24 February 2010

Eksposisi 1 Korintus 3:18-23 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 3:18-23

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 3:18-23



Bagian ini merupakan konklusi dari masalah perpecahan jemaat yang dibahas Paulus dari pasal 1:10 sampai 3:17. Sebagai sebuah konklusi, bagian ini menyatukan dua ide pokok yang beberapa kali sudah diterangkan sebelumnya, yaitu tentang hikmat dunia dan posisi para pemimpin rohani. Paulus ingin menasehati jemaat Korintus supaya tidak menganggap diri mereka berhikmat dan supaya memiliki perspektif yang benar tentang para pemimpin yang pernah melayani mereka.

Alur pemikiran Paulus di pasal 3:18-23 cukup mudah untuk diikuti. Pemunculan ungkapan “janganlah ada orang yang...” di ayat 18 dan 21 secara jelas membagi perikop ini menjadi dua bagian. Ayat 18-20 membahas tentang larangan untuk menipu diri sendiri dengan menganggap diri berhikmat, sedangkan ayat 21-23 berisi larangan untuk memegahkan diri pada manusia.


Jangan menipu diri sendiri (ay. 18-20)
NIV menerjemahkan ayat 18a dengan “janganlah menipu diri kalian sendiri” (do not deceive yourselves). Walaupun terjemahan ini terdengar lebih tegas, tetapi artinya kurang begitu tepat. Kalimat Yunani yang dipakai harus diterjemahkan “jangan ada seorang pun menipu dirinya” (LAI:TB/KJV/NASB/RSV). Berdasarkan terjemahan ini kita dapat menyimpulkan bahwa dalam bagian ini Paulus tidak “menyerang” semua jemaat yang sedang bertikai. Dia hanya memfokuskan teguran pada mereka yang mengagungkan hikmat duniawi (ay. 18b-20).

Kepada mereka Paulus menegur supaya jangan menipu diri sendiri. Mengapa tindakan mereka disebut menipu diri sendiri? Karena di bagian sebelumnya Paulus sudah menegaskan bahwa hikmat yang mereka miliki sebenarnya bukanlah hikmat yang benar (ps. 1-2). Dengan kata lain mereka sebenarnya tidak berhikmat. Di samping itu, sikap mereka juga tergolong tidak berhikmat jika dilihat dari resiko yang akan mereka hadapi. Tindakan mereka menyebabkan pekerjaan rohani yang mereka lakukan menjadi sia-sia (1Kor. 3:10-15) dan jika semakin memburuk hal itu bisa membinasakan mereka sendiri (1Kor. 3:16-17). Jika mereka sudah mengetahui semua ini tetapi tetap merasa diri berhikmat, maka pada dasarnya mereka telah menipu diri sendiri.

Paulus selanjutnya memberi solusi bagi mereka yang merasa diri berhikmat menurut dunia ini, yaitu supaya mereka menjadi bodoh (ay. 18b). Dari ungkapan yang dipakai di sini terlihat bahwa Paulus tidak sekadar menasehati agar mereka menganggap diri bodoh, tetapi memang menjadi bodoh. Ungkapan ini berarti bahwa mereka perlu mempercayai injil yang selama ini mereka anggap sebagai kebodohan (1:18). Mereka harus meninggalkan persandaran mereka pada hikmat duniawi. Jika mereka menjadi bodoh, maka mereka akan menjadi berhikmat. Hal ini adalah salah satu dari sekian banyak paradoks dalam kekristenan. Paulus sebelumnya sudah menyatakan bahwa apa yang dianggap bodoh oleh dunia justru dipakai Allah untuk mempermalukan yang berhikmat (1:27); para pemimpin rohani bukanlah pemilik jemaat tetapi para pelayan jemaat (2:5); jemaat Korintus tidak memiliki kelebihan apa pun (1:26) tetapi mereka memiliki segala sesuatu (3:21-22).

Selanjutnya di ayat 19-20 Paulus memberi penjelasan atau alasan bagi pernyataannya di ayat 18: jemaat Korintus perlu menjadi bodoh dengan cara meninggalkan hikmat duniawi karena hikmat seperti ini adalah kebodohan. Bagaimana bisa? Hikmat duniawi adalah kebodohan apabila dilihat dari perspektif Allah sesuai firman-Nya dalam kitab suci. Ayat 19a menyatakan bahwa “hikmat dunia adalah kebodohan bagi Allah”. Kata “bagi Allah” di sini seharusnya lebih tepat diterjemahkan “di mata Allah” (NIV) atau “di hadapan Allah” (NASB). Pernyataan Paulus ini sedikit berbeda dengan apa yang dia sampaikan sebelumnya. Di pasal 1:18 dia menyinggung tentang apa yang dipikirkan orang tentang salib (hikmat Allah), sekarang dia memutar hal itu: bukan manusia yang menilai hikmat Allah, tetapi Allah yang menilai hikmat manusia. Jika Allah yang menilai, maka semua hikmat manusia tidak lebih daripada sebuah kebodohan.

Untuk meneguhkan pernyataan ini, Paulus menggunakan dua teks Alkitab. Di ayat 19b dia mengutip Ayub 5:13. Sesuai konteks yang ada, teks ini membicarakan tentang perlakuan berbeda yang ditunjukkan Allah kepada orang hina (ay. 11, 15) dan orang berhikmat (ay. 12-14). Allah menentang orang berhikmat. Dia menangkap mereka dalam kecerdikan mereka. Kata “menangkap” yang sering kali dipakai dalam konteks berburu ini menggambarkan situasi yang ironis: seorang pemburu merasa diri sangat cerdik dalam menyiapkan jebakan, tetapi ternyata dia sendiri yang masuk dalam jebakan itu. Begitulah keadaan jemaat Korintus yang membanggakan hikmat duniawi dan berusaha meruntuhkan kebenaran Allah.

Di ayat 20 Paulus mengutip Mazmur 94:11. Dalam teks ini disebutkan bahwa Allah bukan hanya mengetahui pikiran orang-orang berhikmat, tetapi Dia juga menyatakan hal itu sebagai kesia-siaan. Sesuai dengan konteksnya, pikiran orang berhikmat jeas tidak akan bisa melawan Allah karena Allah adalah “yang mengajarkan pengetahuan kepada manusia” (terutama ayat 10b). Begitu pula dengan jemaat Korintus yang mengandalkan hikmat mereka. Apa yang mereka rancang dengan hikmat mereka akan sia-sia: pekerjaan mereka akan hangus ketika diuji Tuhan (1Kor. 3:10-15) dan mereka sendiri bisa dibinasakan juga (1Kor. 3:16-17).


Jangan mengandalkan manusia (ay. 21-23)
Terjemahan LAI:TB untuk di ayat 21a “janganlah ada orang yang memegahkan dirinya atas manusia” dapat memberi kesan yang berbeda dengan maksud Paulus di sini. Terjemahan ini menyiratkan bahwa jemaat Korintus membanggakan diri mereka. Walaupun mereka benar-benar telah menjadi sombong, namun dalam ayat ini bukan diri mereka yang mereka sombongkan. Mereka sebenarnya sedang membanggakan para pemimpin rohani mereka: (1) dalam kalimat Yunani tidak ada kata “dirinya”; (2) ayat 22a menyinggung tentang para pemimpin rohani; (3) secara hurufiah ayat 21 berarti “janganlah seorang pun (tunggal) membanggakan atas manusia (jamak)”. Perbedaan tunggal dan jamak di ayat ini jelas menunjukkan bahwa yang membanggakan (subjek) dan yang dibanggakan (objek) adalah pribadi yang berbeda.

Kata sambung “sebab” di ayat 21b memberi petunjuk bahwa bagian ini adalah alasan mengapa mereka tidak boleh membanggakan para pemimpin. Mereka tidak boleh memegahkan para pemimpin karena segala sesuatu adalah milik mereka. Sebagian penafsir menganggap bahwa ayat 21b adalah sebuah sindiran, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Tafsiran seperti ini tidak sesuai konteks yang ada. Jika ayat 21b adalah sindiran, maka ayat 22 dan 23 juga sebuah sindiran. Dengan demikian, ayat 21-23 semuanya adalah sindiran. Hal ini jelas bertentangan dengan ayat 23 yang menyatakan bahwa jemaat Korintus adalah milik Kristus dan Allah. Kita sebaiknya menerima ayat 21b sebagai sebuah kebenaran yang ingin disampaikan Paulus.

Apa yang dimaksud dengan segala sesuatu dan apa maksud dari “sebab segala sesuatu adalah milikmu”? Ayat 22 menjelaskan bahwa segala sesuatu tidak berarti setiap hal yang ada di dunia. “Segala sesuatu” hanya terbatas pada segala hal yang berkaitan dengan keselamatan mereka. Para pemimpin rohani disebutkan lebih dahulu dalam daftar di ayat 22 karena memang merekalah yang sedang dibanggakan oleh jemaat Korintus (ay. 22a). Dengan memasukkan para pemimpin rohani Paulus ingin menegaskan bahwa mereka adalah milik jemaat Korintus. Maksudnya, jemaat Korintus lebih penting daripada para pemimpin rohani mereka. Para pemimpin ada untuk melayani mereka (bdk. 3:5). Para pemimpin disediakan Allah bagi mereka agar mereka dapat menerima keselamatan.

Daftar kedua yang termasuk “segala sesuatu” adalah “dunia” (ay. 22b). Poin ini perlu disebutkan karena dunia dulu adalah milik Allah yang dipercayakan pada manusia (Kej 1:26-28). Kegagalan Adam dan Hawa dalam menaati Allah membuat dunia ini menjadi tidak seindah dulu. Allah lalu masuk ke dalam dunia untuk memulihkannya. Dia yang tidak terbatas oleh waktu dan tempat bersedia menjadi manusia dan melakukan karya penebusan di atas kayu salib. Allah juga mengontrol semua sejarah dan mengarahkannya untuk merealisasikan rencana penebusan-Nya. Semua ini dilakukan untuk kepentingan orang percaya. Kalau dunia ada untuk kepentingan orang percaya, mengapa mereka justru menyerahkan diri pada dunia?

Daftar berikutnya adalah “hidup dan mati” (ay. 22c). Bagi orang Kristen, hidup atau mati sama-sama untuk kepentingan mereka. Mereka diberi hidup di dalam dunia supaya pilihan Allah terhadap mereka sejak dunia belum dijadikan (bdk. 1Kor. 2:7; Ef. 1:4) dapat dinyatakan. Ketika mereka mati, kematian itu justru akan menjadi jalan menuju kemuliaan yang sudah disiapkan Allah.

Yang terakhir, “segala sesuatu” di ayat 21b juga termasuk “waktu sekarang dan waktu yang akan datang” (ay. 22d). Dalam tulisan Paulus kata “waktu sekarang” (enistemi) berkaitan dengan situasi dunia yang tidak menyenangkan dan penuh tantangan (1Kor. 7:26; Gal. 1:4). Dalam situasi seperti ini orang percaya tidak perlu kuatir dengan keselamatan mereka. Allah selalu memastikan bahwa semua itu tidak akan menggagalkan keselamatan kita (Yoh. 10:28-29; Gal. 1:4). Sebaliknya, semua penderitaan zaman ini akan mengerjakan kebaikan bagi orang pilihan (Rm. 8:28). Bukan hanya itu, semua itu juga membawa kebaikan pada “waktu yang akan datang”. Penderitaan sekarang ini mengerjakan kemuliaan kekal (2Kor. 4:17).

Jika Allah telah menjadikan segala sesuatu untuk kebaikan orang percaya, apalah artinya para pemimpin rohani dalam rencana Allah yang besar ini? Para pemimpin tidak lebih dari sekadar instrumen yang melaluinya jemaat Korintus diselamatkan (1Kor. 3:5)! Mereka tidak selayaknya dipuja, apalagi samapai menganggap bahwa diri kita adalah milik mereka.

Supaya jemaat Korintus tidak terjebak pada kesombongan yang lain (menganggap diri mereka hebat karena memiliki segala sesuatu), Paulus menutup dengan pernyataan bahwa “mereka adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah” (ay. 23). Ayat ini berguna untuk mengingatkan jemaat bahwa mereka memiliki semuanya karena mereka lebih dahulu dimiliki oleh Kristus. Dalam 1 Korintus 15:22-25 dijelaskan bahwa segala sesuatu harus dikembalikan kepada Allah yang memiliki semuanya. Hal ini pasti terjadi dan harus dimulai dengan karya penebusan Kristus. Kristus adalah yang sulung dan semua orang percaya selanjutnya dipersatuan bersama dengan Dia untuk memerintah atas segala sesuatu.





Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 15 Juni 2008

17 February 2010

Tayangan khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong di 16 stasiun TV di Indonesia

Saksikanlah!!!

Mulai 31 Januari 2010
Setiap MINGGU; Pkl. 15.00 - 16.00 WIB

Tayangan khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong di 16 stasiun TV di Indonesia :
1. SUN TV di Indovision Ch. 83
2. SUN TV di Top TV Ch. 83
3. SUN TV di Okevision Ch. 101
4. Deli TV Medan
5. Minang TV Padang
6. Sky TV Palembang
7. Lampung TV
8. Urban TV Batam
9. TV 3 Jakarta
10. IMTV Bandung
11. ProTV Semarang
12. BMS TV Banyumas/Purwokerto
13. MHTV Surabaya
14. MGTV Magelang
15. BMC Denpasar Bali
16. KCTV Pontianak


TEMA-TEMA yang akan dibawakan :
31 Januari: Seminar Keluarga 2009: Tahta Tuhan Dan Pengenalan Nilai Keluarga
07 Februari: Seminar Keluarga 2009: Tahta Tuhan Dalam Relasi Suami Istri
14 Februari: Seminar Keluarga 2009: Tahta Tuhan Dan Ordo Alam Semesta
21 Februari: Seminar Keluarga 2009: Tahta Tuhan Dalam Mengembalikan Kebahagiaan Keluarga
28 Febuari: Seminar Keluarga 2009: Mazmur 128, Gambaran keluarga Bahagia


7 Maret: Seminar Pendidikan: QUO VADIS PENDIDIKAN?
14 Maret: Seminar Pendidikan: QUO VADIS PENDIDIKAN?
21 Maret: Seminar Pendidikan: QUO VADIS PENDIDIKAN?
28 Maret: Seminar Pendidikan: QUO VADIS PENDIDIKAN?


Tema-tema selanjutnya :
- Siapakah Kristus ( 3 Minggu)
- Pencurahan Roh Kudus (5 Minggu)
- Pengudusan Emosi (Sanctification of Emotions)
- Tujuh Kwalifikasi Yesus sebagai Juru Selamat Dunia


Doakan dan sebarkanlah ke rekan-rekan di kota-kota tersebut agar menjadi banyak berkat.

Jadwal Program Suara Kebenaran dan Renungan TRUTH di Radio dan TV (Pdt. Erastus Sabdono, D.Th.)

Jadwal Program Suara Kebenaran di Radio dan TV
Pengajar: Pdt. Erastus Sabdono, D.Th.




Update jadwal program radio Suara Kebenaran dan Renungan Harian TRUTH per Februari 2010. Ikuti terus program Suara Kebenaran dan Renungan Harian TRUTH untuk memperoleh kebenaran Firman Tuhan yang murni.

