17 February 2010

Eksposisi 1 Korintus 3:16-17 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 3:16-17

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 3:16-17



Bagian ini merupakan kelanjutan dari respon Paulus terhadap perpecahan dalam gereja Korintus yang disebabkan oleh persoalan hikmat duniawi. Kalau di beberapa bagian sebelumnya Paulus hanya menggambarkan gereja sebagai ladang (3:5-9) dan bangunan (10-15), sekarang dia menggambarkan gereja sebagai bait Allah (3:16-17). Kalau di ayat 10-15 dia hanya menggambarkan gereja sebagai sebuah bangunan, sekarang di ayat 16-17 dia menjelaskan jenis bangunan yang paling tepat untuk menggambarkan gereja, yaitu bait Allah.

Alur berpikir Paulus di ayat 16-17 sebenarnya cukup mudah untuk diikuti. Di ayat 16 dia menjelaskan tentang hakekat yang sebenarnya dari gereja, yaitu sebagai bait Allah dan tempat kediaman Roh Kudus. Selanjutnya di ayat 17 Paulus memberikan peringatan keras kepada mereka yang berusaha membinasakan bait Allah. Melalui dua ayat dia ingin menegaskan signifikansi dari status jemaat di Korintus sebagai umat Allah. Mereka tidak boleh memiliki pandangan yang rendah terhadap gereja maupun mengabaikan konsekuensi dari tindakan merusak gereja melalui hikmat duniawi dan perpecahan.


Hakekat Gereja (ay. 16)
Pertanyaan “tidak tahukah kamu?” muncul sekitar 10 kali dalam surat 1Korintus (3:16; 5:6; 6:2, 3, 15, 16, 19; 9:13, 24). Di surat lain, pertanyaan seperti ini hanya muncul sekali (Rm. 6:16). Fenomena ini telah meyakinkan mayoritas penafsir bahwa pertanyaan “tidak tahukah kamu?” bukanlah sekadar pertanyaan retoris untuk mengingatkan kembali apa yang sudah disampaikan Paulus. Pertanyan ini menyatakan intensitas perasaan Paulus sekaligus sindirannya terhadap jemaat Korintus yang menganggap diri berhikmat (bdk. ay. 18). Apa yang disampaikan di ayat 16-17 merupakan kebenaran yang sangat mendasar, sehingga ketidaktahuan mereka yang “berhikmat” merupakan sesuatu yang ironis. Mereka seharusnya sudah tahu, kenyataannya mereka tidak tahu (atau paling tidak mengabaikannya)!

Apa yang mereka tidak ketahui? Mereka tidak tahu bahwa mereka adalah bait Allah (ay. 16a). Susunan kalimat Yunani yang meletakkan “bait Allah” di depan “kamu adalah” mengindikasikan sebuah penekanan: “bait Allah! kamu adalah [bait Allah]”. Bentuk jamak “kamu” di ayat 16a dan keterangan “di antara/tengah kamu” di ayat 16b (LAI:TB “di dalam kamu”) menunjukkan bahwa Paulus sedang membicarakan jemaat Korintus secara keseluruhan. Dia sedang membahas tentang komunitas atau persekutuan jemaat Korintus. Hal ini sedikit berbeda dengan ajaran Paulus di pasal 6:19 (“tubuhmu adalah bait Roh Kudus”), karena di bagian ini dia membicarakan tentang masing-masing jemaat Korintus secara individual.

Ketika Paulus menyebut jemaat sebagai bait Allah, dia tidak sedang memikirkan seluruh bangunan bait Allah. Jika dia memikirkan hal ini, dia pasti akan memakai kata Yunani hieron. Kenyataannya, dia justru memilih kata naos yang hanya merujuk pada ruang suci dan ruang maha suci. Pilihan kata ini tidak hanya berfungsi untuk memberi gambaran yang lebih detil dan spesifik, namun dimaksudkan untuk menjelaskan kehadiran Allah secara intim di tengah jemaat. Walaupun di luar ruang kudus dan maha kudus juga dipakai sebagai tempat ibadah, namun kehadiran Allah yang lebih khusus terjadi di ruang kudus atau maha kudus. Di ruang ini hanya para imam dan imam besar yang boleh masuk untuk mewakili umat. Sekarang Paulus menyatakan bahwa gereja adalah bait Allah (ruang kudus dan Mahakudus).

Konsep yang juga diajarkan Paulus di tempat lain ini (2Kor. 6:16; Ef. 2:21) jelas merupakan sesuatu yang revolusioner dalam konteks budaya dan keagamaan Yahudi waktu itu yang menempatkan bait Allah sebagai simbol utama ibadah Yahudi, apalagi waktu itu juga masih ada praktek keimaman di bait Allah. Kalau demikian, dari mana Paulus mendapatkan ide bahwa gereja (baca: persekutuan orang percaya) adalah bait Allah? Para penafsir meyakini bahwa konsep ini berakar dari tiga hal: (1) nubuat Perjanjian Lama bahwa Allah akan berdiam di tengah umat-Nya untuk selama-lamanya (Yeh. 43:9; 2Kor. 6:16); (2) ajaran Yesus bahwa Dia adalah bait Allah yang sesungguhnya (Yoh. 2:19-21; bdk. Yes. 28:16); (3) pergumulan teologis orang-orang Yahudi di perantauan yang hanya beberapa kali ke bait Allah untuk beribadah. Mereka ini lebih mudah memahami esensi dari bait Allah: bangunan bait Allah hanyalah simbol dari kehadiran Allah, tetapi kehadiran Allah tidak dapat dibatasi oleh bangunan buatan tangan manusia (Kis. 7:48; 17:24).

Bagi mereka yang bukan Yahudi, konsep “gereja sebagai bait Allah” juga tetap revolusioner. Mereka waktu itu terbiasa melihat berbagai kuil di kota Korintus. Mereka dulu beribadah di sana. Sebagian dari mereka bahkan juga terjebak kembali pada dosa penyembahan berhala (ps. 8-10, terutama 8:10; 10:6-7, 20-21). Dalam konteks sosial seperti ini Paulus mengingatkan mereka bahwa mereka adalah bait Allah. Paulus ingin menegaskan bahwa semua kuil itu bukanlah bait Allah. Mereka sendirilah bait Allah itu!

Sebagai bait Allah, mereka seharusnya memancarkan kemuliaan Allah (bdk. Kel. 40:34-35; Im. 9:23; Bil. 14:10b; 16:19, 42; 20:6; bdk. Why. 7:15; 11:19; 14:17; 21:10; 21:22). Apa yang sedang terjadi dalam jemaat Korintus – yaitu perpecahan – jelas tidak menyatakan kemuliaan Allah. Perpecahan menunjukkan bahwa mereka sedang menegakkan kemuliaan mereka atau kelompok mereka sendiri.

Hakekat gereja yang kedua yang tidak disadari oleh jemaat Korintus adalah “gereja sebagai tempat kediaman Roh Kudus” (ay. 16b). Walaupun poin ini sebenarnya sangat terkait dengan poin sebelumnya, namun ada beberapa aspek baru yang ingin dinyatakan Paulus. Roh Kudus bukan sekadar memampukan jemaat untuk memahami hikmat Allah atau injil (2:4, 10-12), tetapi Ia juga mempersatukan mereka dan tinggal di tengah-tengah mereka. Kata “diam” yang dipakai di sini adalah oikeo yang secara hurufiah berarti “tinggal di rumah” (bdk. 1Kor. 7:12). Kata ini memiliki makna yang mendalam. Roh Kudus bukan sekadar datang atau hadir dalam persekutuan orang percaya. Kalau sekadar datang, Paulus pasti akan memakai kata erchomai (“datang”), bukan oikeo (“tinggal di rumah”). Kata oikeo juga menyiratkan bahwa kehadiran Roh Kudus dalam persekutuan orang percaya bersifat permanen, karena Roh Kuduslah yang menjadi tuan rumah. Dia bukan tamu yang dapat diundang jika dibutuhkan dan diabaikan jika tidak diperlukan. Dia selalu ada di tengah persekutuan orang percaya. Kebenaran seperti ini sebelumnya pernah diajarkan oleh Yesus ketika Ia berjanji bahwa Ia akan hadir jika dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Nya (Mat. 18:20).

Kehadiran Roh Kudus di tengah jemaat merupakan kebenaran yang indah. Tidak seperti kuil-kuil kafir yang memakai berbagai patung sebagai representasi kehadiran dewa mereka, di 1Korintus 3:16b Paulus mengajarkan bahwa Roh Allah hadir secara langsung. Dia tidak memerlukan wakil dan tidak dapat diwakilkan. Kehadiran-Nya bersifat pribadi (personal). Bagi orang Kristen, yang paling penting bukanlah tempat atau bangunan, tetapi kehadiran Roh Kudus. Tanpa kehadiran Roh Kudus, sebuah bait Allah akan berhenti menjadi bait Allah.

Keindahan dari kehadiran Roh Kudus juga akan terlihat apabila kita membandingkannya dengan surga sebagai tempat kediaman Allah yang kekal. Bukankah inti dari surga sebenarnya terletak pada persekutuan orang percaya dengan Allah? Bukankah surga dapat dirangkum dapat satu kalimat “Allah nanti akan berdiam di tengah-tengah umat-Nya (Why. 7:15; 21:3)?” Dengan dasar pemikiran seperti ini kita dapat mengatakan bahwa kehadiran Roh Kudus dalam persekutuan orang percaya merupakan cicipan dari persekutuan mereka dengan Allah di surga.


Peringatan (ay. 17)
Hakekat gereja seperti djelaskan di ayat 16 membawa sebuah konsekuensi. Jika gereja adalah bait Allah dan tempat kediaman-Nya, maka siapa pun yang bertindak sembarangan terhadap gereja akan langsung berhadapan dengan Allah. Sama seperti Paulus dahulu harus berhadapan langsung dengan Yesus (Kis 9:5 “Akulah Yesus yang kau aniaya itu”) ketika ia menganiaya jemaat Tuhan, maka sekarang dia memberi peringatan bahwa siapa pun yang merusak bait Allah juga tidak akan luput dari hukuman.
Apa yang dimaksud dengan “membinasakan (phtheiro) bait Allah” di ayat 17a? Beberapa orang berusaha menerjemahkan kata phtheiro dengan “menajiskan” (KJV), karena kata ini memang bisa berarti “merusakkan” atau “menajiskan” (1Kor. 15:33; 2Kor. 7:2; Ef. 4:22; 2Ptr. 2:12; Why. 19:2). Selain itu, ayat 17b yang menyinggung tentang kekudusan bait Allah juga mendukung penafsiran ini. Satu-satunya kelemahan mendasar dari pendangan ini adalah kata phtheiro juga dipakai di ayat 17a dalam frase “Allah akan membinasakan orang itu”. Jika kata yang sama muncul dalam satu ayat bukankah cara penafsiran yang paling wajar adalah dengan menganggap arti keduanya adalah sama, kecuali konteks memberikan petnjuk yang sangat jelas untuk menafsirkan sebaliknya?

Mayoritas penafsir mempertahankan arti umum dari phtheiro, yaitu “membinasakan”, dan mengaplikasikan arti ini secara konsisten baik untuk frase “membinasakan bait Allah” maupun “Allah akan membinasakan dia” (NIV/RSV/NASB). Penafsiran ini tampakya lebih bisa diterima. Bagaimanapun, hal ini tidak berarti bahwa persoalan sudah selesai. Apa maksud dari “membinasakan bait Allah”? Paulus pasti tidak berpikir bahwa membinasakan di sini berarti memusnahkan/meniadakan kekristenan. Dia sadar bahwa kekristenan tidak dapat dimusnahkan (Gal. 1:13, 23). Yesus sendiri berjanji bahwa alam maut pun tidak akan menguasai jemaat-Nya (Mat. 16:18). Kerajaan Allah akan terus berkembang (Mat. 13:31-33).

“Membinasakan bait Allah” harus dipahami dalam arti “mengganti pondasi gereja” yang seharusnya adalah Yesus Kristus (ay. 11), tetapi diganti dengan hikmat dunia. Dalam bagian ini Paulus tidak menjelaskan apakah upaya sebagian orang untuk membinasakan bait Allah ini akan berhasil atau tidak. Dia hanya menjelaskan bahwa seseorang itu sedang atau terus-menerus membinasakan (present tense: phtheirei) bait Allah. Dari ajaran Alkitab kita mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang akan mampu melakukan hal itu. Jika demikian, kita dapat menarik kesimpulan bahwa hukuman Allah atas orang tersebut bukan didasarkan pada akibat yang ditimbulkan, namun tetapi pada motivasi dan usaha orang itu. Berhasil atau tidak bukanlah isu utama. Siapa saja yang mencoba membinasakan, ia pasti akan dibinasakan.

Ancaman Paulus bahwa orang itu akan dibinasakan oleh Allah harus dipahami dalam konteks penghakiman terakhir. Bentuk future tense pada kata “akan membinasakan” di ayat 17a (phtherei) dan rujukan tentang akhir zaman di ayat 13 memberikan petunjuk yang cukup jelas. Jika konteksnya memang akhir zaman, maka pembinasaan di sini harus dipahami sebagai kebinasaan/hukuman kekal. Jika demikian, apakah pernyataan Paulus di ayat 17a berkontradiksi dengan pernyataannya di ayat 15? Sama sekali tidak! Dalam hal ini kita harus melihat orang-orang yang diperingati Paulus di ayat 17a sebagai orang-orang yang berbeda dengan yang di ayat 10-15. Kesalahan orang-orang di ayat 10-15 hanyalah membangun dengan bahan yang murahan (ay. 12-13), sehingga bangunan itu mudah terbakar tetapi mereka tetap selamat (ay. 15), sedangkan kesalahan orang-orang di ayat 17a jauh lebih serius, yaitu berusaha mengganti pondasi gereja.

Di bagian akhir dari ayat 17 Paulus kembali menegaskan bahwa orang percaya adalah bait Allah. Pernyataan ini tentu saja bukan sekadar pengulangan yang bersifat menegaskan, namun ada makna lain yang ingin disampaikan Paulus. Di ayat 17b Paulus tidak hanya mengatakan “gereja adalah bait Allah”, tetapi ia menegaskan bahwa “bait Allah adalah kudus”. Kekudusan inilah yang menjadi alasan bagi peringatan Paulus (band. kata sambung “sebab” di ayat 17b). Dalam seluruh Alkitab makna kata “kudus” selalu mencakup dua sisi: dipisahkan dari dunia (set apart from the world = pengudusan) dan dipisahkan untuk Allah (set apart for God = pengkhususan). Apa yang dilakukan jemaat Korintus telah melanggar dua sisi kekudusan. Mereka bukannya memisahkan diri dari dunia, tetapi mereka bahkan memasukkan konsep-konsep duniawi (hikmat dunia) ke dalam gereja. Mereka bukannya memberikan diri sepenuhnya untuk Allah, tetapi mereka malah memberikan diri kepada para pemimpin rohani (band. eksposisi pasal 1:12 tentang “aku dari golongan...”).

Pada bagian terakhir Paulus menutup dengan sebuah pernyataan tegas “bait Allah itu adalah kamu”. Walaupun struktur kalimat Yuani yang dipakai di sini agak sulit diterjemahkan dengan mulus, namun maksud Paulus dengan mudah dapat dipahami. Paulus sedang menegaskan kembali bahwa “kamulah bait Allah itu”. Bait Allah bukan sebuah bangunan yang megah di Yerusalem. Bait Allah bukan kuil-kuil di kota Korintus yang jumlahnya sangat banyak. Bait Allah adalah jemaat, bukan yang lain! Jemaat harus mampu menghargai keistimewaan ini dengan cara hidup dan bergereja sesuai dengan hakekat mereka sebagai bait Allah dan tempat kediaman Roh Kudus.




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 8 Juni 2008

No comments: