24 May 2008

Bagian 3: Problematika Multi-Level Marketing

3. PROBLEMATIKA MULTI-LEVEL MARKETING


Nats: 2Tim. 3:1-2; 1Tim. 6:9-10; Luk. 16:1-9



Latar Belakang Permasalahan
Dengan berbagai krisis yang ada, manusia dituntut untuk semakin kreatif di dalam mencari peluang, khususnya di dalam usaha untuk mencari keuntungan dan pola-pola bisnis yang “menjanjikan.” Sekitar tahun 1950-an, Jay Van Dalen dan Rich De Vos, memulai suatu bisnis yang menggunakan tenaga lepas untuk pemasaran mereka. Idenya adalah menyerahkan tugas pemasaran kepada pribadi-pribadi dengan kebebasan yang lebih besar. Hal itu merupakan penglaaman mereka sendiri sebagai distributor lepas vitamin “Nutrilite.” Berdirilah Amway International. Di sini­lah dimulainya pola bisnis marak yang sekarang dikenal dengan Multi-Level Marketing.
[1]


Ide Multi-Level Marketing
1. Kapitalisme (atau: Perekonomian Bebas)
Sistem MLM berdiri di atas pemahaman dasar Kapitalisme. Dan format yang dipakai justru adalah format ekonomi bebas. Bahkan pen­diri Amway, yaitu Rich De Vos mengidentikkan kapitalisme de­ngan perekonomian bebas, dan sekaligus menekankan bahwa itulah kredo dari bisnisnya, yaitu pola MLM ini.
[2] Dengan format ini, De Vos menganjurkan agar kita bisa menikmati keuntungan yang sebesar-besarnya. Sukses hidup ditentukan dengan pemupukan materi sebesar-besarnya. Dan dari kepuasan secara finansial ini, akan dicapai pula kepuasan secara spiritual dan psikologis. Format ini merupakan format Materialisme yang dipertuhankan.

2. Prinsip Bisnis Materialisme Liberal
Bagi De Vos, baiknya pekerjaan ditentukan dengan variable, apakah pekerjaan itu bisa membawa manusia ke arah kebebasan, imbalan, pengakuan dan harapan. Dan kita harus meninggalkan semua peker­jaan yang tidak bisa menjanjikan hal itu. Melalui konsep inilah Com­pas­sionate Capitalism dibangun. Itu berarti konsep kapitalisme de­ngan kepedulian sosial, pada hakekatnya adalah penunggangan ma­nu­sia menjadi obyek dari kepuasan materialisme, yang diyakini bisa mem­berikan kepuasan spiritual dan psikologis. Dengan cara me­nung­gangi kepedulian sosial, yang dikejar sebenarnya adalah kenik­matan diri. Itu berarti pola ini merupakan pola yang sangat bersifat manipulatif. Kebajikan yang dilakukan sebenarnya hanyalah demi un­tuk mencapai keuntungan diri sendiri. Kalau kebajikan itu pada akhir­nya merugikan diri, maka konsekwensinya kita harus me­ning­galkan kebajikan tersebut. Di sini kebajikan bukan lagi seba­gai kebajikan, tetapi justru menjadi alat untuk egoisme. Bagaikan sese­orang yang merasa puas dan hilang rasa bersalah dirinya se­te­lah memberikan sedekah kepada orang miskin.


Pertimbangan-pertimbangan MLM:
1. Polanya
1.1. Menjual barang/produk dengan sistem MLM
Kita melihat MLM sebagai salah satu cara marketing, di ma­na kita berusaha menjual barang bukan dengan cara dis­tri­bu­si konvensional, tetapi menggunakan cara man-to-man yang lebih intensif. Di dalam pola ini, kita melihat bahwa cara penjualan dengan sistem bertingkat dikerjakan secara lebih intensif. Namun, di dalamnya ada beberapa sifat yang harus diperhatikan, karena akan memberikan kemungkinan sulit dikontrolnya pola ini.
1.2. Menjual sistem MLM itu sendiri
Yang kedua adalah menjual sistem itu sendiri, baik dengan produk semu, ataupun tanpa produk sama sekali. Dalam ka­sus ini, MLM sudah disalahgunakan, dan murni menjadi alat materialisme, di mana akan mengorbankan pihak-pihak ter­tentu, walaupun kemungkinan pihak tersebut tidak me­nya­dari­nya. Di sini sudah terjadi sifat penipuan ter­selubung demi untuk mencari keuntungan secara tidak benar. Hal ini mirip dengan pola konvensional yang mele­wati batasan etis bisnis yang benar. Cara-cara ini mirip dengan pola lintah darat atau berbagai pola bisnis modern seperti monopoli dll. di mana ide materialisme digarap secara maksimal. Jelas dalam hal seperti ini, setiap anggota akan diarahkan untuk murni materialis dan egois dan bertentangan dengan iman Kristen.

2. Motivasinya
1.1. Menjalankan pekerjaan yang berkenan kepada Allah
Motivasi bekerja yang benar adalah menjalankan pekerjaan yang berkenan kepada Allah, sehingga kita bisa mem­per­oleh nafkah yang secukupnya bagi kehidupan kita.
1.2. Menjalankan pekerjaan yang mengeruk keuntungan sebe­sar­nya dengan segala cara.
Motivasi dasar MLM adalah kapitalisme. Ini yang harus diperangi oleh orang Kristen. Sama seperti orang Kristen harus memerangi lintah darat, para pelaku monopoli, kolusi untuk mendapatkan keuntungan dan fasilitas khusus, maka orang Kristen juga harus memerangi semua bentuk bisnis yang demi keuntungan uang semua cara dihalalkan. Seluruh motivasinya hanyalah mencari uang, tidak peduli dengan cara apapun, atau lebih tepat, kalau bisa dengan cara yang seringan mungkin dan secepat mungkin. Oleh karena itu, iming-iming MLM adalah selalu “Posisi Puncak” atau “Go Diamond.” Padahal jelas hal itu tidak mudah dicapai dan hanya bisa dicapai oleh segelintir orang, sama seperti tidak semua orang bisa naik sampai ketingkat manager atau direktur.

3. Caranya
1.1. Memperkembangkan pelayanan dan etika kerja Kristen yang benar.
Cara kerja Kristen yang benar adalah cara kerja yang menyatakan kesaksian anak Tuhan dan menjalankan prinsip etika yang sesuai dengan etika Alkitab. Jelas prinsip kapitalis-materialis tidak diperkenankan dalam masalah ini. Bahkan Alkitab secara tegas menyatakan bahwa cinta akan uang akan menjadi akar dari semua kejahatan.
1.2. Memanipulasi sistem dan orang untuk mencapai keuntungan sendiri..
Dorongan MLM adalah usaha untuk memanipulasi orang seaktif mungkin dengan berbagai motivasi materialisme dan positif-thinking untuk menjadi alat ekonomis bagi kita.
Bekerja bukan sekadar melakukan sesuatu dan mendapat­kan imbalan uang. Kalau memang demikian, maka pe­la­cur­pun harus dibenarkan. Sejauh ia bekerja dan menghasilkan uang. Tetapi etika Kristen mengharamkan hal itu, karena pekerjaan bukan dilihat dari segi keuangan, atau dapatnya keuntungan, tetapi dari caranya juga, yang sesuai dengan etika dan tidak melakukan manipulasi terhadap orang lain.


Tinjauan terhadap MLM:
1. Harus dikembalikan kepada prinsip Alkitab
Itu berarti semua jenis bisnis (termasuk MLM) harus dikembalikan kepada kebenaran dan etika Alkitab. Alkitab menegaskan bahwa tidak ada bisnis yang boleh dilakukan dengan jalan pintas. Seluruh bisnis bukanlah menjalankan prinsip ekonomi dunia, yaitu dengan mo­dal sekecil mungkin mencari keuntungan sebesar mungkin. Ga­gas­an seperti itu menjadikan seluruh semangat dan roh ekonomi ada­lah pencarian keuntungan yang sebesar-besarnya. Padahal eko­no­mi bukanlah demikian (seperti telah dibahas dalam sessi sebe­lumnya).