STASIUN RADIO YANG MENYIARKAN PROGRAM SUARA KEBENARAN (SK) DAN RENUNGAN HARIAN TRUTH
· Bajawa: Radio Pemulihan Kasih 96.5 FM (TRUTH: setiap hari 06.30; SK: Sen/Sel/Jum 09.00, setiap hari 18.30)
· Banjarmasin: Radio Khana 89.7 FM (TRUTH: setiap hari 22.00; SK: Senin s.d. Jumat 19.00, Sabtu 19.00)
· Barong Tongkok: Radio Suaka 103 FM (TRUTH: setiap hari 06.00; SK: Minggu 06.30)
· Blitar: Radio Harmoni 107.1 FM (TRUTH: setiap hari 22.00; SK: setiap hari 05.00)
· Comal: Radio Yobel 107.9 FM (TRUTH: Setiap hari 06.30; SK: Sel/Kam 11.30)
· Jabodetabek: Radio Pelita Kasih 96.3 FM (SK: Selasa 21.00, Sabtu 05.00), Heartline 100.6 FM (SK: Senin 19.00), Ravi 576 AM (SK: Selasa 06.00), RS PGI Cikini (TRUTH: setiap hari 05.00, SK: setiap hari 07.30)
· Jayapura: Radio Rock 101 FM (TRUTH: setiap hari 23.45)
· Kediri: Radio Syalom 107.2 FM (TRUTH: Senin s.d. Sabtu 12.00; SK: Minggu 06.00)
· Kotamobagu: Radio El Shaddai 105.1 FM (TRUTH: Senin s.d. Jumat 06.00; SK: Senin s.d. Jumat 12.00)
· Kuala Kapuas: Radio Bahtera Hayat 91.4 FM (TRUTH: setiap hari 06.00; SK: Sen/Rab/Sab 18.30, Jumat/Minggu 08.30)
· Kupang: Radio Lizbeth 98.4 FM (TRUTH: setiap hari 05.00; SK: Minggu 05.30, Rabu 21.00)
· Magelang: Radio GKL 106.4 FM (SK: Minggu 21.00)
· Malang: Radio Solagracia 97.4 FM (TRUTH: setiap hari 05.15, 21.45; SK: Senin s.d. Sabtu 20.00, Rabu 23.15)
· Manado: Radio Sumber Kasih 90.2 FM (TRUTH: setiap hari 15.00), Mitra Kawanua 91.0 FM (SK: Selasa 10.00), ROM2 102 FM (SK: Selasa 10.00, Kamis 06.00), Kidung Syalom 107.8 FM (TRUTH: setiap hari 05.00; SK: setiap hari 15.00, 21.00)
· Manokwari: Radio Suara Kemenangan 101 FM (TRUTH: setiap hari 06.45; SK: setiap hari 05.30)
· Masohi: Radio Kidung Syalom 91.2 FM (TRUTH: setiap hari 05.00; SK: setiap hari 15.00, 21.00)
· Nabire: Radio Swara Menara Kasih 101.1 FM (TRUTH: setiap hari 05.00; SK: Senin/Kamis 21.00)
· Palu: Radio Proskuneo 105.8 FM (TRUTH: setiap hari 22.00; SK: Kamis 16.00)
· Palangkaraya: Radio Kidung Syalom 91.6 FM (TRUTH: setiap hari 06.00; SK: Senin s.d. Jumat 19.00), Evella Channel 96.7 FM (TRUTH: setiap hari 06.00, 23.30; SK: Minggu 06.30)
· Pematangsiantar: Radio Suara Kidung Kebenaran 87.8 FM (TRUTH: setiap hari 05.30; SK: setiap hari 21.00), Siantar 94.9 FM (SK: setiap hari 06.00, Senin 19.00), Epi Ginosko 104.7 FM (SK: setiap hari 06.00, Senin 19.00)
· Probolinggo: Radio BKSM 98.8 FM (TRUTH: setiap hari 05.30; SK: setiap hari 05.45)
· Salatiga: Radio Suara Agape 107.9 FM (TRUTH: setiap hari 08.00; SK: Senin, Selasa, Rabu 18.00)
· Samarinda: Radio One Way 95.2 FM (SK: Rabu 22.00, Minggu 19.00)
· Semarang: Radio Agape 94.5 FM (TRUTH: setiap hari 09.00; SK: Minggu dan Senin 12.00), Good News 94.9 FM (TRUTH: setiap hari 22.00; SK: setiap hari 22.15), BeFM (TRUTH: setiap hari 06.00 & 15.00; SK: setiap hari 05.30, Kamis 19.00), Keruxon 107.7 FM (SK: Sen/Rab/Jum 22.00)
· Sintang: Radio Pola Rekso 104.2 FM (SK: Minggu 07.00)
· Solo: Radio Immanuel 91.3 FM (TRUTH: setiap hari 23.15)
· Surabaya: Radio Bahtera Yuda 96.4 FM (TRUTH: setiap hari 07.00, 23.00; SK: Selasa s.d. Minggu 21.00), Nafiri 107.1 FM (SK: setiap hari 07.30, 17.00, 22.00), Sangkakala 1062 AM (SK: Rabu/Kamis 05.00, 21.00)
· Tarakan: Radio Suara Kasih 91.2 FM (TRUTH: setiap hari 09.30, 19.00; SK: Sen/Rab/Jum/Sab 15.00, Sen/Sab 23.00)
· Tarutung: Radio Bonafit 90.1 FM (TRUTH: setiap hari 23.00; SK: Senin/Rabu/Jumat 23.15)
· Tegal: Radio Swara Wacana 107.7 FM (SK: Rabu 12.00 & 21.00)
· Tomohon: Radio Kabar Baik 100 FM (SK: Rabu 22.00)
· Tondano: Radio Geovani Mart 96.5 FM (TRUTH: setiap hari 05.00; SK: Senin/Rabu 04.30, setiap hari 21.00)
· Ungaran: Radio Sahabat Sejati 107.7 FM (TRUTH: setiap hari 17.00; SK: Senin s.d. Sabtu 06.00, Rabu 21.00)

STASIUN TELEVISI YANG MENAYANGKAN PROGRAM SUARA KEBENARAN
· U Channel — Indovision Channel 95: Rabu, 07.30 WIB; Sabtu, 22.00 WIB
· Pacific TV Manado: Selasa/Kamis/Sabtu, 07.30 WITA
· TV 5 Manado: Senin s.d. Kamis, 21.30 WITA
· TV Bangka: Setiap Minggu pertama dan ketiga, 18.00 WIB
· TV Borobudur Semarang: Minggu, 14.00 WIB




Pdt. Erastus Sabdono, D.Th. yang lahir di Surakarta tahun 1959 dalam sebuah keluarga Kristen adalah gembala jemaat Rehobot Ministry di Jakarta. Beliau juga adalah seorang pembicara seminar, KKR, TV dan radio, penulis buku, penanggung jawab majalah dan renungan harian TRUTH, serta pengajar kebenaran Alkitab yang inovatif. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Institut Theologi dan Keguruan Indonesia (ITKI/Seminari Bethel Indonesia); Master of Theology (M.Th.) di Sekolah Tinggi Theologi (STT) Jakarta; menerima gelar Doktor Honoris Causa dari American Christian College; menyelesaikan studi doktoral dan meraih gelar Doktor Theologi (D.Th.) dari STT Baptis Indonesia (STBI) Semarang.



Komentar pribadi (Denny Teguh Sutandio):
Pdt. Erastus Sabdono, D.Th. adalah pendeta Bethel yang sudah saya ketahui ketika dahulu saya beribadah di GBI Alfa Omega, Surabaya. Beliau pernah (cukup sering) diundang menjadi pengkhotbah di GBI Alfa Omega. Bagi saya, Pdt. Erastus adalah sosok hamba Tuhan dari gereja Bethel yang keras dan tegas dalam berkhotbah dan menyampaikan firman Tuhan. Beliau juga sering mengoreksi pemahaman dan tingkat kerohanian kita. Meskipun berdenominasi Bethel, prinsip-prinsip theologi dan khotbahnya cukup kental dengan theologi Reformed secara implisit yang menekankan kedaulatan Allah dan otoritas Alkitab (meskipun saya belum mendengar bahwa Pdt. Erastus berkeyakinan theologi Reformed). Jika boleh dikatakan, Pdt. Dr. Erastus Sabdono, bagi saya, Stephen Tong-nya Bethel.

Eksposisi 1 Korintus 3:16-17 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 3:16-17

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 3:16-17



Bagian ini merupakan kelanjutan dari respon Paulus terhadap perpecahan dalam gereja Korintus yang disebabkan oleh persoalan hikmat duniawi. Kalau di beberapa bagian sebelumnya Paulus hanya menggambarkan gereja sebagai ladang (3:5-9) dan bangunan (10-15), sekarang dia menggambarkan gereja sebagai bait Allah (3:16-17). Kalau di ayat 10-15 dia hanya menggambarkan gereja sebagai sebuah bangunan, sekarang di ayat 16-17 dia menjelaskan jenis bangunan yang paling tepat untuk menggambarkan gereja, yaitu bait Allah.

Alur berpikir Paulus di ayat 16-17 sebenarnya cukup mudah untuk diikuti. Di ayat 16 dia menjelaskan tentang hakekat yang sebenarnya dari gereja, yaitu sebagai bait Allah dan tempat kediaman Roh Kudus. Selanjutnya di ayat 17 Paulus memberikan peringatan keras kepada mereka yang berusaha membinasakan bait Allah. Melalui dua ayat dia ingin menegaskan signifikansi dari status jemaat di Korintus sebagai umat Allah. Mereka tidak boleh memiliki pandangan yang rendah terhadap gereja maupun mengabaikan konsekuensi dari tindakan merusak gereja melalui hikmat duniawi dan perpecahan.


Hakekat Gereja (ay. 16)
Pertanyaan “tidak tahukah kamu?” muncul sekitar 10 kali dalam surat 1Korintus (3:16; 5:6; 6:2, 3, 15, 16, 19; 9:13, 24). Di surat lain, pertanyaan seperti ini hanya muncul sekali (Rm. 6:16). Fenomena ini telah meyakinkan mayoritas penafsir bahwa pertanyaan “tidak tahukah kamu?” bukanlah sekadar pertanyaan retoris untuk mengingatkan kembali apa yang sudah disampaikan Paulus. Pertanyan ini menyatakan intensitas perasaan Paulus sekaligus sindirannya terhadap jemaat Korintus yang menganggap diri berhikmat (bdk. ay. 18). Apa yang disampaikan di ayat 16-17 merupakan kebenaran yang sangat mendasar, sehingga ketidaktahuan mereka yang “berhikmat” merupakan sesuatu yang ironis. Mereka seharusnya sudah tahu, kenyataannya mereka tidak tahu (atau paling tidak mengabaikannya)!

Apa yang mereka tidak ketahui? Mereka tidak tahu bahwa mereka adalah bait Allah (ay. 16a). Susunan kalimat Yunani yang meletakkan “bait Allah” di depan “kamu adalah” mengindikasikan sebuah penekanan: “bait Allah! kamu adalah [bait Allah]”. Bentuk jamak “kamu” di ayat 16a dan keterangan “di antara/tengah kamu” di ayat 16b (LAI:TB “di dalam kamu”) menunjukkan bahwa Paulus sedang membicarakan jemaat Korintus secara keseluruhan. Dia sedang membahas tentang komunitas atau persekutuan jemaat Korintus. Hal ini sedikit berbeda dengan ajaran Paulus di pasal 6:19 (“tubuhmu adalah bait Roh Kudus”), karena di bagian ini dia membicarakan tentang masing-masing jemaat Korintus secara individual.

Ketika Paulus menyebut jemaat sebagai bait Allah, dia tidak sedang memikirkan seluruh bangunan bait Allah. Jika dia memikirkan hal ini, dia pasti akan memakai kata Yunani hieron. Kenyataannya, dia justru memilih kata naos yang hanya merujuk pada ruang suci dan ruang maha suci. Pilihan kata ini tidak hanya berfungsi untuk memberi gambaran yang lebih detil dan spesifik, namun dimaksudkan untuk menjelaskan kehadiran Allah secara intim di tengah jemaat. Walaupun di luar ruang kudus dan maha kudus juga dipakai sebagai tempat ibadah, namun kehadiran Allah yang lebih khusus terjadi di ruang kudus atau maha kudus. Di ruang ini hanya para imam dan imam besar yang boleh masuk untuk mewakili umat. Sekarang Paulus menyatakan bahwa gereja adalah bait Allah (ruang kudus dan Mahakudus).

Konsep yang juga diajarkan Paulus di tempat lain ini (2Kor. 6:16; Ef. 2:21) jelas merupakan sesuatu yang revolusioner dalam konteks budaya dan keagamaan Yahudi waktu itu yang menempatkan bait Allah sebagai simbol utama ibadah Yahudi, apalagi waktu itu juga masih ada praktek keimaman di bait Allah. Kalau demikian, dari mana Paulus mendapatkan ide bahwa gereja (baca: persekutuan orang percaya) adalah bait Allah? Para penafsir meyakini bahwa konsep ini berakar dari tiga hal: (1) nubuat Perjanjian Lama bahwa Allah akan berdiam di tengah umat-Nya untuk selama-lamanya (Yeh. 43:9; 2Kor. 6:16); (2) ajaran Yesus bahwa Dia adalah bait Allah yang sesungguhnya (Yoh. 2:19-21; bdk. Yes. 28:16); (3) pergumulan teologis orang-orang Yahudi di perantauan yang hanya beberapa kali ke bait Allah untuk beribadah. Mereka ini lebih mudah memahami esensi dari bait Allah: bangunan bait Allah hanyalah simbol dari kehadiran Allah, tetapi kehadiran Allah tidak dapat dibatasi oleh bangunan buatan tangan manusia (Kis. 7:48; 17:24).

Bagi mereka yang bukan Yahudi, konsep “gereja sebagai bait Allah” juga tetap revolusioner. Mereka waktu itu terbiasa melihat berbagai kuil di kota Korintus. Mereka dulu beribadah di sana. Sebagian dari mereka bahkan juga terjebak kembali pada dosa penyembahan berhala (ps. 8-10, terutama 8:10; 10:6-7, 20-21). Dalam konteks sosial seperti ini Paulus mengingatkan mereka bahwa mereka adalah bait Allah. Paulus ingin menegaskan bahwa semua kuil itu bukanlah bait Allah. Mereka sendirilah bait Allah itu!

Sebagai bait Allah, mereka seharusnya memancarkan kemuliaan Allah (bdk. Kel. 40:34-35; Im. 9:23; Bil. 14:10b; 16:19, 42; 20:6; bdk. Why. 7:15; 11:19; 14:17; 21:10; 21:22). Apa yang sedang terjadi dalam jemaat Korintus – yaitu perpecahan – jelas tidak menyatakan kemuliaan Allah. Perpecahan menunjukkan bahwa mereka sedang menegakkan kemuliaan mereka atau kelompok mereka sendiri.

Hakekat gereja yang kedua yang tidak disadari oleh jemaat Korintus adalah “gereja sebagai tempat kediaman Roh Kudus” (ay. 16b). Walaupun poin ini sebenarnya sangat terkait dengan poin sebelumnya, namun ada beberapa aspek baru yang ingin dinyatakan Paulus. Roh Kudus bukan sekadar memampukan jemaat untuk memahami hikmat Allah atau injil (2:4, 10-12), tetapi Ia juga mempersatukan mereka dan tinggal di tengah-tengah mereka. Kata “diam” yang dipakai di sini adalah oikeo yang secara hurufiah berarti “tinggal di rumah” (bdk. 1Kor. 7:12). Kata ini memiliki makna yang mendalam. Roh Kudus bukan sekadar datang atau hadir dalam persekutuan orang percaya. Kalau sekadar datang, Paulus pasti akan memakai kata erchomai (“datang”), bukan oikeo (“tinggal di rumah”). Kata oikeo juga menyiratkan bahwa kehadiran Roh Kudus dalam persekutuan orang percaya bersifat permanen, karena Roh Kuduslah yang menjadi tuan rumah. Dia bukan tamu yang dapat diundang jika dibutuhkan dan diabaikan jika tidak diperlukan. Dia selalu ada di tengah persekutuan orang percaya. Kebenaran seperti ini sebelumnya pernah diajarkan oleh Yesus ketika Ia berjanji bahwa Ia akan hadir jika dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Nya (Mat. 18:20).

Kehadiran Roh Kudus di tengah jemaat merupakan kebenaran yang indah. Tidak seperti kuil-kuil kafir yang memakai berbagai patung sebagai representasi kehadiran dewa mereka, di 1Korintus 3:16b Paulus mengajarkan bahwa Roh Allah hadir secara langsung. Dia tidak memerlukan wakil dan tidak dapat diwakilkan. Kehadiran-Nya bersifat pribadi (personal). Bagi orang Kristen, yang paling penting bukanlah tempat atau bangunan, tetapi kehadiran Roh Kudus. Tanpa kehadiran Roh Kudus, sebuah bait Allah akan berhenti menjadi bait Allah.

Keindahan dari kehadiran Roh Kudus juga akan terlihat apabila kita membandingkannya dengan surga sebagai tempat kediaman Allah yang kekal. Bukankah inti dari surga sebenarnya terletak pada persekutuan orang percaya dengan Allah? Bukankah surga dapat dirangkum dapat satu kalimat “Allah nanti akan berdiam di tengah-tengah umat-Nya (Why. 7:15; 21:3)?” Dengan dasar pemikiran seperti ini kita dapat mengatakan bahwa kehadiran Roh Kudus dalam persekutuan orang percaya merupakan cicipan dari persekutuan mereka dengan Allah di surga.


