22 December 2008

Roma 12:9: KASIH SEJATI-1: Kasih yang Tulus dan Benar

Seri Eksposisi Surat Roma :
Aplikasi Doktrin-4


Kasih Sejati-1: Kasih yang Tulus dan Benar

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 12:9.


Setelah menjelaskan karunia yang dipakai untuk membangun tubuh Kristus, maka Paulus menjelaskan satu prinsip penting yang melandasi penggunaan karunia tersebut, yaitu KASIH. Karunia rohani yang dipakai tanpa didasari kasih akan mengakibatkan tindakan iri hati dan kompetisi yang tidak memuliakan Tuhan. Oleh karena itu, Paulus memaparkan konsep KASIH agar jemaat Roma boleh mengimplikasi semua karunia yang Tuhan berikan bagi pembangunan tubuh Kristus. Konsep kasih ini dibahas Paulus mulai ayat 9 s/d 20, dan kita akan membahasnya. Karena banyaknya pembagian konsep kasih di dalam 12 ayat ini, kita akan membagikannya ke dalam beberapa bagian secara sedikit demi sedikit agar kita boleh merenungkan setiap makna kasih yang Paulus paparkan. Bagian pertama, kita akan membahas ayat pertama, ayat 9.

Di titik pertama, di ayat 9, Paulus memaparkan konsep kasih yang bertolak belakang dengan konsep kasih ala dunia, yaitu konsep kasih Kristen berkaitan erat dengan ketulusan dan kebenaran. Di ayat 9, Paulus mengajar, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.”
Poin pertama tentang kasih, yaitu kasih itu tidak munafik. Kata “jangan pura-pura” di dalam terjemahan International Standard Version (ISV), Modern King James Version (MKJV), dan New King James Version (NKJV) adalah “without hypocrisy” (=tidak/tanpa munafik). New International Version (NIV) menerjemahkannya, “Love must be sincere.” (=Kasih harus murni/tulus). Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “Kasihilah dengan ikhlas.” NIV Spirit of Reformation Study Bible memberikan keterangan mengenai ayat ini bahwa di dalam drama Yunani klasik, hypokrites (aktor) menggunakan topeng (hlm. 1833). Oleh karena itu, kasih Kristen itu tidak boleh menggunakan topeng, tetapi kasih Kristen harus merupakan ekspresi otentik dari kehendak yang baik (ibid.). Topeng merupakan suatu media menutupi hakekat sesungguhnya. Manusia berdosa ditutupi oleh “topeng” sehingga tampak seolah-olah manusia itu tanpa dosa. Di dalam kasih pun, topeng itu dipergunakan. Manusia saling mengasihi dengan “topeng” atau motivasi yang tidak murni, misalnya karena ingin menyenangkan semua orang, seseorang dengan argumentasi “kasih” rela berkompromi apa saja (termasuk iman). Seorang karyawan yang membenci bosnya biasanya banyak yang tidak menunjukkan kebencian itu secara langsung, tetapi di depan bosnya, mereka tersenyum dan tampak baik dan “kasih,” tetapi setelah bosnya tidak ada di depannya, mereka mulai menggosipkan bosnya dengan hal-hal buruk. Itulah topeng. Bagaimana dengan Kekristenan? Paulus mengatakan bahwa kasih itu harus tulus ikhlas dan tidak