2. Motivasinya harus dimurnikan
Motivasi yang salah ialah yang bersifat: New Age (manipulative-mys­tical), Positive-thinking, Money-oriented, Indoktrinasi secara sepi­hak (menunjukkan hanya kesuksesan saja dan tidak yang negatif). Banyak orang yang menjalankan MLM dengan motivasi mencari kenikmatan kerja, yaitu dengan kerja yang sebebas-bebasnya dan seringan mungkin, tetapi mendapatkan penghasilan yang sebanyak mungkin.

3. Etikanya harus dibereskan
Salah satu kelemahan MLM adalah ide kapitalisme yang sudah sedemikian mendarah-daging di dalamnya. Jika motivasinya adalah uang, maka seluruh etika menjadi sulit dibereskan. Kecuali kembali­nya bisnis kepada prinsip kebenaran firman, barulah etika bisa di­mur­nikan kembali. Banyak MLM yang melakukan berbagai peni­puan, dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang terselubung, sehingga sifat-sifat aslinya tertutupi. Banyak pula sistem bisnis berantai yang merugikan elemen atau level yang paling bawah (dan mereka selalu menyanggah bahwa tidak adanya level yang dibawah tersebut).

4. Peraturan yang ditegakkan
Bisnis MLM menjadi rumit karena tidak adanya hukum dan aturan yang bisa diseragamkan dan diuji. Setiap orang bergerak dengan lebih bebas. Dan memang bisnis ini merupakan produk dari semangat post-modern yang anti hukum, anti aturan. Semangatnya adalah liberalisme. Keinginan bebas dari segala aturan, yang membuat kita bisa lebih “semaunya.” Padahal hal itulah yang secara global membuat pengaturan dunia usaha semakin sulit untuk dikontrol dan dibatasi.




Diedit oleh: Denny Teguh Sutandio.




Profil Pdt. Sutjipto Subeno :
Pdt. Sutjipto Subeno, S.Th., M.Div. dilahirkan di Jakarta pada tahun 1959. Beliau menyerahkan diri untuk menjadi hamba Tuhan ketika sedang kuliah di Fakultas Teknik Elektro Universitas Trisakti Jakarta. Menyelesaikan studi Sarjana Theologia (S.Th.)-nya di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia di Jakarta tahun 1995 dan tahun 1996 menyeleselaikan gelar Master of Divinity (M.Div.)-nya di sekolah yang sama.
Setelah pelayanan di Malang dan Madura, sejak tahun 1990 beliau bergabung dengan Kantor Nasional Lembaga Reformed Injili Indonesia di Jakarta. Beliau melayani di bidang literatur yang meliputi penerjemahan dan penerbitan buku-buku theologi. Selain itu beliau juga mengelola Literatur Kristen Momentum di Jl. Tanah Abang III/1 (sejak tahun 1993) dan di Jl. Cideng Timur 5A-5B (sejak tahun 1995).
Beliau ditahbiskan sebagai pendeta pada Mei 1996 dan mulai Juni 1996 menjadi gembala sidang Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya. Selain sebagai gembala sidang, saat ini beliau juga sebagai direktur operasional dari penerbitan dan jaringan toko buku Momentum dan direktur International Reformed Evangelical Correspondence Study (IRECS), sebuah sekolah theologi korespondensi untuk awam berbahasa Indonesia dengan jangkauan secara internasional. Selain itu beliau adalah dosen terbang di Sekolah Theologi Reformed Injili (STRI) Jakarta dan Institut Reformed di Jakarta. Beliau juga adalah co-founder dari Yayasan Pendidikan Reformed Injili LOGOS (LOGOS Reformed Evangelical Education) dan pengkhotbah KKR yang dinamis: KKR Pemuda 2007, KKR Banjarmasin, KKR Jember, dll.
Beliau juga banyak melayani khotbah dan seminar di berbagai gereja, persekutuan kampus, dan persekutuan kantor, baik di dalam negeri maupun di luar negeri; seperti Yogyakarta, Palembang, Batam, Singapura, Australia, dan Eropa (Jerman dan Belanda).
Beliau menikah dengan Ev. Susiana Jacob Subeno, B.Th. dan dikaruniai dua orang anak bernama Samantha Subeno (1994) dan Sebastian Subeno (1998).


