14 September 2007

Matius 4:12 : ESSENCE OF CALLING, SUFFERING AND KERYGMA-1

Ringkasan Khotbah : 25 Juli 2004
Essence of Calling, Suffering & Kerygma (1)
oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 4:12



Matius mencantumkan perikop “Yesus tampil di Galilea“ (Mat. 4:12-17) sangat tepat sebab bagian ini merupakan konsep dasar bagi setiap anak Tuhan sejati dalam menata hidupnya untuk menjadi seorang manusia sejati sesuai dengan gambar dan rupa Allah. Kita seringkali mendengar bahwa hidup anak Tuhan pasti dipimpin Roh Kudus namun orang salah menginterpretasikan kata “dipimpin“. Orang menganggap bahwa kalau dipimpin berarti hidup kita akan sukses dan kita dapat melakukan berbagai mujizat dan tanda-tanda ajaib lain. Tidak! Roh Kudus memimpin orang untuk masuk dalam kehidupan rohani sejati, yaitu hidup beribadah pada Tuhan. Dan untuk membentuk kerohanian sejati, Roh Kudus memimpin Tuhan Yesus masuk ke padang gurun untuk dicobai iblis setelah berpuasa 40 hari 40 malam (Mat. 4:1-2). Ingat, puasa bukan memaksa Tuhan supaya kehendak kitalah yang jadi. Tidak! Puasa berarti menyangkal diri, yaitu menolak setiap hal yang menjadi keinginan kita dan hanya kehendak-Nya saja yang jadi.

Hati-hati, di dunia modern, banyak bidat yang memakai konsep yang berlawanan dengan Firman Tuhan. Hendaklah kita mencontoh teladan yang paling sempurna dari Tuhan Yesus, Firman hidup yang berinkarnasi. Tuhan Yesus melawan iblis dengan menggunakan Firman namun ketika iblis mulai mempermainkan posisi, yaitu Yesus disuruh menyembah pada iblis maka tanpa perlu berpanjang lebar lagi Tuhan Yesus langsung mengusir iblis; sebab hanya kepada Tuhan saja, engkau harus menyembah dan berbakti (Mat. 4:10). Dalam bagian ini kita melihat bagaimana seharusnya kita menempatkan diri sebagai seorang manusia sejati di tengah-tengah kerusakan dunia. Posisi manusia lebih tinggi dari iblis bahkan malaikat, karena: 1) manusia terdiri dari tubuh dan roh - malaikat hanya terdiri dari roh saja; 2) manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah - malaikat dicipta sebagai makhluk rohani; 3) malaikat dicipta untuk melayani Tuhan Allah dan manusia, malaikat adalah utusan, messenger yang diutus Tuhan untuk melindungi dan menjaga manusia, dan; 4) setelah dunia berakhir, manusia bersama-sama dengan Tuhan akan menghakimi malaikat.

Kejatuhan menyebabkan manusia kehilangan posisinya yang sejati, manusia yang tadinya berposisi di atas malaikat kini menjadi berada dibawah malaikat bahkan dapat dikatakan lebih rendah dari binatang sedang malaikat yang jatuh dalam dosa menyebabkan dirinya di buang oleh Tuhan. Untuk lebih jelasnya maka urutan posisi sbb: malaikat – manusia (pada saat jatuh dalam dosa) - iblis (malaikat yang jatuh dalam dosa). Kejatuhan manusia menyebabkan manusia kehilangan posisinya, jatuh ke tempat yang paling dalam sehingga manusia tidak dapat melakukan apa yang menjadi keinginan dirinya sendiri kecuali kemauan iblis karena manusia telah dicengkeram oleh iblis. Pilihan telah tersedia di hadapan kita, yaitu pilihan untuk taat Tuhan atau melawan Tuhan. Manusia telah dibelenggu iblis sedemikian rupa sehingga tidak dapat memilih untuk “taat Tuhan“. Banyak pilihan tersedia, free choice namun kita tidak mempunyai free will, kehendak bebas untuk memilih apa yang menjadi kehendak Tuhan. Maka tidaklah heran, kalau orang sangat membenci kebenaran sejati. Sebagai contoh, orang pada umumnya tahu bahwa rokok berakibat buruk untuk kesehatan, ironisnya orang justru menjadi marah kalau kita menasehatinya supaya tidak merokok.

