22 December 2008

Resensi Buku-59: Tafsiran Alkitab Untuk Awam: SURAT YAKOBUS (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

...Dapatkan segera...
Buku
Tafsiran Alkitab Untuk Awam (TAUA): SURAT YAKOBUS

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.

Penerbit: Sekolah Teologi Awam Reformed, 2008





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Surat Yakobus adalah salah satu surat di dalam Alkitab yang begitu banyak diperdebatkan, karena isinya seolah-olah mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Paulus, di mana Paulus mengajarkan dibenarkan melalui iman, maka Yakobus mengajarkan dibenarkan melalui perbuatan. Benarkah dua hal ini bertentangan? Atau sebenarnya kedua hal ini justru saling melengkapi?

Bukan hanya itu, Surat Yakobus juga sering dikutip ayat-ayatnya, misalnya jangan hanya menjadi pendengar saja, tetapi juga menjadi pelaku firman (Yak. 1:19-25). Selain itu, ada juga yang mengutip pengolesan minyak (Yak. 5:14), lalu mengajarkan bahwa minyak urapan itu “berkuasa.” Bagaimana kita mengerti kesemuanya itu dengan perspektif yang benar?

Melalui buku Tafsiran Alkitab Untuk Awam (TAUA): Surat Yakobus, Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. membukakan kepada kita pengertian yang sebenarnya tentang isi Surat Yakobus. Keunikan buku ini adalah buku tafsiran ini sangat teliti menguraikan satu demi satu ayat sambil melihat konteks, membandingkan terjemahan Alkitab yang lain (Inggris), dan kesesuaiannya dengan Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB). Selain itu, penulis juga meyelidiki sampai ke dalam bahasa Yunani, lalu membandingkan penggunaan kata Yunani tersebut di dalam seluruh PL dan PB. Kemudian, beliau juga mengutip beberapa pendapat dari beberapa penafsir akan suatu ayat dan sanggahan beliau terhadap beberapa pendapat tersebut jika pendapat penafsir tersebut tidak sesuai dengan konteksnya. Meskipun kelihatannya rumit, tetapi terus terang, ketika saya membaca buku ini, saya banyak mendapat berkat dan saya mengapresiasi kecerdasan dan alur logika yang kuat (bahkan ketika membantah suatu pendapat dari penafsir) dari Ev. Yakub Tri Handoko ketika menafsir ayat demi ayat. Diharapkan melalui buku ini, orang Kristen boleh mendapat banyak berkat ketika ingin mendalami Surat Yakobus dan mempergunakan metode-metode penafsiran yang sama ketika memahami kitab-kitab lain di dalam Alkitab sesuai dengan genre-nya.






Profil Ev. Yakub Tri Handoko:
Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus.org). Beliau juga menjadi dosen tamu di: Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet dan Sekolah Theologi Reformed Injili Surabaya (STRIS) Ngagel, dan dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.

Matius 12:6-8: IMAN DAN HUKUM-3 (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 05 November 2006

Iman & Hukum-3
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 12:6-8

Pendahuluan
Kita telah memahami sebelumnya bahwa hukum sejati haruslah mengandung unsur kebenaran, kesucian dan cinta kasih dan semua unsur tersebut hanya ada dalam Kristus Yesus. Kristus adalah kebenaran yang hidup, Kristus adalah suci dan Kristus adalah kasih maka jelaslah bahwa hukum yang sejati tidak dapat dilepaskan dari Kristus; hukum akan menjadi kacau dan rusak kalau dilepaskan dari Kristus. Hari ini kita akan menajamkan kembali hukum yang dikaitkan pada kasih karena hal inilah yang membedakan iman Kristen dengan kepercayaan lain.
Kita tahu, hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari cinta dan keadilan. Cinta dan keadilan ini Tuhan tanamkan dalam diri setiap manusia, tetapi kejatuhan dalam dosa membuat pengertian cinta kasih dan keadilan menjadi rusak total karena manusia telah terlepas dari Allah. Calvin sangat menyadari bahwa dosa mengakibatkan kerusakan total, total depravity maka segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan oleh manusia bukan membawa manusia pada pengertian hukum dan kasih yang sejati tapi malah semakin menghancurkan manusia. Orang tidak mengerti hubungan antara kasih dan keadilan.
Pada jaman Perjanjian Lama, orang salah megintepretasi hukum-hukum yang ada pada saat itu akibatnya hukum dirasakan sebagai sesuatu yang membelenggu hidup mereka dan celakanya, mereka menyangka dengan melakukan semua hukum tersebut mereka sedang beribadah kepada Tuhan, mereka sedang menjalankan kebenaran. Pemikiran yang salah! Biasanya, orang yang biasa terjebak dalam konsep ini adalah mereka yang mempunyai konsep yang berbasis pada filsafat wahyu tapi tidak mau kembali pada Allah yang sejati. Agama Yudaisme dan agama Islam menyatakan diri sebagai agama wahyu, yakni agama diturunkan langsung dari sorga. Mereka percaya kalau semua yang tertulis dalam kitab suci berasal dari Tuhan namun ironis, mereka justru menolak Kristus Tuhan, the center of revelation. Akibatnya mereka hanya mengenal Allah sebagai Allah yang adil, mereka kehilangan esensi paling dasar, yaitu Allah adalah kasih maka hukum tidak lebih sekedar peraturan-peraturan belaka dan kehilangan esensi. Orang tidak pernah mengerti kenapa hukum itu dibuat? Apa yang menjadi motivasi dibalik aturan tersebut? Karena itu, Tuhan Yesus datang dan mengkoreksi pemikiran mereka yang salah, Tuhan Yesus membukakan pada mereka apa yang menjadi motivasi dibalik hukum tersebut?
Dalam agama Yudaisme maupun agama Islam mengenal konsep kasih tapi realitanya, kasih itu tidak terimplikasi dalam kehidupan sehari-hari bahkan dalam relasi suami-istri dimana relasi itu yang paling penting dalam pembentukan cinta kasih, disana tidak ada kasih. Agama Islam mengenal konsep poligami namun ditengah-tengah masyarakat, konsep poligami itu sendiri pun masih banyak perdebatan. Ada sebagian orang yang setuju asal ada keadilan di dalamnya dan sebagian orang lagi tidak setuju karena cinta tidak dapat dibagi dengan adil. Di tengah perdebatan ini, seorang tokoh agama Islam menyatakan bahwa poligami itu salah kalau didasarkan atas hawa nafsu atau ketertarikan secara sexual belaka. Adapun latar belakang konsep poligami, yakni: 1) untuk mereduksi poligami yang terjadi jaman itu dari banyak istri dikurangi maksimal 4 orang saja; 2) untuk mempertahankan status, seorang janda dari raja statusnya akan turun kalau ia menikah dengan budak tapi dalam hal ini ia tidak boleh berhubungan sex, 3) menjaga keadilan. Dibalik semua pendapat yang ada tersebut, perhatikan ada sesuatu yang hilang, yaitu unsur kasih. Tidak ada satu pun pendapat yang menyatakan bahwa pernikahan mereka terjadi karena unsur cinta kasih. Orang tidak sadar bahwa kasih merupakan unsur yang paling penting dalam relasi suami-istri. Tidak ada relasi lain, hanya relasi antara suami istrilah yang dapat mengimplikasikan cinta kasih terbesar. Apakah kita mempunyai cinta pada teman lebih besar daripada pada istri atau suami kita? Tidak, bukan? Tentu saja, cinta terbesar itu kita berikan pada suami atau istri kita; cinta kasih terbesar itu hanya ada dalam hubungan pernikahan. Maka dapatlah dibayangkan apa yang terjadi dengan pernikahan kalau tidak ada cinta kasih didalamnya.
Konsep keadilan sangatlah ditekankan oleh orang Israel maupun orang Yahudi tetapi orang tidak memahami apa artinya adil? Darimana mengukur adil? Akibatnya orang mengukur keadilan dari konsep material; hukum telah merosot sampai ke tingkat yang paling rendah. Manusia hidup di dunia ini tidak lepas dari peraturan atau hukum. Tidak dapat dipungkiri, manusia hidup membutuhkan hukum; negara juga membutuhkan hukum namun pertanyaannya apa yang menjadi landasan dasar suatu aturan/hukum itu dibuat? Pada umumnya, orang membuat aturan atau hukum karena alasan material; hukum hanya membicarakan bagaimana mendapatkan atau membagi materi secara merata dan adil. Orang lupa kalau sesungguhnya bukan materi yang utama tetapi yang lebih penting adalah motivasi dibalik hukum tersebut.
Hukum yang benar tidak boleh dilepaskan dari Kristus Sang Pemberi hukum. Tuhan Yesus mengkritik keras orang Yahudi dalam penerapan hukum. Tuhan Yesus menegaskan bahwa “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah“ (Mat. 12:7). Ketika kita menjalankan hukum dimana didalamnya hanya ada unsur keadilan maka hukum itu menjadi sangat kejam karena hukum dijalankan demi untuk memuaskan kepentingan pribadi semata. Orang lupa bahwa di dalam hukum haruslah ada unsur belas kasihan. Kasih haruslah menjadi motivasi hukum; cinta kasih merupakan esensi Allah dan cinta kasih merupakan inti iman Kekristenan.
Pertanyaannya adalah kenapa hukum harus dimotivasi oleh cinta kasih? Ada tiga aspek yang perlu kita perhatikan, yaitu:
Pertama, cinta sejati selalu menginginkan yang terbaik.
Cinta sejati adalah cinta yang mau berkorban dan tulus. Kristus mengasihi manusia, Dia mau berkorban untuk manusia; Dia berbelas kasih pada obyek yang dikasihi-Nya dan atas dasar kasih inilah, Ia memberikan hukum. Hukum sejati diatur dan dikerjakan karena dimotivasi oleh true love. Karena itu, hukum tidak dapat dilepaskan dari Kristus yang adalah esensi hukum. Namun sangatlah disayangkan, hari ini kita menjumpai banyak orang membuat hukum tapi hukum yang dibuat justru semakin membuat kekisruhan dan ketegangan dan menimbulkan ketidakpuasan karena semua hukum itu dibuat untuk menyelesaikan masalah demi memuaskan diri; cinta menjadi manifestasi egoisme diri. Betapa indah dunia ini kalau hukum dimotivasi oleh cinta kasih. Seorang pemimpin yang baik, ketika ia membuat hukum haruslah dimotivasi oleh kasih karena ia mengasihi rakyatnya. Namun, dosa menyebabkan konsep kasih tercemar akibatnya hukum yang dibuat pun adalah hukum yang memuaskan diri sendiri. Orang yang berhak membuat peraturan atau hukum haruslah orang yang mempunyai kasih dan peduli akan obyek yang hendak dijadikan hukum. Janganlah sekali-kali kita meminta orang yang tidak mempunyai hati yang berbelas kasih untuk membuat suatu peraturan. Apalah artinya sebuah aturan kalau aturan tersebut malah menyengsarakan orang? Aturan haruslah menjadikan orang lebih baik. Jangan membuat aturan karena didasari oleh rasa benci atau rasa jengkel pada seseorang karena hukum tersebut menjadi kacau. Biarlah kita mengevaluasi diri apakah ketika kita membuat hukum itu dimotivasi oleh cinta kasih?
Kedua, cinta sejati tidak akan mencelakakan.
Hukum yang dimotivasi oleh kasih sejati tidak akan mencelakakan orang/golongan tertentu; hukum dibuat demi menjaga keadilan atau kebaikan. Jikalau ada orang yang ingin mencelakakan kepentingan mayoritas maka ia harus dihambat dengan hukum. Bayangkan, apa jadinya negara ini kalau seorang penjahat atau seorang teroris yang telah berbuat kejahatan dan mencelakakan banyak orang tetapi tidak dihukum karena alasan cinta kasih? Tentu saja, negara akan menjadi sangat kacau. Akan tetapi, perlu diingat, hukum yang dimotivasi oleh kasih bukan tidak menghukum orang yang bersalah. Tidak! Hukum yang dimotivasi oleh kasih menghukum orang karena ia telah mencelakakan orang lain. Perhatikan, ketika Allah menerapkan hukum-Nya maka semua itu dimaksudkan demi untuk kebaikan kita; Allah tidak ingin mencelakakan manusia. Cinta kasih yang sejati justru menginginkan supaya dosa dihentikan karena dosa selalu bersifat menghancurkan; dimana ada dosa maka disana pasti ada kebinasaan; dimana ada dosa, moralitas manusia semakin rusak; dimana ada dosa, dunia menjadi kacau, chaos. Biarlah kita mengevaluasi diri bagaimana dengan hukum yang kita terapkan di keluarga kita? Apakah aturan tersebut sudah didasari oleh cinta kasih sehingga tidak mencelakakan orang lain? Betapa indah dunia ini kalau hukum yang dijalankan adalah hukum yang dimotivasi oleh cinta kasih.
Ketiga, cinta sejati selalu ingin menopang mereka yang berada dalam kesulitan.
Hukum yang diterapkan di dunia seringkali menyeleweng bahkan merugikan dan menindas golongan lain yang lemah karena dunia memakai konsep survival of the fittest, yakni siapa kuat maka dia yang menang ditambah lagi dengan konsep utilitarian yang telah mengakar kuat dalam diri manusia. Konsep utilitarian mengajarkan konsep manfaat maka kepentingan kelompok marginal, kelompok minoritas yang dianggap tidak menguntungkan atau bermanfaat akan langsung disingkirkan. Kelompok mayoritas yang lebih dipentingkan sebab kebenaran-kebenaran yang paling inti justru menjadi hilang. Hal ini dibuktikan dengan kematian Kristus; Tuhan Yesus yang penuh cinta kasih dan kebajikan ini harus dikorbankan/dibinasakan karena Dia hanyalah kelompok minoritas. Hukum dibuat untuk menjaga kelompok yang tertindas tapi bukan berarti kelompok minoritas yang tertindas kalau berbuat salah tidak dihukum. Tidak! Meski minoritas tapi kalau bersalah, mereka juga harus dihukum dan meski minoritas, mereka harus melakukan hal yang positif dan hidup baik, mereka juga tidak boleh mencelakakan siapapun. Hanya kelompok minoritas ini harus mendapat perhatian lebih dengan demikian mereka selalu terlindungi. Alkitab menegaskan bagian-bagian tubuh yang paling lemah dan tidak diperhatikan orang justru mendapat perhatian khusus. Inilah cara Tuhan melihat suatu hukum dan keadilan. Jelaslah bahwa tanpa Kristus, tidak ada pengharapan di dunia. Betapa indahnya hidup kita kalau Kristus bertahta dan menjadi Tuhan atas hidup kita. Biarlah dalam seluruh aspek hidup kita cinta kasih yang sejati itu mewarnai hidup kita dengan demikian ketika kita membuat suatu hukum atau aturan, hal itu dapat menolong orang keluar dari kesulitan bukan semakin menjerat orang lebih dalam kesulitan dan penderitaan.
Segala sesuatu yang dimotivasi oleh iman Kristen akan menghasilkan sesuatu yang baik karena cinta kasih sejati akan membawa kita pada hukum yang sejati dan hukum yang sejati akan membawa kita pada hidup yang sejati, the true love brings the true law and give the true live maka kita merasa nyaman. Untuk memudahkan kita memahami maka love – law – live dapatlah digambarkan seperti sebuah segitiga yang saling bergantung satu dengan yang lain. Dunia tidak pernah mengerti akan konsep ini karena mereka mempunyai konsep iman yang salah. Disini, iman mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap konsep pemikiran kita dan cara berpikir kita mempengaruhi perbuatan kita. Tentang hal ini telah disadari oleh Francis Schaeffer, yakni I do what I think and I think what I believe.
Montesque sebelumnya memiliki konsep bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan pemimpin; pemikiran ini dilatarbelakangi oleh imannya yang mengajarkan bahwa pemimpin tertinggi di tangan Paus dan Pope can’t do no wrong. Namun setelah ia dibukakan dan diubahkan paradigmanya, Montesque melihat ada kesalahan dalam konsep otoritas tunggal tersebut. Montesque berafiliasi pada pemikiran Calvin dan ia mengeluarkan teori politik yang dipakai di seluruh dunia, yaitu trias politica yang mengajarkan bahwa pemerintahan tidak boleh berada di tangan satu orang saja maka Montesque membaginya menjadi 3 lembaga, yakni eksekutif, yudikatif dan legislatif dimana ketiganya saling berkait dan saling mengawasi. Jelas kita melihat iman sangat mempengaruhi politik dan hukum; kalau iman kita salah maka seluruh implikasi hukum juga salah.
Hendaklah kita senantiasa memohon kekuatan dari Tuhan dalam kita menerapkan hukum yang sejati di tengah dunia yang bobrok ini dan kita juga memohon pertolongan dan bijaksana sorgawi dalam kita membuat suatu hukum atau aturan dengan demikian hukum itu didasari oleh cinta kasih sejati dan hidup manusia pun menjadi nyaman. Biarlah kita diubahkan dalam seluruh paradigma dengan demikian setiap langkah dan setiap keputusan yang kita ambil dimotivasi dengan suatu prinsip keadilan dan cinta kasih sejati. Biarlah kita pakai Tuhan menjadi saksi-Nya, menjadi terang-Nya di tengah dunia yang gelap. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 12:9: KASIH SEJATI-1: Kasih yang Tulus dan Benar

Seri Eksposisi Surat Roma :
Aplikasi Doktrin-4


Kasih Sejati-1: Kasih yang Tulus dan Benar

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 12:9.