[1] Source dari http://www.amway.com/ sebagai official sites dari Amway.
[2] Kredo 6 dalam Rich De Vos, Compassionate Capitalism, Jakarta: Gramedia, 1995. Buku ini diberi pujian oleh Pdt. Robert Schuler, seorang Positive Thinkers yang mema­sar­kan pola Materialisme yang sangat berbahaya bagi Kekristenan, dengan bukunya Possibility Thinking (Berpikir Kemungkinan).

Bagian 2: Alkitab dan Tinjauan Sistem Ekonomi

2. ALKITAB DAN TINJAUAN SISTEM EKONOMI


Nats: 2Tim. 3:1-2; 1Tim. 6:9-10; Luk. 16:1-9


Latar Belakang Permasalahan
Prinsip ekonomi dunia telah berusaha menggeser pengertian ekonomi yang sesungguhnya. Bukan saja demikian, bahkan dunia ekonomi sekarang telah berusaha keras untuk menggeser semua bidang lainnya. Ekonomi merupakan bidang yang dianggap paling berkuasa dan paling ampuh di dunia. Ekonomi menjadi andalan dan penentu mati-hidupnya manusia.
Berbekal format materialis-humanis ekonomi berkembang men­jadi satu format penentu dunia. Bahkan sekarang ekonomi jauh lebih ditakuti ketimbang senapan atau rudal. Ancaman eko­nomi dirasakan sebagai ancaman yang jauh lebih mematikan.
Di dalam keadaan seperti ini, maka dunia berubah menjadi dunia yang berpusat pada ekonomi. Dunia berjuang untuk mencari kelebihan material dan mengejar keuntungan. Seluruh dunia dinilai dari ukuran ekonominya. Itulah penentu kesuksesan dunia.

Iman Kristen dan Ekonomi
Lebih celaka lagi ketika Kekristenanpun tercemar dengan ide materialisme seperti ini. Sekalipun Alkitab berulang kali membi­ca­rakan tentang bahayanya berpusat pada uang dan mengejar uang, tetapi banyak orang Kristen yang masih sulit untuk melepaskan diri dari opini dunia ini.
Semakin canggih dan banyaknya teori ekonomi, dan semakin di­pa­sarkan secara luasnya prinsip materialisme dan marketing, ma­ka dunia Kekristenan menghadapi ancaman serius dari indok­trinasi materialisme yang berusaha masuk ke dalam gereja.
Ditambah lagi dengan fakta banyaknya pemimpin-pemimpin gereja sendiri yang memang “money-oriented” karena memang itulah yang menjadi basis pemilihannya. Banyak pemilihan majelis ditentukan oleh tingkat kekayaannya. Banyak pendeta yang sibuk mengkhotbahkan perpuluhan untuk menggendutkan perutnya dst. Semua format ini menjadikan gereja semakin sekuler dan materialis. Tidak heran, akibatnya, gerejapun akan berpusat pada ekonomi.


Definisi Ekonomi
Pada umumnya dunia mengerti ekonomi sebagai suatu tindakan yang dimotori oleh kebutuhan. Jadi di dalamnya ditekankan adanya tiga unsur penting, yaitu: produksi, konsumsi dan per­tu­karan. Kalau ketiga unsur ini terjadi, di situ sudah terjadi ekonomi.

Alfred Marshall: Ilmu ekonomi adalah suatu studi tentang umat manusia dalam kehidupannya sehari-hari.

Richard G. Lipsey dll.
[1]: Ilmu ekonomi adalah suatu studi tentang pemanfaatan sumber daya yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tak terbatas.

Alkitab: Ilmu ekonomi adalah studi tentang bagaimana mendaya­gu­na­kan semua yang Tuhan percayakan kepada manusia untuk bisa mempermuliakan Allah. (Kej. 2:15; Mat. 25:14-30; Kol. 3:23).

Singkatnya: Ekonomi berasal dari kata “oikos” (rumah) dan “no­mos” (aturan), yang secara utuh berarti, mengatur rumah tangga. Ekonomi adalah tugas penatalayanan (stewardship).


