10 October 2008

ON LOVE (Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D.-Cand.)

ON LOVE

oleh: Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D. (Cand.)




Nats: 1Kor. 13



Bagian perikop yang kita baca ini ada yang memulainya dari ayat terakhir pasal ke-12. Bagaimanapun juga memang ada hubungan yang sangat erat kait-mengait antara pasal 12 ayat-ayat yang terakhir, yaitu yang membicarakan tentang berbagai macam karunia dengan keseluruhan pasal 13 yaitu tentang kasih. Paulus menganjurkan agar jemaat Korintus berusaha memperoleh karunia-karunia yang paling utama (yaitu yang didaftar lebih dahulu). Menarik bahwa misalnya karunia berkata-kata dalam bahasa roh dan menafsirkan bahasa roh ditempatkan di paling akhir dalam daftar karunia. Dan yang tidak kalah menarik adalah karunia memimpin ditempatkan setelah karunia membantu (terjemahan bahasa Indonesia karunia melayani agaknya kurang tepat). Karunia-karunia yang lebih utama adalah karunia yang lebih banyak membangun orang lain, karena sekali lagi, karunia diberikan untuk ini.

Namun ada satu hal yang lebih utama lagi, bahkan daripada karunia-karunia yang paling utama. Satu hal ini boleh dikejar oleh siapa pun yang memiliki karunia yang manapun, dan pengejaran akan satu hal ini oleh setiap orang tidak akan pernah berdampak kepada perpecahan. Apakah hal itu? Paulus mengatakan itu adalah kasih.

Kasih ini melampaui semua karunia yang ada, dan melampauinya demikian rupa, sehingga jika ia (kasih) tidak ada, maka semua karunia itu menjadi tidak ada faedahnya, tidak berguna. Pada pasal 13:1-3 Paulus mencoba menggambarkan banyak hal yang boleh dianggap merupakan highest human religious achievement. Ada beberapa kategori di sini. Kategori yang pertama: berkata-kata dengan semua bahasa manusia bahkan bahasa malaikat. Ini dapat dianggap yang secara fenomena menyatakan hal-hal supernatural. Hal-hal yang dianggap kategori supernatural ini selalu menarik perhatian manusia, khususnya manusia modern yang sudah jenuh dengan gang-gang buntu yang sudah dijajaki oleh kapasitas rasio manusia yang paling tinggi sekalipun. Zaman Romantik adalah salah satu periode dalam sejarah di mana manusia kembali menggali hal-hal yang bersifat supernatural. Kejenuhan terhadap apa yang dapat dicapai oleh rasio pada zaman pencerahan ternyata membawa manusia seolah ingin kembali lagi kepada abad pertengahan dengan nuansa misteri yang tak terungkapkan. Rasio yang tidak tunduk kepada wahyu Allah memang hanya akan menghasilkan kenikmatan-kenikmatan yang memuakkan! Hal-hal yang natural akhirnya juga dianggap membosankan, kurang seru. Perhatikan saja tayangan-tayangan televisi yang saat ini beredar banyak mengulas wilayah misteri yang dianggap sebagai satu alternatif, tawaran lain daripada dunia natural yang dianggap sangat membosankan. Kita seperti mengulangi lagi zaman Romantik yang juga seolah mengulangi abad pertengahan. Di mana permasalahan kita? Dunia natural tidak dapat menyajikan apa-apa lagi yang dapat kita nikmati? Lalu kita mencoba suatu wilayah baru yang penuh petualangan yang misterius, tidak dapat dijangkau sepenuhnya oleh akal dan dianggap melampaui monotoni naturalitas? Kita mengharapkan hal-hal yang tegang, yang spektakuler, yang bisa membawa kita bereaksi “wow ...” sementara dalam kehidupan natural kita tetap berkeinginan “kalau boleh segala sesuatu tetap bisa saya kontrol”, apakah ini bukan keterpecahan individu? Yang sering kali disebut orang ‘supernatural’ itu juga akan sangat membosankan kok. Mengapa? Karena itu bukanlah supernatural yang asli, itu tidak akan pernah mengisi kekeringan hati manusia yang terdalam. Bukan ‘supernatural’ yang demikian yang menjadi alternatif kita, melainkan bagaimana dalam peristiwa-peristiwa natural, ya, bahkan dalam everydayness, kita dapat menyaksikan kehadiran Tuhan yang senantiasa menopang serta memelihara hidup kita, dan harap juga sebagai yang menebus kita. Ketika manusia gagal mengerti hal ini, dia akan mencari segala alternatif yang lain untuk memuaskan kebutuhan rohaninya, melalui hal-hal ‘supernatural,’ namun yang lagi-lagi ternyata tidak ada Tuhan di sana.

Kembali pada tulisan Paulus, karunia-karunia yang dianggap paling supernatural sekalipun, jika tidak disertai dengan kasih, hanya akan memperlihatkan dirinya sama dengan gong yang berkumandang, canang yang bergemerincing. Maksudnya, hal itu akan selalu menarik perhatian, heboh kedengarannya, namun hanya sampai di situ saja.