Setelah menjelaskan karunia yang dipakai untuk membangun tubuh Kristus, maka Paulus menjelaskan satu prinsip penting yang melandasi penggunaan karunia tersebut, yaitu KASIH. Karunia rohani yang dipakai tanpa didasari kasih akan mengakibatkan tindakan iri hati dan kompetisi yang tidak memuliakan Tuhan. Oleh karena itu, Paulus memaparkan konsep KASIH agar jemaat Roma boleh mengimplikasi semua karunia yang Tuhan berikan bagi pembangunan tubuh Kristus. Konsep kasih ini dibahas Paulus mulai ayat 9 s/d 20, dan kita akan membahasnya. Karena banyaknya pembagian konsep kasih di dalam 12 ayat ini, kita akan membagikannya ke dalam beberapa bagian secara sedikit demi sedikit agar kita boleh merenungkan setiap makna kasih yang Paulus paparkan. Bagian pertama, kita akan membahas ayat pertama, ayat 9.

Di titik pertama, di ayat 9, Paulus memaparkan konsep kasih yang bertolak belakang dengan konsep kasih ala dunia, yaitu konsep kasih Kristen berkaitan erat dengan ketulusan dan kebenaran. Di ayat 9, Paulus mengajar, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.”
Poin pertama tentang kasih, yaitu kasih itu tidak munafik. Kata “jangan pura-pura” di dalam terjemahan International Standard Version (ISV), Modern King James Version (MKJV), dan New King James Version (NKJV) adalah “without hypocrisy” (=tidak/tanpa munafik). New International Version (NIV) menerjemahkannya, “Love must be sincere.” (=Kasih harus murni/tulus). Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “Kasihilah dengan ikhlas.” NIV Spirit of Reformation Study Bible memberikan keterangan mengenai ayat ini bahwa di dalam drama Yunani klasik, hypokrites (aktor) menggunakan topeng (hlm. 1833). Oleh karena itu, kasih Kristen itu tidak boleh menggunakan topeng, tetapi kasih Kristen harus merupakan ekspresi otentik dari kehendak yang baik (ibid.). Topeng merupakan suatu media menutupi hakekat sesungguhnya. Manusia berdosa ditutupi oleh “topeng” sehingga tampak seolah-olah manusia itu tanpa dosa. Di dalam kasih pun, topeng itu dipergunakan. Manusia saling mengasihi dengan “topeng” atau motivasi yang tidak murni, misalnya karena ingin menyenangkan semua orang, seseorang dengan argumentasi “kasih” rela berkompromi apa saja (termasuk iman). Seorang karyawan yang membenci bosnya biasanya banyak yang tidak menunjukkan kebencian itu secara langsung, tetapi di depan bosnya, mereka tersenyum dan tampak baik dan “kasih,” tetapi setelah bosnya tidak ada di depannya, mereka mulai menggosipkan bosnya dengan hal-hal buruk. Itulah topeng. Bagaimana dengan Kekristenan? Paulus mengatakan bahwa kasih itu harus tulus ikhlas dan tidak munafik. Atau dengan kata lain, kasih itu harus keluar dari hati dan motivasi yang murni dan suci (bdk. 1Tim. 1:5). Hati dan motivasi yang murni dan suci hanya terjadi ketika Roh Kudus menguasai dan menyucikan hati dan motivasi kita melalui Firman. Ketika Roh Kudus menguasai hati dan motivasi kita dan menyucikannya dengan Firman, maka kita baru bisa memiliki kasih yang tulus. Di sini, saya mengaitkan kasih yang tulus dengan Kebenaran. Ketulusan tanpa Kebenaran adalah suatu ketidakmasukakalan. Mengapa? Karena ketulusan itu dibangun di atas subjektivitas manusia berdosa yang sendirinya otomatis tidak bisa tulus. Sehingga ketulusan harus dibangun di atas dasar Kebenaran Firman. Sebelum menerima Kristus, Paulus yang dulu bernama Saulus tidak memiliki kasih yang tulus. Ia memang katanya “mengasihi Tuhan” (lebih tepatnya mengasihi agamanya) dengan menganiaya Jemaat Tuhan, tetapi sayang kasih Saulus tidaklah tulus, karena tidak berkait dengan Kebenaran Kristus. Setelah Paulus bertobat, ia tidak segan-segan menegur Petrus yang munafik di hadapan orang ketika Petrus bersalah (Gal. 2:11-14). Teguran keras Paulus kepada Petrus di hadapan semua orang merupakan bentuk kasih Paulus yang tulus mengingatkan Petrus agar tidak berlaku munafik. Teladanilah Paulus. Saat ini kita melihat begitu banyak orang yang mengaku diri “Kristen” tetapi ketika melihat sesamanya bersalah atau berdosa, ia tidak mau menegur, dengan dalih “mengasihi” sesamanya. Benarkah ia mengasihi? TIDAK! Kasih itu adalah kasih yang munafik, berpura-pura supaya diterima banyak orang. Paulus bukan seperti itu. Dan hamba Tuhan sejati pun seharusnya tidak perlu bermuka dua atau mencari “nama baik” dan menyenangkan semua orang! Hamba Tuhan adalah hamba Tuhan yang dipanggil menyuarakan suara kenabian memberitakan Kebenaran Firman termasuk teguran keras kepada umat-Nya yang jelas-jelas berdosa. Ketika seorang Kristen yang beres dan hamba Tuhan yang bertanggungjawab menegur orang Kristen lain dan membawanya kepada Firman Tuhan yang beres, itu tanda mereka benar-benar mengasihi dengan kasih yang tidak munafik. Orang yang ditegur tersebut jika hati dan pikirannya dicerahkan Roh Kudus, ia pasti bertobat, lalu ia berterima kasih kepada kita yang telah menegurnya, dan kemuliaan hanya bagi Tuhan. Di sini, saya mengaitkan antara ketulusan hati dengan kasih dan pimpinan Roh Kudus. Teguran yang baik bukan teguran yang memojokkan orang sampai tidak berdaya, tetapi teguran yang baik adalah teguran yang disertai dengan kuasa Roh Kudus yang menegur kesalahan orang lain dan membawa orang lain tersebut kepada ajaran Firman Tuhan yang beres. Biarlah kita dipakai Tuhan untuk terlebih dahulu mengoreksi diri kita, lalu mengingatkan saudara-saudara seiman kita yang berdosa agar mereka boleh kembali kepada Tuhan. Tegurlah mereka dengan kesabaran dan pengajaran (2Tim. 4:2).

Kedua, kasih itu membenci kejahatan dan melakukan yang baik. Selain ketulusan, Paulus berbicara mengenai kasih yang berkait dengan kebenaran keadilan. Ayat 9b dalam terjemahan International Standard Version (ISV) adalah, “Abhor what is evil; cling to what is good.” NIV menerjemahkannya, “Hate what is evil; cling to what is good.” KJV menerjemahkannya, “Abhor that which is evil; cleave to that which is good.” Jamieson, Fausset and Brown Commentary dengan tajam sekali mengatakan bahwa kedua frasa ini bukan berarti kita tidak melakukan yang jahat, tetapi melakukan yang baik, melainkan kedua frasa ini berarti kita membenci yang jahat, lalu mengerjakan/berpegang pada yang baik. Apa artinya? Tafsiran ini hendak mengatakan bahwa frasa ini tidak berarti kita disuruh hanya tidak melakukan yang jahat, sebaliknya melakukan yang baik, tetapi kita diperintahkan untuk benar-benar membenci (tidak suka sama sekali) dengan kejahatan, lalu berbalik berpegang pada kebaikan. Tidak melakukan yang jahat belum tentu berarti membenci atau tidak suka sama sekali, karena mungkin sekali orang tidak melakukan yang jahat hanya karena tidak ada kesempatan. Tetapi kata “membenci” berarti mutlak tidak suka dan sebaliknya, melakukan hal yang baik ketika ada maupun tidak ada kesempatan. Di sini, Paulus tajam sekali memakai perkataan.
Di dalam ayat ini, Paulus mengaitkan kasih pertama-tama dengan membenci kejahatan. Kata abhor (terjemahan Inggris) bisa diterjemahkan sangat membenci. Dan struktur kata Yunani untuk membenci ini menggunakan bentuk aktif. Artinya, di dalam kasih, kita harus sangat membenci kejahatan. Herannya dunia postmodern mengajarkan konsep kasih yang justru mencintai kejahatan. Dengan dasar “kasih,” banyak orang postmodern pragmatis mengizinkan konsep free-sex. Dengan alasan “kasih,” seorang pemuja “theologi” religionum mengompromikan iman Kristen agar bisa diterima oleh semua orang yang beragama lain. Ya, semua konsep “kasih” duniawi selalu berpusat pada manusia, sehingga tidak usah heran, kalau yang ditekankan justru kejahatan. Sedangkan Alkitab mengajar kita konsep yang sangat bertolak belakang, yaitu kasih justru sangat membenci kejahatan. Dengan kata lain, kasih sejati tidak suka dengan apa yang jahat dan menjijikkan. Apa kasih hanya membenci kejahatan? Tidak. Kasih di sini juga disebutkan berpegang pada apa yang baik. Kata “lakukanlah” dalam terjemahan LAI di dalam bahasa Yunani diterjemahkan, “bergabunglah dengan yang baik.” (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 864). ISV dan NIV di atas menerjemahkannya dengan kata cling yang berarti mendekat atau menempel atau memeluk. KJV menerjemahkannya dengan kata cleave yang berarti berpegang erat atau setia pada. Bukan hanya membenci kejahatan, kasih justru berpegang pada apa yang baik. Apa itu baik? Baik menurut siapa? Dengan kriteria apa mengukur baik? Paulus tidak perlu memberikan catatan tambahan mengenai apa itu baik, karena di ayat sebelumnya, ayat 2, Paulus telah mencantumkan “baik” sebagai salah satu dari kehendak Allah (kedua kata “baik” yang dipakai baik pada ayat 2 dan 9 ini sama-sama menggunakan bahasa Yunani agathos). Dengan kata lain, apa yang baik adalah apa yang sesuai dengan kehendak Allah dan tentunya berkaitan erat dengan unsur lain dari kehendak Allah yaitu berkenan kepada Allah dan sempurna. Di sini, kebaikan berkaitan erat dengan kehendak, kebenaran, kekudusan, dan kesempurnaan Allah. Memisahkan konsep baik dari hal-hal tersebut bukanlah konsep baik yang diajarkan Alkitab. Ingatlah setan juga bisa berbuat “baik,” tetapi motivasinya selalu busuk, sehingga kita bisa mengenali ke“baik”an setan dari segi motivasi. Setan itu “baik,” tetapi tidak kudus, tidak benar, tidak sempurna, sehingga jangan pernah mengimpor kebaikan dari setan. Sebaliknya, Alkitab selalu mengajarkan konsep yang seimbang dan terintegrasi yaitu kebaikan diseimbangkan dengan konsep keadilan, kemarahan, kedaulatan, kekudusan, dan kesempurnaan Allah, sehingga kebaikan itu bukan kebaikan semu, tetapi kebaikan yang benar. Dengan kata lain, ketika Paulus mengajar bahwa kita harus berpegang pada kebaikan, itu berarti kita harus berpegang pada kekudusan, keadilan, kedaulatan, dan kesempurnaan Allah sebagai teladan kita. Di saat itulah, kita baru mendapatkan konsep kebaikan yang sejati. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengerti apa yang baik yang memuliakan Allah? Ataukah kita masih berpegang pada apa yang jahat? Hari ini, Firman menegur dan mendorong kita untuk berpegang pada yang baik dan melakukannya. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan bersedia terus-menerus dipimpin Roh Kudus untuk taat pada Firman. Hanya Firman yang bisa menuntun kita berbuat baik yang menyenangkan dan memuliakan Allah. Biarlah kita semakin rajin membaca Firman-Nya dan biarlah Firman itu sebagai cermin yang mengoreksi semua kesalahan kita dan memimpin kita mengerjakan apa yang baik, berkenan kepada Allah, dan yang sempurna, sehingga nama Allah Tritunggal saja yang dipuji untuk selama-lamanya. Soli Deo Gloria.

20 December 2008

Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Citra Raya, Surabaya

Bagi orang Kristen di wilayah Surabaya Barat yang belum memiliki tempat ibadah yang tetap, silahkan menghadiri:

Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Citra Raya
berada di bawah sinode:
Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika

Gembala sidang: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Caretaker: Ev. Hendry Ongkowidjojo, M.Th.



Alamat:
Jln. H. R. Mohammad Square C-23, Jln. Raya Darmo Permai 2,
Surabaya
Telp.: (031) 5472422 (GRII Andhika)

Jadwal Kegiatan Gereja:
(mulai 11 Januari 2009)
Doa Penginjilan: Minggu, Pkl. 09.45 WIB
Kebaktian: Minggu, Pkl. 10.00 WIB
Sekolah Minggu: Minggu, Pkl. 10.00 WIB
Persekutuan Doa: Senin, Pkl. 18.30 WIB

Pengkhotbah tanggal 11 Januari 2009:
Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
(gembala sidang GRII Andhika, Surabaya)



GRII Andhika, Surabaya yang digembalakan oleh Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. memiliki empat anak cabang:
Ø Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Sidoarjo
(gembala sidang: Ev. Ir. Baju Widjotomo)
Ø MRII Kertajaya, Surabaya (caretaker: Ev. Warsoma Kanta, M.Div.)
Ø MRII Denpasar (caretaker: Pdt. Thomy J. Matakupan, M.Div.)
Ø PRII Citra Raya (caretaker: Ev. Hendry Ongkowidjojo, M.Th.)


Hamba-hamba Tuhan yang melayani di GRII Andhika:
1. Pdt. Sutjipto Subeno, S.Th., M.Div. (gembala sidang sekaligus Direktur Momentum Christian Literature, co-founder LOGOS Reformed Evangelical Education, dan Pengurus Admission di Institut Reformed, Jakarta; S.Th. dan Master of Divinity—M.Div. dari Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia—STTRII Jakarta)
2. Pdt. Drs. Thomy Job Matakupan, S.Th., M.Div. (asisten gembala sidang; S.Th. dan M.Div. dari STTRII Jakarta)
3. Ev. Mercy Grace Preally Putong Matakupan, S.Th. (istri Pdt. Thomy; S.Th. dari STTRII Jakarta)
4. Ev. Hendry Ongkowidjojo, S.E., M.Div., M.Th. (sekaligus Manajer Retail dan Editor Momentum Christian Literature; M.Div. dari In stitut Reformed, Jakarta dan Master of Theology—M.Th. dari Trinity Evangelical Divinity School, Illinois, U.S.A.)
5. Ev. R. B. G. Steve Hendra, S.T., M.Div. (sedang studi filsafat di Jerman; M.Div. dari Institut Reformed, Jakarta)
6. Ev. Enny Mangamba, M.Div. (pengurus Remaja; M.Div. dari Institut Reformed, Jakarta)
7. Ev. Ir. Baju Widjotomo (gembala sidang MRII Sidoarjo; sedang studi Master of Arts—M.A. in theology di Pusat Studi Theologi Internasional—PSTI, Pacet)
8. Ev. Solomon Yo, S.Th., M.Div. (sekaligus Manajer Produksi Momentum Christian Literature; S.Th. dan M.Div. dari STTRII Jakarta)
9. Ev. Warsoma Kanta, S.Psi., S.Th., M.Div. (sekaligus Ketua Kelompok Tumbuh Bersama—KTB; S.Th. dan M.Div. dari STTRII Jakarta)
10. Ev. Linawati Kanta, S.Th. (istri Ev. Warsoma; S.Th. dari STT Iman)

18 December 2008

Renungan Natal 2008: CHRISTMAS: Christ-Mass or Christ-Less? (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Natal 2008




CHRISTMAS:
Christ-Mass or Christ-Less?


oleh: Denny Teguh Sutandio




Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.
Lukas 2:11





Tidak terasa hari Natal tahun 2008 segera datang. Tetapi sayangnya Natal tidak dimengerti sebagai Natal yang sesungguhnya yang berpusat kepada Kristus. Natal menjadi momen di mana tidak hanya orang Kristen yang merayakan Natal, orang-orang non-Kristen pun “merayakan” Natal. Caranya, dengan memasang pohon Natal dan aksesoris Natal lainnya di toko mereka atau menggelar diskon besar-besaran di toko/swalayan/dll mereka (tidak ada bedanya dengan hari raya lainnya). Natal sepertinya sudah menjadi tradisi setiap tahun yang tidak ada bedanya dengan hari raya lainnya. Bukan hanya di luar gereja, di dalam gereja, tradisi Natal diberlakukan tanpa mengerti esensi Natal. Lihat saja, banyak “hamba Tuhan” di gereja Protestan arus utama mengkhotbahkan Natal tidak lagi berbicara mengenai Kristus, tetapi aksi-aksi sosial dan lingkungan alam. Contoh praktis, bacalah beberapa renungan Natal di surat kabar pada hari Natal, apa yang para penulis renungan itu beritakan di saat Natal? Injil Kristus sejati? TIDAK. Yang mereka beritakan bahkan hampir tidak ada sangkut pautnya dengan Natal, misalnya: menolong orang miskin, memperhatikan lingkungan alam, dll. Hal seperti ini tidak perlu ditulis menjadi renungan Natal, karena orang non-Kristen pun bisa melakukannya. Di sisi lain, di banyak gereja kontemporer, para pengkhotbah membicarakan mengenai kesuksesan, keberhasilan, dll, karena Kristus lahir. Benarkah itu semua identik dengan Natal secara esensi? TIDAK. Itu yang saya sebut sebagai: Christ-less Christmas (Natal yang tanpa Kristus). Fenomena yang ditonjolkan adalah “Natal,” tetapi inti Natal dihilangkan dan bahkan hampir dibuang. Mengapa? Karena berita Natal yang berpusat kepada Kristus seolah-olah sudah tidak sesuai dengan selera zaman yang telinganya gatal ingin mendengarkan ajaran-ajaran yang menyenangkan (2Tim. 4:3-4). Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat dibuang, lalu diganti dengan “Kristus” sebagai penolong kaum tertindas, pembebas manusia, pemberi berkat, dll. Meskipun hal-hal tersebut tidak salah, tetapi itu bukan inti Natal yang Alkitab ajarkan. Lalu, apa sih yang menjadi inti Natal?

Inti Natal adalah Kristus yang lahir. Jika kita memperhatikan Lukas 2:11, secara konteks, para malaikat Tuhan memberitahukan kepada para gembala di situ bahwa pada hari itu telah lahir bagi mereka Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Para malaikat TIDAK memberitakan bahwa pada hari itu telah lahir bagi mereka: Penolong kaum tertindas, Pembebas mereka yang terbelenggu penjajah, pemberi berkat, dll, seperti konsep “Natal” ala postmodern sekarang. Mengapa para malaikat tidak memberitakan hal tersebut? Karena itu TIDAK penting dan berpusat kepada manusia (antroposentris), sedangkan maksud Kristus diutus adalah menggenapkan kehendak Allah (Theosentris), sehingga yang diberitakan oleh para malaikat adalah berita Theosentris, bukan antroposentris atheis.

Mari kita menyelidiki berita Theosentris tersebut. Ada tiga jabatan yang langsung dikenakan kepada Tuhan Yesus di dalam Lukas 2:11 ini, yaitu: Juruselamat, Kristus, dan Tuhan. Mari kita menelusuri ketiga jabatan ini beserta implikasinya.
Sebagai Juruselamat, kelahiran Kristus dan karya-Nya di dunia adalah menyelamatkan umat pilihan Allah dari dosa-dosa yang membelenggu mereka. Sejak zaman Perjanjian Lama, bangsa Israel menantikan kedatangan Juruselamat yang dapat membebaskan mereka dari penjajahan. Konsep mereka tentang Juruselamat adalah konsep antroposentris humanis yang tidak ada bedanya dengan konsep “Natal” ala postmodern sekarang. Akibatnya ketika Kristus hadir di tengah-tengah mereka sebagai Pribadi yang “lemah,” seolah-olah “tidak berkuasa,” tidak berpasukan, dll, mereka akhirnya banyak yang menolak-Nya. Hal ini tidak jauh berbeda, jikalau andaikata umpama Kristus benar-benar hadir di zaman postmodern ini, yang pertama-tama menolak Kristus bukan orang non-Kristen, tetapi justru banyak “pemimpin gereja” yang sudah sekolah “theologi” (bahkan doktor) di luar negeri, namun tidak mengakui finalitas Kristus (baik eksplisit maupun implisit). Mereka akan mengatakan bahwa “Kristus” yang mereka kenal adalah Kristus yang penuh “belas kasih,” bukan yang “sombong” yang mengajarkan bahwa keselamatan hanya ada di dalam Dia (Yoh. 14:6; Kis. 4:12). Sungguh ironis, bukan? Konsep fenomenal tentang Juruselamat ini ditentang oleh Kristus sendiri dengan mengatakan bahwa Kerajaan-Nya bukan dari dunia ini (Yoh. 18:36). Dengan kata lain, kedatangan Kristus bukan bermakna fisik/jasmaniah (membebaskan Israel dari penjajahan), tetapi rohani, yaitu menyelamatkan umat pilihan Allah dari dosa-dosa yang membelenggu mereka. Hal ini terus ditekankan oleh Tuhan Yesus kepada para murid-Nya, tetapi sayangnya, menjelang Tuhan Yesus naik ke Sorga, para murid-Nya masih bertanya, kapan Dia akan memulihkan Kerajaan Israel (Kis. 1:6). Hari ini, di hari Natal, kita diingatkan kembali, bahwa Kristus yang lahir bagi kita adalah Kristus, Sang Juruselamat, yang menyelamatkan kita dari belenggu dosa. Sejak kita masih seteru/musuh Allah, Allah telah mengasihi kita dengan mengutus Kristus sebagai Juruselamat yang mendamaikan Allah yang Mahakudus dengan kita yang berdosa (Rm. 5:10). Kelahiran Kristus ini memberikan pengharapan kepada kita bahwa ada jalan keluar dari dosa, yaitu penebusan Kristus. Dosa manusia tidak bisa diselesaikan dengan cara manusia melalui perbuatan baik (amal), karena semakin manusia berbuat “baik” (supaya diselamatkan dan masuk “sorga”), manusia semakin berbuat dosa. Mengapa? Karena perbuatan baiknya dilakukan bukan dengan motivasi kebaikan itu sendiri (mengutip perkataan seorang filsuf Yunani kuno) Dosa manusia hanya bisa diselesaikan dengan cara di luar manusia, yaitu tentunya cara Allah yang mencipta mereka. Nah, Allah menggunakan satu-satunya cara untuk menebus dosa manusia yaitu dengan mengutus Tuhan Yesus, 100% Allah dan 100% manusia untuk menyelamatkan manusia dari belenggu dosa. Kristus harus 100% Allah, karena hanya Allah saja yang mampu menyelamatkan manusia dari dosa, lalu bagaimana caranya Allah menyelamatkan manusia dari dosa itu? Dengan mengajari manusia untuk berbuat baik? TIDAK. Satu-satunya cara adalah Kristus harus menjadi manusia (tanpa kehilangan natur Keilahian-Nya), lalu Ia mati disalib demi menggantikan dosa umat pilihan-Nya. Kristus harus menjadi manusia karena Allah tidak bisa mati, sedangkan manusia bisa mati. Inilah titik finalitas Kristus yang juga adalah keagungan Injil yang tidak bisa dipersamakan dengan semua kebudayaan, agama, dan filsafat manusia berdosa. Hari ini, izinkan saya menantang Anda, sudahkah Anda menerima Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat Anda? Biarkan Roh Kudus bekerja di hati dan pikiran Anda saat ini...

Sebagai Kristus, Ia adalah yang Diurapi oleh Allah (Messiah). Kedua, Tuhan Yesus bukan hanya sebagai Juruselamat, Ia juga adalah Kristus yang berarti yang Diurapi oleh Allah (anointed). Sebagai Yang Diurapi oleh Allah, Kristus yang diutus oleh Allah Bapa mengemban mandat penting yaitu menggenapkan karya penebusan bagi umat pilihan yang berdosa. Berarti, Kristus sendiri adalah Utusan Allah sekaligus Pribadi kedua Allah Trinitas. Mengapa saya menyebut Kristus juga sebagai Pribadi kedua Allah Trinitas selain sebagai Utusan Allah? Bidat Saksi Yehuwa dan Unitarianisme (menyembah 1 Pribadi Allah) mati-matian mengajar bahwa Kristus bukan Allah, tetapi hanya sebagai utusan/hamba/malaikat Allah. Alkitab dengan jelas mengajar bahwa Kristus adalah Allah. Alkitab menyebut Kristus sebagai Alfa dan Omega (Why. 1:8; 21:6; 22:13). Ketiga ayat ini jelas secara konteks mengacu kepada Tuhan Yesus, bukan kepada Allah Bapa. Dengan demikian, Kristus yang diurapi oleh Bapa juga adalah Pribadi kedua Allah Trinitas, karena tidak ada pribadi lain yang layak diurapi oleh Bapa untuk menebus dosa manusia, kecuali Pribadi Allah sendiri. Ingatlah, Allah Bapa tentu TIDAK akan mengutus malaikat biasa (yang juga termasuk ciptaan sama seperti manusia) untuk menebus dosa manusia! Dengan kata lain, tesis bidat Unitarian yang mengajar bahwa Tuhan Yesus hanya malaikat Allah itu sudah salah dan sesat, karena malaikat yang juga diciptakan Allah tidak berhak menerima kuasa dari Allah untuk menebus dosa manusia (yang juga adalah ciptaan Allah). Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menerima Tuhan Yesus sebagai Kristus? Artinya, sudahkah kita menomersatukan Tuhan Yesus sebagai Yang Diurapi oleh Allah? Sudahkah kita melaksanakan mandat yaitu memberitakan Injil Kristus tersebut?

Sebagai Tuhan, Ia adalah Tuhan yang harus disembah dan ditinggikan. Setelah para malaikat mengatakan hal ini, mereka bersama-sama menaikkan puji-pujian yang memuliakan Allah (baca ayat 14). Jika kita membaca kisah orang-orang Majus dari Timur di Matius 2, Matius mencatat bahwa di hadapan bayi Kristus, mereka sujud menyembah dan memberikan persembahan (Mat. 2:11). Semuanya ini membuktikan bahwa Kristus adalah Tuhan yang harus disembah dan ditinggikan. Kata “Tuhan” yang dipakai di dalam Lukas 2:11 menggunakan bahasa Yunani kurios yang berarti Tuan (Lord) atau Master (Guru). Sayangnya, Kekristenan di era sekarang hanya mengakui Kristus sebagai Juruselamat, tetapi tidak sebagai Tuhan. Meskipun mengakui Kristus sebagai Tuhan, biasanya banyak orang Kristen mengucapkannya secara perkataan dan tidak pernah diaplikasikan di dalam kehidupannya sehari-hari. Tidak heran, di hari Minggu, mereka aktif menyanyi dan memuji Kristus sebagai Tuhan, tetapi di luar gereja, mereka aktif memuji diri dan setan. Kristus tidak lagi ditempatkan sebagai Tuhan yang memerintah dan mengontrol hidup orang Kristen. Mereka hidup, bekerja, sekolah, dll dengan kemampuan diri tanpa Kristus bertahta sebagai Tuhan. Bandingkan hal ini dengan sikap para orang Majus di atas. Para orang Majus bukanlah orang bodoh, tetapi mereka adalah orang-orang yang pandai khususnya dalam hal perbintangan (astronomi)—Matius 2:9-10. Meskipun orang pandai, mereka tetap menyembah Kristus, karena mereka mengetahui bahwa Kristus adalah Tuhan. Bagaimana dengan hidup kita saat ini? Sudahkah kita men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidup kita? Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan peka terus-menerus mendengarkan suara-Nya melalui firman-Nya dan suara Roh Kudus di dalam hati kita yang memimpin hidup kita untuk mengerti kehendak-Nya dan men jalankannya. Hidup yang menTuhankan Kristus adalah hidup Kristen yang menjadikan Kristus sebagai satu-satunya Raja dan Pemerintah yang menguasai hidup kita sehingga hati, pikiran, perkataan, sifat, dan tindakan kita sesuai dengan hati, pikiran, perkataan, sifat, dan karya-Nya. Aplikasikanlah konsep Kristus sebagai Tuhan ini di dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga, pendidikan, pekerjaan, politik, hukum, ekonomi, masyarakat, sosial, keamanan, medis/kesehatan, dll, supaya nama Kristus sajalah yang ditinggikan dan dimuliakan sampai selama-lamanya. Rev. Jonathan Edwards, A.M. pernah mengajar, “Kebahagiaan ciptaan terdapat di dalam bersukacita di dalam Allah, yang dengannya Allah juga dibesarkan dan ditinggikan.” (seperti dikutip oleh Dr. John S. Piper di dalam bukunya Gairah Allah bagi Kemuliaan-Nya, terj. Franklin Noya [Surabaya: Penerbit Momentum, 2008], hlm. 38)


Biarlah Natal tahun ini bukan menjadi Natal tradisi, tetapi Natal inspirasional dan revivalis yang menginspirasi dan membangkitkan iman kita untuk berpusat hanya kepada Kristus saja. Amin. ... Solus Christus ...


