06 May 2008

Matius 9:32-34: INTERPRETATION OF REALITY

Ringkasan Khotbah : 14 Agustus 2005
Interpretation of Reality
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Matius 9:32-34



Kalau kita bandingkan etika hukum Kerajaan Sorga yang diajarkan oleh Kristus dalam Khotbah di Bukit (Mat. 5-7) dengan konsep hukum dan filsafat dunia yang dipaparkan tokoh filsuf dunia seperti Aristotle, Socrates, Plato, Lao Tze dan lain-lain maka semua konsep tersebut tidak berarti. Hal ini diakui oleh dunia karena itulah dunia menyebut hukum Kerajaan Sorga ini sebagai the Golden Rule sebab sepanjang sejarah jaman ini tidak ada standar hukum atau etika kehidupan yang lebih tinggi dari etika yang diajarkan oleh Kristus. Setiap aturan atau hukum dunia yang ditata dengan menggunakan standar atau mengacu pada the Golden Rule pastilah mempunyai kualitas lebih tinggi dibandingkan dengan hukum dunia yang menggunakan standar lain.
Setiap orang yang menjadi warga Kerajaan Sorga tentulah harus mentaati setiap hukum Kerajaan Sorga yang ditetapkan oleh Kristus Sang Raja. Kita telah memahami implikasi hukum Kerajaan Sorga, yakni: pertama, the Lordship of Christ, yakni melihat Kristus bukan sekedar sebagai Juruselamat tetapi Kristus adalah Tuhan yang berkuasa atas hidup kita. Hari ini banyak orang yang mengaku percaya Kristus tetapi tidak mengakui Dia sebagai Tuhan, orang hanya mencari keuntungan, orang tersebut beriman humanis; kedua, discipleship, pengikut Kristus bukan bersifat sementara tetapi selamanya; ketiga, separation, anak Tuhan sejati haruslah hidup kudus dan memancarkan sifat Ilahi sebab kita memang dipisahkan untuk suatu tugas khusus di tengah-tengah dunia yang bobrok, keempat, faith, beberapa waktu lalu kita telah memahami tentang iman sejati melalui orang buta yang disembuhkan dan kini, kita kembali memahami iman tetapi terkait dengan orang bisu yang kerasukan dan disembuhkan.
Sepintas kalau kita baca kisah tentang orang bisu ini sepertinya tidak berkaitan dengan iman sebab tidak ada kata “percaya atau iman.“ Di dunia modern ini orang seringkali mengkaitkan iman dengan hal-hal yang spektakuler sebaliknya orang tidak peduli dengan pemikiran yang mendasari kepercayaannya padahal justru disinilah letak permasalahan iman yang paling besar sebab dalam hal berbicara itulah nampaklah imannya. Orang bisu yang dikisahkan oleh Matius disini bisunya bukanlah pembawaan sejak lahir tetapi karena ia dirasuk setan, terbukti setelah Tuhan Yesus mengusir setan yang ada padanya maka ia pun dapat berkata-kata kembali. Di satu pihak, ada orang ingin berbicara tetapi ia tidak dapat berbicara namun di pihak lain, ada orang yang dapat berbicara namun kata-kata yang keluar dari mulutnya bukanlah kebenaran. Realitanya sama, yakni orang bisu yang kerasukan disembuhkan namun orang Farisi justru mempunyai penafsiran berbeda. Ternyata realita yang tampak di depan mata bukan sekedar realita tetapi di belakangnya ada masalah rohani; kisah ini bukan sekedar bicara sebab di balik perkataan itu, iman seperti apakah yang mendasari?
Pertama, iman, realita dan penafsiran saling terkait erat. Alkitab yang sama tetapi diinterpretasikan berbeda-beda dan dari hasil interpretasi ini terungkaplah iman seseorang. Wajarlah kalau hari ini banyak orang dibingungkan karena banyaknya ajaran Kristen yang muncul dan semuanya mengajarkan hal yang berbeda. Iman tersembunyi di belakang tapi iman tidak dapat disembunyikan. Iman menjadi kacamata ketika seseorang melihat suatu realita, iman itu akan mempengaruhi seluruh pemikiran kita. Jadi, letak permasalahannya bukan pada Alkitabnya sebab Alkitab tidak pernah bersalah. Seorang teolog bernama Ronald Nash mengungkapkan bahwa terbentuknya pola pikir seseorang itu dipengaruhi oleh pendidikan baik dari sekolah maupun lingkungan dan membentuk suatu kerangka pemikiran yang menyatu dan saling terkait layaknya sebuah jaringan laba-laba dan ini menjadi dasar pemikiran ketika seseorang hendak mempertimbangkan, memutuskan dan melihat suatu realita. Alkitab menyebutnya dengan akal budi (Rm. 12:2). Seorang atheis melihat suatu realita maka penafsiran yang muncul pastilah menggunakan konsep atheis dan itu bertentangan dengan iman Kekristenan maka ketika dia bertobat, akal budi itu tidak langsung berubah, jelaslah ini menjadi suatu perintah aktif: 1) jangan serupa dengan dunia; 2) berubahlah oleh pembaharuan akal budimu. Iman sejati barulah dapat diimplikasikan kalau kita mempunyai obyek iman yang tepat dengan demikian ketika kita melihat suatu realita kita tidak salah menafsirkan. Sebuah realita misalnya kecelakaan mobil bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yakni: ekonomi, hukum, kedokteran akan menghasilkan interpretasi yang berbeda. Orang ekonomi pasti melihat dari kacamata ekonomi sehingga interpretasi yang muncul terkait erat dari sudut mana orang memandang suatu realita. Presuposisi yang muncul bukan sekedar presuposisi; presuposisi yang ada di sekitar wilayah dunia maka akan menjadi suatu relativitas belaka tetapi ketika kita memandang dari presuposisi Tuhan maka disanalah kita mendapatkan obyek iman yang sejati.
Orang Farisi mengaku diri sebagai seorang beriman, seorang yang mempraktekkan seluruh peraturan hukum Taurat tetapi ketika ia melihat mujizat yang dilakukan oleh Tuhan Yesus reaksinya justru berbeda. Hati-hati jangan terlalu cepat menafsir sebuah realita, cobalah kita mengevaluasi diri sendiri kenapa muncul interpretasi demikian? Apakah iman yang mendasari itu iman sejati ataukah iman dari setan? Iman sejati seharusnya terimplikasi dalam seluruh bidang kehidupan kita namun hari ini, orang cenderung mendualismekan antara iman dan kehidupannya; iman tidak dapat terintegrasi dalam seluruh bidang kehidupan. Di dunia modern orang biasa dididik konsep dualisme sehingga antara ilmu dan iman tidak saling berhubungan dan ironisnya orang tidak menyadari pentingnya integrasi tetapi merasa diri pandai dan paling benar, orang tidak mau kembali pada kebenaran sejati. Iman, realita menimbulkan penafsiran, hal ini menjadi aspek spiritual. Orang yang bisu ini bukan cuma sebatas tidak berbicara tetapi kebisuan ini masuk dalam urusan rohani sebab yang membuat bisu adalah setan sebaliknya orang yang dapat berbicara ternyata tidak beda dengan orang yang bisu, ia tidak lebih dari alat setan sebab kata-kata yang keluar dari berasal dari iblis. Karena itu kita harus berhati-hati dalam berkata-kata, biarlah kita uji dan mengevaluasi diri kita masing-masing benarkah setiap perkataan kita itu berasal dari Tuhan dan sesuai dengan kehendak Tuhan ataukah kita sama seperti orang Farisi, tidak lebih hanya sebuah alat setan?
Beberapa hal yang perlu kita perhatikan adalah: Pertama, apakah setiap perkataan yang keluar itu memuliakan Tuhan? Kalau memang benar dari Tuhan dan sesuai dengan kebenaran maka siapa kita manusia sehingga berani melawan Allah? Kedua, setiap perkataan yang sudah keluar dari mulut kita haruslah dipertanggung jawabkan. Kekristenan sangat melawan keras konsep postmodern, yaitu the death of the author yang mengajarkan bahwa setiap perkataan yang sudah keluar dari mulut kita bukanlah menjadi tanggung jawab kita maka perkataan lepas dari pembicaranya. Allah berfirman maka Firman yang keluar dipertanggung jawabkan oleh Allah. Begitu pula setiap hamba Tuhan yang memberitakan Firman haruslah mempertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Panggilan Tuhan dan perkataan saling terkait erat; Ketiga, hasil akhir adalah untuk kemuliaan Tuhan bukan untuk kemuliaan diri. Sebab segala sesuatu dari Dia, oleh Dia dan kepada Dia; Bagi Dia kemuliaan untuk selama-lamanya (Rm. 11:36). Ini merupakan prinsip Kekristenan.
Kedua, Kisah orang bisu ini sekaligus membukakan suatu fakta bahwa mujizat itu tidak akan membawa orang semakin mengenal Tuhan. Terbukti, Tuhan Yesus, Anak Allah sendiri yang melakukan mujizat tetapi toh orang tidak bertobat tetapi orang justru melawan Tuhan dengan mengatai-ngatai Tuhan Yesus adalah penghulu setan. Jelaslah bahwa orang kalau sudah menolak Tuhan maka ia akan tetap tidak mau percaya meski ia sudah melihat bukti; segala sesuatu yang positif akan menjadi negatif. Realita tergantung dari iman maka kalau orang dapat beraksi tepat dan menanggapi suatu mujizat dengan benar, itu merupakan suatu anugerah. Ingat, hari ini kalau kita dapat beriman maka itu bukan hasil usaha kita tetapi pemberian Allah. Mujizat paling besar bukan orang buta dicelikkan atau orang bisu berbicara atau memberi makan lebih dari lima ribu orang dengan lima roti dua ikan. Bukan! Mujizat terbesar di dunia adalah Kristus yang sudah mati itu bangkit kembali pada hari ketiga. Kristus bangkit dan Dia hidup bukanlah sekedar isapan jempol sebab hal ini disaksikan dan dibuktikan oleh kurang lebih 500 orang. Namun fakta sejarah yang sedemikian dahsyat ini toh tidak membuat orang percaya dan bertobat karena pada dasarnya orang menolak Kristus, dengan segala cara orang memelesetkan semua kebenaran bahkan berusaha menutupinya. Iman adalah pekerjaan Roh Kudus di dalam hati setiap manusia. Jelaslah, mujizat bukanlah sarana atau cara yang Tuhan kehendaki untuk mempertobatkan seseorang. Itulah sebabnya Tuhan Yesus melarang untuk kedua orang buta yang telah dicelikkan untuk tidak mengatakan pada orang lain. Jangan sandarkan iman pada mujizat atau hal-hal yang spektakuler. Sayangnya, dunia tidak mengerti hal ini, memang benar, mujizat menjadikan orang kagum namun hal tersebut tidak membuat orang bertobat. Biarlah kita meneladani iman dari Sadrakh, Mesakh dan Abednego, yakni Iman sejati adalah kembalinya kita pada Kristus, percaya bahwa Kristus dapat melakukannya dan kita juga akan tetap percaya kalau seandainya Tuhan tidak melakukan mujizat atas kita.
Ketiga, Perhatikan, kata-kata yang diucapkan oleh orang Farisi: “Dengan kuasa penghulu setan Ia mengusir setan“ sepintas kalau kita dengar sepertinya orang Farisi ini memusuhi setan namun kalau kita cermat, sesungguhnya ia telah menjadi alat untuk mempublikasikan kuasa setan. Setan sangatlah licik, ia mempromosikan dirinya dengan cara mengusir setan dan ia memakai seorang teolog sebagai alat. Strategi yang sangat licik. Kalimat yang diucapkan itu sekaligus membalik semua kebenaran. Tuhan Yesus melakukan tindakan benar tapi dengan perkataan orang Farisi itu, kini seolah-olah ia menjadi salah sebaliknya mereka yang salah justru menjadi benar; hanya dengan satu kalimat seluruh pekerjaan Tuhan Yesus menjadi tidak bernilai. Biarlah kita mengevaluasi diri, hati-hati dengan segala akal licik iblis karena itu, kita harus kembali pada Firman Kebenaran itu, sola scriptura. Itulah sebabnya Martin Luther dengan keras menentang tindakan Yohan Tetzel, seorang pastor yang menjual surat pengampunan dosa sebab apa yang dilakukan justru tidak membuat orang kembali pada Kristus tapi semakin merusak iman Kekristenan. Iblis tidaklah bodoh, cara yang dipakai sangatlah luar biasa; iblis memakai seorang teolog sebagai ajang untuk mempromosikan dirinya.
Orang-orang Israel berdecak kagum melihat hal yang spektakuler, katanya: “Yang demikian belum pernah dilihat di Israel.“ Namun orang Farisi langsung mematahkan dengan kalimat yang diucapkan: “Dengan kuasa penghulu setan Ia mengusir setan“ disini jelas, setan memakai orang Farisi ini untuk menyatakan bahwa yang melakukan mujizat itu bukan Tuhan Yesus tetapi setan. Dengan kata lain: pakai kekuatan Tuhan Yesus tapi dipasangi label setan sehingga seolah-olah setan yang lebih hebat dari Tuhan Yesus. Inilah cara licik yang dipakai oleh setan maka kita harus berhati-hati dan waspada. Tuhan Yesus tahu segala tipu muslihat iblis yang memakai kekuatan Tuhan tapi mengakui itu sebagai kekuatannya. Tuhan tidak akan tinggal diam karena tiba hari-Nya Tuhan akan menghukum mereka. Tuhan menegaskan bahwa pada hari terakhir banyak orang akan berseru: “Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi namaMu, mengusir setan demi namaMu, dan mengadakan banyak mujizat demi namaMu juga? Pada waktu itulah Aku berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari padaKu kamu sekalian pembuat kejahatan!“ (Mat. 7:23-24).
Janganlah kita mudah terjebak dengan akal licik si iblis yang memang sengaja membuat manusia merasa terganggu dan akhirnya menjadi marah ketika melihat orang mempermainkan kebenaran dan itu berakibat pada tindakan kita. Biarlah kita menjadi bijak sehingga kita dapat bertindak tepat. Dalam bagian ini Tuhan Yesus membukakan suatu kebenaran dan tugas kebenaran adalah memproklamasikan kebenaran dan Tuhan memberikan kebebasan bagi kita untuk memilih dan tugas kita mempertanggung jawabkan setiap keputusan yang kita pilih. Biarlah kita meneladani sikap dan tindakan Kristus ini dengan demikian di tengah dunia ini kita dapat melangkah dengan tepat. Setan sangat pandai membalik setiap realita, setan sangat pandai membuat orang sepertinya mengikuti arah yang benar padahal itu berujung dengan maut. Tugas setiap anak Tuhan untuk memberitakan kebenaran, membawa orang kembali pada kebenaran.
Bagian terakhir ini tidak ada kata “iman“ namun ini justru menjadi puncak evaluasi iman kita, yakni bagaimana kita mengimplikasikan iman. Inilah yang membuktikan siapakah kita? Apakah kita seperti orang Farisi yang katanya “beriman“ namun sesungguhnya kita tidak beda dengan anak iblis? Dimanakah keberadaan posisi kita? Cara kita melihat suatu realita dan menafsirkannya itu membuktikan iman kita, membuktikan siapa sesungguhnya diri kita. Karena itu, janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 8:5-8: HIDUP OLEH ROH VS HIDUP OLEH DAGING

Seri Eksposisi Surat Roma :
Manusia Lama Vs Manusia Baru-12


Hidup oleh Roh Vs Hidup oleh Daging

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 8:5-8.

Setelah mempelajari tentang adanya jaminan hidup dari suatu hidup yang tidak lagi dikuasai oleh dosa di ayat 1 s/d 4, kita akan mempelajari kedalaman jaminan tersebut melalui pemaparan Paulus tentang tiga perbedaan esensial antara hidup oleh Roh vs hidup oleh daging mulai ayat 5 s/d 8.

Di pasal 8 ayat 3-4, Paulus sudah mengajarkan bahwa kita tidak lagi hidup di bawah Taurat, karena Taurat tak mungkin menyelamatkan, tetapi kita hidup di bawah anugerah Allah. Hal ini justru mengakibatkan kita yang telah dibenarkan di dalam Kristus mampu melakukan Taurat dengan motivasi yang beres, yaitu memuliakan Allah, bukan untuk diperkenan di hadapan Allah. Hidup oleh Roh adalah hidup yang berada di bawah anugerah Allah dan sekaligus Taurat Allah yang memerdekakan umat pilihan-Nya dan memimpin mereka di dalam jalan ketaatan kepada Allah. Inilah yang dijelaskan Paulus di ayat 5, “Sebab mereka yang hidup menurut daging, memikirkan hal-hal yang dari daging; mereka yang hidup menurut Roh, memikirkan hal-hal yang dari Roh.” International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “For those who live according to the flesh set their minds on the things of the flesh, but those who live according to the Spirit set their minds on the things of the Spirit.” Di dalam ayat ini, Paulus mulai mengontraskan dua prinsip hidup yang berbeda dan bahkan saling bertentangan. Prinsip hidup pertama adalah hidup oleh daging. Ketika manusia hidup oleh daging, Paulus mengatakan bahwa pertama, orang tersebut hidup dikuasai oleh keinginan daging. Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “Orang-orang yang hidup menurut tabiat manusia, terus memikirkan apa yang diinginkan oleh tabiat manusia.” “Menurut daging” diterjemahkan oleh Alkitab BIS sebagai tabiat manusia, artinya natur manusia, yaitu manusia yang dicipta, terbatas dan berdosa. Bukan hanya hidup menurut tabiat manusia, orang yang hidup oleh daging juga terus memikirkan apa yang diinginkan oleh tabiat manusia. Dengan kata lain, orang yang hidup oleh daging terus tunduk di bawah keinginan tabiat manusia yang berdosa. Ambil contoh, ketika seseorang merokok, dia merokok bukan tanpa sebab. Mungkin dia merokok karena terpengaruh teman, atau sedang frustasi, dll, tetapi kebiasaan hidup oleh daging ini terus berlanjut, mengapa ? Karena hidup oleh daging mengakibatkan orang tersebut mau ditundukkan oleh kedagingan. Dengan kata lain, keinginan daging menjadi “tuan” mereka. Pdt. Billy Kristanto di dalam National Reformed Evangelical Convention (NREC) 2005 pernah menuturkan bahwa orang yang rakus adalah orang yang menjadikan makanan sebagai “tuan/tuhan”nya. Memang sungguh aneh dan lucu kedengarannya. Kalau kita mengerti bahwa manusia itu makhluk hidup dan hal-hal lain seperti makanan, keinginan, dll adalah hal-hal yang mati, maka adalah bodoh ketika kita menjadikan sesuatu yang mati sebagai “tuan”/penentu bagi kita yang hidup. Seharusnya, kita yang hidup menguasai dan menjadi tuan atas hal-hal yang mati, tetapi kondisi asli ini berubah dan bahkan berganti posisi, mengapa ? Karena kita telah berdosa. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa dosa mengakibatkan adanya pembalikan posisi, yaitu ketika manusia seharusnya menguasai alam dan tunduk di bawah Allah, malahan manusia mau menguasai Allah dan dikuasai alam. Itulah kegagalan hidup oleh daging. Lalu, bagaimana dengan hidup oleh Roh ? Prinsip hidup kedua yaitu hidup oleh Roh adalah, “terus memikirkan apa yang diinginkan oleh Roh Allah.” (terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari) Hidup oleh Roh adalah pertama, hidup yang menTuhankan Kristus dan taat pada pimpinan Roh Kudus. Dengan kata lain, hidup oleh Roh adalah hidup yang menTuhankan apa yang patut diTuhankan (=dijadikan Penguasa/Pemerintah yang mutlak harus ditaati di dalam hidup kita) yaitu Sumber Kehidupan sejati. Ketika kita menTuhankan Sumber Kehidupan sejati, maka pasti kita mendapatkan hidup sejati. Jadi, hidup oleh Roh adalah hidup sejati. Lalu, kita memperhatikan kata “terus” di dalam terjemahan BIS. Hidup Kristen yang adalah hidup oleh Roh bukan menghasilkan suatu kehidupan Kristen yang instan, artinya langsung kudus, bebas dari cacat cela, dll, tetapi hidup oleh Roh berada di dalam proses pengudusan Roh Kudus. Sehingga terjemahan BIS menambahkan kata “terus” yang mengindikasikan bahwa hidup oleh Roh adalah hidup yang terus-menerus (berkelanjutan) memikirkan apa yang diinginkan oleh Roh Allah. Bagaimana dengan kita ? Kita mungkin sudah menjadi Kristen berpuluh-puluh tahun, mungkin kita berasal dari keluarga Kristen (meskipun bukan jaminan bahwa kita adalah orang Kristen sejati yang termasuk anak-anak Allah), sudahkah hidup kita diserahkan total kepada-Nya untuk dikuasai dan dipimpin oleh Roh Allah ? Tuhan melalui Paulus mengingatkan kita bahwa hidup oleh Roh adalah hidup yang terus memikirkan apa yang diinginkan oleh Roh Allah, bukan yang diinginkan oleh kita sebagai manusia berdosa. Janganlah kita berani mengaku di depan umum sebagai orang Kristen, tetapi sayangnya kita masih hidup oleh daging, itu adalah penyangkalan. Paulus sudah membedakan kedua prinsip hidup ini dengan tegas, sejelas membedakan hitam dengan putih. Jadi, jangan menyamarkan kedua prinsip hidup ini.

Lalu, apa yang dimaksud dengan kedua prinsip hukum di atas ? Poin kedua dalam perbedaan dua prinsip hidup ini akan dibahas pada ayat 6, “Karena keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera.” Hal kedua yang dipelajari dari hidup oleh daging yang adalah hidup yang dikuasai oleh keinginan daging adalah maut. Artinya, akibat dari hidup oleh daging adalah kematian (mengutip dari Geneva Bible Translation Notes). Mengapa ? Karena hidup oleh daging adalah hidup yang dikuasai oleh keinginan daging yang sudah berdosa, sehingga yang dihasilkannya tentu adalah efek dari sesuatu yang berdosa yaitu kematian. Paulus sudah menjelaskan bahwa upah dosa ialah maut (Roma 6:23), dan gambaran inilah yang ia maksudkan ketika menjelaskan bahwa keinginan daging berbuahkan kematian/maut. Ketika kita mulai mendasarkan hidup pada yang bukan kehidupan, maka terimalah konsekuensinya yaitu kita pasti mengalami kematian (entah itu fisik maupun spiritual) yang sia-sia. Sedangkan, hidup oleh Roh dalam poin kedua dijelaskan Paulus membawa kepada kehidupan dan damai sejahtera. Geneva Bible Translation Notes menafsirkan kedua hal ini sebagai joy and everlasting life (kesukacitaan dan kehidupan yang kekal). Berbeda dari hidup oleh daging yang mengakibatkan kematian, maka hidup oleh Roh menghasilkan kehidupan sejati/kekal. Artinya, kehidupan yang kita jalani di dalam prinsip hidup oleh Roh adalah kehidupan yang memiliki tiga hal yang Paulus ajarkan di dalam Surat 1 Korintus 13:13 yaitu : iman, pengharapan dan kasih. Rev. Dr. John R. W. Stott di dalam bukunya Kristus yang Tiada Tara (Incomparable Christ) memaparkan bahwa ketiga hal ini berkaitan dengan tiga masa dan sekaligus tindakan yang harus dilakukan oleh orang Kristen, yaitu : Iman, kepada sesuatu yang sudah terjadi (tentu juga yang belum terjadi) ; Pengharapan, kepada sesuatu yang akan terjadi dan Kasih adalah tindakan yang harus kita lakukan saat ini. Dari sini, kita dapat mempelajari bahwa hidup oleh Roh bukan hidup yang sementara tetapi hidup yang melintasi waktu (dulu, sekarang dan akan datang) dan bahkan sampai kepada kekekalan. Mengapa bisa demikian ? Karena hidup oleh Roh adalah hidup yang bergantung kepada Kekekalan, bukan kesementaraan, sehingga barangsiapa yang hidup oleh Roh, hidupnya pasti tidak menemui kebinasaan, tetapi kekekalan, seperti yang telah dijanjikan Tuhan Yesus, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3:16). Kedua, berbeda dari hidup yang dikuasai oleh kedagingan yang membawa kepada maut/hidup yang tidak tenang (Pdt. Sutjipto Subeno menyebutnya “mati sebelum mati”), maka hidup oleh Roh adalah hidup yang dipenuhi dengan damai sejahtera. Geneva Bible Translation Notes menafsirkan damai sejahtera sebagai sukacita (joy). Orang dunia terus mendengungkan suatu kondisi negara yang damai, tenteram, aman, dll, tetapi sayangnya banyak dari mereka sangat tidak mengerti apa arti damai, mengapa ? Karena mereka tidak mengenal dan mengalami sendiri Sumber Damai Sejahtera sejati yaitu Tuhan Yesus. Tuhan Yesus berfirman, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” (Yohanes 14:27) Dan uniknya ayat ini berada tepat setelah ayat 26, yang mengajarkan bahwa Roh Kudus yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Nya (Kristus) akan mengingatkan para murid-Nya tentang segala sesuatu yang Kristus telah ajarkan. Dengan kata lain, Roh Kudus yang diutus bukan hanya Roh yang memimpin kepada Kristus, tetapi juga Roh yang memberikan damai sejahtera Kristus di dalam hidup umat pilihan-Nya. Ketika kita hidup oleh Roh, hidup kita pasti dipenuhi oleh damai sejahtera Kristus. Lalu, apa arti damai sejahtera itu ? Tuhan Yesus tadi sudah mengatakan bahwa damai sejahtera-Nya yang diberikan-Nya kepada para murid (dan juga kepada kita yang termasuk umat pilihan-Nya) BERBEDA dari damai sejahtera yang diberikan oleh dunia kepada kita. Di mana letak perbedaannya ? Dalam perkataan selanjutnya, Ia menjelaskan makna damai sejahtera-Nya yaitu “Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” Dengan kata lain, makna damai sejahtera Kristus adalah hidup yang tidak gelisah dan hati yang tidak gentar. Dari bahasa Yunani, kedua hal ini berarti hati yang tidak risau dan jangan takut. Damai sejahtera Kristus adalah damai sejahtera yang memberikan ketidakrisauan dan ketidaktakutan di dalam segala hal. Kalau kita melihat konteks Yohanes 14, maka kita mengerti bahwa pada waktu itu, Tuhan Yesus akan disalib, dan para murid-Nya gemetar ketakutan akan ditinggal sendirian, nah, saat itulah Tuhan Yesus menguatkan iman mereka bahwa Roh Kudus yang akan datang akan memberikan damai sejahtera Kristus sehingga mereka tak perlu takut ataupun kuatir dan cemas, karena meskipun Ia nantinya akan meninggalkan mereka untuk mati disalib, mereka tidak akan sendirian, karena Roh Kudus ada di dalam hati mereka. Bagaimana dengan kita ? Dunia di sekitar kita menghimpit dan menjepit kita dengan berbagai teror, ketakutan, kriminalitas, dll. Lalu, apakah kita yang tinggal di dalam dunia (negara) yang berdosa ini, masihkah kita takut dengan semuanya itu ? Kalau kita masih takut, saya mengundang Anda, segeralah datang kepada Tuhan Yesus yang akan memberikan damai sejahtera sejati kepada kita. Mungkin dunia, agama, filsafat, ilmu, kebudayaan, dll datang dan menawarkan kedamaian bagi Anda, tetapi ingatlah damai sejahtera Kristus sangat BERBEDA dari apa yang dunia tawarkan, mengapa ? Karena damai sejahtera Kristus selain memberikan ketidakrisauan dan ketidaktakutan, damai sejahtera-Nya adalah damai sejahtera abadi, karena Pemberinya adalah Kristus yang adalah Pribadi kedua Allah Trinitas yang kekal. Ketika Sang Kekal memberikan damai sejahtera, tentu damai ini sangat berbeda dengan damai sejahtera yang diberikan oleh kesementaraan.

