22 December 2008

Resensi Buku-59: Tafsiran Alkitab Untuk Awam: SURAT YAKOBUS (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

...Dapatkan segera...
Buku
Tafsiran Alkitab Untuk Awam (TAUA): SURAT YAKOBUS

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.

Penerbit: Sekolah Teologi Awam Reformed, 2008





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Surat Yakobus adalah salah satu surat di dalam Alkitab yang begitu banyak diperdebatkan, karena isinya seolah-olah mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Paulus, di mana Paulus mengajarkan dibenarkan melalui iman, maka Yakobus mengajarkan dibenarkan melalui perbuatan. Benarkah dua hal ini bertentangan? Atau sebenarnya kedua hal ini justru saling melengkapi?

Bukan hanya itu, Surat Yakobus juga sering dikutip ayat-ayatnya, misalnya jangan hanya menjadi pendengar saja, tetapi juga menjadi pelaku firman (Yak. 1:19-25). Selain itu, ada juga yang mengutip pengolesan minyak (Yak. 5:14), lalu mengajarkan bahwa minyak urapan itu “berkuasa.” Bagaimana kita mengerti kesemuanya itu dengan perspektif yang benar?

Melalui buku Tafsiran Alkitab Untuk Awam (TAUA): Surat Yakobus, Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. membukakan kepada kita pengertian yang sebenarnya tentang isi Surat Yakobus. Keunikan buku ini adalah buku tafsiran ini sangat teliti menguraikan satu demi satu ayat sambil melihat konteks, membandingkan terjemahan Alkitab yang lain (Inggris), dan kesesuaiannya dengan Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB). Selain itu, penulis juga meyelidiki sampai ke dalam bahasa Yunani, lalu membandingkan penggunaan kata Yunani tersebut di dalam seluruh PL dan PB. Kemudian, beliau juga mengutip beberapa pendapat dari beberapa penafsir akan suatu ayat dan sanggahan beliau terhadap beberapa pendapat tersebut jika pendapat penafsir tersebut tidak sesuai dengan konteksnya. Meskipun kelihatannya rumit, tetapi terus terang, ketika saya membaca buku ini, saya banyak mendapat berkat dan saya mengapresiasi kecerdasan dan alur logika yang kuat (bahkan ketika membantah suatu pendapat dari penafsir) dari Ev. Yakub Tri Handoko ketika menafsir ayat demi ayat. Diharapkan melalui buku ini, orang Kristen boleh mendapat banyak berkat ketika ingin mendalami Surat Yakobus dan mempergunakan metode-metode penafsiran yang sama ketika memahami kitab-kitab lain di dalam Alkitab sesuai dengan genre-nya.






Profil Ev. Yakub Tri Handoko:
Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus.org). Beliau juga menjadi dosen tamu di: Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet dan Sekolah Theologi Reformed Injili Surabaya (STRIS) Ngagel, dan dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.

Matius 12:6-8: IMAN DAN HUKUM-3 (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 05 November 2006

Iman & Hukum-3
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 12:6-8

Pendahuluan
Kita telah memahami sebelumnya bahwa hukum sejati haruslah mengandung unsur kebenaran, kesucian dan cinta kasih dan semua unsur tersebut hanya ada dalam Kristus Yesus. Kristus adalah kebenaran yang hidup, Kristus adalah suci dan Kristus adalah kasih maka jelaslah bahwa hukum yang sejati tidak dapat dilepaskan dari Kristus; hukum akan menjadi kacau dan rusak kalau dilepaskan dari Kristus. Hari ini kita akan menajamkan kembali hukum yang dikaitkan pada kasih karena hal inilah yang membedakan iman Kristen dengan kepercayaan lain.
Kita tahu, hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari cinta dan keadilan. Cinta dan keadilan ini Tuhan tanamkan dalam diri setiap manusia, tetapi kejatuhan dalam dosa membuat pengertian cinta kasih dan keadilan menjadi rusak total karena manusia telah terlepas dari Allah. Calvin sangat menyadari bahwa dosa mengakibatkan kerusakan total, total depravity maka segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan oleh manusia bukan membawa manusia pada pengertian hukum dan kasih yang sejati tapi malah semakin menghancurkan manusia. Orang tidak mengerti hubungan antara kasih dan keadilan.
Pada jaman Perjanjian Lama, orang salah megintepretasi hukum-hukum yang ada pada saat itu akibatnya hukum dirasakan sebagai sesuatu yang membelenggu hidup mereka dan celakanya, mereka menyangka dengan melakukan semua hukum tersebut mereka sedang beribadah kepada Tuhan, mereka sedang menjalankan kebenaran. Pemikiran yang salah! Biasanya, orang yang biasa terjebak dalam konsep ini adalah mereka yang mempunyai konsep yang berbasis pada filsafat wahyu tapi tidak mau kembali pada Allah yang sejati. Agama Yudaisme dan agama Islam menyatakan diri sebagai agama wahyu, yakni agama diturunkan langsung dari sorga. Mereka percaya kalau semua yang tertulis dalam kitab suci berasal dari Tuhan namun ironis, mereka justru menolak Kristus Tuhan, the center of revelation. Akibatnya mereka hanya mengenal Allah sebagai Allah yang adil, mereka kehilangan esensi paling dasar, yaitu Allah adalah kasih maka hukum tidak lebih sekedar peraturan-peraturan belaka dan kehilangan esensi. Orang tidak pernah mengerti kenapa hukum itu dibuat? Apa yang menjadi motivasi dibalik aturan tersebut? Karena itu, Tuhan Yesus datang dan mengkoreksi pemikiran mereka yang salah, Tuhan Yesus membukakan pada mereka apa yang menjadi motivasi dibalik hukum tersebut?
Dalam agama Yudaisme maupun agama Islam mengenal konsep kasih tapi realitanya, kasih itu tidak terimplikasi dalam kehidupan sehari-hari bahkan dalam relasi suami-istri dimana relasi itu yang paling penting dalam pembentukan cinta kasih, disana tidak ada kasih. Agama Islam mengenal konsep poligami namun ditengah-tengah masyarakat, konsep poligami itu sendiri pun masih banyak perdebatan. Ada sebagian orang yang setuju asal ada keadilan di dalamnya dan sebagian orang lagi tidak setuju karena cinta tidak dapat dibagi dengan adil. Di tengah perdebatan ini, seorang tokoh agama Islam menyatakan bahwa poligami itu salah kalau didasarkan atas hawa nafsu atau ketertarikan secara sexual belaka. Adapun latar belakang konsep poligami, yakni: 1) untuk mereduksi poligami yang terjadi jaman itu dari banyak istri dikurangi maksimal 4 orang saja; 2) untuk mempertahankan status, seorang janda dari raja statusnya akan turun kalau ia menikah dengan budak tapi dalam hal ini ia tidak boleh berhubungan sex, 3) menjaga keadilan. Dibalik semua pendapat yang ada tersebut, perhatikan ada sesuatu yang hilang, yaitu unsur kasih. Tidak ada satu pun pendapat yang menyatakan bahwa pernikahan mereka terjadi karena unsur cinta kasih. Orang tidak sadar bahwa kasih merupakan unsur yang paling penting dalam relasi suami-istri. Tidak ada relasi lain, hanya relasi antara suami istrilah yang dapat mengimplikasikan cinta kasih terbesar. Apakah kita mempunyai cinta pada teman lebih besar daripada pada istri atau suami kita? Tidak, bukan? Tentu saja, cinta terbesar itu kita berikan pada suami atau istri kita; cinta kasih terbesar itu hanya ada dalam hubungan pernikahan. Maka dapatlah dibayangkan apa yang terjadi dengan pernikahan kalau tidak ada cinta kasih didalamnya.