munafik. Atau dengan kata lain, kasih itu harus keluar dari hati dan motivasi yang murni dan suci (bdk. 1Tim. 1:5). Hati dan motivasi yang murni dan suci hanya terjadi ketika Roh Kudus menguasai dan menyucikan hati dan motivasi kita melalui Firman. Ketika Roh Kudus menguasai hati dan motivasi kita dan menyucikannya dengan Firman, maka kita baru bisa memiliki kasih yang tulus. Di sini, saya mengaitkan kasih yang tulus dengan Kebenaran. Ketulusan tanpa Kebenaran adalah suatu ketidakmasukakalan. Mengapa? Karena ketulusan itu dibangun di atas subjektivitas manusia berdosa yang sendirinya otomatis tidak bisa tulus. Sehingga ketulusan harus dibangun di atas dasar Kebenaran Firman. Sebelum menerima Kristus, Paulus yang dulu bernama Saulus tidak memiliki kasih yang tulus. Ia memang katanya “mengasihi Tuhan” (lebih tepatnya mengasihi agamanya) dengan menganiaya Jemaat Tuhan, tetapi sayang kasih Saulus tidaklah tulus, karena tidak berkait dengan Kebenaran Kristus. Setelah Paulus bertobat, ia tidak segan-segan menegur Petrus yang munafik di hadapan orang ketika Petrus bersalah (Gal. 2:11-14). Teguran keras Paulus kepada Petrus di hadapan semua orang merupakan bentuk kasih Paulus yang tulus mengingatkan Petrus agar tidak berlaku munafik. Teladanilah Paulus. Saat ini kita melihat begitu banyak orang yang mengaku diri “Kristen” tetapi ketika melihat sesamanya bersalah atau berdosa, ia tidak mau menegur, dengan dalih “mengasihi” sesamanya. Benarkah ia mengasihi? TIDAK! Kasih itu adalah kasih yang munafik, berpura-pura supaya diterima banyak orang. Paulus bukan seperti itu. Dan hamba Tuhan sejati pun seharusnya tidak perlu bermuka dua atau mencari “nama baik” dan menyenangkan semua orang! Hamba Tuhan adalah hamba Tuhan yang dipanggil menyuarakan suara kenabian memberitakan Kebenaran Firman termasuk teguran keras kepada umat-Nya yang jelas-jelas berdosa. Ketika seorang Kristen yang beres dan hamba Tuhan yang bertanggungjawab menegur orang Kristen lain dan membawanya kepada Firman Tuhan yang beres, itu tanda mereka benar-benar mengasihi dengan kasih yang tidak munafik. Orang yang ditegur tersebut jika hati dan pikirannya dicerahkan Roh Kudus, ia pasti bertobat, lalu ia berterima kasih kepada kita yang telah menegurnya, dan kemuliaan hanya bagi Tuhan. Di sini, saya mengaitkan antara ketulusan hati dengan kasih dan pimpinan Roh Kudus. Teguran yang baik bukan teguran yang memojokkan orang sampai tidak berdaya, tetapi teguran yang baik adalah teguran yang disertai dengan kuasa Roh Kudus yang menegur kesalahan orang lain dan membawa orang lain tersebut kepada ajaran Firman Tuhan yang beres. Biarlah kita dipakai Tuhan untuk terlebih dahulu mengoreksi diri kita, lalu mengingatkan saudara-saudara seiman kita yang berdosa agar mereka boleh kembali kepada Tuhan. Tegurlah mereka dengan kesabaran dan pengajaran (2Tim. 4:2).

Kedua, kasih itu membenci kejahatan dan melakukan yang baik. Selain ketulusan, Paulus berbicara mengenai kasih yang berkait dengan kebenaran keadilan. Ayat 9b dalam terjemahan International Standard Version (ISV) adalah, “Abhor what is evil; cling to what is good.” NIV menerjemahkannya, “Hate what is evil; cling to what is good.” KJV menerjemahkannya, “Abhor that which is evil; cleave to that which is good.” Jamieson, Fausset and Brown Commentary dengan tajam sekali mengatakan bahwa kedua frasa ini bukan berarti kita tidak melakukan yang jahat, tetapi melakukan yang baik, melainkan kedua frasa ini berarti kita membenci yang jahat, lalu mengerjakan/berpegang pada yang baik. Apa artinya? Tafsiran ini hendak mengatakan bahwa frasa ini tidak berarti kita disuruh hanya tidak melakukan yang jahat, sebaliknya melakukan yang baik, tetapi kita diperintahkan untuk benar-benar membenci (tidak suka sama sekali) dengan kejahatan, lalu berbalik berpegang pada kebaikan. Tidak melakukan yang jahat belum tentu berarti membenci atau tidak suka sama sekali, karena mungkin sekali orang tidak melakukan yang jahat hanya karena tidak ada kesempatan. Tetapi kata “membenci” berarti mutlak tidak suka dan sebaliknya, melakukan hal yang baik ketika ada maupun tidak ada kesempatan. Di sini, Paulus tajam sekali memakai perkataan.
Di dalam ayat ini, Paulus mengaitkan kasih pertama-tama dengan membenci kejahatan. Kata abhor (terjemahan Inggris) bisa diterjemahkan sangat membenci. Dan struktur kata Yunani untuk membenci ini menggunakan bentuk aktif. Artinya, di dalam kasih, kita harus sangat membenci kejahatan. Herannya dunia postmodern mengajarkan konsep kasih yang justru mencintai kejahatan. Dengan dasar “kasih,” banyak orang postmodern pragmatis mengizinkan konsep free-sex. Dengan alasan “kasih,” seorang pemuja “theologi” religionum mengompromikan iman Kristen agar bisa diterima oleh semua orang yang beragama lain. Ya, semua konsep “kasih” duniawi selalu berpusat pada manusia, sehingga tidak usah heran, kalau yang ditekankan justru kejahatan. Sedangkan Alkitab mengajar kita konsep yang sangat bertolak belakang, yaitu kasih justru sangat membenci kejahatan. Dengan kata lain, kasih sejati tidak suka dengan apa yang jahat dan menjijikkan. Apa kasih hanya membenci kejahatan? Tidak. Kasih di sini juga disebutkan berpegang pada apa yang baik. Kata “lakukanlah” dalam terjemahan LAI di dalam bahasa Yunani diterjemahkan, “bergabunglah dengan yang baik.” (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 864). ISV dan NIV di atas menerjemahkannya dengan kata cling yang berarti mendekat atau menempel atau memeluk. KJV menerjemahkannya dengan kata cleave yang berarti berpegang erat atau setia pada. Bukan hanya membenci kejahatan, kasih justru berpegang pada apa yang baik. Apa itu baik? Baik menurut siapa? Dengan kriteria apa mengukur baik? Paulus tidak perlu memberikan catatan tambahan mengenai apa itu baik, karena di ayat sebelumnya, ayat 2, Paulus telah mencantumkan “baik” sebagai salah satu dari kehendak Allah (kedua kata “baik” yang dipakai baik pada ayat 2 dan 9 ini sama-sama menggunakan bahasa Yunani agathos). Dengan kata lain, apa yang baik adalah apa yang sesuai dengan kehendak Allah dan tentunya berkaitan erat dengan unsur lain dari kehendak Allah yaitu berkenan kepada Allah dan sempurna. Di sini, kebaikan berkaitan erat dengan kehendak, kebenaran, kekudusan, dan kesempurnaan Allah. Memisahkan konsep baik dari hal-hal tersebut bukanlah konsep baik yang diajarkan Alkitab. Ingatlah setan juga bisa berbuat “baik,” tetapi motivasinya selalu busuk, sehingga kita bisa mengenali ke“baik”an setan dari segi motivasi. Setan itu “baik,” tetapi tidak kudus, tidak benar, tidak sempurna, sehingga jangan pernah mengimpor kebaikan dari setan. Sebaliknya, Alkitab selalu mengajarkan konsep yang seimbang dan terintegrasi yaitu kebaikan diseimbangkan dengan konsep keadilan, kemarahan, kedaulatan, kekudusan, dan kesempurnaan Allah, sehingga kebaikan itu bukan kebaikan semu, tetapi kebaikan yang benar. Dengan kata lain, ketika Paulus mengajar bahwa kita harus berpegang pada kebaikan, itu berarti kita harus berpegang pada kekudusan, keadilan, kedaulatan, dan kesempurnaan Allah sebagai teladan kita. Di saat itulah, kita baru mendapatkan konsep kebaikan yang sejati. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengerti apa yang baik yang memuliakan Allah? Ataukah kita masih berpegang pada apa yang jahat? Hari ini, Firman menegur dan mendorong kita untuk berpegang pada yang baik dan melakukannya. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan bersedia terus-menerus dipimpin Roh Kudus untuk taat pada Firman. Hanya Firman yang bisa menuntun kita berbuat baik yang menyenangkan dan memuliakan Allah. Biarlah kita semakin rajin membaca Firman-Nya dan biarlah Firman itu sebagai cermin yang mengoreksi semua kesalahan kita dan memimpin kita mengerjakan apa yang baik, berkenan kepada Allah, dan yang sempurna, sehingga nama Allah Tritunggal saja yang dipuji untuk selama-lamanya. Soli Deo Gloria.

No comments: