti ada tertulis: "Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan."”

Dari ayat terakhir di Roma 16 ini, kita mendapatkan satu kesimpulan yang terintegrasi, yaitu: di dalam Injil, kemuliaan Allah dinyatakan, di dalam kemuliaan Allah terkandung kebijaksanaan-Nya, dan kebijaksanaan-Nya itu ada di dalam Tuhan Yesus. Dengan kata lain, di dalam Pribadi Kristus terkandung kebijaksanaan sekaligus kemuliaan Allah. Inilah finalitas Kristus yang tidak bisa dibandingkan dengan semua pendiri agama, filsafat, dan kebudayaan siapa pun.


Setelah kita merenungkan tiga ayat terakhir dari Roma 16, apa yang menjadi respons kita terhadap Injil? Menerima atau menolak? Jika kita menerima, bersyukurlah, karena itu bukan hasil usaha kita, namun karena pencerahan dan kelahiran baru yang Roh Kudus kerjakan di dalam hati kita untuk percaya kepada Kristus yang Injil beritakan. Setelah kita menerima Injil tersebut, tugas kita adalah mewartakan Injil itu kepada mereka yang belum percaya sesuai mandat agung Tuhan Yesus sebelum naik ke Sorga (Mat. 28:19). Bagi mereka yang menolak Injil, pertanggungjawabkanlah apa yang Anda putuskan hari ini di hadapan Allah pada akhirnya. Amin. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-89: KNOWING GOD (Prof. James I. Packer, D.Phil.)

...Dapatkan segera...

Buku
KNOWING GOD:
TUNTUNAN PRAKTIS UNTUK MENGENAL ALLAH

(Dilengkapi Panduan Studi Pribadi dan Diskusi Kelompok)


oleh: Prof. James Innell Packer, D.Phil.

Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta, 2008

Penerjemah: Johny The





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Dunia kita adalah dunia postmodern yang ditunggangi oleh spirit relativisme dicampur mistisisme ala Gerakan Zaman Baru yang tidak lagi mementingkan Kebenaran hakiki, namun menekankan kebenaran subyektif dan relatif. Gejala ini ternyata memengaruhi Kekristenan sehingga mayoritas orang Kristen yang beres sudah beralih dari percaya kepada Allah dengan sungguh-sungguh menjadi percaya kepada Allah dengan konsep yang kacau. Lalu, bagaimana kita bisa kembali kepada iman Kristen yang beres? Dengan bahasa yang mudah dimengerti, Prof. James Innell Packer, D.Phil. di dalam bukunya Knowing God mengajak kita kembali kepada iman Kristen yang beres dengan kembali mengenal Pribadi Allah dengan konsep Alkitabiah. Buku ini dibagi menjadi 3 bagian: Mengenal Allah, Lihat Allahmu!, dan Jika Allah Di Pihak Kita. Di awal bab buku ini (di bagian pertama), Dr. Packer membedakan dua hal: mengenal Allah vs mengenal tentang Allah. Mengenal tentang Allah adalah sebuah tindakan mengenal Allah secara kognitif, namun mengenal Allah adalah sebuah tindakan mengenal Allah secara menyeluruh. Dari konsep ini, Dr. Packer membawa kita menyelusuri konsep Pribadi Allah: Allah Tritunggal, Inkarnasi Allah, dan Saksi Allah (Roh Kudus). Di bagian kedua buku ini, Dr. Packer membawa kita sebagai pembaca untuk menelusuri lebih tajam dan dalam lagi tentang Pribadi dan karya Allah, mulai dari ketidakberubahan Allah, keagungan Allah, bijaksana Allah, hikmat Allah, firman Allah yang adalah Kebenaran, kasih Allah, kasih karunia Allah, Allah sebagai Hakim, murka Allah, kemurahan dan kekerasan-Nya, dan juga kecemburuan Allah. Di dalam bagian kedua ini, berbagai topik iman Kristen orthodoks dibahas yaitu tentang predestinasi, keselamatan, dll. Kemudian, di bagian terakhir, Dr. Packer membahas tentang Injil, doktrin adopsi, tuntunan Allah, hambatan-hambatan kita mengenal Allah dengan konsep yang benar, dan kecukupan Allah. Di bagian akhir buku ini disediakan panduan studi pribadi dan diskusi kelompok untuk mereview ke-22 bab buku Dr. Packer ini.




Apresiasi:
“Kebenaran yang dibawanya membakar hati. Setidaknya kebenaran itu membakar saya dan memaksa saya memilih untuk menyembah dan berdoa.”
Rev. Dr. John Robert Walmsley Stott, C.B.E.
(Pendeta di the Church of All Souls, Langham Place, U.K.)

“Buku ini makanan yang keras. Membaca dan mencernanya merupakan pengalaman tak terlupakan bagi pembaca yang bijaksana.”
Church Times

“Dr. Packer berkemampuan langka untuk berhubungan menyeluruh dengan kebenaran spiritual dasar dalam tataran praktik. Kemampuannya makin langka karena hal itu diluangkan dalam tulisan yang menarik. Buku ini akan membantu setiap pembaca memahami lebih tepat salah satu kebenaran terbesar Alkitab: kita dapat mengenal Allah secara pribadi karena Allah menginginkan kita mengenal-Nya.”
Rev. Dr. William F. (Billy) Graham
(Penginjil internasional)

“Memang banyak buku lain yang membahas keinginan, kehidupan, atau pencarian akan Allah. Namun Knowing God mengupasnya dengan sederhana dan terbaik.”
Joni Eareckson Tada

“Dengan hati gembala, pemahaman theolog, dan perasaan nabi, J. I. Packer membawa pembaca bertemu Allah yang hidup.”
Charles Cholson







Profil Dr. J. I. Packer:
Prof. James Innell Packer, D.Phil. yang lahir di Gloucester, Inggris, 22 Juli 1926 adalah Board of Governors’ Professor of Theology at Regent College di Vancouver, Canada. Beliau juga adalah kontributor dan editor eksekutif majalah Christianity Today. Beliau juga terlibat sebagai salah satu yang menandatangani Chicago Statement on Biblical Inerrancy yang menegaskan ketidakbersalahan Alkitab. Selain itu, beliau juga melayani sebagai editor umum Alkitab English Standard Version (ESV). Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.); Master of Arts (M.A.); dan Doctor of Philosophy (D.Phil.) di Corpus Christi College, Oxford University, U.K. Buku-buku yang pernah beliau tulis, di antaranya:
· Fundamentalism and the Word of God (1958; reprinted 1984)
· Keep In Step With The Spirit: Finding Fullness In Our Walk With God (1984, dicetak ulang 2005)
· Knowing God (1973, dicetak ulang 1993) ISBN 0-8308-1650-X
· Evangelism and the Sovereignty of God (1961 by Inter-Varsity Fellowship) (dicetak ulang 1991)
· A Quest for Godliness: The Puritan Vision of the Christian Life (1994)
· Concise Theology: A Guide to Historic Christian Beliefs (2001)
· One Faith: The Evangelical Consensus bersama Thomas Oden (2004)
· Collected Shorter Writings in four volumes
· The Redemption and Restoration of Man in the Thought of Richard Baxter (2003, berdasarkan disertasi beliau di Oxford pada tahun 1954)
· Christianity: The True Humanism bersama Thomas Howard (1985)

Eksposisi 1 Korintus 3:10-15 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 3:10-15

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 3:10-15



Dalam bagian ini Paulus mengganti metafora yang dia pakai sebelumnya. Kalau di ayat 5-9 dia menggambarkan jemaat sebagai sebuah ladang, kali ini dia menggambarkannya sebagai bangunan. Transisi ini sebenarnya sudah diindikasikan di ayat 9c “kamu [adalah] bangunan Allah”. Inti pembahasan dalam dua metafora itu juga berbeda: ayat 5-9 lebih menekankan perbedaan dan kesamaan para pemimpin rohani serta kepemilikan Allah atas jemaat maupun para pemimpinnya, ayat 10-15 lebih menyoroti bagaimana cara jemaat dibangun.

Alur berpikir Paulus dalam bagian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Paulus adalah ahli bangunan yang cakap yang telah meletakkan pondasi (ay. 10a)
Paulus memberikan nasehat kepada mereka yang meneruskan pembangunan (ay. 10b-15)
Pondasi yang diletakkan harus Yesus Kristus (ay. 11)
Bahan yang dipakai untuk membangun harus tahan lama (ay. 12-15)


Paulus adalah ahli bangunan yang cakap yang telah meletakkan pondasi (ay. 10a)
Jika jemaat Korintus diibaratkan sebagai sebuah bangunan, maka Paulus adalah seorangarchitekton (istilah modern “arsitek” berasal dari kata Yunani ini). Kata architekton secara etimologis terdiri dari dua kata: arche = “pemimpin” dan tekton = “tukang kayu”. Penggunaan kata ini dalam naskah-naskah kuno menunjukkan bahwa seorang architektonbertanggung-jawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan bangunan (bukan sekadar perancang saja). Dalam berbagai versi Inggris (KJV/RSV/NASB) kata ini dengan tepat diterjemahkan “master-builder”. Terjemahan NIV “builder” kurang jelas menyatakan makna di balik kata ini.