Konsep keadilan sangatlah ditekankan oleh orang Israel maupun orang Yahudi tetapi orang tidak memahami apa artinya adil? Darimana mengukur adil? Akibatnya orang mengukur keadilan dari konsep material; hukum telah merosot sampai ke tingkat yang paling rendah. Manusia hidup di dunia ini tidak lepas dari peraturan atau hukum. Tidak dapat dipungkiri, manusia hidup membutuhkan hukum; negara juga membutuhkan hukum namun pertanyaannya apa yang menjadi landasan dasar suatu aturan/hukum itu dibuat? Pada umumnya, orang membuat aturan atau hukum karena alasan material; hukum hanya membicarakan bagaimana mendapatkan atau membagi materi secara merata dan adil. Orang lupa kalau sesungguhnya bukan materi yang utama tetapi yang lebih penting adalah motivasi dibalik hukum tersebut.
Hukum yang benar tidak boleh dilepaskan dari Kristus Sang Pemberi hukum. Tuhan Yesus mengkritik keras orang Yahudi dalam penerapan hukum. Tuhan Yesus menegaskan bahwa “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah“ (Mat. 12:7). Ketika kita menjalankan hukum dimana didalamnya hanya ada unsur keadilan maka hukum itu menjadi sangat kejam karena hukum dijalankan demi untuk memuaskan kepentingan pribadi semata. Orang lupa bahwa di dalam hukum haruslah ada unsur belas kasihan. Kasih haruslah menjadi motivasi hukum; cinta kasih merupakan esensi Allah dan cinta kasih merupakan inti iman Kekristenan.
Pertanyaannya adalah kenapa hukum harus dimotivasi oleh cinta kasih? Ada tiga aspek yang perlu kita perhatikan, yaitu:
Pertama, cinta sejati selalu menginginkan yang terbaik.
Cinta sejati adalah cinta yang mau berkorban dan tulus. Kristus mengasihi manusia, Dia mau berkorban untuk manusia; Dia berbelas kasih pada obyek yang dikasihi-Nya dan atas dasar kasih inilah, Ia memberikan hukum. Hukum sejati diatur dan dikerjakan karena dimotivasi oleh true love. Karena itu, hukum tidak dapat dilepaskan dari Kristus yang adalah esensi hukum. Namun sangatlah disayangkan, hari ini kita menjumpai banyak orang membuat hukum tapi hukum yang dibuat justru semakin membuat kekisruhan dan ketegangan dan menimbulkan ketidakpuasan karena semua hukum itu dibuat untuk menyelesaikan masalah demi memuaskan diri; cinta menjadi manifestasi egoisme diri. Betapa indah dunia ini kalau hukum dimotivasi oleh cinta kasih. Seorang pemimpin yang baik, ketika ia membuat hukum haruslah dimotivasi oleh kasih karena ia mengasihi rakyatnya. Namun, dosa menyebabkan konsep kasih tercemar akibatnya hukum yang dibuat pun adalah hukum yang memuaskan diri sendiri. Orang yang berhak membuat peraturan atau hukum haruslah orang yang mempunyai kasih dan peduli akan obyek yang hendak dijadikan hukum. Janganlah sekali-kali kita meminta orang yang tidak mempunyai hati yang berbelas kasih untuk membuat suatu peraturan. Apalah artinya sebuah aturan kalau aturan tersebut malah menyengsarakan orang? Aturan haruslah menjadikan orang lebih baik. Jangan membuat aturan karena didasari oleh rasa benci atau rasa jengkel pada seseorang karena hukum tersebut menjadi kacau. Biarlah kita mengevaluasi diri apakah ketika kita membuat hukum itu dimotivasi oleh cinta kasih?
Kedua, cinta sejati tidak akan mencelakakan.
Hukum yang dimotivasi oleh kasih sejati tidak akan mencelakakan orang/golongan tertentu; hukum dibuat demi menjaga keadilan atau kebaikan. Jikalau ada orang yang ingin mencelakakan kepentingan mayoritas maka ia harus dihambat dengan hukum. Bayangkan, apa jadinya negara ini kalau seorang penjahat atau seorang teroris yang telah berbuat kejahatan dan mencelakakan banyak orang tetapi tidak dihukum karena alasan cinta kasih? Tentu saja, negara akan menjadi sangat kacau. Akan tetapi, perlu diingat, hukum yang dimotivasi oleh kasih bukan tidak menghukum orang yang bersalah. Tidak! Hukum yang dimotivasi oleh kasih menghukum orang karena ia telah mencelakakan orang lain. Perhatikan, ketika Allah menerapkan hukum-Nya maka semua itu dimaksudkan demi untuk kebaikan kita; Allah tidak ingin mencelakakan manusia. Cinta kasih yang sejati justru menginginkan supaya dosa dihentikan karena dosa selalu bersifat menghancurkan; dimana ada dosa maka disana pasti ada kebinasaan; dimana ada dosa, moralitas manusia semakin rusak; dimana ada dosa, dunia menjadi kacau, chaos. Biarlah kita mengevaluasi diri bagaimana dengan hukum yang kita terapkan di keluarga kita? Apakah aturan tersebut sudah didasari oleh cinta kasih sehingga tidak mencelakakan orang lain? Betapa indah dunia ini kalau hukum yang dijalankan adalah hukum yang dimotivasi oleh cinta kasih.
Ketiga, cinta sejati selalu ingin menopang mereka yang berada dalam kesulitan.
Hukum yang diterapkan di dunia seringkali menyeleweng bahkan merugikan dan menindas golongan lain yang lemah karena dunia memakai konsep survival of the fittest, yakni siapa kuat maka dia yang menang ditambah lagi dengan konsep utilitarian yang telah mengakar kuat dalam diri manusia. Konsep utilitarian mengajarkan konsep manfaat maka kepentingan kelompok marginal, kelompok minoritas yang dianggap tidak menguntungkan atau bermanfaat akan langsung disingkirkan. Kelompok mayoritas yang lebih dipentingkan sebab kebenaran-kebenaran yang paling inti justru menjadi hilang. Hal ini dibuktikan dengan kematian Kristus; Tuhan Yesus yang penuh cinta kasih dan kebajikan ini harus dikorbankan/dibinasakan karena Dia hanyalah kelompok minoritas. Hukum dibuat untuk menjaga kelompok yang tertindas tapi bukan berarti kelompok minoritas yang tertindas kalau berbuat salah tidak dihukum. Tidak! Meski minoritas tapi kalau bersalah, mereka juga harus dihukum dan meski minoritas, mereka harus melakukan hal yang positif dan hidup baik, mereka juga tidak boleh mencelakakan siapapun. Hanya kelompok minoritas ini harus mendapat perhatian lebih dengan demikian mereka selalu terlindungi. Alkitab menegaskan bagian-bagian tubuh yang paling lemah dan tidak diperhatikan orang justru mendapat perhatian khusus. Inilah cara Tuhan melihat suatu hukum dan keadilan. Jelaslah bahwa tanpa Kristus, tidak ada pengharapan di dunia. Betapa indahnya hidup kita kalau Kristus bertahta dan menjadi Tuhan atas hidup kita. Biarlah dalam seluruh aspek hidup kita cinta kasih yang sejati itu mewarnai hidup kita dengan demikian ketika kita membuat suatu hukum atau aturan, hal itu dapat menolong orang keluar dari kesulitan bukan semakin menjerat orang lebih dalam kesulitan dan penderitaan.
Segala sesuatu yang dimotivasi oleh iman Kristen akan menghasilkan sesuatu yang baik karena cinta kasih sejati akan membawa kita pada hukum yang sejati dan hukum yang sejati akan membawa kita pada hidup yang sejati, the true love brings the true law and give the true live maka kita merasa nyaman. Untuk memudahkan kita memahami maka love – law – live dapatlah digambarkan seperti sebuah segitiga yang saling bergantung satu dengan yang lain. Dunia tidak pernah mengerti akan konsep ini karena mereka mempunyai konsep iman yang salah. Disini, iman mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap konsep pemikiran kita dan cara berpikir kita mempengaruhi perbuatan kita. Tentang hal ini telah disadari oleh Francis Schaeffer, yakni I do what I think and I think what I believe.
Montesque sebelumnya memiliki konsep bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan pemimpin; pemikiran ini dilatarbelakangi oleh imannya yang mengajarkan bahwa pemimpin tertinggi di tangan Paus dan Pope can’t do no wrong. Namun setelah ia dibukakan dan diubahkan paradigmanya, Montesque melihat ada kesalahan dalam konsep otoritas tunggal tersebut. Montesque berafiliasi pada pemikiran Calvin dan ia mengeluarkan teori politik yang dipakai di seluruh dunia, yaitu trias politica yang mengajarkan bahwa pemerintahan tidak boleh berada di tangan satu orang saja maka Montesque membaginya menjadi 3 lembaga, yakni eksekutif, yudikatif dan legislatif dimana ketiganya saling berkait dan saling mengawasi. Jelas kita melihat iman sangat mempengaruhi politik dan hukum; kalau iman kita salah maka seluruh implikasi hukum juga salah.
Hendaklah kita senantiasa memohon kekuatan dari Tuhan dalam kita menerapkan hukum yang sejati di tengah dunia yang bobrok ini dan kita juga memohon pertolongan dan bijaksana sorgawi dalam kita membuat suatu hukum atau aturan dengan demikian hukum itu didasari oleh cinta kasih sejati dan hidup manusia pun menjadi nyaman. Biarlah kita diubahkan dalam seluruh paradigma dengan demikian setiap langkah dan setiap keputusan yang kita ambil dimotivasi dengan suatu prinsip keadilan dan cinta kasih sejati. Biarlah kita pakai Tuhan menjadi saksi-Nya, menjadi terang-Nya di tengah dunia yang gelap. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 12:9: KASIH SEJATI-1: Kasih yang Tulus dan Benar

Seri Eksposisi Surat Roma :
Aplikasi Doktrin-4


Kasih Sejati-1: Kasih yang Tulus dan Benar

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 12:9.


Setelah menjelaskan karunia yang dipakai untuk membangun tubuh Kristus, maka Paulus menjelaskan satu prinsip penting yang melandasi penggunaan karunia tersebut, yaitu KASIH. Karunia rohani yang dipakai tanpa didasari kasih akan mengakibatkan tindakan iri hati dan kompetisi yang tidak memuliakan Tuhan. Oleh karena itu, Paulus memaparkan konsep KASIH agar jemaat Roma boleh mengimplikasi semua karunia yang Tuhan berikan bagi pembangunan tubuh Kristus. Konsep kasih ini dibahas Paulus mulai ayat 9 s/d 20, dan kita akan membahasnya. Karena banyaknya pembagian konsep kasih di dalam 12 ayat ini, kita akan membagikannya ke dalam beberapa bagian secara sedikit demi sedikit agar kita boleh merenungkan setiap makna kasih yang Paulus paparkan. Bagian pertama, kita akan membahas ayat pertama, ayat 9.

Di titik pertama, di ayat 9, Paulus memaparkan konsep kasih yang bertolak belakang dengan konsep kasih ala dunia, yaitu konsep kasih Kristen berkaitan erat dengan ketulusan dan kebenaran. Di ayat 9, Paulus mengajar, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.”
Poin pertama tentang kasih, yaitu kasih itu tidak munafik. Kata “jangan pura-pura” di dalam terjemahan International Standard Version (ISV), Modern King James Version (MKJV), dan New King James Version (NKJV) adalah “without hypocrisy” (=tidak/tanpa munafik). New International Version (NIV) menerjemahkannya, “Love must be sincere.” (=Kasih harus murni/tulus). Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “Kasihilah dengan ikhlas.” NIV Spirit of Reformation Study Bible memberikan keterangan mengenai ayat ini bahwa di dalam drama Yunani klasik, hypokrites (aktor) menggunakan topeng (hlm. 1833). Oleh karena itu, kasih Kristen itu tidak boleh menggunakan topeng, tetapi kasih Kristen harus merupakan ekspresi otentik dari kehendak yang baik (ibid.). Topeng merupakan suatu media menutupi hakekat sesungguhnya. Manusia berdosa ditutupi oleh “topeng” sehingga tampak seolah-olah manusia itu tanpa dosa. Di dalam kasih pun, topeng itu dipergunakan. Manusia saling mengasihi dengan “topeng” atau motivasi yang tidak murni, misalnya karena ingin menyenangkan semua orang, seseorang dengan argumentasi “kasih” rela berkompromi apa saja (termasuk iman). Seorang karyawan yang membenci bosnya biasanya banyak yang tidak menunjukkan kebencian itu secara langsung, tetapi di depan bosnya, mereka tersenyum dan tampak baik dan “kasih,” tetapi setelah bosnya tidak ada di depannya, mereka mulai menggosipkan bosnya dengan hal-hal buruk. Itulah topeng. Bagaimana dengan Kekristenan? Paulus mengatakan bahwa kasih itu harus tulus ikhlas dan tidak munafik. Atau dengan kata lain, kasih