Peringatan (ay. 17)
Hakekat gereja seperti djelaskan di ayat 16 membawa sebuah konsekuensi. Jika gereja adalah bait Allah dan tempat kediaman-Nya, maka siapa pun yang bertindak sembarangan terhadap gereja akan langsung berhadapan dengan Allah. Sama seperti Paulus dahulu harus berhadapan langsung dengan Yesus (Kis 9:5 “Akulah Yesus yang kau aniaya itu”) ketika ia menganiaya jemaat Tuhan, maka sekarang dia memberi peringatan bahwa siapa pun yang merusak bait Allah juga tidak akan luput dari hukuman.
Apa yang dimaksud dengan “membinasakan (phtheiro) bait Allah” di ayat 17a? Beberapa orang berusaha menerjemahkan kata phtheiro dengan “menajiskan” (KJV), karena kata ini memang bisa berarti “merusakkan” atau “menajiskan” (1Kor. 15:33; 2Kor. 7:2; Ef. 4:22; 2Ptr. 2:12; Why. 19:2). Selain itu, ayat 17b yang menyinggung tentang kekudusan bait Allah juga mendukung penafsiran ini. Satu-satunya kelemahan mendasar dari pendangan ini adalah kata phtheiro juga dipakai di ayat 17a dalam frase “Allah akan membinasakan orang itu”. Jika kata yang sama muncul dalam satu ayat bukankah cara penafsiran yang paling wajar adalah dengan menganggap arti keduanya adalah sama, kecuali konteks memberikan petnjuk yang sangat jelas untuk menafsirkan sebaliknya?

Mayoritas penafsir mempertahankan arti umum dari phtheiro, yaitu “membinasakan”, dan mengaplikasikan arti ini secara konsisten baik untuk frase “membinasakan bait Allah” maupun “Allah akan membinasakan dia” (NIV/RSV/NASB). Penafsiran ini tampakya lebih bisa diterima. Bagaimanapun, hal ini tidak berarti bahwa persoalan sudah selesai. Apa maksud dari “membinasakan bait Allah”? Paulus pasti tidak berpikir bahwa membinasakan di sini berarti memusnahkan/meniadakan kekristenan. Dia sadar bahwa kekristenan tidak dapat dimusnahkan (Gal. 1:13, 23). Yesus sendiri berjanji bahwa alam maut pun tidak akan menguasai jemaat-Nya (Mat. 16:18). Kerajaan Allah akan terus berkembang (Mat. 13:31-33).

“Membinasakan bait Allah” harus dipahami dalam arti “mengganti pondasi gereja” yang seharusnya adalah Yesus Kristus (ay. 11), tetapi diganti dengan hikmat dunia. Dalam bagian ini Paulus tidak menjelaskan apakah upaya sebagian orang untuk membinasakan bait Allah ini akan berhasil atau tidak. Dia hanya menjelaskan bahwa seseorang itu sedang atau terus-menerus membinasakan (present tense: phtheirei) bait Allah. Dari ajaran Alkitab kita mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang akan mampu melakukan hal itu. Jika demikian, kita dapat menarik kesimpulan bahwa hukuman Allah atas orang tersebut bukan didasarkan pada akibat yang ditimbulkan, namun tetapi pada motivasi dan usaha orang itu. Berhasil atau tidak bukanlah isu utama. Siapa saja yang mencoba membinasakan, ia pasti akan dibinasakan.

Ancaman Paulus bahwa orang itu akan dibinasakan oleh Allah harus dipahami dalam konteks penghakiman terakhir. Bentuk future tense pada kata “akan membinasakan” di ayat 17a (phtherei) dan rujukan tentang akhir zaman di ayat 13 memberikan petunjuk yang cukup jelas. Jika konteksnya memang akhir zaman, maka pembinasaan di sini harus dipahami sebagai kebinasaan/hukuman kekal. Jika demikian, apakah pernyataan Paulus di ayat 17a berkontradiksi dengan pernyataannya di ayat 15? Sama sekali tidak! Dalam hal ini kita harus melihat orang-orang yang diperingati Paulus di ayat 17a sebagai orang-orang yang berbeda dengan yang di ayat 10-15. Kesalahan orang-orang di ayat 10-15 hanyalah membangun dengan bahan yang murahan (ay. 12-13), sehingga bangunan itu mudah terbakar tetapi mereka tetap selamat (ay. 15), sedangkan kesalahan orang-orang di ayat 17a jauh lebih serius, yaitu berusaha mengganti pondasi gereja.

Di bagian akhir dari ayat 17 Paulus kembali menegaskan bahwa orang percaya adalah bait Allah. Pernyataan ini tentu saja bukan sekadar pengulangan yang bersifat menegaskan, namun ada makna lain yang ingin disampaikan Paulus. Di ayat 17b Paulus tidak hanya mengatakan “gereja adalah bait Allah”, tetapi ia menegaskan bahwa “bait Allah adalah kudus”. Kekudusan inilah yang menjadi alasan bagi peringatan Paulus (band. kata sambung “sebab” di ayat 17b). Dalam seluruh Alkitab makna kata “kudus” selalu mencakup dua sisi: dipisahkan dari dunia (set apart from the world = pengudusan) dan dipisahkan untuk Allah (set apart for God = pengkhususan). Apa yang dilakukan jemaat Korintus telah melanggar dua sisi kekudusan. Mereka bukannya memisahkan diri dari dunia, tetapi mereka bahkan memasukkan konsep-konsep duniawi (hikmat dunia) ke dalam gereja. Mereka bukannya memberikan diri sepenuhnya untuk Allah, tetapi mereka malah memberikan diri kepada para pemimpin rohani (band. eksposisi pasal 1:12 tentang “aku dari golongan...”).

Pada bagian terakhir Paulus menutup dengan sebuah pernyataan tegas “bait Allah itu adalah kamu”. Walaupun struktur kalimat Yuani yang dipakai di sini agak sulit diterjemahkan dengan mulus, namun maksud Paulus dengan mudah dapat dipahami. Paulus sedang menegaskan kembali bahwa “kamulah bait Allah itu”. Bait Allah bukan sebuah bangunan yang megah di Yerusalem. Bait Allah bukan kuil-kuil di kota Korintus yang jumlahnya sangat banyak. Bait Allah adalah jemaat, bukan yang lain! Jemaat harus mampu menghargai keistimewaan ini dengan cara hidup dan bergereja sesuai dengan hakekat mereka sebagai bait Allah dan tempat kediaman Roh Kudus.




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 8 Juni 2008

11 February 2010

Roma 16:25-27: INJIL ADALAH KEMULIAAN ALLAH

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-18


INJIL ADALAH KEMULIAAN ALLAH

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 16:25-27



Setelah memberikan salam kepada rekan-rekan pelayanan Paulus, maka ia menutup seluruh surat Roma ini dengan tiga ayat terakhir yaitu ayat 25 s/d 27. New International Version (NIV) Spirit of the Reformation Study Bible menafsirkan bahwa tiga ayat terakhir ini adalah Apostolic Doxology (Doksologi Rasuli). Saya menyebut 3 ayat terakhir ini sebagai penjelasan Paulus tentang Injil yang adalah kemuliaan Allah. Bagian penutup surat Roma ini mengulang kembali penegasan bagian awal surat Roma di pasal 1:16-17 dengan penegasan penting. Jika di pasal 1:16-17, Paulus menjelaskan bahwa Injil adalah kekuatan Allah, maka di tiga ayat terakhir di surat Roma ini, ia menjelaskan bahwa Injil adalah kemuliaan Allah. Di dalam Injil yang adalah kemuliaan Allah terkandung beberapa prinsip:
Pertama, di dalam Injil terkandung makna bahwa Allah menguatkan umat-Nya (ay. 25a). King James Version (KJV) dan New American Standard Bible (NASB) menerjemahkan “menguatkan” sebagai establish. International Standard Version (ISV) menerjemahkannya strengthen (=menguatkan). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia (2003) menerjemahkannya sebagai menguatkan (hlm. 882). Dunia agama-agama mengajarkan bahwa kemuliaan Tuhan adalah suatu keberadaan di mana Tuhan jauh terpisah dari ciptaan-Nya. Namun, di bagian ini, kita belajar dari bagian ini bahwa kemuliaan Allah diwujudnyatakan melalui tindakan Allah menguatkan umat-Nya. Bagaimana cara Allah menguatkan umat-Nya? Paulus menjelaskannya, “menurut Injil yang kumasyhurkan dan pemberitaan tentang Yesus Kristus,” Di sini, terkandung dua hal di dalam satu inti. Paulus mengajarkan bahwa Allah menguatkan umat-Nya melalui Injil dan pemberitaan Kristus. Intinya adalah Injil dan Injil tersebut berkaitan dengan pemberitaan Kristus. Berarti di dalam Injil itulah, Allah menguatkan umat-Nya. Namun yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya, menguatkan umat-Nya dalam hal apa? Allah menguatkan umat-Nya melalui Injil dengan membukakan kepada umat-Nya tentang jalan keluar dari dosa, iblis, dan maut yaitu melalui Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus yang diutus Bapa untuk menebus dosa umat-Nya. Dengan kata lain, Injil berkaitan erat dengan pribadi dan karya Kristus. Injil yang tidak lagi memberitakan Kristus adalah “injil” palsu. Rasul Paulus di dalam Galatia 1:6-9 mengajar jemaat Galatia dan kita juga, “Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu injil lain, yang sebenarnya bukan Injil. Hanya ada orang yang mengacaukan kamu dan yang bermaksud untuk memutarbalikkan Injil Kristus. Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia. Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia.” Injil yang tidak memberitakan pribadi dan karya Kristus disebut Paulus sebagai “injil” lain. KJV menerjemahkan “injil” lain sebagai another gospel, sedangkan English Standard Version (ESV) dan International Standard Version (ISV) menerjemahkannya sebagai different gospel (“injil” yang berbeda). Apakah “injil” lain yang Paulus maksudkan? Tentu yang dimaksud Paulus dengan “injil” lain adalah Kristus + sesuatu. Nah, menurut konteks penulisannya, Paulus sedang merujuk kepada Yudaisme yang menambahi Injil dengan mengajar bahwa orang Kristen selain percaya kepada Kristus harus disunat juga. Itulah yang Paulus sebut sebagai “injil” lain. Setiap zaman, Kekristenan diterpa oleh berbagai “injil” lain tersebut. Di era postmodern, “injil” lain muncul dalam 2 versi: “injil” sosial yang menolak penginjilan secara verbal dan memutlakkan penginjilan melalui aksi sosial dan kedua, “injil” kemakmuran yang menekankan bahwa ikut Tuhan pasti kaya, sukses, dll. Kedua versi “injil” ini begitu laris menyedot pangsa pasar, khususnya versi kedua “injil” lain. Mengapa? Karena orang dunia (bahkan tidak sedikit orang “Kristen”) lebih menyukai “injil” lain ketimbang Injil Kristus karena beritanya enak didengar dan itulah yang sedang digandrungi oleh banyak orang “Kristen” postmodern (bdk. 2Tim. 4:3-4). Meskipun kedua versi “injil” lain ini juga memberitakan Kristus, tetapi Kristus yang diberitakan bukanlah Kristus versi Alkitab yang sesungguhnya, namun “Kristus” versi mereka: “Kristus” pemberi belas kasihan yang tidak memedulikan dosa dan pertobatan atau “Kristus” yang hanya bisa memberkati dan memberi kekayaan, namun tidak pernah memberi penderitaan sebagai ujian iman.

Selain enak didengar, kedua versi “injil” lain ini membuktikan satu hal: banyak orang Kristen sudah mulai bosan dengan Injil Kristus sejati. Mereka berpikir bahwa Injil Kristus sejati sudah usang, maka mereka mulai “memperbaharui” Injil supaya lebih “hidup.” Namun, secara tidak sadar, mereka bukan “memperbaharui” Injil, namun menambahi Injil sejati yang bisa meracuni Kekristenan yang sehat. Akibat kreativitas mereka yang tidak bertanggungjawab tersebut, banyak orang Kristen lebih tertarik dengan tambahan-tambahan “injil” tersebut, ketimbang pribadi dan karya Kristus yang begitu agung. Bagaimana dengna kita? Masihkah kita tertarik hanya kepada pribadi dan karya Kristus yang diberitakan oleh Injil? Ataukah kita lebih tertarik dengan tambahan-tambahan “injil” lain yang begitu mempesona? Biarlah kita menguji diri kita masing-masing.


Kedua, Injil adalah penyataan Allah (ay. 25b-26). Selain melalui Injil, Allah menguatkan umat-Nya, maka melalui Injil pula, Allah menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya. Mari kita membaca kembali pernyataan Paulus, “sesuai dengan pernyataan rahasia, yang didiamkan berabad-abad lamanya, tetapi yang sekarang telah dinyatakan dan yang menurut perintah Allah yang abadi, telah diberitakan oleh kitab-kitab para nabi kepada segala bangsa untuk membimbing mereka kepada ketaatan iman--” ESV menerjemahkan, “according to the revelation of the mystery that was kept secret for long ages but has now been disclosed and through the prophetic writings has been made known to all nations, according to the command of the eternal God, to bring about the obedience of faith--” (=menurut penyataan/pewahyuan misteri yang dirahasiakan selama berabad-abad namun telah disingkapkan dan melalui tulisan-tulisan nabi telah diberitakan kepada semua bangsa, menurut perintah dari Allah yang kekal, untuk menghasilkan ketaatan iman) Dari bagian ini, kita belajar bahwa Injil sebenarnya adalah penyingkapan diri Allah kepada umat-Nya yang dahulu dirahasiakan selama berabad-abad melalui tulisan para nabi. Berarti, sebenarnya, melalui tulisan para nabi, Injil sudah ada, namun Allah belum saatnya menyingkapkannya. Mengapa Allah belum mau menyingkapkannya? Karena belum waktunya. Kapan waktunya Allah menyingkapkan semuanya itu? Ketika Allah mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus, pada saat itulah, diri Allah disingkapkan dengan jelas. Di dalam Galatia 4:4, Rasul Paulus menyatakan hal ini, “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat.” Dari sini, kita bisa mendapat pengajaran implisit dari Paulus bahwa Perjanjian Lama harus ditafsirkan menurut Perjanjian Baru, karena Perjanjian Baru yang menerangi Perjanjian Lama (meskipun TIDAK berarti Perjanjian Baru lebih berotoritas daripada Perjanjian Lama). Misalnya tentang Kejadian 3:15. Pada saat ini, kita mengerti bahwa Kejadian 3:15 adalah proto-evangelium atau Injil mula-mula yang menubuatkan kedatangan Kristus (disimbolkan keturunan Hawa) yang menghancurkan kepala si setan (disimbolkan ular). Tafsiran demikian adalah tafsiran Perjanjian Baru terhadap Perjanjian Lama. Demikian juga kitab-kitab para nabi lainnya menubuatkan kedatangan Kristus yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang sudah percaya Kristus dan mempelajari Perjanjian Baru yang berkaitan dengan Perjanjian Lama.

Kepada siapa diri Allah disingkapkan melalui Injil? Terjemahan Indonesia dan Inggris hanya menyatakan bahwa Injil disingkapkan kepada semua bangsa (all nations). Padahal teks Yunaninya menyatakan hal lebih khusus. Kata Yunani yang dipakai adalah ethnos yang menunjuk kepada orang-orang/bangsa-bangsa non-Yahudi atau orang kafir (Gentiles). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. juga menerjemahkannya sebagai “bangsa-bangsa bukan Yahudi.” (hlm. 882) Mengapa Paulus membatasi hanya kepada bangsa-bangsa non-Yahudi? Pertama, kalau kita membaca kembali Roma 9-11, kita pasti mengerti alasannya, yaitu bahwa Allah ingin mempermalukan orang-orang Yahudi secara fisik dengan memilih beberapa orang non-Yahudi untuk menjadi umat-Nya. Kedua, karena orang-orang non-Yahudi belum mengetahui, mengerti, dan mempelajari Taurat, sehingga mereka perlu dimengertikan. Sedangkan orang-orang Yahudi yang seharusnya mengerti namun mata rohani kebanyakan dari mereka telah dibutakan. Ini menjadi pelajaran tersendiri bagi kita. Kita sering kali dengan mudahnya menghina orang-orang yang belum mendengar Injil sebagai orang yang tidak diselamatkan. Memang benar jika orang belum mendengar Injil pasti orang tersebut tidak dibenarkan. Namun yang menjadi permasalahannya adalah kesombongan kita menghina orang yang belum mendengar Injil itulah yang mengakibatkan kita seolah-olah merasa paling benar sendiri, lalu tidak mau menginjili mereka. Berhati-hatilah terhadap kesombongan kita dan jangan mengira karena kita adalah orang Kristen, kita tentu adalah umat-Nya. Jangan sembarangan menyebut orang Kristen sebagai anak-anak Tuhan, karena Alkitab mengajar kita bahwa TIDAK semua orang yang mengaku Kristus benar-benar disebut anak-anak Allah. Camkan perkataan Tuhan Yesus di dalam Matius 7:21-23, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!"” Berarti orang Kristen sejati (=anak-anak Allah) Vs orang “Kristen” palsu (=anak setan yang sedang indekos di gereja) dapat dibedakan dari buahnya yang keluar dari imannya. Hal ini tidak berarti kita lebih mementingkan buah ketimbang esensi. Buah di sini berarti hasil yang memuliakan Tuhan, bukan sekadar buah yang kelihatan mata (fenomena). Buah tersebut adalah melakukan kehendak Bapa dan otomatis itu memuliakan Tuhan.

