14 December 2008

Matius 12:1-15: IMAN DAN HUKUM-2: Kristus Sebagai Hukum yg Hidup (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah : 8 Oktober 2006

Iman & Hukum-2: Kristus sebagai Hukum yang Hidup
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 12:1-15


Pendahuluan
Injil Matius khususnya pasal yang ke-12 membukakan pada kita akan supremasi Kristus; Kristus berotoritas mutlak atas segala sesuatu yang ada di dunia – Dia adalah Tuan dari semua yang dipertuan di dunia. Kristus adalah hukum yang hidup merupakan puncak dari pernyataan-Nya. Sebelumnya kita telah memahami bahwa perdebatan antara Kristus dan orang Yahudi ini bukan sekedar perdebatan tentang hukum Sabat tapi di dalamnya, Tuhan Yesus membukakan tentang perbedaan konsep hukum dunia dengan konsep hukum berdasarkan Firman Tuhan. Salib merupakan puncak dari keadilan dan hukum Tuhan; salib merupakan pertemuan antara keadilan dunia dan hukum Allah dimana pertemuan ini sangatlah kontras. Hal ini seharusnya menjadikan kita semakin memahami arti dari hukum dan keadilan dan bagaimana penerapan hukum yang sejati berdasarkan prinsip Firman Tuhan bukan berdasarkan pengertian dunia berdosa. Konsep keadilan dan hukum yang diajarkan dunia dilepaskan dari kebenaran sejati akibatnya kesejahteraan yang sangat diinginkan manusia itu tidak dapat tercapai. Tanpa keadilan yang sejati, kesejahteraan tidak akan pernah dirasakan oleh manusia. Pertanyaannya adalah keadilan seperti apakah yang dapat membuat hidup manusia sejahtera?
Orang Yahudi sangat ketat menjalankan keadilan dan hukum tapi toh itu tidak membuat hidup mereka bahagia dan sejahtera, hidup mereka justru hidup dalam ketegangan dan tekanan yang luar biasa. Hal ini disebabkan karena mereka salah memahami konsep keadilan dengan benar. Hukum haruslah kembali pada kebenaran sejati dimana kebenaran sejati itu hanya ada dalam satu pribadi, yaitu Kristus Yesus. Kebenaran sejati bukan sekedar teori atau rentetan hukum seperti yang dimengerti oleh dunia. Kristus adalah Sang Kebenaran itu, Ia menjalankan kebenaran dengan sempurna dan hal ini ditegaskan sendiri oleh-Nya: “Akulah jalan, dan kebenaran dan hidup“ (Yoh. 14:6). Dunia tidak suka dengan Kebenaran akibatnya dunia jatuh dalam dua ekstrim besar, yaitu: legalisme dan atinomianisme. Di satu sisi, orang begitu ketat menjalankan semua peraturan hukum yang berlaku, hidupnya tidak ubahnya seperti robot yang berjalan dengan berbagai aturan maka dapatlah dibayangkan, orang demikian ini hidupnya berada dalam ketegangan. Namun di sisi lain, orang yang hidup tanpa aturan hukum, hidupnya sangat liar. Orang menyadari legalisme maupun antinomianisme tidak membuat hidup menjadi lebih baik maka orang berpikir untuk menggabungkan keduanya; manusia ingin bebas tapi manusia juga butuh keadilan dan hukum. Namun toh namanya juga manusia berdosa maka dunia berdosa ingin mengadili orang lain dengan seadil-adilnya tetapi untuk diri sendiri, ia tidak suka dengan segala hal yang berbau aturan atau hukum.