Kemudian, perbedaan esensial ketiga antara kedua prinsip hidup ini dijelaskan pada ayat 7-8, “Sebab keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya. Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada Allah.” Prinsip hidup oleh daging ketiga adalah perseteruan terhadap Allah. Kata ini lebih tepat diterjemahkan perlawanan menentang Allah (menurut terjemahan langsung dari King James Version : enmity against God dan bahasa Yunani : echthra yang bisa berarti opposition/perlawanan). Kedua kata ini sedikit berbeda, di mana kata “perseteruan” hanya sebatas permusuhan (yang mungkin bisa melawan, tetapi bisa juga tidak melawan), tetapi kata “perlawanan” jelas menunjuk kepada tindakan melawan/menyerang. Dengan kata lain, hidup oleh daging bukan hanya bermusuhan dengan Allah, tetapi juga melawan Allah. Mengapa demikian ? Pernyataan berikut menjelaskannya yaitu karena keinginan daging tidak takluk kepada hukum Allah. Mengapa setan disebut “setan” (=penantang) ? Karena setan tidak takluk kepada Allah dan memberontak melawan-Nya. Ketika itulah, setan disebut penantang dan musuh yang melawan Allah. Ketika hidup kita tidak tunduk kepada hukum Allah, di saat itu pula hidup kita dikatakan melawan Allah. Mengapa ? Karena ketika kita tidak tunduk kepada hukum Allah, di saat yang sama, kita mencoba membangun suatu formulasi hukum yang kita anggap menyenangkan. Rev. Dr. W. Gary Crampton di dalam bukunya Verbum Dei (Alkitab : Firman Allah) memaparkan bahwa “otonomi” berarti self-law (hukum yang dibuat sendiri). Hukum ini dibuat untuk menyaingi bahkan melawan hukum Allah. Itu yang terjadi pada Adam dan Hawa ketika berbuat dosa sehingga Allah mengusir mereka dari Taman Eden karena ketidaktaatan mereka. Dosa ketidaktaatan sama dengan dosa melawan Allah. Adam dan Hawa bukan hanya tidak taat pada perintah Allah untuk tidak makan buah pengetahuan baik dan jahat, mereka juga berusaha menciptakan “hukum” sendiri (self-law) yang diimpor dari setan untuk melawan Allah, sehingga dari hukum tersebut, mereka lebih menaati hukum sendiri (Kejadian 3:6) dengan memakan buah pengetahuan baik dan jahat. Apakah hukum sendiri ini berhasil ? TIDAK ! Mengapa ? Karena hukum yang dibangun oleh diri sendiri yang adalah makhluk ciptaan, terbatas dan berdosa adalah hukum yang berdosa dan terbatas/sementara yang pasti mengakibatkan kehancuran dan kematian. Dunia kita sudah membuktikan hal ini sampai sekarang. Di zaman rasionalisme, ketika orang-orang mulai menegakkan self-lawnya dengan men”tuan”kan rasio mereka, maka apa yang terjadi ? Meletuslah Perang Dunia 1 dan 2 (1942-1945). Bukan kebaikan yang mereka tuai, tetapi perang yang mematikan ribuan jiwa. Lalu, orang-orang rasionalis menyadari hal ini, tetapi masih tidak mau kembali kepada Tuhan, malahan kembali menegakkan self-lawnya dengan men”tuan”kan diri/perasaan. Sehingga zaman modern digantikan dengan zaman postmodern yang menekankan universalisme, pluralisme ditambah terpaan dari filsafat Gerakan