Kategori kedua: karunia bernubuat, mengetahui segala rahasia, memiliki seluruh pengetahuan. Boleh dikaitkan dengan aspek intelektual, yaitu berkaitan terutama dengan pengetahuan. Dalam bagian sebelumnya Paulus pernah mengatakan pengetahuan dapat membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih membangun. Apakah ini berarti pengetahuan itu salah, atau bahkan jahat? Bukan, melainkan pengetahuan yang tidak digerakkan oleh kasih hanya akan membuat seseorang menjadi sombong. Siapa yang mengejar pengetahuan hanya untuk memperkaya pengetahuannya sendiri sesungguhnya tidak mengerti prinsip firman Tuhan. Sebaliknya kita seharusnya memperlengkapi diri demi memperlengkapi orang lain. Hamba-hamba Tuhan banyak sekali yang berkeinginan untuk studi lanjut, ya ... tentunya sebisanya di luar negeri. Oh, saya pun demikian! Tetapi mengapa ya? Karena takut tertinggal oleh hamba-hamba Tuhan yang lain, yang gelarnya mulai berderetan? Insecurity? Atau perlu kebanggaan tambahan, karena rupanya salib Kristus tidak cukup? Kenaikan gaji? Problem inferior-complex? Batu loncatan untuk tinggal di luar negeri yang kayanya lebih mirip ‘tanah perjanjian’? Tuhan mengenal hati kita masing-masing. Prinsip firman Tuhan sangat sederhana “demi memperkaya orang lain.” Dan bukan hanya pengetahuan, melainkan dalam segala hal: uang, waktu, tenaga, perasaan, perhatian, keahlian, kecakapan, ya ... diri kita. Tuhan memberkati kita supaya kita menjadi berkat bagi orang lain. Ketika Tuhan lebih memberkati lagi, itu berkat yang disalurkan juga harus lebih. We are given to give.

Kategori ketiga: karunia iman yang sempurna untuk memindahkan gunung. Ini berarti kesanggupan melakukan sesuatu yang tidak mungkin (impossible). Melakukan hal-hal besar yang dapat dikatakan mustahil. Namun betapa besar dan mengagumkannya karya tersebut, jika tanpa kasih, sama sekali tidak berguna bagi kita. Menarik di sini Paulus tidak mengatakan tidak berguna bagi orang lain, melainkan yang mengerjakan yang tidak berguna. Bukankah manusia memang sering kali mengukur kegunaan dirinya dengan seberapa besar karya yang boleh dihasilkan, terutama yang mustahil untuk dikerjakan? Ini bukan discouragement untuk menghasilkan karya besar, melainkan bahwa karya besar, bagaimanapun besarnya, jika bukan dikerjakan karena kasih, menurut firman Tuhan, is simply nothing.

Kategori keempat: membagi-bagi segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar. Ini berbicara tentang pengorbanan pada tingkat yang paling tinggi, juga dapat dikatakan ketaatan agamawi tingkat terakhir yaitu menjadi martir, orang yang mati karena kepercayaannya. Inipun jika dilakukan tanpa kasih (apalagi jika dengan kebencian) sedikitpun tidak ada faedahnya bagi orang tersebut. Itu tidak akan disebut sebagai cerita kepahlawanan iman seorang yang taat dan setia kepada kepercayaannya, melainkan Allah akan menganggapnya sebagai kosong belaka.

Dari ketiga ayat yang pertama dapat kita simpulkan bahwa love is the very essential thing. Tanpa kasih, segala sesuatu hanya akan merupakan penampakan yang secara permukaannya boleh saja mengagumkan, namun yang ternyata bagian dalamnya keropos. Kasih itulah yang menjadikan segala sesuatunya berarti.

Mulai ayat 4 dst., Paulus memberikan gambaran (bukan definisi) cakupan yang begitu lengkap yang terdapat dalam kasih. Banyak hal akan ter-cover asal saja kita belajar untuk mengasihi. Kasih mencakup hampir semua virtue yang lainnya. Yang pertama dikatakan kasih itu sabar (terj. Ingg: long-suffering, suffers long). Sabar di sini bukan kesabaran natural yang dimiliki oleh orang bertemperamen tertentu yang memang secara alamiah terlihat sabar dari banyak orang lain. Ujian kesabaran yang sesungguhnya adalah ketika kita diijinkan untuk masuk dalam penderitaan. Penderitaan menyingkapkan diri kita apa adanya, sampai bagian yang terdalam. Jika dalam penderitaan kita dapat bertahan (suffers long) kita akan menuai kesabaran yang dimaksud oleh Tuhan. Problema suffering rupanya menjadi thema yang sangat penting dalam pemikiran kontemporer. Kita dapat menjelaskan suffering dalam berbagai cara, salah satu dari sekian banyak penjelasan dapat kita katakan suffering is the absence of love. Bukankah ini yang sering kali manusia kemukakan, bahkan di hadapan Tuhan? Di mana Tuhan pada saat aku menderita? Apakah Tuhan Mahabaik namun tidak Mahakuasa, atau Dia Mahakuasa tetapi tidak Mahabaik sehingga ada penderitaan di dunia ini? Di mana Tuhan, yang katanya Mahakasih itu? Pertanyaan ini seperti tidak mungkin terjawab, karena siapa yang sanggup menyelami dan mengerti sepenuhnya penderitaan seorang manusia yang begitu dalam? Namun di dalam sejarah pernah ada seorang Manusia yang rela menderita, bahkan seumur hidupnya penuh dengan penderitaan, tentang Dia nabi mengatakan a man of sorrow, acquainted with grief. Dia bukan kadang-kadang menderita, Dia biasa menderita, penderitaan sangat akrab dengan diriNya. Mengapa Dia mau menderita? Alkitab mengatakan karena kasih. Di sini terjadi pembalikan yang radikal terhadap pertanyaan manusia berdosa yang berada dalam penderitaan, yang sering kali mempertanyakan di mana kasih, justru dijawab dengan sebuah pernyataan, bukan sekadar kalimat, melainkan pernyataan hidup selama 33 tahun di bumi: love suffers long. Justru karena ada kasih maka ada kerelaan untuk menderita. Penderitaan tidak mungkin pernah dihindarkan, namun berbahagialah mereka yang menderita karena mengasihi. Orang demikian hidupnya dekat dengan Tuhan.