Orang Yahudi sangat meninggikan hukum Sabat karenanya Tuhan Yesus perlu mengubahkan konsep berpikir mereka yang salah dan mengembalikannya pada hukum Taurat. Tuhan Yesus membukakan tentang Daud dan para pengikutnya yang tidak diperbolehkan makan roti sajian kecuali oleh para imam. Para imam yang bekerja pada hari Sabat dan melampaui batasan-batasan yang dibolehkan pada hari Sabat tetapi mereka tidak dianggap berdosa, lalu apa artinya hukum? Bagaimana mengerti Sabat? Tuhan Yesus menegaskan: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah (Mat. 12:7). Orang Farisi beranggapan bahwa orang yang melanggar hukum Sabat dianggap bersalah sedang bagi Tuhan Yesus, orang yang melanggar hukum Sabat tersebut tidaklah bersalah. Jelaslah bahwa perbedaan pandangan ini terletak pada konsep belas kasihan, mercy. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita merelasikan hukum dengan konsep belas kasihan?
Didalam perdebatan tersebut kita mendapati orang Yahudi menegur pada Tuhan Yesus tentang perbuatan para murid-murid-Nya yang memetik dan memakan bulir gandum pada hari Sabat? Sesungguhnya, orang Yahudi biasa melakukan hal tersebut tapi yang membuat mereka tidak dapat menerima perbuatan para murid Kristus adalah kenapa dilakukan pada hari Sabat. Artinya perbuatan memetik dan memakan bulir gandum itu diperbolehkan jika tidak dilakukan pada hari Sabat. Konsep hukum sejati telah dikunci oleh aturan-aturan yang mati akibatnya manusia menjadi mati di bawah aturan yang mati. Esensi hukum lepas dari Kristus sebagai kebenaran sejati. Keadilan dan kebenaran, righteousness tidak boleh dilepaskan dari kebenaran sejati, truth. Manusia tidak suka pada kebenaran sejati, manusia ingin menegakkan keadilan tanpa kebenaran lalu menjadikan hukum keadilan yang disusun oleh manusia. Manusia akhirnya terjebak dalam satu konsep bagaimana melaksanakan hukum berdasarkan jiwa berdosa. Hal inilah yang menyebabkan manusia tidak dapat melihat hukum dengan tepat. Pertanyaannya bagaimana kita melihat mercy sebagai dasar dari motivasi hukum? Dunia sulit melihat hubungan antara hukum keadilan dengan belas kasihan. Bagaimana menegakkan teori keadilan? Atas dasar apa kita menegakkan hukum dan keadilan?
Dunia mengajarkan bahwa hukum dan keadilan haruslah ditegakkan berdasarkan kebutuhan atau keinginan masyarakat. John Rolls menentang keras akan hal ini, ia melihat keadilan telah berubah menjadi alat untuk menekan yang minoritas; keadilan dipakai untuk kepentingan dan golongan tertentu. Di dunia modern ini jarang sekali ada orang yang memperjuangkan keadilan dengan motivasi murni karena memang ingin memperjuangkan hukum. Tidak! Orang biasanya menjadi peduli hukum ketika ia menjadi korban hukum. Hari ini, orang melihat ada orang lain di depan mata menjadi korban kejahatan pun orang tidak akan peduli. Inilah jiwa manusia berdosa. Keadilan yang diperjuangkan adalah keadilan yang dimotivasi dengan egoisme. Jadi, bagaimana mungkin orang dapat memahami belas kasihan dalam hukum? Karena itu, Kristus menegaskan hukum yang dipicu dengan jiwa egoisme akan menghasilkan pukulan balik yang menghancurkan diri sendiri. Dunia seringkali mengajarkan konsep keadilan yang salah, yakni mata ganti mata, gigi ganti gigi; pembalasan haruslah lebih kejam. Manusia telah gagal mengerti esensi hukum, manusia lebih suka mempermainkan hukum: menyatakan keadilan dengan menggunakan perisai keadilan tapi di belakang itu sesungguhnya ketidakadilanlah yang terjadi. Akibatnya perjuangan hukum di tengah dunia ini diperjuangkan dengan semangat egois demi untuk kepentingan diri dan golongan – hukum dibangun di atas jiwa egoisme. Dunia membangun hukum dengan prinsip survival of the fittest, siapa kuat dialah yang menguasai hukum. Tidak ada jiwa belas kasihan dalam hukum dunia.