Zaman Baru yang menjadikan diri sendiri sebagai “allah”. Jangan heran, dunia kita hari-hari ini banyak dipenuhi dengan buku yang bertemakan “How to” (Bagaimana...) ditambah buku-buku yang bernuansakan Pengembangan Diri tanpa Allah (Human Potential Development). Pdt. Thomy J. Matakupan mengatakan bahwa orang lebih suka membaca buku yang bertemakan “How to” ketimbang “Why...” (Mengapa...). Hal ini jelas menunjukkan budaya pragmatisme di dalam dunia postmodern. Lalu, apa akibatnya ? Tetap sama, dunia postmodern tidak pernah menghasilkan budaya yang beres di mata Tuhan, berkualitas tinggi, dll, sebaliknya justru dari zaman postmodern, keluarlah budaya-budaya yang aneh, misalnya homoseksual (yang belum terjadi di zaman rasionalisme), feminine leadership (=kepemimpinan dipegang oleh wanita), death of the author (=kematian penulis ; artinya budaya hermeneutika postmodern tidak lagi memperhatikan sumber asli penulis, konteks, dll, tetapi lebih menekankan tafsiran para pembaca yang sembarangan), dll. Semua hal ini justru mengakibatkan budaya postmodern tidak pernah berkualitas tinggi dan malahan tragisnya lebih parah daripada budaya rasionalisme. Itu semua menunjukkan self-law manusia mengakibatkan kehancuran dan kematian manusia secara perlahan.
Bukan hanya melawan Allah, Alkitab mengajarkan bahwa keinginan daging tidak berkenan bagi Allah. Di dalam Galatia 5:19-21, Paulus memberikan gambaran yang jelas tentang hidup oleh daging, “Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu--seperti yang telah kubuat dahulu--bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” Di dalam ayat 21b, Paulus mengingatkan jemaat Galatia bahwa keinginan daging yang mengakibatkan perbuatan daging “tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” Artinya, hal-hal tersebut merupakan suatu kekejian di mata Allah. Mengapa ? Karena Allah yang Mahakudus menghendaki umat pilihan-Nya hidup terus-menerus di dalam kekudusan, dan Ia sangat membenci dosa (tetapi mengasihi umat pilihan-Nya yang berdosa). Bukan hanya berbicara mengenai aspek kekudusan, hal-hal tersebut bersifat sementara, sehingga Allah menginginkan kita bukan berpikir sementara, tetapi berpikir yang mengandung unsur kekekalan. Kembali, Paulus di dalam Filipi 4:8 mengajarkan, “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” Inilah yang saya maksudkan dengan berpikir yang mengandung unsur kekekalan, yaitu pikiran yang : benar, mulia, adil, suci/kudus, manis, sedap didengar, mengandung kebajikan dan patut dipuji (BIS menerjemahkannya, “hal-hal yang benar, yang terhormat, yang adil, murni, manis, dan baik.”). Tuhan menginginkan kita sebagai anak-anak-Nya memikirkan hal-hal yang menyenangkan-Nya, karena itulah tandanya kita hidup oleh Roh, yaitu hidup yang terus memikirkan keinginan Roh Allah. Ingatlah, semuanya terjadi karena Ia menginginkan kita berbeda total dari dunia dan memperbaharui pikiran kita untuk melakukan segala sesuatu yang berkenan bagi-Nya (Roma 12:1-2).