Perbedaan dasar prinsip Ekonomi Alkitab dan Dunia
1. Orientasi pada Allah.
Ekonomi Alkitab mengajarkan prinsip yang sangat jelas, yaitu seluruh alam semesta dan isinya adalah milik Allah yang perlu dikelola dan dipertanggungja­wab­kan bagi kemuliaan Allah. Semua perilaku ekonomi harus dikembalikan pada kehendak Allah. Tidak ada perilaku ekonomi yang beres, yang keluar dari rencana Allah. Sebaliknya, dunia justru mengajar untuk melakukan tindakan ekonomi tanpa mempedulikan Allah, atau yang lebih parah lagi justru menunggangi atau menjadikan Allah sebagai alat eko­no­mi (agregat produksi).
[2] Di sini manusia yang menjadi pusat dan kebutuhan manusia yang menjadi intinya. Maka dalam format dunia, ekonomi menjadi suatu bidang studi yang sangat humanistis dan materialistis.

2. Intinya pertanggungjawaban.
Ekonomi Alkitab mengajarkan prinsip pertanggungjawaban pengelolaan yang manusia laku­kan terhadap alam kepada Allah. Manusia tidak boleh menggarap alam semena-mena untuk dirinya atau golong­an­nya sendiri, karena bukan manusia yang memiliki semua itu. Dengan mempertanggungjawabkan semua ekonomi seturut perintah Allah, maka kesejahteraan manusia bisa dijaga. Untuk itu, Alkitab merupakan basis studi ekonomi, bukannya semang­at materialisme dan tuntutan kebutuhan manusia. Sebaliknya, di dalam sistem ekonomi dunia, pertanggungjawaban kepada Allah sama sekali tidak pernah diperhitungkan. Akibatnya, manusia hanya menjadi pelaku-pelaku ekonomi yang buas dan hanya mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Tidak heran, dunia menjadi anjang pengrusakan akibat terjadinya ketidak­seimbangan pola ekonomi dunia. Di mana pertanggung­jawab­an global tidak ditekankan, maka dunia akan semakin rentan menjadi rusak.

3. Penekanan pola ekonomi spiritual.
Ekonomi Alkitab menekan­kan bahwa seluruh perilaku ekonomi merupakan keseim­bangan antara aspek rohani dan jasmani, bahkan menyangkut seluruh bagian kehidupan manusia, yang bisa memper­mu­lia­kan Allah. Tetapi di dalam ekonomi dunia, seperti telah terlihat di atas, jelas orientasi hanya pada aspek materi dan meng­abai­kan aspek rohani sama sekali. Ekonomi seolah-olah men­jadi bidang yang split atau terpisah dari dunia rohani, bahkan ada kecenderungan dikontraskan satu dari yang lain. Melalui perumpamaan bendahara yang tidak jujur, Alkitab mau menyatakan bahwa materi harus bisa dipakai sebagai alat rohani. Hanya dengan cara itu barulah seluruh keseimbangan bisa dicapai. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kita harus mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya terlebih dahulu, barulah semua hal lainnya akan ditambahkan kepada kita. Dalam aspek ini, Alkitab sama sekali tidak mengajarkan bahwa kita harus anti materi dan hanya mempedulikan aspek rohani saja. Tetapi kita harus menjaga keseimbangan, di mana aspek rohani menjadi bagian penting yang tidak bisa dilepaskan dari aspek materi di dalam ilmu ekonomi. Dengan demikian kita baru bisa menjadi penatalayan ekonomi yang baik.


Variabel Ekonomi
Sebagai anak Tuhan, kita harus melihat ekonomi secara berbeda. Ada variabel-variabel yang harus kita perhitungkan dan sangat me­nen­tukan di dalam pola dan perilaku ekonomi kita.
1. Ketaatan
Sebagai seorang penatalayan harta Allah, maka kun­ci pertama yang harus kita perhitungkan adalah sejauh ma­na ketaatan kita di dalam menjalankan tugas ini kepada Allah. Pelaku ekonomi yang tidak mau taat kepada Allah, pasti tidak akan pernah menikmati kehidupan ekonominya dengan baik, karena di situlah kunci seluruh tugas ekonomi. Di dalam Mat. 25, Tuhan Yesus memberikan hukuman keras kepada orang yang tidak mau enjalankan tugasnya.