Untuk mengerti hukum dengan benar maka kita harus kembali pada Firman, Kebenaran sejati, yaitu:
I. Hukum merupakan manifestasi dari hidup
Kekristenan menegakkan hukum karena Kekristenan ingin hidup, kehidupan itulah yang menjadi jiwa dari hukum. Jadi, ketika kita memperjuangkan hukum maka kita harusnya bertanya dalam diri kita: apakah hukum yang sedang kita perjuangkan tersebut membawa orang pada hidup ataukah malah membawa orang pada kebinasaan? Apakah didalamnya ada jiwa belas kasihan? Apakah kita sungguh memperjuangkan itu dengan motivasi murni dan bukannya demi untuk kepentingan pribadi? Hukum harusnya menangisi ketidakadilan, menangisi orang-orang yang telah mengalami kehancuran. Namun di dunia modern, jiwa belas kasihan ini telah hilang, manusia telah kehilangan hati nurani; tidak ada lagi air mata melihat orang sedang dalam kesulitan. Manusia dididik menjadi kejam bahkan lebih kejam dari binatang. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan jiwa Kekristenan, apakah kita mempunyai jiwa yang senantiasa memperjuangkan hukum dan keadilan sesuai yang Tuhan inginkan?
Hukum Taurat ditetapkan oleh Tuhan demi untuk manusia, yakni supaya manusia hidup sejahtera tetapi hukum telah bergeser menjadi sebuah aturan-aturan yang ketat dan tidak mempedulikan hidup. Bayangkan, bagaimana hidup tidak tegang kalau berjalan, mengangkat barang harus di atur, dan masih banyak lagi peraturan yang menjepit hidup manusia. Akibatnya manusia berubah menjadi seorang legalis dan tak ubahnya seperti sebuah robot-robot hidup yang tidak mengerti hidup itu sendiri. Manusia masuk dalam ekstrim yang lain, yakni manusia tidak mau diikat oleh hukum. Manusia pikir, tanpa hukum, hidupnya nikmat. Tidak! Manusia justru masuk dalam kehancuran. Hidup harus ada aturan dan tatanan supaya hidup kita dapat hidup secara benar. Hukum dibuat karena Dia mencintai manusia; Dia berbelas kasihan dan tidak ingin hidup manusia celaka. Cinta dan belas kasihan inilah yang menjadi motivasi hukum. Betapa indah hidup ini kalau setiap orang menjalankan hukum karena belas kasihan dan cinta. Sayangnya, hari ini dunia menjalankan hukum karena motivasi ingin menghukum, ingin balas dendam, semua untuk kepentingan diri. Kekristenan harus kembali pada kebenaran sejati dan kebenaran sejati adalah hidup sejati dan hidup sejati itu kita dapatkan ketika kita berpusat pada Kristus.
Ketika hukum Taurat diberikan, Tuhan ingin supaya hidup dijaga sedemikian rupa di dalam suatu kualitas hidup. Jiwa daripada hukum bukanlah hukum atau keadilan. Tidak! Jiwa daripada hukum adalah kehidupan – hukum haruslah mencapai hidup sejati tapi kalau hukum mulai mendestruksi dan menghancurkan harkat kehidupan maka dapatlah disimpulkan itu bukan hukum sejati. Kristus haruslah menjadi pusat, hukum yang hidup haruslah kembali pada Kebenaran yang hidup, Kebenaran yang berpribadi, the truth in person maka setiap orang yang menerapkan hukum Allah akan mempunyai hidup yang sangat agung.