Hanya Roh Kudus yang dapat menyadarkan manusia akan dosa dan mengubahkan hidup manusia untuk mau taat pada kehendak Tuhan. Tuhan Yesus tahu ordo dengan tepat, siapa yang harus menyembah dan siapa yang disembah. Ordo yang benar adalah iblis yang harus menyembah Tuhan bukan sebaliknya dan manusia tidak menyembah iblis karena posisi iblis berada di bawah manusia. Sebagai anak Tuhan, maka kita harus kembali pada posisi yang benar dengan demikian kita tidak mudah dipermainkan dunia dan dibelenggu oleh cara-cara iblis. Setelah selesai dicobai, maka inilah saatnya bagi Tuhan Yesus untuk memulai misi-Nya dan masuk dalam bagian transisi yang dicatat dalam oleh Matius (Mat. 4: 12-17). Bagian transisi ini oleh sebagian orang seringkali dianggap tidak penting padahal dari bagian ini kita dapat memahami: 1) hakekat panggilan kita menjadi manusia sejati, 2) bagaimana seharusnya kita bersikap ketika penderitaan datang, dan 3) diantara panggilan dan penderitaan tersebut, kita harus mempunyai kerygma atau berita, yaitu kesaksian hidup kita sebagai anak Tuhan. Orang seringkali salah mengerti hakekat panggilan, orang memahami panggilan Tuhan hanya sebatas identitas diri. Akibatnya orang mulai mencari-cari identitas diri, orang mulai mencari idola, dari kata idol yang berarti dewa. Manusia tidak menyadari bahwa ia dipanggil untuk menjadi serupa dengan Allah. Namun, hari ini kita justru menjumpai manusia makin mirip dan serupa dengan binatang. Ingat, manusia dicipta Tuhan mempunyai harkat lebih tinggi dari binatang, manusia diberikan akal budi untuk berpikir sedang binatang, tidak! Oleh sebab itu, moralitas dan etika hanya ada pada diri manusia.

Manusia kalau sudah kehilangan identitas dirinya maka seluruh tatanan hidup, tingkah laku maupun cara berpikirnya menjadi rusak. Sebaliknya, kalau manusia sadar posisi dirinya yang diciptakan lebih tinggi dari makhluk ciptaan lain maka ia tidak akan mudah jatuh dalam jebakan iblis dan ia pasti mau taat menjalankan semua perintah Tuhan. Dengan demikian segala tindakan, tingkah laku dan cara berpikir kita akan tertuju pada Tuhan semata, apapun yang kita kerjakan hanya untuk kemuliaan nama-Nya saja. Hati-hati jangan terkecoh oleh mereka yang mengaku diri “anak Tuhan“ namun kelakuannya tidak menunjukkan citra Kristus karena sebenarnya ia bukanlah anak Tuhan sejati tetapi lebih tepatnya anak iblis. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah anak Tuhan sejati tidak akan mengalami penderitaan? Kristus pun tidak luput dari penderitaan namun Ia tidak berbuat dosa meski pada jaman itu banyak orang yang rusak moralnya itu karena Tuhan Yesus tahu posisi-Nya.

Matius tidak mencatat kenapa Yohanes Pembaptis ditangkap karena hal itu memang bukan yang utama untuk diberitakan. Ada berita yang lebih utama yang hendak disampaikan oleh Matius, yakni waktu Yesus mendengar, bahwa Yohanes telah ditangkap, menyingkirlah Ia ke Galilea (Mat. 4:12). Hati-hati ayat ini jangan disalah mengerti. Ayat ini justru mengajarkan pada kita bagaimana seharusnya kita berespon ketika penderitaan datang? Kalau kita memang benar anak Tuhan yang sejati maka dunia pasti akan membenci kita karena dosa tidak akan bisa bersinkretis dengan kebenaran sejati. Ingat, kebenaran tidak bisa bersifat abu-abu. Kebenaran sejati haruslah yang benar-benar benar; karena di luar itu pastilah bukan kebenaran. Hati-hati diantara empat epistemologi berikut, yaitu: 1) benar-benar benar; 2) benar-benar tidak benar; 3) tidak benar-benar benar; 4) tidak benar-benar tidak benar yang paling berbahaya adalah yang keempat karena selama masih belum terbukti salah maka kita masih bisa menganggapnya sebagai kebenaran.

Anak Tuhan harus hidup dalam terang kebenaran karena terang tidak dapat bercampur dengan gelap. Dunia sulit menerima kebenaran malahan dunia akan menjadi marah kalau kita berbicara tentang kebenaran. Raja Herodes bukannya berubah ketika ditegur dosanya oleh Yohanes Pembaptis tetapi sebaliknya justru Yohanes Pembaptislah yang dihukum. Bukankah kejadian demikian bukan hal yang baru lagi di jaman ini? Buruk muka cermin dibelah. Itulah sebabnya, seorang anak Tuhan sejati yang hidup dalam kebenaran akan dibenci oleh dunia, ia akan hidup menderita. Barangsiapa yang mau mengikut Kristus maka ia akan menderita aniaya (2Tim. 3:12). Bagaimana kita berespon waktu penderitaan menimpa kita? Adalah wajar kalau di dunia yang penuh dosa ini, anak Tuhan mengalami penderitaan. Justru patut dipertanyakan kalau anak Tuhan yang sejati tidak pernah mengalami penderitaan. Kalau memang benar ia seorang anak Tuhan sejati maka orang yang berada dalam kegelapan akan terusik oleh terang itu.
Ada dua pendapat yang sangat ekstrim tentang bagaimana anak Tuhan menghadapi penderitaan, yaitu: pertama, menjadi martir, menderita sampai mati. Namun, mereka yang berpendapat demikian akan sulit mengerti peristiwa Tuhan Yesus yang sepertinya “melarikan diri“; pergi jauh meninggalkan Nazaret ketika Yohanes Pembaptis ditangkap atau peristiwa Paulus yang diturunkan dari atas tembok kota dalam sebuah keranjang ketika orang Yahudi berencana hendak membunuhnya (Kis. 9:23-25), dan masih banyak lagi peristiwa yang serupa. Peristiwa Tuhan Yesus menghindari penderitaan di atas bukanlah yang pertama karena sebelumnya Ia juga dilarikan oleh orang tuanya ketika terjadi pembunuhan bayi di bawah umur dua tahun di Betlehem, sehingga timbul ekstrim, kedua, melarikan diri ketika penderitaan datang. Bukankah sikap pengecut demikian tidak mencerminkan sikap anak Tuhan sejati? Dan di sisi lain, Tuhan menuntut anak-anak-Nya untuk taat seperti Tuhan Yesus yang juga taat sampai mati. Lalu di antara kedua sikap tersebut di atas, sikap manakah yang harus kita teladani? Dua pendapat di atas janganlah dipertentangkan satu sama lain karena sesungguhnya memang bukan hal yang bertentangan. Bagaimana kita melihat suatu tindakan yang melampaui lebih dari sekedar alasan pragmatis ketika kita menghadapi kesulitan, penganiayaan dan tantangan karena iman kita pada Tuhan Yesus Kristus.

1. Orientasi Hidup
Ketika kita menghadapi kesulitan atau penderitaan, kita jangan terlarut dalam penderitaan tetapi kita harus keluar dari kondisi tersebut maka percayalah kita pasti akan melihat ada rencana Tuhan yang indah dibalik penderitaan. Dengan larut dalam penderitaan justru akan menambah masalah baru dalam hidup kita. Tuhan tidak pernah menjanjikan hidup anak-Nya senantiasa lancar. Tidak! Hari ini justru banyak tantangan kesulitan yang harus kita hadapi. Hanya anak Tuhan sejati saja yang tidak akan tergoyahkan dan tetap berteguh dalam iman meski penderitaan menimpa hidupnya. Dalam setiap penderitaan, pasti ada kehendak Tuhan yang harus kita jalankan. Jadi, kalau kehendak Tuhan memang mengharuskan kita untuk pergi maka kita pun harus taat untuk pergi begitu juga kalau kehendak Tuhan memanggil kita untuk menderita karena kita tahu apa yang menjadi tujuan hidup kita, yaitu hidup demi kemuliaan nama-Nya. Jangan bertindak bodoh dengan mengatasi segala tantangan dan kesulitan dengan cara sendiri dan menganggap cara kita tersebut sebagai kebenaran. Hendaklah kita waspada dan senantiasa mengarahkan hati kita pada-Nya sebab penderitaan pasti tiba pada setiap anak Tuhan sejati.

2. Uji Motivasi
Ketika kita menghadapi penderitaan dimana penderitaan tersebut menuntut kita untuk mengambil keputusan, yaitu harus mati ataukah menghindar maka hendaklah kita menguji motivasi kita, apakah keputusan yang kita ambil tersebut demi untuk kepentingan diri sendiri atau untuk kemuliaan nama-Nya? Kalau motivasi kita menghindar dari kesulitan karena kita takut menderita atau takut mati berarti kita egois dan motivasi kita pasti bukan berasal dari Tuhan. Orang yang masih berpikir hanya untuk kepentingan diri hendaklah segera bertobat. Karena itu dalam segala hal yang kita lakukan hendaklah kita menguji motivasi, apakah kita melakukannya demi untuk keuntungan pribadi ataukah kehendak Tuhan yang sedang kita jalankan? Ataukah sebenarnya kehendak diri kitalah yang sedang kita jalankan tapi dengan alasan menjalankan kehendak Tuhan. Hati-hati, antara ambisi diri dan kehendak Tuhan, batasnya sangat tipis, hanya kita dan Tuhan yang tahu apa motivasi kita. Tugas anak Tuhan adalah menjalankan kehendak-Nya dan Tuhan pasti akan memimpin dan memampukan untuk kita dapat menjalankannya.