Sebagai architekton rohani Paulus menjelaskan bagaimana cara dia bekerja. Pertama-tama dia menerangkan bahwa sesuai dengan karunia (charis) Allah dia telah meletakkan pondasi jemaat Korintus. Walaupun kata charis bisa merujuk pada banyak hal (keselamatan, pemberian tertentu, perkenanan, dsb), tetapi dalam konteks ini charis merujuk pada karunia khusus yang berguna dalam pelayanan. Arti ini sama dengan arti charis di pasal 1:4-5 yang merujuk pada beberapa karunia rohani tertentu. Charis yang dimaksud Paulus di pasal 3:10a adalah karunia khusus sebagai peletak dasar (perintis jemaat). Karunia ini merupakan kehormatan khusus dari Allah bagi Paulus (Rm. 15:20). Dalam kaitan dengan jemaat Korintus, Paulus memang sebagai perintis (Kis. 18). Dengan demikian dia dapat dianggap sebagai bapa rohani (4:15-16) dan mereka adalah buah pelayanan dia (9:1-2).

Selanjutnya Paulus menerangkan bahwa dia adalah seorang architekton yang cakap (LAI:TB). Terjemahan “cakap” di ayat ini tidak sesuai dengan kata Yunani yang dipakai. Kata sophos seharusnya diterjemahkan “berhikmat” (KJV/NASB), bukan “cakap/terampil” (NIV/RSV/LAI:TB). Sophos di sini jelas masih berkaitan erat dengan diskusi seputar “hikmat” (sophia) di 1:18-2:16. Dengan menyebut dirinya sebagai architekton yang berhikmat, Paulus sedang mengontraskan dirinya dengan orang-orang di Korintus yang menganggap diri mereka “berhikmat”.


Paulus memberikan nasehat kepada mereka yang meneruskan pembangunan (ay. 10b-15)
Setelah menyatakan diri sebagai architekton yang meletakkan pondasi sesuai karunia Allah dan penuh dengan hikmat, Paulus lalu memberikan nasehat kepada tiap orang yang membangun di atas pondasi yang dia telah dirikan. Bentuk present tense yang dipakai untuk kata kerja “memperhatikan” dan “membangun” di ayat 10b menyiratkan bahwa jemaat Korintus perlu terus-menerus dibangun dan terus-menerus diperhatikan. Pondasi saja tidak cukup. Jemaat perlu terus dibangun dengan baik.

Kepada siapakah nasehat Paulus di ayat 10b-15 diberikan? Walaupun nasehat ini dapat diaplikasikan dalam segala situasi, tetapi Paulus tampaknya lebih menujukannya pada para pemimpin jemaat Korintus pada saat surat ini ditulis. Dia tidak menujukannya pada Apolos atau Petrus. Beberapa argumen yang mendukung hal ini antara lain: (1) tidak ada nama Apolos yang muncul dalam bagian ini; (2) bentuk present tense “membangun” di ayat 10b mengarah pada orang yang masih membangun pada saat surat ini ditulis; (3) jika ditujukan pada Apolos, maka nasehat ini menjadi mubazir karena Apolos sudah tidak ada di kota Korintus [16:12]; (4) nuansa negatif [teguran] di bagian ini, terutama ayat 16-17, tidak sesuai dengan sikap Paulus yang positif terhadap Apolos.

Pondasi yang diletakkan harus Yesus Kristus (ay. 11)
Nasehat pertama berhubungan dengan masalah pondasi. Ini merupakan penjelasan terhadap apa yang sudah disampaikan di ayat 10a (Paulus telah meletakkan dasar). Pembahasan seputar pondasi menyiratkan adanya usaha-usaha dari para pemimpin jemaat Korintus untuk membangun ulang seluruh bangunan rohani di Korintus. Mereka inginmerombak pondasi yang ada dan menggantinya dengan dasar yang lain.
Terhadap upaya ini Paulus dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada pondasi lain selain Yesus Kristus. Dalam teks asli ungkapan “dasar lain” diletakkan di awal kalimat untuk penegasan: benar-benar tidak ada pondasi lain! Hikmat duniawi yang diagungkan oleh jemaat Korintus tidak dapat menggantikan pondasi yang sudah diletakkan Paulus.
Pondasi satu-satunya adalah apa yang memang sudah ada (ton keimenon). Bentuk present participle keimenon menyiratkan apa yang sekarang sudah ada dan akan terus ada pada tempatnya, yaitu Yesus Kristus. Pertanyaannya, Yesus Kristus yang seperti apa? Bukankah sebagian orang memberitakan Yesus tetapi bukan Yesus yang benar (2Kor. 11:4)? Bukankah yang lainnya juga memberitakan “injil yang lain” (Gal. 1:6-7)? Yesus Kristus yang dimaksud Paulus adalah Dia yang disalibkan. 1 Korintus 2:2 “aku memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan”. Bagi jemaat Korintus hal ini adalah kebodohan (1:23), tetapi bagi kita hal ini justru sebagai hikmat dan kuasa Allah (1:24).

Bahan yang dipakai untuk membangun harus tahan lama (ay. 12-15)
Pondasi yang baik saja tidak cukup. Pondasi ini harus terus-menerus dibangun (ay. 10b). Bagaimanapun, kita tidak boleh sembarangan dalam membangun. Salah satu aspek pembangunan yang ditekankan Paulus di sini adalah jenis bahan yang dipakai. Kita harus memperhatikan durabilitas (ketahanan) dari bahan yang dipakai. Enam bahan yang disebutkan Paulus di ayat 12 mewakili dua jenis bahan: yang tahan lama (emas, perak dan batu mulia) dan tidak tahan lama (kayu, rumput kering dan jerami). Kita tidak perlu mencoba menafsirkan arti dari masing-masing bahan ini. Kita juga tidak perlu menghubungkan tiga bahan pertama dengan bangunan bait Allah, sedangkan yang sisanya dengan rumah pribadi, walaupun rujukan tentang jemaat sebagai bait Allah ada di ayat 16-17. Inti dari metafora ini terletak pada durabilitas bahan yang dipakai (apakah tahan ujian atau tidak).

Durabilitas bahan ini berkaitan dengan kualitas pondasi yang ada. Hikmat Allah yang dinyatakan melalui salib merupakan sesuatu yang permanen. Hikmat ini sudah direncanakan sejak kekekalan dan dirancang untuk kemuliaan kita kelak (2:7). Dengan kata lain, hikmat ini dari kekal sampai kekal. Hal ini jelas berbeda dengan hikmat duniawi yang ditekankan jemaat Korintus. Hikmat duniawi sedang dan pasti akan lenyap (1:19-20; 2:6). Pondasi yang kokoh membutuhkan bahan bangunan yang tahan lama.

Alasan lain mengapa bahan yang dipakai harus tahan lama adalah karena setiap bangunan pasti akan mengalami ujian. Waktu (ay. 13 “sekali kelak”) akan menunjukkan apakah suatu bangunan terdiri dari bahan yang baik atau buruk. Waktu ini secara khusus merujuk pada Hari Tuhan (1:8; 3:5; bdk. 1Tes. 5:2, 4; 2Tes. 2:2; 1Kor. 5:5), yaitu hari ketika Tuhan Yesus akan datang kembali dan menghakimi semua orang. Jadi, sekalipun ide tentang penyataan sesuatu (kata dasar phaneroo = “menyatakan”) dalam surat Korintus dapat memiliki makna futuris (4:5; 13:13; 2Kor. 5:10) maupun kekinian (11:19; 14:25), tetapi konteks 1 Korintus 3:10-15 menunjuk pada arti yang pertama.

Dengan menyinggung tentang Hari Tuhan Paulus secara tidak langsung juga menegur sikap jemaat Korintus yang menghakimi pelayanannya. Penghakiman seperti ini tidak valid, karena Hakim yang sesungguhnya adalah Tuhan sendiri. Di pasal 4:3-5 Paulus menegaskan hal ini secara eksplisit dan melarang jemaat Korintus menghakimi sebelum waktunya.

Paulus selanjutnya menjelaskan bahwa pengujian ini menggunakan media “api” (ay. 13). Dalam Alkitab, api dapat menyimbolkan penyucian, penghakiman maupun pengujian. Makna yang terkahir inilah yang ada dalam pikiran Paulus. Ada kemungkinan dia sedang mengingatkan jemaat Korintus tentang peristiwa historis kehancuran kota Korintus pada tahun 146 SM oleh tentara Roma. Peristiwa ini memberi pelajaran berharga tentang bagaimana sebuah bangunan seharusnya didirikan: hanya bangunan yang memakai bahan yang baik yang dapat bertahan dari kehancuran total.