II. Hukum merupakan manifestasi dari kesucian
“Yang Ku-kehendaki ialah belas kasihan...“ (Mat. 12:7) dalam hal ini Tuhan ingin manusia mencapai suatu kualitas hidup yang indah, jadi hidup bukan sekedar hidup. Tuhan ingin manusia menjadi mahkota ciptaan, crown of creation dengan hidup yang suci, mulia dan agung. Hukum yang sejati tidak menjadikan moral manusia semakin rusak, hukum yang sejati tidak mendegradasi kehidupan manusia menjadi semakin rendah. Tuhan ingin manusia menjadi manusia sejati karena itu dibutuhkan undang-undang dasar, manusia membutuhkan moral, etika dan hidup yang berkualitas. Manusia merupakan puncak ciptaan Tuhan yang dicipta dengan kesucian moral maka harus ada hukum yang menata: tidak boleh mencuri, tidak boleh membunuh, tidak boleh berzinah, dan masih banyak lagi hukum lain yang mengatur hidup manusia dimana didalamnya ada standar etika. Tuhan memberikan hukum supaya manusia mempunyai hidup yang berkualitas. Hukum yang didasari oleh Kebenaran sejati akan membangun moral dan harkat hidup manusia menjadi lebih berkualitas. Salib merupakan tempat pertemuan antara hukum Allah dan hukum dunia. Salib merupakan tempat demonstrasi kerusakan dan kebinasaan manusia dan demonstrasi keadilan Allah, Ia mengutus anak-Nya mati di kayu salib untuk membebaskan manusia berdosa dari jerat dosa. Penebusan Kristus merupakan manifestasi keadilan dan kesucian Allah supaya manusia dapat hidup suci maka untuk mengingat hal ini Tuhan menetapkan sakramen Perjamuan Kudus untuk kita lakukan. Orang yang mempermainkan Perjamuan Kudus akan dikutuk oleh Tuhan sampai pada kematian maka kalau kita menyadari hal ini janganlah kita mempermainkan Perjamuan Kudus. Ketika Kristus ditetapkan oleh Allah sebagai korban tebusan demi untuk memulihkan hubungan manusia dengan Allah yang terputus maka itu merupakan penerapan keadilan Allah dan semua itu didasari oleh rasa belas kasihan. Tuhan ingin manusia yang telah terpuruk itu untuk hidup dalam kesucian – hendaklah kamu kudus karena Tuhan Allahmu kudus adanya. Hal inilah yang Tuhan terapkan ketika ia menjalankan hukum-Nya. Pertanyaannya seberapa jauhkah ketika kita memikirkan tentang hukum dan keadilan, kita juga memikirkan tentang kesucian moral dan kualitas hidup didalamnya ataukah hukum justru menjadi kehancuran moral dan kerusakan etika? Biarlah sebagai orang Kristen kita memancarkan terang Kristus dimanapun kita berada kita harus menerapkan hukum dengan didasari oleh jiwa belas kasih, hukum haruslah membangun moral; ketika hukum ditegakkan didalamnya haruslah memancarkan kesucian dan menjadikan hidup seseorang itu agung dan mulia.
III. Hukum merupakan manifestasi dari cinta kasih
Di tengah dunia ini hukum telah kehilangan salah satu sisi yang harusnya menjadi basis kesetaraan yang bersifat paradoxical, yakni kasih dan keadilan. Hukum haruslah menegakkan cinta kasih dan keadilan secara bersama-sama akan tetapi dunia sulit untuk menjalankan kedua hal ini sebab didalamnya selalu dimotivasi dengan kebencian, balas dendam, dan kemarahan. Perhatikan, cinta kasih dan keadilan tidak dapat dipisahkan; orang yang penuh dengan cinta kasih adalah orang yang harus menjalankan keadilan. Memang, bukanlah hal yang mudah bagi kita untuk menjalankan cinta kasih dan keadilan dengan tepat secara bersamaan. Alkitab mengajarkan untuk mendidik seorang anak, kita harus menggunakan rotan tapi bagaimana membuat si anak tetap hormat dan sayang pada kita diperlukan suatu hikmat Tuhan? Ketika kita hendak marah pada anak, hendaklah kita mengevaluasi diri sebelumnya apakah memang ia layak mendapat hukuman karena ia bersalah ataukah karena kita yang merasa terganggu kenyamanan kita? Orang tua yang seharusnya menjadi wakil Allah telah gagal tapi lebih tepatnya, orang tua telah menjadi wakil setan. Ketika kenyamanan kita mulai terganggu dan amarah itu mulai datang maka itu waktunya kita untuk keluar ruangan dan memohon ampun pada Tuhan, hendaklah kita mengevaluasi diri, janganlah iblis yang bekerja dan menguasai hati dan pikiranmu. Kenapa kita tidak marah ketika anak memecahkan gelas yang harganya murah? Tapi kenapa kita menjadi sangat marah ketika anak memecah vas kristal yang harganya sangat mahal? Pertanyaannya dalam hal ini siapa yang berdosa?
Seorang anak kecil belum bisa membedakan sebuah nilai suatu barang maka orang tua kalau mau konsisten, seorang anak tetap harus dihukum karena kecerobohannya, yaitu memecahkan sebuah barang tidak peduli murah atau mahal harganya. Dengan demikian hukum dapat membangun dia untuk hidup lebih baik, mengerti moral dan etika hidup. Dan perhatikan, dengan semakin bertambahnya usia si anak, cara orang tua mendidik haruslah berbeda demikian juga dengan hukuman yang dikenakan padanya. Pdt. Stephen Tong menyatakan ketika orang tua hendak menghukum anak maka harus memperhatikan beberapa hal, yaitu: 1) ukuran, ketika kita memberi hukuman pada anak maka kita harus tahu ukuran yang tepat, tidak kurang atau lebih sebab kalau hukuman terlalu ringan maka si anak akan menyepelekan hukuman sebaliknya kalau hukuman terlalu berat maka si anak akan benci dengan keadilan. Mengukur dengan tepat ini dapat dilakukan setelah kita menetralisir, bukan karena diri kita yang terganggu tapi karena kita memang ingin benar-benar menegakkan keadilan, 2) tingkat kesalahan yang dilakukan dan si anak pun juga harus tahu kesalahannya. Tuhan tidak langsung menghukum orang yang tidak tahu kesalahannya; Tuhan mengatakan pada perempuan yang berzinah untuk pergi dan jangan berbuat dosa lagi. Hal ini dikatakan supaya ia tahu seberapa hukuman yang harus ditimpakan atas dirinya dengan kesadaran itu, ia menyadari bahwa hukuman itulah yang harus diterima, 3) cinta kasih, ketika hukuman dijalankan hukuman maka pada saat yang sama harus ada cinta kasih. Orang tua yang baik akan merasa sangat sedih, karena ketika menghukum anaknya karena itu seperti menghukum dirinya sendiri; kesakitan yang dirasakan si anak turut pula dirasakan si orang tua.
Inilah yang dinamakan menghukum dengan cinta kasih. Si anak dapat merasakan kalau orang tua menghukum bukan karena tidak sayang tapi justru sebaliknya karena orang tua sangat sayang pada dirinya maka si anak akan mempunyai kehidupan moral yang sangat baik. Demikian halnya dengan Tuhan, Dia menghukum manusia bukan karena Tuhan benci pada manusia. Tidak! Tuhan ingin kehidupan manusia dibangunkan dan mempunyai hidup yang berkualitas. Salib merupakan manifestasi keadilan dan cinta kasih Allah. Marilah kita belajar keadilan dan hukum seperti yang Tuhan ajarkan dengan demikian dunia dapat melihat keadilan diterapkan dalam seluruh kehidupan kita menjadikan kehidupan semakin berkualitas. Orang berdosa harus dihukum tapi karena kasih-Nya, Kristus rela menyerahkan diri-Nya untuk menjadi tebusan dan menggantikan hukuman kita supaya kita dilepaskan dari kuasa dosa. Kuasa kebangkitan Kristus memungkinkan orang berdosa untuk hidup dan dibangunkan dalam iman, kesucian dan kebenaran untuk kita menjadi serupa Kristus. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)



Sumber:
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2006/20061008.htm

No comments: