04 March 2010

Eksposisi 1 Korintus 4:1-5 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 4:1-5

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 4:1-5



Jika kita membaca bagian ini, sekilas kita sulit melihat kaitan bagian ini dengan pasal 1:10-3:23. Kita mungkin berpikir bahwa masalah perselisihan antar jemaat sudah dibahas dengan tuntas oleh Paulus dalam 3 pasal pertama. Dalam tingkat tertentu, hal ini memang benar, tetapi Paulus belum membahas hal itu secara tuntas. Penyebutan nama Apolos dan Paulus di pasal 4:6 memberi petunjuk bahwa isu favoritisme terhadap pemimpin rohani masih terus berlanjut (bdk. 1:12; 3:4-6; 3:22).

Jika kita memperhatikan pasal 4 dengan seksama maka kita dapat menemukan satu poin penting: jemaat Korintus ternyata memiliki sikap antipati terhadap Paulus. Ketika mereka memilih Apolos atau Kefas, hal itu tidak semata-mata didasarkan pada kelebihan dari dua tokoh tersebut. Pilihan ini didasarkan pada ketidaksenangan mereka terhadap Paulus. Mereka sedang menghakimi Paulus (4:3). Mereka melupakan semua jasa Paulus yang telah berjuang begitu keras di kota Korintus (4:7-13; bdk. Kis 18). Mereka meragukan kerasulan Paulus (9:1-3).

Dalam responnya terhadap serangan ini, Paulus berusaha memberikan pembelaan yang sifatnya umum maupun khusus. Pembelaan yang umum dapat kita lihat dari penggunaan kata ganti orang pertama jamak “kami” di pasal 4 (ay. 1, 6, 8-13), sedangkan pembelaan khusus terlihat dari kata ganti “aku” (ay. 3-4, 14-16). Dia ingin mengajarkan prinsip umum yang dapat diterapkan pada semua pemimpin rohani, tetapi dia juga berusaha menjelaskan keunikan relasinya dengan jemaat Korintus dibandingkan dengan rasu-rasul lain (ay. 14-16).

Inti pembahasan di pasal 4:1-5 adalah posisi para pemimpin sebagai hamba Kristus (ay. 1). Sebagai hamba Kristus, mereka nanti akan dihakimi oleh Tuhan sendiri (ay. 5). Dua hal ini – posisi sebagai hamba dan penghakiman terakhir – sebelumnya sudah dibahas secara terpisah oleh Paulus: pemimpin sebagai pelayan ada di pasal 3:5-9, sedangkan penghakiman terhadap para pemimpin ada di pasal 3:10-17. Dengan demikian Paulus sebenarnya hanya menerapkan prinsip tersebut dalam kasus jemaat Korintus yang menghakimi dia.

Paulus merasa perlu menegaskan posisinya sebagai hamba Kristus (4:1) untuk menghindari kesalahpahaman dari jemaat Korintus. Para rasul memang milik jemaat (3:21-22), tetapi hal itu tidak berarti bahwa mereka dapat diperlakukan semau jemaat. Mereka memang melayani kebutuhan keselamatan jemaat (lihat pembahasan di pasal 3:21-23), namun mereka tetap adalah hamba Kristus, bukan hamba mereka. Sebagai hamba Kristus, para rasul bertanggung-jawab kepada Kristus yang menjadi tuan mereka. Kristuslah yang berhak menghakimi mereka, bukan jemaat Korintus.