Berikutnya kasih itu murah hati (Ing.: kind). Kasih yang sejati mencakup aspek moral, bukan anti moral. Kekristenan harus memberikan jawaban bahkan tantangan moral. Memang kekristenan bukan sekadar mengajarkan moral belaka, namun ini tidak berarti tidak ada tanggung jawab dan pancaran moral dalam kekristenan. Orang yang mengasihi memiliki karakter kebaikan hati, sebagai lawan kata kelicikan hati, yaitu yang bersifat manipulatif. Orang yang memiliki kebaikan hati tidak memiliki motivasi untuk mencelakakan atau merugikan orang lain, sebaliknya ia bermurah hati, suka membantu dan menolong sesamanya. Kebaikan hatinya akan terlihat dalam sikap dan perbuatan.

Kasih juga tidak cemburu (atau lebih tepat: tidak iri hati). Adakah orang yang iri kepada anaknya sendiri? Kalaupun ada, orang itu pasti bermasalah berat dengan psikologinya. Pada umumnya tidak ada orang yang iri dengan anak, istri atau suaminya sendiri (sayangnya kalau dengan saudara masih cukup banyak. Mengapa tidak ada iri hati di antara anggota keluarga yang kita sebut tadi? Karena adanya kasih. Kasih mengusir iri hati. Ketika seseorang iri kepada yang lain, pada akar persoalannya adalah: dia kurang mengasihi. Tidak mungkin kita iri kepada orang yang sangat kita kasihi, kita justru akan bangga dengan kelebihannya, kita akan turut bersukacita ketika yang kita kasihi dihormati oleh orang lain. Kasih bukan hanya menghentikan iri hati, kasih, secara positiv, membawa kita memiliki hati yang luas.

Tidak memegahkan diri (parade itself) dan tidak sombong (puffed-up). Ada perbedaan di sini, sekalipun mirip. Yang pertama adalah kebanggan diri yang salah karena mempertontonkan segala kehebatan dan kebolehan yang memang dimiliki oleh diri, sementara yang kedua, membesar-besarkan diri melampaui kenyataan yang ada, berusaha membuat orang menilai kita lebih tinggi dari yang sesungguhnya (dalam cerita klasik ini digambarkan dengan seekor ibu katak yang terus menggembungkan dirinya, karena si anak mengatakan bahwa “sapi lebih besar dari mama.” Akhir cerita si ibu berangkat (meletus) karena terlalu puffed-up. Orang yang berusaha melampaui keberadaan dirinya sendiri sesungguhnya berada dalam keadaan yang sangat mengerikan. Kita sangat prihatin dengan banyaknya buku yang menjadi bestseller mengajarkan satu melodi utama yang sama: potensi manusia yang tidak terbatas! Bukankah ini yang terjadi dalam Kejadian pasal 3 “menjadi seperti Allah” dan akhirnya ... meletus.

Ketika kita mengasihi kita akan menjadi orang yang rendah hati. Kasih berkait erat dengan kerendahan hati. Sama seperti prinsip sebelumnya, kurang rendah hati akar permasalahannya adalah kurang cinta kasih. Ketika kita mengasihi sesama kita, kita tidak akan membicarakan kebolehan kita di hadapannya, karena bukan kita yang menjadi pusat, melainkan dia yang kita kasihi. Mengasihi bukan ‘aku di atas, sehat, kaya, berpengetahuan, all right’ sedang berusaha menolong ‘kamu yang di bawah, sakit, bodoh, kasihan, miserable.’ Ini menolong mental kolonialisme. Sebaliknya Yesus Kristus mengasihi manusia dengan jalan menjadi sama dengan kita, Dia bukan mengulurkan tanganNya dari sorga di atas, melainkan tinggal bersama-sama dengan kita dalam dunia yang sudah jatuh. Mengasihi berarti merendahkan diri.

Tidak melakukan yang tidak sopan. Love behaves rightly. Orang yang mengasihi memiliki kepekaan terhadap kondisi sekeliling. Dalam bahasa kontemporer, dia tidak akan kekurangan EQ. Dia tahu membaca suasana, karena mengerti orang lain. Ini bahkan lebih daripada sekadar kecerdasan emosional, karena kecerdasan emosional dapat hanya dipergunakan demi kepentingan diri sendiri saja. Akan tetapi bersikap pantas dan tepat di sini dikaitkan dengan kepekaan kita terhadap sesama. Kasih yang benar tidak akan menyakitkan perasaan orang lain dengan kata-kata yang kasar. Dia tidak akan berlaku kurang ajar dan tidak bisa menempatkan diri. Kasih dapat bersikap tepat kepada orang lain, karena telah menempatkan diri sendiri dalam posisi yang benar.

Tidak mencari keuntungan diri sendiri. Tidak egois. Natur kasih selalu membagi diri (self-giving) dan bukan mengeruk bagi diri sendiri. Dalam bagian yang lain firman Tuhan mengajarkan agar kita memperhatikan kepentingan orang lain juga, bukan hanya kepentingan kita sendiri. Kedewasaan kita masing-masing boleh diukur dari sini. Bukan dari umur, atau sudah berapa lama beribadah, terlibat dalam aktivitas rohani, dsb. Kasih memperhatikan kebutuhan orang lain.

Tidak pemarah (not provoked). Tidak gampang terprovokasi. Tidak gampang tersinggung, sakit hati, merasa dilukai dlsb. Sama dengan yang sebelumnya ini karena adalah natur kasih untuk tidak banyak memikirkan diri sendiri (termasuk perasaan sendiri). Kasih memperhatikan perasaan orang lain. Marah yang dimaksud di sini bukanlah semua jenis kemarahan (termasuk kemarahan yang suci misalnya), melainkan kemarahan yang timbul karena ego yang dilukai. Ketika kita belajar untuk lebih mengasihi kita tidak akan menyita banyak perhatian dan tenaga untuk melindungi ego kita. Kasih menjadikan kita orang yang memiliki ketenangan yang agung.

Tidak menyimpan kesalahan orang lain. Sering kali ini dikaitkan dengan sikap mendendam. Tapi sebenarnya bukan hanya mendendam saja, melainkan juga termasuk trauma. Trauma pernah diperlakukan secara tidak benar dan tidak adil oleh orang lain, disalah-mengerti, ditolak, dihina, diabaikan. Ini semua bisa menciptakan ruang untuk menyimpan kesalahan orang lain (terj. Ingg: thinks evil). Mengingat-ingat kesalahan orang lain itu sama dengan berpikir jahat. Hal itu akan mempersempit hidup kita, sehingga sulit Tuhan untuk memakai kita dengan leluasa. Banyak kesaksian dari hamba-hamba Tuhan yang diberkati luar biasa justru setelah mereka berhasil mengalahkan pengalaman traumatis yang memang sangat menyakitkan. Misalnya seperti Musa, yang saya percaya, menolak dipanggil untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir bukan karena rendah hati (karena menyebabkan kemarahan dan teguran Tuhan), melainkan karena pengalaman masa lalunya ditolak oleh orang Israel sendiri yang ingin dia bebaskan. Demikian pula kehidupan Calvin yang sangat enggan melayani di Geneva karena dia pernah ditolak dengan usaha reformasinya. Namun dia belajar untuk taat, sekalipun secara perasaan sangat berat. Ketika kita mengatakan kita mengasihi, itu berarti membuka lembaran baru setiap kali berjumpa dengan orang yang bersalah kepada kita. Tuhan adalah Tuhan yang berkuasa untuk membereskan masa lalu kita, kita harus mengijinkan Dia untuk melakukannya. Dia membentuk kita dalam segala hal, termasuk mengubahkan perasaan kita yang sangat rapuh dan rentan terhadap kesalahan orang lain kepada kita. Perasaan kita pun perlu mengalami proses pendewasaan yang dari Tuhan. Tuhan mengampuni kita, maka kita juga mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Masa lampau yang gelap tidak seharusnya mengikat masa kini dan masa depan kita. Ketika kita terus menghayati kasih Tuhan yang dinyatakan dalam diri kita, kita akan dibebaskan dari segala ikatan yang membelenggu kita, bahkan kebebasan yang sepenuhnya untuk hidup taat kepada Tuhan akan kita dapatkan melalui kehidupan yang mengasihi.

Allah sumber segala kasih, melimpahkan kasih-Nya kepada kita sehingga kita diberi kekuatan untuk mengasihi.

Kasih tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ini merupakan 2 sisi yang berkait erat satu dengan yang lain, dan kedua pernyataan di atas dapat dikatakan sinonim (yang satu menyatakan aspek negatif yang lain positif). Beberapa hari lalu kita sempat dikagetkan dengan peristiwa bom meledak di sekitar Kedutaan Besar Australia. Kira-kira perencana peledakan bom tersebut bersukacita atau berkabung ketika misi itu berhasil dijalankan? Mungkin bersukacita, karena usahanya ‘berhasil.’ Orang yang bersukacita di atas mayat yang bergelimpangan dan kerugian banyak orang. Kita menganggap orang sedemikian sangat keji, jahat, melakukan tindakan yang terkutuk dan lain sebagainya. Kita menggolongkan orang seperti itu sebagai contoh bersukacita karena ketidakadilan. Hal itu bukan hanya menandakan tidak adanya kasih, melainkan juga adanya kebencian.