Merry Christmas 2008

and

Happy New Year 2009

14 December 2008

Resensi Buku-58: MENDAPATKAN-MU DALAM KEHILANGANKU (Pdt. Yohan Candawasa, S.Th.)

...Dapatkan segera...
Buku
MENDAPATKAN-MU DALAM KEHILANGANKU

oleh: Pdt. Yohan Candawasa, S.Th.

Penerbit: Mitra Pustaka dan Unveilin GLORY, Bandung, 2006





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Hidup manusia tidak pernah terlepas dari penderitaan atau kehilangan. Sebagai respon atas kehilangan itu, ada (banyak) manusia yang hanyut oleh kehilangan tersebut, lalu menjadi kecewa, sedih, dan bahkan menghujat Tuhan. Tidak terkecuali, ada orang Kristen yang bereaksi seperti demikian. Mengapa orang Kristen bisa menghujat Tuhan ketika penderitaan mengancam? Karena banyak dari mereka diajar dengan ajaran yang tidak bertanggungjawab, yaitu menjadi Kristen pasti sukses, kaya, berhasil, dan Tuhan pasti mengabulkan apa yang kita minta. Lalu, konsep ini diidentikkan dengan konsep “Alkitab” yang mereka mengerti sendiri yaitu Allah itu Kasih, maka Ia tidak membiarkan anak-anak-Nya mengalami kesusahan. Benarkah konsep ini? Buku reflektif karya Pdt. Yohan Candawasa ini mengingatkan kita bahwa di dalam keterhilangan yang dialami umat Tuhan, di situlah mereka mendapatkan Allah. Dengan bahasa yang mudah dimengerti digabungkan dengan eksposisi singkat akan nats Alkitab, Pdt. Yohan Candawasa mulai mengajar kita dengan dasar yaitu Kasih Allah, lalu dilanjutkan dengan menjelaskan kepada kita tentang Kelegaan Ada Di Mana? Kemudian, beliau menjelaskan tentang konsep Kehilangan, Allah Tak Terselami di mana kehendak-Nya berbeda dengan bahkan jauh melampaui kehendak kita, Kesenyapan Allah yang tidak berarti Allah cuek dengan umat-Nya. Setelah memaknai kehilangan dan campur tangan Allah di dalamnya, beliau mengajak kita untuk menjalankan Hidup Penuh Syukur, kemudian kita mulai Melihat Seperti Allah Melihat, sehingga kita tidak terjebak oleh situasi sekeliling kita (penderitaan, kehilangan, kesusahan, dll). Dengan mengerti dan melihat seperti Allah melihat, maka pada akhirnya, kita diajar untuk mengerti bahwa Susah itu Ada Gunanya, bukan seperti ajaran dunia bahwa susah itu tidak ada gunanya.

Sekadar sharing pribadi, ketika membaca buku ini di setiap bab, Tuhan mencerahkan hati dan pikiran saya melalui kumpulan khotbah hamba-Nya, Pdt. Yohan Candawasa ini. Dalam buku ini, Tuhan mengajar saya banyak hal baik melalui uraian beliau maupun ilustrasi yang beliau paparkan. Itulah yang saya sukai ketika saya membaca buku-buku hasil kumpulan khotbah Pdt. Yohan Candawasa. Selain pemaparan eksposisi singkat, beliau menajamkan dan mengajar dengan cerita-cerita dan ilustrasi-ilustrasi yang menyentuh hati. Berarti, ada penggabungan antara doktrin yang sehat dan implikasinya yang menyentuh hati baik melalui cerita maupun ilustrasi. Buku ini adalah buku kedua dari Pdt. Yohan Candawasa yang saya baca. Buku pertama yang saya baca: Merupa Hidup Dalam Rupa-Nya. Biarlah buku Mendapatkan-Mu Dalam Kehilanganku dari hamba-Nya ini menyentuh hati kita, mengubah paradigma kita tentang penderitaan, dan mengarahkan kita untuk tetap melihat rencana dan kehendak Allah di balik setiap penderitaan kita. Soli Deo Gloria.






Profil Pdt. Yohan Candawasa:
Pdt. Yohan Candawasa, S.Th. dilahirkan pada tanggal 11 Maret 1960. Selulus SMA, beliau melanjutkan studi di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang, sebagai jawaban atas panggilan Tuhan baginya.
Beliau mendalami studi Biblika dan Eklesiologi yang kemudian dituangkan dalam skripsinya.
Kerinduannya untuk membina jemaat Tuhan dinyatakan selama pelayanan di Gereja Kristen Abdiel Elyon, Surabaya (1985-1987) dan juga Gereja Kristen Immanuel Bandung (1988-1996). Selama pelayanan tersebut, beliau berkesempatan mengunjungi RRC dalam rangka perjalanan misi. Dalam kunjungan tersebut, beliau memperoleh beban pelayanan dari Tuhan untuk menggumuli penginjilan di RRC.
Beliau menikah dengan Stephanie, dan telah dikaruniai seorang putra bernama Yeiel Candawasa.
Tahun 1996-1997 beliau melayani sebagai Gembala Sidang di Mimbar Reformed Injili di Taipei. Kemudia tahun 1998-1999 beliau melayani di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Granada Jakarta.
Mulai tahun 2000 beliau melayani di CCM (Care for China Ministry). Selain itu, beliau juga mengajar di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta.

Roma 12:3-8: IBADAH SEJATI-3: Karunia-karunia Allah yang Saling Melengkapi

Seri Eksposisi Surat Roma :
Aplikasi Doktrin-3


Ibadah Sejati-3: Karunia-karunia Allah yang Saling Melengkapi

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 12:3-8.


Setelah menjelaskan bahwa kita tidak boleh serupa dengan dunia dan kita harus mengubah pola pikir kita, maka di ayat berikutnya, Paulus menjelaskan langkah awal di dalam merombak pola pikir kita yaitu mempertanggungjawabkan setiap karunia yang Allah berikan kepada kita untuk kita pergunakan memuliakan-Nya.

Langkah awal tersebut dimulai dengan pengajaran Paulus bahwa segala sesuatu terjadi melalui anugerah Allah di dalam karunia iman. Di ayat 3, Paulus mengatakan, “Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” Di ayat ini, Paulus mengajarkan bahwa karena Allah telah memberikan anugerah-Nya kepadanya, maka ia menasihati jemaat Roma agar mereka tidak mengukur diri sendiri terlalu tinggi, tetapi mengukur diri dengan ukuran yang tepat sesuai dengan iman yang dianugerahkan Allah. Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari di dalam ayat ini:
Pertama, tidak menganggap diri sendiri tinggi. Pernyataan “memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan” di dalam bahasa Yunani dapat diterjemahkan, “menganggap diri melebihi (apa) yang patut untuk menganggap (nya)” (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 862-863). Di titik pertama, sebelum membicarakan karunia Allah, Paulus membicarakan bahwa semua terjadi melalui anugerah Allah di dalam karunia iman. Ketika kita menyadari bahwa segala sesuatu terjadi melalui anugerah Allah di dalam karunia iman, maka hal pertama yang patut kita sadari adalah jangan pernah menganggap diri atau mengukur kita lebih tinggi daripada seharusnya. Mengapa? Karena kita adalah manusia berdosa yang telah ditebus oleh Kristus, sudah seharusnya kita bergantung total kepada Allah di dalam hidup kita. Bagaimana kita bisa tidak menganggap diri sendiri tinggi/hebat/pintar/dll? Kita tidak menganggap diri dengan terus berserah total kepada Allah. Ketika kita terus berserah kepada-Nya, kita tahu bahwa tanpa Dia kita tidak bisa berbuat apa-apa. Konsep tidak menganggap diri sendiri tinggi dan berserah kepada Allah telah diajarkan sejak Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Di dalam Amsal 3:5-8, Tuhan melalui Raja Salomo mengajarkan, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan; itulah yang akan menyembuhkan tubuhmu dan menyegarkan tulang-tulangmu.” Kalau kita memerhatikan, penulis Amsal adalah Salomo, seorang raja yang bijaksana, tetapi di dalam kebijaksanaannya, ia tetap mengaku bahwa yang terpenting bukanlah kehebatan atau kepandaian diri, tetapi percaya di dalam Tuhan (trust in the Lord) dengan seluruh hati kita. Di dalam percaya di dalam Tuhan, Salomo membagikan beberapa pengertian, yaitu: pertama, percaya di dalam Tuhan berarti tidak mengandalkan pengertian sendiri. Ketika seseorang memercayakan hidupnya di dalam dan kepada Tuhan, di saat yang sama, ia tidak akan memegahkan pengertiannya sendiri. Mengapa? Karena ketika kita memercayakan hidup kita kepada dan di dalam Dia, kita tahu bahwa hanya Dia sumber pengharapan kita yang layak disandari, sedangkan manusia adalah makhluk ciptaan yang berdosa yang tidak layak menjadi sumber pengharapan. Biasanya seseorang baru mau menyandarkan hidupnya kepada Tuhan dan tidak bersandar kepada pengertian sendiri ketika ia menemui jalan buntu atau sudah merasa pintar namun hidupnya hampa. Di kala susah, putus asa, dan kosong di dalam hidup, manusia baru sadar keterbatasan diri dan kembali kepada Tuhan. Jangan biarkan kita merasakan kekosongan hidup baru mencari Tuhan, tetapi biarkan sejak saat ini, kita terus berserah total kepada Allah dan tidak pernah bersandar kepada pengertian diri sendiri. Kedua, percaya di dalam Tuhan berarti mengakui Dia dalam segala laku kita. Orang yang tidak menganggap diri sendiri tinggi adalah orang yang percaya di dalam Tuhan, di mana dia akan selalu terus mengakui Dia dalam segala lakunya. Jangan pernah katakan bahwa kita percaya di dalam Tuhan jika kita tidak mau mengakui-Nya di dalam segala laku kita! Percaya dikaitkan dengan mengakui. Seorang yang memercayakan hidup kepada Tuhan adalah seorang yang menaruh pengharapan di dalam Dia dan otomatis orang tersebut pasti mengakui Dia sebagai satu-satunya Sumber Pengharapan di dalam segala lakunya. Tanda seseorang tidak lagi menganggap diri sendiri tinggi adalah ketika seseorang mau memercayakan diri kepada dan di dalam Tuhan sekaligus mengakui Dia bahkan di hadapan semua orang. Ketiga, orang yang percaya di dalam Tuhan adalah orang yang tidak menganggap diri sendiri bijak. Orang yang tidak menganggap diri sendiri tinggi di sini juga berarti orang yang tidak menganggap diri sendiri bijak. Artinya, orang ini setelah memercayakan hidup kepada Tuhan dan mengakui Dia dalam segala lakunya, maka secara otomatis di dalam proses, ia tidak menganggap diri sendiri bijak, mengapa? Karena kebijakan sendiri hanya ada di dalam diri Allah yang Mahabijak, sehingga kebijakannya berusaha disesuaikan dengan kebijakan-Nya. Keempat, orang yang percaya di dalam Tuhan adalah orang yang takut akan Tuhan sekaligus menjauhi kejahatan. Orang yang sudah percaya di dalam Tuhan, mengakui Dia dalam segala lakunya, dan tidak menganggap diri sendiri bijak adalah orang yang akhirnya kembali takut akan Tuhan sekaligus membenci kejahatan. Di dalam keempat poin, Salomo mengaitkan lima prinsip penting di dalam relasi percaya di dalam Tuhan dengan tidak bersandar kepada pengertian sendiri: percaya à pengertian kita dikuduskan (jangan bersandar kepada pengertian sendiri) à pengakuan (akuilah Dia dalam segala laku kita) à kebijakan yang disesuaikan dengan kebijakan Tuhan (jangan menganggap diri bijak) à takut akan Tuhan. Di dalam iman, kita mengerti: kekudusan pikiran, kekudusan pengakuan kita di dalam hidup, kekudusan kebijakan kita, dan kekudusan kita untuk takut akan Tuhan.
Di dalam Perjanjian Baru, penulis yang sama dengan penulis Surat Roma, yaitu, Paulus memaparkan di dalam suratnya yang lain mengatakan, “Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu… Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar. Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah. Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang, yaitu hikmat yang bukan dari dunia ini, dan yang bukan dari penguasa-penguasa dunia ini, yaitu penguasa-penguasa yang akan ditiadakan. Tetapi yang kami beritakan ialah hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia, yang sebelum dunia dijadikan, telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita.” (1Kor. 2:1, 3-7) Di Surat Korintus, ia mengatakan bahwa ia memberitakan firman Allah bukan dengan hikmat manusia, tetapi dengan hikmat Allah. Di sini, Paulus sadar bahwa bukan kemampuan berkhotbah atau berpidatonya yang bisa menarik jemaat kepada Tuhan, tetapi karena kuasa dan hikmat Allah. Di sini, Paulus mengajar kita agar kita tidak menganggap diri sendiri tinggi/bijak, tetapi kembali melihat Allah dan anugerah-Nya di dalamnya, sehingga kita makin bersyukur kepada-Nya, bukan makin menyombongkan diri.
Di dalam pelayanan dan kehidupan kita sehari-hari, apakah kita masih menganggap diri bisa mengerjakan segala sesuatu tanpa bantuan orang lain? Apakah kita membantu orang lain (bahkan Tuhan) dengan praanggapan bahwa kita ini hebat dan tanpa kita, orang lain (bahkan Tuhan) tidak bisa berbuat apa-apa? Mari kita mengintrospeksi diri. Jangan pernah merasa diri hebat ketika kita melayani Tuhan atau membantu orang lain. Selidikilah motivasi kita melayani dan membantu orang sebelum kita melayani dan membantu orang lain. Tuhan ingin agar kita tidak menganggap dan mengukur diri sendiri lebih tinggi dari ukuran seharusnya. Ketidakcocokan dengan ukuran kita sebenarnya (yang dianugerahkan Allah) itulah DOSA (dalam bahasa Yunani, hamartia berarti meleset dari sasaran).