3. Kuasa Berita
Kalau motivasi kita sudah benar, yakni sesuai dengan kehendak Tuhan maka pasti ada hasilnya, yaitu berita Injil tersebar luas dan nama Tuhan dipermuliakan. Tuhan Yesus menyingkir dari ke Galilea menuju Kapernaum bukan untuk bersembunyi, lari dari penderitaan. Tidak! Karena jikalau memang benar demikian maka berita Injil tidak mempunyai kekuatan dan kuasa. Namun, Alkitab mencatat, Tuhan Yesus meneruskan kabar yang diberitakan oleh Yohanes Pembaptis, yaitu “Bertobatlah sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!“ (Mat. 4:17). Itulah kerygma. Orang yang melarikan diri dari kesulitan tidak akan mempunyai kuasa untuk memberitakan Injil. Sebagai anak Tuhan, biarlah hidup kita senantiasa dimurnikan sehingga orang melihat perubahan yang terjadi dalam hidup kita dengan demikian orang akan melihat Kristus ada dalam diri kita dan mereka menjadi percaya. Hendaklah dari setiap mulut anak Tuhan keluar kerygma yang senantiasa memberitakan kebenaran sejati, yakni “bertobatlah Kerajaan Sorga sudah dekat“.


Kiranya ketiga hal tersebut di atas dapat menjadi bahan pertimbangan bagi kita, apakah kita harus menghindar dari penderitaan ataukah harus menghadapi penderitaan? Tuhan tidak menuntut setiap anak-Nya untuk menjadi martir dan berkorban bagi-Nya dan di sisi lain Tuhan juga tidak ingin anak-Nya lari ketika kesulitan datang. Tapi biarlah semua yang terjadi dalam diri kita adalah sesuai dengan waktu dan rencana Tuhan saja. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber :

Resensi Buku-21 : APAKAH OTAK YANG DIPERSALAHKAN (Prof. Edward T. Welch, Ph.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
Resources for Changing Lives :
APAKAH OTAK YANG DIPERSALAHKAN ? (BLAIM IT ON THE BRAIN ?)

Membedakan Antara Ketidakseimbangan Kimiawi, Gangguan Pada Otak, dan Ketidaktaatan

oleh : Prof. Edward T. Welch, Ph.D.

Penerbit : Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2006

Penerjemah : Lana Asali.





Menurut hasil riset, kini terdapat semakin banyak penyimpangan perilaku yang disebabkan oleh disfungsi otak. Tetapi benarkah ini karena otak kita ? Bagaimana kita bisa tahu kalau otak kitalah yang menyebabkan penyimpangan-penyimpangan perilaku itu ?

Mengkaji masalah-masalah otak melalui kacamata Alkitab, Edward T. Welch membedakan antara gangguan otak yang sebenarnya dan permasalahan-permasalahan yang berakar di dalam hati. Memahami perbedaan ini akan memampukan para hamba Tuhan, konselor, keluarga, dan sahabat untuk menolong orang lain atau diri mereka sendiri dalam menghadapi berbagai pergumulan dan tanggung jawab pribadi. Sementara berfokus pada beberapa gangguan yang umum, Welch memaparkan serangkaian langkah praktis yang bisa diterapkan pada berbagai kondisi, kebiasaan, atau kecanduan yang lebih luas.

Buku ini mendapatkan pujian dari seorang dokter, yaitu Franklin E. Payne, Jr., M.D.






Profil Dr. Edward T. Welch:
Prof. Edward T. Welch, Ph.D. meraih gelar Master of Divinity (M.Div.) dari Biblical Theological Seminary dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam bidang psikologi konseling (neuropsikologi) dari University of Utah pada tahun 1981. Beliau adalah seorang konselor di Christian Counseling and Educational Foundation di Glensidem, Pennsylvania, dan seorang dosen dalam bidang Theologia Praktika di Westminster Theological Seminary di Philadelphia. Dia adalah penulis bersama dari buku Addictive Behavior dan seorang kontributor di Journal of Biblical Counseling. Karyanya yang lain dalam seri Resources for Changing Lives yang juga telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Momentum adalah Ketika Manusia Dianggap Bear dan Allah Dianggap Kecil (2003).

Roma 3:1-8 : HUKUM ALLAH DAN KESETIAAN ALLAH

Seri Eksposisi Surat Roma :
Kasih dan Keadilan Allah-1


Hukum Allah dan Kesetiaan Allah

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 3:1-8.

Mulai pasal 3, seolah-olah Paulus mengganti topik pembahasan, tetapi jika diteliti, Paulus sebenarnya melanjutkan pengajarannya pada pasal 2. Setelah pada pasal 2 Paulus menjelaskan kemunafikan-kemunafikan orang-orang Yahudi, maka pada pasal 3 secara keseluruhan ia hendak menjelaskan tentang kedaulatan, kesetiaan dan kasih-Nya yang sesungguhnya kepada manusia.

Pada ayat 1, Paulus menjelaskan, “Jika demikian, apakah kelebihan orang Yahudi dan apakah gunanya sunat?” Perlu diketahui bahwa orang-orang Yahudi seringkali menyombongkan diri sebagai umat Allah lalu menghina mereka yang di luar Yahudi sebagai bangsa kafir, tidak berhukum, dll. Apakah dengan kesombongan itu membuktikan diri mereka lebih hebat dan patut dicontoh ? Tidak. Mereka pun sama-sama dihukum oleh Allah jika mereka berbuat dosa. Lalu, kalau semua orang dihukum oleh Allah, termasuk orang-orang Yahudi juga, lalu mungkin saja orang-orang Yahudi bertanya apakah kelebihan menjadi orang Yahudi. Kemudian, apa gunanya menjalankan sunat kalau toh akhirnya manusia berdosa dihukum Allah ? Pertanyaan ini juga menjadi refleksi bagi kita. Kita seringkali tidak mau menaati hukum dengan pengertian dan kasih, tetapi dengan keterpaksaan, seperti orang-orang Yahudi yang tidak mengerti esensi hukum Taurat tetapi berani melakukannya bahkan membakukannya, misalnya ketentuan Sabat, sunat, dll. Bagaimanakah seharusnya ? Apakah kita menjadi anti hukum ? TIDAK.

Pada ayat 2, Paulus langsung mengajarkan bahwa sunat (dan ketentuan-ketentuan lain di dalam Taurat) itu berguna bahkan Paulus berkata banyak kegunaannya. Salah satu faedahnya adalah mengingatkan orang-orang Yahudi bahwa “kepada merekalah dipercayakan firman Allah.” Allah berani mempercayakan diri dan firman-Nya kepada mereka itu semua bergantung pada kedaulatan Allah. Ketika Allah memilih Israel, Ia tidak memilih mereka berdasarkan perbuatan baik mereka, tetapi mutlak karena kedaulatan Allah, termasuk mengizinkan mereka berdosa untuk nantinya dibereskan dengan cara Allah sendiri. Dari Perjanjian Lama, kita membaca realita kesetiaan Allah kepada umat-Nya secara bangsa maupun pribadi. Abraham dipanggil oleh Allah bukan karena ia orang suci, tetapi justru karena ia tinggal di lingkungan penyembah berhala dan Allah berdaulat memilih-Nya, maka Abraham dipanggil oleh Allah untuk keluar dari tanah kelahirannya menuju tanah yang Tuhan janjikan. Ketika keluar dari Mesir, bangsa Israel sempat bersungut-sungut, tetapi Ia tetap setia, memberikan Sepuluh Perintah Allah melalui nabi-Nya, Musa. Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen ? Sebagai orang Kristen, kita memiliki status lebih lengkap dari orang-orang Yahudi yaitu memiliki finalitas Alkitab sebagai kesempurnaan wahyu Allah yang tak mungkin bersalah. Kepada kita khususnya umat pilihan Allah sejati, kita dipercayakan kepenuhan Firman Allah yang berotoritas (kesetiaan Allah selalu berkaitan dengan tanda perjanjian/covenant Allah atas umat-Nya). Ini membuktikan kesetiaan Allah kepada umat pilihan-Nya. Ini juga membuktikan bahwa kita yang menerima penyataan Allah ini sungguh rendah dan tidak layak adanya karena kita yang berdosa dipercayakan firman Allah yang Mahakudus, sehingga penerimaan kita seharusnya dipenuhi dengan sikap rendah hati dan bersyukur serta memegang erat janji dan firman-Nya ini dengan ketekunan kita.

Lalu, kalau Allah setia, apakah respon manusia ? Di dalam kondisi keberdosaannya, manusia bukan saja tidak setia, malahan mempermainkan kesetiaan Allah. Hal ini tampak mulai ayat 3 sampai dengan 8.

Di ayat 3, Paulus langsung menyebut di antara umat-Nya, ada yang tidak setia. Realita ini sangat menyakitkan. Seorang (X) yang sudah dipercayakan sesuatu yang paling berharga sebagai wujud kesetiaan dari orang lain (Y) kepada dirinya (X), malahan orang ini (X) menyalahgunakan kesetiaan ini untuk kepentingan diri sendiri. Di dalam Perjanjian Lama, kita menjumpai realita yang menyakitkan ini. Bangsa Israel yang telah dituntun oleh Allah melalui Musa keluar dari Mesir tidak bersyukur, malahan bersungut-sungut, bahkan rela menggantikan Allah dengan patung lembu emas sambil menunggu Musa turun dari Gunung Sinai. Pada zaman hakim-hakim, bangsa Israel terus berubah setia. Ketika ada satu hakim yang setia kepada Allah, maka seluruh bangsa Israel setia kepada Allah, lalu setelah hakim tersebut meninggal, mereka kembali hidup tidak setia. Di dalam zaman raja-raja, hal ini juga berlaku. Di dalam keKristenan pun, seringkali kita menjumpai banyak orang Kristen yang tidak setia kepada Allah. Mereka hanya menampilkan sisi-sisi religius dengan rajin ke gereja, membaca Alkitab, dll, tetapi di dalam kehidupan sehari-harinya tidak ada Allah yang bertahta sebagai Raja. Itu bukti bahwa mereka tidak setia kepada Allah. Orang yang tidak setia kepada Allah sebenarnya hendak membuktikan bahwa pertama, mereka tidak percaya akan keberadaan Allah yang Mahakuasa dan kekal, karena kalau mereka percaya ketidakterbatasan, keMahakuasaan dan kekekalan Allah, maka mereka pasti tidak akan berubah setia. Kedua, mereka tidak mengenal Allah. Seorang yang mengenal Allah secara pribadi dan mendalam, pastilah mereka setia. Pengenalan yang baik setelah beriman menghasilkan kesetiaan, seperti seorang yang sudah mengenal pasangannya bertahun-tahun pasti setia kepada pasangannya karena orang itu tahu apa yang terbaik bagi pasangannya (bukan bagi dirinya sendiri). Ketiga, mereka sebenarnya juga tidak mengasihi Allah. Seorang yang mengasihi Allah pasti setia kepada Allah. Kasih tanpa kesetiaan adalah sia-sia adanya. Apakah ada sepasang kekasih yang saling mengasihi tetapi salah satu pasangannya menyeleweng dari salah satu dari pasangan orang lain masih dianggap setia ? TIDAK, bukan? Seorang yang mengasihi pasangannya pasti setia kepada pasangannya. Jadi, orang Kristen yang setia kepada Allah adalah mereka yang terlebih dahulu mengasihi-Nya setelah dikasihi oleh Allah.

Setelah kita mengetahui ketidaksetiaan manusia, lalu Paulus langsung bertanya kembali, “dapatkah ketidaksetiaan itu membatalkan kesetiaan Allah?” Kata “kesetiaan” ini di dalam Alkitab King James Version diterjemahkan faith atau iman (Yunani : pistis ; artinya : iman/kepercayaan/keyakinan/kesetiaan), lalu New International Version (NIV) dan New Revised Standard Version (NRSV) menerjemahkan faithfulness. Seorang yang tidak setia atau dengan kata lain juga dapat disebut tidak beriman, apakah ketidaksetiaan ini membatalkan kesetiaan Allah atau ketidaksetiaan manusia membuat Allah juga tidak setia ? Pertanyaan ini adalah pertanyaan krusial yang penting. “Theologia” Arminian yang juga merupakan “teladan” bagi semua agama dunia mengajarkan bahwa jika kita setia, maka Allah itu setia. Ketika kita tidak mau membuka hati bagi Roh Kudus, maka Ia pun tidak masuk. Jadi, semua tergantung jasa baik manusia. Ini lah pengaruh humanisme yang meracuni dunia dan bahkan keKristenan. Semua karena kehebatan diri manusia. Kalau kita tidak setia, maka tentu saja Allah tidak setia, karena kesetiaan kita menentukan kesetiaan Allah kepada kita. Dengan kata lain Allah dijadikan “pembantu” kita yang dapat disuruh-suruh untuk memenuhi keinginan kita. Bukankah itu yang diajarkan oleh banyak penganut Karismatik/Pentakosta yang dipengaruhi oleh humanisme ?

Benarkah konsep bahwa apapun yang kita lakukan sangat menentukan tindakan Allah (termasuk di dalam hal kesetiaan) ? Pada ayat 4, Paulus menjawab, “Tentu tidak!” (Bahasa Indonesia Sehari-hari). Terjemahan BIS ini lebih sesuai dengan pengertian di dalam terjemahan International Standard Version yang menerjemahkan, “Of course not !” Apa yang Paulus nyatakan ini merupakan suatu ketegasan bahwa ketidaksetiaan manusia tidak mempengaruhi kesetiaan Allah. Pernyataan ini lalu dikontraskan Paulus dengan mengatakan, “Sebaliknya: Allah adalah benar, dan semua manusia pembohong” Konsep ini sangat penting dalam membedakan dua pribadi beserta atribut-Nya. Pertama, Allah itu adalah benar. Kata “benar” di dalam bahasa Yunani menggunakan kata alēthēs yang berarti kebenaran sejati atau kebenaran yang benar-benar benar (bandingkan Yohanes 14:6). Kedua, kita sebagai manusia dikatakan pembohong atau liar. Kata “pembohong” di dalam bahasa Yunani pseustēs berasal dari kata pseudomai yang berarti berusaha menipu dengan kesalahan atau bertindak sesuatu yang tidak benar. Kedua kontras yang sangat jauh ini seharusnya menyadarkan kita bahwa kita jangan seenaknya memperlakukan Allah sebagai mainan apalagi mengajarkan bahwa apapun yang kita lakukan mempengaruhi tindakan Allah. Itu ajaran sesat ! Apa signifikansi dari pernyataan bahwa Allah itu benar dan manusia itu pembohong atau penipu ? Pernyataan ini hendak mengajarkan prinsip bahwa meskipun manusia pilihan-Nya seringkali tidak setia, Allah tetap setia kepada mereka, mengapa ? Karena sebagaimana telah saya kemukakan di atas, kesetiaan-Nya berkaitan erat dengan kovenan-Nya. Allah yang benar tak mungkin melanggar kovenan dan kesetiaan-Nya sendiri. Kenyataan ini mengajarkan bahwa kita harus tetap senantiasa bersyukur akan kesetiaan Allah dan juga mengajar kita untuk semakin setia kepada-Nya di tengah maraknya ketidaksetiaan di dunia ini.

Kenyataan ini didukung oleh pengajaran Paulus di akhir ayat 4 dengan mengutip perkataan dari Daud di dalam Mazmur 51:6, “Supaya Engkau ternyata benar dalam segala firman-Mu, dan menang, jika Engkau dihakimi.” yang secara keseluruhan berbunyi, “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu.” Kita dapat belajar satu aspek di sini, yaitu kesetiaan Allah menegur ketidaksetiaan manusia. Di dalam Mazmur 51, Daud mengungkapkan penyesalan dan pertobatannya setelah Tuhan melalui Nabi Natan menegur dosa perzinahannya dengan Batsyeba. Lalu, di dalam ayat 6, ia dengan rendah hati mengakui dua hal, yaitu dosa-dosanya dilakukan sebagai pelanggaran terhadap hukum Allah yang suci dan juga berlakunya keadilan Allah di dalam segala keputusan-Nya dan bersih di dalam penghukuman-Nya. Di dalam Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), setelah Daud mengakui keberdosaannya di hadapan Allah, pada ayat 6 ini, ia berkata, “Maka pantaslah Engkau menghukum aku, adillah keputusan-Mu.” Daud bukan hanya sadar dan mengakui tentang realita dosanya, ia bertobat dengan rendah hati lalu bersedia dihukum Allah, mengapa ? Karena ia tahu bahwa Allah itu Mahaadil. Di dalam kesetiaan-Nya ada unsur keadilan-Nya bagi mereka yang tidak mau taat. Ketika kita mulai tidak setia, pandanglah pada kesetiaan Allah dan belajarlah, maka kita akan mendapati teladan yang terbaik yang bisa kita ikuti dan pelajari sehingga kita akhirnya dapat memuliakan Allah melalui kesetiaan kita.

Hal inilah yang ditunjukkan oleh Paulus di dalam ayat 5, “Tetapi jika ketidakbenaran kita menunjukkan kebenaran Allah, apakah yang akan kita katakan?” bahwa kesetiaan-Nya dan keadilan-Nya menunjukkan adanya kedaulatan Allah di atas kesetiaan dan keadilan (atau kebenaran) manusia yang terbatas. Kata “kebenaran” seharusnya lebih tepat diterjemahkan keadilan kebenaran (Inggris : righteousness ; Yunani : dikaiosunē). Kalau Allah itu adil dan benar jauh melampaui keadilan dan kebenaran manusia, maka Paulus mengatakan, “Tidak adilkah Allah--aku berkata sebagai manusia--jika Ia menampakkan murka-Nya?” Seharusnya semua manusia harus mati dihukum akibat dosa, tetapi di antara manusia yang berdosa ini, Allah tetap setia berjanji memilih beberapa dari mereka untuk diselamatkan dan secara otomatis membiarkan sisanya untuk binasa. Apakah dengan membiarkan orang-orang berdosa dihukum membuktikan bahwa Allah itu tidak adil ? Itulah yang seringkali manusia tanyakan. Manusia postmodern selalu menginginkan dosa tidak perlu dihukum kalau perlu ditonjolkan. Mereka ingin hidup berdamai dengan siapapun bahkan dengan dosa sekalipun, sehingga dosa apapun dibiarkan hidup tanpa ada usaha untuk mengikis bahkan mengurangi dosa. Konsep keadilan Allah tidak lagi disenangi, sebaiknya konsep “kasih” Allah yang merangkul semua bahkan semua orang tanpa memandang agama dan keyakinan itulah yang didengungkan di abad postmodern ini melalui DIALOG ANTAR AGAMA !

Benarkah pendapat demikian ? Paulus di ayat 6 langsung mengatakan, “Sekali-kali tidak!” Mengapa ? Karena Paulus telah mengajarkan prinsip bahwa Allah itu Kebenaran sejati yang tak mungkin salah sedangkan manusia itu serba terbatas, suka menipu, dll. Kalau Allah itu Kebenaran yang sejati maka apapun yang ditetapkan-Nya dari semula pasti ketetapan-Nya yang indah, mulia, suci dan adil serta kasih. Ketetapan-Nya ini pun adil karena Ia yang Mahaadil pasti dapat menghakimi dunia. Kalau Ia tidak Mahaadil di dalam menetapkan segala sesuatu, mana mungkin Ia dapat menghakimi dunia ? Kata “Andaikata” di dalam ayat 6 ini hendak menunjukkan suatu ketidakmungkinan yang tidak pernah terjadi, karena Allah tidak mungkin tidak Mahaadil. Kenyataan ini juga mengajar kita agar senantiasa sadar dan introspeksi diri akan kelemahan dan keberdosaan kita serta kita harus siap menerima hukuman Allah sebagai tindakan-Nya yang adil sekaligus penuh kasih kepada kita ketika kita mulai berbuat dosa.

Tetapi seringkali konsep ini tidak disukai oleh manusia. Hal ini dipaparkan Paulus yang merupakan tuduhan dari orang-orang lain kepadanya pada ayat 7, “Tetapi kalau karena perbuatan yang tidak benar, apa yang benar tentang Allah semakin menonjol sehingga Ia dipuji, mengapa orang yang berbuat jahat itu masih disalahkan sebagai orang berdosa?” (Bahasa Indonesia Sehari-hari) Sungguh aneh manusia itu. Manusia sudah berdosa tetapi tetap mengaku diri tidak berdosa, bahkan berani membandingkan dengan Allah. Inilah realita dosa manusia. Manusia yang berdosa tidak sadar bahwa dirinya sedang berdosa, tetapi berani membanggakan diri sudah berbuat baik agar terlepas dari dosa (itulah dosa yang lebih besar dan berat) ! Bukan hanya itu saja, melalui ayat ini, kita bisa belajar ciri manusia berdosa yang kedua yaitu manusia suka menganggap remeh dosa, sehingga kalau Allah itu Mahakasih dan benar, maka Ia pasti memaafkan dosa saya (parafrase dari sebuah tafsiran mengenai ayat ini). Bagaimana dengan kita ? Apakah sebagai orang Kristen, kita masih menganggap remeh dosa-dosa yang telah kita lakukan ? Seharusnya tidaklah demikian, karena semakin kita hidup serupa dengan Kristus, semakin kita membenci dosa sekecil apapun.

Hal inilah yang diajarkan Paulus di dalam ayat 8 dengan mengatakan, “Dan mengapa kita tidak boleh mengatakan, "Baiklah kita berbuat jahat supaya timbul kebaikan?" Memang ada orang-orang yang menghina saya dengan mengatakan bahwa saya sudah berkata begitu. Orang-orang semacam itu sewajarnya dihukum oleh Allah.” (Bahasa Indonesia Sehari-hari). Seorang yang meremehkan dosa dengan alasan bahwa nantinya akan ada kebaikan atau dari dosa akan timbul kebaikan (bandingkan dengan Roma 3:1-4), maka orang itu harus dihukum oleh Allah. Meskipun Ia setia, Ia juga Mahaadil yang menghukum manusia yang bermain-main dengan-Nya apalagi menyalahgunakan anugerah Allah untuk melegalisir perbuatan dosa mereka. Anugerah Allah harus disertai pertanggungjawaban manusia sebagai respon dengan melakukan perbuatan baik yang Allah kehendaki untuk memuliakan-Nya. Itulah respon kesetiaan manusia kepada Allah yang harus kita kerjakan sebagai anak-anak-Nya yang setia.

Setelah merenungkan perikop ini, sadarkah kita bahwa kita seringkali berlaku tidak setia kepada-Nya ? Lalu, maukah kita kembali kepada-Nya dan tidak lagi mempermainkan anugerah-Nya, realita dosa dan pertobatan ? Ia setia dan adil benar (righteous), dan inilah yang seharusnya menyadarkan kita untuk berespon dengan setia kepada-Nya dan menjalankan keadilan kebenaran Allah di dalam hidup kita.