Justru di situlah masalahnya, ketika kita tidak memiliki kasih, kita anggap itu masih tidak apa, asalkan saja kita tidak menjadi seseorang yang penuh dengan kebencian. Namun bukankah sering kali (kalau bukan selalu) tidak adanya kasih sangat gampang membawa seseorang kepada kebencian? Kita menganggap tidak membenci sudah cukup, sementara firman Tuhan mengajarkan bukan sekadar tidak membenci, melainkan dengan aktif mengasihi. Kita dapat beramai-ramai marah terhadap pelaku kejahatan seolah kita sama sekali tidak ada sangkut pautnya, tidak bersalah, sama sekali bersih terhadap peristiwa itu. Kita menggolongkan diri sebagai orang yang tidak bersukacita karena ketidakadilan. Namun, jangan-jangan kita juga sama tidak bersukacitanya karena kebenaran, keadilan, kejujuran dsb. Dengan kata lain kita tidak entusias dengan yang namanya keadilan, kebenaran, kesalehan, kita simply don’t care dengan hal-hal begituan. Saya tidak bermaksud menambah kesedihan kita semua yang sedang tertimpa musibah dengan keadaan negara kita yang sangat memprihatinkan ini, apalagi dengan kata-kata kosong yang hanya merupakan basa-basi retorika belaka, yang bikin orang susah tambah stress karena sudah susah masih dianalisa lagi. Namun, saya kira refleksi seorang warga negara yang bertanggung-jawab, dan terutama sebagai seorang yang mengaku percaya kepada Tuhan diperlukan, untuk mengintrospeksi diri kita masing-masing apakah kita memang sungguh tidak terlibat dalam peristiwa tersebut? Berapa banyak kita melihat ketidakadilan terjadi di sekitar kita dan kita hanya berdiam diri, “asal itu tidak berkaitan dengan saya.” Kita bahkan mungkin dengan sinis menganggap mereka yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran sebagai orang-orang yang naif, yang terlalu idealis, tidak realistis dan menempuh jalan utopia. Kita sudah merasa puas hidup sebagai orang yang tidak bersukacita karena ketidakadilan.

Alkitab tidak pernah mengajarkan adanya wilayah abu-abu atau wilayah netral, seolah-olah tidak jahat itu sama dengan baik. Tidak negatif bukan berarti pasti positif, tidak negatif bisa juga nol, kosong, nothing. Alkitab hanya memberikan pilihan either good or evil. Wilayah tengah, zone bebas nilai itu (tidak negatif dan tidak positif) tidak dihargai oleh Tuhan. Ketika kita tidak bersukacita karena kebenaran, kita dalam kepasifan sudah berbuat dosa. Bagaimana kehidupan kita sehari-hari, adakah kita termasuk orang yang dianggap Tuhan berbahagia karena “lapar dan haus akan kebenaran” (Mat. 5:6)?

Kasih menutupi segala sesuatu. Adalah natur kasih untuk tidak expose kesalahan orang lain dan kemudian menikmati dalam membicarakannya. Kasih menjadikan kita manusia yang suka menutupi kelemahan orang lain, bukan karena tidak tahu, dan juga bukan menutup-nutupi, melainkan menutupi dengan motivasi yang mulia. Yesus Kristus, di atas kayu salib mengucapkan kalimat “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Yesus bukannya tidak tahu bahwa mereka adalah orang yang berdosa, dan bahwa mereka melakukan kejahatan tersebut dengan sesadar-sadarnya. Namun Yesus yang penuh cinta kasih itu sedang menutupi dosa-dosa mereka di hadapan Allah. Inilah sifat kasih. Kasih berusaha memulihkan keadaan yang keruh. Kasih menjembantani dan menyediakan diri sebagai mediator.

Ia percaya segala sesuatu. Seseorang yang sungguh mengasihi bisa mempercayai yang dia kasihi. Bayangkan sepasang suami-istri yang setiap hari harus memberikan laporan ke mana saja ia telah pergi pada hari itu dan apa yang telah dilakukan tanpa kehadiran pasangannya. Pernikahan itu akan segera bubar karena sudah kehilangan unsur trust. Yang akhirnya muncul adalah kecurigaan melulu. Tentu ini tidak berarti semua bentuk kecurigaan adalah salah (karena nanti satpam-satpam akan menganggur!). Dunia yang sudah jatuh dalam dosa memerlukan pengawasan kewaspadaan yang dapat dinyatakan dalam bentuk kecurigaan. Yang dimaksud dalam ayat ini adalah kasih memikirkan yang terbaik yang dapat dipikirkan mengenai objek yang dikasihi. Tuhan pun melakukan hal ini pada kita. Bukankah kita tidak layak untuk dipercayai, apalagi oleh Tuhan sumber segala kebenaran dan kesempurnaan? Kita bersalah dalam banyak hal, namun Tuhan masih mempercayai kita untuk melayani Dia. Mengapa? Karena Dia sangat mengasihi kita.

Ia mengharapkan segala sesuatu. Di dalam kasih tercakup pengharapan. Orang yang mengasihi terus berharap dan tidak menjadi putus asa, kecewa, discouraged. Discouragement adalah salah satu keadaan yang paling disukai oleh iblis dalam diri orang-orang percaya. Discouragement membuat kita berhenti berkarya, enggan melayani, tidak lagi mengeluarkan buah yang lebat bagi Tuhan. Kadang di dalam kesulitan dalam pelayanan kita dapat menjadi kecewa, orang yang kita layani selama bertahun-tahun ternyata masih juga di luar ekspetasi kita, atau mungkin kita kecewa dengan pembimbing kita yang selama ini kita kagumi, ternyata masih memiliki kelemahan ini dan itu. Iblis sering kali mempergunakan hal ini untuk membuat kita berhenti maju. Kapan kita berhenti berharap atas seseorang atau suatu keadaan (yang kita anggap tidak dapat lagi diharapkan)? Ketika kita sudah kehilangan kasih. Tidak adanya pengharapan berarti tidak adanya kasih. Kita memang rupanya senantiasa memiliki alasan yang cukup untuk kecewa dan pesimis, apalagi ketika kita melihat keadaan sekeliling kita, tampaknya memang tidak banyak yang dapat diharapkan. Berharap dalam situasi sulit sering kali dikategorikan, sekali lagi, dengan sikap yang terlalu idealis. Persoalannya adalah kita sering kali mengaitkan boleh atau tidaknya seorang berharap dengan hasil tertentu, atau lebih gamblang, target yang harus dicapai dalam sekian waktu, dan didukung dengan banyak catatan statistik masa lampau kita lalu akhirnya menjadi kecewa dan berhenti berharap lagi, sementara yang penting sebenarnya bukan hasil yang ditargetkan (karena target sering kali tidak tepat), melainkan proses perubahan itu sendiri. Yesus Kristus memiliki alasan yang sangat sah untuk kecewa kepada para muridNya. Ada yang mengkhianati Dia, yang lain menyangkaliNya tiga kali bahkan setelah diberi peringatan terlebih dahulu, dan yang lain lagi, hampir semua, meninggalkan Dia di saat-saat yang paling sulit. Seandainya Dia discouraged kita pun akan sangat memakluminya, karena memang penderitaanNya terlalu berat. Tapi, apa yang dikatakan Alkitab? Dia tidak berhenti berharap. Pasal terakhir Injil Yohanes mencatat bagaimana Yesus memulihkan Petrus. Dia tetap ‘mengharapkan’ Petrus. Kita teringat nubuatan nabi Yesaya tentang Dia “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya.” Bukan hanya itu akan tetapi “Ia sendiri tidak akan menjadi pudar dan tidak akan patah terkulai.” Dia tidak mematahkan semangat orang lain yang sudah hampir patah, namun Ia sendiri juga tidak akan patah semangat. Sampai kapan? Sampai Ia menegakkan hukum di bumi. Dan tentang Dia nabi bernubuat “Segala pulau mengharapkan pengajaran-Nya.” Tidak ada harapan yang lain di tengah-tengah krisis yang semakin meningkat kecuali manusia kembali kepada sumber kasih yang sanggup memberikan pengharapan yang tidak mengecewakan yaitu Yesus Kristus.

Kasih sabar menanggung segala sesuatu. Pengharapan yang sejati tidak mungkin tidak akan menuntut kesabaran menanggung segala sesuatu. Orang yang berani berharap mengetahui ‘resiko’ ini. Berharap berarti kerelaan untuk menanggung beban, khususnya kelemahan yang dimiliki oleh yang kita harapkan. Adalah natur kasih untuk menanggung beban yang lain. Sedangkan orang yang egois selalu mempercayakan bebannya kepada orang lain untuk dipikul sementara dia sendiri sedapat mungkin mengangkat beban yang paling ringan. Inilah model manusia yang berintegritas rendah! Orang demikian tidak bisa menjadi pemimpin yang baik. Pemimpin-pemimpin yang tidak mau menanggung resiko dan lebih suka play safe tidak dapat menjadi pemimpin yang sejati. Kepemimpinan adalah menanggung beban yang paling berat. Sayangnya sering kali konsep ini dihayati pada tahap awal saja. Ketika seseorang masih berada pada jabatan yang rendah dia melihat dirinya sebagai seorang pelayan, seorang hamba. Namun sementara waktu berjalan terus dan jabatan pun tidak tetap tinggal di situ, manusia menjadi lupa akan panggilannya. Berapa banyak hamba Tuhan (kalau mau tetap disebut hamba Tuhan!) setelah ‘melayani’ bertahun-tahun akhirnya menyatakan diri lebih mirip boss Gereja daripada hamba Tuhan! Beban-beban yang berat ‘dipercayakan’ kepada ‘bawahan’ sementara dia sendiri perlu banyak istirahat (Sabat?) dan waktu rekreasi yang cukup dan tidak ketinggalan fasilitas hidup yang harus dinikmati karena “bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian.” Bagaimana Gereja akan memiliki masa depan jika pemimpin-pemimpinnya seperti ini? Jangan menghakimi orang lain dan menganggap diri lebih baik! Akhir dari tulisan ini adalah untuk mengingatkan kita Tuhan dengan begitu sabar menanggung segala kelemahan kita dan kita pun wajib untuk belajar menanggung kelemahan sesama kita. Ada satu perkataan indah yang saya berusaha untuk terus mempelajarinya “Jika Tuhan mengijinkan kita untuk melihat kelemahan orang lain, maka itu berarti kita dipercayakan Tuhan untuk mendoakannya.” Itulah yang Kristus, Pendoa Syafaat yang Agung itu, terus kerjakan bagi Saudara dan saya sampai hari ini.

Paulus membandingkan kasih dengan 3 macam karunia yang lain. Dua di antaranya, yaitu bahasa roh dan pengetahuan, sangat diagungkan oleh jemaat di Korintus. Mereka sangat bangga memiliki karunia tersebut, bahkan dapat dikatakan sebagai pengejaran yang paling tinggi yang dapat dilakukan. Namun Paulus mengajarkan semua karunia itu suatu saat akan berakhir, berhenti, lenyap. Dengan kata lain karunia-karunia ini bersifat sementara, tidak kekal. Sedangkan yang tetap tinggal untuk selamanya adalah kasih. Mereka yang hanya mengejar yang bersifat sementara tanpa memperhatikan yang kekal hanya akan mengejar bayang-bayang seumur hidup.

Inilah yang dikatakan oleh Paulus ketika dia menggunakan metafor cermin. Pada zaman Paulus cermin belum terbuat dari kaca seperti pada zaman kita, melainkan dari logam yang dipoles sampai selicin mungkin dan Korintus adalah salah satu kota yang menghasilkan produk cermin yang terbaik pada zamannya, namun bagi Paulus bayangan itu tetap merupakan gambar yang samar-samar. Bagaimanapun sempurnanya bayangan yang terjadi dalam sebuah cermin yang paling mutakhir sekalipun, tetap tidak dapat menggantikan wajah manusia yang asli. Demikian pula ketika orang kristen mengejar karunia rohani demikian rupa (karunia yang manapun juga) dan mengejarnya di luar kasih, hal itu sama dengan menganggap bayangan yang ada dalam sebuah cermin sebagai benda yang asli.

Pengetahuan yang kita miliki hanyalah parsial saja, sebagian dan belum lengkap. The big picture itu belum dapat kita lihat selama kita masih berada dalam dunia. Kasihlah yang menyempurnakan pengetahuan. Pengetahuan yang sejati berarti mengasihi. Bahasa Indonesia memberikan alternatif istilah yang lebih baik untuk membedakan hal ini yaitu kata “mengenal.” Mengenal adalah mengetahui dengan cinta kasih. Konsep pengetahuan kita sudah sangat tercemar dengan konsep filsafat modern yang cenderung bersifat memperobjek. Pengetahuan sebagai objek yang diketahui dan saya sebagai subjek yang mengetahui. Ditambah lagi dengan keharusan adanya distance (menurut Descartes) sebagai syarat pengetahuan yang ‘objektif.’ Alkitab sama sekali berbeda ketika membicarakan tentang mengetahui (atau lebih tepat mengenal). Mengetahui berarti memiliki relasi, terutama relasi kasih. Ketika Allah mengatakan “Aku mengenal engkau” itu berarti kita dijadikan objek kasih-Nya (kalau mau tetap pakai istilah ‘objek’ juga). Sebaliknya “Aku tidak mengenal engkau” sama sekali bukan berarti Allah tidak tahu-menahu seluk-beluk jalan hidup orang tersebut karena Ia tetap Mahatahu, melainkan bahwa Allah telah membuang dia dari hadapanNya, ia tidak dikasihi, dibuang selama-lamanya. Jadi, mengetahui, menurut firman Tuhan, tidak pernah dapat dipisahkan dengan mengasihi. Mengetahui tanpa kasih hanya membuat manusia menjadi sombong, manipulatif, serakah dlsb. Namun ketika kita belajar mengasihi, kita mengetahui dengan lebih jelas yang kita kasihi tersebut. Ketika kita menyatakan diri sebagai orang yang mengetahui doktrin kristen dengan semangat akurasi yang tinggi, itu tidak pernah dapat dipisahkan dengan mengasihi kebenaran yang kita ketahui tersebut. Bukankah sejarah Gereja mengajarkan kepada kita banyak gereja-gereja yang sangat menekankan pengajaran doktrin yang ketat dan murni akhirnya jatuh kepada apa yang disebut Lloyd-Jones sebagai defective orthodoxy, ortodoksi lama yang kaku dan menuju kematian (contoh yang dicatat dalam Alkitab terdapat pada surat kepada jemaat di Efesus yang ditulis dalam Kitab Wahyu pasal 2). Keadaan seperti ini memicu banyak gereja akhirnya tidak lagi peduli dengan doktrin dan pengajaran yang ketat karena doktrin dan sikap dogmatis akhirnya diidentikkan dengan sikap yang mematikan kehidupan yang dinamis. Namun ini pun (tidak lagi mementingkan doktrin) sebenarnya bukanlah pilihan atau alternatif yang bijaksana. Di mana letak permasalahannya? Yaitu pada dikotomi mengetahui dan mengasihi, seolah-olah mungkin untuk mengetahui tanpa mengasihi, padahal Alkitab mengajarkan dengan sangat jelas kaitan antara keduanya.

Kasih bukan hanya menyempurnakan pengetahuan, kasih menyempurnakan semua karunia yang lain. Karena karunia pada dasarnya diberikan kepada setiap orang percaya untuk membangun orang lain dan bukan membangun diri sendiri. Demikian juga karunia nubuat, yang dikaitkan dengan tugas pemberitaan firman Tuhan, akan disempurnakan oleh kasih di mana pada akhir zaman, ketika Yesus Kristus datang kembali, kita akan menyaksikan bahwa apa yang sudah pernah ditabur itu tidak sia-sia sebab Tuhanlah yang memberi pertumbuhan sehingga setiap orang yang percaya dikuduskan oleh kuasa firman Tuhan. Pemberitaan firman Tuhan yang digerakkan oleh kasih selalu bertujuan membawa manusia untuk kembali kepada Tuhan, meninggalkan segala dosa dan kejahatan dan masuk ke dalam kehidupan yang lebih berkenan kepada Tuhan.

Dalam ayat yang ke-11, Paulus juga menggunakan kembali analogi kehidupan kanak-kanak yang terus beranjak menuju kedewasaan, yang akhirnya meninggalkan sifat kanak-kanak itu. Analogi ini dipergunakan untuk menyatakan kehidupan kedewasaan rohani sebagai suatu kehidupan yang mengasihi (dan bukan hanya dikasihi). Ketika kanak-kanak kita lebih banyak di-rawat, di-asuh, di-perhatikan, di-layani, di-kasihi. Setelah beranjak dewasa kita seharusnya menjadi manusia yang me-rawat, me-ngasuh, mem-perhatikan, me-layani, me-ngasihi. Kasih menyempurnakan kedewasaan rohani seseorang.

Ayat 12, kasih bahkan menyempurnakan pengenalan kita akan Allah. Ada begitu banyak kepercayaan di dunia ini, berapa di antara sekian banyak yang mengajarkan ibadah sebagai kasih kepada Allah? Agama paling banyak mengajarkan manusia takut kepada Allah, ibadah sebagai eksrepsi ketakutan terhadap Yang Mahatinggi, yang sewaktu-waktu siap menghukum barangsiapa yang berbuat jahat. Yesus Kristus datang ke dunia menyatakan kehidupan Allah yang bukan semata-mata membangkitkan rasa takut, melainkan lebih daripada itu, yaitu cinta kasih. Manusia tidak mungkin bisa mengasihi dengan sungguh kecuali memiliki konsep Allah Yang Mahakudus dan Mahakasih. Para penganut humanisme sekuler menciptakan ‘Allah Mahakasih’ yang tidak Mahakudus, sementara banyak agama menekankan kemahakudusan Allah dan tidak berani berbicara banyak tentang mahakasih-Nya. Yesus Kristus menggabungkan kedua sifat Allah itu secara sempurna ketika Dia sendiri mati tergantung di atas kayu salib. Di situ Dia menanggung murka Allah yang harus dinyatakan terhadap keberdosaan manusia, sekaligus Dia menyatakan cinta kasih Allah yang mengampuni orang yang percaya kepada Yesus. Kekuatan kasih Allah inilah yang terus mendorong Paulus hidup mengasihi Allah. Tanpa kita mengasihi Allah, tidak mungkin kita dapat mengenal Allah. Dan tanpa terlebih dahulu menyerahkan diri kita untuk dikasihi Allah dalam Yesus Kristus, tidak mungkin kita dapat mengasihi Allah. Hanya kasih yang memimpin kita ke sorga, di mana kita kelak akan mengenal dengan sempurna (dengan kasih yang sempurna), seperti kita sendiri dikenal (dikasihi dengan kasih yang sempurna).

Ayat terakhir pasal ini menyatakan kasih sebagai yang terbesar. Mengapa kasih? Karena di dalam kasih tercakup semuanya. Kasih membangkitkan iman, kasih memberikan pengharapan yang sejati. Kasih menyempurnakan segala sesuatu. Ketika kita belajar mengasihi saja, semua perintah Allah yang lain sudah termasuk di dalamnya.

“Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus AnakNya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.”

"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."




Profil Pdt. Billy Kristanto :
Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S. lahir pada tahun 1970 di Surabaya. Sejak di sekolah minggu mengambil bagian dalam pelayanan musik gerejawi. Setelah lulus SMA melanjutkan studi musik di Hochschule der Künste di Berlin majoring in harpsichord (Cembalo) di bawah Prof. Mitzi Meyerson (1990-96).
Setelah menamatkan studi musik di Hochschule der Künste di Berlin pada tahun 1996 Pdt. Billy Kristanto melanjutkan post-graduate study di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory). Beliau melayani sebagai Penginjil Musik di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Jakarta sejak Februari 1999 and pada tahun yang sama memulai studi theologi di Institut Reformed. Setelah lulus pada tahun 2002 dengan mendapatkan gelar Master of Christian Studies (M.C.S.) beliau menjabat sebagai Dekan School of Church Music di Institut Reformed Jakarta. Ditahbiskan menjadi pendeta sinode GRII di tahun 2005 beliau saat ini menggembalakan jemaat MRII Berlin, MRII Hamburg, PRII Munich, dan Persekutuan Reformed Stockholm. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi doktoral di bidang musikologi di Universitas Heidelberg, Jerman. Beliau menikah dengan Suzianty Herawati dan dikaruniai dua orang anak, Pristine Gottlob Kristanto dan Fidelle Gottlieb Kristanto.