Kedua, berpikir sehat sesuai dengan iman yang dikaruniakan Allah. Di sisi positif, Paulus menasihatkan jemaat Roma (dan juga kita) agar kita memakai pikiran kita dan mengukur diri kita dengan pikiran yang sehat sesuai dengan iman. Pernyataan, “hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” di dalam terjemahan LAI kurang jelas. King James Version (KJV) menerjemahkannya, “to think soberly, according as God hath dealt to every man the measure of faith.” “Soberly” berarti dengan sungguh-sungguh/sadar. Analytical-Literal Translation (ALT) menerjemahkannya dengan kata “sensibly” (=dengan masuk akal/sensibel). Lalu, 1965 Bible in Basic English (BBE) menerjemahkannya dengan kata “have wise thoughts” (=pikiran bijaksana). Terjemahan serupa dapat ditemukan di dalam 1898 Young’s Literal Translation (YLT): “to think wisely.” James Murdock New Testament menerjemahkannya, “think with modesty” (=berpikir dengan rendah hati). Modern King James Version (MKJV) menerjemahkannya, “set your mind to be right-minded” (=aturlah pikiranmu agar menjadi pikiran yang benar). Terjemahan Yunani untuk bagian ini bisa diterjemahkan “berpikiran sehat.” (Ibid., hlm. 863) Berbagai terjemahan Alkitab bahasa Inggris dan terjemahan Yunani ini menambah pengertian tentang bagaimana kita bisa berpikir sedemikian rupa. Di sisi negatif di atas kita dinasihati Paulus agar kita tidak menganggap diri pandai/tinggi, sebaliknya di sisi positif ini, kita dinasihati Paulus agar kita berpikir dengan sehat/tepat/rendah hati/bijaksana/sadar/sungguh-sungguh sesuai dengan ukuran iman yang dianugerahkan Allah. Tuhan tidak memerintahkan kita untuk menjadi sombong, tetapi juga tidak memerintahkan kita untuk minder (rendah diri), tetapi Ia menginginkan kita mengukur diri sesuai dengan apa yang dianugerahkan-Nya kepada kita di dalam iman. Tuhan memberikan ukuran iman kepada masing-masing anak-Nya dengan kualitas berbeda. Di dalam ayat ini, Paulus menunjuk kepada karunia iman. Seseorang yang mendapat karunia iman adalah seseorang yang diberikan ketajaman dan kemampuan melihat apa yang Tuhan lihat. Dengan kata lain, karunia iman dikaitkan dengan visi Tuhan. Contoh, George Muller memiliki karunia iman bahwa semua anaknya pada waktu itu akan mendapat makanan meskipun ia diberi tahu bahwa persediaan makanan di dalam asrama yang dikelolanya sudah habis. Dan benarlah, Tuhan mengabulkannya. Karunia iman yang dimilikinya berkaitan dengan visi yang Tuhan singkapkan bagi dia, sehingga meskipun orang lain tidak melihat, tetapi Muller melihat apa yang tidak dilihat orang lain, karena apa? Karena ia memiliki karunia iman, sehingga ia dapat melihat apa yang Tuhan lihat dan singkapkan. Itulah visi. Bagi Pdt. Dr. Stephen Tong, visi BUKANlah ambisi, tetapi visi adalah melihat apa yang Tuhan lihat yang tidak dilihat oleh orang lain. Pdt. Billy Kristanto menambahkan bahwa visi itu selalu ditujukan kepada pribadi lain, seperti visi Tuhan Yesus ditujukan kepada manusia berdosa. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menyadari karunia iman dan visi seperti yang Tuhan singkapkan bagi kita?

Karunia iman dan visi tersebut memimpin dan mengarahkan kita untuk melihat pada keanekaragaman tubuh Kristus sebagai satu gereja yang kudus dan am. Hal ini dijelaskan Paulus di ayat 4-5, “Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain.” Karena Tuhan memberikan karunia iman kepada masing-masing orang berbeda, maka Ia menuntut penggunaan karunia iman itu untuk membangun Tubuh Kristus yang terintegrasi. Membangun tubuh Kristus didasarkan pada pola pikir bahwa tubuh Kristus terdiri dari banyak anggota yang berbeda. Keberbedaan ini ditandai dengan anggapan kita bahwa kita adalah anggota yang seorang terhadap yang lain atau kita adalah anggota satu sama lain. Oleh karena itu, keberbedaan ini menimbulkan adanya saling melengkapi dan membangun di dalamnya. Kita bisa saling melengkapi dan membangun antar sesama anggota hanya di dalam Kristus. Inilah artinya: berbeda, tetapi satu di dalam Kebenaran (unity in diversity in the truth). Ini berarti Kristus adalah kepala tubuh juga sebagai kepala Gereja yang kudus dan am yang mempersatukan seluruh keanekaragaman jemaat/tubuh-Nya. Dengan kata lain, membangun tubuh Kristus mencakup dua poin: keanekaragaman anggota di dalam 1 tubuh Kristus dan semua itu harus mengarah kepada Kristus di dalam segala hal. Lalu, bagaimana cara menerapkan penggunaan karunia iman dan/visi tersebut pada pembangunan tubuh Kristus?

Hal ini dijelaskan Paulus di ayat 6-8 tentang prinsip karunia. Penggunaan karunia iman dan/ visi untuk membangun tubuh Kristus adalah dengan cara mempergunakannya setiap karunia Allah dan panggilan-Nya. Visi baru bisa diwujudnyatakan jika setiap umat Tuhan mempergunakan setiap karunia-Nya untuk saling melengkapi antar tubuh Kristus. Di dalam ayat 6-8, Paulus mendaftarkan 7 macam karunia Allah bagi jemaat-Nya beserta cara melakukannya yang berpusat pada Kristus, yaitu:
Pertama, karunia bernubuat (ay. 6). “Bernubuat” di sini jangan langsung ditafsirkan berhubungan dengan suatu kejadian di masa depan. Bernubuat di sini berarti menyampaikan firman (=berkhotbah/preach the Word). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. menerjemahkan bahasa Yunani untuk karunia bernubuat sebagai “karunia memberi pesan Allah.” (Ibid., hlm. 863) Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “mengabarkan berita dari Allah.” Paulus mengatakan bahwa kalau ada yang memiliki karunia memberitakan Firman, maka kita harus melakukannya sesuai dengan iman kita (ay. 6). Pernyataan “melakukannya sesuai dengan iman kita” bisa disalahmengerti. Oleh karena itu, Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. memberi terjemahan dari bahasa Yunani, “menurut kesesuaian/proporsi ajaran yang diimani.” Ini berarti memberitakan Firman tidak bisa dilepaskan dari ajaran iman orthodoks dari para rasul dan para nabi. Memberitakan Firman di zaman sekarang adalah suatu risiko yang sulit dan besar. Mengapa? Karena pada zaman ini, manusia sulit mendengarkan ajaran yang keras, tegas, bertanggungjawab, setia, dan kembali kepada Alkitab. Sebenarnya, bukan hanya di zaman sekarang ini saja, di zaman para nabi pun, hal serupa terjadi. Setiap orang yang mendapat karunia pemberitaan Firman adalah orang yang paling sulit, karena ia menyampaikan berita dari Allah yang berisi sesuatu yang berbeda dari konsep pikiran manusia berdosa. Di zaman nabi-nabi, tidak sedikit nabi yang dibunuh mati karena berita-berita yang mereka sampaikan tidak cocok dengan konsep orang Israel karena menubuatkan/memberitakan penghukuman dan kesusahan, sebaliknya para “nabi” palsu yang memberitakan ajaran kemakmuran disenangi oleh orang Israel. Di zaman para rasul, Paulus menasihatkan anak rohaninya, Timotius untuk tetap memberitakan Firman di dalam segala situasi meskipun harus menghadapi akan datangnya orang tidak mau lagi mendengarkan ajaran yang sehat, tetapi justru mengumpulkan guru-guru untuk memberikan mereka dongeng (2Tim. 4:2-4). Meskipun sulit, Tuhan tetap menyertai setiap hamba-Nya dengan kuasa Roh Kudus, sehingga mereka mendapatkan kekuatan ketika melakukan tugas pemberitaan Firman. Bagaimana dengan kita? Zaman kita dilanda oleh relativisme dan pragmatisme yang cuek dan anti dengan segala macam otoritas termasuk Allah, masihkah kita dengan tegas dan berani memberitakan Firman? Mari kita mengintrospeksi diri kita masing-masing!

Kedua, karunia diaken (ay. 7a). Terjemahan Yunani yang tepat untuk pernyataan “karunia untuk melayani” di ayat 7 sebenarnya yang tepat adalah, “jabatan diaken.” (Ibid., hlm. 863) Mengapa saya katakan terjemahan LAI ini kurang tepat? Karena karunia untuk melayani di dalam terjemahan LAI bisa ditafsirkan bagi semua orang Kristen yang melayani, padahal dari terjemahan Yunani, kita mengerti bahwa yang dimaksud Paulus adalah jabatan diaken yang melayani. Ini berimplikasi bagi kita yang melayani di gereja sebagai diaken. Paulus mengajar bahwa ketika kita sebagai diaken melayani, biarlah kita melayani. Artinya, di dalam pelayanan gereja, jangan pernah mendua hati. Ketika kita melayani sebagai diaken, layanilah orang lain dengan sungguh-sungguh dan takut akan Tuhan, bukan untuk cari untung di balik jabatan diaken kita. Tuhan tidak mau kita melayani sambil cari untung. Tuhan mau kita melayani dengan hati dan motivasi yang murni di hadapan-Nya.

Ketiga, karunia mengajar (ay. 7b). Ketika seseorang memiliki karunia mengajar, hendaklah ia mengajar. Hari ini, karunia mengajar banyak dilupakan bahkan dihilangkan dari banyak gereja kontemporer, karena banyak dari mereka tidak mempedulikan pengajaran, tetapi lebih mempedulikan karunia fenomenal, seperti bahasa roh, mukjizat, dll. Padahal di Surat Roma, karunia itu tidak disebutkan di dalam konsep ibadah sejati yang bertalian dengan karunia-karunia Allah di dalam jemaat. Jika karunia fenomenal yang mereka tekankan itu sangat penting, maka baik di Surat Roma maupun Korintus, karunia itu disebutkan, tetapi anehnya, di Surat Roma, karunia itu tidak disebutkan, hanya di Surat Korintus, karunia itu disebutkan, itu pun diletakkan di dalam urutan terakhir (1Kor. 12:10). Ini membuktikan semua karunia fenomenal meskipun masih ada sampai sekarang bukanlah hal yang terpenting, karena itu bisa dipalsukan oleh setan! Kembali, ketimbang kita berkutat dengan karunia-karunia fenomenal yang bukan esensial, mari kita kembali melihat pentingnya karunia mengajar. Mengapa karunia mengajar penting? Karena karunia mengajar berkenaan dengan mendidik orang. Mengajar dilakukan setelah kita memberitakan Firman (bdk. Mat. 28:19). Bagi kita yang memiliki karunia mengajar, Tuhan menuntut kita sungguh-sungguh mengajar dengan bertanggungjawab sesuai dengan kebenaran firman Tuhan (Alkitab). Tuntutan Tuhan tersebut disertai dengan ancaman bahwa barangsiapa yang mengajarkan kesesatan, maka ia akan dihukum juga oleh Allah (bdk. Mat. 18:6-10; Yak. 3:1; 1Ptr. 4:17). Oleh karena itu, di dalam mengajar Firman, berusahalah hati-hati dan seteliti mungkin, sehingga dengan demikian kita memuliakan Allah, bersaksi bagi-Nya, dan menghindarkan kita dari murka-Nya atas kita yang berani menyesatkan orang lain (termasuk anak kecil).

Keempat, karunia untuk menasihati (ay. 8a). Menasihati di sini sama artinya dengan mendorong/menghibur. Di dalam jemaat, Tuhan tidak ingin kita semua pandai bertheologi, menguasai segala macam doktrin, tetapi semangat persekutuan kita kosong dan kering. Tuhan ingin kita berdoktrin sehat dan bersekutu. Tanda gereja yang sehat bukan banyaknya doktrin tanpa persekutuan, tetapi doktrin yang kuat ditambah persekutuan yang intim dan sehat. Persekutuan yang sehat ditandai dengan adanya saling menghibur ketika kesusahan dan menasihati. Ketika ada jemaat yang bersalah atau berdosa, hendaklah jemaat lain mengingatkan dan menasihati dengan kasih. Ketika ada jemaat yang kesusahan atau sakit, hendaklah jemaat lain menghibur dan menguatkan sehingga yang lemah iman dapat dikuatkan agar masing-masing jemaat dapat memuliakan Kristus. Biarlah ini bukan menjadi teori saja, tetapi kita praktikkan di dalam hidup kita dan di dalam pelayanan gerejawi kita. Di dalam hal pendidikan pun juga sama. Pdt. Sutjipto Subeno di dalam salah satu kuliahnya tentang pendidikan Kristen membukakan pikiran saya bahwa pendidikan jangan pernah diukur hanya dari sisi akademis saja atau sisi praktika saja (bersosialisasi), tetapi dua-duanya harus seimbang. Pendidikan Kristen yang sehat adalah pendidikan yang seimbang yang memerhatikan aspek kognitif dan praktika.

Kelima, karunia membagi-bagi (ay. 8b). Kalau ada orang yang memiliki karunia membagi-bagi, hendaklah ia membagi-bagi dengan ikhlas. Sekali lagi, konsep kemurnian motivasi dan hati ditekankan Paulus. Di dalam pelayanan membagi-bagi, tidak jarang kita menjumpai praktik korupsi bahkan di dalam gereja Tuhan. Tuhan tidak menginginkan kita asal-asalan membagi berkat kepada orang lain, tetapi Ia menuntut kita tulus ikhlas membagi-bagikan berkat tersebut. Kasus Ananias dan Safira yang mendustai para rasul (=mendustai Allah) di dalam hal pembagian hasil kepada jemaat lain (Kis. 5:1-11) memberi teladan bagi kita pentingnya motivasi yang tulus ikhlas di dalam melayani apalagi pelayanan membagi-bagi berkat. Tuhan tidak menginginkan kita menunjukkan berapa besar kita menyumbang atau memberi kepada orang lain, karena itu tidak penting. Ingatlah, bagi Tuhan, yang terpenting adalah kualitas dan motivasi pemberian kita, bukan kuantitas. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita melakukan pelayanan membagi-bagi berkat itu dengan hati yang tulus ikhlas?

Keenam, karunia memimpin (ay. 8c). Paulus mengajar bahwa kalau ada orang yang memiliki karunia memimpin, hendaklah ia memimpin dengan ketekunan (terjemahan KJV: diligence). Terjemahan Yunani untuk kata “ketekunan” dalam KJV ini adalah “dengan usaha yang sungguh-sungguh.” (Ibid., hlm. 863) Berarti, karunia memimpin harus dilakukan oleh orang yang memiliki karunia ini dengan sungguh-sungguh dan tekun. Mengapa Paulus mengajar hal ini? Paulus sadar bahwa rasul Kristus senior seperti Petrus tidak sanggup memimpin jemaat Tuhan, sehingga ia pernah menegur Petrus sebagai orang munafik (Gal. 2:11-14). Seperti Petrus, banyak pemimpin gereja di abad postmodern ini memimpin dengan tidak sungguh-sungguh, bahkan banyak yang memimpin dengan motivasi ingin mencari uang dan kedudukan terhormat. Tidak sedikit para pemimpin gereja di abad postmodern, seperti Petrus, suka mengompromikan imannya agar bisa diterima oleh orang yang beragama lain. Pemimpin seperti itu masih layakkah disebut pemimpin? Biarlah hamba Tuhan yang dikaruniai oleh Tuhan sebagai pemimpin, ia mempergunakan karunia itu untuk memimpin dengan usaha yang sungguh-sungguh. Memimpin dengan usaha yang sungguh-sungguh berarti memimpin dengan berpegang terus pada prinsip Firman Tuhan, setia dan sabar di dalam segala situasi di dalam proses memimpin. Ingatlah, ketujuh karunia ini bersumber dan berpusat pada Kristus, sehingga setiap karunia yang tidak berpusat pada Kristus dan firman-Nya, karunia itu tidak benar.

Ketujuh, karunia menaruh belas kasihan (ay. 8d). Karunia terakhir di dalam bahasa Yunani diterjemahkan, “menaruh belas kasihan.” (Ibid., hlm. 863). Apa artinya? Geneva Bible Translation Notes dan Adam Clarke Commentary on the Bible menafsirkan pernyataan ini sebagai menaruh belas kasihan kepada orang miskin. Lalu, timbul di benak kita, bagaimana menaruh belas kasihan kepada orang banyak? Apakah dengan memberi uang sebanyak mungkin? TIDAK! Uniknya, Alkitab mengajar bahwa Allah mengasihi orang kecil/miskin, di sisi lain, Ia juga tidak ingin orang kecil terus dibela. Kapan Alkitab mengajar bahwa orang kecil tidak boleh terus dibela? Di dalam Imamat 19:15, Tuhan berfirman, “Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan; janganlah engkau membela orang kecil dengan tidak sewajarnya dan janganlah engkau terpengaruh oleh orang-orang besar, tetapi engkau harus mengadili orang sesamamu dengan kebenaran.” Tuhan tidak ingin karena kita terlalu berbelas kasihan kepada orang kecil, lalu kita membela mati-matian (tidak sewajarnya) orang kecil itu. Tuhan menginginkan keadilan. Jangan karena orang kecil, maka seluruh kepentingan orang lain dikorbankan! Orang kecil meskipun dikasihi Tuhan, tetapi juga harus dididik dengan kebenaran dan keadilan dengan cara memberi mereka pekerjaan agar mereka tidak terus bergantung pada pemberian orang lain tanpa kerja. Tuhan membenci orang malas yang mendapat uang tanpa bekerja! Inilah prinsip kasih dan keadilan kepada orang kecil/miskin. Itulah pelayanan Kristen yang sehat dan seimbang. Bagi kita yang memiliki karunia ini, maukah kita melakukannya?

Melalui perenungan keenam ayat ini, kita diingatkan akan keanekaragaman karunia Allah yang dipergunakan untuk membangun tubuh Kristus. Hari ini, marilah kita mengintrospeksi diri, karunia macam apakah yang Tuhan berikan bagi kita bagi gereja-Nya? Lalu, sadarilah, maukah kita berkomitmen menggunakan karunia itu bagi kemuliaan-Nya di dalam gereja-Nya? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 12:1-15: IMAN DAN HUKUM-2: Kristus Sebagai Hukum yg Hidup (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah : 8 Oktober 2006

Iman & Hukum-2: Kristus sebagai Hukum yang Hidup
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 12:1-15


Pendahuluan
Injil Matius khususnya pasal yang ke-12 membukakan pada kita akan supremasi Kristus; Kristus berotoritas mutlak atas segala sesuatu yang ada di dunia – Dia adalah Tuan dari semua yang dipertuan di dunia. Kristus adalah hukum yang hidup merupakan puncak dari pernyataan-Nya. Sebelumnya kita telah memahami bahwa perdebatan antara Kristus dan orang Yahudi ini bukan sekedar perdebatan tentang hukum Sabat tapi di dalamnya, Tuhan Yesus membukakan tentang perbedaan konsep hukum dunia dengan konsep hukum berdasarkan Firman Tuhan. Salib merupakan puncak dari keadilan dan hukum Tuhan; salib merupakan pertemuan antara keadilan dunia dan hukum Allah dimana pertemuan ini sangatlah kontras. Hal ini seharusnya menjadikan kita semakin memahami arti dari hukum dan keadilan dan bagaimana penerapan hukum yang sejati berdasarkan prinsip Firman Tuhan bukan berdasarkan pengertian dunia berdosa. Konsep keadilan dan hukum yang diajarkan dunia dilepaskan dari kebenaran sejati akibatnya kesejahteraan yang sangat diinginkan manusia itu tidak dapat tercapai. Tanpa keadilan yang sejati, kesejahteraan tidak akan pernah dirasakan oleh manusia. Pertanyaannya adalah keadilan seperti apakah yang dapat membuat hidup manusia sejahtera?
Orang Yahudi sangat ketat menjalankan keadilan dan hukum tapi toh itu tidak membuat hidup mereka bahagia dan sejahtera, hidup mereka justru hidup dalam ketegangan dan tekanan yang luar biasa. Hal ini disebabkan karena mereka salah memahami konsep keadilan dengan benar. Hukum haruslah kembali pada kebenaran sejati dimana kebenaran sejati itu hanya ada dalam satu pribadi, yaitu Kristus Yesus. Kebenaran sejati bukan sekedar teori atau rentetan hukum seperti yang dimengerti oleh dunia. Kristus adalah Sang Kebenaran itu, Ia menjalankan kebenaran dengan sempurna dan hal ini ditegaskan sendiri oleh-Nya: “Akulah jalan, dan kebenaran dan hidup“ (Yoh. 14:6). Dunia tidak suka dengan Kebenaran akibatnya dunia jatuh dalam dua ekstrim besar, yaitu: legalisme dan atinomianisme. Di satu sisi, orang begitu ketat menjalankan semua peraturan hukum yang berlaku, hidupnya tidak ubahnya seperti robot yang berjalan dengan berbagai aturan maka dapatlah dibayangkan, orang demikian ini hidupnya berada dalam ketegangan. Namun di sisi lain, orang yang hidup tanpa aturan hukum, hidupnya sangat liar. Orang menyadari legalisme maupun antinomianisme tidak membuat hidup menjadi lebih baik maka orang berpikir untuk menggabungkan keduanya; manusia ingin bebas tapi manusia juga butuh keadilan dan hukum. Namun toh namanya juga manusia berdosa maka dunia berdosa ingin mengadili orang lain dengan seadil-adilnya tetapi untuk diri sendiri, ia tidak suka dengan segala hal yang berbau aturan atau hukum.
Orang Yahudi sangat meninggikan hukum Sabat karenanya Tuhan Yesus perlu mengubahkan konsep berpikir mereka yang salah dan mengembalikannya pada hukum Taurat. Tuhan Yesus membukakan tentang Daud dan para pengikutnya yang tidak diperbolehkan makan roti sajian kecuali oleh para imam. Para imam yang bekerja pada hari Sabat dan melampaui batasan-batasan yang dibolehkan pada hari Sabat tetapi mereka tidak dianggap berdosa, lalu apa artinya hukum? Bagaimana mengerti Sabat? Tuhan Yesus menegaskan: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah (Mat. 12:7). Orang Farisi beranggapan bahwa orang yang melanggar hukum Sabat dianggap bersalah sedang bagi Tuhan Yesus, orang yang melanggar hukum Sabat tersebut tidaklah bersalah. Jelaslah bahwa perbedaan pandangan ini terletak pada konsep belas kasihan, mercy. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita merelasikan hukum dengan konsep belas kasihan?
Didalam perdebatan tersebut kita mendapati orang Yahudi menegur pada Tuhan Yesus tentang perbuatan para murid-murid-Nya yang memetik dan memakan bulir gandum pada hari Sabat? Sesungguhnya, orang Yahudi biasa melakukan hal tersebut tapi yang membuat mereka tidak dapat menerima perbuatan para murid Kristus adalah kenapa dilakukan pada hari Sabat. Artinya perbuatan memetik dan memakan bulir gandum itu diperbolehkan jika tidak dilakukan pada hari Sabat. Konsep hukum sejati telah dikunci oleh aturan-aturan yang mati akibatnya manusia menjadi mati di bawah aturan yang mati. Esensi hukum lepas dari Kristus sebagai kebenaran sejati. Keadilan dan kebenaran, righteousness tidak boleh dilepaskan dari kebenaran sejati, truth. Manusia tidak suka pada kebenaran sejati, manusia ingin menegakkan keadilan tanpa kebenaran lalu menjadikan hukum keadilan yang disusun oleh manusia. Manusia akhirnya terjebak dalam satu konsep bagaimana melaksanakan hukum berdasarkan jiwa berdosa. Hal inilah yang menyebabkan manusia tidak dapat melihat hukum dengan tepat. Pertanyaannya bagaimana kita melihat mercy sebagai dasar dari motivasi hukum? Dunia sulit melihat hubungan antara hukum keadilan dengan belas kasihan. Bagaimana menegakkan teori keadilan? Atas dasar apa kita menegakkan hukum dan keadilan?
Dunia mengajarkan bahwa hukum dan keadilan haruslah ditegakkan berdasarkan kebutuhan atau keinginan masyarakat. John Rolls menentang keras akan hal ini, ia melihat keadilan telah berubah menjadi alat untuk menekan yang minoritas; keadilan dipakai untuk kepentingan dan golongan tertentu. Di dunia modern ini jarang sekali ada orang yang memperjuangkan keadilan dengan motivasi murni karena memang ingin memperjuangkan hukum. Tidak! Orang biasanya menjadi peduli hukum ketika ia menjadi korban hukum. Hari ini, orang melihat ada orang lain di depan mata menjadi korban kejahatan pun orang tidak akan peduli. Inilah jiwa manusia berdosa. Keadilan yang diperjuangkan adalah keadilan yang dimotivasi dengan egoisme. Jadi, bagaimana mungkin orang dapat memahami belas kasihan dalam hukum? Karena itu, Kristus menegaskan hukum yang dipicu dengan jiwa egoisme akan menghasilkan pukulan balik yang menghancurkan diri sendiri. Dunia seringkali mengajarkan konsep keadilan yang salah, yakni mata ganti mata, gigi ganti gigi; pembalasan haruslah lebih kejam. Manusia telah gagal mengerti esensi hukum, manusia lebih suka mempermainkan hukum: menyatakan keadilan dengan menggunakan perisai keadilan tapi di belakang itu sesungguhnya ketidakadilanlah yang terjadi. Akibatnya perjuangan hukum di tengah dunia ini diperjuangkan dengan semangat egois demi untuk kepentingan diri dan golongan – hukum dibangun di atas jiwa egoisme. Dunia membangun hukum dengan prinsip survival of the fittest, siapa kuat dialah yang menguasai hukum. Tidak ada jiwa belas kasihan dalam hukum dunia.
Untuk mengerti hukum dengan benar maka kita harus kembali pada Firman, Kebenaran sejati, yaitu:
I. Hukum merupakan manifestasi dari hidup
Kekristenan menegakkan hukum karena Kekristenan ingin hidup, kehidupan itulah yang menjadi jiwa dari hukum. Jadi, ketika kita memperjuangkan hukum maka kita harusnya bertanya dalam diri kita: apakah hukum yang sedang kita perjuangkan tersebut membawa orang pada hidup ataukah malah membawa orang pada kebinasaan? Apakah didalamnya ada jiwa belas kasihan? Apakah kita sungguh memperjuangkan itu dengan motivasi murni dan bukannya demi untuk kepentingan pribadi? Hukum harusnya menangisi ketidakadilan, menangisi orang-orang yang telah mengalami kehancuran. Namun di dunia modern, jiwa belas kasihan ini telah hilang, manusia telah kehilangan hati nurani; tidak ada lagi air mata melihat orang sedang dalam kesulitan. Manusia dididik menjadi kejam bahkan lebih kejam dari binatang. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan jiwa Kekristenan, apakah kita mempunyai jiwa yang senantiasa memperjuangkan hukum dan keadilan sesuai yang Tuhan inginkan?
Hukum Taurat ditetapkan oleh Tuhan demi untuk manusia, yakni supaya manusia hidup sejahtera tetapi hukum telah bergeser menjadi sebuah aturan-aturan yang ketat dan tidak mempedulikan hidup. Bayangkan, bagaimana hidup tidak tegang kalau berjalan, mengangkat barang harus di atur, dan masih banyak lagi peraturan yang menjepit hidup manusia. Akibatnya manusia berubah menjadi seorang legalis dan tak ubahnya seperti sebuah robot-robot hidup yang tidak mengerti hidup itu sendiri. Manusia masuk dalam ekstrim yang lain, yakni manusia tidak mau diikat oleh hukum. Manusia pikir, tanpa hukum, hidupnya nikmat. Tidak! Manusia justru masuk dalam kehancuran. Hidup harus ada aturan dan tatanan supaya hidup kita dapat hidup secara benar. Hukum dibuat karena Dia mencintai manusia; Dia berbelas kasihan dan tidak ingin hidup manusia celaka. Cinta dan belas kasihan inilah yang menjadi motivasi hukum. Betapa indah hidup ini kalau setiap orang menjalankan hukum karena belas kasihan dan cinta. Sayangnya, hari ini dunia menjalankan hukum karena motivasi ingin menghukum, ingin balas dendam, semua untuk kepentingan diri. Kekristenan harus kembali pada kebenaran sejati dan kebenaran sejati adalah hidup sejati dan hidup sejati itu kita dapatkan ketika kita berpusat pada Kristus.
Ketika hukum Taurat diberikan, Tuhan ingin supaya hidup dijaga sedemikian rupa di dalam suatu kualitas hidup. Jiwa daripada hukum bukanlah hukum atau keadilan. Tidak! Jiwa daripada hukum adalah kehidupan – hukum haruslah mencapai hidup sejati tapi kalau hukum mulai mendestruksi dan menghancurkan harkat kehidupan maka dapatlah disimpulkan itu bukan hukum sejati. Kristus haruslah menjadi pusat, hukum yang hidup haruslah kembali pada Kebenaran yang hidup, Kebenaran yang berpribadi, the truth in person maka setiap orang yang menerapkan hukum Allah akan mempunyai hidup yang sangat agung.
II. Hukum merupakan manifestasi dari kesucian
“Yang Ku-kehendaki ialah belas kasihan...“ (Mat. 12:7) dalam hal ini Tuhan ingin manusia mencapai suatu kualitas hidup yang indah, jadi hidup bukan sekedar hidup. Tuhan ingin manusia menjadi mahkota ciptaan, crown of creation dengan hidup yang suci, mulia dan agung. Hukum yang sejati tidak menjadikan moral manusia semakin rusak, hukum yang sejati tidak mendegradasi kehidupan manusia menjadi semakin rendah. Tuhan ingin manusia menjadi manusia sejati karena itu dibutuhkan undang-undang dasar, manusia membutuhkan moral, etika dan hidup yang berkualitas. Manusia merupakan puncak ciptaan Tuhan yang dicipta dengan kesucian moral maka harus ada hukum yang menata: tidak boleh mencuri, tidak boleh membunuh, tidak boleh berzinah, dan masih banyak lagi hukum lain yang mengatur hidup manusia dimana didalamnya ada standar etika. Tuhan memberikan hukum supaya manusia mempunyai hidup yang berkualitas. Hukum yang didasari oleh Kebenaran sejati akan membangun moral dan harkat hidup manusia menjadi lebih berkualitas. Salib merupakan tempat pertemuan antara hukum Allah dan hukum dunia. Salib merupakan tempat demonstrasi kerusakan dan kebinasaan manusia dan demonstrasi keadilan Allah, Ia mengutus anak-Nya mati di kayu salib untuk membebaskan manusia berdosa dari jerat dosa. Penebusan Kristus merupakan manifestasi keadilan dan kesucian Allah supaya manusia dapat hidup suci maka untuk mengingat hal ini Tuhan menetapkan sakramen Perjamuan Kudus untuk kita lakukan. Orang yang mempermainkan Perjamuan Kudus akan dikutuk oleh Tuhan sampai pada kematian maka kalau kita menyadari hal ini janganlah kita mempermainkan Perjamuan Kudus. Ketika Kristus ditetapkan oleh Allah sebagai korban tebusan demi untuk memulihkan hubungan manusia dengan Allah yang terputus maka itu merupakan penerapan keadilan Allah dan semua itu didasari oleh rasa belas kasihan. Tuhan ingin manusia yang telah terpuruk itu untuk hidup dalam kesucian – hendaklah kamu kudus karena Tuhan Allahmu kudus adanya. Hal inilah yang Tuhan terapkan ketika ia menjalankan hukum-Nya. Pertanyaannya seberapa jauhkah ketika kita memikirkan tentang hukum dan keadilan, kita juga memikirkan tentang kesucian moral dan kualitas hidup didalamnya ataukah hukum justru menjadi kehancuran moral dan kerusakan etika? Biarlah sebagai orang Kristen kita memancarkan terang Kristus dimanapun kita berada kita harus menerapkan hukum dengan didasari oleh jiwa belas kasih, hukum haruslah membangun moral; ketika hukum ditegakkan didalamnya haruslah memancarkan kesucian dan menjadikan hidup seseorang itu agung dan mulia.
III. Hukum merupakan manifestasi dari cinta kasih
Di tengah dunia ini hukum telah kehilangan salah satu sisi yang harusnya menjadi basis kesetaraan yang bersifat paradoxical, yakni kasih dan keadilan. Hukum haruslah menegakkan cinta kasih dan keadilan secara bersama-sama akan tetapi dunia sulit untuk menjalankan kedua hal ini sebab didalamnya selalu dimotivasi dengan kebencian, balas dendam, dan kemarahan. Perhatikan, cinta kasih dan keadilan tidak dapat dipisahkan; orang yang penuh dengan cinta kasih adalah orang yang harus menjalankan keadilan. Memang, bukanlah hal yang mudah bagi kita untuk menjalankan cinta kasih dan keadilan dengan tepat secara bersamaan. Alkitab mengajarkan untuk mendidik seorang anak, kita harus menggunakan rotan tapi bagaimana membuat si anak tetap hormat dan sayang pada kita diperlukan suatu hikmat Tuhan? Ketika kita hendak marah pada anak, hendaklah kita mengevaluasi diri sebelumnya apakah memang ia layak mendapat hukuman karena ia bersalah ataukah karena kita yang merasa terganggu kenyamanan kita? Orang tua yang seharusnya menjadi wakil Allah telah gagal tapi lebih tepatnya, orang tua telah menjadi wakil setan. Ketika kenyamanan kita mulai terganggu dan amarah itu mulai datang maka itu waktunya kita untuk keluar ruangan dan memohon ampun pada Tuhan, hendaklah kita mengevaluasi diri, janganlah iblis yang bekerja dan menguasai hati dan pikiranmu. Kenapa kita tidak marah ketika anak memecahkan gelas yang harganya murah? Tapi kenapa kita menjadi sangat marah ketika anak memecah vas kristal yang harganya sangat mahal? Pertanyaannya dalam hal ini siapa yang berdosa?
Seorang anak kecil belum bisa membedakan sebuah nilai suatu barang maka orang tua kalau mau konsisten, seorang anak tetap harus dihukum karena kecerobohannya, yaitu memecahkan sebuah barang tidak peduli murah atau mahal harganya. Dengan demikian hukum dapat membangun dia untuk hidup lebih baik, mengerti moral dan etika hidup. Dan perhatikan, dengan semakin bertambahnya usia si anak, cara orang tua mendidik haruslah berbeda demikian juga dengan hukuman yang dikenakan padanya. Pdt. Stephen Tong menyatakan ketika orang tua hendak menghukum anak maka harus memperhatikan beberapa hal, yaitu: 1) ukuran, ketika kita memberi hukuman pada anak maka kita harus tahu ukuran yang tepat, tidak kurang atau lebih sebab kalau hukuman terlalu ringan maka si anak akan menyepelekan hukuman sebaliknya kalau hukuman terlalu berat maka si anak akan benci dengan keadilan. Mengukur dengan tepat ini dapat dilakukan setelah kita menetralisir, bukan karena diri kita yang terganggu tapi karena kita memang ingin benar-benar menegakkan keadilan, 2) tingkat kesalahan yang dilakukan dan si anak pun juga harus tahu kesalahannya. Tuhan tidak langsung menghukum orang yang tidak tahu kesalahannya; Tuhan mengatakan pada perempuan yang berzinah untuk pergi dan jangan berbuat dosa lagi. Hal ini dikatakan supaya ia tahu seberapa hukuman yang harus ditimpakan atas dirinya dengan kesadaran itu, ia menyadari bahwa hukuman itulah yang harus diterima, 3) cinta kasih, ketika hukuman dijalankan hukuman maka pada saat yang sama harus ada cinta kasih. Orang tua yang baik akan merasa sangat sedih, karena ketika menghukum anaknya karena itu seperti menghukum dirinya sendiri; kesakitan yang dirasakan si anak turut pula dirasakan si orang tua.
Inilah yang dinamakan menghukum dengan cinta kasih. Si anak dapat merasakan kalau orang tua menghukum bukan karena tidak sayang tapi justru sebaliknya karena orang tua sangat sayang pada dirinya maka si anak akan mempunyai kehidupan moral yang sangat baik. Demikian halnya dengan Tuhan, Dia menghukum manusia bukan karena Tuhan benci pada manusia. Tidak! Tuhan ingin kehidupan manusia dibangunkan dan mempunyai hidup yang berkualitas. Salib merupakan manifestasi keadilan dan cinta kasih Allah. Marilah kita belajar keadilan dan hukum seperti yang Tuhan ajarkan dengan demikian dunia dapat melihat keadilan diterapkan dalam seluruh kehidupan kita menjadikan kehidupan semakin berkualitas. Orang berdosa harus dihukum tapi karena kasih-Nya, Kristus rela menyerahkan diri-Nya untuk menjadi tebusan dan menggantikan hukuman kita supaya kita dilepaskan dari kuasa dosa. Kuasa kebangkitan Kristus memungkinkan orang berdosa untuk hidup dan dibangunkan dalam iman, kesucian dan kebenaran untuk kita menjadi serupa Kristus. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)



Sumber:
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2006/20061008.htm

07 December 2008

Roma 12:2: IBADAH SEJATI-2: Mempersembahkan Hidup Bagi Tuhan-2

Seri Eksposisi Surat Roma :
Aplikasi Doktrin-2


Ibadah Sejati-2: Mempersembahkan Hidup Bagi Tuhan-2

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 12:2.


Kalau di ayat 1, kita dituntut Paulus untuk mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah, lalu bagaimana kita dapat melakukannya? Cara kita mempersembahkan tubuh kita ini kepada Allah dipaparkan Paulus di ayat 2.

Pada ayat 2, Paulus mengajar, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Agar kita dapat mempersembahkan tubuh kita kepada Tuhan sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan yang berkenan kepada Allah, di ayat ini, Paulus memaparkan beberapa cara:
Pertama, cara negasi dan pasif: tidak mau dipengaruhi dunia ini. Jika kita memerhatikan terjemahan LAI ini, sepintas yang ditekankan adalah dunia, lalu kita yang menjadi serupa dengan dunia. Tetapi jika diperhatikan struktur bahasa Yunani, hal itu tidak demikian. Pernyataan “menjadi serupa” di dalam terjemahan Yunani diartikan, “dijadikan serupa,” dan struktur bahasa Yunaninya: kata kerja orang kedua, jamak (plural), waktu sekarang (present), pasif (passive), dan imperatif (imperative) (Hasan Sutanto, 2003, Perjanjian Baru Interlinear, hlm. 862). Dengan kata lain, secara negasi dan pasif, agar dapat mempersembahkan tubuh kita kepada Allah, pertama-tama kita tidak mau dipengaruhi dunia ini. Apa arti dipengaruhi dunia ini? Albert Barnes di dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible memaparkan artinya yaitu mengambil bentuk, cara hidup, dll dari dunia ini. Selain itu, Geneva Bible Translation Notes menafsirkannya sebagai tindakan kita yang mengambil pendapat atau perilaku/tindakan orang lain sebagai peraturan hidup kita. Dari dua tafsiran/catatan Alkitab ini, kita belajar bahwa orang yang dipengaruhi dunia ini adalah orang yang memiliki cara hidup, pendapat, perilaku, dll yang murni dipengaruhi dunia. Ketika dunia menampilkan tindakan-tindakan asusila, seperti free-sex, merokok, narkoba, dll, orang tersebut dipengaruhi dan meniru tindakan-tindakan tersebut.
Lalu, mengapa orang-orang tersebut bisa dipengaruhi dunia? Karena mereka berpikir bahwa dunia itu menyenangkan, menguntungkan, dll. Gaya hidup hedonisme, materialisme, dan utilitarianisme telah mengancam dunia kita terutama abad postmodern. Manusia selalu mencari keuntungan dengan cara-cara yang tidak wajar, bahkan makan uang orang lain. Itulah akibat pola pikir dunia yang serba “menguntungkan, menyenangkan, dll.” Mereka tidak mempedulikan makna dan hakikat hidup manusia sejati. Yang mereka pedulikan adalah hal-hal remeh, seperti makan, minum, jalan-jalan, dll. Benarkah itu semua membawa kebahagiaan? Apakah kekayaan, kenikmatan, dll itu nikmat? TIDAK! Realita dan tentunya Alkitab mengajar kita bahwa hal-hal tersebut itu remeh adanya dan bersifat sementara. Pengkhotbah 1:1-11 mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu di bawah matahari (di dunia) ini sia-sia, bahkan mengejar hikmat itu sia-sia (ay. 12-18). Mengapa sia-sia? Karena itu dilakukannya sendirian tanpa Allah. Dengan kata lain, hidup kita di dunia ini tidak akan pernah sia-sia jika kita mengaitkan hidup kesementaraan ini dengan kekekalan Allah. Orang yang mau hidupnya berkait dengan kekekalan Allah adalah orang yang mau mempersembahkan tubuh dan hidupnya bagi kemuliaan Allah. Dan orang yang mau mempersembahkan tubuhnya bagi kemuliaan Allah adalah orang yang tentu tidak mau dipengaruhi dunia ini. Mengapa tidak mau dipengaruhi dunia ini? Karena ia percaya bahwa dunia ini bersifat sementara dan akan lenyap, sedangkan firman Tuhan itu kekal dan tidak akan lenyap. Tuhan Yesus berfirman, “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu."” (Luk. 21:33) Dengan menaruh iman dan pengharapan kita kepada yang kekal yaitu firman Tuhan, hidup kita akan menemukan suatu pengharapan yang pasti dan kokoh, karena firman Tuhan itu ya dan amin, serta menjamin hidup kita bersama Tuhan akan berkelimpahan (TIDAK secara jasmani—Yoh. 10:10b). Hidup yang berkelimpahan di dalam Tuhan adalah hidup yang terus merasakan cinta kasih Tuhan di dalam setiap hidupnya sambil membagikannya kepada orang lain baik melalui Injil, mandat budaya, maupun menolong sesama. Dengan kata lain, dengan hidup berkait dengan kekekalan, kita tidak lagi mau dipengaruhi dunia ini, tetapi kita justru memengaruhi dunia ini dengan Injil. Pendidikan Kristen yang beres bukan takut dipengaruhi dunia atau menyalahkan dunia/lingkungan yang telah membentuk suatu individu menjadi tidak beres, tetapi pendidikan Kristen harus keluar dari belenggu dunia dan kembali kepada prinsip-prinsip Alkitab, sehingga bukan kita yang dipengaruhi dunia, melainkan kita memengaruhi dunia, khususnya dunia pendidikan. Begitu juga dengan ekonomi, politik, dll, ketika sesama kita menawari cara hidup korupsi, nepotisme, dll, kita tidak boleh ikut arus dan ikut-ikutan dipengaruhi dunia, tetapi kita harus melawan arus dengan memengaruhi dunia melalui Injil yang kita aplikasikan di tempat kita berada.

Kedua, cara positif dan aktif: diubah pola pikir kita. Agar kita dapat memengaruhi dunia kita melalui Injil, kita harus pertama-tama mengubah pola pikir kita. Di ayat 2 ini, Paulus mengajar, “berubahlah oleh pembaharuan budimu” Kata “berubah” di sini di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk yang sama dengan kata “menjadi serupa” di atas, yaitu menggunakan bentuk kata kerja orang kedua, jamak (plural), waktu sekarang (present), pasif (passive), dan imperatif (imperative). Dengan kata lain, artinya adalah sebuah perintah Paulus agar semua jemaat Roma (dan juga kita) saat ini juga diubah oleh pembaharuan budi/akal budi/pikirannya. Bentuk pasif pada kata “berubah” di sini menandakan bahwa kita bisa mengubah pola pikir kita tidak dari diri kita sendiri, tetapi ada yang mengubah pikiran kita. Roh Kudus yang mengubah pikiran kita melalui iman yang telah diberikan Allah sebagai anugerah kepada umat pilihan-Nya. Ketika kita sudah beriman, kita baru bisa mengubah pola pikir kita melalui pertolongan dan pencerahan Roh Kudus di dalam Alkitab. Di sini, kita belajar satu prinsip yaitu iman mendahului pengertian (bdk. Ibr. 11:3). Iman kita memungkinkan kita terus ingin mengerti kebenaran firman Tuhan, sehingga pikiran kita yang dahulu didistorsi oleh dunia berdosa, akhirnya secara berkelanjutan dimurnikan oleh firman melalui Roh Kudus. Adalah suatu absurditas (ketidakmasukakalan) jika ada orang Kristen yang mengaku sudah beriman, tetapi enggan atau lebih parahnya, malas mempelajari firman Tuhan dengan teliti. Itu patut diragukan keimanannya, benarkah ia sungguh-sungguh beriman atau hanya di mulut saja?
Lalu, dengan pencerahan Roh Kudus melalui Alkitab, bagaimana kita bisa diubah pikirannya? Karena Roh Kudus diutus untuk memuliakan Kristus, maka Ia akan memimpin umat-Nya terus-menerus memusatkan pikiran (dan hidup) mereka hanya kepada Kristus sebagai Kakak Sulung dan Tuhan kita. Pikiran Kristen yang sehat adalah pikiran yang berpusat pada Kristus. Sedangkan pikiran “Kristen” yang kacau adalah pikiran yang berpusat pada kehendak manusia berdosa, lalu mengutip Rm. 12:2 dengan menafsirkan bahwa pikiran kita harus “diubah” agar sesuai dengan zaman kita. Ini pikiran licik manusia berdosa dengan topeng “Kristen.” Berhati-hatilah, iblis bisa menyamar sebagai malaikat terang! Kembali, pikiran yang berpusat pada Kristus itulah iman Kristen. Pdt. Dr. Stephen Tong mengajar bahwa iman sejati adalah pengembalian rasio kepada Kebenaran. Berarti, iman Kristen tidak meniadakan rasio, tetapi memakai rasio yang diciptakan Tuhan untuk memuliakan Tuhan. Dengan kata lain, anugerah Tuhan melalui rasio dipergunakan dan dikuduskan oleh firman Tuhan untuk mempermuliakan Tuhan. Intinya, dari Tuhan, oleh Tuhan, dan untuk Tuhan (Soli Deo Gloria).
Mari kita menggumulkan tiga bagian tentang rasio ini. Pertama, rasio adalah anugerah Allah. Tidak ada satu ciptaan Allah selain manusia yang dikaruniai rasio. Rasio diciptakan oleh Allah bagi manusia agar manusia bisa berpikir, menganalisa, dan menemukan sesuatu, terutama alam yang telah diciptakan-Nya sebagai penyataan diri-Nya secara umum. Respon manusia yang telah menganalisa dan mengelola alam ini disebut ilmu pengetahuan (science). Tetapi kita perlu mengingat satu hal yaitu manusia telah berdosa dan rusak total, sehingga ketika manusia meresponi wahyu umum Allah pun pasti mengandung bibit dosa (meskipun tidak semua). Sehingga rasio tidak hanya dimengerti sebagai pemberian Allah (dari Allah), tetapi juga rasio harus dimurnikan oleh firman Allah, inilah poin kedua kita. Bagi Dr. Martin Luther, rasio itu seperti pelacur. Nah, rasio seperti pelacur ini harus dikuduskan melalui firman Allah agar tidak selalu melacur. Mengapa firman Allah harus menundukkan rasio? Karena rasio itu terbatas, sedangkan firman Allah itu dari Allah yang tidak terbatas, sehingga firman Allah lebih tinggi dan melampaui rasio. Lalu, bagaimana firman Allah memurnikan rasio? Caranya adalah pertama-tama kita menaklukkan pikiran kita di bawah terang firman Allah sebagai pedoman, cermin, dan penuntun pikiran kita. Ketika firman Allah berbicara bahwa istri harus tunduk kepada suami dan suami harus mengasihi istri (Ef. 5:22-33), maka rasio Kristen yang sehat dan bertanggungjawab harus ditundukkan, sehingga mereka HANYA menerima kebenaran Alkitab ini dengan mutlak. Tetapi yang terjadi di abad postmodern ini sangat berlawanan. Banyak yang mengaku pemimpin gereja studi di luar negeri, tetapi ketika membaca Ef. 5:22-33, rasionya mulai “menghakimi” dan tidak setuju dengan Alkitab dengan segudang argumentasi “logis.” Itulah pelacur! Pelacur bukan pelacur secara fisik, tetapi ada pelacur rohani, seperti halnya berzinah, ada berzinah rohani. Yang lebih menakutkan bukan pelacur jasmani atau berzinah jasmani, tetapi pelacur rohani dan berzinah rohani, karena pelacur dan berzinah rohani jelas menggunakan “rohani” sebagai dalih, padahal sebenarnya jasmani sifatnya. Itulah kemunafikan banyak pemimpin gereja! Mereka harus bertobat! Kembali, karena rasio itu diberikan oleh Allah, dan rasio itu telah dikuduskan oleh firman Allah, maka rasio itu baru dapat memenuhi poin ketiga, yaitu memuliakan Allah. Jangan pernah mengharapkan rasio bisa memuliakan Allah jika sebelumnya tidak pernah dikuduskan oleh firman Allah, karnea Allah TIDAK mau menerima rasio seperti pelacur, karena itu menjijikkan di hadapan-Nya. Jika hari ini, rasio kita masih melacur dan mengatakan semua filsafat dunia berdosa itu benar, saya menantang hari ini: bertobatlah, Tuhan muak dengan rasio kita yang suka melacur!


Setelah kita secara negasi dan pasif tidak mau dipengaruhi dunia dan kita secara aktif diubah pola pikirnya, maka kita baru, “dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Kata “membedakan” dalam bahasa Yunaninya dokimazō yang bisa berarti menguji (test) atau membuktikan (prove). Di sini, unik, Paulus mengaitkan konsep ibadah sejati dengan konsep membedakan/menguji kehendak Allah. Di abad postmodern ini, banyak orang “Kristen” mengajar atau diajar konsep bahwa kalau beribadah, beribadah saja, tidak perlu menggunakan rasio, alami saja Allah itu, dll. Pengalaman tidaklah salah, tetapi pengalaman yang dilepaskan dari pengenalan akan Allah melalui firman-Nya itu bisa berbahaya, dan bisa menimbulkan munculnya bidat. Berbeda dari konsep postmodern ini yang anti-doktrin dan anti sesuatu yang bernilai tinggi dan kekal, maka Paulus justru mengajar bahwa ibadah sejati adalah ibadah yang mempersembahkan tubuh kita kepada Tuhan dengan menguji kehendak Allah. Sebelum kita bisa mempersembahkan tubuh kepada Tuhan, kita harus menguji dahulu apa itu kehendak Allah. Bagaimana kita bisa mengetahui kehendak Allah jika kita tidak pernah membaca dan mempelajari firman-Nya? Di sini, saya mencoba mengaitkan: mempelajari Alkitab mengakibatkan kita semakin mengetahui kehendak Allah, dan kita bisa menguji kehendak Allah di dalam hidup kita, sehingga kita makin memuliakan Allah. Lalu, apakah yang menjadi kehendak Allah? Paulus menjabarkan hal ini ke dalam tiga bagian:
Pertama, kehendak Allah itu adalah apa yang baik. Luar biasa, di titik pertama, Paulus mengatakan tentang konsep kebaikan yang dikaitkan dengan kehendak Allah. Baik di sini bukan berarti Allah menyenangkan kita, tetapi baik berarti baik menurut standar Allah. Ketika kita mau mencoba mengerti arti hidup, carilah kehendak Allah, karena kehendak Allah itu (adalah apa yang) baik. Kebaikan kehendak Allah (atau sesuatu yang baik di dalam kehendak Allah) adalah kebaikan yang tidak bisa dipisahkan dari atribut-atribut Allah yang lainnya, yaitu Kekal, Mahakudus, Mahaadil, Mahabijak, dan Mahasempurna. Sehingga, ketika kita memahami kehendak Allah yang baik, berarti kita harus memahami keutuhan maknanya, yaitu kehendak Allah yang baik adalah kehendak yang tidak bertentangan dengan natur-Nya yang Mahakudus. Dengan demikian, jangan pernah berharap bahwa Allah yang memiliki kehendak yang baik akan memenuhi semua kebutuhan kita (termasuk yang berdosa). Bukan hanya itu saja, kehendak Allah yang baik berkait dengan Allah yang Kekal dan Mahabijak. Artinya, ketika menjawab doa/pergumulan kita, Allah mengetahui apa yang terbaik bagi kita menurut standar Allah, sehingga ketika Ia tidak mengabulkan doa kita, percayalah Ia memiliki maksud baik di dalam kekekalan dan kebijakan-Nya bagi kita meskipun kita belum mengetahuinya. Selain itu, berkaitan dengan Allah yang Mahaadil, kebaikan kehendak Allah adalah menginginkan keadilan yang benar (righteouness). Jangan pernah mengharapkan Allah yang memiliki kehendak yang baik adalah menerima semua orang berdosa untuk diselamatkan. Kebaikan Allah justru kebaikan yang adil yang justru memilih beberapa manusia untuk diselamatkan. Predestinasi (pemilihan Allah sebelum dunia dijadikan atas beberapa orang) justru menunjukkan di mana kebaikan dan keadilan Allah bertemu.

Kedua, kehendak Allah itu adalah apa yang berkenan kepada Allah. “Berkenan kepada Allah” di dalam bahasa Yunani dapat diterjemahkan sebagai disenangi Allah (Ibid., hlm. 862). Dengan kata lain, apa yang berkenan kepada Allah adalah apa yang disenangi atau merupakan kesenangan Allah. Apa yang membuat Allah senang? Sebelum memikirkan terlalu rumit, mari kita bayangkan jika kita memiliki pasangan kita yang sangat kita cintai. Bagaimana kita bisa menyenangkan pasangan kita sebagai bukti kita mencintainya? Tentu dengan memberikan kepada pasangan kita apa yang dia paling sukai, bukan? Apakah kita mau menyenangkan dia dengan memberikan apa yang kita sukai dan dia tidak sukai? TIDAK! Itu bukan tanda kita menyenangkan dan mencintai dia. Kalau kepada pasangan hidup saja kita bisa menunjukkan kesenangan kita kepadanya dengan memberikan apa yang paling dia sukai, mengapa ini tidak kita terapkan kepada Allah? Anehnya, di abad postmodern ini kita menjumpai berbagai upaya dilakukan orang beragama bahkan orang “Kristen” untuk “menyenangkan” Allah justru dengan memuaskan hawa nafsu manusia itu sendiri. Mereka mengajarkan bahwa ikut Tuhan pasti kaya, sukses, lancar, bahkan tidak pernah digigit nyamuk. Inikah ajaran yang menyenangkan Allah?! Benarkah jika kita mau menyenangkan Allah, kita malahan memberikan kepada diri kita sendiri kesenangan? Mari kita introspeksi diri kita. Menyenangkan Allah, seperti menyenangkan pasangan hidup yang kita cintai, adalah memberikan kepada-Nya apa yang paling Dia sukai. Apa yang paling Dia sukai? Allah menyukai kekudusan hidup, kebenaran, keadilan, kejujuran, pertanggungjawaban, keberanian yang benar, kasih, pengendalian diri, dll. Sudahkah kita menjalankan apa yang paling Dia sukai? Ataukah kita kembali kepada standar kita yang “rohani” untuk menyenangkan Allah? Hari ini, kita bukan hanya berteori banyak tentang apa yang menyenangkan Allah, marilah kita saat ini juga melakukan apa yang menyenangkan hati Allah, karena itu bukti kita mau mempersembahkan hidup bagi Tuhan. Jangan pernah berpikir bahwa kita mau berkorban bagi Tuhan, tetapi untuk hal-hal yang menyenangkan Allah pun kita tidak pernah mau lakukan.

Ketiga, kehendak Allah itu adalah apa yang sempurna. Kata “sempurna” dalam bahasa Yunani teleios berarti penuh (full) atau komplit/lengkap (complete). Berarti, kehendak Allah itu adalah sesuatu yang penuh/ lengkap. Apa itu lengkap/penuh?
Lengkap/penuh menyangkut totalitas. Sempurna/lengkap/penuh tidak pernah parsial, tetapi menyeluruh. Dengan demikian, sempurna mutlak hanya bisa dikenakan kepada Allah dan firman-Nya saja, karena hanya Allah dan firman-Nya yang tidak bersalah dan menyeluruh. Adalah sungguh berbahagia jika sebagai umat-Nya, kita hidup di dalam firman Tuhan. Hidup di dalam firman Tuhan adalah hidup yang totalitas, yang tidak terpecah-pecah. Ketika firman Tuhan mengajar kita tentang ketaatan, marilah itu bukan menjadi bahan theologi yang kita gali, tetapi kita aplikasikan di dalam setiap hidup kita, baik pikiran, sikap hati, sifat, perkataan, dll, sehingga totalitas hidup kita makin memuliakan-Nya. Adalah suatu keanehan jika kita berbicara tentang hidup totalitas, tetapi kita masih memisahkan antara theologi dan spiritualitas serta praktika. Theologi, spiritualitas, dan praktika adalah hal yang saling berkaitan erat. Itulah totalitas hidup dan iman Kristen yang sehat dan bertanggungjawab. Tuhan mau hidup kita menyeluruh dan utuh, sehingga tidak ada bagian di mana iblis bisa menipu dan mengambil kemuliaan Allah di dalam hidup kita. Maukah kita hari ini menyerahkan totalitas hidup kita hanya kepada Tuhan sebagai persembahan hidup yang tulus?
Selain totalitas, lengkap/penuh menyangkut kekonsistenan. Ibadah sejati adalah ibadah yang konsisten dan setia kepada Tuhan. Tuhan tidak hanya menuntut totalitas, tetapi juga kekonsistenan. Percuma saja kita hidup totalitas kepada Tuhan, tetapi itu kita lakukan jarang-jarang, atau hanya dalam jangka waktu tertentu. Tuhan mau kita melakukannya secara konsisten. Konsisten berarti ada suatu proses yang sebenarnya menuju kepada pertumbuhan sampai sempurna. Di dalam hidup dan iman kita, kita dituntut untuk konsisten, makin lama makin bertumbuh dewasa secara rohani, tidak lagi seperti anak-anak yang mudah diombang-ambingkan oleh angin pengajaran yang tidak bertanggungjawab (Ef. 4:13-14). Tanda seorang anak Tuhan yang dewasa rohani adalah ia tidak kaget dengan segala ajaran yang tidak bertanggungjawab yang muncul, karena ia sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah dengan standar Alkitab. Ia memiliki tanda awas (alert) di dalam kerohanian dan imannya. Ia juga mau terus mengintrospeksi diri dan segera bertobat jika ia menjumpai kekurangan (dan dosa) yang ada pada dirinya yang tidak berkenan di hati Tuhan. Sedangkan orang-orang yang memiliki kerohanian seperti anak kecil (childish) adalah mereka yang mudah terkejut ketika ada ajaran aneh menyerang, bahkan tidak sedikit dari mereka yang terbujuk oleh rayuan ajaran aneh itu. Mengapa bisa demikian? Karena mereka tidak memiliki fondasi yang membentengi dan mendasari hidup kerohaniannya. Selain itu, orang yang tidak dewasa rohani selalu mengagungkan diri bersumbangsih/berjasa di dalam gereja/pelayanan, dll, dan tidak mau mengintrospeksi diri, apalagi bertobat. Mereka maunya orang lain menaati dia, sedangkan dia tidak mau menaati orang lain yang etikanya lebih agung. Hari ini, marilah kita tinggalkan sifat kekanak-kanakan rohani kita dan kembali menjadi orang Kristen dewasa rohani di dalam tahap pertumbuhan iman dan kerohanian kita. Lalu, bagaimana kita bisa memelihara kekonsistenan hidup dan iman kita tersebut? Kita bisa melakukannya dengan setia, dan kesetiaan kita bisa dimungkinkan ketika Roh Kudus memimpin kita terus-menerus melalui firman Allah, Alkitab. Kita dituntut untuk membaca dan mempelajari firman Allah tersebut sehingga kita makin mengenal kehendak Allah yaitu apa yang sempurna. Di sini, saya mengaitkan: firman Allah melalui pencerahan Roh Kudus memungkinkan kita mengenal kehendak Allah, dan ini memungkinkan kita setia kepada-Nya, dan kesetiaan ini mengakibatkan kita konsisten menguji dan menjalankan kehendak Allah di dalam hidup kita.


Setelah kita merenungkan ayat 2 ini, beranikah kita berkomitmen pada hari ini untuk mau mempersembahkan tubuh dan hidup kita kepada Tuhan sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan menyenangkan Allah dengan tidak mau dipengaruhi dunia, tetapi justru memengaruhi dunia melalui perubahan pola pikir kita, sehingga kita makin mengenal dan menguji kehendak Allah? Kiranya Tuhan menuntun kita di dalam proses pertumbuhan ini. Amin. Soli Deo Gloria.