Dalam pengujian ini akan ada dua hasil yang berbeda: yang tahan uji (ay. 14) dan yang tidak tahan uji (ay. 15). Kata “tahan uji” di ayat 14 secara hurufiah berarti “tetap bertahan” (KJV “abide”; NASB “remains”; NIV/RSV “survives”), Bagi yang pekerjaannya bertahan dalam pengujian, maka pembangunnya akan mendapat upah. Pemberian upah tidak berarti meniadakan unsur anugerah. Tuhan memang memberi upah kepada seseorang seturut perbuatannya, tetapi kemampuan orang itu untuk melakukan sesuatu tetap berasal dari Tuhan. Paulus sendiri mengakui bahwa kemampuannya meletakkan pondasi adalah “sesuai dengan kasih karunia yang diberikan Allah” (ay. 10a; bdk. 1:4-5; 3:10; 12:1-11). Allah tetap berhak mendapat kemuliaan dari semua yang kita lakukan, karena Dialah yang mengerjakan kemauan dan kemampuan bagi kita (Flp. 2:13). Bagi Dialah segala kemuliaan (Rm. 11:36)!

Dalam bagian ini Paulus tidak menjelaskan upah apa yang akan diterima oleh pekerja yang baik. Di pasal 4:5b dia baru menjelaskan bahwa upah ini berupa “puji-pujian dari Allah”. Upah ini sekilas tampak kurang berarti dalam konteks modern yang sangat materialistis. Bagaimanapun, jika kita menyadari bahwa kitalah yang seharusnya memberi pujian kepada Allah (bukan Allah yang memuji kita), maka kita dapat memahami betapa istimewanya momen ketika Allah memuji kita dan berkata, “hai hamba yang baik” (Mat. 25:21, 23; Luk. 19:17). Kita juga bisa menghargai upah ini jika kita mengingat bahwa Tuhan tidak harus memberi kita sesuat atas apa yang telah kita lakukan bagi Dia, karena kita hanyalah hamba yang melakukan apa yang harus kita lakukan (Luk. 17:10).

Kemungkinan hasil kedua dalam pengujian adalah kehancuran bangunan (ay. 15). Kita tidak mengetahui dengan pasti apa bentuk konkrit dari “pekerjaannya terbakar” (ay. 15a). Paulus mungkin memikirkan akibat kekinian dalam bentuk hilangnya kesaksian maupun eksistensi dari jemaat Korintus (bdk. ay. 17). Perpecahan yang terjadi dalam jemaat berpotensi membuat gereja tidak dapat memberi teladan hidup kepada masyarakat. Perpecahan bahkan berpotensi menghancurkan eksistensi gereja. Akibat futuris yang dipikirkan Paulus mungkin adalah “kejutan besar di akhir zaman”. Sebagian orang yang tampaknya “Kristen” dan “berhikmat” ternyata kelak justru tidak akan diselamatkan karena mereka memang sebenarnya tidak pernah percaya pada injil yang sejati. Mereka hanya percaya pada injil palsu dan dengan demikian mereka akan terkutuk (Gal. 1:8-9). Fenomena ini akan kita temui di penghakiman terakhir nanti (bdk. Mat. 7:22-23; 25:41-46).

Pekerjaan yang terbakar jelas menyebabkan para pekerjanya menderita kerugian (zomiothesetai, ay. 15b; bdk. 2Kor. 7:9; Flp. 3:8). Jika Paulus memang memikirkan surat kontrak kuno tentang pembangunan rumah, maka kerugian ini dapat berupa “kehilangan bayaran” atau bahkan “menanggung kerugian yang terjadi”. Sesuai konteks ayat 15, kemungkinan pertama tampaknya lebih masuk akal.

Sekalipun pekerjaannya terbakar dan dia mengalami kerugian, tetapi pekerja tersebut tetap akan diselamatkan (ay. 15c). Penambahan kata “sendiri” (autos) did epan kata “ia” mengindikasikan penekanan: pekerjanya tetap selamat! Hanya saja, keselamatan ini seperti orang lolos dari kebakaran. Gambaran yang paling pas untuk hal ini adalah “seperti puntung yang ditarik dari kebakaran” (Am. 4:11). Setiap orang yang sudah menerima Roh Kudus (2:12) dan berada “di dalam Kristus” (3:1), orang itu pasti akan diselamatkan, namun jika dia tidak bekerja dengan baik untuk Tuhan maka dia tidak akan mendapatkan upah di sorga nanti. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 11 Mei 2008