Bagaimana dengan kita ? Setelah merenungkan keempat ayat ini, sudahkah kita mulai hari ini berkomitmen untuk hidup oleh Roh dan tidak hidup lagi oleh daging yang menghasilkan kematian ? Ketika kita hidup oleh Roh di dalam Kristus, kita bersedia dengan sukarela dan sukacita menyerahkan diri dan seluruh hidup kita untuk dikuasai dan diperintah oleh Kristus melalui Roh Kudus. Itulah sebabnya saya menyebut hidup oleh Roh sebagai hidup yang men-Tuhan-kan Kristus. Mari kita mengintrospeksi diri kita, sudahkah kita hidup bagi Kristus dan tidak lagi hidup mentuankan dunia dan segala hal yang bersifat fana ? Kiranya Roh Kudus terus memurnikan motivasi, misi, aksi dan visi kita bagi kemuliaan-Nya. Soli Deo Gloria. Amin.

Resensi Buku-55: MANUSIA: CIPTAAN MENURUT GAMBAR ALLAH (Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
CREATED IN GOD’S IMAGE
(Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah)


oleh: Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D.

Penerbit: Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2003

Penerjemah: Irwan Tjulianto.





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Dr. John Calvin di dalam bukunya Institutes of the Christian Religion (2006) pada Buku I Bab 1.1. menegaskan, “Without knowledge of self there is no knowledge of God” [=Tanpa pengenalan akan diri tidak ada pengenalan akan Allah] (ed. John T. McNeill, hlm. 35) Dengan mengenal diri, kita mengenal Allah. Seorang filsuf Yunani, Socrates juga mengajar, “Kenanilah dirimu sendiri.” Bagaimana kita bisa mengenal diri kita sendiri? Psikologi mengajarkan tentang mengenal diri, sosiologi tidak ketinggalan juga, tetapi benarkah mereka sungguh-sungguh mengenali diri manusia sebenarnya? Tidak. Kita baru bisa mengenal diri manusia hanya dari Pencipta kita, yaitu Tuhan Allah sendiri di dalam Alkitab. Dalam buku ini, Dr. Hoekema memaparkan natur dan arah hidup manusia. Pada bagian awal, beliau memaparkan bahwa manusia itu adalah pribadi yang diciptakan Allah. Sebagai seorang pribadi, manusia memiliki pilihan yang “bebas”, di lain pihak, sebagai ciptaan Allah, dia tetap bergantung pada Allah sebagai Pencipta. Paradoksikal ini tidak boleh dihilangkan dalam iman Kristen, karena paradoksikal ini sangat penting dan berpengaruh pada doktrin Kristen lainnya dan juga kehidupan Kristen. Dengan teliti namun mudah diikuti, Dr. Hoekema menjelaskan doktrin ini (manusia: pribadi yang diciptakan Allah) dengan mengeksegese setiap bagian Alkitab dari Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru. Selain itu, beliau juga memaparkan pandangan-pandangan dari para bapa gereja dan theolog tentang doktrin manusia ini. Lalu, dilanjutkan penguraian gambar dan rupa Allah di dalam diri manusia terdiri dari dua aspek: struktural dan fungsional serta mencakup hubungan-hubungan dengan Allah, sesama dan alam. Setelah itu, beliau juga memaparkan tentang empat fase manusia yaitu: gambar yang orisinal (asli/creation), gambar yang telah rusak (berdosa/fall), gambar yang dipulihkan/diperbarui (penebusan/redemption) dan gambar yang akan disempurnakan (penyempurnaan/consummation). Setelah membahas tentang doktrin manusia, beliau juga memaparkan realita dosa: asal usul dosa, penyebaran dosa, natur dosa dan pengekangan terhadap dosa. Lalu, di akhir bagian, beliau menguraikan tentang keutuhan manusia sebagai gambar dan rupa Allah (mengkritisi pandangan trikotomi dan dikotomi) dan juga menjawab pertanyaan mengenai kebebasan dengan menjelaskan tentang prinsip-prinsip kebebasan sejati yang tidak bertentangan dengan hukum, pelayanan dan kasih.

Secara keseluruhan, buku ini termasuk unik, karena buku ini membahas kaitan erat antara semua doktrin/theologi sistematika digabungkan dengan theologi Biblika, theologi historika dan theologi praktika. Selain berbicara tentang antropologi Kristen, dalam buku ini, Dr. Hoekema mengaitkannya dengan doktrin keselamatan (soteriologi), Kristus (Kristologi), gereja (ekklesiologi), dan akhir zaman (eskatologi). Bukan hanya itu saja, beliau juga menyajikan theologi historika berkenaan dengan antropologi Kristen, lalu disambung dengan penjelasan dan penguraian Biblika dengan mengeksegese secara teliti dan mudah diikuti setiap bagian Alkitab dari PL dan PB, lalu doktrin tersebut diimplikasikan di dalam kehidupan Kristen sehari-hari.

Biarlah melalui buku ini, kita sebagai orang Kristen boleh diarahkan iman dan kehidupannya untuk makin mencintai Tuhan lebih dari segalanya dan bersaksi bagi-Nya baik di dalam pemberitaan Injil maupun tindakan kasih di dalam perbuatan.





Profil Dr. Anthony A. Hoekema :
Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. (1913-1988) adalah seorang theolog Kristen yang melayani sebagai profesor Theologia Sistematika di Calvin Theological Seminary selama 21 tahun.
Hoekema lahir di Belanda tetapi berimigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 1923. Beliau meraih gelar Bachelor of Arts (B.A.) dari Calvin College; Master of Arts (M.A.) dari University of Michigan; Bachelor of Theology (Th.B.) dari Calvin Theological Seminary; dan Doctor of Theology (Th.D.) dari Princeton Theological Seminary pada tahun 1953. Setelah menggembalakan beberapa gereja-gereja Kristen Reformed (1944-1956), beliau menjadi Associate Professor of Bible di Calvin College (1956-58). Dari tahun 1958 sampai dengan 1979, ketika pensiun, beliau adalah Profesor Theologia Sistematika di Calvin Theological Seminary di
Grand Rapids, Michigan.

Beliau menulis beberapa buku yang terkenal, antara lain :
· The Four Major Cults: Christian Science, Jehovah's Witnesses, Mormonism, Seventh-Day Adventism (1963)
· What about Tongue-Speaking? (1966)
· Holy Spirit Baptism (1972)
· The Bible and the Future (1979)

Di Indonesia, buku dari Dr. Hoekema yang telah diterjemahkan, antara lain : Alkitab dan Akhir Zaman ; Manusia : Ciptaan Menurut Gambar Allah (diterjemahkan dari Created in God’s Image) ; dan Diselamatkan Oleh Anugerah (diterjemahkan dari Saved by Grace)