Apa tujuan Allah menyatakan diri-Nya melalui Injil? Paulus menjawab, “untuk membimbing mereka kepada ketaatan iman” NIV menerjemahkannya, “believe and obey him” Mayoritas terjemahan Inggris menerjemahkannya: obedience of faith (=ketaatan iman), hanya NIV dan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) enerjemahkannya, “percaya dan taat kepada Allah.” Kata Yunaninya adalah hupakoē yang bisa diterjemahkan ketaatan atau kepatuhan. Jadi yang ditekankan di sini adalah ketaatan kepada Allah, bukan masalah iman, meskipun keduanya saling terkait erat. Mengapa Paulus menyoroti masalah ketaatan dan bukan (hanya) iman? Karena Paulus sendiri percaya bahwa semua bangsa pasti memiliki iman kepada Allah (entah itu asli atau palsu), maka ia perlu menegaskan kembali tentang iman kepada pribadi Allah yang beres dan tentu disertai ketaatan sebagai buah iman. Dengan kata lain, Injil bukan hanya membimbing umat-Nya pada iman yang beres kepada Allah yang beres, namun juga untuk menaati apa yang difirmankan-Nya. Bagaimana dengan kita? Sering kali kita mengamini semua firman Tuhan (meskipun banyak dari kita mengamini firman-Nya yang cocok dengan kita), tetapi benarkah kita menaati apa yang difirmankan-Nya? Ataukah kita hanya mengisi otak kita dengan segudang pengertian firman Tuhan tanpa mau menaatinya? Ketaatan memang bukan proyek singkat, namun sebuah proyek panjang dan dibutuhkan proses. Proses untuk taat itulah yang disebut bergumul. Saya mendefinisikan bergumul sebagai suatu tindakan anak-anak Tuhan yang mengetahui dan mengerti firman Tuhan dan tentu mengetahui risiko di dalamnya, namun terus-menerus berusaha untuk taat kepada firman Tuhan itu. Berarti, ada daya upaya untuk mau berjuang terus-menerus mengalahkan si iblis dan kroni-kroninya dan lebih menaati Tuhan dan firman-Nya. Namun, sayangnya, istilah agung ini sudah dimuati oleh arti-arti yang tidak bertanggungjawab bahkan oleh seorang anak aktivitas gereja. Istilah agung ini menjadi sebuah istilah menjijikkan yang berarti sebuah proses untuk mengiyakan memiliki lawan jenis yang tidak seiman demi kecocokan dengannya, bukan kecocokan dengan Tuhan. Dengan kata lain, “bergumul” menjadi semacam rasionalisasi “rohani” dari manusia berdosa untuk memenuhi nafsunya yang berdosa. Biarlah kita dengan bertanggungjawab dan SADAR mengerti definisi bergumul dan menjalankannya dengan kegentaran di hadapan-Nya, bukan mempermainkan istilah demi kepuasan sendiri.


Ketiga, di dalam Injil, nama Allah senantiasa dipermuliakan selama-lamanya (ay. 27). Di dalam Injil yang adalah kemuliaan Allah, maka tentu saja nama Allah senantiasa dipermuliakan selama-lamanya. NIV menerjemahkan ayat 27, “to the only wise God be glory forever through Jesus Christ! Amen.” (=bagi satu-satunya Allah yang bijaksana segala kemuliaan selama-lamanya melalui Yesus Kristus! Amin.) Di sini, kemuliaan Allah langsung dikaitkan dengan kebijaksanaan-Nya. Berarti, tidak ada satu langkah pun dari Allah yang bodoh atau tidak bijaksana. Itulah kemuliaan-Nya. Hal ini tentu berbeda dengan manusia yang sering kali salah arah bahkan tidak bijaksana. Itulah akibat kemuliaan Allah yang telah dirusak oleh dosa dan sedang diperbaharui oleh Allah melalui penebusan Kristus yang diefektifkan oleh Roh Kudus di dalam hati umat pilihan-Nya (bdk. Rm. 3:23-24). Kembali, kemuliaan-Nya berkaitan erat dengan kebijaksanaan-Nya dan kebijaksanaan-Nya berkaitan erat dengan Kristus Yesus. Berarti, Tuhan Yesus Kristus adalah Sumber Hikmat Allah. Di dalam 1 Korintus 1:18-31, Rasul Paulus menjabarkan dengan jelas Pribadi Kristus sebagai Sumber Hikmat Allah bagi orang Yahudi yang menghendaki tanda dan orang Yunani yang mencari hikmat. Dan bagian tersebut ditutup dengan dua kesimpulan penting, yaitu: di ayat 25, “Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia.” dan di ayat 30-31, “Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita. Karena itu seperti ada tertulis: "Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan."”

Dari ayat terakhir di Roma 16 ini, kita mendapatkan satu kesimpulan yang terintegrasi, yaitu: di dalam Injil, kemuliaan Allah dinyatakan, di dalam kemuliaan Allah terkandung kebijaksanaan-Nya, dan kebijaksanaan-Nya itu ada di dalam Tuhan Yesus. Dengan kata lain, di dalam Pribadi Kristus terkandung kebijaksanaan sekaligus kemuliaan Allah. Inilah finalitas Kristus yang tidak bisa dibandingkan dengan semua pendiri agama, filsafat, dan kebudayaan siapa pun.


Setelah kita merenungkan tiga ayat terakhir dari Roma 16, apa yang menjadi respons kita terhadap Injil? Menerima atau menolak? Jika kita menerima, bersyukurlah, karena itu bukan hasil usaha kita, namun karena pencerahan dan kelahiran baru yang Roh Kudus kerjakan di dalam hati kita untuk percaya kepada Kristus yang Injil beritakan. Setelah kita menerima Injil tersebut, tugas kita adalah mewartakan Injil itu kepada mereka yang belum percaya sesuai mandat agung Tuhan Yesus sebelum naik ke Sorga (Mat. 28:19). Bagi mereka yang menolak Injil, pertanggungjawabkanlah apa yang Anda putuskan hari ini di hadapan Allah pada akhirnya. Amin. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-89: KNOWING GOD (Prof. James I. Packer, D.Phil.)

...Dapatkan segera...

Buku
KNOWING GOD:
TUNTUNAN PRAKTIS UNTUK MENGENAL ALLAH

(Dilengkapi Panduan Studi Pribadi dan Diskusi Kelompok)


oleh: Prof. James Innell Packer, D.Phil.

Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta, 2008

Penerjemah: Johny The





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Dunia kita adalah dunia postmodern yang ditunggangi oleh spirit relativisme dicampur mistisisme ala Gerakan Zaman Baru yang tidak lagi mementingkan Kebenaran hakiki, namun menekankan kebenaran subyektif dan relatif. Gejala ini ternyata memengaruhi Kekristenan sehingga mayoritas orang Kristen yang beres sudah beralih dari percaya kepada Allah dengan sungguh-sungguh menjadi percaya kepada Allah dengan konsep yang kacau. Lalu, bagaimana kita bisa kembali kepada iman Kristen yang beres? Dengan bahasa yang mudah dimengerti, Prof. James Innell Packer, D.Phil. di dalam bukunya Knowing God mengajak kita kembali kepada iman Kristen yang beres dengan kembali mengenal Pribadi Allah dengan konsep Alkitabiah. Buku ini dibagi menjadi 3 bagian: Mengenal Allah, Lihat Allahmu!, dan Jika Allah Di Pihak Kita. Di awal bab buku ini (di bagian pertama), Dr. Packer membedakan dua hal: mengenal Allah vs mengenal tentang Allah. Mengenal tentang Allah adalah sebuah tindakan mengenal Allah secara kognitif, namun mengenal Allah adalah sebuah tindakan mengenal Allah secara menyeluruh. Dari konsep ini, Dr. Packer membawa kita menyelusuri konsep Pribadi Allah: Allah Tritunggal, Inkarnasi Allah, dan Saksi Allah (Roh Kudus). Di bagian kedua buku ini, Dr. Packer membawa kita sebagai pembaca untuk menelusuri lebih tajam dan dalam lagi tentang Pribadi dan karya Allah, mulai dari ketidakberubahan Allah, keagungan Allah, bijaksana Allah, hikmat Allah, firman Allah yang adalah Kebenaran, kasih Allah, kasih karunia Allah, Allah sebagai Hakim, murka Allah, kemurahan dan kekerasan-Nya, dan juga kecemburuan Allah. Di dalam bagian kedua ini, berbagai topik iman Kristen orthodoks dibahas yaitu tentang predestinasi, keselamatan, dll. Kemudian, di bagian terakhir, Dr. Packer membahas tentang Injil, doktrin adopsi, tuntunan Allah, hambatan-hambatan kita mengenal Allah dengan konsep yang benar, dan kecukupan Allah. Di bagian akhir buku ini disediakan panduan studi pribadi dan diskusi kelompok untuk mereview ke-22 bab buku Dr. Packer ini.




Apresiasi:
“Kebenaran yang dibawanya membakar hati. Setidaknya kebenaran itu membakar saya dan memaksa saya memilih untuk menyembah dan berdoa.”
Rev. Dr. John Robert Walmsley Stott, C.B.E.
(Pendeta di the Church of All Souls, Langham Place, U.K.)

“Buku ini makanan yang keras. Membaca dan mencernanya merupakan pengalaman tak terlupakan bagi pembaca yang bijaksana.”
Church Times

“Dr. Packer berkemampuan langka untuk berhubungan menyeluruh dengan kebenaran spiritual dasar dalam tataran praktik. Kemampuannya makin langka karena hal itu diluangkan dalam tulisan yang menarik. Buku ini akan membantu setiap pembaca memahami lebih tepat salah satu kebenaran terbesar Alkitab: kita dapat mengenal Allah secara pribadi karena Allah menginginkan kita mengenal-Nya.”
Rev. Dr. William F. (Billy) Graham
(Penginjil internasional)

“Memang banyak buku lain yang membahas keinginan, kehidupan, atau pencarian akan Allah. Namun Knowing God mengupasnya dengan sederhana dan terbaik.”
Joni Eareckson Tada

“Dengan hati gembala, pemahaman theolog, dan perasaan nabi, J. I. Packer membawa pembaca bertemu Allah yang hidup.”
Charles Cholson







Profil Dr. J. I. Packer:
Prof. James Innell Packer, D.Phil. yang lahir di Gloucester, Inggris, 22 Juli 1926 adalah Board of Governors’ Professor of Theology at Regent College di Vancouver, Canada. Beliau juga adalah kontributor dan editor eksekutif majalah Christianity Today. Beliau juga terlibat sebagai salah satu yang menandatangani Chicago Statement on Biblical Inerrancy yang menegaskan ketidakbersalahan Alkitab. Selain itu, beliau juga melayani sebagai editor umum Alkitab English Standard Version (ESV). Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.); Master of Arts (M.A.); dan Doctor of Philosophy (D.Phil.) di Corpus Christi College, Oxford University, U.K. Buku-buku yang pernah beliau tulis, di antaranya:
· Fundamentalism and the Word of God (1958; reprinted 1984)
· Keep In Step With The Spirit: Finding Fullness In Our Walk With God (1984, dicetak ulang 2005)
· Knowing God (1973, dicetak ulang 1993) ISBN 0-8308-1650-X
· Evangelism and the Sovereignty of God (1961 by Inter-Varsity Fellowship) (dicetak ulang 1991)
· A Quest for Godliness: The Puritan Vision of the Christian Life (1994)
· Concise Theology: A Guide to Historic Christian Beliefs (2001)
· One Faith: The Evangelical Consensus bersama Thomas Oden (2004)
· Collected Shorter Writings in four volumes
· The Redemption and Restoration of Man in the Thought of Richard Baxter (2003, berdasarkan disertasi beliau di Oxford pada tahun 1954)
· Christianity: The True Humanism bersama Thomas Howard (1985)

Eksposisi 1 Korintus 3:10-15 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 3:10-15

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 3:10-15



Dalam bagian ini Paulus mengganti metafora yang dia pakai sebelumnya. Kalau di ayat 5-9 dia menggambarkan jemaat sebagai sebuah ladang, kali ini dia menggambarkannya sebagai bangunan. Transisi ini sebenarnya sudah diindikasikan di ayat 9c “kamu [adalah] bangunan Allah”. Inti pembahasan dalam dua metafora itu juga berbeda: ayat 5-9 lebih menekankan perbedaan dan kesamaan para pemimpin rohani serta kepemilikan Allah atas jemaat maupun para pemimpinnya, ayat 10-15 lebih menyoroti bagaimana cara jemaat dibangun.

Alur berpikir Paulus dalam bagian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Paulus adalah ahli bangunan yang cakap yang telah meletakkan pondasi (ay. 10a)
Paulus memberikan nasehat kepada mereka yang meneruskan pembangunan (ay. 10b-15)
Pondasi yang diletakkan harus Yesus Kristus (ay. 11)
Bahan yang dipakai untuk membangun harus tahan lama (ay. 12-15)


Paulus adalah ahli bangunan yang cakap yang telah meletakkan pondasi (ay. 10a)
Jika jemaat Korintus diibaratkan sebagai sebuah bangunan, maka Paulus adalah seorangarchitekton (istilah modern “arsitek” berasal dari kata Yunani ini). Kata architekton secara etimologis terdiri dari dua kata: arche = “pemimpin” dan tekton = “tukang kayu”. Penggunaan kata ini dalam naskah-naskah kuno menunjukkan bahwa seorang architektonbertanggung-jawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan bangunan (bukan sekadar perancang saja). Dalam berbagai versi Inggris (KJV/RSV/NASB) kata ini dengan tepat diterjemahkan “master-builder”. Terjemahan NIV “builder” kurang jelas menyatakan makna di balik kata ini.

Sebagai architekton rohani Paulus menjelaskan bagaimana cara dia bekerja. Pertama-tama dia menerangkan bahwa sesuai dengan karunia (charis) Allah dia telah meletakkan pondasi jemaat Korintus. Walaupun kata charis bisa merujuk pada banyak hal (keselamatan, pemberian tertentu, perkenanan, dsb), tetapi dalam konteks ini charis merujuk pada karunia khusus yang berguna dalam pelayanan. Arti ini sama dengan arti charis di pasal 1:4-5 yang merujuk pada beberapa karunia rohani tertentu. Charis yang dimaksud Paulus di pasal 3:10a adalah karunia khusus sebagai peletak dasar (perintis jemaat). Karunia ini merupakan kehormatan khusus dari Allah bagi Paulus (Rm. 15:20). Dalam kaitan dengan jemaat Korintus, Paulus memang sebagai perintis (Kis. 18). Dengan demikian dia dapat dianggap sebagai bapa rohani (4:15-16) dan mereka adalah buah pelayanan dia (9:1-2).

Selanjutnya Paulus menerangkan bahwa dia adalah seorang architekton yang cakap (LAI:TB). Terjemahan “cakap” di ayat ini tidak sesuai dengan kata Yunani yang dipakai. Kata sophos seharusnya diterjemahkan “berhikmat” (KJV/NASB), bukan “cakap/terampil” (NIV/RSV/LAI:TB). Sophos di sini jelas masih berkaitan erat dengan diskusi seputar “hikmat” (sophia) di 1:18-2:16. Dengan menyebut dirinya sebagai architekton yang berhikmat, Paulus sedang mengontraskan dirinya dengan orang-orang di Korintus yang menganggap diri mereka “berhikmat”.


Paulus memberikan nasehat kepada mereka yang meneruskan pembangunan (ay. 10b-15)
Setelah menyatakan diri sebagai architekton yang meletakkan pondasi sesuai karunia Allah dan penuh dengan hikmat, Paulus lalu memberikan nasehat kepada tiap orang yang membangun di atas pondasi yang dia telah dirikan. Bentuk present tense yang dipakai untuk kata kerja “memperhatikan” dan “membangun” di ayat 10b menyiratkan bahwa jemaat Korintus perlu terus-menerus dibangun dan terus-menerus diperhatikan. Pondasi saja tidak cukup. Jemaat perlu terus dibangun dengan baik.

Kepada siapakah nasehat Paulus di ayat 10b-15 diberikan? Walaupun nasehat ini dapat diaplikasikan dalam segala situasi, tetapi Paulus tampaknya lebih menujukannya pada para pemimpin jemaat Korintus pada saat surat ini ditulis. Dia tidak menujukannya pada Apolos atau Petrus. Beberapa argumen yang mendukung hal ini antara lain: (1) tidak ada nama Apolos yang muncul dalam bagian ini; (2) bentuk present tense “membangun” di ayat 10b mengarah pada orang yang masih membangun pada saat surat ini ditulis; (3) jika ditujukan pada Apolos, maka nasehat ini menjadi mubazir karena Apolos sudah tidak ada di kota Korintus [16:12]; (4) nuansa negatif [teguran] di bagian ini, terutama ayat 16-17, tidak sesuai dengan sikap Paulus yang positif terhadap Apolos.

Pondasi yang diletakkan harus Yesus Kristus (ay. 11)
Nasehat pertama berhubungan dengan masalah pondasi. Ini merupakan penjelasan terhadap apa yang sudah disampaikan di ayat 10a (Paulus telah meletakkan dasar). Pembahasan seputar pondasi menyiratkan adanya usaha-usaha dari para pemimpin jemaat Korintus untuk membangun ulang seluruh bangunan rohani di Korintus. Mereka inginmerombak pondasi yang ada dan menggantinya dengan dasar yang lain.
Terhadap upaya ini Paulus dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada pondasi lain selain Yesus Kristus. Dalam teks asli ungkapan “dasar lain” diletakkan di awal kalimat untuk penegasan: benar-benar tidak ada pondasi lain! Hikmat duniawi yang diagungkan oleh jemaat Korintus tidak dapat menggantikan pondasi yang sudah diletakkan Paulus.
Pondasi satu-satunya adalah apa yang memang sudah ada (ton keimenon). Bentuk present participle keimenon menyiratkan apa yang sekarang sudah ada dan akan terus ada pada tempatnya, yaitu Yesus Kristus. Pertanyaannya, Yesus Kristus yang seperti apa? Bukankah sebagian orang memberitakan Yesus tetapi bukan Yesus yang benar (2Kor. 11:4)? Bukankah yang lainnya juga memberitakan “injil yang lain” (Gal. 1:6-7)? Yesus Kristus yang dimaksud Paulus adalah Dia yang disalibkan. 1 Korintus 2:2 “aku memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan”. Bagi jemaat Korintus hal ini adalah kebodohan (1:23), tetapi bagi kita hal ini justru sebagai hikmat dan kuasa Allah (1:24).

Bahan yang dipakai untuk membangun harus tahan lama (ay. 12-15)
Pondasi yang baik saja tidak cukup. Pondasi ini harus terus-menerus dibangun (ay. 10b). Bagaimanapun, kita tidak boleh sembarangan dalam membangun. Salah satu aspek pembangunan yang ditekankan Paulus di sini adalah jenis bahan yang dipakai. Kita harus memperhatikan durabilitas (ketahanan) dari bahan yang dipakai. Enam bahan yang disebutkan Paulus di ayat 12 mewakili dua jenis bahan: yang tahan lama (emas, perak dan batu mulia) dan tidak tahan lama (kayu, rumput kering dan jerami). Kita tidak perlu mencoba menafsirkan arti dari masing-masing bahan ini. Kita juga tidak perlu menghubungkan tiga bahan pertama dengan bangunan bait Allah, sedangkan yang sisanya dengan rumah pribadi, walaupun rujukan tentang jemaat sebagai bait Allah ada di ayat 16-17. Inti dari metafora ini terletak pada durabilitas bahan yang dipakai (apakah tahan ujian atau tidak).

Durabilitas bahan ini berkaitan dengan kualitas pondasi yang ada. Hikmat Allah yang dinyatakan melalui salib merupakan sesuatu yang permanen. Hikmat ini sudah direncanakan sejak kekekalan dan dirancang untuk kemuliaan kita kelak (2:7). Dengan kata lain, hikmat ini dari kekal sampai kekal. Hal ini jelas berbeda dengan hikmat duniawi yang ditekankan jemaat Korintus. Hikmat duniawi sedang dan pasti akan lenyap (1:19-20; 2:6). Pondasi yang kokoh membutuhkan bahan bangunan yang tahan lama.

Alasan lain mengapa bahan yang dipakai harus tahan lama adalah karena setiap bangunan pasti akan mengalami ujian. Waktu (ay. 13 “sekali kelak”) akan menunjukkan apakah suatu bangunan terdiri dari bahan yang baik atau buruk. Waktu ini secara khusus merujuk pada Hari Tuhan (1:8; 3:5; bdk. 1Tes. 5:2, 4; 2Tes. 2:2; 1Kor. 5:5), yaitu hari ketika Tuhan Yesus akan datang kembali dan menghakimi semua orang. Jadi, sekalipun ide tentang penyataan sesuatu (kata dasar phaneroo = “menyatakan”) dalam surat Korintus dapat memiliki makna futuris (4:5; 13:13; 2Kor. 5:10) maupun kekinian (11:19; 14:25), tetapi konteks 1 Korintus 3:10-15 menunjuk pada arti yang pertama.

Dengan menyinggung tentang Hari Tuhan Paulus secara tidak langsung juga menegur sikap jemaat Korintus yang menghakimi pelayanannya. Penghakiman seperti ini tidak valid, karena Hakim yang sesungguhnya adalah Tuhan sendiri. Di pasal 4:3-5 Paulus menegaskan hal ini secara eksplisit dan melarang jemaat Korintus menghakimi sebelum waktunya.

Paulus selanjutnya menjelaskan bahwa pengujian ini menggunakan media “api” (ay. 13). Dalam Alkitab, api dapat menyimbolkan penyucian, penghakiman maupun pengujian. Makna yang terkahir inilah yang ada dalam pikiran Paulus. Ada kemungkinan dia sedang mengingatkan jemaat Korintus tentang peristiwa historis kehancuran kota Korintus pada tahun 146 SM oleh tentara Roma. Peristiwa ini memberi pelajaran berharga tentang bagaimana sebuah bangunan seharusnya didirikan: hanya bangunan yang memakai bahan yang baik yang dapat bertahan dari kehancuran total.

Dalam pengujian ini akan ada dua hasil yang berbeda: yang tahan uji (ay. 14) dan yang tidak tahan uji (ay. 15). Kata “tahan uji” di ayat 14 secara hurufiah berarti “tetap bertahan” (KJV “abide”; NASB “remains”; NIV/RSV “survives”), Bagi yang pekerjaannya bertahan dalam pengujian, maka pembangunnya akan mendapat upah. Pemberian upah tidak berarti meniadakan unsur anugerah. Tuhan memang memberi upah kepada seseorang seturut perbuatannya, tetapi kemampuan orang itu untuk melakukan sesuatu tetap berasal dari Tuhan. Paulus sendiri mengakui bahwa kemampuannya meletakkan pondasi adalah “sesuai dengan kasih karunia yang diberikan Allah” (ay. 10a; bdk. 1:4-5; 3:10; 12:1-11). Allah tetap berhak mendapat kemuliaan dari semua yang kita lakukan, karena Dialah yang mengerjakan kemauan dan kemampuan bagi kita (Flp. 2:13). Bagi Dialah segala kemuliaan (Rm. 11:36)!

Dalam bagian ini Paulus tidak menjelaskan upah apa yang akan diterima oleh pekerja yang baik. Di pasal 4:5b dia baru menjelaskan bahwa upah ini berupa “puji-pujian dari Allah”. Upah ini sekilas tampak kurang berarti dalam konteks modern yang sangat materialistis. Bagaimanapun, jika kita menyadari bahwa kitalah yang seharusnya memberi pujian kepada Allah (bukan Allah yang memuji kita), maka kita dapat memahami betapa istimewanya momen ketika Allah memuji kita dan berkata, “hai hamba yang baik” (Mat. 25:21, 23; Luk. 19:17). Kita juga bisa menghargai upah ini jika kita mengingat bahwa Tuhan tidak harus memberi kita sesuat atas apa yang telah kita lakukan bagi Dia, karena kita hanyalah hamba yang melakukan apa yang harus kita lakukan (Luk. 17:10).

Kemungkinan hasil kedua dalam pengujian adalah kehancuran bangunan (ay. 15). Kita tidak mengetahui dengan pasti apa bentuk konkrit dari “pekerjaannya terbakar” (ay. 15a). Paulus mungkin memikirkan akibat kekinian dalam bentuk hilangnya kesaksian maupun eksistensi dari jemaat Korintus (bdk. ay. 17). Perpecahan yang terjadi dalam jemaat berpotensi membuat gereja tidak dapat memberi teladan hidup kepada masyarakat. Perpecahan bahkan berpotensi menghancurkan eksistensi gereja. Akibat futuris yang dipikirkan Paulus mungkin adalah “kejutan besar di akhir zaman”. Sebagian orang yang tampaknya “Kristen” dan “berhikmat” ternyata kelak justru tidak akan diselamatkan karena mereka memang sebenarnya tidak pernah percaya pada injil yang sejati. Mereka hanya percaya pada injil palsu dan dengan demikian mereka akan terkutuk (Gal. 1:8-9). Fenomena ini akan kita temui di penghakiman terakhir nanti (bdk. Mat. 7:22-23; 25:41-46).

Pekerjaan yang terbakar jelas menyebabkan para pekerjanya menderita kerugian (zomiothesetai, ay. 15b; bdk. 2Kor. 7:9; Flp. 3:8). Jika Paulus memang memikirkan surat kontrak kuno tentang pembangunan rumah, maka kerugian ini dapat berupa “kehilangan bayaran” atau bahkan “menanggung kerugian yang terjadi”. Sesuai konteks ayat 15, kemungkinan pertama tampaknya lebih masuk akal.

Sekalipun pekerjaannya terbakar dan dia mengalami kerugian, tetapi pekerja tersebut tetap akan diselamatkan (ay. 15c). Penambahan kata “sendiri” (autos) did epan kata “ia” mengindikasikan penekanan: pekerjanya tetap selamat! Hanya saja, keselamatan ini seperti orang lolos dari kebakaran. Gambaran yang paling pas untuk hal ini adalah “seperti puntung yang ditarik dari kebakaran” (Am. 4:11). Setiap orang yang sudah menerima Roh Kudus (2:12) dan berada “di dalam Kristus” (3:1), orang itu pasti akan diselamatkan, namun jika dia tidak bekerja dengan baik untuk Tuhan maka dia tidak akan mendapatkan upah di sorga nanti. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 11 Mei 2008

10 February 2010

IMAN KRISTEN DAN TRADISI (Denny Teguh Sutandio)

IMAN KRISTEN dan TRADISI

oleh: Denny Teguh Sutandio




“Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.”
(Ul. 6:5)

“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”
(Rm. 11:36)

“Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur. Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.”
(Kol. 2:6-8)




I. PENDAHULUAN
Kita sebagai manusia hidup di dalam suatu masyarakat. Di dalam masyarakat tertentu, mau tidak mau, kita hidup di dalam suatu kebudayaan tertentu. Kebudayaan tersebut mau tidak mau tentu menjadi sebuah tradisi di lingkungan di mana kita tinggal. Yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana iman Kristen menyoroti tradisi manusia? Apakah kita dengan semangat toleransi lalu berkompromi dengan tradisi manusia berdosa? Atau kita malahan membuang semua tradisi karena takut mengganggu iman Kristen kita? Mari kita merenungkan dan memikirkan bersama perspektif iman Kristen yang beres menyoroti masalah tradisi.






II. DEFINISI DAN UNSUR-UNSUR TRADISI
Sebelum membahas mengenai tradisi untuk kita soroti dari perspektif iman Kristen, kita akan mencoba mengerti definisi tradisi dan kebudayaan terlebih dahulu.
A. Definisi Tradisi
Apa itu tradisi? Menurut sumber Wikipedia, tradisi berasal dari bahasa Latin, traditionem (acc. traditio) yang berarti hand over (=menyerahkan) atau passing on (=menyampaikan).[1] Kemudian, kata ini dipakai dalam bahasa Inggris dengan variasi makna:[2]
1. Kepercayaan atau kebiasaan/adat (customs) yang diajar oleh satu generasi ke generasi lain, sering kali secara lisan.
2. Serangkaian kebiasaan/adat (customs) atau praktik/kebiasaan (practices).
3. Sebuah gerakan agama yang luas yang diciptakan oleh denominasi-denominasi religius atau kelompok gereja yang memiliki sejarah, kebiasaan, kebudayaan, dan, dalam beberapa hal, bahan pengajaran yang sama.




B. Unsur-unsur Tradisi
Dari pengertian ini, kita mendapatkan gambaran bahwa unsur-unsur tradisi meliputi:
1. Presuposisi: Kepercayaan
Dari definisi di atas, kita mendapatkan gambaran jelas bahwa presuposisi dasar dari sebuah tradisi adalah kepercayaan (belief). Bisa dikatakan bahwa tidak ada tradisi yang bisa dipisahkan dari kepercayaan. Mengapa? Karena tradisi dibangun di atas kepercayaan akan sesuatu yang ilahi (entah itu benar atau salah). Di Indonesia, kita melihat adanya tradisi ke kuburan 40 hari, 100 hari, dll setelah kematian seseorang. Tentu, tradisi ini dilatarbelakangi oleh agama mistik yang diturunkan oleh nenek moyang Indonesia. Jika mau dipertajam, tradisi selain dilatarbelakangi oleh kepercayaan, juga dilatarbelakangi oleh hal-hal takhayul.


2. Isi: Kepercayaan + Kebiasaan/Adat
Kedua, isi dari tradisi adalah sebuah kepercayaan ditambah dengan kebiasaan/adat. Artinya, kepercayaan sebagai dasar dimuati oleh konsep-konsep kebiasaan/adat masyarakat setempat. Tidak heran di suatu daerah yang sudah beragama, banyak penduduknya masih menganut kebiasaan yang mungkin sejalan dengan agama yang dianutnya atau mungkin bertentangan dengan agama tersebut. Misalnya, kebiasaan ke kuburan pada 40 hari atau 100 hari setelah seseorang meninggal merupakan sebuah kebiasaan dari tradisi nenek moyang yang mungkin sesuai dengan agama yang dianutnya atau mungkin ditentang oleh agama yang dianutnya. Konsep kebiasaan juga bisa menyangkut masalah etika, sopan santun, dll.


3. Sifat: Estafet
Terakhir, sifat dari tradisi adalah estafet. Artinya, sebuah tradisi diturunkan dari generasi ke generasi lain, sehingga terbentuklah sebuah aturan tradisi yang dipegang. Misalnya, kalau kita mendengar orangtua kita, mereka selalu berkata bahwa dulu, mereka diceritakan oleh orangtua mereka bahwa jangan membuang hajat di bawah pohon besar atau keluar di saat Maghrib karena setan-setan berkeliaran. Tradisi kuno diteruskan dari zaman nenek moyang sampai di zaman sekarang.






III. SIKAP (EKSTREM) ORANG KRISTEN TERHADAP TRADISI, PENYEBABNYA, DAN TINJAUAN KRITIS TERHADAPNYA
Setelah mengerti definisi dan unsur-unsur tradisi, maka sekarang kita akan mengamati sikap orang “Kristen” secara umum terhadap tradisi.
A. Memberhalakan Tradisi
Sikap ini biasanya diambil oleh banyak orangtua bahkan “Kristen” yang terlalu memberhalakan tradisi. Mereka mungkin TIDAK eksplisit menyatakan diri bahwa mereka memberhalakan tradisi, tetapi dari sikap dan cara berpikir mereka menandakan bahwa mereka masih memberhalakan tradisi. Mengapa saya mengatakan “memberhalakan tradisi”? Karena memberhalakan tradisi adalah suatu pola pikir dan sikap yang meletakkan tradisi sebagai sumber kebenaran bahkan di atas kebenaran Alkitab. Meskipun secara mulut, orang ini mengakui “kedaulatan Allah” (hanya secara rasio/konsep), namun secara praktik hidup, tradisi dan dirinya sendirilah yang menjadi “tuhan” dalam hidupnya. Hidupnya bukan God-centered, namun tradition-centered. Mari kita melihat contoh praktisnya.

Bukan menjadi rahasia umum, seorang “Kristen” masih mengikuti tradisi dunia yang pergi ke kuburan pada waktu 40 hari atau 100 hari setelah kematian seseorang. Bahkan tidak menutup kemungkinan, seorang “Kristen” ikut sembahyang di depan foto orang (orangtua) yang sudah meninggal. Apa alasan mereka? Sungguh pragmatis: “menghormati orangtua/orang yang sudah meninggal.” Saya mendapati ada juga seorang “Kristen” yang aktif pelayanan di sebuah gereja Injili di Surabaya tiba-tiba datang ke tukang ramal. Selain itu, ada juga orang “Kristen” yang pada waktu mau membuka toko, memanggil mudin. Saya mendengar berita ini dari ayah saya. Ayah saya bertanya, mengapa dia memanggil mudin padahal dia Kristen? Dia menjawab bahwa karena kita tinggal di dunia, maka kita juga ikut kebiasaan dunia.

Di sisi lain, secara konsep, tradisi Tionghoa (mungkin tidak semua) mengajarkan bahwa orangtua itu segala-galanya. Tradisi yang mendarahdaging ini diteruskan (atau diindoktrinasi) kepada anak-anaknya dengan mengajar anak-anak mereka bahwa orangtua dan keputusan orangtua lah yang paling benar. Jika tidak dituruti, itu namanya kualat/membangkang (bahasa Mandarin: bu hao). Misalnya, dalam memilihkan pasangan hidup bagi anaknya, ada orangtua “Kristen” yang masih mengikuti tradisi dunia yang diturunkan dari nenek moyang, misalnya: bibit, bobot, dan bebet.[3] Mereka (bahkan “Kristen”) tidak lagi mementingkan unsur iman sebagai unsur terpenting, tetapi justru memperhatikan hal-hal yang kurang penting (bibit, bobot, dan bebet) sebagai hal yang terpenting. Andaikan saja ada lawan jenis yang menurut si orangtua itu memenuhi standar bibit, bobot, dan bebet yang baik, maka mereka akan segera mengawinkan anaknya, tanpa memperhatikan lagi iman dan tingkat kerohanian dari pasangan anaknya itu. Jika iman tidak lagi dipentingkan dan unsur-unsur sekuler yang dipentingkan (bahkan dimutlakkan), apakah orang ini masih layak disebut orang Kristen yang berarti pengikut Kristus??? Orang yang tidak mengajar anaknya untuk lebih taat kepada Allah dan firman-Nya daripada taat kepada perkataan dan kemauan orangtua masih layakkah disebut pengikut Kristus? Saya TIDAK mengatakan bahwa semua nasihat orangtua itu salah semua. Itu lebay. Meskipun ada unsur baik dan sedikit benar dari nasihat-nasihat bijaksana dari orangtua maupun dari generasi zaman dahulu (atau jadul), namun nasihat-nasihat mereka TIDAK layak diidentikkan dengan firman Tuhan dari Allah Sang Sumber Kebenaran. Jika kita mengaku diri Kristen (artinya: pengikut Kristus), maka tentunya kita mengikuti 100% apa yang Kristus ajarkan (bukan mengikuti 100% tradisi nenek moyang) dan taat mutlak kepada firman Allah (Alkitab). Oleh karena itu, nasihat-nasihat dari filsafat manusia berdosa harus diuji berdasarkan terang firman Tuhan (Alkitab).




B. Membuang Tradisi
Jika sikap ekstrem pertama adalah memberhalakan tradisi, maka sikap ekstrem kedua adalah membuang tradisi. Bagi orang Kristen ini, tradisi sudah tidak diperlukan. Beberapa orang Kristen picik, misalnya, mengidentikkan Imlek itu dengan tahun baru orang Tionghoa yang beragama Buddha atau Kong Hu Cu, oleh karena itu, mereka tidak mau merayakan Imlek. Orang ini juga tidak setuju jika Imlek dirayakan di dalam gereja. Alasan yang dia nyatakan kurang bisa dipertanggungjawabkan, yaitu karena gereja dan bahkan Tuhan Yesus tidak berkaitan dengan tradisi/kebudayaan. Tuhan Yesus tidak mengurusi Imlek. Di dalam hati kecil saya, saya langsung tertawa mendengar anggapan konyol yang tak bertanggungjawab ini! Jelas saja, Tuhan Yesus di Alkitab TIDAK mengurusi Imlek, karena Tuhan Yesus lahir di kalangan Yahudi yang tentu tidak merayakan Imlek. Gimana sich? Sebenarnya orang yang gembar-gembor membuang tradisi, khususnya Imlek adalah mereka yang tidak mengerti tuntas arti Imlek sebenarnya. Yang dia mengerti hanya Imlek plus mistisisme yang keliru. Padahal Imlek pada mulanya tidak ada kaitannya dengan mistisisme. Imlek itu adalah tahun baru yang dihitung berdasarkan kalender bulan (lunar calendar) yang berbeda dari tahun baru Masehi. Jika di gereja ada kebaktian tahun baru setiap tanggal 1 Januari, mengapa tahun baru Tiongkok yang dihitung berdasarkan kalender bulan dilarang dirayakan di gereja?

Yang lebih ekstrem dan parah, ada pemimpin gereja yang lebay sampai mengatakan bahwa karena naga itu simbol setan, maka guci-guci Tiongkok yang bergambar naga harus dipecahkan semua, karena ada setan di dalamnya. Tetapi herannya, orang yang sama TIDAK berani membakar uang kertas Singapura yang juga bergambar naga. Pemimpin gereja ini dengan konsep generalisasi lebay (makanya kita sebagai orang Kristen jangan gemar mengeneralisasi segala sesuatu, jika kita TIDAK mengerti dengan tuntas tentang sesuatu) menyamakan naga di Alkitab dengan naga Tiongkok. Padahal, mengutip Pdt. Rudie Gunawan, S.Th., naga Yunani berbeda dari naga Tiongkok. Ini membuktikan ketidakkonsistenan orang lebay. Orang Kristen seperti ini sebenarnya belum bijaksana dan dewasa dalam menyikapi makna tradisi. Yang lebih parahnya, ada pemimpin gereja yang berkata di atas mimbar, bahwa orang Kristen shio-nya shio Yesus. Ini tambah lebih parah, sudah tidak mengerti tradisi, ngawur pula mengaitkan tradisi dengan Tuhan Yesus. Hal ini justru membuktikan si pemimpin gereja menghina Tuhan Yesus dengan menyamakan Kristus dengan binatang-binatang dalam shio.






IV. SIKAP ORANG KRISTEN YANG BENAR TERHADAP TRADISI
A. Dasar Presuposisi
Di antara dua sikap ekstrem orang Kristen terhadap tradisi, maka apa yang harus kita lakukan? Di dalam mengambil sikap meninjau tradisi, saya harus tegas menentukan sikap, yaitu mengambil theologi Reformed sebagai satu-satunya pendekatan yang layak dipertanggungjawabkan dalam menyoroti masalah tradisi ini. Mengapa? Karena theologi Reformed dengan jelas dan setia berpegang teguh pada kedaulatan Allah dan superioritas Alkitab, namun TIDAK menghina tradisi. Mari kita menelusuri tinjauan kritis theologi Reformed terhadap tradisi ini. Di dalam dasar presuposisi kita di dalam meninjau tradisi, maka saya menyatakan 3 prinsip theologi Reformed menyoroti masalah tradisi, yaitu: kedaulatan Allah, wahyu umum dan wahyu khusus, dan superioritas dan otoritas Alkitab.

1. Kedaulatan Allah
Theologi Reformed yang berdasarkan Alkitab dengan jelas mengajar kita pentingnya: kedaulatan Allah. Artinya, kita percaya bahwa Allah dan firman-Nya itu Sumber Kebenaran. Allah itulah yang mengontrol seluruh dan setiap inci kehidupan kita, seperti apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. Ds. Abraham Kuyper bahwa tidak ada satu inci kehidupan Kristen di mana Kristus tidak bertakhta di atasnya (bdk. Rm. 11:36). Jangan berani mengklaim diri “Kristen”, jika kita belum berani (atau bahkan enggan) mengakui takhta Kristus di atas dan di dalam setiap inci kehidupan kita! Jika kita percaya akan kedaulatan Allah, maka secara otomatis, kita seharusnya:
a. Melihat segala sesuatu dari perspektif kedaulatan Allah
Orang Kristen yang sungguh-sungguh percaya akan kedaulatan Allah harus diikuti oleh komitmen untuk melihat segala sesuatu dalam hidupnya dari perspektif kedaulatan Allah. Artinya, kepercayaan itu mengakibatkan ia mampu dengan tajam melihat kondisi dunia dan solusinya dari perspektif kedaulatan Allah. Orang Kristen yang mampu melihat segala sesuatu berdasarkan perspektif kedaulatan Allah (dengan bantuan Roh Kudus) akan memiliki tingkat ketajaman yang luar biasa dan tidak akan dengan mudah ditipu oleh arus dunia yang menyesatkan. Hal ini bukan hanya secara teori saja, namun juga di dalam aplikasi. Seorang yang melihat segala sesuatu dari perspektif kedaulatan Allah akan memiliki tingkat ketajaman bukan hanya masalah rasio/konsep, namun juga sampai menembus hati manusia. Ia akan peka bahwa seseorang ini bukan saja tidak beres secara konsep, namun secara presuposisi dan hati juga tidak beres. Lalu, orang yang peka ini menjadikan orang lain yang disorotinya itu sebagai bahan introspeksi diri agar dia tidak separah orang yang dia soroti tersebut. Dengan kata lain, tatkala kita melihat segala sesuatu dari perspektif kedaulatan Allah, kita sebenarnya sedang melihat dan merasa seperti apa yang Allah lihat dan rasa. Hal ini bisa kita bangun tatkala kita percaya dengan sungguh-sungguh akan kedaulatan Allah dan tentunya membangun relasi yang intim dengan-Nya setiap hari.

b. Taat mutlak kepada Allah
Selain melihat segala sesuatu dari perspektif kedaulatan-Nya, kita juga dituntut untuk TAAT mutlak kepada Allah. Dewasa ini, kata ini begitu disalahmengerti dan dibuang. Konsep ini disalahmengerti karena konsep TAAT digabungkan dengan sosok Objek yang diktator dan kejam. Oleh karena itu, orang Kristen yang sudah diindoktrinasi konsep ngawur ini menjadi malas atau enggan TAAT. Konsep ini juga dibuang, mengapa? Karena zaman postmodern ini adalah zaman yang sarat dengan pragmatisme yang cenderung anti terhadap komitmen. Mengapa justru di zaman postmodern, free-sex berkembang pesat bahkan hampir menguasai banyak film yang diproduksi oleh Holywood? Karena zaman ini adalah zaman yang anti terhadap komitmen. Jangan heran, beberapa (atau mungkin banyak?) orang Kristen anti terhadap komitmennya untuk taat akan perintah-Nya. Mungkin secara bibir, mereka bisa dengan enaknya mengatakan TAAT kepada Tuhan, namun sangat disayangkan, dalam aplikasinya, banyak dari mereka lebih memilih taat kepada tradisi dunia. Jika ada orang “Kristen” seperti itu, maka tugas kita sebagai pengikut Kristus sejati adalah TIDAK meneladani mereka yang pragmatis, namun kembali kepada Alkitab yaitu TAAT mutlak kepada Allah. Iman Kristen tanpa ada unsur ketaatan sebagai bentuk komitmen iman bukanlah iman Kristen. Orang Kristen yang enggan (berkomitmen) untuk taat dengan segudang argumentasi patut diragukan iman Kristennya! Jika demikian, apa arti taat kepada Allah?
(1) Tidak membantah
Di titik pertama, kita harus mengerti bahwa TAAT kepada Allah berarti TIDAK MEMBANTAH kepada Allah. Orang Kristen yang di titik pertama gemar membantah akan apa yang Allah perintahkan sebenarnya menganggap diri cukup layak menggantikan Allah atau menempatkan diri sebagai penasihat Allah. Kepada orang ini, saya mengutip pernyataan Rasul Paulus di dalam Roma 9:20, “Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: "Mengapakah engkau membentuk aku demikian?"” Barangsiapa yang membantah Allah, dia sedang berdosa, karena dosa, menurut Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D., adalah mengganti/menggeser posisi Allah dengan posisi manusia berdosa. Kembali, ketika kita taat berarti kita tidak membantah. Artinya kita menyetujui 100% akan ketetapan dan firman-Nya, karena kita percaya bahwa Allah itu Sumber Kebenaran dan di dalam diri-Nya tidak ada kepalsuan. Ketika kita meletakkan iman kita pada Allah yang tidak mungkin bersalah, maka sebenarnya kita juga percaya akan ketetapan, perintah, dan firman-Nya yang tidak mungkin bersalah.

(2) Berkomitmen menjalankannya dengan bantuan dan pimpinan Roh Kudus
Taat bukan sekadar tidak membantah, tetapi disusul dengan tindakan selanjutnya yaitu berkomitmen menjalankannya dengan bantuan dan pimpinan Roh Kudus. Artinya, ada tindakan aktif melakukan apa yang Allah perintahkan. Tentu tindakan ini bukan tindakan yang langsung, tetapi proses, karena ketaatan adalah sebuah proses panjang yang Roh Kudus kerjakan di dalam hidup umat pilihan-Nya. Ketaatan tanpa peran Roh Kudus menghasilkan ketaatan palsu yang tidak berpusat kepada Allah. Hal ini jangan diekstremkan. Ada yang terlalu menekankan kedaulatan Allah dan karya Roh Kudus, lalu dia sendiri tidak berbuat apa-apa (pasif) atau mencari kambing hitam atas kesalahan yang dia buat sendiri, misalnya kesalahan yang dia buat ini sudah ditetapkan Allah atau Roh Kudus belum menegur dia untuk tidak berbuat salah. Misalnya, ada pendeta yang terlalu ketat menekankan kedaulatan Allah, lalu ketika dia terlambat bangun untuk nantinya mengajar di kampus, si pendeta mengatakan di depan kelas bahwa keterlambatannya ini pun sudah ditetapkan Allah. Ini yang saya sebut sebagai ekstrem. Di satu sisi, keterlambatannya ini mungkin diizinkan (atau dibiarkan?) Allah atau dengan kata lain, tentu Allah ikut campur tangan (entah itu aktif atau pasif), namun titik beratnya bukan pada Allah, tetapi pada keteledoran manusia. Kembali, ketaatan yang disertai dengan pimpinan Roh Kudus mengakibatkan kita yang terus-menerus taat kepada Allah bukan menjadi orang yang sombong, tetapi menjadi orang yang terus bersyukur karena ketaatan kita bukan karena hasil kerja keras kita, namun karena anugerah Allah melalui pimpinan Roh Kudus.


2. Allah yang Menyatakan Diri (Wahyu)
Allah yang berdaulat adalah Allah yang juga menyatakan diri-Nya kepada manusia. Mengapa demikian? Karena Dia ingin agar manusia ciptaan-Nya mengerti siapa yang telah menciptakan mereka. Di dalam theologi Reformed, penyataan diri Allah dibagi menjadi dua:
a. Wahyu umum (general revelation)
Wahyu umum adalah penyataan diri Allah secara umum kepada semua manusia, yaitu melalui alam, sejarah, dan hati nurani (conscience). Rasul Paulus secara implisit mengajar tentang penyataan diri Allah secara umum ini di dalam Roma 1:19-20, “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.” Nah, respons (mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong) atau manifestasi (mengutip perkataan Ev. Yuzo Adhinarta, Th.M., Ph.D. {Cand.}) terhadap wahyu umum Allah ini ada yang internal dan eksternal. Yang internal (respons/manifestasi) terhadap wahyu umum Allah dalam rupa hati nurani itu adalah agama (religion) dan yang eksternal terhadap wahyu umum Allah dalam rupa alam adalah kebudayaan (culture) dan ilmu pengetahuan/sains (science). Sejarah juga dipakai Allah untuk mengajar manusia belajar dari bijaksana-bijaksana dari zaman dahulu. Namun, yang menjadi permasalahannya adalah respons terhadap wahyu umum Allah ini dilakukan oleh manusia BERDOSA dan akibatnya, tidak menutup kemungkinan, semua respons ini pasti mengandung bibit dosa di dalamnya, meskipun TIDAK SEMUA. Kita melihat di dalam kebudayaan, agama, dan sains yang manusia ciptakan, selalu mengandung bibit dosa, meskipun tidak semua. Di sini, kita mendapatkan gambaran bahwa wahyu umum Allah dan respons terhadap wahyu umum Allah TIDAK pernah membawa manusia mengenal Allah dengan benar dan menyelamatkan.

b. Wahyu khusus (special revelation)
Selain kepada semua manusia, Allah sendiri menyatakan diri-Nya secara khusus hanya kepada umat pilihan-Nya melalui Tuhan Yesus Kristus (wahyu yang tidak tertulis) dan Alkitab (wahyu yang tertulis). Mengapa Allah harus menyatakan diri-Nya secara khusus hanya kepada orang-orang tertentu? Karena Ia melihat bahwa wahyu umum dan responsnya tidak memadai membawa manusia mengenal Dia dengan benar apalagi menyelamatkan manusia dari ikatan dosa, justru malahan mengakibatkan manusia makin berdosa. Di dalam Ibrani 1:1-2, penulis Ibrani mengajar kita tentang finalitas Kristus, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.” Tuhan Yesus Kristus diutus oleh Bapa di Sorga untuk menyelamatkan umat pilihan-Nya dari ikatan dosa, iblis, dan maut dengan cara mati menggantikan dosa umat-Nya, bangkit dari kematian, dan naik ke Sorga. Kematian-Nya di atas kayu salib bukan akhir dari kehidupan-Nya, tetapi mengakhiri kematian rohani umat pilihan-Nya. Kematian-Nya juga mengganti dosa umat pilihan-Nya, sehingga mereka yang ada di dalam Kristus tidak akan dihukum lagi (Rm. 8:1, “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.”). Kematian-Nya juga meredakan murka Allah kepada manusia akibat dosa manusia dan sekaligus merekatkan kembali hubungan Allah dengan manusia yang telah terputus akibat dosa. Kematian siapakah yang sanggup mengerjakan hal-hal agung seperti kematian Kristus? Semua pemimpin agama mati dan dikuburkan; mayat mereka bisa ditemukan. tetapi Kristus mati dan bangkit kembali; kuburan-Nya kosong membuktikan Dia sudah bangkit. Kematian Kristus itu kematian yang berkuasa (Yes. 53:5) dan kebangkitan-Nya pun membuktikan kemenangan-Nya yang mutlak atas kuasa dosa, iblis, dan maut yang membelenggu kita. Kebangkitan Kristus mengakibatkan iman dan pengharapan kita tidak sia-sia (1Kor. 15:14). Kebangkitan Kristus juga yang mengakibatkan masa depan kita di dalam Kristus memiliki tujuan yang jelas, karena kebangkitan-Nya membuktikan bahwa kuasa dosa, iblis, dan maut tidak akan mampu membelenggu kita lagi.

Lalu, semua firman Kristus dicatat oleh para rasul dan tulisan para rasul pun dicatat dan dibukukan, kemudian dikanonisasikan menjadi Alkitab yang terdiri dari 39 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru. Alkitab ini juga disebut wahyu khusus Allah yang tertulis, karena kita percaya bahwa hanya Alkitab saja yang sanggup menjelaskan karya Allah sejak sebelum dunia dijadikan sampai dunia ini berakhir. Dan Rasul Yohanes sendiri yang menerima wahyu dari Tuhan Yesus mengajar kita, “Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: "Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini."” (Why. 22:18-19) Ada yang menafsirkan bahwa kedua ayat ini hanya berlaku untuk kitab Wahyu saja. Sebenarnya, kalau kita mempercayai totalitas Alkitab, maka apa yang berlaku untuk kitab Wahyu juga berlaku untuk seluruh Alkitab. Karena Alkitab sudah final, maka orang Kristen yang beres seharusnya TIDAK lagi mempercayai buku atau agama atau hal-hal apa pun juga sebagai Sumber Kebenaran. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen yang mempercayai bahwa Alkitab itu telah final, maka kita TIDAK perlu mempercayai adanya “wahyu-wahyu” baru untuk melengkapi Alkitab. Jika masih ada “wahyu-wahyu” baru untuk melengkapi Alkitab, berarti Alkitab belum final. Jika Alkitab belum final dan perlu ditambah “wahyu-wahyu” baru, patut dipertanyakan, dari mana orang yang menerima “wahyu-wahyu” baru itu mengetahui bahwa dia menerimanya dari “Allah”? Lebih tajam lagi, jika isi “wahyu-wahyu” baru bertentangan dengan Alkitab, manakah yang dipilih oleh orang yang menerima “wahyu-wahyu” baru: Alkitab atau “wahyu-wahyu” baru? Jika dia tetap memilih Alkitab, mengapa ia masih percaya adanya “wahyu-wahyu” baru? Jika dia keras kepala memilih “wahyu-wahyu” baru, dia harus konsisten untuk membiarkan (dan menerima) orang lain yang juga menerima dan memegang teguh “wahyu-wahyu” baru yang berbeda dari yang dia terima (karena tidak ada standar baku). Jika demikian kenyataannya, standar kebenaran menjadi kacau, rancu, dan subjektif. Padahal Alkitab mengajarkan kebenaran objektif.


3. Superioritas dan Otoritas Alkitab
Setelah melihat bahwa Alkitab itu telah final, maka di poin ini, kita akan melihat lebih jelas lagi bahwa Alkitab yang telah final itu adalah satu-satunya Sumber Kebenaran yang berada di atas segala-galanya dan berotoritas mutlak di dalam iman dan kehidupan orang Kristen. Hal ini diringkaskan oleh Dr. Martin Luther, reformator Protestan dari Jerman dengan semboyan penting: Sola Scriptura (hanya Alkitab). Superioritas Alkitab berarti Alkitab berada di atas segala-galanya, yaitu di atas: agama, kebudayaan, tradisi, filsafat, sains, dan semua pengajaran dunia berdosa. Otoritas Alkitab berarti Alkitab menjadi satu-satunya Sumber Kebenaran yang berotoritas mutlak akan iman dan kehidupan orang Kristen.

Lalu, apa yang menjadi unsur-unsur dari superioritas dan otoritas Alkitab?
a. Alkitab adalah Sumber Kebenaran
Jika kita mempercayai dengan tegas dan mutlak bahwa Alkitab itu firman Allah yang tertinggi di atas segalanya dan berotoritas, maka di titik pertama, kita tentu mempercayai bahwa Alkitab itu Sumber Kebenaran. Alkitab adalah Sumber Kebenaran berarti Alkitab adalah satu-satunya sumber di mana kita menemukan dan menghidupi Kebenaran Allah (Truth). Iman kita yang didasarkan pada doktrin ini seharusnya membawa kita untuk lebih mencintai Alkitab daripada tradisi atau apa pun yang ada di dunia ini. Namun sayangnya, fakta berkata lain. Tidak sedikit orang Kristen yang lebih beriman kepada dukun, tradisi, filsafat, ajaran, dll dari dunia berdosa yang seolah-olah mengajarkan “kebenaran.” Mereka dengan bangganya masih menyandang nama “Kristen”, tetapi masih percaya takhayul. Ada lho orang “Kristen” (sebenarnya orang ini bekas non-Kristen kemudian menjadi “Kristen”, namun belum layak disebut pengikut Kristus) yang masih mempercayai bahwa orang yang shio ini tidak boleh menikah dengan orang yang shio ini. Jika demikian, apa yang menjadi sumber kebenaran bagi orang “Kristen” ini? Jelas bukan Alkitab! Bagaimana dengan kita? Sedalam apakah kita mencintai firman-Nya? Ataukah kita percaya Alkitab hanya di mulut saja? Atau yang lebih parah kita hanya memegang dan membawa Alkitab tatkala mau ke gereja saja? Biarlah kita mengintrospeksi diri kita masing-masing.

b. Alkitab adalah penguji
Alkitab yang adalah Sumber Kebenaran membawa kita untuk menjadikan Alkitab sebagai penguji. Artinya, dengan standar Alkitab, kita menguji segala sesuatu di bawah otoritas Alkitab. Sains, filsafat, agama, tradisi, kebudayaan, pengajaran, dan kehidupan kita semuanya berada di bawah pengujian Alkitab. Alkitab sebagai penguji mengakibatkan kita dengan rendah hati terus-menerus dikoreksi oleh Alkitab. Apa yang kita imani, pikirkan, katakan, dan lakukan terus-menerus diuji oleh Alkitab, sehingga kita bisa hidup makin serupa dengan Kristus. Namun, fakta berkata lain. Tidak sedikit orang “Kristen” yang TIDAK mau menguji segala sesuatu berdasarkan Alkitab. Bahkan ada juga orang “Kristen” yang bertindak sebaliknya, menguji Alkitab dengan standar psikologi, filsafat, tradisi, kebudayaan, kemauan (baca: nafsu), dll. Lebih tepatnya bukan menguji Alkitab, tetapi mencocokkan Alkitab atau lebih parah, menundukkan Alkitab di bawah semua hal dari dunia berdosa. Tidak usah heran, seorang anak pengerja sebuah gereja yang bertheologi Reformed dengan mudahnya memakai istilah agung dari Alkitab, yaitu “bergumul” untuk membenarkan tindakannya mencari pasangan hidup yang tidak seiman. Meskipun orang ini adalah anak pengerja gereja, tidak menjamin konsep dan aplikasinya beres. Orang ini jelas seorang yang menundukkan Alkitab di bawah nafsunya sendiri yang berdosa, lalu menggunakan istilah yang agung “bergumul”, supaya kedok/motivasi busuknya tidak dibongkar/ketahuan. Yang lebih parah lagi, orang ini masih berkeinginan “melayani” Tuhan di gereja. Saya hanya geleng-geleng kepala. Konsep dan aplikasinya sendiri sudah tidak karuan, lalu masih memberanikan diri melayani Tuhan? Di dalam benaknya, selama Alkitab itu cocok menurut nafsunya berdosa, maka Alkitab itu firman Allah yang berotoritas, namun jika Alkitab tidak cocok atau bahkan membatasi nafsunya yang berdosa, maka Alkitab itu tidak berotoritas sama sekali. Jika ada orang Kristen yang tidak mau menguji segala sesuatu berdasarkan Alkitab, patut diragukan apakah dia seorang pengikut Kristus? Sungguh mengerikan dan menjijikkan jika ada orang “Kristen” bahkan anak aktivis gereja bisa menghina Alkitab untuk dicocokkan dengan (nafsu) manusia berdosa.

c. Alkitab adalah penuntun
Alkitab yang menguji kita juga adalah Alkitab yang menuntun iman dan setiap langkah hidup kita agar hidup kita makin memuliakan Allah. Alkitab yang menuntun adalah Alkitab yang memberikan pengajaran dan penghiburan bagi iman dan kehidupan kita. Alkitab yang memberikan pengajaran adalah Alkitab yang mengajar perintah-perintah dan ketetapan-ketetapan-Nya untuk dilakukan oleh umat pilihan-Nya. Alkitab yang menghibur adalah Alkitab yang menghibur kita yang mengalami penderitaan, penganiayaan, dll. Alkitab menghibur kita melalui kekuatan-kekuatan yang Allah berikan kepada kita. Mazmur Daud bisa dipakai untuk menghibur kita tatkala kita ditimpa masalah, pencobaan, penderitaan, dll.

Alangkah indahnya ketika kita mengimani superioritas dan otoritas Alkitab, karena Alkitab membantu kita untuk makin mengenal Allah dan ketetapan-ketetapan-Nya bagi kita sebagai umat pilihan-Nya.




B. Aplikasi Konsep: Iman Kristen Menyoroti Tradisi
Setelah mengerti 3 prinsip dasar theologi Reformed meninjau tradisi, maka sebagai aplikasi, kita akan memikirkan 3 sikap, yaitu:
1. Menguji Diri dan Rendah Hati
Sebelum melakukan hal apa pun, biasakan diri kita menguji diri kita. Ketika kita mau menyoroti masalah tradisi dari perspektif iman Kristen, ujilah diri kita, apakah kita benar-benar pengikut Kristus yang taat mutlak akan Allah dan firman-Nya? Jika belum, biarlah Roh Kudus terus-menerus memproses hidup kita agar kita makin rendah hati mau taat mutlak akan Allah dan firman-Nya. Namun, jika kita bersikeras untuk TIDAK mau taat akan Allah dan firman-Nya, berhati-hatilah terhadap sikap keras kepala Anda, mungkin Anda bukan termasuk umat pilihan-Nya. Kembali, menguji diri dan rendah hati bagi saya adalah tahap dasar/awal dari sikap meninjau tradisi dari perspektif iman Kristen. Meninjau tradisi dari perspektif iman Kristen bukan diawali dengan segudang doktrin, tetapi diawali dari sikap hati. Sikap hati yang beres dan murni menghasilkan tindakan yang murni. Orang Kristen yang dari hatinya sudah melawan Alkitab jangan mimpi untuk diajak meninjau tradisi dari iman Kristen. Sedangkan orang Kristen yang dari titik awal sudah rendah hati mau diajar oleh firman, maka ia baru layak meninjau tradisi dari perspektif iman Kristen.

2. Menempatkan Kedaulatan Allah dan Alkitab di atas Segala-galanya
Orang Kristen yang sudah menguji diri dan rendah hati barulah maju ke langkah berikutnya, yaitu berkomitmen menempatkan kedaulatan Allah dan Alkitab di atas segala-galanya. Menempatkan kedaulatan Allah di atas segala-galanya berarti Allah yang berdaulat kita letakkan sebagai Raja dan Tuhan dalam hidup kita. Kita mempersilahkan Pribadi Allah berkuasa mutlak dalam hidup kita. Tentu, kita bisa melakukan hal ini karena Roh Kudus yang terlebih dahulu mencerahkan dan memimpin kita. Baik Pdt. Dr. Stephen Tong, Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div., dan Pdt. Erastus Sabdono, D.Th. (GBI Rehobot/Rehobot Ministry, Jakarta) sama-sama mengajar bahwa orang Kristen terlalu banyak mengaku Yesus hanya sebagai Juruselamat, namun bukan sebagai Tuhan. Akibatnya, orang Kristen enggan untuk diminta berkomitmen dan setia kepada-Nya. Baginya, Kekristenan hanya sekadar agama yang tidak ada bedanya dengan agama-agama lainnya. Jika demikian, layakkah orang ini disebut pengikut Kristus? Bagaimana dengan kita? Siapa/apa yang menjadi Tuhan dalam hidup kita? Benarkah hanya Kristus yang menjadi Tuhan dalam hidup kita? Atau tradisi, kebudayaan, konsep nenek moyang, dan hal-hal fenomenal lain yang menjadi “Tuhan” dalam hidup kita? Biarlah kita menguji diri kita sekali lagi. Jika kita masih belum menjadikan Kristus sebagai Tuhan dalam hidup kita, segeralah untuk sadar dan bertobat, lalu berdoa meminta agar Ia mengampuni segala dosa kita dan undanglah Kristus untuk menjadi Raja dan Tuhan dalam hidup kita. Ingatlah akan apa yang firman Tuhan katakan melalui Rasul Paulus di dalam Kolose 2:6-8, “Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur. Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.” “Ajaran turun-temurun” ini dalam King James Version diterjemahkan tradition (tradisi), dalam International Standard Version (ISV) dan English Standard Version (ESV) diterjemahkan human tradition (tradisi manusia), dalam Analytical-Literal Translation (ALT) diterjemahkan the traditions of people (tradisi orang-orang). Tradisi yang dimaksud di ayat ini tentu berkaitan dengan tradisi Yahudi, namun bisa diaplikasikan juga di dalam tradisi lain di luar Yahudi. Rasul Paulus melalui ayat ini hendak mengajar bahwa kita yang telah menerima Kristus Yesus sebagai Tuhan, hendaklah hidup tetap di dalam Dia, berakar di dalam Dia, dibangun di atas Dia, bertambah teguh di dalam iman yang telah diajarkan kepada kita, dan hati kita dipenuhi oleh rasa syukur karena anugerah Allah tersebut. Sebagai konsekuensinya, hendaklah kita tidak mudah ditawan oleh filsafat kosong dan palsu menurut tradisi manusia dan roh-roh (prinsip-prinsip) dunia. Dengan kata lain, orang Kristen yang telah beriman kepada Kristus hendaknya TIDAK lagi diikat oleh ajaran filsafat dunia dan tradisi manusia berdosa.

Menempatkan Alkitab di atas segala-galanya berarti membiarkan Alkitab terus mengoreksi dan menghakimi segala sesuatu yang ada di dalam diri kita. Jika ada konsep kita yang salah, bukan Alkitab yang kita kritik, namun kitalah yang harus mengkritik diri kita sendiri. Ini yang menjadi penyakit sebagian besar orang (bahkan “Kristen”): enggan mengkritik diri. Mengapa ini menjadi penyakit? Lagi-lagi karena ini dipengaruhi oleh tradisi manusia berdosa yang sudah diindoktrinasi bahwa manusia itu baik, hebat, pintar, dll, akibatnya banyak manusia makin lama makin enggan menerima kritikan.

Memang tidak mudah melakukan poin kedua, apalagi yang melakukan poin kedua ini adalah banyak orang Tionghoa yang sudah terlalu banyak dipengaruhi oleh tradisi Tionghoa yang begitu mendarahdaging, kental, kolot, dan kaku. Meskipun tidak mudah, percayalah, Roh Kudus akan memberi kekuatan ekstra kepada kita yang termasuk umat pilihan-Nya untuk makin taat akan Allah dan firman-Nya.

3. Alkitab Menguji Tradisi: Menghargai dan Menolak
Setelah kita menempatkan kedaulatan Allah dan Alkitab di atas segala-galanya, maka kita dituntut untuk membiarkan Alkitab menguji tradisi. Langkah ini mungkin merupakan langkah tersulit bagi sebagian besar orang Kristen yang berlatar belakang Tionghoa. Mengapa? Karena biasanya banyak orang Kristen Tionghoa masih tidak rela membiarkan Alkitab menguji tradisi, mungkin juga karena terlalu banyak diikat oleh tradisi Tionghoa. Sudah seharusnya orang Kristen Tionghoa bertobat dan dengan rendah hati membiarkan kebenaran Alkitab menguji tradisi. Kita membiarkan kebenaran Alkitab menguji tradisi karena kita percaya bahwa wahyu khusus memiliki otoritas lebih tinggi daripada wahyu umum Allah dan respons terhadap wahyu umum Allah.

Lalu, bagaimana Alkitab menguji tradisi? Alkitab menguji tradisi dimulai dari sikap Tuhan Yesus dalam menyoroti tradisi. Tuhan Yesus waktu inkarnasi tetap menghargai tradisi, yaitu disunat pada hari kedelapan (untuk menggenapi Taurat), namun di sisi lain, Ia tetap TIDAK mau memberhalakan (bahkan menegur kesalahan) tradisi Yahudi yang menambahi Taurat. Dari sini, kita belajar dua prinsip penting peran Alkitab menguji tradisi, yaitu:
a. Alkitab menghargai tradisi
Di poin pertama, Alkitab menghargai tradisi. Artinya, ada beberapa pengajaran di dalam tradisi yang baik yang sesuai dengan Alkitab. Apa kriterianya? Jika tradisi dan pengajaran di balik tradisi itu tidak membawa kita menyimpang dari Allah dan kebenaran-Nya. Misalnya, di dalam merayakan Imlek, tradisi berkumpul bersama keluarga bukanlah tradisi yang buruk apalagi melawan Alkitab. Tradisi bersekutu sesuai dengan Alkitab.

b. Alkitab menolak tradisi
Di sisi lain, Alkitab yang menghargai tradisi juga adalah Alkitab yang menolak tradisi. Artinya, jika ada tradisi dan pengajaran di balik tradisi yang membawa kita menyimpang dari Allah atau mengutuki-Nya, maka Alkitab melarang dengan tegas dan keras untuk menjalankan tradisi tersebut. Misalnya, pada waktu Imlek, ada tradisi sembahyang atau sebelum/sesudah Imlek, ada tradisi pergi ke kuburan untuk menyembayangi orangtua/orang yang sudah meninggal. Apakah ini termasuk tradisi yang sesuai dengan Alkitab? TIDAK! Alkitab menentang penyembahan model ini, karena hanya Allah saja yang patut disembah (Kel. 20:3)!






V. PENDIDIKAN KRISTEN VS TRADISI
Setelah memikirkan bagaimana iman Kristen menyoroti tradisi, maka kita perlu memikirkan satu aspek penting lagi yaitu pentingnya peranan pendidikan Kristen melawan tradisi manusia berdosa.
A. Sifat Tradisi dan Pendidikan
Di poin II, kita telah melihat bahwa sifat tradisi adalah estafet, artinya tradisi itu diturunkan dari generasi ke generasi. Hal serupa juga terjadi dengan dunia pendidikan. Pendidikan secara tidak langsung sebenarnya bersifat estafet, karena apa yang telah ditanam oleh orangtua kepada anak sejak kecil mempengaruhi konsep si anak dan anak itu ketika tumbuh menjadi orangtua juga mengajar kepada anaknya apa yang telah didapatkannya dari orangtuanya dahulu, begitu seterusnya. Jika kita menelusuri akar dari sifat estafet ini sebenarnya adalah konsep dasar pertama yang disebut oleh Pdt. Sutjipto Subeno sebagai dekrit pertama (first decree). Artinya, sifat estafet ini berakar dari konsep dasar pertama yang dianut oleh nenek moyang kita zaman dahulu yaitu DOSA. Dosa yang berarti melawan Allah atau memakai istilah Dr. Cornelius Van Til adalah mengganti posisi Allah dengan posisi kita mengakibatkan dari generasi ke generasi, tradisi dan pendidikan berjalan terus menuju kepada kebinasaan baik secara sadar maupun tidak sadar. Adakah jalan keluar dari kebuntuan ini? Hanya iman Kristen yang mampu menawarkan solusi jitu dari kebuntuan ini, yaitu pengorbanan Kristus di kayu salib dan kebangkitan-Nya memulihkan kebuntuan ini. Iman Kristen dengan konsep pendidikan Kristen yang berpusat kepada kedaulatan Allah lebih tajam lagi menyediakan solusi jitu untuk meminimalkan pengaruh tradisi manusia berdosa.




B. Pendidikan Kristen: Meminimalkan Pengaruh Tradisi Manusia Berdosa
Pendidikan Kristen yang berpusat kepada kedaulatan Allah menyediakan satu-satunya solusi jitu meminimalkan pengaruh tradisi manusia yang berdosa. Sebelum kita membahas isi pendidikan Kristen yang berpusat kepada kedaulatan Allah, maka kita perlu mengerti sifat pendidikan Kristen dikontraskan dengan sifat tradisi. Setelah itu, baru kita memahami kuasa pendidikan Kristen yang beres meminimalkan pengaruh tradisi manusia berdosa.
1. Sifat Pendidikan Kristen Vs Sifat Tradisi
Di titik pertama, kita harus mengerti bahwa untuk meminimalkan pengaruh tradisi yang bersifat estafet, maka kita perlu melawannya dengan pendidikan Kristen. Jika orangtua dunia (dan “Kristen”) menanamkan konsep dan tradisi kepada anak mereka sejak kecil, maka orangtua Kristen sejati juga harus menanamkan konsep cinta Tuhan kepada anak. Pertentangan ini harus ada (namun sekali lagi, kita bukan mengajar anak untuk tidak menghargai tradisi lho), karena di dalam Kekristenan, kita berperang bukan melawan orang, namun melawan roh-roh jahat di udara. Rasul Paulus di dalam Efesus 6:11-12 mengajar kita, “Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis; karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.” Anak-anak Tuhan harus berperang melawan setan (dan anak-anaknya) dan percayalah, kemenangan ada di pihak anak-anak Tuhan, karena Kristus telah menang mengalahkan setan. Kemenangan Kristus terhadap setan menjamin kemenangan kita mengalahkan tipu daya iblis dan para kroninya yang mencoba meracuni dunia dengan tradisi manusia berdosa. Bersiapkah kita masuk ke dalam peperangan ini?


2. Sifat Pendidikan Kristen
Setelah kita melihat pertentangan pendidikan Kristen dengan tradisi, maka mari kita melihat sifat pendidikan Kristen yang berkuasa itu:
a. Berpusat kepada Allah
Sifat pendidikan Kristen pertama harus berpusat kepada Allah. Ini tentu bertolak belakang dengan sifat tradisi di atas yang berpusat kepada manusia. Pendidikan Kristen yang berpusat kepada Allah berarti menempatkan Allah di atas segala sesuatu dan di setiap bidang ilmu. Di dalam pendidikan keluarga, orangtua Kristen yang cinta dan takut akan Tuhan menanamkan konsep cinta Tuhan kepada anak-anak mereka dari kecil, sehingga anak-anak nantinya tumbuh makin cinta Tuhan. Ingatlah Amsal 1:7, “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Di ayat ini, raja Salomo yang terkenal dengan hikmatnya mengajar kita bahwa justru takut akan Tuhan adalah permulaan segala pengetahuan dan orang bodoh menghina hikmat dan didikan yang bersumber dari takut akan Tuhan. Namun entah mengapa, konsep takut akan Tuhan dihilangkan dalam pendidikan sekuler zaman sekarang dengan argumentasi klise, “religion dan science tidak ada hubungannya.” Saya heran, mengapa dualisme yang diimpor dari Plato bisa menjadi “iman” orang Kristen di dalam hal pengetahuan?

Bersyukur sekali Tuhan mendidik orangtua Israel zaman dahulu agar mereka mengajar anak-anak untuk mengasihi Tuhan. Bacalah Ulangan 6:4-7, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Keempat ayat ini sudah cukup membuktikan bahwa Tuhan menginginkan pendidikan yang berpusat kepada Allah saja. Bandingkan keempat ayat ini dengan realitas dunia kita saat ini. Apa yang orangtua (bahkan “Kristen”) ajarkan kepada anak dari kecil? Benarkah mereka mengajar anak untuk cinta dan takut akan Tuhan? Ataukah mereka mengajar anak-anak dengan konsep manusia berdosa, yaitu: atheisme, materialisme, dan pragmatisme? Khusus banyak orangtua “Kristen” Tionghoa, apa yang mereka ajarkan? Benarkah mereka mengajar anak-anak mereka untuk mencintai Tuhan dan menaati kehendak-Nya saja? Ataukah mereka mengajar anak-anak mereka untuk mencintai orangtua saja dan menaati kehendak orangtua saja? Apakah kredo/pengakuan iman mereka sesuai dengan Katekismus Singkat Westminster pasal 1 yaitu tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya? Ataukah kredo mereka yaitu tujuan utama manusia (anak-anak) adalah memuliakan orangtua dan menikmati mereka selama-lamanya? Biarlah ini menjadi refleksi khusus bagi para orangtua Kristen Tionghoa, apalagi yang berani menyebut diri bertheologi Reformed.

Pendidikan sekolah pun juga harus ikut berpartisipasi mendidik dan mengajar anak didik sejak kecil tentang takut akan Tuhan. Namun sayangnya, mengutip perkataan Pdt. Sutjipto Subeno, hampir tidak ada guru di sekolah yang mengklaim diri “Kristen” yang mengajar anaknya untuk menggumulkan panggilan hidupnya di hadapan Tuhan. Saya mengaminkan karena saya sendiri mengalaminya sendiri. Bahkan yang lebih parah, di sebuah sekolah “Kristen” terkenal di Surabaya, ada seorang “hamba Tuhan” yang ketika berkhotbah di dalam renungan setiap hari Senin tidak menyebut nama Yesus satu kalipun dari doa awal, khotbah, sampai doa akhir. Namun herannya, orang ini bisa diundang berkhotbah di sebuah sekolah “Kristen”, aneh bukan? Itulah wajah nyata sekolah “Kristen” di abad postmodern ini. Jika pendidikan “Kristen” di zaman ini begitu rusak, bagaimana kita bisa menjadi garam dan terang bagi dunia? Biarlah pendidikan Kristen baik di rumah maupun sekolah benar-benar berpusat kepada kedaulatan Allah demi kemuliaan-Nya agar anak-anak kita dari kecil tidak diracuni oleh tradisi-tradisi yang dalam beberapa hal melawan Allah.

b. Berpusat kepada Alkitab
Selain berpusat kepada Allah, pendidikan Kristen harus berpusat kepada Alkitab. Artinya, Alkitab harus berperan mutlak di dalam setiap aspek pendidikan. Orangtua Kristen yang beres harus mendidik anak-anaknya untuk mencintai dan takut akan Allah melalui Alkitab. Mereka harus membimbing anak-anaknya untuk membaca dan mempelajari Alkitab agar anak-anak dari kecil mengerti firman Tuhan untuk diaplikasikan. Ketika beranjak remaja, orangtua Kristen pun tetap perlu mengajar anak untuk menyoroti segala sesuatu dari perspektif Alkitab. Jika dari kecil, anak sudah dididik untuk membaca Alkitab dan melihat segala sesuatu dari perspektif Alkitab, maka anak itu bertumbuh makin dewasa makin cinta Tuhan dan makin menjadi berkat bagi sesamanya. Inilah salah satu cara orang Kristen menjadi garam dan terang bagi dunia kita yang berdosa ini.

Pendidikan sekolah pun TIDAK luput dari sifat pendidikan Kristen yang berpusat kepada Alkitab. Para guru yang cinta Tuhan harus membimbing anak didik untuk melihat segala hal/bidang ilmu dari perspektif Alkitab. Ketika mengajar sejarah dan di dalam pelajaran sejarah diajarkan teori evolusi, guru Kristen yang saleh harus mengajar anak didiknya bahwa meskipun pelajaran sejarah mengajarkan teori evolusi, namun Alkitab mengajar bahwa manusia diciptakan oleh Allah sesuai dengan gambar dan rupa-Nya. Bersyukur sekali saya menemukan sosok seorang guru Kristen yang saleh seperti ini ketika saya menempuh pendidikan sekolah (saya lupa, apakah SMP atau SMA) di sebuah sekolah Kristen terkenal di Surabaya. Guru ini adalah guru sejarah yang saya dengar dengan berani menekankan bahwa Allah menciptakan manusia, bukan manusia berasal dari kera, dll.






VI. KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Setelah merenungkan dan mengerti tentang iman Kristen menyoroti tradisi, apa yang menjadi sikap kita selanjutnya? Apakah kita menjadi seorang yang lebay: memberhalakan tradisi atau sebaliknya membuang tradisi sama sekali? Kekristenan yang sehat mengajarkan keseimbangan dan posisi paradoks, yaitu menempatkan Alkitab dan kedaulatan Allah untuk menguji tradisi: menerima dan menghargai tradisi selama tidak membawa kita menyimpang dari Allah dan firman-Nya, namun sebaliknya menolak dan melawan tradisi yang membawa kita menjauh dari Allah dan firman-Nya.


Bagaimana dengan kita? Mungkin bagi kita, pemikiran ini masih tergolong sulit, tetapi tidak apa-apa, saya terus mendoakan agar Roh Kudus terus-menerus mencerahkan hati dan pikiran kita untuk makin taat kepada Allah dan firman-Nya demi hormat dan kemuliaan nama Allah Trinitas. Sebagai penutup, saya diingatkan berkali-kali oleh perkataan Pdt. Sutjipto Subeno yang mengutip Yesaya 43:7, “semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang Kubentuk dan yang juga Kujadikan!”

Biarlah setiap inci kehidupan kita BUKAN dikendalikan oleh tradisi manusia berdosa, namun oleh Allah dan kebenaran firman-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.
Catatan Kaki:
[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Tradition
[2] Ibid.
[3] Berbicara mengenai unsur bibit, bobot, dan bebet, ada dua pandangan ekstrem: menerima mentah-mentah tanpa mengujinya (dianggap mutlak) dan menolak mentah-mentah. Kekristenan yang seimbang dan bertanggung jawab melihat bahwa bibit, bobot, dan bebet merupakan salah satu bijaksana orangtua yang patut dipertimbangkan, NAMUN saran tersebut TIDAK boleh DIMUTLAKKAN atau DIIDENTIKKAN setara dengan Alkitab.