2. Kejujuran dan Integritas
Hal kedua yang justru menjadi prin­sip ekonomi adalah kejujuran dan integritas di dalam menjadi penatalayan Allah. Tidak ada cara lain yang bisa membuat ilmu ekonomi bisa berjalan dengan baik kecuali melalui sistem yang jujur dan terintegritas baik. Di mana terdapat ketidakjujuran, maka seluruh penatalayanan akan kehilangan arah dan keseimbangannya. Pasti akan terjadi kerusakan di mana-mana. Dan ilmu ekonomi yang sejati adalah ekonomi yang disoroti oleh Allah pemilik alam semesta, yang menuntut kejujuran dan integritas dari setiap orang yang diberi-Nya hak untuk mengelola alam milik-Nya.

3. Kebajikan
Motivasi dasar Allah di dalam memberikan semua alam semesta ini kepada manusia adalah agar manusia bisa hidup bahagia dan sejahtera. Inilah kebajikan Allah yang dinyatakan kepada manusia. Oleh karena itu, manusia harus juga menjalankan prinsip kebajikan di dalam melakukan ilmu ekonomi. Ketika ekonomi sudah kehilangan sifat manusiawi­nya, ekonomi akan menjadi suatu perilaku yang kejam sekali. Barulah belakangan ini orang-orang mulai semakin menyadari bahwa ekonomi telah tidak lagi memanusiakan manusia, bah­kan ada ide bahwa manusia adalah makhluk ekonomis. Ar­ti­nya, manusia hanya dinilai berdasarkan aspek ekonomi. Ma­nu­sia bukan di atas ekonomi, tetapi manusia justru sudah men­jadi komoditi ekonomi. Dari sini timbul banyak sekali ma­salah yang menyengsarakan manusia.

4. Etika Ekonomi Kristen
Bagi Alkitab, ekonomi harus menjadi alat bagi kemuliaan Tuhan. Oleh karena itu, etika ekonomi ha­rus sejalan dengan etika Kristen. Dalam kasus ini, etika eko­nomi tidak bisa didualismekan dengan etika Kristen. Salahlah pan­dangan bahwa etika ekonomi tidak bisa dan tidak mung­kin bisa sejalan dengan etika Kristen, karena di dalam eko­nomi ada kaidah-kaidah yang harus bertentangan dengan iman Kris­ten. Misalnya, di dalam ekonomi ditekankan hukum “de­mand and supply” (permintaan dan penyediaan). Jika penye­diaan sedikit dan permintaan banyak, maka harga akan naik. Aki­bat­nya, seringkali suatu produk alam dibuang atau dimus­nahkan de­­mi untuk menaikkan harga barang (mem­per­se­dikit per­se­dia­an), padahal begitu banyak orang yang kela­paran dan mem­bu­tuh­kan bahan tersebut. Di sini, etika ekonomi harus dikem­ba­li­kan kepada kebenaran Alkitab, atau ekonomi hanya menjadi alat sebagian orang. Ini terjadi baik di dalam ekonomi sistem kapitalis ataupun sistem sosialis. Baik di dalam pola per­da­gang­an bebas, ataupun dalam sistem ekonomi terkontrol. Tidak pernah ekonomi memperjuangkan kesejahteraan masyarakat luas, tetapi hanya menyejahterakan segolongan tertentu manusia, entah yang beruang atau berkekuasaan.

Kesimpulan dan Penutup
Prinsip ekonomi dunia harus dikembalikan kepada jalur kebenaran Alkitab, karena tanpa itu, tidak ada kemungkinan ekonomi dunia akan membereskan seluruh kehidupan manusia dan membawa manusia kepada kesejahteraan yang sejati.
Prinsip ekonomi harus ditundukkan di bawah kebenaran fir­man Tuhan, karena seluruh basis ekonomi sebenarnya bergerak di dalam dunia milik Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan kepa­da Tuhan. Oleh karena itu, pengelolaannya harus sesuai de­ngan ke­hen­dak Tuhan.
Prinsip ekonomi harus berada di bawah etika firman. Tidak a­da dualisme antara bidang ekonomi dan pengenalan firman, antara etika Kristen dan etika ekonomi. Seorang Kristen yang Tuhan letakkan di dunia ekonomi harus berjuang keras untuk men­ja­lan­kan panggilannya menyatakan kebenaran di dunia eko­nomi. Kita perlu jelas akan panggilan Tuhan ini. Kita bukan anak-anak setan di dunia ekonomi yang tunduk kepada aturan dan kehendak setan dan sifat kedagingan yang penuh nafsu. Oleh karena itu, kebe­nar­an Allah harus dinyatakan secara serius.
[1] Richard G. Lipsey, Douglas D. Purvis, Peter O. Steiner dan Paul N. Courant. Pengantar Mikroekonomi, Jakarta: Binarupa Aksara, 1991 (originally published: Economics, Harper and Row, 1990), hal. 5).
[2] Agregat adalah aspek-aspek yang mempengaruhi suatu perkembangan atau variable yang harus diperhitungkan di dalam penentuan kebijakan ekonomi.

Bagian 1: Uang dan Firman

Christianity and Business

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.




1. UANG DAN FIRMAN


Nats: 2Tim. 3:1-2; 1Tim. 6:9-10; Luk. 16:1-9


Referensi:
Hal Pengumpulan Harta (Mat 6:19-24)
Orang Muda yang kaya (Mat 19:16-26; Mrk 10:17-27; Luk 18:18-27)
Orang kaya yang bodoh (Luk 12:13-21)
Persembahan Janda miskin (Mrk 12:41-44; Luk 21:1-4)
Orang kaya dan Lazarus (Luk 16:19-31)


Latar Belakang Permasalahan
Kehidupan manusia modern semakin hari semakin tidak bisa terlepas dari kebutuhan akan uang. Apalagi setelah penegasan dari Abraham Maslow bahwa kebahagiaan manusia sangat ditentukan oleh kebutuhannya. Dan kebutuhan yang paling mendasar adalah ke­butuhan akan makanan dan minuman.


Prinsip Alkitab tentang Uang
1. Uang itu berbahaya
Satu terobosan konsep yang Alkitab bukakan kepada kita ada­lah bahwa uang merupakan hal yang sangat berbahaya. Al­ki­tab memperingatkan kita bahwa cinta uang merupakan akar da­ri segala kejahatan. Uang menyebabkan manusia ter­lepas dari kehendak Tuhan.
Konsep ini sebenarnya secara hakekat dan di dalam lubuk hati banyak orang, sudah disadari dan dimengerti. Tetapi tekanan konsep materialisme membuat banyak sekali orang yang sulit sekali melepaskan diri dari pola nilai materialisme ini sendiri.
Cara menangani uang haruslah dengan sangat konseptual. Dengan sadarnya kita akan tantangan-tantangan berat yang harus kita hadapi di dalam masalah uang, maka kita harus betul-betul serius dalam menanggapi permasalahan ini. Se­ring­kali kita menyikapinya dengan sangat pragmatis, dan beranggapan bahwa tokh semua orang yang bersikap seperti itu. Pemikiran ini justru mendatangkan banyak korban yang dahsyat. Banyak orang yang hidupnya menjadi budak uang. Ia bahkan tidak lagi mengerti mengapa ia mengejar uang, dan ia tidak mendapatkan hasil apa-apa dari tindakannya itu. Seluruh hidupnya dikorbankan, keluarganya dikorbankan, tetapi ia sendiri tetap tidak sadar, dan beranggapan itulah cara ia menolong dan menopang seluruh kehidupan dan keluarganya. Bahkan jika akhirnya ia tertipu atau bangkrut, tidak segan-segan ia menghabisi nyawanya sendiri karena tidak tahan menghadapi tekanan. Betapa malang manusia materialis.
Dengan kekayaan dan kemuliaan dunia Iblis mencoba merun­tuhkan Tuhan Yesus ketika berada di pencobaan di padang gurun. Setan tahu sekali bagaimana harus menjebak Tuhan Yesus dan ia menggunakan senjata pamungkas yang paling ampuh, yang biasanya pasti dapat meruntuhkan iman yang sekuat apapun. Tawarannya pun tidak tanggung-tanggung, karena ia sedang berhadapan dengan oknum yang luar biasa kuat. Tetapi tokh akhirnya setan tidak mampu meruntuhkan Tuhan Yesus. Bagaimana dengan kita?
Hanya anak-anak Tuhan yang bisa menjadi orang kaya sejati. Artinya, ia betul-betul menyadari bahayanya uang dan keka­yaan materi, sehingga tidak memperkenankan dirinya dikuasai atau dikondisikan oleh uang atau kekayaannya. Orang Kristen sejati adalah orang-orang yang tidak pernah membiarkan uang meracuni dan menghancurkan diri dan imannya.