Alur berpikir Paulus di pasal 4:1-5 dapat dijelaskan sebagai berikut:
Inti: para rasul adalah hamba Kristus (ay. 1)
Konsekuensi sebagai hamba Kristus (ay. 2-5)
Harus dapat dipercaya (ay. 2)
Tidak menganggap penghakiman manusia sebagai hal yang penting (ay. 3-4a, 5a)
Menyadari bahwa tuan kita akan menghakimi kita di akhir zaman (ay. 4b, 5b)


Inti: Para Rasul Adalah Hamba Kristus (ay. 1)
Paulus ingin orang lain menganggap dia dan para pemimpin lain sebagai “hamba-hamba Kristus” (ay. 1a). Kata Yunani hyperetes lebih tepat diterjemahkan sebagai “pelayan” (KJV/ASV “minister”) atau asisten. Terjemahan “hamba” bisa memberi kesan “budak”, padahal seorang hyperetes bukanlah seorang budak. Hyperetes adalah orang merdeka. Kata ini pernah dipakai untuk Yohanes Markus yang membantu Paulus dan Barnabas dalam pekerjaan misi (Kis 13:5). Di tempat lain (Rm. 1:1; Tit. 1:1) Paulus memang menyebut dirinya sebagai budak (doulos) Allah, tetapi bukan makna ini yang ingin dia tegaskan di 1 Korintus 4:1.

Paulus bukan hanya seorang hyperetes, tetapi dia adalah pemimpin dari semua pelayan. Dia adalah oikonomos (ay. 1b, LAI:TB “yang kepadanya dipercayakan”), yaitu orang yang dipercaya sepenuhnya untuk mengelola sesuatu, baik uang, rumah maupun properti lainnya. Mayoritas versi lebih memilih terjemahan “penatalayan” (steward, KJV/ASV/RSV/NASB). Sesuai budaya waktu itu, oikonomos bertugas mewakili pemilik untuk memutuskan segala sesuatu. Keputusannya adalah keputusan pemilik. Salah satu contoh yang tidak asing bagi kita adalah Yusuf yang diberi wewenang penuh di rumah Potifar (Kej. 39:4).

Sebagai seorang oikonoos rohani, Paulus dipercayakan “rahasia-rahasia Allah” (ay. 1c). Kita pernah membahas sebelumnya bahwa “rahasia” (mysterion) merujuk pada sesuatu yang dulu tidak diketahui tetapi kemudian dibukakan oleh Allah. Dalam hal ini yang dimaksud dengan rahasia Allah adalah injil. Injil adalah hikmat Allah yang tersembunyi sejak kekekalan namun sekarang dinyatakan dalam Kristus Yesus (2:7).


Konsekuensi (ay. 2-5)
Menjadi hyperetes dan oikonomos Kristus bukanlah tanggung-jawab yang ringan. Beberapa konsekuensi besar sudah siap menanti kita di depan. Hal ini bisa dipahami karena Tuan kita adalah Pribadi yang mahamulia dan yang dipercayakan kepada kita juga adalah harta rohani yang sangat mulia. Sangat wajar kalau tugas ini menuntut konsekuensi tertentu.
Harus dapat dipercaya (ay. 2)
Sebagai orang yang dipercaya, kepercayaan dari tuan memegang peranan sangat vital. Inilah yang disebut Paulus pertama kali ketika dia membicarakan tentang konsekuensi para pelayan Kristus. Apa yang dimaksud dengan “bisa dipercaya” di sini? Dalam teks asli, kata yang dipakai adalah pistos, yang berarti “setia”.

Setia bukan sekadar merujuk pada lamanya seseorang bekerja. Setia lebih mengarah pada ketaatan pelayan terhadap instruksi yang diberikan oleh tuannya. Dua contoh pemakaian kata oikonomos dalam Alkitab menunjukkan bahwa lamanya seseorang bekerja bukanlah hal yang penting. Yang paling penting adalah apakah orang itu selalu siap melakukan pekerjaannya pada waktu tuannya datang (Luk 12:42-43) atau apakah orang itu menjalankan wewenang yang diberikan tuannya degan tepat (Luk 16:1-2; kata “bendahara” di ayat ini memakai oikonomos).

Ketika Paulus menekankan nilai kesetiaan dalam konteks tugas para pemimpin rohani, dia sebenarnya sedang menyinggung konsep jemaat Korintus yang salah. Bagi mereka, seorang pemberita injil dinilai dari kefasihan bicara maupun kepandaian yang mereka miliki. Bagi Paulus, keberhasilan pemberita injil dinilai dari kesetiaannya terhadap injil itu sendiri. Sebagian jemaat yang mencoba menggantikan injil dengan hikmat dunia tentu saja tidak bisa disebut sebagai pelayan yang dapat dipercaya.


Tidak menganggap penghakiman manusia sebagai hal yang penting (ay. 3-4a, 5a)
Sebagai seorang pelayan Kristus yang melayani kebutuhan keselamatan orang lain, kita kadangkala terjebak pada keinginan untuk diterima orang lain. Kita ingin menyenangkan hati orang lain, padahal keinginan ini tidak sesuai dengan status sebagai pelayan Kristus (Gal. 1:10). Akibatnya, para pelayan Kristus sering kali terlalu memperdulikan penilaian orang lain. Ketika mereka dikritik orang yang mereka layani, mereka mudah putus asa dan kecewa. Ketika mereka mendapat pujian dari jemaat, mereka jatuh dalam kesombongan. Untuk menghindari dua hal ini, seorang pelayan harus memandang penilaian manusia bukan sebagai hal yang terpenting.

Mengapa penilaian orang lain tidak sepenting yang kita sering sangka? Karena manusia tidak berhak menilai sesamanya. Kita adalah sesama hamba yang tidak boleh saling menghakimi. Ketika kita menhakimi hamba lain, maka kita sudah mencampuri urusan tuan yang empunya hamba itu. Di Roma 14:4 Paulus memberi teguran keras, “siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri. Tetapi ia akan tetap berdiri, karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri”.

Alasan kedua mengapa penilaian orang lain tidak pentng adalah karena mereka tidak bisa mengetahui kedalaman hati orang lain. Mereka sering salah menilai sesamanya, bahkan diri mereka sendiri. Hal ini berbeda dengan penghakiman Allah, karena Allah mampu menyelidiki hati manusia dan segala sesuatu yang tersembunyi (1Kor. 4:5b; Rm. 2:16).

Paulus berusaha memberi penjelasan tentang siapa saja yang dia maksud dengan “manusia” ini. Pertama-tama adalah jemaat (ay. 3a “dihakimi oleh kamu”). Selanjutnya adalah pengadilan manusia (ay. 3b). Ungkapan ini kemungkinan besar merujuk pada orang-orang non-Kristen. Mereka jelas tidak layak untuk menghakimi karena mereka tidak dapat menilai hal-hal yang rohani (2:14-15; bdk. 6:6). Yang terakhir adalah diri Paulus sendiri (ay. 3c-4a). Walaupun dia mengaku bahwa dia “tidak sadar akan sesuatu” (secara hurufiah “hati nuraninya murni [NIV] atau “tidak ada sesuatu pun yang menuduh hati nuraninya” [NASB/RSV]), namun dia tetap menganggap dirinya tidak layak menghakimi diri sendiri. Perasaan benar tetap tidak layak dijadikan patokan. Bukankah sebagian orang (termasuk kita) sering kali merasa diri benar padahal kenyataannya justru kita yang lebih berdosa? Sikap Paulus yang tidak mau bersandar pada penilaian pribadinya sendiri sangat mungkin berkaitan dengan hidupnya yang lama dahulu. Dia menganggap diri benar dan menaati Alah dengan sempurna (Flp. 3:6), namun kenyataannya semua itu dia lakukan tanpa pengetahuan (1Tim. 1:13).

Jika manusia tidak layak menghakimi orang lain, maka kita tidak boleh menghakimi orang lain. Kita harus menunggu sampai hari penghakiman Tuhan di akhir zaman (ay. 5a). Secara hurufiah ayat 5a seharusnya diterjemahkan “berhentilah menghakimi sebelum waktunya” (NASB “do not go on passing judgment before the time”). Jemaat Korintus memang sudah melakukan penghakiman. Paulus meminta mereka untuk menghentikan sikap tersebut.

Larangan ini tentu saja tidak berarti bahwa orang Kristen dilarang menilai sesuatu atau memutuskan suatu perkara. Paulus bahkan meminta jemaat untuk menghakimi orang cabul yang ada di dalam jemaat (5:12) atau menyelesaikan suat perkara di antara mereka (6:5). Jadi, bagaimana kita mengharmonisasikan hal ini? Kata Yunani krino memiliki beragam arti: menghakimi, menilai, memberi keputusan hukum, dsb, tergantung pada konteks pemakaian. Dalam sebuah perkara rohani yang membutuhkan sebuah keputusan, kita tentu saja diperbolehkan menilai masalah itu berdasarkan firman Tuhan dan mengambil tindakan yang sepatutnya. Hal ini sangat berbeda dengan sikap menghakimi orang lain dalam arti menganggap orang lain buruk/salah dengan hati yang penuh kebencian.


Menyadari bahwa tuan kita akan menghakimi kita di akhir zaman (ay. 4b, 5b)
Seorang oikonomos harus memberi pertanggungjawaban apabila tuannya datang. Sang tuan akan menilai hasil kerja orang yang sudah dia percayai. Begitu pula dengan para oikonomos rohani. Kita harus menghadap Tuan kita dan siap untuk dinilai oleh-Nya.

Kata kurios (“Tuhan”) di ayat 4b hampir dapat dipastikan merujuk pada Kristus, karena para rasul adalah hamba-hamba Kristus (ay. 1), sehingga sangat wajar jika mereka akan dihakimi oleh Tuan mereka, yaitu Kristus. Jika ini diterima, maka Yesus Kristus di ayat 5b ditampilkan sebagai Pribadi yang mahatahu. Dia mampu mengetahui hati manusia untuk menyatakan hal-hal yang tersembunyi. Penjelasan ini dalam konteks Yahudi waktu itu sangat mencengangkan karena hak untuk menghakimi dan kemampuan melihat hal-hal tersembunyi adalah sifat khas Allah (1Sam. 16:27; 1Taw. 28:9; Mzm. 139:1, 11-12; Yer. 17:10; Mat. 6:4, 6, 18; Rm. 2:16; Ibr. 4:12-13).

Dalam penghakiman biasanya ada dua hasil: upah atau hukuman. Ketika Kristus menghakimi nanti, Dia juga akan memberikan upah dan hukuman. Menariknya, Paulus tidak menyinggung tentang hukuman sama sekali. Sebaliknya, dia justru mengharapkan agar setiap orang akan menerima puji-pujian dari Allah (ay. 5c). Dia tidak berharap agar para pengkritiknya menerima hukuman. Walaupun jemaat membenci dia, namun Paulus tetap berharap yang baik bagi mereka.

Upah berupa “puji-pujian” bagi orang modern yang terpengaruh materialisme memang tampak tidak terlalu istimewa. Kita cenderung menuntut penghargaan terhadap usaha keras kita dengan gaji yang tinggi atau kenaikan jabatan. Hal ini sangat berbeda dengan mentalitas orang-orang kuno. Mereka tidak terlalu mempedulikan besaran gaji atau kenaikan pangkat sebagaimana mereka mempedulikan pujian dari tuan mereka. Mereka bekerja untuk tuan mereka, bukan untuk mendapatkan gaji atau posisi. Kita juga perlu memahami bahwa seorang oikonomos memang sudah memiliki jabatan tertinggi di bawah pemilik dan dia dapat menikmati segala yang dimiliki tuanya. Dia hanya bekerja demi kepuasan tuan, dalam arti membayar kepercayaan yang sudah diletakkan di bahunya.






Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 6 Juli 2008