itu harus keluar dari hati dan motivasi yang murni dan suci (bdk. 1Tim. 1:5). Hati dan motivasi yang murni dan suci hanya terjadi ketika Roh Kudus menguasai dan menyucikan hati dan motivasi kita melalui Firman. Ketika Roh Kudus menguasai hati dan motivasi kita dan menyucikannya dengan Firman, maka kita baru bisa memiliki kasih yang tulus. Di sini, saya mengaitkan kasih yang tulus dengan Kebenaran. Ketulusan tanpa Kebenaran adalah suatu ketidakmasukakalan. Mengapa? Karena ketulusan itu dibangun di atas subjektivitas manusia berdosa yang sendirinya otomatis tidak bisa tulus. Sehingga ketulusan harus dibangun di atas dasar Kebenaran Firman. Sebelum menerima Kristus, Paulus yang dulu bernama Saulus tidak memiliki kasih yang tulus. Ia memang katanya “mengasihi Tuhan” (lebih tepatnya mengasihi agamanya) dengan menganiaya Jemaat Tuhan, tetapi sayang kasih Saulus tidaklah tulus, karena tidak berkait dengan Kebenaran Kristus. Setelah Paulus bertobat, ia tidak segan-segan menegur Petrus yang munafik di hadapan orang ketika Petrus bersalah (Gal. 2:11-14). Teguran keras Paulus kepada Petrus di hadapan semua orang merupakan bentuk kasih Paulus yang tulus mengingatkan Petrus agar tidak berlaku munafik. Teladanilah Paulus. Saat ini kita melihat begitu banyak orang yang mengaku diri “Kristen” tetapi ketika melihat sesamanya bersalah atau berdosa, ia tidak mau menegur, dengan dalih “mengasihi” sesamanya. Benarkah ia mengasihi? TIDAK! Kasih itu adalah kasih yang munafik, berpura-pura supaya diterima banyak orang. Paulus bukan seperti itu. Dan hamba Tuhan sejati pun seharusnya tidak perlu bermuka dua atau mencari “nama baik” dan menyenangkan semua orang! Hamba Tuhan adalah hamba Tuhan yang dipanggil menyuarakan suara kenabian memberitakan Kebenaran Firman termasuk teguran keras kepada umat-Nya yang jelas-jelas berdosa. Ketika seorang Kristen yang beres dan hamba Tuhan yang bertanggungjawab menegur orang Kristen lain dan membawanya kepada Firman Tuhan yang beres, itu tanda mereka benar-benar mengasihi dengan kasih yang tidak munafik. Orang yang ditegur tersebut jika hati dan pikirannya dicerahkan Roh Kudus, ia pasti bertobat, lalu ia berterima kasih kepada kita yang telah menegurnya, dan kemuliaan hanya bagi Tuhan. Di sini, saya mengaitkan antara ketulusan hati dengan kasih dan pimpinan Roh Kudus. Teguran yang baik bukan teguran yang memojokkan orang sampai tidak berdaya, tetapi teguran yang baik adalah teguran yang disertai dengan kuasa Roh Kudus yang menegur kesalahan orang lain dan membawa orang lain tersebut kepada ajaran Firman Tuhan yang beres. Biarlah kita dipakai Tuhan untuk terlebih dahulu mengoreksi diri kita, lalu mengingatkan saudara-saudara seiman kita yang berdosa agar mereka boleh kembali kepada Tuhan. Tegurlah mereka dengan kesabaran dan pengajaran (2Tim. 4:2).

Kedua, kasih itu membenci kejahatan dan melakukan yang baik. Selain ketulusan, Paulus berbicara mengenai kasih yang berkait dengan kebenaran keadilan. Ayat 9b dalam terjemahan International Standard Version (ISV) adalah, “Abhor what is evil; cling to what is good.” NIV menerjemahkannya, “Hate what is evil; cling to what is good.” KJV menerjemahkannya, “Abhor that which is evil; cleave to that which is good.” Jamieson, Fausset and Brown Commentary dengan tajam sekali mengatakan bahwa kedua frasa ini bukan berarti kita tidak melakukan yang jahat, tetapi melakukan yang baik, melainkan kedua frasa ini berarti kita membenci yang jahat, lalu mengerjakan/berpegang pada yang baik. Apa artinya? Tafsiran ini hendak mengatakan bahwa frasa ini tidak berarti kita disuruh hanya tidak melakukan yang jahat, sebaliknya melakukan yang baik, tetapi kita diperintahkan untuk benar-benar membenci (tidak suka sama sekali) dengan kejahatan, lalu berbalik berpegang pada kebaikan. Tidak melakukan yang jahat belum tentu berarti membenci atau tidak suka sama sekali, karena mungkin sekali orang tidak melakukan yang jahat hanya karena tidak ada kesempatan. Tetapi kata “membenci” berarti mutlak tidak suka dan sebaliknya, melakukan hal yang baik ketika ada maupun tidak ada kesempatan. Di sini, Paulus tajam sekali memakai perkataan.
Di dalam ayat ini, Paulus mengaitkan kasih pertama-tama dengan membenci kejahatan. Kata abhor (terjemahan Inggris) bisa diterjemahkan sangat membenci. Dan struktur kata Yunani untuk membenci ini menggunakan bentuk aktif. Artinya, di dalam kasih, kita harus sangat membenci kejahatan. Herannya dunia postmodern mengajarkan konsep kasih yang justru mencintai kejahatan. Dengan dasar “kasih,” banyak orang postmodern pragmatis mengizinkan konsep free-sex. Dengan alasan “kasih,” seorang pemuja “theologi” religionum mengompromikan iman Kristen agar bisa diterima oleh semua orang yang beragama lain. Ya, semua konsep “kasih” duniawi selalu berpusat pada manusia, sehingga tidak usah heran, kalau yang ditekankan justru kejahatan. Sedangkan Alkitab mengajar kita konsep yang sangat bertolak belakang, yaitu kasih justru sangat membenci kejahatan. Dengan kata lain, kasih sejati tidak suka dengan apa yang jahat dan menjijikkan. Apa kasih hanya membenci kejahatan? Tidak. Kasih di sini juga disebutkan berpegang pada apa yang baik. Kata “lakukanlah” dalam terjemahan LAI di dalam bahasa Yunani diterjemahkan, “bergabunglah dengan yang baik.” (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 864). ISV dan NIV di atas menerjemahkannya dengan kata cling yang berarti mendekat atau menempel atau memeluk. KJV menerjemahkannya dengan kata cleave yang berarti berpegang erat atau setia pada. Bukan hanya membenci kejahatan, kasih justru berpegang pada apa yang baik. Apa itu baik? Baik menurut siapa? Dengan kriteria apa mengukur baik? Paulus tidak perlu memberikan catatan tambahan mengenai apa itu baik, karena di ayat sebelumnya, ayat 2, Paulus telah mencantumkan “baik” sebagai salah satu dari kehendak Allah (kedua kata “baik” yang dipakai baik pada ayat 2 dan 9 ini sama-sama menggunakan bahasa Yunani agathos). Dengan kata lain, apa yang baik adalah apa yang sesuai dengan kehendak Allah dan tentunya berkaitan erat dengan unsur lain dari kehendak Allah yaitu berkenan kepada Allah dan sempurna. Di sini, kebaikan berkaitan erat dengan kehendak, kebenaran, kekudusan, dan kesempurnaan Allah. Memisahkan konsep baik dari hal-hal tersebut bukanlah konsep baik yang diajarkan Alkitab. Ingatlah setan juga bisa berbuat “baik,” tetapi motivasinya selalu busuk, sehingga kita bisa mengenali ke“baik”an setan dari segi motivasi. Setan itu “baik,” tetapi tidak kudus, tidak benar, tidak sempurna, sehingga jangan pernah mengimpor kebaikan dari setan. Sebaliknya, Alkitab selalu mengajarkan konsep yang seimbang dan terintegrasi yaitu kebaikan diseimbangkan dengan konsep keadilan, kemarahan, kedaulatan, kekudusan, dan kesempurnaan Allah, sehingga kebaikan itu bukan kebaikan semu, tetapi kebaikan yang benar. Dengan kata lain, ketika Paulus mengajar bahwa kita harus berpegang pada kebaikan, itu berarti kita harus berpegang pada kekudusan, keadilan, kedaulatan, dan kesempurnaan Allah sebagai teladan kita. Di saat itulah, kita baru mendapatkan konsep kebaikan yang sejati. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengerti apa yang baik yang memuliakan Allah? Ataukah kita masih berpegang pada apa yang jahat? Hari ini, Firman menegur dan mendorong kita untuk berpegang pada yang baik dan melakukannya. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan bersedia terus-menerus dipimpin Roh Kudus untuk taat pada Firman. Hanya Firman yang bisa menuntun kita berbuat baik yang menyenangkan dan memuliakan Allah. Biarlah kita semakin rajin membaca Firman-Nya dan biarlah Firman itu sebagai cermin yang mengoreksi semua kesalahan kita dan memimpin kita mengerjakan apa yang baik, berkenan kepada Allah, dan yang sempurna, sehingga nama Allah Tritunggal saja yang dipuji untuk selama-lamanya. Soli Deo Gloria.