2. Uang perlu ditaklukkan
Alkitab mengatakan bahwa tidak mungkin seorang mengabdi kepada Tuhan dan sekaligus Mamon. Mamon adalah nama Dewa Uang. Gambaran ini diberikan untuk melambangkan bahwa uang cenderung akan menjadi tu­an. Melalui perkataan ini, Tuhan Yesus ingin menegaskan bahwa uang tidak boleh menjadi tuan kita. Jika Tuhan kita adalah Allah, maka Mamon harus menjadi budak kita. Inilah ordo yang tepat. Uang harus dipergunakan untuk melayani Allah, dan bukan Allah untuk me­layani uang.
Di dalam kehidupan modern, maka banyak konsep agama yang sudah di-materialisme-kan. Agama adalah sarana untuk men­capai tujuan akhir yang kekayaan, yang dipercaya seba­gai sumber kebahagiaan manusia. Akibatnya, ketika kita “menyembah” Allah, sebenarnya kita sedang menyembah uang kita. Allah yang kita sembah haruslah Allah yang bisa memenuhi permintaan uang kita. Konsep ini jelas di dalam konsep “jin seribu satu malam.” Juga di dalam Kekristenan-pun pola ini juga muncul. Akibatnya, ketika beragama, ia bukan menjadi manusia religius yang sejati, tetapi manusia yang mereligiuskan materi. Inilah kejahatan mendasar akan dosa manusia (Rom 1:21-23).
Anak-anak Tuhan diberi kekuatan oleh Tuhan untuk kita hanya mentuhankan Allah. Hanya kepada Allah kita harus menundukkan diri dan menjadi budak. Kalau kita tidak mau menjadi budak Allah, tidaklah heran kita segera akan menjadi budak setan dan menjadi budak materi. Oleh karena itu, Alkitab memberikan peringatan yang tegas kepada kita.

3. Uang merupakan sarana bukan tujuan
Melalui perumpamaan bendahara yang tidak jujur, Alkitab mem­bukakan suatu kebenaran kepada kita, yaitu bahwa uang bukanlah tujuan bagi hidup manusia, tetapi uang hanya meru­pakan sarana untuk mencapai kemuliaan yang lebih tinggi.
Kesalahan fatal manusia adalah karena menjadikan uang se­ba­gai tujuan terakhir bagi hidup manusia.
Uang bagi orang Kristen bukan sesuatu yang perlu dibenci dan kita bertindak ekstrem dengan mengatakan kita tidak memerlukan uang, dan orang Kristen adalah orang yang anti uang. Alkitab menegaskan bahwa uang hanyalah suatu sarana untuk menuju sasaran yang jelas, yaitu demi menjalankan kehendak Allah.
Maka dari konsep di atas, terdapat kaitan yang erat sekali antara uang dan ketaatan kepada Allah. Penggunaan uang yang tidak sesuai dengan ketaatan pada Allah tidak akan mempermuliakan Allah. Hanya penggunaan uang yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah, barulah uang itu akan menjadi sarana yang baik.


Penggunaan uang di dalam ketaatan
A. Kesalahan konsep tentang uang
1. Uang itu netral
2. Uang sumber kebahagiaan
3. Tidak bisa hidup tanpa uang

B. Konsep uang yang benar
1. Seluruh harta berasal dari Tuhan
2. Melepaskan diri dari ikatan materialisme
3. Uang menjadi budak pekerjaan Tuhan


Hasilnya
Dengan konsep Kristen yang benar tentang uang, maka seluruh kehidupan kita tidak akan diterpa oleh materialisme.
1. Kehidupan yang mempermuliakan Allah
2. Kehidupan yang stabil.
3. Kehidupan yang menjadi berkat bagi banyak orang